Pengan Perawat Dalam Menerapkan Manajemen Pengendalian Infeksi Di Rsup H. Adam Malik Medan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Manajemen Pengendalian Infeksi
2.1.1 Definisi
Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno yang artinya seni dalam
melaksanakan dan mengatur. Proses manajemen adalah rangkaian kegiatan input,
proses, dan output yang dibagi dalam empat tahap yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan yang merupakan siklus yang
berkaitan satu sama lain (Huber, 2010). Perencanaan merupakan fungsi untuk
menyusun langkah dan strategi dalam mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan (Gillis, 1999). Pengorganisasian adalah pengidentifikasian kebutuhan
organisasi dari pernyataan misi kerja yang dilakukan, dan menyesuaikan desain
organisasi dan struktur untuk memenuhi kebutuhan (Swansburg RC, 2000).
Prinsip pengarahan meliputi membina kepercayaan, mengidentifikasi motivasi,
potensi dan tujuan memberikan dukungan, delegasi dan otonom (Marquis dan
Huston, 2012). Sedangkan prinsip pengawasan adalah memastikan pelaksanaan
pekerjaan sesuai rencana sehingga harus ada perencanaan tertentu dan instruksi
serta wewenang kepada bawahan dengan demikian manajer diharapkan mampu
merefleksikan sifat-sifat dan kebutuhan dari aktifitas yang harus dievaluasi dan
dapat dengan segera melaporkan penyimpangan-penyimpangan (Huber, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian infeksi adalah mengendalikan penyebaran agen penyebab
penyakit dengan melakukan prosedur tertentu. Pengendalian infeksi adalah
seperangkat kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk meminimalkan resiko
penyebaran infeksi, terutama di luar kesehatan, melainkan juga harus menjadi
bagian penting dari kehidupan pribadi kita, terutama di rumah kita (Miller dan
Palenik, 2003).
Depkes RI (2007) menyatakan pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial adalah program yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan serta pembinaan dalam upaya menurunkan angka kejadian infeksi
nosokomial di rumah sakit dan yang bertanggungjawab terhadap tugas tersebut
adalah komite/panitia pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit yang
dibentuk oleh kepala rumah sakit.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) adalah
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta
pembinaan dalam upaya menurunkan angka kejadian Infeksi Rumah Sakit (IRS)
pada pasien atau petugas rumah sakit dan mengamankan lingkungan rumah sakit
dari resiko transmisi infeksi yang dilaksanakan melalui manajemen resiko, tata
laksana klinik yang baik dan pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja RS
(Kebijakan RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Hal ini didukung dengan adanya
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/III/2007 tentang pedoman
manajerial pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan serta
Keputusan
Menkes
Nomor
381/Menkes/III/2007
mengenai
pedoman
Universitas Sumatera Utara
pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan.
Dan kebijakan
direktur utama RSUP H. Adam Malik Medan nomor : LB.02.01/ I / 2136 / 2009
tentang Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
2.1.2 Tujuan pengendalian infeksi
Program pencegahan dan pengendalian infeksi bertujuan untuk melindungi
pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan lain - lain di dalam lingkungan rumah
sakit serta penghematan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit
dan fasilitas kesehatan lainnya dan yang paling penting adalah menurunkan angka
kejadian infeksi nosokomial (Scheckler et al. 1998).
2.1.3 Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi
Menurut Depkes RI (2008) strategi pencegahan dan pengendalian infeksi
terdiri dari: 1) Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat
meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B),
pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum
termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh, 2) Inaktivasi
agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan metode
fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau
Sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk
klorinasi air, disinfeksi, 3) Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara
yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya
sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang
Universitas Sumatera Utara
telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu Isolation
Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua pilar/tingkatan yaitu
Standard
Precautions
Precaution
(Kewaspadaan
(Kewaspadaan
Standar)
Berdasarkan
Cara
dan
Transmission-based
Penularan),
4)
Tindakan
pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/ PEP) terhadap petugas
kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang
ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka
tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.
2.1.4 Kewaspadaan standar (Standard precautions)
Berdasarkan
WHO
(2004)
kewaspadaan
standar
adalah
prinsip
kewaspadaan sebagai bagian manajemen resiko pada pengendalian infeksi RS
yang dilaksanakan secara menyeluruh oleh setiap petugas berdasarkan
perhitungan besar resiko transmisi infeksi yang dihadapi pada setiap pelayanan
rawat jalan maupun rawat inap untuk melindungi pasien, petugas, pengunjung
maupun lingkungan RS. Prinsip kewaspadaan standar meliputi : Kebersihan
tangan, APD, Perawatan peralatan pasien, Pengendalian lingkungan, Pemrosesan
peralatan pasien dan penatalaksanaan linen, Kesehatan karyawan/Perlindungan
petugas kesehatan, Penempatan pasien, Hygiene respirasi/Etika batuk, Praktek
menyuntik yang aman, Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.
Universitas Sumatera Utara
1) Kebersihan tangan
Menurut WHO (2004) kebersihan tangan yang tepat dapat meminimalkan
mikro-organisme yang diperoleh dari tangan selama tugas sehari-hari dan ketika
ada kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan peralatan yang
terkontaminasi dikenal dan tidak dikenal. Ada enam langkah dalam kebersihan
tangan sebagai berikut : 1) Gosokkan kedua telapak tangan, 2) Gosok punggung
tangan kiri dengan telapak tangan kanan, lakukan sebaliknya, 3) Gosokkan kedua
telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang, 4) Gosok ruas
jari
tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan, lakukan sebaliknya, 5) Gosok ibu jari
tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar, lakukan sebaliknya, 6)
Gosokkan semua ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri, lakukan
sebaliknya.
Berdasarkan pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) ada lima momen untuk
kebersihan tangan yaitu : 1) Sebelum menyentuh pasien, 2) Sebelum prosedur
bersih/aseptik, 3) Setelah terpapar cairan tubuh, 4) Setelah menyentuh pasien, 5)
Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien. Sedangkan menurut Depkes RI
(2008) penggunaan handrub antiseptik untuk tangan yang bersih lebih efektif
membunuh flora residen dan flora transien. Antiseptik ini cepat dan mudah
digunakan serta menghasilkan penurunan jumlah flora tangan awal yang lebih.
Teknik untuk rnenggosok tangan dengan antiseptik : 1) Tuangkan secukupnya
handrub berbasis alkohol untuk dapat mencakup seluruh permukaan tangan dan
jari (kira-kira satu sendok teh), 2) Gosokkan larutan dengan teliti dan benar pada
Universitas Sumatera Utara
kedua belah tangan, khususnya diantara jari-jemari dan di bawah kuku hingga
kering.
2) Alat Pelindung Diri
Menurut WHO (2004) penggunaan alat pelindung diri memberikan
penghalang fisik antara mikro - organisme dan pemakainya. Alat pelindung diri
meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung mata (pelindung wajah dan kaca
mata), topi, gaun, apron, sepatu dan pelindung lainnya. Alat pelindung diri harus
digunakan oleh : 1) Petugas kesehatan yang memberikan perawatan langsung
kepada pasien dan yang bekerja dalam situasi di mana mereka mungkin memiliki
kontak dengan cairan darah, tubuh, ekskresi atau sekresi, 2) Staf dukungan
termasuk pembantu medis, pembersih, dan staf laundry di situasi di mana mereka
mungkin memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi, 3)
Staf laboratorium yang menangani spesimen pasien dan 4) Anggota keluarga yang
memberikan perawatan kepada pasien dan berada dalam situasi di mana mereka
mungkin memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi.
Berdasarkan Depkes RI (2008) pedoman umum alat pelindung diri sebagai
berikut : 1) Tangan harus selalu dibersihkan meskipun menggunakan APD, 2)
Lepas dan ganti bila perlu segala perlengkapan APD yang dapat digunakan
kembali yang sudah rusak atau sobek segera setelah anda mengetahui APD
tersebut tidak berfungsi optimal, 3) Lepaskan semua APD sesegara mungkin
setelah selesai memberikan pelayanan dan hindari kontaminasi terhadap : a)
Lingkungan di luar ruang isolasi, b) Para pasien atau pekerja lain, c) Diri anda
Universitas Sumatera Utara
sendiri, 4) Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera
membersihkan tangan : a) Perkirakan risiko terpajan cairan tubuh sesuai atau area
terkontaminasi sebelum melakukan kegiatan perawatan kesehatan, b) Pilih APD
dengan perkiraan risiko terjadi pajanan, c) Menyediakan sarana APD bila
emergensi dibutuhkan untuk dipakai.
Pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) menyatakan prinsip-prinsip PPI yang
perlu diperhatikan pada pemakaian APD yaitu : 1) Gaun pelindung, tutupi badan
sepenuhnya dan leher hingga lutut, lengan hingga bagian pergelangan tangan dan
selubungkan ke belakang punggung, ikat di bagian belakang leher dan pinggang,
2) Masker, eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala dan leher,
paskan klip hidung dan logam fleksibel pada batang hidung, paskan dengan erat
pada wajah dan di bawah dagu sehingga melekat dengan baik, periksa ulang
pengepasan masker, 3) Kacamata atau pelindung wajah, pasang pada wajah dan
mata dan sesuaikan agar pas, 4) Sarung tangan ditarik hingga menutupi bagian
pergelangan tangan gaun isolasi. Masloman et al. (2015) menyatakan beberapa
faktor yang mempengaruhi petugas kesehatan menggunakan APD dalam
menjamin keselamatannya sebelum bersentuhan dengan pasien dan melakukan
tindakan yaitu motivasi, perilaku, kebiasaan maupun ketersediaan APD tersebut.
Sedangkan menurut Green (1990) menyatakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepatuhan dan termasuk faktor pemungkin adanya ketersediaan
fasilitas.
Universitas Sumatera Utara
3) Sterilisasi alat
Menurut Depkes (2003) pengelolaan alat-alat kesehatan bertujuan untuk
mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat
tersebut dalam keadaan steril dan siap pakai.
WHO (2004) bahwa pengolahan ulang instrumen dan peralatan, berisiko
infeksi mentransfer dari instrumen dan peralatan tergantung pada faktor-faktor
berikut : 1) Adanya mikro-organisme, jumlah dan virulensi organisme, 2) Jenis
prosedur yang akan dilakukan (invasif atau non-invasif), 3) Bagian tubuh mana
instrumen atau peralatan yang akan digunakan (menembus jaringan mukosa atau
kulit atau digunakan pada kulit utuh). Pengolahan ulang instrumen dan peralatan
dengan cara yang efektif meliputi: 1) Pembersihan instrumen dan peralatan segera
setelah digunakan untuk menghapus semua bahan organik, bahan kimia, 2)
Disinfeksi (oleh panas dan air atau disinfektan kimia), 3) Sterilisasi.
Sterilisasi alat/instrumen kesehatan pasca pakai di RS dilakukan dengan 2
cara yaitu secara fisika atau kimia, melalui tahapan pencucian (termasuk
perendaman dan pembilasan), pengeringan, pengemasan, labeling, indikatorisasi,
sterilisasi, penyimpanan, distribusi diikuti dengan pemantauan dan evaluasi proses
serta kualitas/mutu hasil sterilisasi secara terpusat melalui lnstalasi Pusat
Pelayanan Sterilisasi/Central Sterile Supply Department (CSSD). Pemrosesan alat
instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria alat, dilakukan dengan
sterilisasi untuk alat kritikal, sterilisasi atau Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)
untuk alat semi kritikal, disinfeksi tingkat rendah untuk non kritikal. Kriteria
Universitas Sumatera Utara
pemilihan desinfektan didasari secara cermat terkait kriteria memiliki spektrum
luas dengan daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas rendah, waktu
disinfeksi singkat, stabil dalam penyimpanan, tidak merusak bahan dan efisien.
