Hubungan antara Pengembangan Karir dan Work Family Conflict pada Karyawan
22
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Work Family Conflict
1.
Pengertian Work Family Conflict
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) work family conflict merupakan
konflik antar peran dimana tuntutan peran dipekerjaan dan dirumah saling
bertentangan satu sama lain. Konflik peran ganda bisa terjadi akibat lamanya jam
kerja dari individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu
harus menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan
dan dalam keluarga, sehingga peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan
kesulitan dalam menjalankan peran di keluarga (pekerjaan).
Greenhaus, Allen, & Spector (2006) memperbaharui definisi work family
conflict, yaitu: pemenuhan peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan
berkurangnya kinerja dalam pemenuhanan peran di keluarga (pekerjaan). Pada
pengertian ini dapat dilihat bahwa work family conflict merupakan konflik kinerja
antar peran yang saling tumpang tindih.
Grandey, Bryanne, & Ann (2005) menyatakan bahwa work family conflict
dapat menghabiskan waktu dan energi seseorang sehingga menyebabkan
munculnya perasaan terancam dalam diri seseorang serta perilaku negatif dalam
pekerjaannya. Work family conflict merupakan suatu bentuk konflik antar peran
dimana kesulitan yang dihadapi, keterbatasan waktu yang dimiliki, dan
ketegangan yang dialami muncul diakibatkan oleh tanggung jawab dipekerjaan
Universitas Sumatera Utara
23
tumpang tindih dengan tanggung jawab di keluarga (Netemeyer, Boles, &
McMurrian, 1996; Hennessy, 2005).
Jadi berdasarkan pemaparan pengertian di atas, work family conflict
merupakan salah satu bentuk konflik antar peran dimana tuntutan peran di
pekerjaan saling tumpang tindih dengan tuntutan peran di keluarga, pemenuhan
terhadap peran yang satu akan menggangu pemenuhan peran yang lainnya
sehingga memunculkan perilaku yang tidak diharapkan dalam pekerjaan.
2.
Dimensi Work Family Conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi
work family conflict, yaitu:
1. Time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang
tersedia untuk memenuhi peran di pekerjaan (keluarga) tidak dapat
digunakan untuk memenuhi peran di keluarga (pekerjaan) dengan kata lain
pada waktu yang sama seorang yang mengalami work family conflict tidak
akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus.
2. Strain-based conflict, merupakan ketegangan yang disebabkan oleh salah
satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya
yang lain. Misalnya, seorang karyawan yang seharian bekerja akan
merasakan kelelahan dan menyebabkannya kesulitan dalam melakukan
pekerjaan di rumah. Konflik ketegangan ini bisa memicu tekanan darah
meningkat, kecemasan, kelelahan, cepat marah dan depresi.
Universitas Sumatera Utara
24
3. Behavior-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika pola dari
suatu perilaku pada peran yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan
harapan perilaku pada peran yang lainnya. Sebagai contoh seorang
manajer pria saat bekerja diharapkan memiliki kepercayaan diri, emosi
yang stabil, agresif, dan objektif, sedangkan ketika berada di rumah
mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi, dan
emosional. Jika seseorang tidak bisa menyesuaikan perilakunya dengan
berbagai peran yang berbeda, maka akan mengalami konflik antar peranperan tersebut.
Selanjutnya, Greenhaus, Allen, dan Spector (2006) menambahkan dimensi
work family conflict yang keempat yaitu;
4. Energy-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika peran yang
satu menyebabkan kelelahan fisik dan emosional sehingga menghambat
pemenuhan peran lainnya. Misalnya, seorang karyawan yang sangat lelah
untuk bekerja di pagi hari karena semalaman menjaga anak yang sakit.
3.
Bentuk-bentuk Work Family Conflict
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk work family conflict,
yaitu: pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga (work interference
family) dan kehidupan rumah tangga yang mengganggu pekerjaan (family
interference work) (Frone, Russel, & Cooper, 1992a; Allen, Herst, Bruck, &
Sutton, 2000).
Universitas Sumatera Utara
25
Byron (2005) menemukan bahwa work interference family (WIF)
mempunyai dampak yang lebih besar terhadap work family conflict dibandingkan
dengan family interference work (FIW). Selain itu WIF dinilai memiliki hubungan
yang erat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Hasil
penelitian Netemeyer, McMurrian, & Boles (1996) pada guru, sales, dan
bisnisman menunjukkan WIF lebih mempengaruhi kepuasan kerja daripada
konflik FIW.
4.
Konsekuensi-Konsekuensi Work Family Conflict
Work family conflict memiliki banyak konsekuensi (Allen, Herst, Bruck,
dan Sutton, 2000) yaitu pertama, yang mencakup hasil kinerja seperti: kepuasan
kerja, motivasi, komitmen organisasi, keinginan untuk pindah, absensi, prestasi
kerja, kepuasan karir, dan keberhasilan karir. Kedua, yang mencakup hasil di luar
pekerjaan seperti: kehidupan pernikahan, waktu luang dan kepuasan hidup, dan
pelaksanaan peran di keluarga. Ketiga, yang mencakup munculnya stres seperti:
ketegangan psikologis, kesehatan fisik, depresi, burnout, penyalahgunaan obatobatan, dan stres pada pekerjaan.
Menurut O‟Driscoll (2006) ada beberapa konsekuensi bagi karyawan yang
mengalami work family conflict, di antaranya yaitu: ketidakhadiran dan perilaku
withdrawal, kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik, konsumsi alkohol, dan
kepuasan, baik kepuasan keluarga maupun kepuasan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
26
5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Family Conflict
Ahmad (2008) menciptakan suatu model yang dikembangkan berdasarkan
model stress-strain dan teori identitas sosial. Menurut teori stress-strain, faktor
pemicu mengarah pada stressor, sedangkan konflik mengarah pada ketegangan
(strain). Teori identitas sosial mengatakan bahwa setiap individu selalu
mengklasifikasikan dirinya ke dalam beberapa kategori sosial yang menentukan
identitas dan peran mereka dalam lingkungan sosial. Setiap peran yang ada
memberikan aspek-aspek identitas yang berbeda pada diri individu, misalnya
seseorang yang menganggap bahwa kehidupan pekerjaannya merupakan aspek
yang sangat penting dari identitas mereka. Konflik dapat muncul ketika dalam
menjalankan peran yang dianggap penting, seseorang tidak mempunyai waktu
yang cukup dari yang diharapkan akibat adanya faktor-faktor situasional. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict tersebut, yaitu;
1. Faktor Pekerjaan
Merumuskan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, beberapa faktor
pada pekerjaan yang mempengaruhi work family conflict, yaitu; tipe
pekerjaan, komitmen waktu kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, peran
yang berlebihan dan fleksibilitas pekerjaan (Ahmad, 2008).
2. Faktor Keluarga
Faktor-faktor di keluarga yang mempengaruhi work family conflict
menurut, yaitu; jumlah anak, tahapan kehidupan, keterlibatan dalam
keluarga, dan pengasuhan anak (Ahmad, 2008).
Universitas Sumatera Utara
27
3. Faktor Individu
Sedangkan faktor individu yang mempengaruhi pengalaman work-family
conflict seseorang, yaitu; nilai-nilai yang dianut terhadap peran yang
dimiliki, orientasi peran gender, locus of control, dan sikap perfeksionis
(Ahmad, 2008).
4. Faktor Organisasi
Berdasarkan hasil penelitian Galinsky, Bond, & Friedman (1996) dapat
disimpulkan bahwa karyawan (yang sudah mempunyai anak) mempunyai
kinerja yang baik (memiliki sedikit konflik, sedikit stress, dan coping yang
lebih baik) jika karyawan tersebut mempunyai pekerjaan
yang
memungkinkan mereka untuk memiliki autonomi yang lebih besar, bisa
mengkontrol jadwal kerja, mempunyai lebih sedikit hambatan kerja, dan
rasa aman yang tinggi. Selain itu, karyawan tersebut juga mempunyai
kinerja yang baik jika mereka mempunyai lingkungan kerja yang suportif
(manajer yang suportif, budaya kerja yang suportif, dan kesempatan untuk
peningkatan karir) yang tidak dipengaruhi oleh gender.
