Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Floortime untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif pada Anak Autis T2 832013017 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Sorang anak yang dilahirkan ke dunia ini akan mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Namun tidak semua anak dapat mengalami
pertumbuhan dan pekembangan secara sempurna.
Dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya, kadangkala
anak mengalami
gangguan, baik itu sebelum proses kelahiran maupun setelah proses
kelahiran. Gangguan perkembangan yang dialami anak saat ini semakin
kompleks, hal ini karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat maupun
kemajuan teknologi (Handojo, 2003). Gangguan perkembangan yang terjadi
pada anak sangat beragam. Salah satu gangguan perkembangan anak yang
saat ini cukup menjadi perhatian utama adalah “autisme”.
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks,
yang berhubungan dengan bahasa dalam berkomunikasi, interaksi sosial dan
keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi, gejalanya tampak pada
sebelum usia tiga tahun (Baron-Cohen, 2008). Autis juga merupakan suatu
konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang
kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi seperti : persepsi
(perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling). Autis
sebenarnya tidak dapat disembuhkan (not curable) namun dapat diterapi
(treatable). Artinya kelainan yang terdapat di dalam otak tidak dapat
diperbaiki, namun gejala-gejala yang ada dapat dikurangi secara signifikan
dan semaksimal mungkin, sehingga si anak yang menyandang autis tersebut
dapat berbaur dengan anak-anak lain secara normal. Secara umum anak-anak
dengan gangguan perkembangan ini memerlukan terapi secara intensif
(Taylor, 1997).
Pada awalnya autis dipandang sebagai gangguan yang disebabkan
oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat
secara emosional, tetapi baru sekitar tahun 1960 dimulai penelitian
neurologis yang membuktikan bahwa autis disebabkan oleh adanya
abnormalitas pada otak (Frith dalam Delphie , 2009).
Penyebab autis menurut Budiman,M (2002) adalah gangguan
perkembangan dan fungsi susunan syaraf pusat yang menyebabkan gangguan
fungsi otak, terutama pada fungsi mengendalikan pikiran, pemahaman dan
komunikasi dengan orang lain. Keracunan logam berat pada anak yang
tinggal dekat dengan tambang mineral bumi seperti batubara, emas dan
sebagainya juga bisa memicu penyebab autis. Keracunan yang dikonsumsi
ibu hamil bisa menyebabkan anak menjadi autis. Ikan dengan kandungan
mineral (logam) berat dengan kadar tinggi yang dimakan juga dapat menajdi
penyebab.
1
Dalam dekade terakhir ini jumlah anak autis semakin meningkat
pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini
mencapai 40% sejak tahun 1980. Menurut catatan pada tahun 1987,
prevalensi penyandang autis baru satu orang anak per 5.000 kelahiran.
Mulai tahun 1990-an terjadi boom autis. Anak-anak yang mengalami
gangguan autis makin bertambah dari tahun ke tahun. Sepuluh tahun
kemudian angka itu berubah menjadi satu anak penyandang autis per 500
kelahiran. Pada tahun 2.000 angkanya sudah bertambah menjadi satu per
250 kelahiran. Di Amerika Serikat misalnya, menurut laporan center for
disease control perbandingan itu mencapai satu anak per 150 kelahiran.
Diperkirakan angka yang sama terjadi juga di tempat lain, termasuk di
Indonesia (Leli & Widajati, 2013).
Salah satu masalah yang dialami anak autis adalah masalah gangguan
bahasa. Anak autis cenderung mengalami echolalia (tanpa sengaja
mengulang-ulang kata atau kalimat yang pernah ia dengar sewaktu ia
berbicara dengan orang lain), literal (apa adanya), dan ketiadaan irama. Firth
dan Kerig (dalam Delphie, 2009) menyatakan bahwa anak dengan sindrom
autistik juga mengalami kesulitan dalam membedakan informasi yang
menunjukkan sesuai atau tidak sesuai bagi lawan bicaranya. Demikian pula
dalam menentukan apakah makna yang diucapkan telah dipahami atau belum
dipahami oleh lawan bicaranya. Adanya kesulitan dalam hal berbahasa ini
mengakibatkan anak autis tidak belajar secara mudah. Anak autis tidak dapat
melakukan respon atau menanggapi informasi secara konsisten. Anak autis
mengalami kesulitan dalam menggunakan informasi untuk membuat
rencana atau mengorganisasikan apa yang semestinya ia lakukan.