CSSD
bertanggungjawab
menyusun
panduan
dan
prosedur
tetap,
mengkoordinasikan, serta melakukan monitoring dan evaluasi proses serta
kualitas hasil sterilisasi dengan persetujuan Komite PPI RS.
Alur kerja penyediaan barang steril sebagai berikut : 1) Pengumpulan dan
serah terima/pencatatan alat/bahan non steril, 2) Pengumpulan linen kotor dan di
distribusikan ke laundry, 3) Dekontaminasi, 4) Perendaman/Desinfeksi yang
merupakan proses fisik atau kimia untuk membersihkan benda-benda yang
terkontaminasi oleh mikroba dengan melakukan perendaman sesuai label dan
instruksi produsen, 5) Pencucian semua alat-alat pakai ulang harus dicuci hingga
benar-benar bersih sebelum disterilkan, 6) Pengeringan, sebelum dilakukan setting
alat dan packing alat terlebih dahulu alat-alat dikeringkan yang dilakukan dengan
secara manual atau secara mekanikal, 7) Packing alat/bahan, semua material yang
tersedia untuk fasilitas kesehatan yang didesain untuk membungkus mengemas
dan menampung alat - alat yang dipakai ulang untuk sterilisasi, penyimpanan dan
pemakaian, 8) Labelling, proses identifikasi alat/instrumen sebulum dilakukan
proses sterilisasi (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
4) Pengendalian lingkungan
Menurut WHO (2004) sebuah lingkungan yang bersih memainkan peranan
penting dalam pencegahan dari Hospital Associated Infeksi (HAI). Pengendalian
Universitas Sumatera Utara
lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian serangga dan binatang
pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan, pemantauan hygiene sanitasi
makanan, pemantauan penyehatan linen, disinfeksi permukaan udara, lantai,
pengelolaan limbah cair, limbah B3 limbah padat medis, non medis dikelola oleh
lnstalasi Kesehatan Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama
dengan pihak ketiga, berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi
lingkungan. Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus
sampai dengan pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian Lingkungan
Hidup sebagai limbah infeksius (ditempatkan dalam kantong plastik berwarna
kuning berlogo infeksius), limbah padat tajam (ditempatkan dalam wadah tahan
tusuk, tidak tembus basah dan tertutup). Pengelolaan limbah padat non medis
ditempatkan dalam kantong plastik berwarna hitam.
Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan lingkungan, pemilihan
bahan desinfektan, cara penyiapan dan penggunaannya dilaksanakan berdasarkan
telaah Komite PPI RS untuk mencapai efektivitas yang tinggi. Pernbersihan
lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode usap seluruh permukaan
lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang efektif, Pelaksanaan Panduan
PPI RS dan standar prosedur operasional tentang pengendalian lingkungan,
monitoring dan evaluasinya dilaksanakan oleh Instalasi Kesehatan Lingkungan
bersama sub Bagian Rumah Tangga berkoordinasi dengan komite PPI. Baku mutu
berbagai parameter pengendalian lingkungan dievaluasi periodik dengan
pemeriksaan parameter kimia, biologi surveilans angka dan pola kuman
lingkungan berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990
Universitas Sumatera Utara
tentang persyaratan Kualitas Air Bersih dan Air Minum, Kepmenkes Rl No.
492lMenKes/sKA/ll/2010 tentang persyaratan Kualitas Air Minum, Kepmenkes
Rl No, l204/Menkes/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS.
Tahap Pengelolaan Limbah sebagai berikut : 1) Identifikasi Limbah :
padat, cair, tajam, infeksius, non infeksius, 2) Pemisahan : pemisahan dimulai
dari awal penghasil limbah, pisahkan limbah sesuai dengan jenis limbah,
tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, limbah cair segera dibuang ke wastafel
di spoelhok, 3) Labeling : limbah padat infeksius, plastik kantong kuning yang
diberi symbol biohazard, limbah padat non infeksius, plastik kantong warna
hitam, limbah benda tajam, wadah tahan tusuk dan air /jerigen yang diberi symbol
biohazard, 4) Packing : tempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup mudah
dibuka, kontainer dalam keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan yang kuat,
ringan dan tidak berkarat, 5) Tempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10 20 meter, ikat limbah jika sudah terisi 3/4 penuh, kontainer limbah harus dicuci
setiap hari, 6) Penyimpanan : simpan limbah di tempat penampungan sementara
khusus, tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat, beri label
pada kantong plastik limbah, setiap hari limbah diangkat dari tempat
penampungan sementara, 7) Pengangkutan : mengangkut limbah harus
menggunakan kereta dorong khusus, kereta dorong harus kuat, mudah
dibersihkan, tertutup, tidak boleh ada yang tercecer, sebaiknya lift pengangkut
limbah berbeda dengan lift pasien, gunakan alat pelindung diri ketika menangani
limbah, tempat penampungan sementara harus di area terbuka, terjangkau (oleh
kendaraan), aman dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi kering, 8)
Universitas Sumatera Utara
Treatment : limbah infeksius dimasukkan dalam incenerator, limbah non infeksius
dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), limbah benda tajam dimasukkan
dalam incenerator, limbah cair dalam wastafel di ruang spoelhok, limbah feces
dan urine ke dalam WC yang langsung dialirkan ke IPAL (Instalasi Pengolahan
Air Limbah), 9) Penanganan Limbah Benda Tajam : jangan menekuk atau
mematahkan benda tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang
tempat, segera buang limbah benda tajam ke kontainer yang tersedia tahan tusuk
dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi, selalu buang sendiri oleh si pemakai,
tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai, kontainer benda tajam
diletakkan dekat lokasi tindakan, 10) Penanganan Limbah Pecahan Kaca :
gunakan sarung tangan rumah tangga, gunakan kertas koran untuk mengumpulkan
pecahan benda tajam tersebut, kemudian bungkus dengan kertas, masukkan dalam
kontainer tahan tusukan beri label, 11) Unit Pengelolaan Limbah Cair :
pengolahan limbah cair dengan sistim bakteri Aerob di IPAL (Pedoman PPIRS
RSUP HAM, 2012). Pruss (2005) menyatakan proses pengelolaan limbah medis
pada tahap pemilahan dilakukan oleh perawat dan tahap pengangkutan oleh
petugas kebersihan.
5) Pengelolaan linen
Manajemen linen yang baik merupakan salah satu upaya untuk
menekan kejadian infeksi nosokomial. Selain itu pengetahuan dan perilaku
petugas kesehatan juga mempunyai peran yang sangat penting. Pengelolaan linen
bertujuan mencegah kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada petugas, pasien
Universitas Sumatera Utara
dan lingkungan, meliputi proses pengumpulan, pemilahan, pengangkutan linen
kotor, pemilahan dan teknik pencucian sampai dengan pengangkutan dan
distribusi linen bersih. Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk
mengurangi risiko infeksi pada pasien, petugas dan lingkungan dilakukan
menyeluruh dan sistematis agar mencegah kontaminasi, di bawah tanggung jawab
lnstalasi Laundry berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Jenis linen di RS
diklasifikasikan menjadi linen bersih, linen steril, linen kotor infeksius, linen
kotor non infeksius (linen kotor berat dan linen kotor ringan). Pencegahan
kontaminasi lingkungan maupun pada petugas dilakukan dengan disinfeksi kereta
linen, pengepelan/disinfeksi lantai, implementasi praktik kebersihan tangan,
penggunaan APD sesuai potensi risiko selama bekerja (Pedoman PPIRS RSUP
HAM, 2012).
Prinsip-prinsip dasar pengelolaan linen adalah sebagai berikut: linen yang
sudah digunakan tempatkan di tas yang tepat, linen kotor dengan cairan tubuh
atau cairan lain tempatkan dalam tas kedap air yang cocok dan aman untuk
transportasi untuk menghindari tumpahan atau menetes darah, cairan tubuh,
sekresi atau ekskresi. Jangan membilas atau memilah linen di daerah perawatan
pasien. Handle semua linen dengan agitasi minimum untuk menghindari
aerosolisation daripatogen mikro-organisme. Separate bersih dari linen kotor dan
transportasi secara terpisah.Pencucian linen (seprai, selimut kapas) dalam air
panas (70 ° C hingga 80 ° C)dan deterjen, bilas dan keringkan sebaiknya dalam
pengeringan atau di bawah sinar matahari. Autoclave linen sebelum dipasok ke
kamar operasi. Pencucian selimut wol dalam air hangat dan keringkan di bawah
Universitas Sumatera Utara
sinar matahari, di pengering pada suhu dingin atau kering-bersih (WHO, 2004).
6) Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) petugas di RS
Kesehatan dan keselarnatan kerja petugas di RS terkait risiko penularan
infeksi karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas yang mengidap
penyakit menular dilaksanakan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI
RS. Pencegahan penularan infeksi pada dan dari petugas dilakukan dengan
pengendalian administratif untuk petugas yang rentan tertular infeksi ataupun
berisiko menularkan infeksi dikoordinasikan Unit K3 RS bersama Komite PPI RS
dan Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) berupa penataan penempatan SDM,
pemberian imunisasi, dan sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat risiko tinggi
infeksi. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas
dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan prakarya dan berkala sesuai faktor risiko
di tempat kerja. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan penggunaan alat
pelindung diri petugas dari risiko infeksi yang berupa alat/ bahan tidak habis pakai
dikelola Unit K3 RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Unit K3RS
berkoordinasi dengan Komite PPI RS mengembangkan panduan dan menyusun
standar pelaporan dan penanganan kejadian kecelakaan kerja terkait pajanan
infeksi, mensosialisasikan, memonitor pelaksanaan, serta melakukan evaluasi
kasus dan menyusun rekomendasi tindaklanjutnya. Surveilans pada petugas dan
pelaporannya dilakukan secara teratur, berkesinambungan, periodik oleh unit
K3RS berkoordinasi dengan PPI RS.
Universitas Sumatera Utara
Petugas kesehatan berada pada risiko tertular infeksi melalui karyawan
Rumah Sakit. Ketika bekerja juga dapat menularkan infeksi ke pasien dan
karyawan lainnya. Dengan demikian, program kesehatan karyawan harus berada
di tempat untuk mencegah dan mengelola infeksi pada staf rumah sakit. kesehatan
karyawan harus ditinjau pada perekrutan, termasuk riwayat imunisasi dan
penyakit menular sebelumnya (Misal TBC) dan status kekebalan. Beberapa
infeksi sebelumnya seperti virus varicella-zoster dapat dinilai dengan uji
serologis. Imunisasi dianjurkan untuk staf meliputi: hepatitis A dan B, influenza,
campak, gondok, rubella, tetanus, dan difteri. Imunisasi terhadap varicella, rabies
dapat dipertimbangkan dalam kasus-kasus tertentu. Mantoux tes kulit akan
mendokumentasikan tuberkulosis sebelumnya (TB). Kebijakan pasca-paparan
spesifik harus dikembangkan, dan kepatuhan dipastikan untuk sejumlah penyakit
menular misalnya : Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus hepatitis,
sindrom pernapasan akut parah (SARS), varicella, rubella dan TBC. Pekerja
perawatan kesehatan dengan infeksi harus melaporkan penyakit mereka/insiden
untuk staf klinik untuk evaluasi dan pengelolaan selanjutnya (WHO, 2004).
