Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

SEPSIS

2.1.1

Epidemiologi
Sepsis dalam 20 tahun terakhir meningkat di Amerika Serikat, diperkirakan

jumlah kasus sepsis 400.000 – 500.000 setiap tahunnya. Data di Amerika Serikat
menunjukkan pada tahun 1979 tercatat 164.000 kasus sepsis (87,2/100.000 populasi),
sedangkan pada tahun 2000 tercatat 600.000 kasus (240,4/100.000 populasi) sehingga
terjadi peningkatan insiden pertahun 8,7% (Oncel et.al., 2012). Sepsis merupakan
penyebab terbanyak kematian di ruang rawat intensif pada seluruh dunia dengan
angka mortalitas 28.6% untuk sepsis, 32.2% sepsis berat dan 54% syok sepsis. Di
Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab kematian utama pada pasien jantung
yang dirawat di UPI (Pittet et.al., 1995, Kauss et.al., 2010, Artero et.al., 2012 ).
Dalam penelitian lain, para peneliti menguji hubungan antara umur dan sepsis dan

menunjukkan bahwa pada usia 65, resiko relatif untuk sepsis bagi mereka lebih tua
dari 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang lebih muda dari
65 tahun. Secara keseluruhan, individu ≥ 65 tahun menyumbang 64,9% dari total
kasus sepsis (Danai et.al., 2006). Menariknya, ada 215.000 kematian selama periode
penelitian, yang sebenarnya mewakili 9,3% dari semua kematian di Amerika Serikat.
Insiden sepsis meningkat karena populasi umur tua, bertambahnya jumlah pasien
immunocompromised, dan meningkatnya tindakan prosedur invasif dan antibiotik
yang resisten terhadap kuman. Di Amerika Serikat, hampir 17 miliar dolar dihabiskan
untuk mengobati pasien sepsis. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan,
lebih dari 210.000 pasien meninggal dengan sepsis berat tiap tahunnya. Dan terdapat
perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain (gambar 2.1)
(Angus et.al., 2001).

8

Universitas Sumatera Utara

9

Mortality of Severe Sepsis


Incidence of Severe Sepsis

AIDS* Colon Breast CHF
cancer

Severe
sepsis

AIDS*

Breast AMI* Severe
sepsis
cancer

Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain
(Angus, 2001).
Pasien dengan keganasan yang terdiagnosis dengan sepsis, memiliki resiko
relatif peningkatan sampai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan mereka yang
tidak terkena kanker. Kanker pankreas memiliki resiko yang terkait sepsis dengan

angka tertinggi, diikuti oleh multipel myeloma, leukemia, dan kanker paru-paru,
sedangkan kanker saluran cerna dan keganasan payudara berhubungan dengan
kecenderungan yang jauh lebih rendah untuk sepsis (Tabel 2.1) (Danai et.al.,
2006).
Tabel 2.1 Subtipe Kanker dan Kejadian Sepsis (Danai et.al., 2006).
Malignancy

Risk, Cases Per 1.000 Patients

Pancreatic

144,7

Multiple Myeloma

106,0

Leukemia

105,0


Lung

46,0

Lymphoma

37,6

GI

19,4

Breast

3,2

Universitas Sumatera Utara

10


2.1.1

Definisi
Di bawah ini akan dipaparkan definisi penyakit yang berkaitan dengan

sepsis menurut jurnal dari Lancet tahun 2005 (tabel 2.2) (Annane et.al., 2005).
Tabel 2.2 Definisi Penyakit (Annane et.al., 2005).

Systemic
inflammatory
respone
syndrome

Sepsis

Severe sepsis

Septic shock


Refractory
septic shock

Dua atau lebih :
 Suhu tubuh > 38.5°C atau < 36.0°C
 Laju nadi > 90 kali per menit
 Laju nafas > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32 mmHg atau
membutuhkan ventilasi mekanik
 Jumlah sel darah putih > 12000/mm3 atau 4000/mm3 atau bentuk
immature> 10%
Systemic inflammatory respone syndrome dan ada infeksi (kultur atau
gram stain of blood, sputum, urin atau cairan tubuh yang normalnya
steril positif terhadap mikroorganisme patogen ; atau fokus infeksi
diidentifikasi dengan penglihatan seperti : ruptured bowel dengan free
air atau bowel contents didapati pada abdomen saat pembedahan, luka
dengan purulent discharge)
Sepsis dengan minimal satu tanda dari hipoperfusi atau disfungsi
organ :
 Areas of mottled skin
 Capillary refilling time ≥ 3detik