Bahasa merupakan sarana komunikasi yang memiliki peranan sangat
penting dalam kehidupan manusia. Sunardi, dkk. (2007) menegaskan bahwa
melalui bahasa seseorang dapat menyatakan pikiran, ide, perasaan, dan
kebutuhan-kebutuhannya, dan dengan bahasa seseorang dapat berkomunikasi
secara efektif dan efisien dengan lingkungannya, dan dapat belajar banyak
tentang peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Begitu juga dari segi
pendidikan, dengan memiliki kemampuan berbahasa anak akan mengerti dan
memahami materi yang disampaikan guru dan akhirnya mampu menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Ada dua komponen penting dalam bahasa yang berfungsi untuk
menciptakan komunikasi secara efektif. Komponen pertama adalah
kemampuan untuk memahami pesan (bahasa reseptif) yaitu kemampuan
mendengarkan suara atau melihat aksi, kemampuan mengolah pesan, dan
menyimpannya di dalam memori. Komponen kedua adalah kemampuan
berespon terhadap pesan (bahasa ekspresif), yaitu kemampuan memilih kata
atau aksi yang tepat, kemampuan menyusun kata-kata dan aksi-aksi menjadi
pesan yang dapat dimengerti (Yuwono, 2009).
2
Kemampuan bahasa reseptif sangat penting untuk dimiliki oleh anak
autis, karena bahasa reseptif merupakan bagian dari kemampuan berbahasa
yang sangat esensial, dan kemampuan berbahasa reseptif merupakan dasar
untuk menguasai suatu bahasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriati
(2011) yang menyatakan bahwa kemampuan bahasa reseptif sebagai
kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa, dan anak yang
baik bahasa reseptifnya, akan dapat memamami ketika ditanya dan
melakukan perintah sesuai instruksi yang diterima dengan benar.
Studi pendahuluan di lapangan yang penulis lakukan melalui
observasi dan wawancara, menemukan bahwa kemampuan bahasa resesptif
pada anak autis di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga masih
rendah, diantaranya anak mengalami kesulitan dalam memahami dan
melakukan instruksi kata kerja sederhana. Akibatnya anak lebih cenderung
diam seolah-olah meminta bantuan pada gurunya ketika mereka dihadapkan
pada kegiatan pembelajaran yang berhubungan dengan kemampuan
melakukan instruksi kata kerja sederhana. Hal tersebut bukan menjadikan
kemampuan berbahasa anak semakin baik dan terlatih akan tetapi justru
mengakibatkan komunikasi dan bahasa anak menjadi semakin tidak optimal
dalam kegiatan kemandirian belajarnya maupun dalam lingkungan
sekitarnya.
Wibowo (2001) mengatakan bahwa cakupan bahasa reseptif
sangatlah banyak yaitu kemampuan anak memahami instruksi kata kerja
sederhana seperti ambil, masukkan, duduk, berdiri dan lain sebagainya.
Karena keterbatasan waktu penelitian dan tidak mudah untuk mengubah
kemampuan bahasa reseptif pada anak autis, maka penulis hanya
memfokuskan dua cakupan bahasa reseptif yaitu instruksi kata kerja ambil
dan masukkan. Penulis tertarik meneliti lebih jauh karena untuk instruksi
kata kerja ambil dan masukkan sering dipakai oleh para guru, seperti
mengambil dan memasukkan alat tulis dan perlenngkapan makan yang
sehari-hari selalu digunakan.