Bolyard EA, et al. (1998) mengatakan fasilitas kesehatan harus memiliki
program pencegahan dan pengendalian infeksi bagi petugas kesehatan. Depkes
RI, (2007) menyatakan bahwa petugas kesehatan saat menjadi karyawan baru
harus diperiksa riwayat pernah infeksi apa dan status imunisasinya. Imunisasi
yang dianjurkan untuk petugas kesehatan adalah
Hepatitis
B,
dan
bila
memungkinkan A, influenza, campak, tetanus, difteri, dan rubella.
Universitas Sumatera Utara
7) Penempatan pasien/Kewaspadaan pasien
Penanganan pasien dengan penyakit menular/suspek sebagai berikut : 1)
Terapkan dan lakukan pengawasan terhadap kewaspadaan standar. Untuk
kasus/dugaan kasus penyakit menular melalui udara, 2) Letakkan pasien di dalam
satu ruangan tersendiri. Jika ruangan tersendiri tidak tersedia, kelompokkan kasus
yang telah dikonfirmasi secara terpisah di dalam ruangan atau bangsal dengan
beberapa tempat tidur dari kasus yang belum dikonfirmasi atau sedang didiagnosis
(kohorting). Bila ditempatkan dalam 1 ruangan, jarak antar tempat tidur harus
lebih dari 2 meter dan diantara tempat tidur harus ditempatkan penghalang fisik
seperti tirai atau sekat, 3) Jika memungkinkan, upayakan ruangan tersebut dialiri
udara bertekanan negatif yang di monitor (ruangan bertekanan negatif) dengan 612 pergantian udara per jam dan sistem pembuangan udara keluar atau
menggunakan saringan udara partikufasi efisiensi tinggi (filter HEPA) yang
termonitor sebelum masuk ke sistem sirkulasi udara lain di rumah sakit, 4) Jika
tidak tersedia ruangan bertekanan negatif dengan sistem penyaringan udara
partikulasi efisiensi tinggi, buat tekanan negatif di dalam ruangan pasien dengan
memasang pendingin ruangan atau kipas angin di jendela sedemikian rupa agar
aliran udara ke luar gedung melalui jendela. Jendela harus membuka keluar dan
tidak mengarah ke daerah publik. Uji untuk tekanan negatif dapat dilakukan
dengan menempatkan sedikit bedak tabur dibawah pintu dan amati apakah
terhisap ke dalam ruangan. Jika diperlukan kipas angin tambahan di dalam
ruangan dapat meningkatkan aliran udara, 5) Jaga pintu tertutup setiap saat dan
jelaskan kepada pasien mengenai perlunya tindakan- tindakan pencegahan ini, 6)
Universitas Sumatera Utara
Pastikan setiap orang yang memasuki ruangan memakai APD yang sesuai, masker
(bila memungkinkan masker efisiensi tinggi harus digunakan, bila tidak, gunakan
masker bedah sebagai alternatif), gaun, pelindung wajah atau pelindung mata dan
sarung tangan, 7) Pakai sarung tangan bersih, non-steril ketika masuk ruangan, 8)
Pakai gaun yang bersih, non-steril ketika masuk ruangan jika akan berhubungan
dengan pasien atau kontak dengan permukaan atau barang-barang di dalam
ruangan.
Pertimbangan pada saat penempatan pasien antara lain : 1) Kamar terpisah
bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan, misal: luka lebar
dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol, 2) Kamar terpisah dengan
pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui udara ke kontak, misal: luka dengan
infeksi kuman gram positif, 3) Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi
dibuang keluar dengan exhaust ke area tidak ada orang lalu lalang, misal : TBC,
4) Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi airborne luas,
misal: varicella, 5) Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan
(anak, gangguan mental), 6) Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat
kohorting. Bila pasien terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien,
petugas dan pengunjung menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi
(Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
8) Hygiene respirasi/Etika batuk
Etika
batuk
merupakan
suatu
teknik
yang
dirancang
untuk
meminimalkan penularan patogen pernapasan melalui rute droplet atau udara
Universitas Sumatera Utara
(CDC, 2012). Kebersihan pernafasan dan etika batuk adalah dua cara penting
untuk mengendalikan penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien,
pengunjung dan petugas kesehatan harus dianjurkan untuk selalu mematuhi etika
batuk dan kebersihan pernafasan untuk mencegah sekresi pernafasan. Ada
beberapa hal yang harus dilakukan saat batuk atau bersin yaitu : 1) Tutup hidung
dan mulut dengan tisu, 2) Buang jaringan yang digunakan dalam wadah limbah
terdekat, 3) Lakukan kebersihan tangan dengan sabun dan air atau larutan
antiseptik (Depkes RI, 2008).
9) Praktek menyuntik yang aman
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam praktek menyuntik yang aman
berdasarkan WHO (2004) sebagai berikut : 1) Berhati-hati untuk mencegah cedera
saat menggunakan jarum, pisau bedah dan instrumen atau peralatan tajam lainnya,
2) Gunakan jarum suntik sekali pakai, pisau bedah dan benda tajam lainnya, 3)
Tempatkan item benda tajam dalam wadah tahan tusukan dengan tutup yang
menutup dan terletak dekat dengan daerah di mana item tersebut digunakan, 4)
Berhati-hati ketika membersihkan instrumen atau peralatan tajam yang dapat
digunakan kembali, 6) Benda tajam harus tepat desinfeksi dan dimusnahkan
sesuai pedoman atau standar nasional. Sedangkan untuk penanganan benda tajam
menurut Tietjen (2004) yaitu: 1) Tidak disarankan untuk menyarungkan kembali
atau melepaskan spuit, 2) Memasukkan benda- benda tajam tersebut ke dalam
wadah sebelum diinsersi. Daley & Karen (2004) menjelaskan Center for Disease
Control (CDC) memperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka
Universitas Sumatera Utara
akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan di rumah
sakit di Amerika. Pekerja kesehatan beresiko terpapar darah dan cairan tubuh
yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan infeksi HBV
(Hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan HIV (Human Imunodefisiensi
Virus) melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau yang
dikenal dengan istilah Needle Stick Injury (NSI).
10) Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.
Pemakaian masker pada insersi cateter atau injeksi suatu obat kedalam
area spinal epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan anastesi
spinal dan epidural, myelogram, untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring
(WHO, 2004). Schulz-Stubnerr (2008) dalam Masloman (2015) menyatakan
infeksi yang terjadi akibat pemberian anestesi spinal di kamar operasi sangat
berbahaya dari 100.000 prosedur anestesi spinal didapatkan angka kejadian
meningitis yang berhubungan dengan pemberian anestesi spinal sebesar 3,7-7,2.
Sedangkan kejadian epidural abses berkisar antara 0,2 sampai 83/100.000
prosedur anestesi spinal. Kebersihan tangan dan pemakaian alat pelindung diri
sebelum melakukan pemberian anestesi spinal merupakan salah satu cara
yang penting untuk menekan angka kejadian infeksi saat pemberian anestesi
spinal.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Kewaspadaan berdasarkan cara penularan
WHO (2004) bahwa kewaspadaan tambahan (berdasarkan transmisi)
tindakan pencegahan yang diambil sambil memastikan tindakan pencegahan
standar
dipertahankan
adalah
tindakan
pencegahan
tambahan
meliputi:
pencegahan airborne, pencegahan droplet dan pencegahan kontak.
Tindakan pencegahan airborne berikut harus diambil : tempatkan pasien di
satu ruangan yang memiliki aliran udara tekanan negatif dan dipantau, udara harus
dibuang ke luar rumah atau khusus disaring sebelum diedarkan ke area lain dari
fasilitas pelayanan kesehatan, pintu harus ditutup,setiap yang memasuki ruangan
harus memakai pakaian khusus, filtrasi tinggi, memakai masker, batasi gerakan
dan transportasi pasien dari kamar untuktujuan penting saja. Jika transportasi
diperlukan, meminimalkan penyebaran droplet nuklei dengan penggunaan masker
pada pasien dengan masker bedah.
Tindakan pencegahan droplet berikut harus diambil : tempatkan di satu
ruangan (di sebuah ruangan dengan pasien laindengan pasien terinfeksi oleh
patogen yang sama), gunakan masker bedah ketika bekerja dalam waktu 1-2 meter
dari pasien, gunakan masker bedah pada pasien jika transportasi diperlukan,
penanganan udara dan ventilasi tidak diperlukan untuk mencegah droplet
penularan infeksi.
Tindakan pencegahan kontak berikut harus diambil : tempatkan di satu
ruangan (di sebuah ruangan dengan pasien laindengan pasien terinfeksi oleh
Universitas Sumatera Utara
patogen yang sama), Pertimbangkan epidemiologi dari penyakit dan populasi
pasien saat menentukan penempatan pasien, pakaian bersih, sarung tangan non steril ketika memasuki ruangan, gunakan gaun non - steril bersih ketika memasuki
ruangan jika kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau item dalam kamar
pasien diantisipasi, batasi gerakan dan transportasi pasien dari ruangan, pasien
harus dipindahkan untuk tujuan penting saja. Jika transportasi diperlukan
gunakan tindakan pencegahan untuk meminimalkan risiko penularan.
2.1.6 Surveilans
Surveilans lnfeksi RS (lRS) menurut Haley (1992); Pearl (1993); Depkes,
(2001), dilakukan secara sistematik aktif oleh IPCN yaitu perawat pengendali
infeksi purna waktu dan IPCLN yaitu perawat penghubung pengendali infeksi,
untuk menggambarkan tingkat kejadian berbagai penyakit infeksi target sesuai
pedoman surveilans IRS Kemenkes dan penyakit infeksi endemis di RS, target
surveilans yaitu : lSK terkait kateterisasi, infeksi luka operasi, plebitis lRS, dan
dekubitus, Ventilator Associated Pneumonia (VAP) & Hospital Associated
Pneumonia (HAP), Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) dan diare.
Menurut Haley (1992); Pearl (1993); Depkes (2001) bahwa unsur-unsur
kegiatan surveilans meliputi : 1) Merumuskan kejadian yang akan diamati yaitu
kriteria jenis infeksi nosokomial, 2) Mengumpulkan data yang relevan
secara
sistematik, 3) Mengolah dan menganalisa data sehingga mempunyai makna, 4)
Menyebarkan informasi dari analisa data yang diperoleh kepada seluruh
Universitas Sumatera Utara
anggota rumah sakit dalam rangka program pencegahan dan pengendalian
infeksi.
2.2 Tugas IPCLN
Menurut Depkes RI & PERDALIN (2008) bahwa tugas IPCLN adalah
mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit rawat inap
masing-masing, kemudian menyerahkan nya kepada IPCN. Memberikan motivasi dan
teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan pengendalian infeksi pada
setiap personil ruangan di unit rawatnya masing-masing. Memberitahukan kepada IPCN
apabila ada kecurigaan adanya infeksi nosokomial pada pasien. Berkoordinasi dengan
IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan bagi pengunjung di ruang
rawat masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum faham.
Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan standar isolasi.