 Urin output < 0.5mL/kg dalam 1 jam atau renal replacement
therapy
 Laktat > 2mmol/L
 Perubahan kesadaran tiba-tiba atau electroencephalogram tidak
normal
 Jumlah trombosit < 100000/mL atau disseminated intravascular
coagulation
 Acute lung injury - acute respiratory distress syndrome
 Cardiac disfunction (echocardiography)
Severe sepsis dan salah satu :
 Systemic mean blood pressure < 60mmHg (< 80mmHg jika ada
hipertensi sebelumnya) setelah pemberian 20-30 mL/kg starch atau
40-60 mL/kg normal salin, atau pulmonary capillary wedge
pressure antara 12 dan 20 mmHg
 Butuh dopamin > 5µg/kg per menit atau norepinephrine atau
epinephrine < 0.25 µg/kg per menit untuk mempertahankan mean
blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi
sebelumnya )
Butuh dopamin > 15µg/kg permenit atau norepinephrine atau
epinephrine > 0.25 µg/kg permenit untuk mempertahankan mean blood

pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.2

Patofisiologi SEPSIS
Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara organisme

penyebab infeksi dan host imun. Kedua hal yakni respon host dan karakteristik
dari organisme penyebab infeksi mempengaruhi outcome sepsis. Pada sepsis
diawali dengan aktivasi sistem imun bawaan, sebagai respon terhadap infeksi,
melalui

pengenalan

terhadap


benda

asing

yakni

endotoksin

bakteri

(Lipopolisakarida dan Peptidoglikan). Mekanisme ini antara lain pelepasan
sitokin, aktivasi neutrofil, monosit dan makrofag dan sel endotel serta aktivasi
komplemen, koagulasi, fibrinolitik, dan sistem kontak (O’Reilly et.al., 1999,
Balk, 2000).
Toll-like receptors (TLR) mengatur mekanisme pertahanan tubuh dan
berperan penting dalam aktivasi imun bawaaan. TLR adalah reseptor pada
permukaan sel yang mengenali komponen molekuler dari mikroorganisme. Pada
fase awal dari infeksi, TLR mengaktivasi sistem imun bawaan dan
menghancurkan patogen dari makrofag, natural killer cells dan sistem
komplemen. Pada fase kedua, TLR mengaktivasi sistem imun didapat dengan

mengaktivasi limfosit T dan B. Disini produksi sitokin berperan penting.
Makrofag dan monosit yang teraktivasi adalah sel yang utama yang menghasilkan
sitokin, tapi fibroblast, neutrofil dan sel endotel juga dapat menghasilkan sitokin
(O’Reilly et.al., 1999, Balk, 2000). TLR-4 mengenali LPS bakteri gram negatif,
TLR-2 mengenali peptidoglikan bakteri gram positif. Ikatan TLR dengan epitop
pada mikroorganisme akan mengaktifkan jalur transduksi sinyal intraseluler yang
mengaktifkan cytosolic nuclear factor kB (NF-kB). NF-kB meningkatkan
transkripsi sitokin. Sitokin akan mengaktifkan sel endotel dengan meningkatkan
ekspresi molekul permukaan dan memperkuat adhesi neutrofil dan endotel di
tempat infeksi. Sitokin juga menyebabkan cedera sel endotel melalui induksi
neutrofil, monosit, makrofag dan trombosit yang melekat pada sel endotel
(O’Reilly et.al., 1999, Balk, 2000, Hotchkiss, 2003).
Sitokin juga melepaskan mediator seperti protease, oksidan, prostaglandin,
dan leukotrien. Protease, oksidan, prostaglandin, dan leukotrien, akan merusak sel
endotel, menimbulkan peningkatan permeabilitas, vasodilatasi dan perubahan
keseimbangan prokoagulan dan koagulan. Sitokin juga mengaktivasi kaskade