Menurut Baron-Cohen (2008), untuk meningkatkan kemampuan
bahasa pada anak autis dapat menggunakan beberapa metode terapi, yaitu
dengan menggunakan ABA (Applied Behavior Analysis) yaitu terapi yang
menekankan pada aturan untuk pemberian stimulus (instruksi), respon
individu (perilaku) dan konsekuensi (akibat); TEACCH (Treatment and
Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children )
adalah program yang berfokus pada pengembangan kemampuan individu,
minat dan kebutuhan yang diikuti dengan fasilitas-fasilitas khusus yang
memadai dan berkelanjutan; Floortime yaitu terapi yang dapat dilakukan
dimana saja, kapan saja, dan dengan media apapun untuk berinteraksi dan
bermain dengan cara mengikuti langkah-langah yang dimulai anak untuk
berinteraksi dengan terapis.
3
Mengingat kemampuan bahasa reseptif anak autis mengalami
hambatan maka diperlukan suatu metode pendekatan yang dapat
mengembangkan kemampuan bahasa reseptif tersebut. Delphie (2009)
menegaskan bahwa beberapa anak autis mempunyai kemampuan berbahasa
yang berbeda, keterlambatan dan kelainan bahasa yang mana keterampilan
berbahasanya memerlukan pembinaan khusus.
Dalam penelitian ini yang digunakan untuk mengembangkan
kemampuan bahasa reseptif pada anak autis adalah dengan menggunakan
metode The Developmental Individual Difference Relationship-Based (DIR)
atau lebih dikenal dengan pendekatan floortime.
Penulis tertarik menggunakan metode floortime karena di dalam
metode tersebut, selama kegiatan bermain berlangsung, anak didorong
menjadi pihak yang aktif dalam berinteraksi dan terapis diarahkan untuk
mengamati minat anak (child’s natural emotional interest/lead), kemudian
menggunakannya sebagai landasan untuk berinteraksi secara playful.
Berdasarkan minat anak sebagai landasan berinteraksi, maka diharapkan
motivasi anak untuk mengenal lingkungan, berinteraksi dan berkomunikasi
akan meningkat secara bertahap (Greenspan, 2010).
Floortime merupakan intervensi yang dikembangkan berdasarkan
paradigma bahwa interaksi antar manusia merupakan hal yang kritis bagi
perkembangan anak dan emosi berperan sebagai landasan yang penting
dalam proses belajar. Interaksi ini dilakukan melalui kegiatan bermain secara
natural dan tidak terstruktur dengan terapis. Pendekatan floortime bertujuan
membangun landasan yang kuat pada anak untuk perkembangan kemampuan
fisik, motorik, intelektual, sosial, dan emosional. Metode floortime
mempertimbangkan aspek perkembangan anak, yang mengacu pada tahapan
perkembangan, perbedaan individual dalam kemampuan memproses
kemampuan informasi melalui indera/sensori dan affective relationship
antara terapis dan anak (Greenspan & Wieder, 2006).
Suatu metode pembelajaran akan lebih efektif apabila didukung oleh
sarana media di dalam pelaksanaannya. Menurut Greenspan (2010) metode
floortime bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan menggunakan sarana
media apapun.
Penelitian dengan menggunakan metode floortime sudah pernah
dilakukan oleh Diane Cullinane (2009) dengan tema “Evidence Base For The
DIR®/Floortime Approach”. Di dalam penelitiannya, menggunakan media
anak tangga untuk memberikan instruksi sederhana naik dan turun. Di dalam
penetian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa metode floortime dapat
membantu meningkatkan pemahaman bahasa anak autis, khususnya
pemahaman bahasa naik dan turun.
Penelitian yang dilakukan oleh Maryse Dionne dan Rose Martini
(2011) dengan judul Floor Time Play with a child with autism: A single4
subject study, menunjukkan adanya efektivitas intervensi floortime pada
anak yang didiagnosis autis. Di dalam penelitian ini, tidak difokuskan hanya
menggunakan media tertentu saja, tetapi dapat dengan media apapun yang
dijumpainya. Metode subjek tunggal dengan desain AB digunakan di dalam
penelitian ini. Analisisnya menunjukkan hasil yang signifikan antara fase
sebelum dan sesudah pemberian intervensi. Studi ini memberikan bukti
bahwa metode floortime berguna untuk anak autis.
Di dalam penelitian ini, penulis tertarik menggunakan salah satu
media permainan dengan menggunakan balok pelangi, karena permainan
balok pelangi sering digunakan dalam penelitian psikologis dalam hal
pemecahan masalah. Permainan ini juga digunakan sebagai ujian ingatan
oleh ahli psikolog syaraf dalam berupaya mengevaluasi amnesia (Sadiman
dkk, 2003).