B. Pengembangan Karir
1.
Pengertian Pengembangan Karir
Secara Tradisional, karir dapat diartikan dalam tiga cara (Noe, 2002) yaitu;
pertama, karir merupakan serangkaian posisi yang tersedia dalam suatu pekerjaan.
Kedua, karir merupakan mobilitas pekerjaan di dalam organisasi dan yang ketiga,
karir merupakan karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh karyawan karena
Universitas Sumatera Utara
28
setiap karir karyawan mempunyai pekerjaan, posisi, dan pengalaman yang
berbeda-beda satu sama lain. Pengembangan karir merupakan suatu proses dan
rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mempersiapkan karyawan di posisi
tertentu di dalam organisasi. (Melinda & Zulkarnain, 2004)
Bernardin (2003) menjelaskan bahwa pengembangan karir merupakan
suatu usaha yang formal, teratur, dan terencana untuk mencapai keseimbangan
antara kebutuhan karir karyawan dan kebutuhan tuntutan kerja perusahaan. Dalam
pelaksanaannya, pengembangan karir diatur untuk meningkatkan kepuasan karir
para karyawan dan untuk meningkatkan efektivitas perusahaan/organisasi.
Nawawi (2008) mengajukan beberapa pengertian dari pengembangan
karir, yaitu; pertama, pengembangan karir merupakan suatu rangkaian (urutan)
posisi atau jabatan yang ditempati seseorang selama masa kehidupan tertentu,
yaitu sejak awal memasuki suatu perusahaan sebegai pekerja sampai dengan
berhenti.
Kedua, pengembangan karir merupakan perubahan nilai-nilai, sikap, dan
motivasi yang terjadi pada seseorang seiring dengan perubahan/peningkatan
usianya yang semakin matang. Ketiga, pengembangan karir merupakan usaha
yang dilakukan secara formal dan berkelanjutan dengan difokuskan pada
peningkatan/penambahan kemampuan seorang karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan
karir merupakan upaya-upaya yang terencana, teratur, dan berkelanjutan untuk
mempersiapkan karyawan untuk meraih posisi ataupun keterampilan tertentu
dalam rangka meningkatkan kepuasan karyawan dan efektifitas organisasi.
Universitas Sumatera Utara
29
2.
Dimensi Pengembangan Karir
Noe (2002) mengatakan bahwa karyawan, manajer, dan perusahaan
mempunyai tanggung jawab dalam pengembangan karir. Baik karyawan, manajer,
ataupun perusahaan memiliki peran masing-masing dan upaya pengembangan
karir akan berjalan optimal ketika ketiga pihak ini menjalankan perannya dengan
baik.
a.
Peran Karyawan
Noe (2002) mengatakan bahwa perusahaan dengan perencanaan
pengembangan karir yang efektif biasanya mengharapkan karyawan untuk
bertanggung jawab penuh atas perjalanan karir mereka. Namun, bagaimanapun
kondisi pengembangan karir di suatu perusahaan, seorang karyawan harus
melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Berinsiatif untuk meminta masukan dari manajer dan rekan kerja
mengenai kekuatan dan kelemahan kemampuannya dalam bekerja.
2. Mengidentifikasi tahap perkembangan karir dan perkembangan kebutuhan
mereka
3. Mencari tantangan-tantangan melalui kesempatan-kesempatan belajar
yang tersedia.
4. Berinteraksi dengan karyawan lain dari divisi pekerjaan yang berbeda
ataupun dari perusahaan yang berbeda.
5. Menciptakan visibilitas (kemampuan „dilihat‟ oleh orang lain) melalui
hasil kinerja yang baik.
Universitas Sumatera Utara
30
b.
Peran Manajer
Menurut Noe (2002) manajer memainkan peranan penting dalam proses
pengembangan karir. Dalam banyak kasus, karyawan biasanya meminta saran
tentang karir mereka kepada manajer, karena manajer merupakan orang yang akan
mengevaluasi kesiapan karyawan untuk dipromosikan dan menjadi sumber
informasi untuk kesempatan karir yang tersedia. Untuk membantu karyawan
dalam mengembangkan karir mereka, seorang manajer harus efektif dalam empat
peran, yaitu; pelatih (coach), penilai (appraiser), penasehat (advisor), dan agen
perujuk (referral agent).
Sebagai pelatih, manajer bertanggung jawab untuk merumuskan,
memperjelas, dan mendalami permasalahan, minat, nilai, dan kebutuhan karyawan
yang berhubungan dengan pengembangan karir karyawan di perusahaannya.
Sebagai penilai, manajer memiliki tanggung jawab untuk memberikan masukan
atau umpan balik atas hasil kinerja karyawan. Selain itu, manajer juga bertugas
untuk memperjelas standar perusahaan, tanggung jawab pekerjaan, dan hal-hal
yang diharapkan perusahaan/organisasi dari karyawan dalam melakukan penilaian
kinerja. Dalam perannya sebagai penasehat, manajer bertugas untuk memberikan
saran ataupun rekomendasi yang dibutuhkan karyawan untuk mengembangkan
karir mereka. Manajer juga harus membantu karyawan menemukan pilihanpilihan tersedia untuk meningkatkan keahlian mereka, menambah pengalaman dan
menjalin hubungan dengan orang lain sehubungan dengan pengembangan karir
mereka. Selanjutnya, sebagai seorang agen perujuk, manajer bertugas untuk
Universitas Sumatera Utara
31
menghubungkan karyawan dengan sumber daya tertentu yang dapat membantu
karyawan mencapai karir yang lebih baik, seperti merujuk karyawan kepada
konselor karir, bagian personalia dan lain sebagainya (Noe, 2002).
c.
Peran Perusahaan
Noe (2002) mengemukakan bahwa perusahaan bertanggung jawab untuk
menyediakan sumber daya yang dibutuhkan karyawan agar berhasil dalam
perencanaan karir mereka. Sumber daya yang dimaksud meliputi program
maupun proses tertentu untuk perencanaan karir, yaitu;
1. Menyediakan program pelatihan dan pengembangan, misalnya seminar
mengenai topik-topik manajemen karir, membuat perencanaan karir secara
mandiri, menciptakan tujuan karir, dan melatih manajer dalam memahami
dan melaksanakan peran mereka dalam pengembangan karir.
2. Memberikan informasi mengenai kesempatan karir dan pekerjaan,
misalnya menyediakan sumber informasi mengenai pengembangan karir
yang dapat diakses karyawan baik dalam bentuk surat kabar, elektronik,
maupun website.
3. Menyediakan buku perencanaan kerja, yaitu buku panduan yang
mengarahkan karyawan melalui serangkaian latihan, diskusi tertulis, dan
panduan lainnya yang berhubungan dengan pengembangan karir mereka.
4. Menyediakan fasilitas konseling karir yang bisa dimanfaatkan oleh
karyawan yang membutuhkan pendampingan dalam menghadapi isu-isu
karir mereka, misalnya dalam menentukan pilihan karir, ataupun dalam
Universitas Sumatera Utara
32
mengambil keputusan karir yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan
dirinya.
5. Membentuk jalur karir dan menginformasikannya secara jelas kepada
karyawan. Perusahaan juga harus merencanakan serangkaian tahapan karir
dalam maupun antar pekerjaan dan keahlian ataupun kriteria lainnya yang
dibutuhkan karyawan agar dapat menduduki suatu posisi atau jabatan.
3.