2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial yang
dikemukakan Darmadi (2008) adalah: 1) Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang
berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas
pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya),
peralatan, dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator,
kain/doek, kassa, dan lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti
ruangan /bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan
lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan
Universitas Sumatera Utara
sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap
saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu
kamar/ruangan/bangsal
perawatan
dapat
merupakan
sumber
penularan),
pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber
penularan), 2) Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors)
seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya
penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya 3). Faktor
keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya standar
pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan, 4) Faktor
mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak
jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan
(reservoir) dengan penderita. Green (1990) menyebutkan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah pengetahuan. CDC (2012)
memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial dapat dicegah bila semua
petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi
ketika merawat pasien dan lingkungan rumah sakit. Menurut Rubin R. (2006)
bekerja dengan sumber daya manusia dan peralatan yang terbatas mempunyai
risiko 10 kali terjadi infeksi nosokomial. Ketersediaan fasilitas merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan termasuk faktor pemungkin
(Green,1990).
Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi
nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002). Perawat sangat
berperan dalam pengendalian infeksi sebab perawat merupakan praktisi
Universitas Sumatera Utara
kesehatan yang berhubungan langsung dengan klien dan bahan infeksius di
ruang rawat. Perawat juga bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di
RS melalui pencegahan kecelakaan, cidera, atau trauma lain, dan melalui
pencegahan penyebaran infeksi (Abdellah 1960). Kepala ruangan (karu) perlu
terus menerus membina stafnya agar program pengendalian infeksi nosokomial
(IN) berjalan sesuai kesepakatan. Namun, tampaknya belum semua karu memahami
upaya tersebut secara tepat. Ini tercermin dari belum optimalnya upaya karu dalam
meningkatkan upaya pengendalian IN di ruangannya, khususnya dalam menjalankan
peran dan fungsi karu sebagai bagian dari tim PPIRS. Hal inilah yang mendorong
perlu adanya telaah lebih lanjut terhadap upaya karu dalam pengendalian IN,
(Handiyani et al. 2004).
2.4
Konsep Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal
dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari
akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu
terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti
cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang
menampakkan.
Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu
“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,
fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam
kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih
Universitas Sumatera Utara
dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang
murni (Moeryadi, 2009).
Menurut Donny (2005) fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi
kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran.
Fenomenologi juga merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki
pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk
memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada
dengan
langkah-langkah
logis,
sistematis
kritis,
tidak
berdasarkan
apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya
digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.
Smith et al. (2009) melakukan penelitian fenomenologi, melibatkan
pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep
utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang
muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas
yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti.
Ada dua jenis penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan
fenomenologi interpretif (Polit dan Beck, 2008).
Pertama, fenomenologi deskriptif dikembangkan oleh Husserl pada tahun
1962. Jenis penelitian ini menekankan pada deskripsi pengalaman yang dialami
oleh manusia berdasarkan apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat,
dievaluasi, dilakukan, dan seterusnya. Fokus utama fenomenologi deskriptif
Universitas Sumatera Utara
adalah „knowing’. Penelitian ini memiliki empat langkah, yaitu bracketing,
intuiting, analyzing, dan describing.
Bracketing merupakan proses mengidentifikasi dan membebaskan diri dari
teori-teori yang diketahuinya serta menghindari perkiraan-perkiraan dalam upaya
memperoleh data yang murni. Intuting merupakan langkah kedua dimana peneliti
tetap terbuka terhadap makna yang dikaitkan dengan fenomena yang dialami oleh
partisipan. Analyzing merupakan proses analisa data yang dilakukan melalui
beberapa fase seperti; mencari pernyataan-pernyataan signifikan kemudian
mengkategorikan dan menemukan makna esensial dari fenomena yang dialami.
Describing merupakan tahap terakhir dalam fenomenologi deskriptif. Langkah ini
peneliti membuat narasi yang luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti.
Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif
adalah Collaizi (1978a), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga
fenomenologis tersebut berpedoman pada Filosofi Husserl yang mana fokus
utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena.
Kedua, Interpretive Phenomenology dengan mempunyai pemahaman dan
interpretif (penafsiran), tidak sekedar deskripsi pengalaman manusia. Pengalaman
hidup manusia merupakan suatu proses interpretif dan pemahaman yang
merupakan ciri dasar keberadaan manusia. Penelitian interpretif bertujuan untuk
menemukan pemahaman dari makna pengalaman hidup dengan cara masuk ke
dalam dunia partisipan. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman setiap
bagian dan bagian-bagian secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
Polit & Beck ( 2008) menyatakan Van Manen adalah ahli fenomonelogi
interpretif yang berpedoman pada filosofi Heiddegrian. Metode analisis datanya
menggunakan kombinasi karakteristik pendekatan fenomenologi deskriptif dan
interpretif.
Van Manen (2006) dalam Polit dan Beck (2008) menekankan bahwa
pendekatan metode fenomenologi tidak terpisahkan dari praktik menulis.
Penulisan hasil analisa kualitatif merupakan suatu upaya aktif untuk memahami
dan mengenali makna hidup dari fenomena yang diteliti yang dituangkan dalam
bentuk teks tertulis. Teks tertulis yang dibuat oleh peneliti harus dapat
mengarahkan pemahaman pembaca dalam memahami fenomena tersebut. Van
Manen juga mengatakan identifikasi tema dari deskripsi partisipan tidak hanya
diperoleh dari teks tertulis hasil transkrip wawancara, tetapi juga dapat diperoleh
dari sumber artistik lain seperti literatur, musik, lukisan, dan seni lainnya yang
dapat menyediakan wawasan bagi peneliti dalam melakukan interpretasi dan
pencarian makna dari suatu fenomena.
Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan penelitian kualitatif termasuk
fenomenologi
perlu
ditingkatkan
kualitas
dan
integritas
dalam
proses
penelitiannya. Oleh karena itu, perlu diperiksa bagaimana tingkat keabsahan data
pada penelitian kualitatif termasuk fenomenologi. Tingkat keabsahan data dikenal
dengan istilah Trustworthiness of Data.
Universitas Sumatera Utara
Guba & Lincoln (1994) menyatakan bahwa tingkat keabsahan data hasil
penelitian dapat dipercaya dengan memvalidasi data menurut beberapa kriteria,
yaitu credibility, transferability, dependability, confirmability dan authenticity.
Credibility mengacu pada keyakinan kebenaran data dan interpretasi data.
Peneliti kualitatif harus berusaha untuk membangun kepercayaan dalam
kebenaran temuan bagi peserta dan konteks penelitian. Kredibilitas melibatkan
dua aspek: pertama, melakukan penelitian dengan cara yang dapat meningkatkan
kepercayaan dari temuan, dan kedua, mengambil langkah-langkah untuk
menunjukkan kredibilitas dalam laporan penelitian. Beberapa teknik yang dapat
dilakukan peneliti untuk mempertahankan credibility antara lain teknik prolonged
engagement dan member check.
Transferability mengacu pada sejauh mana hasil temuan dapat ditransfer
atau diterapkan pada kelompok atau populasi yang lain. Hal ini bergantung pada
pengetahuan seorang peneliti tentang konteks pengirim dan konteks penerima.
Peneliti akan menguraikan secara rinci tentang data terkait dengan latar belakang
dan fenomena yang terjadi serta temuan di tempat penelitian untuk
memungkinkan perbandingan yang akan dibuat tentang temuan yang akan
didapat. Semua data tersebut dibuat dalam satu deskripsi tebal (thick description)
untuk memungkinkan seseorang tertarik dalam membuat transfer untuk mencapai
kesimpulan apakah transfer dapat dipikirkan sebagai kemungkinan.
Dependability mengacu pada stabilitas (reliability) data dari waktu ke
waktu dan kondisi. Artinya bahwa jika pekerjaan itu diulang dalam konteks yang
sama, dengan metode yang sama dan dengan peserta yang sama maka hasil yang
Universitas Sumatera Utara
sama akan diperoleh. Peneliti melaporkan secara detail setiap proses penelitian
kepada pembimbing untuk menilai apakah proses dan hasil yang diperoleh sudah
sesuai sehingga data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat lebih objektif.
Confirmability mengacu pada objektifitas atau netralitas data, dimana
tercapai persetujuan antara dua orang atau lebih tentang relevansi dan arti data.
Kriteria ini berkaitan dengan penetapan bahwa data merupakan informasi yang
disediakan partisipan, dan interpretasi data tersebut tidak diciptakan oleh peneliti.
Temuan penelitian harus mencerminkan suara peserta dan kondisi sebenarnya,
bukan bias peneliti, motivasi atau perspektif. Confirmability tercapai jika peneliti
dapat meyakinkan orang lain bahwa data yang dikumpulkan adalah data yang
objektif, seperti apa adanya di lapangan.
Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti dengan adil dan dengan
tepat menunjukkan kenyataan yang terjadi. Keaslian muncul dalam laporan ketika
laporan tersebut dapat menyampaikan perasaan partisipan sebagaimana mereka
hidup. Sebuah teks memiliki keaslian jika dapat mengajak pembaca merasakan
sebuah pengalaman kehidupan yang digambarkan, dan memungkinkan pembaca
untuk mengembangkan kepekaan yang meningkat dengan masalah yang
digambarkan. Ketika teks mencapai keaslian, pembaca lebih mampu memahami
kehidupan yang digambarkan “in the round” dengan berbagai suasana hati,
perasaan, pengalaman, bahasa dan konteks hidup.
Universitas Sumatera Utara
2.5
Kerangka Teori Penerapan Manajemen Pengendalian Infeksi Dengan
Kewaspadaan Standar, Kewaspadaan Berdasarkan Cara Penularan
dan Surveilans.
Adapun kerangka teori penerapan manajemen pengendalian infeksi yang
akan diteliti yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
(Huber, 2010), terkait dengan kewaspadaan standar meliputi kebersihan tangan,
APD, perawatan peralatan pasien, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan
pasien dan penatalaksanaan linen, kesehatan karyawan, Penempatan pasien, etika
batuk, praktek menyuntik yang aman, praktek pencegahan infeksi untuk prosedur
lumbal pungsi, kemudian kewaspadaan berdasarkan cara penularan meliputi
pencegahan airborne, droplet dan kontak (WHO, 2004) dan surveilans meliputi
merumuskan kejadian, mengumpulkan data, menganalisa data, dan menyebarkan
informasi (Haley, 1992; Pearl, 1993; Depkes, 2001) yang merupakan bagian dari
program pengendalian infeksi yang sudah diterapkan di RSUP H. Adam Malik
Medan.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi deskriptif untuk
mengekplorasi pengalaman perawat dalam menerapkan manajemen pengendalian
infeksi di RSUP H. Adam Malik Medan. Dari pengertian diatas dapat
digambarkan melalui kerangka teori sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Manajemen
pengendalian
infeksi :
perencanaan,
pengorganisasi
an, pengarahan
dan
pengawasan
Berdasarkan
kewaspadaan
standar (WHO, 2004) terdiri
dari : Kebersihan tangan, APD,
Perawatan
peralatan
pasien,
Pengendalian
lingkungan,
Pemrosesan peralatan pasien dan
penatalaksanaan linen, Kesehatan
karyawan, Penempatan pasien,
Etika batuk, Praktek menyuntik
yang aman, Praktek pencegahan
infeksi untuk prosedur lumbal
pungsi.