Balok pelangi membantu pembelajaran kemampuan bahasa anak
dalam memahami dan melakukan instruksi kata kerja sederhana yaitu
mengambil dan memasukkan benda (balok-balok berbentuk lingkaran,
kubus, dan segitiga). Selain itu juga dapat melatih konsentrasi anak pada
saat anak berusaha memasukkan benda (balok-balok berbentuk lingkaran,
kubus, dan segitiga) tersebut pada tiang (Sadiman dkk, 2013).
Di dalam metode floortime ini, anak akan diajak bermain secara
bebas dengan menggunakan permainan balok pelangi. Terapis membiarkan
anak mengambil peranan secara aktif dan mengikuti keaktifan anak tersebut
dengan memberikan instruksi-instruksi baik secara verbal maupun
nonverbal, sehingga dengan peranan aktif dari anak diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan bahasa reseptifnya. Pada prinsipnya, metode
floortime memiliki konsep dasar Circles of Communication (CoC). CoC
mengacu pada komunikasi timbal-balik dengan dua partisipan yang saling
menjawab satu sama lain secara verbal atau nonverbal (Greenspan dalam
Dionne & Martin, 2011).
Setiap anak mampu mencapai tahap perkembangan bahasa yang
optimal asal mendapatkan stimulasi yang tepat. Kemampuan bahasa reseptif
dalam memahami dan melakukan instruksi tersebut dapat ditunjang dengan
metode floortime yang dijadikan sebagai salah satu perlakuan/treatment
intervensi. Perlakuan tersebut dapat menolong anak autis untuk
mengembangkan kemampuan bahasa reseptifnya. Perlakuan/treatment
dilakukan dalam upaya menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak
dapat belajar secara efektif, agar dapat mencapai perkembangan bahasa yang
optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya
Subjek di dalam penelitian ini adalah seorang anak laki – laki yang
bersekolah di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga. Subjek
termasuk anak autis dengan type disintegrasi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Subjek belum mampu berkomunikasi secara verbal dan untuk komunikasi
5
non verbal harus dengan pemberian instruksi yang diulang-ulang; Kontak
mata subjek sangat jarang; Subjek belum konsisten menoleh ketika dipanggil
namanya; Subjek belum mampu memahami instruksi kata kerja sederhana
(mengambil, memasukkan).
Di dalam penelitian ini hanya menggunakan partisipan satu orang
(Single Subject Design), karena untuk mencari anak autis dengan
karakteristik atau type yang ditentukan diatas dan untuk melakukan
penelitian terhadap lebih dari satu anak autis tidaklah mudah.
Ada beberapa alasan peneliti mengapa tertarik ingin melakukan
penelitian lebih lanjut yaitu : (1) Peneliti ingin membuktikan lebih lanjut,
apakah dengan menggunakan media balok pelangi, metode floortime dapat
meningkatkan bahasa reseptif pada anak autis, (2) Sejauh penelusuran yang
peneliti lakukan, penelitian mengenai metode floortime, khususnya di
Sekolah Terpadu Rumah Pintar Salatiga masih asing untuk para terapis.
Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut untuk
membuktikan apakah metode floortime memiliki pengaruh yang signifikan
dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak autis.
1.2.
Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini apakah metode floortime
berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak
autis.
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah metode floortime
dapat berpengaruh untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada
anak autis.
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh berbagai
kalangan terutama untuk disiplin Ilmu Psikologi yang berkaitan dengan
penanganan anak autis.
2. Manfaat Praktis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang
akurat seputar autis, sehingga memberikan kemudahan bagi para
mahasiswa, dosen, atau orang tua atau masyarakat yang memiliki
anak autis dalam pemberian perlakuan.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi gambaran mengenai
bagaimana pola atau cara dalam mendampingi dan menangani anak
6
yang mengalami gangguan autis, seperti yang dilakukan oleh Sekolah
Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga tersebut, sehingga dapat
meminimalisir terjadinya kesalahan dalam menangani anak autis.