Universitas Sumatera Utara

12


koagulasi. Selain itu endotel yang teraktivasi akan melepaskan nitric oxide (NO),
suatu bahan vasodilator poten yang berperan pada syok sepsis.
Sitokin dibedakan menjadi proinflamasi dan anti inflamasi, tergantung
fungsinya. Tumor Necrosing Factor α (TNF-α), Interleukin 1ß(IL-1ß), IL-6, IL-8,
IL-12 adalah sitokin proinflamasi utama yang berperan dalam aktivasi awal dari
respon inflamasi sistemik pada sepsis. TNF-α terutama diproduksi oleh monosit
dan makrofag, dan bekerja merangsang produksi molekul adhesi pada sel endotel
serta sistem koagulasi dan komplemen. IL-1 terutama dihasilkan oleh monosit dan
makrofag. IL-1ß dan TNF-α mempunyai efek sinergik. IL-1ß merangsang
produksi IL-6, IL-8 dan TNF-α dan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik
sama seperti syok sepsis. Pada banyak penelitian didapat bahwa kadar IL-1ß tidak
berhubungan dengan beratnya penyakit, sedangkan TNF-α berhubungan dengan
beratnya penyakit pada beberapa studi (O’Reilly et.al., 1999, Balk, 2000,
Hotchkiss, 2003, Sharma, 2003).
Sepsis juga mengaktifkan produksi dan pelepasan sitokin anti inflamasi.
Antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra) menghambat IL-1, yang berikatan secara
kompetitif dengan reseptor IL-1 dan menghambat kerja IL-1. IL-1ra dihasilkan
terutama oleh makrofag. Beberapa studi gagal membuktikan bahwa pemberian IL1ra pada sepsis dapat memperbaiki mortalitas pada sepsis.35,36 IL-10 adalah
sitokin anti inflamasi utama. Sitokin ini menghambat produksi TNF-α, IL-1ß, IL6, IL-8. Sitokin ini juga menekan pelepasan radikal bebas dan aktifitas NO serta
produksi prostaglandin. Beberapa sel yang dapat memproduksi IL-10 adalah CD4, CD-8, makrofag, monosit, limfosit B, sel dendrit dan sel epitel. Pada syok
sepsis, monosit merupakan sumber utama dari sitokin ini. IL-10 tidak hanya
membatasi beratnya respon inflamasi, tapi juga mengatur proliferasi sel T, sel B,
natural killer cells, antigen precenting cells, sel mast dan granulosit. Sitokin ini
berperan dalam supresi imun, sebagai stimulator imunitas bawaan. Beberapa studi
mendapatkan bahwa pada keadaan sepsis .kadar sitokin IL-10 meningkat dan
lebih meningkat lagi pada syok sepsis (Jilma et.al., 1999, sharma, 2003,).
IL-6 merupakan sitokin yang paling banyak diteliti pada sepsis dan
palingsering ditemukan meningkat. Kadarnya meningkat lebih lama dibandingkan
TNF- α dan IL-1ß. Sitokin ini terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag

Universitas Sumatera Utara

13

dan sel endotel dan berhubungan dengan derajat beratnya sepsis sehingga
peningkatan yang persisten berhubungan dengan perkembangan multiple organ
failure (MOF) dan prognosis buruk. Sitokin ini mengatur diferensiasi dari sel
limfosit B dan T. Sitokin ini adalah pirogen endogen dan demam pada pasien
sepsis disebabkan oleh sitokin ini. Sitokin ini juga bersifat anti inflamasi yang
menghambat produksi sitokin pro-inflamasi lainnya (Cohen, 2002, Nasronudin,
2007).

Gambar 2.2 Respon imun terhadap infeksi organisme (Nasronudin, 2007).
IL-8 berfungsi mengaktivasi dan sebagai kemotaksis neutrofil ke tempat
inflamasi. Konsentrasi tinggi dari sitokin ini dapat merangsang infiltrasi neutrofil,
merusak endotel, kebocoran plasma dan cedera jaringan lokal. Sebaliknya sitokin
ini juga menghambat migrasi neutrofil apabila berada dalam sirkulasi, sehingga
sitokin ini bersifat pro dan anti inflamasi. (Cohen, 2002).

Universitas Sumatera Utara

14

Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan yang bermakna,
masih tetap tidak dimengerti. Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara
mikroorganisme dan/atau produk mereka dan respon tuan rumah akibat
dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya.

Gambar 2.3 Patogenesis terjadinya Multiple Organ Failure dan Syok pada Sepsis
(Cohen, 2002).
Komponen terpenting dari respon tuan rumah adalah berkembangnya
mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari kerusakan. Akan tetapi
pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan respon kaskade sekunder
dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi
mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon proinflamasi tak

Universitas Sumatera Utara

15

terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi, koagulasi dan jalur
penyembuhan luka (Annane et.al., 2005, Rello, 2008).