Tahap-Tahap Pengembangan Karir
Menurut Noe (2002) pengembangan karir merupakan sebuah proses yang
melewati beberapa tahapan dimana disetiap tahapnya memiliki karakteristik tugas
pengembangan, kegiatan, dan hubungan yang berbeda. Keinginan untuk berhenti
bekerja, motivasi, dan kinerja karyawan dipengaruhi oleh seberapa baik
perusahaan menyusun tugas-tugas pengembangan di setiap tahapan karir. Adapun
tahap-tahap karir menurut Noe (2002), yaitu:
1. Exploration Stage
Pada tahap ini seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan tipe
pekerjaan yang diminatinya dengan mempertimbangkan minat dan nilainilai yang ada pada dirinya, dan juga mencari informasi mengenai
pekerjaan, karir, dan jabatan dari berbagai sumber yang ada. Begitu
mereka dapat menentukan pekerjaan seperti apa yang menarik bagi
mereka, maka selajutnya dapat ditentukan pendidikan dan pelatihan seperti
apa yang mereka butuhkan. Biasanya tahap ini terjadi pada usia remaja
sampai 29 tahun.
Universitas Sumatera Utara
33
2. Establishment Stage
Pada tahap ini seseorang sudah mampu berkontribusi secara lebih mandiri
pada pekerjaan mereka, mempunyai lebih banyak tanggung jawab, dan
membentuk gaya hidup yang diinginkan. Karyawan yang berada pada
tahap ini tertarik untuk dilihat sebagai orang yang mempunyai kontribusi
dalam perusahaan tempatnya bekerja. Selain itu, pada tahap ini juga
karyawan membutuhkan kebijakan dari perusahaan yang membantu
mereka dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga.
3. Maintenance Stage
Pada tahap ini karyawan fokus pada memperbaharui kemampuan dan
mempertahankan persepsi orang lain bahwa dirinya masih mempunyai
kontribusi pada perusahaan/organisasi. Karyawan pada tahap ini sudah
memiliki banyak pengalaman kerja, pengetahuan mengenai pekerjaan
mereka, dan pemahaman yang mendalam mengenai harapan-harapan
perusahaan/organisasi. sehingga, karyawan pada tahap ini biasanya dapat
menjadi mentor atau pelatih bagi karyawan baru.
4. Disengagement Stage
Pada tahap ini karyawan mengantisipasi perubahan yang terjadi pada
keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Karyawan
pada tahap ini mungkin mengambil peran sebagai seorang sponsor, yaitu
seseorang yang memberikan arahan pada karyawan lain, menjadi
perwakilan perusahaan, menjadi teladan, dan membuat keputusan.
Karyawan akan memilih untuk meninggalkan pekerjaan karena faktor usia,
Universitas Sumatera Utara
34
merjer, keinginan sendiri, atau penyusutan tenaga kerja. Sehingga mereka
akan kembali ke tahap eksplorasi.
C. Hubungan antara Pengembangan Karir dengan Work Family Conflict
Dalam pelaksanaannya, pengembangan karir diatur untuk meningkatkan
efektivitas perusahaan dan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
Kepuasan kerja merupakan hal penting bagi kehidupan individu yang bekerja.
Kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain work family conflict
(Soeharto, 2010). Work family conflict bisa terjadi akibat lamanya jam kerja dari
individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu harus
menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan dan
dalam keluarga, sehingga peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan kesulitan
dalam menjalankan peran di keluarga (pekerjaan) (Greenhauss & Beutell, 1985).
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Parasuraman dan Simmers
(2001) bahwa keterbatasan waktu yang dimiliki oleh seseorang berakibat pada
terbatasnya waktu untuk keluarga, ketegangan dalam suatu peran yang akhirnya
mempengaruhi kinerja peran yang lain, kesulitan perubahan perilaku dari peran
satu ke peran yang lain menyebabkan seseorang mempunyai sikap dan perasaan
negatif terhadap pekerjaannya. Kim dan Ling (2001) juga menambahkan bahwa
sikap dan perasaan yang negatif terhadap pekerjaan merupakan akibat dari work
family conflict yang dialami. Individu yang dapat menyeimbangkan peran dalam
pekerjaan dan keluarga akan membuat individu memiliki perasaan yang positif
Universitas Sumatera Utara
35
dengan tipe pekerjaan, puas dengan gaji, puas dengan promosi, puas dengan
manajer, dan puas dengan teman sekerja (Schultz & Schultz, 1994).
Dalam upaya untuk mengurangi tingkat work family conflict, Allen (2012)
menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan tiga bentuk dukungan. Dukungan
pertama, menyediakan sumber daya formal seperti pelayanan pengasuhan anak
dan fleksibilitas pengaturan jam kerja. Kedua, dukungan dalam bentuk supervisi
oleh manajer dan yang ketiga dalam bentuk peraturan perusahaan yang
mempertimbangkan faktor-faktor prioritas antara pekerjaan dan keluarga.
Berbagai bentuk dukungan tersebut merupakan aspek-aspek dari pengembangan
karir yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: peran karyawan, peran manajer, dan
peran perusahaan.
Noe (2002) mengemukakan bahwa karyawan, manajer, dan perusahaan
merupakan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal pengembangan karir
karyawan dalam suatu perusahaan. Masing-masing pihak memiliki peran tertentu
dalam pengembangan karir karyawan. Usaha pengembangan karir karyawan akan
berlangsung optimal jika ketiga pihak bertanggung jawab dalam melaksanakan
perannya masing-masing. Selanjutnya Noe (2002) menambahkan perusahaan
harus lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan pengembangan karir agar bisa
menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawannya. Saat ini,
peningkatan jumlah pasangan yang keduanya bekerja menciptakan tantangan
tersendiri bagi perusahaan dalam pengembangan karir.
Kossek, Pichler, Bodner, & Hammer (2011) mengemukakan bahwa,
dukungan perusahaan dan peran manajer pada hal-hal yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
36
kehidupan pekerjaan-keluarga karyawan dapat mengurangi tingkat work family
conflict yang mungkin dialami oleh karyawan tersebut. Hasil penelitian lainnya
menyatakan bahwa semakin baik dukungan manajer yang diterima karyawan,
semakin rendah work family conflict yang dialami (Allen, 2008; Allen, 2001;
Frone et al., 1997; Goff, Mount, & Jamison, 1990; Thomas & Ganster, 1995).
Nielson, Carlson, & Lankau (2001) menemukan bahwa jika karyawan memiliki
supervisor/manajer yang mempunyai nilai-nilai pekerjaan - keluarga yang sama
akan memiliki work family conflict yang lebih rendah.
Kurnia (2002) menyatakan bahwa fungsi pengembangan karir itu sendiri
adalah untuk meminimalkan peran yang harus dijalankan, membangun
kompetensi, mendorong tersedianya sumber daya manusia yang sesuai untuk
posisi penting. Selain itu Nurtjahjanti, Mujiasih, Prihatsanti, Prasetyo, dan
Ratnaningsih (2012) menjelaskan bahwa pengembangan karir juga berfungsi
sebagai pencegah stress kerja, memperbaiki kualitas hidup pekerja, dan
mengarahkan tindakan pada tujuan yang telah ditetapkan.