Pengalaman
perawat
Kewaspadaan Berdasarkan Cara Penularan :
Pencegahan airborne, droplet dan kontak (WHO, 2004)
Surveilans Meliputi :
Merumuskan kejadian, Mengumpulkan
data, Menganalisa data, Menyebarkan
informasi. (Haley, 1992; Pearl, 1993;
Depkes, 2001)
Skema 2.1
Kerangka Teori Manajemen Pengendalian Infeksi Dengan
Kewaspadaan Standar, Kewaspadaan Berdasarkan Cara
Penularan dan Surveilans.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Manajemen Pengendalian Infeksi
2.1.1 Definisi
Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno yang artinya seni dalam
melaksanakan dan mengatur. Proses manajemen adalah rangkaian kegiatan input,
proses, dan output yang dibagi dalam empat tahap yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan yang merupakan siklus yang
berkaitan satu sama lain (Huber, 2010). Perencanaan merupakan fungsi untuk
menyusun langkah dan strategi dalam mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan (Gillis, 1999). Pengorganisasian adalah pengidentifikasian kebutuhan
organisasi dari pernyataan misi kerja yang dilakukan, dan menyesuaikan desain
organisasi dan struktur untuk memenuhi kebutuhan (Swansburg RC, 2000).
Prinsip pengarahan meliputi membina kepercayaan, mengidentifikasi motivasi,
potensi dan tujuan memberikan dukungan, delegasi dan otonom (Marquis dan
Huston, 2012). Sedangkan prinsip pengawasan adalah memastikan pelaksanaan
pekerjaan sesuai rencana sehingga harus ada perencanaan tertentu dan instruksi
serta wewenang kepada bawahan dengan demikian manajer diharapkan mampu
merefleksikan sifat-sifat dan kebutuhan dari aktifitas yang harus dievaluasi dan
dapat dengan segera melaporkan penyimpangan-penyimpangan (Huber, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian infeksi adalah mengendalikan penyebaran agen penyebab
penyakit dengan melakukan prosedur tertentu. Pengendalian infeksi adalah
seperangkat kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk meminimalkan resiko
penyebaran infeksi, terutama di luar kesehatan, melainkan juga harus menjadi
bagian penting dari kehidupan pribadi kita, terutama di rumah kita (Miller dan
Palenik, 2003).
Depkes RI (2007) menyatakan pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial adalah program yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan serta pembinaan dalam upaya menurunkan angka kejadian infeksi
nosokomial di rumah sakit dan yang bertanggungjawab terhadap tugas tersebut
adalah komite/panitia pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit yang
dibentuk oleh kepala rumah sakit.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) adalah
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta
pembinaan dalam upaya menurunkan angka kejadian Infeksi Rumah Sakit (IRS)
pada pasien atau petugas rumah sakit dan mengamankan lingkungan rumah sakit
dari resiko transmisi infeksi yang dilaksanakan melalui manajemen resiko, tata
laksana klinik yang baik dan pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja RS
(Kebijakan RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Hal ini didukung dengan adanya
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/III/2007 tentang pedoman
manajerial pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan serta
Keputusan
Menkes
Nomor
381/Menkes/III/2007
mengenai
pedoman
Universitas Sumatera Utara
pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan.
Dan kebijakan
direktur utama RSUP H. Adam Malik Medan nomor : LB.02.01/ I / 2136 / 2009
tentang Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
2.1.2 Tujuan pengendalian infeksi
Program pencegahan dan pengendalian infeksi bertujuan untuk melindungi
pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan lain - lain di dalam lingkungan rumah
sakit serta penghematan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit
dan fasilitas kesehatan lainnya dan yang paling penting adalah menurunkan angka
kejadian infeksi nosokomial (Scheckler et al. 1998).
2.1.3 Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi
Menurut Depkes RI (2008) strategi pencegahan dan pengendalian infeksi
terdiri dari: 1) Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat
meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B),
pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum
termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh, 2) Inaktivasi
agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan metode
fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau
Sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk
klorinasi air, disinfeksi, 3) Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara
yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya
sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang
Universitas Sumatera Utara
telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu Isolation
Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua pilar/tingkatan yaitu
Standard
Precautions
Precaution
(Kewaspadaan
(Kewaspadaan
Standar)
Berdasarkan
Cara
dan
Transmission-based
Penularan),
4)
Tindakan
pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/ PEP) terhadap petugas
kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang
ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka
tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.
2.1.4 Kewaspadaan standar (Standard precautions)
Berdasarkan
WHO
(2004)
kewaspadaan
standar
adalah
prinsip
kewaspadaan sebagai bagian manajemen resiko pada pengendalian infeksi RS
yang dilaksanakan secara menyeluruh oleh setiap petugas berdasarkan
perhitungan besar resiko transmisi infeksi yang dihadapi pada setiap pelayanan
rawat jalan maupun rawat inap untuk melindungi pasien, petugas, pengunjung
maupun lingkungan RS. Prinsip kewaspadaan standar meliputi : Kebersihan
tangan, APD, Perawatan peralatan pasien, Pengendalian lingkungan, Pemrosesan
peralatan pasien dan penatalaksanaan linen, Kesehatan karyawan/Perlindungan
petugas kesehatan, Penempatan pasien, Hygiene respirasi/Etika batuk, Praktek
menyuntik yang aman, Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.
Universitas Sumatera Utara
1) Kebersihan tangan
Menurut WHO (2004) kebersihan tangan yang tepat dapat meminimalkan
mikro-organisme yang diperoleh dari tangan selama tugas sehari-hari dan ketika
ada kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan peralatan yang
terkontaminasi dikenal dan tidak dikenal. Ada enam langkah dalam kebersihan
tangan sebagai berikut : 1) Gosokkan kedua telapak tangan, 2) Gosok punggung
tangan kiri dengan telapak tangan kanan, lakukan sebaliknya, 3) Gosokkan kedua
telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang, 4) Gosok ruas
jari
tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan, lakukan sebaliknya, 5) Gosok ibu jari
tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar, lakukan sebaliknya, 6)
Gosokkan semua ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri, lakukan
sebaliknya.
Berdasarkan pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) ada lima momen untuk
kebersihan tangan yaitu : 1) Sebelum menyentuh pasien, 2) Sebelum prosedur
bersih/aseptik, 3) Setelah terpapar cairan tubuh, 4) Setelah menyentuh pasien, 5)
Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien. Sedangkan menurut Depkes RI
(2008) penggunaan handrub antiseptik untuk tangan yang bersih lebih efektif
membunuh flora residen dan flora transien. Antiseptik ini cepat dan mudah
digunakan serta menghasilkan penurunan jumlah flora tangan awal yang lebih.
Teknik untuk rnenggosok tangan dengan antiseptik : 1) Tuangkan secukupnya
handrub berbasis alkohol untuk dapat mencakup seluruh permukaan tangan dan
jari (kira-kira satu sendok teh), 2) Gosokkan larutan dengan teliti dan benar pada
Universitas Sumatera Utara
kedua belah tangan, khususnya diantara jari-jemari dan di bawah kuku hingga
kering.
2) Alat Pelindung Diri
Menurut WHO (2004) penggunaan alat pelindung diri memberikan
penghalang fisik antara mikro - organisme dan pemakainya. Alat pelindung diri
meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung mata (pelindung wajah dan kaca
mata), topi, gaun, apron, sepatu dan pelindung lainnya. Alat pelindung diri harus
digunakan oleh : 1) Petugas kesehatan yang memberikan perawatan langsung
kepada pasien dan yang bekerja dalam situasi di mana mereka mungkin memiliki
kontak dengan cairan darah, tubuh, ekskresi atau sekresi, 2) Staf dukungan
termasuk pembantu medis, pembersih, dan staf laundry di situasi di mana mereka
mungkin memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi, 3)
Staf laboratorium yang menangani spesimen pasien dan 4) Anggota keluarga yang
memberikan perawatan kepada pasien dan berada dalam situasi di mana mereka
mungkin memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi.
Berdasarkan Depkes RI (2008) pedoman umum alat pelindung diri sebagai
berikut : 1) Tangan harus selalu dibersihkan meskipun menggunakan APD, 2)
Lepas dan ganti bila perlu segala perlengkapan APD yang dapat digunakan
kembali yang sudah rusak atau sobek segera setelah anda mengetahui APD
tersebut tidak berfungsi optimal, 3) Lepaskan semua APD sesegara mungkin
setelah selesai memberikan pelayanan dan hindari kontaminasi terhadap : a)
Lingkungan di luar ruang isolasi, b) Para pasien atau pekerja lain, c) Diri anda
Universitas Sumatera Utara
sendiri, 4) Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera
membersihkan tangan : a) Perkirakan risiko terpajan cairan tubuh sesuai atau area
terkontaminasi sebelum melakukan kegiatan perawatan kesehatan, b) Pilih APD
dengan perkiraan risiko terjadi pajanan, c) Menyediakan sarana APD bila
emergensi dibutuhkan untuk dipakai.
Pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) menyatakan prinsip-prinsip PPI yang
perlu diperhatikan pada pemakaian APD yaitu : 1) Gaun pelindung, tutupi badan
sepenuhnya dan leher hingga lutut, lengan hingga bagian pergelangan tangan dan
selubungkan ke belakang punggung, ikat di bagian belakang leher dan pinggang,
2) Masker, eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala dan leher,
paskan klip hidung dan logam fleksibel pada batang hidung, paskan dengan erat
pada wajah dan di bawah dagu sehingga melekat dengan baik, periksa ulang
pengepasan masker, 3) Kacamata atau pelindung wajah, pasang pada wajah dan
mata dan sesuaikan agar pas, 4) Sarung tangan ditarik hingga menutupi bagian
pergelangan tangan gaun isolasi. Masloman et al. (2015) menyatakan beberapa
faktor yang mempengaruhi petugas kesehatan menggunakan APD dalam
menjamin keselamatannya sebelum bersentuhan dengan pasien dan melakukan
tindakan yaitu motivasi, perilaku, kebiasaan maupun ketersediaan APD tersebut.
Sedangkan menurut Green (1990) menyatakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepatuhan dan termasuk faktor pemungkin adanya ketersediaan
fasilitas.
Universitas Sumatera Utara
3) Sterilisasi alat
Menurut Depkes (2003) pengelolaan alat-alat kesehatan bertujuan untuk
mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat
tersebut dalam keadaan steril dan siap pakai.
WHO (2004) bahwa pengolahan ulang instrumen dan peralatan, berisiko
infeksi mentransfer dari instrumen dan peralatan tergantung pada faktor-faktor
berikut : 1) Adanya mikro-organisme, jumlah dan virulensi organisme, 2) Jenis
prosedur yang akan dilakukan (invasif atau non-invasif), 3) Bagian tubuh mana
instrumen atau peralatan yang akan digunakan (menembus jaringan mukosa atau
kulit atau digunakan pada kulit utuh). Pengolahan ulang instrumen dan peralatan
dengan cara yang efektif meliputi: 1) Pembersihan instrumen dan peralatan segera
setelah digunakan untuk menghapus semua bahan organik, bahan kimia, 2)
Disinfeksi (oleh panas dan air atau disinfektan kimia), 3) Sterilisasi.
Sterilisasi alat/instrumen kesehatan pasca pakai di RS dilakukan dengan 2
cara yaitu secara fisika atau kimia, melalui tahapan pencucian (termasuk
perendaman dan pembilasan), pengeringan, pengemasan, labeling, indikatorisasi,
sterilisasi, penyimpanan, distribusi diikuti dengan pemantauan dan evaluasi proses
serta kualitas/mutu hasil sterilisasi secara terpusat melalui lnstalasi Pusat
Pelayanan Sterilisasi/Central Sterile Supply Department (CSSD). Pemrosesan alat
instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria alat, dilakukan dengan
sterilisasi untuk alat kritikal, sterilisasi atau Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)
untuk alat semi kritikal, disinfeksi tingkat rendah untuk non kritikal. Kriteria
Universitas Sumatera Utara
pemilihan desinfektan didasari secara cermat terkait kriteria memiliki spektrum
luas dengan daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas rendah, waktu
disinfeksi singkat, stabil dalam penyimpanan, tidak merusak bahan dan efisien.