7
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Sorang anak yang dilahirkan ke dunia ini akan mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Namun tidak semua anak dapat mengalami
pertumbuhan dan pekembangan secara sempurna.
Dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya, kadangkala
anak mengalami
gangguan, baik itu sebelum proses kelahiran maupun setelah proses
kelahiran. Gangguan perkembangan yang dialami anak saat ini semakin
kompleks, hal ini karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat maupun
kemajuan teknologi (Handojo, 2003). Gangguan perkembangan yang terjadi
pada anak sangat beragam. Salah satu gangguan perkembangan anak yang
saat ini cukup menjadi perhatian utama adalah “autisme”.
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks,
yang berhubungan dengan bahasa dalam berkomunikasi, interaksi sosial dan
keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi, gejalanya tampak pada
sebelum usia tiga tahun (Baron-Cohen, 2008). Autis juga merupakan suatu
konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang
kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi seperti : persepsi
(perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling). Autis
sebenarnya tidak dapat disembuhkan (not curable) namun dapat diterapi
(treatable). Artinya kelainan yang terdapat di dalam otak tidak dapat
diperbaiki, namun gejala-gejala yang ada dapat dikurangi secara signifikan
dan semaksimal mungkin, sehingga si anak yang menyandang autis tersebut
dapat berbaur dengan anak-anak lain secara normal. Secara umum anak-anak
dengan gangguan perkembangan ini memerlukan terapi secara intensif
(Taylor, 1997).
Pada awalnya autis dipandang sebagai gangguan yang disebabkan
oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat
secara emosional, tetapi baru sekitar tahun 1960 dimulai penelitian
neurologis yang membuktikan bahwa autis disebabkan oleh adanya
abnormalitas pada otak (Frith dalam Delphie , 2009).
Penyebab autis menurut Budiman,M (2002) adalah gangguan
perkembangan dan fungsi susunan syaraf pusat yang menyebabkan gangguan
fungsi otak, terutama pada fungsi mengendalikan pikiran, pemahaman dan
komunikasi dengan orang lain. Keracunan logam berat pada anak yang
tinggal dekat dengan tambang mineral bumi seperti batubara, emas dan
sebagainya juga bisa memicu penyebab autis. Keracunan yang dikonsumsi
ibu hamil bisa menyebabkan anak menjadi autis. Ikan dengan kandungan
mineral (logam) berat dengan kadar tinggi yang dimakan juga dapat menajdi
penyebab.
1
Dalam dekade terakhir ini jumlah anak autis semakin meningkat
pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini
mencapai 40% sejak tahun 1980. Menurut catatan pada tahun 1987,
prevalensi penyandang autis baru satu orang anak per 5.000 kelahiran.
Mulai tahun 1990-an terjadi boom autis. Anak-anak yang mengalami
gangguan autis makin bertambah dari tahun ke tahun. Sepuluh tahun
kemudian angka itu berubah menjadi satu anak penyandang autis per 500
kelahiran. Pada tahun 2.000 angkanya sudah bertambah menjadi satu per
250 kelahiran. Di Amerika Serikat misalnya, menurut laporan center for
disease control perbandingan itu mencapai satu anak per 150 kelahiran.
Diperkirakan angka yang sama terjadi juga di tempat lain, termasuk di
Indonesia (Leli & Widajati, 2013).
Salah satu masalah yang dialami anak autis adalah masalah gangguan
bahasa. Anak autis cenderung mengalami echolalia (tanpa sengaja
mengulang-ulang kata atau kalimat yang pernah ia dengar sewaktu ia
berbicara dengan orang lain), literal (apa adanya), dan ketiadaan irama. Firth
dan Kerig (dalam Delphie, 2009) menyatakan bahwa anak dengan sindrom
autistik juga mengalami kesulitan dalam membedakan informasi yang
menunjukkan sesuai atau tidak sesuai bagi lawan bicaranya. Demikian pula
dalam menentukan apakah makna yang diucapkan telah dipahami atau belum
dipahami oleh lawan bicaranya. Adanya kesulitan dalam hal berbahasa ini
mengakibatkan anak autis tidak belajar secara mudah. Anak autis tidak dapat
melakukan respon atau menanggapi informasi secara konsisten. Anak autis
mengalami kesulitan dalam menggunakan informasi untuk membuat
rencana atau mengorganisasikan apa yang semestinya ia lakukan.