Pengembangan karir harus dilakukan karena karyawan tidak hanya ingin
memperoleh apa yang sudah dimilikinya, melainkan juga mengharapkan
perubahan, kemajuan dan kesempatan untuk berkembang. Beberapa hal yang
mempengaruhi pengembangan karir pada karyawan, yaitu : pertama, keinginan
untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan intelektual; kedua, untuk
memperoleh kompensasi yang lebih besar dari yang biasanya; ketiga, untuk
mendapatkan kebebasan di dalam pekerjaan; keempat, untuk menjamin
Universitas Sumatera Utara
37
keamanan di tempat kerja dan yang terakhir untuk mendapatkan pencapaian di
dalam pekerjaan (Melinda & Zulkarnain, 2004)
Greenhaus dan Beutell (1985) mengatakan bahwa konflik muncul ketika
(i) waktu yang digunakan untuk memenuhi suatu peran menghambat pemenuhan
peran lainnya, (ii) tuntutan suatu peran yang mengarah pada ketegangan, dan
mudah marah akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menjalankan
peran lainnya, (iii) tuntutan perilaku disuatu peran bertentangan dengan harapan
berperilaku di peran yang lainnya. Selanjutnya, Greenhaus, Allen, dan Spector
(2006) menambahkan dimensi work family conflict yaitu; (iv) tuntutan peran yang
satu menyebabkan kelelahan fisik, tenaga dan emosional sehingga menghambat
pemenuhan peran lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk work family conflict,
yaitu: pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga (work interference
family) dan kehidupan rumah tangga yang mengganggu pekerjaan (family
interference work) (Frone, Russel, & Cooper, 1992a; Allen, Herst, Bruck, &
Sutton, 2000). Namun pada penelitian ini hanya fokus kepada work interference
family (WIF) saja. Hal ini berdasarkan penelitian Byron (2005) yang menemukan
bahwa WIF mempunyai dampak yang lebih besar terhadap work family conflict
dibandingkan dengan family interference work (FIW). Selain itu WIF dinilai
memiliki hubungan yang erat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan
pekerjaan.
Menurut Ahmad (2008) adapun faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya work family conflict, yaitu dari pekerjaan meliputi tipe pekerjaan,
Universitas Sumatera Utara
38
komitmen waktu kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, peran yang berlebihan dan
fleksibilitas pekerjaan. Waktu kerja yang terlalu panjang akan berdampak buruk
bagi
kehidupan
keluarga
dan
karyawan
itu
sendiri
yang
mencoba
menyeimbangkan antara perannya di pekerjaan dan di keluarga. Kossek, Pichler,
Bodner, & Hammer (2011) menambahkan bahwa, peran organisasi dan peran
manajer pada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pekerjaan-keluarga
karyawan dapat mengurangi tingkat work family conflict yang mungkin dialami
oleh karyawan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, Guitian (2009)
menilai bahwa work family conflict berhubungan erat dengan ketidakhadiran,
penurunan produktivitas, ketidakpuasan kerja, penurunan komitmen organisasi,
kurangnya kepuasan hidup, kecemasan, kelelahan, distress psikologikal, depresi,
penyakit fisik, penggunaan alkolhol, atau masalah dalam pernikahan sehingga
dapat menurunkan kinerja dan kesejahteraan karyawan.
Zulkarnain (2013) menjelaskan bahwa penilaian pengembangan karir yang
positif dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan tiga cara, yaitu:
pertama, efektivitas pengembangan karir akan diperoleh jika kegiatan
pengembangan karir dilakukan secara bersama-sama antara karyawan, pengusaha
dan organisasi. Karyawan yang menilai pengembangan karirnya secara positif dan
mendapat dukungan dari perusahaan akan cenderung merasa puas dengan
pekerjaan dan karirnya, sehingga lebih loyal pada perusahaan dan memiliki
kinerja yang lebih produktif.
Universitas Sumatera Utara
39
Kedua, pengembangan karir merupakan usaha untuk menyesuaikan tujuan
karyawan dengan peluang karir yang tersedia di perusahaan tempatnya bekerja.
Sehingga, penilaian karyawan mengenai pengembangan karir dipengaruhi oleh
interaksi antara nilai, harapan, dan tujuan karyawan tersebut yang diperoleh
melalui pengalaman selama menjalankan pekerjaannya. Ketiga, perusahaan yang
mengembangkan
sumber
daya
manusia
dengan
efektif
akan
memiliki
produktivitas, nilai pasar, dan pertumbuhan laba yang tinggi. Sehingga nantinya,
perusahaan dapat memenuhi kebutuhan perusahaan, pemegang saham, investor,
dan kebutuhan karyawan dengan berbagai cara sesuai dengan kapasitas yang
dimiliki oleh perusahaan. Pada akhirnya, sumber daya manusia yang bekerja
diperusahaan tersebut akan mampu mengembangkan diri secara lebih optimal.
Nurtjahjanti, Mujiasih, Prihatsanti, Prasetyo, dan Ratnaningsih (2012)
menyatakan bahwa perusahaan yang memberikan kesempatan karir pada
karyawannya, merupakan salah satu faktor pendorong yang bagus untuk dapat
meningkatkan prestasi kerja karyawan. Sedangkan Boles, Howard dan Donofrio
(2001) menyatakan bahwa work family conflict bisa menurunkan prestasi kerja
karyawan. Karyawan yang mengalami tingkat work family conflict yang tinggi
melaporkan menurunnya prestasi kerja karena merasa lebih dikuasai oleh
pekerjaannya yang mengakibatkan karyawan tidak bisa memenuhi tanggung
jawab keluarganya dan mengurangi kualitas kehidupan keluarganya (Cristine ,
Oktarina dan Indah, 2010).
Variabel demografis seperti gender dan jumlah anak juga diperkirakan
dapat menyebabkan work family conflict (Allen, 2012). Banyak karyawan wanita
Universitas Sumatera Utara
40
yang merasa gagal di kedua domain (pekerjaan-keluarga), karena untuk bisa
memenuhi kriteria karyawan ideal (misalnya bekerja 40 jam per minggu), wanita
merasa harus mengorbankan perannya sebagai ibu bahkan mengorbankan
keinginan untuk mempunyai anak (Noe, 2002). Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan Robbins (2001) bahwa karyawan yang bekerja lebih dari 40 jam per
minggu cenderung mengalami work family conflict.
Namun, dalam penelitian meta-analitisnya Byron (2005) menyimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara laki-laki dan wanita
dalam work family conflict. Selain itu Byron juga menambahkan bahwa status
pernikahan (menikah atau tidak menikah) juga mempengaruhi munculnya work
family conflict, orang tua tunggal atau yang bercerai akan mengalami work family
conflict yang lebih besar. Selanjutnya Higgins & Duxbury (1992) menemukan
bahwa pasangan yang keduanya bekerja lebih besar kemungkinannya untuk
mengalami work family conflict.
Jumlah anak yang dimiliki secara konsisten berhubungan dengan work
family conflict pada kedua arah (Bruck & Allen, 2003; Carlson, 1999). Dalam
penelitiannya Carlson (1999) menemukan bahwa keberadaan anak menjadi faktor
yang paling kuat yang menyebabkan munculnya work family conflict. Byron
(2005) menyimpulkan bahwa keberadaan anak menjadi faktor moderator terhadap
hubungan work family conflict dan gender. Noe (2002) menambahkan bahwa
berdasarkan hasil penelitian pasangan yang keduanya bekerja, orang tua tunggal,
dan keluarga yang memiliki anak yang berusia kurang dari 5 tahun cenderung
mengalami work family conflict.
Universitas Sumatera Utara
41
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa ketika karyawan memiliki
pengembangan karir yang positif, maka karyawan tersebut akan merasa puas
dengan pekerjaannya sehingga lebih efisien dalam bekerja dan pada akhirnya
diharapkan memiliki work-family conflict yang lebih rendah. Hal ini
menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai apakah
terdapat hubungan antara pengembangan karir dengan work-family conflict.
D. Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan satu hipotesis sebagai jawaban sementara
terhadap permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya. Adapun hipotesis
dalam penelitian ini, yaitu:
“Adanya hubungan negatif antara pengembangan karir dan work-family
conflict”
Karyawan yang memiliki pengembangan karir yang positif akan memiliki
tingkat work family conflict yang rendah. Sebaliknya, karyawan yang memiliki
pengembangan karir yang negatif, menyebabkan karyawan tersebut memiliki
tingkat work family conflict yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Work Family Conflict
1.