CSSD
bertanggungjawab
menyusun
panduan
dan
prosedur
tetap,
mengkoordinasikan, serta melakukan monitoring dan evaluasi proses serta
kualitas hasil sterilisasi dengan persetujuan Komite PPI RS.
Alur kerja penyediaan barang steril sebagai berikut : 1) Pengumpulan dan
serah terima/pencatatan alat/bahan non steril, 2) Pengumpulan linen kotor dan di
distribusikan ke laundry, 3) Dekontaminasi, 4) Perendaman/Desinfeksi yang
merupakan proses fisik atau kimia untuk membersihkan benda-benda yang
terkontaminasi oleh mikroba dengan melakukan perendaman sesuai label dan
instruksi produsen, 5) Pencucian semua alat-alat pakai ulang harus dicuci hingga
benar-benar bersih sebelum disterilkan, 6) Pengeringan, sebelum dilakukan setting
alat dan packing alat terlebih dahulu alat-alat dikeringkan yang dilakukan dengan
secara manual atau secara mekanikal, 7) Packing alat/bahan, semua material yang
tersedia untuk fasilitas kesehatan yang didesain untuk membungkus mengemas
dan menampung alat - alat yang dipakai ulang untuk sterilisasi, penyimpanan dan
pemakaian, 8) Labelling, proses identifikasi alat/instrumen sebulum dilakukan
proses sterilisasi (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
4) Pengendalian lingkungan
Menurut WHO (2004) sebuah lingkungan yang bersih memainkan peranan
penting dalam pencegahan dari Hospital Associated Infeksi (HAI). Pengendalian
Universitas Sumatera Utara
lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian serangga dan binatang
pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan, pemantauan hygiene sanitasi
makanan, pemantauan penyehatan linen, disinfeksi permukaan udara, lantai,
pengelolaan limbah cair, limbah B3 limbah padat medis, non medis dikelola oleh
lnstalasi Kesehatan Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama
dengan pihak ketiga, berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi
lingkungan. Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus
sampai dengan pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian Lingkungan
Hidup sebagai limbah infeksius (ditempatkan dalam kantong plastik berwarna
kuning berlogo infeksius), limbah padat tajam (ditempatkan dalam wadah tahan
tusuk, tidak tembus basah dan tertutup). Pengelolaan limbah padat non medis
ditempatkan dalam kantong plastik berwarna hitam.
Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan lingkungan, pemilihan
bahan desinfektan, cara penyiapan dan penggunaannya dilaksanakan berdasarkan
telaah Komite PPI RS untuk mencapai efektivitas yang tinggi. Pernbersihan
lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode usap seluruh permukaan
lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang efektif, Pelaksanaan Panduan
PPI RS dan standar prosedur operasional tentang pengendalian lingkungan,
monitoring dan evaluasinya dilaksanakan oleh Instalasi Kesehatan Lingkungan
bersama sub Bagian Rumah Tangga berkoordinasi dengan komite PPI. Baku mutu
berbagai parameter pengendalian lingkungan dievaluasi periodik dengan
pemeriksaan parameter kimia, biologi surveilans angka dan pola kuman
lingkungan berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990
Universitas Sumatera Utara
tentang persyaratan Kualitas Air Bersih dan Air Minum, Kepmenkes Rl No.
492lMenKes/sKA/ll/2010 tentang persyaratan Kualitas Air Minum, Kepmenkes
Rl No, l204/Menkes/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS.
Tahap Pengelolaan Limbah sebagai berikut : 1) Identifikasi Limbah :
padat, cair, tajam, infeksius, non infeksius, 2) Pemisahan : pemisahan dimulai
dari awal penghasil limbah, pisahkan limbah sesuai dengan jenis limbah,
tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, limbah cair segera dibuang ke wastafel
di spoelhok, 3) Labeling : limbah padat infeksius, plastik kantong kuning yang
diberi symbol biohazard, limbah padat non infeksius, plastik kantong warna
hitam, limbah benda tajam, wadah tahan tusuk dan air /jerigen yang diberi symbol
biohazard, 4) Packing : tempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup mudah
dibuka, kontainer dalam keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan yang kuat,
ringan dan tidak berkarat, 5) Tempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10 20 meter, ikat limbah jika sudah terisi 3/4 penuh, kontainer limbah harus dicuci
setiap hari, 6) Penyimpanan : simpan limbah di tempat penampungan sementara
khusus, tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat, beri label
pada kantong plastik limbah, setiap hari limbah diangkat dari tempat
penampungan sementara, 7) Pengangkutan : mengangkut limbah harus
menggunakan kereta dorong khusus, kereta dorong harus kuat, mudah
dibersihkan, tertutup, tidak boleh ada yang tercecer, sebaiknya lift pengangkut
limbah berbeda dengan lift pasien, gunakan alat pelindung diri ketika menangani
limbah, tempat penampungan sementara harus di area terbuka, terjangkau (oleh
kendaraan), aman dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi kering, 8)
Universitas Sumatera Utara
Treatment : limbah infeksius dimasukkan dalam incenerator, limbah non infeksius
dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), limbah benda tajam dimasukkan
dalam incenerator, limbah cair dalam wastafel di ruang spoelhok, limbah feces
dan urine ke dalam WC yang langsung dialirkan ke IPAL (Instalasi Pengolahan
Air Limbah), 9) Penanganan Limbah Benda Tajam : jangan menekuk atau
mematahkan benda tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang
tempat, segera buang limbah benda tajam ke kontainer yang tersedia tahan tusuk
dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi, selalu buang sendiri oleh si pemakai,
tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai, kontainer benda tajam
diletakkan dekat lokasi tindakan, 10) Penanganan Limbah Pecahan Kaca :
gunakan sarung tangan rumah tangga, gunakan kertas koran untuk mengumpulkan
pecahan benda tajam tersebut, kemudian bungkus dengan kertas, masukkan dalam
kontainer tahan tusukan beri label, 11) Unit Pengelolaan Limbah Cair :
pengolahan limbah cair dengan sistim bakteri Aerob di IPAL (Pedoman PPIRS
RSUP HAM, 2012). Pruss (2005) menyatakan proses pengelolaan limbah medis
pada tahap pemilahan dilakukan oleh perawat dan tahap pengangkutan oleh
petugas kebersihan.
5) Pengelolaan linen
Manajemen linen yang baik merupakan salah satu upaya untuk
menekan kejadian infeksi nosokomial. Selain itu pengetahuan dan perilaku
petugas kesehatan juga mempunyai peran yang sangat penting. Pengelolaan linen
bertujuan mencegah kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada petugas, pasien
Universitas Sumatera Utara
dan lingkungan, meliputi proses pengumpulan, pemilahan, pengangkutan linen
kotor, pemilahan dan teknik pencucian sampai dengan pengangkutan dan
distribusi linen bersih. Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk
mengurangi risiko infeksi pada pasien, petugas dan lingkungan dilakukan
menyeluruh dan sistematis agar mencegah kontaminasi, di bawah tanggung jawab
lnstalasi Laundry berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Jenis linen di RS
diklasifikasikan menjadi linen bersih, linen steril, linen kotor infeksius, linen
kotor non infeksius (linen kotor berat dan linen kotor ringan). Pencegahan
kontaminasi lingkungan maupun pada petugas dilakukan dengan disinfeksi kereta
linen, pengepelan/disinfeksi lantai, implementasi praktik kebersihan tangan,
penggunaan APD sesuai potensi risiko selama bekerja (Pedoman PPIRS RSUP
HAM, 2012).
Prinsip-prinsip dasar pengelolaan linen adalah sebagai berikut: linen yang
sudah digunakan tempatkan di tas yang tepat, linen kotor dengan cairan tubuh
atau cairan lain tempatkan dalam tas kedap air yang cocok dan aman untuk
transportasi untuk menghindari tumpahan atau menetes darah, cairan tubuh,
sekresi atau ekskresi. Jangan membilas atau memilah linen di daerah perawatan
pasien. Handle semua linen dengan agitasi minimum untuk menghindari
aerosolisation daripatogen mikro-organisme. Separate bersih dari linen kotor dan
transportasi secara terpisah.Pencucian linen (seprai, selimut kapas) dalam air
panas (70 ° C hingga 80 ° C)dan deterjen, bilas dan keringkan sebaiknya dalam
pengeringan atau di bawah sinar matahari. Autoclave linen sebelum dipasok ke
kamar operasi. Pencucian selimut wol dalam air hangat dan keringkan di bawah
Universitas Sumatera Utara
sinar matahari, di pengering pada suhu dingin atau kering-bersih (WHO, 2004).
6) Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) petugas di RS
Kesehatan dan keselarnatan kerja petugas di RS terkait risiko penularan
infeksi karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas yang mengidap
penyakit menular dilaksanakan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI
RS. Pencegahan penularan infeksi pada dan dari petugas dilakukan dengan
pengendalian administratif untuk petugas yang rentan tertular infeksi ataupun
berisiko menularkan infeksi dikoordinasikan Unit K3 RS bersama Komite PPI RS
dan Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) berupa penataan penempatan SDM,
pemberian imunisasi, dan sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat risiko tinggi
infeksi. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas
dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan prakarya dan berkala sesuai faktor risiko
di tempat kerja. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan penggunaan alat
pelindung diri petugas dari risiko infeksi yang berupa alat/ bahan tidak habis pakai
dikelola Unit K3 RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Unit K3RS
berkoordinasi dengan Komite PPI RS mengembangkan panduan dan menyusun
standar pelaporan dan penanganan kejadian kecelakaan kerja terkait pajanan
infeksi, mensosialisasikan, memonitor pelaksanaan, serta melakukan evaluasi
kasus dan menyusun rekomendasi tindaklanjutnya. Surveilans pada petugas dan
pelaporannya dilakukan secara teratur, berkesinambungan, periodik oleh unit
K3RS berkoordinasi dengan PPI RS.
Universitas Sumatera Utara
Petugas kesehatan berada pada risiko tertular infeksi melalui karyawan
Rumah Sakit. Ketika bekerja juga dapat menularkan infeksi ke pasien dan
karyawan lainnya. Dengan demikian, program kesehatan karyawan harus berada
di tempat untuk mencegah dan mengelola infeksi pada staf rumah sakit. kesehatan
karyawan harus ditinjau pada perekrutan, termasuk riwayat imunisasi dan
penyakit menular sebelumnya (Misal TBC) dan status kekebalan. Beberapa
infeksi sebelumnya seperti virus varicella-zoster dapat dinilai dengan uji
serologis. Imunisasi dianjurkan untuk staf meliputi: hepatitis A dan B, influenza,
campak, gondok, rubella, tetanus, dan difteri. Imunisasi terhadap varicella, rabies
dapat dipertimbangkan dalam kasus-kasus tertentu. Mantoux tes kulit akan
mendokumentasikan tuberkulosis sebelumnya (TB). Kebijakan pasca-paparan
spesifik harus dikembangkan, dan kepatuhan dipastikan untuk sejumlah penyakit
menular misalnya : Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus hepatitis,
sindrom pernapasan akut parah (SARS), varicella, rubella dan TBC. Pekerja
perawatan kesehatan dengan infeksi harus melaporkan penyakit mereka/insiden
untuk staf klinik untuk evaluasi dan pengelolaan selanjutnya (WHO, 2004).