Bahasa merupakan sarana komunikasi yang memiliki peranan sangat
penting dalam kehidupan manusia. Sunardi, dkk. (2007) menegaskan bahwa
melalui bahasa seseorang dapat menyatakan pikiran, ide, perasaan, dan
kebutuhan-kebutuhannya, dan dengan bahasa seseorang dapat berkomunikasi
secara efektif dan efisien dengan lingkungannya, dan dapat belajar banyak
tentang peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Begitu juga dari segi
pendidikan, dengan memiliki kemampuan berbahasa anak akan mengerti dan
memahami materi yang disampaikan guru dan akhirnya mampu menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Ada dua komponen penting dalam bahasa yang berfungsi untuk
menciptakan komunikasi secara efektif. Komponen pertama adalah
kemampuan untuk memahami pesan (bahasa reseptif) yaitu kemampuan
mendengarkan suara atau melihat aksi, kemampuan mengolah pesan, dan
menyimpannya di dalam memori. Komponen kedua adalah kemampuan
berespon terhadap pesan (bahasa ekspresif), yaitu kemampuan memilih kata
atau aksi yang tepat, kemampuan menyusun kata-kata dan aksi-aksi menjadi
pesan yang dapat dimengerti (Yuwono, 2009).
2
Kemampuan bahasa reseptif sangat penting untuk dimiliki oleh anak
autis, karena bahasa reseptif merupakan bagian dari kemampuan berbahasa
yang sangat esensial, dan kemampuan berbahasa reseptif merupakan dasar
untuk menguasai suatu bahasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriati
(2011) yang menyatakan bahwa kemampuan bahasa reseptif sebagai
kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa, dan anak yang
baik bahasa reseptifnya, akan dapat memamami ketika ditanya dan
melakukan perintah sesuai instruksi yang diterima dengan benar.
Studi pendahuluan di lapangan yang penulis lakukan melalui
observasi dan wawancara, menemukan bahwa kemampuan bahasa resesptif
pada anak autis di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga masih
rendah, diantaranya anak mengalami kesulitan dalam memahami dan
melakukan instruksi kata kerja sederhana. Akibatnya anak lebih cenderung
diam seolah-olah meminta bantuan pada gurunya ketika mereka dihadapkan
pada kegiatan pembelajaran yang berhubungan dengan kemampuan
melakukan instruksi kata kerja sederhana. Hal tersebut bukan menjadikan
kemampuan berbahasa anak semakin baik dan terlatih akan tetapi justru
mengakibatkan komunikasi dan bahasa anak menjadi semakin tidak optimal
dalam kegiatan kemandirian belajarnya maupun dalam lingkungan
sekitarnya.
Wibowo (2001) mengatakan bahwa cakupan bahasa reseptif
sangatlah banyak yaitu kemampuan anak memahami instruksi kata kerja
sederhana seperti ambil, masukkan, duduk, berdiri dan lain sebagainya.
Karena keterbatasan waktu penelitian dan tidak mudah untuk mengubah
kemampuan bahasa reseptif pada anak autis, maka penulis hanya
memfokuskan dua cakupan bahasa reseptif yaitu instruksi kata kerja ambil
dan masukkan. Penulis tertarik meneliti lebih jauh karena untuk instruksi
kata kerja ambil dan masukkan sering dipakai oleh para guru, seperti
mengambil dan memasukkan alat tulis dan perlenngkapan makan yang
sehari-hari selalu digunakan.
Menurut Baron-Cohen (2008), untuk meningkatkan kemampuan
bahasa pada anak autis dapat menggunakan beberapa metode terapi, yaitu
dengan menggunakan ABA (Applied Behavior Analysis) yaitu terapi yang
menekankan pada aturan untuk pemberian stimulus (instruksi), respon
individu (perilaku) dan konsekuensi (akibat); TEACCH (Treatment and
Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children )
adalah program yang berfokus pada pengembangan kemampuan individu,
minat dan kebutuhan yang diikuti dengan fasilitas-fasilitas khusus yang
memadai dan berkelanjutan; Floortime yaitu terapi yang dapat dilakukan
dimana saja, kapan saja, dan dengan media apapun untuk berinteraksi dan
bermain dengan cara mengikuti langkah-langah yang dimulai anak untuk
berinteraksi dengan terapis.