Pengertian Work Family Conflict
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) work family conflict merupakan
konflik antar peran dimana tuntutan peran dipekerjaan dan dirumah saling
bertentangan satu sama lain. Konflik peran ganda bisa terjadi akibat lamanya jam
kerja dari individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu
harus menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan
dan dalam keluarga, sehingga peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan
kesulitan dalam menjalankan peran di keluarga (pekerjaan).
Greenhaus, Allen, & Spector (2006) memperbaharui definisi work family
conflict, yaitu: pemenuhan peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan
berkurangnya kinerja dalam pemenuhanan peran di keluarga (pekerjaan). Pada
pengertian ini dapat dilihat bahwa work family conflict merupakan konflik kinerja
antar peran yang saling tumpang tindih.
Grandey, Bryanne, & Ann (2005) menyatakan bahwa work family conflict
dapat menghabiskan waktu dan energi seseorang sehingga menyebabkan
munculnya perasaan terancam dalam diri seseorang serta perilaku negatif dalam
pekerjaannya. Work family conflict merupakan suatu bentuk konflik antar peran
dimana kesulitan yang dihadapi, keterbatasan waktu yang dimiliki, dan
ketegangan yang dialami muncul diakibatkan oleh tanggung jawab dipekerjaan
Universitas Sumatera Utara
23
tumpang tindih dengan tanggung jawab di keluarga (Netemeyer, Boles, &
McMurrian, 1996; Hennessy, 2005).
Jadi berdasarkan pemaparan pengertian di atas, work family conflict
merupakan salah satu bentuk konflik antar peran dimana tuntutan peran di
pekerjaan saling tumpang tindih dengan tuntutan peran di keluarga, pemenuhan
terhadap peran yang satu akan menggangu pemenuhan peran yang lainnya
sehingga memunculkan perilaku yang tidak diharapkan dalam pekerjaan.
2.
Dimensi Work Family Conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi
work family conflict, yaitu:
1. Time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang
tersedia untuk memenuhi peran di pekerjaan (keluarga) tidak dapat
digunakan untuk memenuhi peran di keluarga (pekerjaan) dengan kata lain
pada waktu yang sama seorang yang mengalami work family conflict tidak
akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus.
2. Strain-based conflict, merupakan ketegangan yang disebabkan oleh salah
satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya
yang lain. Misalnya, seorang karyawan yang seharian bekerja akan
merasakan kelelahan dan menyebabkannya kesulitan dalam melakukan
pekerjaan di rumah. Konflik ketegangan ini bisa memicu tekanan darah
meningkat, kecemasan, kelelahan, cepat marah dan depresi.
Universitas Sumatera Utara
24
3. Behavior-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika pola dari
suatu perilaku pada peran yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan
harapan perilaku pada peran yang lainnya. Sebagai contoh seorang
manajer pria saat bekerja diharapkan memiliki kepercayaan diri, emosi
yang stabil, agresif, dan objektif, sedangkan ketika berada di rumah
mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi, dan
emosional. Jika seseorang tidak bisa menyesuaikan perilakunya dengan
berbagai peran yang berbeda, maka akan mengalami konflik antar peranperan tersebut.
Selanjutnya, Greenhaus, Allen, dan Spector (2006) menambahkan dimensi
work family conflict yang keempat yaitu;
4. Energy-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika peran yang
satu menyebabkan kelelahan fisik dan emosional sehingga menghambat
pemenuhan peran lainnya. Misalnya, seorang karyawan yang sangat lelah
untuk bekerja di pagi hari karena semalaman menjaga anak yang sakit.
3.
Bentuk-bentuk Work Family Conflict
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk work family conflict,
yaitu: pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga (work interference
family) dan kehidupan rumah tangga yang mengganggu pekerjaan (family
interference work) (Frone, Russel, & Cooper, 1992a; Allen, Herst, Bruck, &
Sutton, 2000).
Universitas Sumatera Utara
25
Byron (2005) menemukan bahwa work interference family (WIF)
mempunyai dampak yang lebih besar terhadap work family conflict dibandingkan
dengan family interference work (FIW). Selain itu WIF dinilai memiliki hubungan
yang erat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Hasil
penelitian Netemeyer, McMurrian, & Boles (1996) pada guru, sales, dan
bisnisman menunjukkan WIF lebih mempengaruhi kepuasan kerja daripada
konflik FIW.
4.
Konsekuensi-Konsekuensi Work Family Conflict
Work family conflict memiliki banyak konsekuensi (Allen, Herst, Bruck,
dan Sutton, 2000) yaitu pertama, yang mencakup hasil kinerja seperti: kepuasan
kerja, motivasi, komitmen organisasi, keinginan untuk pindah, absensi, prestasi
kerja, kepuasan karir, dan keberhasilan karir. Kedua, yang mencakup hasil di luar
pekerjaan seperti: kehidupan pernikahan, waktu luang dan kepuasan hidup, dan
pelaksanaan peran di keluarga. Ketiga, yang mencakup munculnya stres seperti:
ketegangan psikologis, kesehatan fisik, depresi, burnout, penyalahgunaan obatobatan, dan stres pada pekerjaan.
Menurut O‟Driscoll (2006) ada beberapa konsekuensi bagi karyawan yang
mengalami work family conflict, di antaranya yaitu: ketidakhadiran dan perilaku
withdrawal, kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik, konsumsi alkohol, dan
kepuasan, baik kepuasan keluarga maupun kepuasan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
26
5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Family Conflict
Ahmad (2008) menciptakan suatu model yang dikembangkan berdasarkan
model stress-strain dan teori identitas sosial. Menurut teori stress-strain, faktor
pemicu mengarah pada stressor, sedangkan konflik mengarah pada ketegangan
(strain). Teori identitas sosial mengatakan bahwa setiap individu selalu
mengklasifikasikan dirinya ke dalam beberapa kategori sosial yang menentukan
identitas dan peran mereka dalam lingkungan sosial. Setiap peran yang ada
memberikan aspek-aspek identitas yang berbeda pada diri individu, misalnya
seseorang yang menganggap bahwa kehidupan pekerjaannya merupakan aspek
yang sangat penting dari identitas mereka. Konflik dapat muncul ketika dalam
menjalankan peran yang dianggap penting, seseorang tidak mempunyai waktu
yang cukup dari yang diharapkan akibat adanya faktor-faktor situasional. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict tersebut, yaitu;
1. Faktor Pekerjaan
Merumuskan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, beberapa faktor
pada pekerjaan yang mempengaruhi work family conflict, yaitu; tipe
pekerjaan, komitmen waktu kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, peran
yang berlebihan dan fleksibilitas pekerjaan (Ahmad, 2008).
2. Faktor Keluarga
Faktor-faktor di keluarga yang mempengaruhi work family conflict
menurut, yaitu; jumlah anak, tahapan kehidupan, keterlibatan dalam
keluarga, dan pengasuhan anak (Ahmad, 2008).
Universitas Sumatera Utara
27
3. Faktor Individu
Sedangkan faktor individu yang mempengaruhi pengalaman work-family
conflict seseorang, yaitu; nilai-nilai yang dianut terhadap peran yang
dimiliki, orientasi peran gender, locus of control, dan sikap perfeksionis
(Ahmad, 2008).
4. Faktor Organisasi
Berdasarkan hasil penelitian Galinsky, Bond, & Friedman (1996) dapat
disimpulkan bahwa karyawan (yang sudah mempunyai anak) mempunyai
kinerja yang baik (memiliki sedikit konflik, sedikit stress, dan coping yang
lebih baik) jika karyawan tersebut mempunyai pekerjaan
yang
memungkinkan mereka untuk memiliki autonomi yang lebih besar, bisa
mengkontrol jadwal kerja, mempunyai lebih sedikit hambatan kerja, dan
rasa aman yang tinggi. Selain itu, karyawan tersebut juga mempunyai
kinerja yang baik jika mereka mempunyai lingkungan kerja yang suportif
(manajer yang suportif, budaya kerja yang suportif, dan kesempatan untuk
peningkatan karir) yang tidak dipengaruhi oleh gender.