Gambar 2.4 Respon prokoagulasi pada sepsis (Annane et.al., 2005).
2.1.4 Disfungsi Mikrosirkulasi Pada Sepsis
Gangguan mikrosirkulasi merupakan petanda terjadinya sepsis. Jejaring
dari pembuluh darah terkecil berdiameter < 100um, tempat terjadinya pelepasan
oksigen ke jaringan dan termasuk arteriol, kapiler serta venula. Jejaring ini
memiliki 10 miliar kapiler dan permukaan endotel lebih dari 0,5 km2. Jenis sel
utama dalam mikrosirkulasi diantaranya sel endotel, sel otot polos, sel darah
merah, leukosit dan trombosit.Sel endotel memiliki peran penting dalam
mikrosirkulasi, turut mengatur aliran darah, mengatur koagulasi dan fungsi

Universitas Sumatera Utara

16

imunologi serta pelepasan NO dalam menanggapi adanya kerusakan-kerusakan
dinding pembuluh darah atau hipoksia. NO mengatur resistensi diameter
pembuluh darah (relaksasi sel-sel otot polos di proksimal arteriol), reologi darah
(mengatur kelenturan sel darah dan leukosit), interaksi antara elemen darah dan
dinding pembuluh darah (mengatur adhesi leukosit-endotel dan adhesi/agregasi
trombosit) serta mengatur volume darah (meningkatkan permeabilitas selama
terjadinya endotosemia).
Sepsis menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik dengan mengakitifkan
leukosit yang memproduksi reactive oxygen species (ROS) .ROS dapat membantu
melawan patogen, tetapi juga berdifusi dan mengaktifkan sel-sel endotel,
menyebabkan migrasi P-selectin ke dalam membran endotel. Sitokin proinflamasi dapat langsung mengaktifkan sel-sel endotel dan mencetuskan produksi
ROS oleh mitokondria, xanthine oxidase (XO), dan NADPH oxidase (NADPHox), ROS bisa juga secara langsung merangsang migrasi cadangan P-selectin ke
dalam membran sel atau mengaktifkan nuclear factor- kappa B ( NF-kB). Adhesi
protein expression (P-selectin dan E selectin,intercellular adhesion molecule -1
[ICAM-1], dan vascular adhesion molecule – 1 [VCAM-1] menyebabkan adhesi
leukosit yang memproduksi ROS secara lokal. Produksi ROS intraselular dapat
menetralkan NO dan menurunkan ketersediaannya yang mengaktifkan ganguan
tonus pembuluh darah.Lagi pula ROS dapat mempengaruhi keseimbangan antara
prostanoid vasokonstriktor dan vasodilator dengan memodifikasi aktifitas
cyclooxygenase (COX). Kadar glutathione (GSH) menurun selama sepsis
demikian juga superoxide dismutase (SOD), akibatnya akan terjadi berkurangnya
kemampuan detoksifikasi.
Adhesi leukosit, adhesi/agregasi trombosit, edema endotel semuanya
menyebabkan oklusi kapiler. Sebetulnya oklusi kapiler merupakan mekanisme
adaptasi bahkan mekanisme proteksi untuk membendung penyebaran infeksi
sistemik, namun akibat oklusi ini terjadi gangguan distribusi oksigen dan glukosa
ke dalam sel yang didalamnya terdapat mitokondria yang berfungsi sebagai
pemasok oksigen serta berperan dalam oxygen sensing dan pengaturan jalur
program kematian sel (apoptosis dan nekrosis) (Annane et.al., 2005, Sri, 2011).

Universitas Sumatera Utara

17

2.1.5 Disfungsi Mitokondria dan Proses Apoptosis Pada Sepsis
Mitokondria ada pada semua sel berinti. Peran utama mitokondria adalah
menghasilkan energi sel dalam bentuk adenosin trifosfat (adenosine triphospate,
ATP) dengan proses yang disebut fosforilasi oksidatif. Fosforilasi oksidatif yang
efisien dalam menghasilkan ATP dikatakan berpasangan ketat. Bila mitokondria
kurang efisien dalam menghasilkan ATP, akan tidak berpasangan sebagian dan
akan menghasilkan panas. Dengan demikian sistem fosforilasi oksidatif
mitokondria harus diatur dengan ketat agar tercapai keseimbangan antara produksi
ATP untuk energi dan produksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.
Beberapa mediator inflamasi yang dilepaskan selama sepsis menghambat proses
fosforilasi oksidatif. Gangguan multi organ yang terjadi pada sepsis belum terlalu
dimengerti, tetap itu ada hubungannya dengan ambilan oksigen di dalam sel
walaupun perfusi jaringan cukup adekuat.