3
Mengingat kemampuan bahasa reseptif anak autis mengalami
hambatan maka diperlukan suatu metode pendekatan yang dapat
mengembangkan kemampuan bahasa reseptif tersebut. Delphie (2009)
menegaskan bahwa beberapa anak autis mempunyai kemampuan berbahasa
yang berbeda, keterlambatan dan kelainan bahasa yang mana keterampilan
berbahasanya memerlukan pembinaan khusus.
Dalam penelitian ini yang digunakan untuk mengembangkan
kemampuan bahasa reseptif pada anak autis adalah dengan menggunakan
metode The Developmental Individual Difference Relationship-Based (DIR)
atau lebih dikenal dengan pendekatan floortime.
Penulis tertarik menggunakan metode floortime karena di dalam
metode tersebut, selama kegiatan bermain berlangsung, anak didorong
menjadi pihak yang aktif dalam berinteraksi dan terapis diarahkan untuk
mengamati minat anak (child’s natural emotional interest/lead), kemudian
menggunakannya sebagai landasan untuk berinteraksi secara playful.
Berdasarkan minat anak sebagai landasan berinteraksi, maka diharapkan
motivasi anak untuk mengenal lingkungan, berinteraksi dan berkomunikasi
akan meningkat secara bertahap (Greenspan, 2010).
Floortime merupakan intervensi yang dikembangkan berdasarkan
paradigma bahwa interaksi antar manusia merupakan hal yang kritis bagi
perkembangan anak dan emosi berperan sebagai landasan yang penting
dalam proses belajar. Interaksi ini dilakukan melalui kegiatan bermain secara
natural dan tidak terstruktur dengan terapis. Pendekatan floortime bertujuan
membangun landasan yang kuat pada anak untuk perkembangan kemampuan
fisik, motorik, intelektual, sosial, dan emosional. Metode floortime
mempertimbangkan aspek perkembangan anak, yang mengacu pada tahapan
perkembangan, perbedaan individual dalam kemampuan memproses
kemampuan informasi melalui indera/sensori dan affective relationship
antara terapis dan anak (Greenspan & Wieder, 2006).
Suatu metode pembelajaran akan lebih efektif apabila didukung oleh
sarana media di dalam pelaksanaannya. Menurut Greenspan (2010) metode
floortime bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan menggunakan sarana
media apapun.
Penelitian dengan menggunakan metode floortime sudah pernah
dilakukan oleh Diane Cullinane (2009) dengan tema “Evidence Base For The
DIR®/Floortime Approach”. Di dalam penelitiannya, menggunakan media
anak tangga untuk memberikan instruksi sederhana naik dan turun. Di dalam
penetian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa metode floortime dapat
membantu meningkatkan pemahaman bahasa anak autis, khususnya
pemahaman bahasa naik dan turun.
Penelitian yang dilakukan oleh Maryse Dionne dan Rose Martini
(2011) dengan judul Floor Time Play with a child with autism: A single4
subject study, menunjukkan adanya efektivitas intervensi floortime pada
anak yang didiagnosis autis. Di dalam penelitian ini, tidak difokuskan hanya
menggunakan media tertentu saja, tetapi dapat dengan media apapun yang
dijumpainya. Metode subjek tunggal dengan desain AB digunakan di dalam
penelitian ini. Analisisnya menunjukkan hasil yang signifikan antara fase
sebelum dan sesudah pemberian intervensi. Studi ini memberikan bukti
bahwa metode floortime berguna untuk anak autis.
Di dalam penelitian ini, penulis tertarik menggunakan salah satu
media permainan dengan menggunakan balok pelangi, karena permainan
balok pelangi sering digunakan dalam penelitian psikologis dalam hal
pemecahan masalah. Permainan ini juga digunakan sebagai ujian ingatan
oleh ahli psikolog syaraf dalam berupaya mengevaluasi amnesia (Sadiman
dkk, 2003).
Balok pelangi membantu pembelajaran kemampuan bahasa anak
dalam memahami dan melakukan instruksi kata kerja sederhana yaitu
mengambil dan memasukkan benda (balok-balok berbentuk lingkaran,
kubus, dan segitiga). Selain itu juga dapat melatih konsentrasi anak pada
saat anak berusaha memasukkan benda (balok-balok berbentuk lingkaran,
kubus, dan segitiga) tersebut pada tiang (Sadiman dkk, 2013).
Di dalam metode floortime ini, anak akan diajak bermain secara
bebas dengan menggunakan permainan balok pelangi. Terapis membiarkan
anak mengambil peranan secara aktif dan mengikuti keaktifan anak tersebut
dengan memberikan instruksi-instruksi baik secara verbal maupun
nonverbal, sehingga dengan peranan aktif dari anak diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan bahasa reseptifnya. Pada prinsipnya, metode
floortime memiliki konsep dasar Circles of Communication (CoC). CoC
mengacu pada komunikasi timbal-balik dengan dua partisipan yang saling
menjawab satu sama lain secara verbal atau nonverbal (Greenspan dalam
Dionne & Martin, 2011).
Setiap anak mampu mencapai tahap perkembangan bahasa yang
optimal asal mendapatkan stimulasi yang tepat. Kemampuan bahasa reseptif
dalam memahami dan melakukan instruksi tersebut dapat ditunjang dengan
metode floortime yang dijadikan sebagai salah satu perlakuan/treatment
intervensi. Perlakuan tersebut dapat menolong anak autis untuk
mengembangkan kemampuan bahasa reseptifnya. Perlakuan/treatment
dilakukan dalam upaya menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak
dapat belajar secara efektif, agar dapat mencapai perkembangan bahasa yang
optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya
Subjek di dalam penelitian ini adalah seorang anak laki – laki yang
bersekolah di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga. Subjek
termasuk anak autis dengan type disintegrasi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Subjek belum mampu berkomunikasi secara verbal dan untuk komunikasi
5
non verbal harus dengan pemberian instruksi yang diulang-ulang; Kontak
mata subjek sangat jarang; Subjek belum konsisten menoleh ketika dipanggil
namanya; Subjek belum mampu memahami instruksi kata kerja sederhana
(mengambil, memasukkan).
Di dalam penelitian ini hanya menggunakan partisipan satu orang
(Single Subject Design), karena untuk mencari anak autis dengan
karakteristik atau type yang ditentukan diatas dan untuk melakukan
penelitian terhadap lebih dari satu anak autis tidaklah mudah.
Ada beberapa alasan peneliti mengapa tertarik ingin melakukan
penelitian lebih lanjut yaitu : (1) Peneliti ingin membuktikan lebih lanjut,
apakah dengan menggunakan media balok pelangi, metode floortime dapat
meningkatkan bahasa reseptif pada anak autis, (2) Sejauh penelusuran yang
peneliti lakukan, penelitian mengenai metode floortime, khususnya di
Sekolah Terpadu Rumah Pintar Salatiga masih asing untuk para terapis.
Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut untuk
membuktikan apakah metode floortime memiliki pengaruh yang signifikan
dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak autis.
1.2.
Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini apakah metode floortime
berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak
autis.
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah metode floortime
dapat berpengaruh untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada
anak autis.
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh berbagai
kalangan terutama untuk disiplin Ilmu Psikologi yang berkaitan dengan
penanganan anak autis.
2. Manfaat Praktis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang
akurat seputar autis, sehingga memberikan kemudahan bagi para
mahasiswa, dosen, atau orang tua atau masyarakat yang memiliki
anak autis dalam pemberian perlakuan.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi gambaran mengenai
bagaimana pola atau cara dalam mendampingi dan menangani anak
6
yang mengalami gangguan autis, seperti yang dilakukan oleh Sekolah
Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga tersebut, sehingga dapat
meminimalisir terjadinya kesalahan dalam menangani anak autis.
7