B. Pengembangan Karir
1.
Pengertian Pengembangan Karir
Secara Tradisional, karir dapat diartikan dalam tiga cara (Noe, 2002) yaitu;
pertama, karir merupakan serangkaian posisi yang tersedia dalam suatu pekerjaan.
Kedua, karir merupakan mobilitas pekerjaan di dalam organisasi dan yang ketiga,
karir merupakan karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh karyawan karena
Universitas Sumatera Utara
28
setiap karir karyawan mempunyai pekerjaan, posisi, dan pengalaman yang
berbeda-beda satu sama lain. Pengembangan karir merupakan suatu proses dan
rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mempersiapkan karyawan di posisi
tertentu di dalam organisasi. (Melinda & Zulkarnain, 2004)
Bernardin (2003) menjelaskan bahwa pengembangan karir merupakan
suatu usaha yang formal, teratur, dan terencana untuk mencapai keseimbangan
antara kebutuhan karir karyawan dan kebutuhan tuntutan kerja perusahaan. Dalam
pelaksanaannya, pengembangan karir diatur untuk meningkatkan kepuasan karir
para karyawan dan untuk meningkatkan efektivitas perusahaan/organisasi.
Nawawi (2008) mengajukan beberapa pengertian dari pengembangan
karir, yaitu; pertama, pengembangan karir merupakan suatu rangkaian (urutan)
posisi atau jabatan yang ditempati seseorang selama masa kehidupan tertentu,
yaitu sejak awal memasuki suatu perusahaan sebegai pekerja sampai dengan
berhenti.
Kedua, pengembangan karir merupakan perubahan nilai-nilai, sikap, dan
motivasi yang terjadi pada seseorang seiring dengan perubahan/peningkatan
usianya yang semakin matang. Ketiga, pengembangan karir merupakan usaha
yang dilakukan secara formal dan berkelanjutan dengan difokuskan pada
peningkatan/penambahan kemampuan seorang karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan
karir merupakan upaya-upaya yang terencana, teratur, dan berkelanjutan untuk
mempersiapkan karyawan untuk meraih posisi ataupun keterampilan tertentu
dalam rangka meningkatkan kepuasan karyawan dan efektifitas organisasi.
Universitas Sumatera Utara
29
2.
Dimensi Pengembangan Karir
Noe (2002) mengatakan bahwa karyawan, manajer, dan perusahaan
mempunyai tanggung jawab dalam pengembangan karir. Baik karyawan, manajer,
ataupun perusahaan memiliki peran masing-masing dan upaya pengembangan
karir akan berjalan optimal ketika ketiga pihak ini menjalankan perannya dengan
baik.
a.
Peran Karyawan
Noe (2002) mengatakan bahwa perusahaan dengan perencanaan
pengembangan karir yang efektif biasanya mengharapkan karyawan untuk
bertanggung jawab penuh atas perjalanan karir mereka. Namun, bagaimanapun
kondisi pengembangan karir di suatu perusahaan, seorang karyawan harus
melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Berinsiatif untuk meminta masukan dari manajer dan rekan kerja
mengenai kekuatan dan kelemahan kemampuannya dalam bekerja.
2. Mengidentifikasi tahap perkembangan karir dan perkembangan kebutuhan
mereka
3. Mencari tantangan-tantangan melalui kesempatan-kesempatan belajar
yang tersedia.
4. Berinteraksi dengan karyawan lain dari divisi pekerjaan yang berbeda
ataupun dari perusahaan yang berbeda.
5. Menciptakan visibilitas (kemampuan „dilihat‟ oleh orang lain) melalui
hasil kinerja yang baik.
Universitas Sumatera Utara
30
b.
Peran Manajer
Menurut Noe (2002) manajer memainkan peranan penting dalam proses
pengembangan karir. Dalam banyak kasus, karyawan biasanya meminta saran
tentang karir mereka kepada manajer, karena manajer merupakan orang yang akan
mengevaluasi kesiapan karyawan untuk dipromosikan dan menjadi sumber
informasi untuk kesempatan karir yang tersedia. Untuk membantu karyawan
dalam mengembangkan karir mereka, seorang manajer harus efektif dalam empat
peran, yaitu; pelatih (coach), penilai (appraiser), penasehat (advisor), dan agen
perujuk (referral agent).
Sebagai pelatih, manajer bertanggung jawab untuk merumuskan,
memperjelas, dan mendalami permasalahan, minat, nilai, dan kebutuhan karyawan
yang berhubungan dengan pengembangan karir karyawan di perusahaannya.
Sebagai penilai, manajer memiliki tanggung jawab untuk memberikan masukan
atau umpan balik atas hasil kinerja karyawan. Selain itu, manajer juga bertugas
untuk memperjelas standar perusahaan, tanggung jawab pekerjaan, dan hal-hal
yang diharapkan perusahaan/organisasi dari karyawan dalam melakukan penilaian
kinerja. Dalam perannya sebagai penasehat, manajer bertugas untuk memberikan
saran ataupun rekomendasi yang dibutuhkan karyawan untuk mengembangkan
karir mereka. Manajer juga harus membantu karyawan menemukan pilihanpilihan tersedia untuk meningkatkan keahlian mereka, menambah pengalaman dan
menjalin hubungan dengan orang lain sehubungan dengan pengembangan karir
mereka. Selanjutnya, sebagai seorang agen perujuk, manajer bertugas untuk
Universitas Sumatera Utara
31
menghubungkan karyawan dengan sumber daya tertentu yang dapat membantu
karyawan mencapai karir yang lebih baik, seperti merujuk karyawan kepada
konselor karir, bagian personalia dan lain sebagainya (Noe, 2002).
c.
Peran Perusahaan
Noe (2002) mengemukakan bahwa perusahaan bertanggung jawab untuk
menyediakan sumber daya yang dibutuhkan karyawan agar berhasil dalam
perencanaan karir mereka. Sumber daya yang dimaksud meliputi program
maupun proses tertentu untuk perencanaan karir, yaitu;
1. Menyediakan program pelatihan dan pengembangan, misalnya seminar
mengenai topik-topik manajemen karir, membuat perencanaan karir secara
mandiri, menciptakan tujuan karir, dan melatih manajer dalam memahami
dan melaksanakan peran mereka dalam pengembangan karir.
2. Memberikan informasi mengenai kesempatan karir dan pekerjaan,
misalnya menyediakan sumber informasi mengenai pengembangan karir
yang dapat diakses karyawan baik dalam bentuk surat kabar, elektronik,
maupun website.
3. Menyediakan buku perencanaan kerja, yaitu buku panduan yang
mengarahkan karyawan melalui serangkaian latihan, diskusi tertulis, dan
panduan lainnya yang berhubungan dengan pengembangan karir mereka.
4. Menyediakan fasilitas konseling karir yang bisa dimanfaatkan oleh
karyawan yang membutuhkan pendampingan dalam menghadapi isu-isu
karir mereka, misalnya dalam menentukan pilihan karir, ataupun dalam
Universitas Sumatera Utara
32
mengambil keputusan karir yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan
dirinya.
5. Membentuk jalur karir dan menginformasikannya secara jelas kepada
karyawan. Perusahaan juga harus merencanakan serangkaian tahapan karir
dalam maupun antar pekerjaan dan keahlian ataupun kriteria lainnya yang
dibutuhkan karyawan agar dapat menduduki suatu posisi atau jabatan.
3.