Gambar 2.5 Perbedaan metabolisme aerobik dan anaerobik
(Annane et.al., 2005).

Universitas Sumatera Utara

18

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa mitokondria berfungsi untuk
menjaga homeostasis sel, namun demikian mitokondria juga memegang peranan
penting dalam pengaturan program kematian sel, atau apoptosis. Apoptosis
dicetuskan oleh jalur intrinsik dan ekstrinsik. Stress oksidatif dapat menginduksi
jalur intrinsik dari apoptosis. Zat-zat berbahaya menyebabkan mitokondria
melepaskan sitokrom c dan protein pro-apoptosis lainnya ke dalam sitosol,
akhirnya terjadi pengaktifan kaspase apoptosis semakin diperkuat. Oleh karena
metabolisme sel tergantung pada produksi ATP, kerusakan mitokondria, akan
mempengaruhi fungsi respirasi dan dapat mempengaruhi kemampuan hidup sel
(Sri, 2011).

2.1.6

SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN
Pada tahun 2005, Surviving Sepsis Campaign (SSC) bersama dengan

Institute for Health-care Improvement (IHI) menyusun panduan pengelolaan
pasien sepsis berat dan syok sepsis yaitu Severe Sepsis Bundles yang terdiri dari
dua bundle. Pertama, The Sepsis Resusitation Bundle, resusitasi yang harus segera
dimulai dan diselesaikan dalam 6 jam pertama sejak pasien didiagnosis sepsis
berat atau syok sepsis. Kedua, The Sepsis Management Bundle, harus segera
dimulai dan selesai dalam 24 jam pada pasien dengan sepsis berat atau sepsis
berat. Berikut dilampirkan kriteria diagnostik untuk pasien sepsis menurut
Surviving Sepsis Campaign (SSC).
Untuk mengetahui partisipasi pelaksanaan sepsis bundle dan dampaknya
terhadap angka mortalitas rumah sakit, SSC mengumpulkan data kepatuhan
melaksanakan sepsis bundle pada UPI di 165 rumah sakit dengan 15.022 pasien,
pada periode januari 2005 sampai dengan Maret 2008. Kesimpulan dari penelitian
ini adalah bahwa penurunan angka kematian rumah sakit terjadi bila ada
kepatuhan pengguna sepsis bundle pada pengelolaan pasien dengan sepsis berat
dan syok sepsis. Pada tahun 2008 SSC kembali melakukan revisi panduan dengan
menggunakan sistem GRADE (Grade of Recommendation, Assessment,
Development and Evaluation) (Sri, 2011). Pada saat ini SCC 2012 yang
merupakan panduan terbaru untuk menentukan kriteria sepsis berat, dan terdapat

Universitas Sumatera Utara

19

pula Surviving Sepsis Campaign Bundles yang harus diselesaikan dalam waktu 3
jam dan 6 jam (Dellinger et.al., 2012).
Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik (Dellinger et.al, 2008).
Infection, documented or suspected, and some of the following :
General Variables
Fever (>38.3oC)
Hypothermia (core temperature < 36oC)
Heart rate > 90/min-1 or more than two so above the normal value for age
Tachypnea
Altered mental status
Significant edema or positive fluid balance (>20mL/kg over 24 hr)
Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence
of diabetes
Inflammatory variables
Leukocytosis (WBC count > 12.000 μL-1)
Leukopenia (WBC count < 4.000 μL-1)
Normal WBC count with greater than 10% immature forms
Plasma C-reactive protein more than two so above the normal value
Plasma procalcitonin more than two so above the normal value
Hemodynamic variables
Arterial hypotension (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, or an SBP
decrease > 30 mmHg in adults or less than two so below normal for age)
Organ dysfunction variables
Arterial hypoxemia (PaO2/FiO2 < 3)
Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate
fluid resuscitation)
Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L
Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or APTT > 60 s)
Ileus (absent bowel sounds)
Thrombocytopenia (platelet count < 100.000 μL-1)
Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)
Tissue perfusion variables
Hyperlactatemia (> 1 mmol/L)
Decreased capillary refill or mottling