Bolyard EA, et al. (1998) mengatakan fasilitas kesehatan harus memiliki
program pencegahan dan pengendalian infeksi bagi petugas kesehatan. Depkes
RI, (2007) menyatakan bahwa petugas kesehatan saat menjadi karyawan baru
harus diperiksa riwayat pernah infeksi apa dan status imunisasinya. Imunisasi
yang dianjurkan untuk petugas kesehatan adalah
Hepatitis
B,
dan
bila
memungkinkan A, influenza, campak, tetanus, difteri, dan rubella.
Universitas Sumatera Utara
7) Penempatan pasien/Kewaspadaan pasien
Penanganan pasien dengan penyakit menular/suspek sebagai berikut : 1)
Terapkan dan lakukan pengawasan terhadap kewaspadaan standar. Untuk
kasus/dugaan kasus penyakit menular melalui udara, 2) Letakkan pasien di dalam
satu ruangan tersendiri. Jika ruangan tersendiri tidak tersedia, kelompokkan kasus
yang telah dikonfirmasi secara terpisah di dalam ruangan atau bangsal dengan
beberapa tempat tidur dari kasus yang belum dikonfirmasi atau sedang didiagnosis
(kohorting). Bila ditempatkan dalam 1 ruangan, jarak antar tempat tidur harus
lebih dari 2 meter dan diantara tempat tidur harus ditempatkan penghalang fisik
seperti tirai atau sekat, 3) Jika memungkinkan, upayakan ruangan tersebut dialiri
udara bertekanan negatif yang di monitor (ruangan bertekanan negatif) dengan 612 pergantian udara per jam dan sistem pembuangan udara keluar atau
menggunakan saringan udara partikufasi efisiensi tinggi (filter HEPA) yang
termonitor sebelum masuk ke sistem sirkulasi udara lain di rumah sakit, 4) Jika
tidak tersedia ruangan bertekanan negatif dengan sistem penyaringan udara
partikulasi efisiensi tinggi, buat tekanan negatif di dalam ruangan pasien dengan
memasang pendingin ruangan atau kipas angin di jendela sedemikian rupa agar
aliran udara ke luar gedung melalui jendela. Jendela harus membuka keluar dan
tidak mengarah ke daerah publik. Uji untuk tekanan negatif dapat dilakukan
dengan menempatkan sedikit bedak tabur dibawah pintu dan amati apakah
terhisap ke dalam ruangan. Jika diperlukan kipas angin tambahan di dalam
ruangan dapat meningkatkan aliran udara, 5) Jaga pintu tertutup setiap saat dan
jelaskan kepada pasien mengenai perlunya tindakan- tindakan pencegahan ini, 6)
Universitas Sumatera Utara
Pastikan setiap orang yang memasuki ruangan memakai APD yang sesuai, masker
(bila memungkinkan masker efisiensi tinggi harus digunakan, bila tidak, gunakan
masker bedah sebagai alternatif), gaun, pelindung wajah atau pelindung mata dan
sarung tangan, 7) Pakai sarung tangan bersih, non-steril ketika masuk ruangan, 8)
Pakai gaun yang bersih, non-steril ketika masuk ruangan jika akan berhubungan
dengan pasien atau kontak dengan permukaan atau barang-barang di dalam
ruangan.
Pertimbangan pada saat penempatan pasien antara lain : 1) Kamar terpisah
bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan, misal: luka lebar
dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol, 2) Kamar terpisah dengan
pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui udara ke kontak, misal: luka dengan
infeksi kuman gram positif, 3) Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi
dibuang keluar dengan exhaust ke area tidak ada orang lalu lalang, misal : TBC,
4) Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi airborne luas,
misal: varicella, 5) Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan
(anak, gangguan mental), 6) Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat
kohorting. Bila pasien terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien,
petugas dan pengunjung menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi
(Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
8) Hygiene respirasi/Etika batuk
Etika
batuk
merupakan
suatu
teknik
yang
dirancang
untuk
meminimalkan penularan patogen pernapasan melalui rute droplet atau udara
Universitas Sumatera Utara
(CDC, 2012). Kebersihan pernafasan dan etika batuk adalah dua cara penting
untuk mengendalikan penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien,
pengunjung dan petugas kesehatan harus dianjurkan untuk selalu mematuhi etika
batuk dan kebersihan pernafasan untuk mencegah sekresi pernafasan. Ada
beberapa hal yang harus dilakukan saat batuk atau bersin yaitu : 1) Tutup hidung
dan mulut dengan tisu, 2) Buang jaringan yang digunakan dalam wadah limbah
terdekat, 3) Lakukan kebersihan tangan dengan sabun dan air atau larutan
antiseptik (Depkes RI, 2008).
9) Praktek menyuntik yang aman
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam praktek menyuntik yang aman
berdasarkan WHO (2004) sebagai berikut : 1) Berhati-hati untuk mencegah cedera
saat menggunakan jarum, pisau bedah dan instrumen atau peralatan tajam lainnya,
2) Gunakan jarum suntik sekali pakai, pisau bedah dan benda tajam lainnya, 3)
Tempatkan item benda tajam dalam wadah tahan tusukan dengan tutup yang
menutup dan terletak dekat dengan daerah di mana item tersebut digunakan, 4)
Berhati-hati ketika membersihkan instrumen atau peralatan tajam yang dapat
digunakan kembali, 6) Benda tajam harus tepat desinfeksi dan dimusnahkan
sesuai pedoman atau standar nasional. Sedangkan untuk penanganan benda tajam
menurut Tietjen (2004) yaitu: 1) Tidak disarankan untuk menyarungkan kembali
atau melepaskan spuit, 2) Memasukkan benda- benda tajam tersebut ke dalam
wadah sebelum diinsersi. Daley & Karen (2004) menjelaskan Center for Disease
Control (CDC) memperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka
Universitas Sumatera Utara
akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan di rumah
sakit di Amerika. Pekerja kesehatan beresiko terpapar darah dan cairan tubuh
yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan infeksi HBV
(Hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan HIV (Human Imunodefisiensi
Virus) melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau yang
dikenal dengan istilah Needle Stick Injury (NSI).
10) Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.
Pemakaian masker pada insersi cateter atau injeksi suatu obat kedalam
area spinal epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan anastesi
spinal dan epidural, myelogram, untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring
(WHO, 2004). Schulz-Stubnerr (2008) dalam Masloman (2015) menyatakan
infeksi yang terjadi akibat pemberian anestesi spinal di kamar operasi sangat
berbahaya dari 100.000 prosedur anestesi spinal didapatkan angka kejadian
meningitis yang berhubungan dengan pemberian anestesi spinal sebesar 3,7-7,2.
Sedangkan kejadian epidural abses berkisar antara 0,2 sampai 83/100.000
prosedur anestesi spinal. Kebersihan tangan dan pemakaian alat pelindung diri
sebelum melakukan pemberian anestesi spinal merupakan salah satu cara
yang penting untuk menekan angka kejadian infeksi saat pemberian anestesi
spinal.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Kewaspadaan berdasarkan cara penularan
WHO (2004) bahwa kewaspadaan tambahan (berdasarkan transmisi)
tindakan pencegahan yang diambil sambil memastikan tindakan pencegahan
standar
dipertahankan
adalah
tindakan
pencegahan
tambahan
meliputi:
pencegahan airborne, pencegahan droplet dan pencegahan kontak.
Tindakan pencegahan airborne berikut harus diambil : tempatkan pasien di
satu ruangan yang memiliki aliran udara tekanan negatif dan dipantau, udara harus
dibuang ke luar rumah atau khusus disaring sebelum diedarkan ke area lain dari
fasilitas pelayanan kesehatan, pintu harus ditutup,setiap yang memasuki ruangan
harus memakai pakaian khusus, filtrasi tinggi, memakai masker, batasi gerakan
dan transportasi pasien dari kamar untuktujuan penting saja. Jika transportasi
diperlukan, meminimalkan penyebaran droplet nuklei dengan penggunaan masker
pada pasien dengan masker bedah.
Tindakan pencegahan droplet berikut harus diambil : tempatkan di satu
ruangan (di sebuah ruangan dengan pasien laindengan pasien terinfeksi oleh
patogen yang sama), gunakan masker bedah ketika bekerja dalam waktu 1-2 meter
dari pasien, gunakan masker bedah pada pasien jika transportasi diperlukan,
penanganan udara dan ventilasi tidak diperlukan untuk mencegah droplet
penularan infeksi.
Tindakan pencegahan kontak berikut harus diambil : tempatkan di satu
ruangan (di sebuah ruangan dengan pasien laindengan pasien terinfeksi oleh
Universitas Sumatera Utara
patogen yang sama), Pertimbangkan epidemiologi dari penyakit dan populasi
pasien saat menentukan penempatan pasien, pakaian bersih, sarung tangan non steril ketika memasuki ruangan, gunakan gaun non - steril bersih ketika memasuki
ruangan jika kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau item dalam kamar
pasien diantisipasi, batasi gerakan dan transportasi pasien dari ruangan, pasien
harus dipindahkan untuk tujuan penting saja. Jika transportasi diperlukan
gunakan tindakan pencegahan untuk meminimalkan risiko penularan.
2.1.6 Surveilans
Surveilans lnfeksi RS (lRS) menurut Haley (1992); Pearl (1993); Depkes,
(2001), dilakukan secara sistematik aktif oleh IPCN yaitu perawat pengendali
infeksi purna waktu dan IPCLN yaitu perawat penghubung pengendali infeksi,
untuk menggambarkan tingkat kejadian berbagai penyakit infeksi target sesuai
pedoman surveilans IRS Kemenkes dan penyakit infeksi endemis di RS, target
surveilans yaitu : lSK terkait kateterisasi, infeksi luka operasi, plebitis lRS, dan
dekubitus, Ventilator Associated Pneumonia (VAP) & Hospital Associated
Pneumonia (HAP), Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) dan diare.
Menurut Haley (1992); Pearl (1993); Depkes (2001) bahwa unsur-unsur
kegiatan surveilans meliputi : 1) Merumuskan kejadian yang akan diamati yaitu
kriteria jenis infeksi nosokomial, 2) Mengumpulkan data yang relevan
secara
sistematik, 3) Mengolah dan menganalisa data sehingga mempunyai makna, 4)
Menyebarkan informasi dari analisa data yang diperoleh kepada seluruh
Universitas Sumatera Utara
anggota rumah sakit dalam rangka program pencegahan dan pengendalian
infeksi.
2.2 Tugas IPCLN
Menurut Depkes RI & PERDALIN (2008) bahwa tugas IPCLN adalah
mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit rawat inap
masing-masing, kemudian menyerahkan nya kepada IPCN. Memberikan motivasi dan
teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan pengendalian infeksi pada
setiap personil ruangan di unit rawatnya masing-masing. Memberitahukan kepada IPCN
apabila ada kecurigaan adanya infeksi nosokomial pada pasien. Berkoordinasi dengan
IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan bagi pengunjung di ruang
rawat masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum faham.
Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan standar isolasi.
2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial yang
dikemukakan Darmadi (2008) adalah: 1) Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang
berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas
pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya),
peralatan, dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator,
kain/doek, kassa, dan lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti
ruangan /bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan
lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan
Universitas Sumatera Utara
sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap
saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu
kamar/ruangan/bangsal
perawatan
dapat
merupakan
sumber
penularan),
pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber
penularan), 2) Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors)
seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya
penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya 3). Faktor
keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya standar
pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan, 4) Faktor
mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak
jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan
(reservoir) dengan penderita. Green (1990) menyebutkan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah pengetahuan. CDC (2012)
memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial dapat dicegah bila semua
petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi
ketika merawat pasien dan lingkungan rumah sakit. Menurut Rubin R. (2006)
bekerja dengan sumber daya manusia dan peralatan yang terbatas mempunyai
risiko 10 kali terjadi infeksi nosokomial. Ketersediaan fasilitas merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan termasuk faktor pemungkin
(Green,1990).
Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi
nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002). Perawat sangat
berperan dalam pengendalian infeksi sebab perawat merupakan praktisi
Universitas Sumatera Utara
kesehatan yang berhubungan langsung dengan klien dan bahan infeksius di
ruang rawat. Perawat juga bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di
RS melalui pencegahan kecelakaan, cidera, atau trauma lain, dan melalui
pencegahan penyebaran infeksi (Abdellah 1960). Kepala ruangan (karu) perlu
terus menerus membina stafnya agar program pengendalian infeksi nosokomial
(IN) berjalan sesuai kesepakatan. Namun, tampaknya belum semua karu memahami
upaya tersebut secara tepat. Ini tercermin dari belum optimalnya upaya karu dalam
meningkatkan upaya pengendalian IN di ruangannya, khususnya dalam menjalankan
peran dan fungsi karu sebagai bagian dari tim PPIRS. Hal inilah yang mendorong
perlu adanya telaah lebih lanjut terhadap upaya karu dalam pengendalian IN,
(Handiyani et al. 2004).
2.4
Konsep Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal
dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari
akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu
terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti
cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang
menampakkan.
Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu
“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,
fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam
kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih
Universitas Sumatera Utara
dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang
murni (Moeryadi, 2009).
Menurut Donny (2005) fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi
kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran.
Fenomenologi juga merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki
pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk
memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada
dengan
langkah-langkah
logis,
sistematis
kritis,
tidak
berdasarkan
apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya
digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.
Smith et al. (2009) melakukan penelitian fenomenologi, melibatkan
pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep
utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang
muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas
yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti.
Ada dua jenis penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan
fenomenologi interpretif (Polit dan Beck, 2008).
Pertama, fenomenologi deskriptif dikembangkan oleh Husserl pada tahun
1962. Jenis penelitian ini menekankan pada deskripsi pengalaman yang dialami
oleh manusia berdasarkan apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat,
dievaluasi, dilakukan, dan seterusnya. Fokus utama fenomenologi deskriptif
Universitas Sumatera Utara
adalah „knowing’. Penelitian ini memiliki empat langkah, yaitu bracketing,
intuiting, analyzing, dan describing.
Bracketing merupakan proses mengidentifikasi dan membebaskan diri dari
teori-teori yang diketahuinya serta menghindari perkiraan-perkiraan dalam upaya
memperoleh data yang murni. Intuting merupakan langkah kedua dimana peneliti
tetap terbuka terhadap makna yang dikaitkan dengan fenomena yang dialami oleh
partisipan. Analyzing merupakan proses analisa data yang dilakukan melalui
beberapa fase seperti; mencari pernyataan-pernyataan signifikan kemudian
mengkategorikan dan menemukan makna esensial dari fenomena yang dialami.
Describing merupakan tahap terakhir dalam fenomenologi deskriptif. Langkah ini
peneliti membuat narasi yang luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti.
Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif
adalah Collaizi (1978a), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga
fenomenologis tersebut berpedoman pada Filosofi Husserl yang mana fokus
utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena.
Kedua, Interpretive Phenomenology dengan mempunyai pemahaman dan
interpretif (penafsiran), tidak sekedar deskripsi pengalaman manusia. Pengalaman
hidup manusia merupakan suatu proses interpretif dan pemahaman yang
merupakan ciri dasar keberadaan manusia. Penelitian interpretif bertujuan untuk
menemukan pemahaman dari makna pengalaman hidup dengan cara masuk ke
dalam dunia partisipan. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman setiap
bagian dan bagian-bagian secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
Polit & Beck ( 2008) menyatakan Van Manen adalah ahli fenomonelogi
interpretif yang berpedoman pada filosofi Heiddegrian. Metode analisis datanya
menggunakan kombinasi karakteristik pendekatan fenomenologi deskriptif dan
interpretif.
Van Manen (2006) dalam Polit dan Beck (2008) menekankan bahwa
pendekatan metode fenomenologi tidak terpisahkan dari praktik menulis.
Penulisan hasil analisa kualitatif merupakan suatu upaya aktif untuk memahami
dan mengenali makna hidup dari fenomena yang diteliti yang dituangkan dalam
bentuk teks tertulis. Teks tertulis yang dibuat oleh peneliti harus dapat
mengarahkan pemahaman pembaca dalam memahami fenomena tersebut. Van
Manen juga mengatakan identifikasi tema dari deskripsi partisipan tidak hanya
diperoleh dari teks tertulis hasil transkrip wawancara, tetapi juga dapat diperoleh
dari sumber artistik lain seperti literatur, musik, lukisan, dan seni lainnya yang
dapat menyediakan wawasan bagi peneliti dalam melakukan interpretasi dan
pencarian makna dari suatu fenomena.
Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan penelitian kualitatif termasuk
fenomenologi
perlu
ditingkatkan
kualitas
dan
integritas
dalam
proses
penelitiannya. Oleh karena itu, perlu diperiksa bagaimana tingkat keabsahan data
pada penelitian kualitatif termasuk fenomenologi. Tingkat keabsahan data dikenal
dengan istilah Trustworthiness of Data.
Universitas Sumatera Utara
Guba & Lincoln (1994) menyatakan bahwa tingkat keabsahan data hasil
penelitian dapat dipercaya dengan memvalidasi data menurut beberapa kriteria,
yaitu credibility, transferability, dependability, confirmability dan authenticity.
Credibility mengacu pada keyakinan kebenaran data dan interpretasi data.
Peneliti kualitatif harus berusaha untuk membangun kepercayaan dalam
kebenaran temuan bagi peserta dan konteks penelitian. Kredibilitas melibatkan
dua aspek: pertama, melakukan penelitian dengan cara yang dapat meningkatkan
kepercayaan dari temuan, dan kedua, mengambil langkah-langkah untuk
menunjukkan kredibilitas dalam laporan penelitian. Beberapa teknik yang dapat
dilakukan peneliti untuk mempertahankan credibility antara lain teknik prolonged
engagement dan member check.
Transferability mengacu pada sejauh mana hasil temuan dapat ditransfer
atau diterapkan pada kelompok atau populasi yang lain. Hal ini bergantung pada
pengetahuan seorang peneliti tentang konteks pengirim dan konteks penerima.
Peneliti akan menguraikan secara rinci tentang data terkait dengan latar belakang
dan fenomena yang terjadi serta temuan di tempat penelitian untuk
memungkinkan perbandingan yang akan dibuat tentang temuan yang akan
didapat. Semua data tersebut dibuat dalam satu deskripsi tebal (thick description)
untuk memungkinkan seseorang tertarik dalam membuat transfer untuk mencapai
kesimpulan apakah transfer dapat dipikirkan sebagai kemungkinan.
Dependability mengacu pada stabilitas (reliability) data dari waktu ke
waktu dan kondisi. Artinya bahwa jika pekerjaan itu diulang dalam konteks yang
sama, dengan metode yang sama dan dengan peserta yang sama maka hasil yang
Universitas Sumatera Utara
sama akan diperoleh. Peneliti melaporkan secara detail setiap proses penelitian
kepada pembimbing untuk menilai apakah proses dan hasil yang diperoleh sudah
sesuai sehingga data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat lebih objektif.
Confirmability mengacu pada objektifitas atau netralitas data, dimana
tercapai persetujuan antara dua orang atau lebih tentang relevansi dan arti data.
Kriteria ini berkaitan dengan penetapan bahwa data merupakan informasi yang
disediakan partisipan, dan interpretasi data tersebut tidak diciptakan oleh peneliti.
Temuan penelitian harus mencerminkan suara peserta dan kondisi sebenarnya,
bukan bias peneliti, motivasi atau perspektif. Confirmability tercapai jika peneliti
dapat meyakinkan orang lain bahwa data yang dikumpulkan adalah data yang
objektif, seperti apa adanya di lapangan.
Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti dengan adil dan dengan
tepat menunjukkan kenyataan yang terjadi. Keaslian muncul dalam laporan ketika
laporan tersebut dapat menyampaikan perasaan partisipan sebagaimana mereka
hidup. Sebuah teks memiliki keaslian jika dapat mengajak pembaca merasakan
sebuah pengalaman kehidupan yang digambarkan, dan memungkinkan pembaca
untuk mengembangkan kepekaan yang meningkat dengan masalah yang
digambarkan. Ketika teks mencapai keaslian, pembaca lebih mampu memahami
kehidupan yang digambarkan “in the round” dengan berbagai suasana hati,
perasaan, pengalaman, bahasa dan konteks hidup.
Universitas Sumatera Utara
2.5
Kerangka Teori Penerapan Manajemen Pengendalian Infeksi Dengan
Kewaspadaan Standar, Kewaspadaan Berdasarkan Cara Penularan
dan Surveilans.
Adapun kerangka teori penerapan manajemen pengendalian infeksi yang
akan diteliti yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
(Huber, 2010), terkait dengan kewaspadaan standar meliputi kebersihan tangan,
APD, perawatan peralatan pasien, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan
pasien dan penatalaksanaan linen, kesehatan karyawan, Penempatan pasien, etika
batuk, praktek menyuntik yang aman, praktek pencegahan infeksi untuk prosedur
lumbal pungsi, kemudian kewaspadaan berdasarkan cara penularan meliputi
pencegahan airborne, droplet dan kontak (WHO, 2004) dan surveilans meliputi
merumuskan kejadian, mengumpulkan data, menganalisa data, dan menyebarkan
informasi (Haley, 1992; Pearl, 1993; Depkes, 2001) yang merupakan bagian dari
program pengendalian infeksi yang sudah diterapkan di RSUP H. Adam Malik
Medan.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi deskriptif untuk
mengekplorasi pengalaman perawat dalam menerapkan manajemen pengendalian
infeksi di RSUP H. Adam Malik Medan. Dari pengertian diatas dapat
digambarkan melalui kerangka teori sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Manajemen
pengendalian
infeksi :
perencanaan,
pengorganisasi
an, pengarahan
dan
pengawasan
Berdasarkan
kewaspadaan
standar (WHO, 2004) terdiri
dari : Kebersihan tangan, APD,
Perawatan
peralatan
pasien,
Pengendalian
lingkungan,
Pemrosesan peralatan pasien dan
penatalaksanaan linen, Kesehatan
karyawan, Penempatan pasien,
Etika batuk, Praktek menyuntik
yang aman, Praktek pencegahan
infeksi untuk prosedur lumbal
pungsi.
Pengalaman
perawat
Kewaspadaan Berdasarkan Cara Penularan :
Pencegahan airborne, droplet dan kontak (WHO, 2004)
Surveilans Meliputi :
Merumuskan kejadian, Mengumpulkan
data, Menganalisa data, Menyebarkan
informasi. (Haley, 1992; Pearl, 1993;
Depkes, 2001)
Skema 2.1
Kerangka Teori Manajemen Pengendalian Infeksi Dengan
Kewaspadaan Standar, Kewaspadaan Berdasarkan Cara
Penularan dan Surveilans.
Universitas Sumatera Utara