Tahap-Tahap Pengembangan Karir
Menurut Noe (2002) pengembangan karir merupakan sebuah proses yang
melewati beberapa tahapan dimana disetiap tahapnya memiliki karakteristik tugas
pengembangan, kegiatan, dan hubungan yang berbeda. Keinginan untuk berhenti
bekerja, motivasi, dan kinerja karyawan dipengaruhi oleh seberapa baik
perusahaan menyusun tugas-tugas pengembangan di setiap tahapan karir. Adapun
tahap-tahap karir menurut Noe (2002), yaitu:
1. Exploration Stage
Pada tahap ini seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan tipe
pekerjaan yang diminatinya dengan mempertimbangkan minat dan nilainilai yang ada pada dirinya, dan juga mencari informasi mengenai
pekerjaan, karir, dan jabatan dari berbagai sumber yang ada. Begitu
mereka dapat menentukan pekerjaan seperti apa yang menarik bagi
mereka, maka selajutnya dapat ditentukan pendidikan dan pelatihan seperti
apa yang mereka butuhkan. Biasanya tahap ini terjadi pada usia remaja
sampai 29 tahun.
Universitas Sumatera Utara
33
2. Establishment Stage
Pada tahap ini seseorang sudah mampu berkontribusi secara lebih mandiri
pada pekerjaan mereka, mempunyai lebih banyak tanggung jawab, dan
membentuk gaya hidup yang diinginkan. Karyawan yang berada pada
tahap ini tertarik untuk dilihat sebagai orang yang mempunyai kontribusi
dalam perusahaan tempatnya bekerja. Selain itu, pada tahap ini juga
karyawan membutuhkan kebijakan dari perusahaan yang membantu
mereka dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga.
3. Maintenance Stage
Pada tahap ini karyawan fokus pada memperbaharui kemampuan dan
mempertahankan persepsi orang lain bahwa dirinya masih mempunyai
kontribusi pada perusahaan/organisasi. Karyawan pada tahap ini sudah
memiliki banyak pengalaman kerja, pengetahuan mengenai pekerjaan
mereka, dan pemahaman yang mendalam mengenai harapan-harapan
perusahaan/organisasi. sehingga, karyawan pada tahap ini biasanya dapat
menjadi mentor atau pelatih bagi karyawan baru.
4. Disengagement Stage
Pada tahap ini karyawan mengantisipasi perubahan yang terjadi pada
keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Karyawan
pada tahap ini mungkin mengambil peran sebagai seorang sponsor, yaitu
seseorang yang memberikan arahan pada karyawan lain, menjadi
perwakilan perusahaan, menjadi teladan, dan membuat keputusan.
Karyawan akan memilih untuk meninggalkan pekerjaan karena faktor usia,
Universitas Sumatera Utara
34
merjer, keinginan sendiri, atau penyusutan tenaga kerja. Sehingga mereka
akan kembali ke tahap eksplorasi.
C. Hubungan antara Pengembangan Karir dengan Work Family Conflict
Dalam pelaksanaannya, pengembangan karir diatur untuk meningkatkan
efektivitas perusahaan dan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
Kepuasan kerja merupakan hal penting bagi kehidupan individu yang bekerja.
Kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain work family conflict
(Soeharto, 2010). Work family conflict bisa terjadi akibat lamanya jam kerja dari
individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu harus
menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan dan
dalam keluarga, sehingga peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan kesulitan
dalam menjalankan peran di keluarga (pekerjaan) (Greenhauss & Beutell, 1985).
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Parasuraman dan Simmers
(2001) bahwa keterbatasan waktu yang dimiliki oleh seseorang berakibat pada
terbatasnya waktu untuk keluarga, ketegangan dalam suatu peran yang akhirnya
mempengaruhi kinerja peran yang lain, kesulitan perubahan perilaku dari peran
satu ke peran yang lain menyebabkan seseorang mempunyai sikap dan perasaan
negatif terhadap pekerjaannya. Kim dan Ling (2001) juga menambahkan bahwa
sikap dan perasaan yang negatif terhadap pekerjaan merupakan akibat dari work
family conflict yang dialami. Individu yang dapat menyeimbangkan peran dalam
pekerjaan dan keluarga akan membuat individu memiliki perasaan yang positif
Universitas Sumatera Utara
35
dengan tipe pekerjaan, puas dengan gaji, puas dengan promosi, puas dengan
manajer, dan puas dengan teman sekerja (Schultz & Schultz, 1994).
Dalam upaya untuk mengurangi tingkat work family conflict, Allen (2012)
menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan tiga bentuk dukungan. Dukungan
pertama, menyediakan sumber daya formal seperti pelayanan pengasuhan anak
dan fleksibilitas pengaturan jam kerja. Kedua, dukungan dalam bentuk supervisi
oleh manajer dan yang ketiga dalam bentuk peraturan perusahaan yang
mempertimbangkan faktor-faktor prioritas antara pekerjaan dan keluarga.
Berbagai bentuk dukungan tersebut merupakan aspek-aspek dari pengembangan
karir yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: peran karyawan, peran manajer, dan
peran perusahaan.
Noe (2002) mengemukakan bahwa karyawan, manajer, dan perusahaan
merupakan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal pengembangan karir
karyawan dalam suatu perusahaan. Masing-masing pihak memiliki peran tertentu
dalam pengembangan karir karyawan. Usaha pengembangan karir karyawan akan
berlangsung optimal jika ketiga pihak bertanggung jawab dalam melaksanakan
perannya masing-masing. Selanjutnya Noe (2002) menambahkan perusahaan
harus lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan pengembangan karir agar bisa
menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawannya. Saat ini,
peningkatan jumlah pasangan yang keduanya bekerja menciptakan tantangan
tersendiri bagi perusahaan dalam pengembangan karir.
Kossek, Pichler, Bodner, & Hammer (2011) mengemukakan bahwa,
dukungan perusahaan dan peran manajer pada hal-hal yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
36
kehidupan pekerjaan-keluarga karyawan dapat mengurangi tingkat work family
conflict yang mungkin dialami oleh karyawan tersebut. Hasil penelitian lainnya
menyatakan bahwa semakin baik dukungan manajer yang diterima karyawan,
semakin rendah work family conflict yang dialami (Allen, 2008; Allen, 2001;
Frone et al., 1997; Goff, Mount, & Jamison, 1990; Thomas & Ganster, 1995).
Nielson, Carlson, & Lankau (2001) menemukan bahwa jika karyawan memiliki
supervisor/manajer yang mempunyai nilai-nilai pekerjaan - keluarga yang sama
akan memiliki work family conflict yang lebih rendah.
Kurnia (2002) menyatakan bahwa fungsi pengembangan karir itu sendiri
adalah untuk meminimalkan peran yang harus dijalankan, membangun
kompetensi, mendorong tersedianya sumber daya manusia yang sesuai untuk
posisi penting. Selain itu Nurtjahjanti, Mujiasih, Prihatsanti, Prasetyo, dan
Ratnaningsih (2012) menjelaskan bahwa pengembangan karir juga berfungsi
sebagai pencegah stress kerja, memperbaiki kualitas hidup pekerja, dan
mengarahkan tindakan pada tujuan yang telah ditetapkan.