Universitas Sumatera Utara

20

Tabel 2.4 Kriteria Sepsis Berat (Dellinger et.al, 2008).
Severe sepsis definition = sepsis-induced tissue hypoperfusion or organ
dysfunction (any of the following thought to be due to the infection)
Sepsis-induced hypotension
Lactate above upper limits laboratory normal
Urine output < 0.5 ml/kg/hr for more than 2 hours despite adequate fluuid
resuscitation
Acute lung injury with PaO2/FiO2 < 250 in the absence of the pneumonia as
infection source
Acute lung injury with PaO2/FiO2 < 200 in the presence of the pneumonia as
infection source
Creatinine > 2.0 mg/dL (176.8 μmol/L)
Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L)
Platelet count < 100.000 Μl
Coagulopathy (international normalized ratio > 1.5)

Tabel 2.5 Surviving Sepsis Campaign Bundle (Dellinger et.al., 2012)

Universitas Sumatera Utara

21

(a)

Kepatuhan penggunaan bundle (%)

40
35
30
25
20

15
10
5

Penelitian per kuartal

0
1

2

3

4

5

menejemen

6

7

8

resusitasi

Kepatuhan penggunaan bundle (%)

(b)

Penelitian per kuartal

Gambar 2.6 Kepatuhan penggunaan bundle dan perbaikan angka mortalitas
(Sri, 2011).

Universitas Sumatera Utara

22

a. Perubahan persentase kebutuhan pasien dengan resuscitation bundle (garis
putus-putus) dan management bundle (garis tebal) selama 2 tahun
pengumpulan data (*p8 fL (rujukan normal 7,0-8,0 fL) memiliki sensitifitas 53,47%,
spesifisitas 87,41% dan positive predictive value (PPV) 81,1% dalam menegakkan
diagnosa sepsis sepsis (Guclu et. al., 2013). Beberapa studi juga melaporkan
bahwa peningkatan MPV, trombositopenia dan peningkatan PDW (Platelet Width
Distribution) dapat digunakan sebagai indikator langsung terjadinya disfungsi
organ pada sepsis (Patrick and Lazarchick, 1990, Aydin et.al., 2012). Sementara
Patrick CH dkk yang

melakukan studi pada sepsis neonatorum melaporkan

bahwa spesifisitas MPV dan PDW dalam mendeteksi adanya bakterimia masingmasing adalah 95% dan 79% (Patrick and Lazarchick, 1990, Aydin et.al., 2012).
Menurut beberapa penelitian sepsis menyebabkan peningkatan destruksi
trombosit dan supresi dari sumsum tulang yang akibatnya mempengaruhi
komposisi dan volume trombosit. Sehingga akan banyak terbentuk trombosit

Universitas Sumatera Utara

38

immatur dengan fungsi yang lebih reaktif. Mean Platelet Volume (MPV) adalah
marker dari variasi ukuran dan volume trombosit yang beredar pada sirkulasi, dan
dapat digunakan untuk melihat aktivitas dan fungsi trombosit. Nilai Normal MPV
adalah 7,0-8,0 fL. Pengukuran MPV telah dilakukan sejak tahun 1970 an dan
sekarang telah menjadi pemeriksaan rutin, namun masih jarang dipelajari dalam
hubungannya dengan sepsis (Becchi et.al., 2006, Levi and Lowenberg, 2008,
Oncel et.al., 2013). Pada populasi sehat, MPV mempunyai hubungan terbalik
dengan jumlah trombosit.
MPV dan trombosit dihitung menggunakan automated blood cells counter
yang menggunakan teknologi aperture-impedance untuk mengukur trombosit. Di
samping itu, sel-sel difokuskan melewati celah kecil secara hidrodinamik, dan
gelombang listrik yang sesuai dengan ukuran dan volume sel dihasilkan. Pemisah
“autodiscriminators” yang bergerak memisahkan antara machine noise pada
bagian bawah dan sel darah merah pada bagian atas dari setiap distribusi volume
trombosit. MPV dihitung dengan menggunakan rumus: MPV (fL)=Pct
(%)x1000 Plt (x103/µL), dimana Plt adalah jumlah trombosit dan jumlah partikel
diantara pemisah atas dan bawah, Pct merupakan trombosit crit dan dih

Dokumen yang terkait

Prevalensi Karsinoma Hepatoseluler di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009-2012

1 66 71

Hubungan Jumlah Paritas dengan Perdarahan Postpartum di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada Tahun 2009-2010

0 46 59

Gambaran Tingkat Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan

9 44 76

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 19

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 7

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Chapter III VI

0 1 21

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 8

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 13

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) dengan Skor APACHE II sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan | Prihardi | Jurnal Anestesi Perioperatif 901 3282 1 PB

0 3 6