Pengembangan karir harus dilakukan karena karyawan tidak hanya ingin
memperoleh apa yang sudah dimilikinya, melainkan juga mengharapkan
perubahan, kemajuan dan kesempatan untuk berkembang. Beberapa hal yang
mempengaruhi pengembangan karir pada karyawan, yaitu : pertama, keinginan
untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan intelektual; kedua, untuk
memperoleh kompensasi yang lebih besar dari yang biasanya; ketiga, untuk
mendapatkan kebebasan di dalam pekerjaan; keempat, untuk menjamin
Universitas Sumatera Utara
37
keamanan di tempat kerja dan yang terakhir untuk mendapatkan pencapaian di
dalam pekerjaan (Melinda & Zulkarnain, 2004)
Greenhaus dan Beutell (1985) mengatakan bahwa konflik muncul ketika
(i) waktu yang digunakan untuk memenuhi suatu peran menghambat pemenuhan
peran lainnya, (ii) tuntutan suatu peran yang mengarah pada ketegangan, dan
mudah marah akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menjalankan
peran lainnya, (iii) tuntutan perilaku disuatu peran bertentangan dengan harapan
berperilaku di peran yang lainnya. Selanjutnya, Greenhaus, Allen, dan Spector
(2006) menambahkan dimensi work family conflict yaitu; (iv) tuntutan peran yang
satu menyebabkan kelelahan fisik, tenaga dan emosional sehingga menghambat
pemenuhan peran lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk work family conflict,
yaitu: pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga (work interference
family) dan kehidupan rumah tangga yang mengganggu pekerjaan (family
interference work) (Frone, Russel, & Cooper, 1992a; Allen, Herst, Bruck, &
Sutton, 2000). Namun pada penelitian ini hanya fokus kepada work interference
family (WIF) saja. Hal ini berdasarkan penelitian Byron (2005) yang menemukan
bahwa WIF mempunyai dampak yang lebih besar terhadap work family conflict
dibandingkan dengan family interference work (FIW). Selain itu WIF dinilai
memiliki hubungan yang erat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan
pekerjaan.
Menurut Ahmad (2008) adapun faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya work family conflict, yaitu dari pekerjaan meliputi tipe pekerjaan,
Universitas Sumatera Utara
38
komitmen waktu kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, peran yang berlebihan dan
fleksibilitas pekerjaan. Waktu kerja yang terlalu panjang akan berdampak buruk
bagi
kehidupan
keluarga
dan
karyawan
itu
sendiri
yang
mencoba
menyeimbangkan antara perannya di pekerjaan dan di keluarga. Kossek, Pichler,
Bodner, & Hammer (2011) menambahkan bahwa, peran organisasi dan peran
manajer pada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pekerjaan-keluarga
karyawan dapat mengurangi tingkat work family conflict yang mungkin dialami
oleh karyawan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, Guitian (2009)
menilai bahwa work family conflict berhubungan erat dengan ketidakhadiran,
penurunan produktivitas, ketidakpuasan kerja, penurunan komitmen organisasi,
kurangnya kepuasan hidup, kecemasan, kelelahan, distress psikologikal, depresi,
penyakit fisik, penggunaan alkolhol, atau masalah dalam pernikahan sehingga
dapat menurunkan kinerja dan kesejahteraan karyawan.
Zulkarnain (2013) menjelaskan bahwa penilaian pengembangan karir yang
positif dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan tiga cara, yaitu:
pertama, efektivitas pengembangan karir akan diperoleh jika kegiatan
pengembangan karir dilakukan secara bersama-sama antara karyawan, pengusaha
dan organisasi. Karyawan yang menilai pengembangan karirnya secara positif dan
mendapat dukungan dari perusahaan akan cenderung merasa puas dengan
pekerjaan dan karirnya, sehingga lebih loyal pada perusahaan dan memiliki
kinerja yang lebih produktif.
Universitas Sumatera Utara
39
Kedua, pengembangan karir merupakan usaha untuk menyesuaikan tujuan
karyawan dengan peluang karir yang tersedia di perusahaan tempatnya bekerja.
Sehingga, penilaian karyawan mengenai pengembangan karir dipengaruhi oleh
interaksi antara nilai, harapan, dan tujuan karyawan tersebut yang diperoleh
melalui pengalaman selama menjalankan pekerjaannya. Ketiga, perusahaan yang
mengembangkan
sumber
daya
manusia
dengan
efektif
akan
memiliki
produktivitas, nilai pasar, dan pertumbuhan laba yang tinggi. Sehingga nantinya,
perusahaan dapat memenuhi kebutuhan perusahaan, pemegang saham, investor,
dan kebutuhan karyawan dengan berbagai cara sesuai dengan kapasitas yang
dimiliki oleh perusahaan. Pada akhirnya, sumber daya manusia yang bekerja
diperusahaan tersebut akan mampu mengembangkan diri secara lebih optimal.
Nurtjahjanti, Mujiasih, Prihatsanti, Prasetyo, dan Ratnaningsih (2012)
menyatakan bahwa perusahaan yang memberikan kesempatan karir pada
karyawannya, merupakan salah satu faktor pendorong yang bagus untuk dapat
meningkatkan prestasi kerja karyawan. Sedangkan Boles, Howard dan Donofrio
(2001) menyatakan bahwa work family conflict bisa menurunkan prestasi kerja
karyawan. Karyawan yang mengalami tingkat work family conflict yang tinggi
melaporkan menurunnya prestasi kerja karena merasa lebih dikuasai oleh
pekerjaannya yang mengakibatkan karyawan tidak bisa memenuhi tanggung
jawab keluarganya dan mengurangi kualitas kehidupan keluarganya (Cristine ,
Oktarina dan Indah, 2010).
Variabel demografis seperti gender dan jumlah anak juga diperkirakan
dapat menyebabkan work family conflict (Allen, 2012). Banyak karyawan wanita
Universitas Sumatera Utara
40
yang merasa gagal di kedua domain (pekerjaan-keluarga), karena untuk bisa
memenuhi kriteria karyawan ideal (misalnya bekerja 40 jam per minggu), wanita
merasa harus mengorbankan perannya sebagai ibu bahkan mengorbankan
keinginan untuk mempunyai anak (Noe, 2002). Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan Robbins (2001) bahwa karyawan yang bekerja lebih dari 40 jam per
minggu cenderung mengalami work family conflict.
Namun, dalam penelitian meta-analitisnya Byron (2005) menyimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara laki-laki dan wanita
dalam work family conflict. Selain itu Byron juga menambahkan bahwa status
pernikahan (menikah atau tidak menikah) juga mempengaruhi munculnya work
family conflict, orang tua tunggal atau yang bercerai akan mengalami work family
conflict yang lebih besar. Selanjutnya Higgins & Duxbury (1992) menemukan
bahwa pasangan yang keduanya bekerja lebih besar kemungkinannya untuk
mengalami work family conflict.
Jumlah anak yang dimiliki secara konsisten berhubungan dengan work
family conflict pada kedua arah (Bruck & Allen, 2003; Carlson, 1999). Dalam
penelitiannya Carlson (1999) menemukan bahwa keberadaan anak menjadi faktor
yang paling kuat yang menyebabkan munculnya work family conflict. Byron
(2005) menyimpulkan bahwa keberadaan anak menjadi faktor moderator terhadap
hubungan work family conflict dan gender. Noe (2002) menambahkan bahwa
berdasarkan hasil penelitian pasangan yang keduanya bekerja, orang tua tunggal,
dan keluarga yang memiliki anak yang berusia kurang dari 5 tahun cenderung
mengalami work family conflict.
Universitas Sumatera Utara
41
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa ketika karyawan memiliki
pengembangan karir yang positif, maka karyawan tersebut akan merasa puas
dengan pekerjaannya sehingga lebih efisien dalam bekerja dan pada akhirnya
diharapkan memiliki work-family conflict yang lebih rendah. Hal ini
menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai apakah
terdapat hubungan antara pengembangan karir dengan work-family conflict.
D. Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan satu hipotesis sebagai jawaban sementara
terhadap permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya. Adapun hipotesis
dalam penelitian ini, yaitu:
“Adanya hubungan negatif antara pengembangan karir dan work-family
conflict”
Karyawan yang memiliki pengembangan karir yang positif akan memiliki
tingkat work family conflict yang rendah. Sebaliknya, karyawan yang memiliki
pengembangan karir yang negatif, menyebabkan karyawan tersebut memiliki
tingkat work family conflict yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara