Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tenaga Kerja Outsourching Dalam Kajian UU.No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

BAB I
PENDAHULUAN
I .1. Latar Belakang
Lahirnya sebuah Undang-undang di sebuah Negara di mulai dari masalahmasalah yang muncul di dalam masyarakat.Salah satu fungsi pemerintah adalah
membentuk kebijakan publik yang berisi pedoman-pedoman yang harus di tempuh
untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di masyarakat.Secara teoritis kebijakan
publik ditujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik atau masalah
kebijakan 1.
Kebijakan merupakan suatu bagian dari politik dikarenakan pemerintah adalah
aktor untuk membuat suatu kebijakan baik itu dalam bentuk peraturan dan undangundang. Maraknya masalah ketenagakerjaan yang terjadi membuat Negara harus
turun tangan langsung untuk membuat suatu peraturan yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan. Sehingga lahir suatu peraturan yang di buat oleh pemerintah yang
mengatur tentang ketenagakerjaan dalam bentuk suatu undang-undang.
Undang-undang tersebut muncul karena disebabkan kompleksnya masalah
keetenagakerjaan di Indonesia dan belum terwujud nya kesejahteraan dan kehidupan
yang layak terhadap kaum buruh. Kesejahteraan dan kehidupan yang layak
merupakan hak setiap warga Negara termasuk buruh seperti tertuang dalam UUD
1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan

1


Kusumanegara, Solahuddin.2010. Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta.Gaya Media.
Hal 65

1
Universitas Sumatera Utara

penghidupan yang layak”. Atas dasar tersebut pemerintah mengeluarkan berbagai
kebijakan untuk melindungi kepentingan para buruh.Dalam hal ini pemerintah harus
membuat suatu kebijakan yang tidak merugikan kaum buruh.Sehingga muncul
undang-undang ketenagakerjaan yang tertuang dalam UU No.13 Tahun 2003.
UU No.13 Tahun 2003 merupakan suatu upaya pemerintah dalam hal
mewujudkan

pembangunan

ketenagakerjaan

sebagai

bagian


integral

dari

pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan bangsa Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dan untuk meningkatkan harkat,
martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil,
makmur dan merata.
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan usaha pemerintah
untuk mewujudkan demokrasi di tempat kerja sehingga diharapkan dapat mendorong
keoptimalan dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia agar dapat
membangun Negara Indonesia sesuai dengan yang dicita-citakan. Peraturan undangundang yang selama ini berlaku di Indonesia merupakan hasil karya kolonial dimana
peraturan yang di buat tersebut menempatkan posisi para pekerja ke dalam posisi
yang tidak menguntungkan dimana peraturan perundang-undangan selama ini lebih
menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak
sesuai lagi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang sehingga perlu
diperbaharui agar undang-undang yang berlaku dapat mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan bagi kaum buruh atau pekerja sehingga tidak mengutungkan para

pengusaha saja.

2
Universitas Sumatera Utara

Peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan telah mengalami
perkembangan mulai dari Indonesia masih berada di bawah penjajahan belanda.
Sejak Negara Indonesia di bawah penjajahan Belanda sampai pemerintahan Orde
Lama telah banyak ordonansi-ordonansi dan peraturan perundang-undangan di
bentuk, disahkan dan diberlakukan yaitu:
1. Ordonansi tentang pendaftaran budak(Stbl.1819 No.58,Stbl.1829 No.22a
dan 34,Stbl.1822 No.8, Stbl.1824 No.11, Stbl.1827 No.20, Stbl.1834 No.47,
Stbl 1841 No.15).
2. Ordonansi tentang pajak atas pemilikan budak(Stbl.1820 No.39a, Stbl.1822
No.12a, Stbl 1827 No.81, Stbl 1828, No.52, Stbl.1829 No.53, Stbl.1830
No.16, Stbl.1835,No.20 dan 53, Stbl.1836 No.40).
3. Ordonansi tentang larangan pengangkutan budak yang masih kanak-kanak di
bawah umur 10 tahun(Stbl.1829 No.29, Stbl.1851 No.37).
4. Ordonansi tentang pendaftaran anak budak(Stbl.1833 No.67).
5. Ordonansi tentang penggantian nama para budak(Stbl.1834 No.59).

6. Ordonansi tentang pembebasan dari perbudakan bagi pelaut yang dijadikan
budak(Stbl.1848 No.49).
7. Ordonansi tentang budak dan perdagangan budak(Stbl.1825 N0.44,
Stbl.1831 No.43, Stbl.1851 No.66).
8. Ordonansi tentang pengerahan orang Indonesia untuk melakukan pekerjaan
di luar Indonesia(Staatsblaad tahun 1887 No.8).
9. Ordonansi tentang pembatasan kerja anak dan kerja malam bagi
wanita(staatsblad tahun 1925 No.647 tanggal 17 Desember 1925).

3
Universitas Sumatera Utara

10. Ordonansi tentang kerja anak-anak dan orang muda di atas kapal(staatsblad
tahun 1926 No.87).
11. Ordonansi tentang pemulangan buruh yang diterima atau dikerahkan dari
luar Indonesia(Staatsblad tahun 1939 No.545).
12. Ordonansi

tentang


mengatur

kegiatan-kegiatan

mencari

calon

pekerja(Staatsblad tahun 1936 No.208 tanggal 4 Mei 1936).
13. Ordonansi tentang pembatasan kerja anak-anak(Staatsblad tahun 1949
No.8).
14. Undang-undang No.1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU kerja
tahun 1948 No.12 dari RI untuk seluruh Indonesia(lembaran Negara tahun
1952 No.2).
15. Undang-undang No.21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara
serikat buruh dan majikan(lembaran Negara tahun 1954 No.69, tambahan
lembaran Negara No.598a)
16. Undang-undang No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan
perburuhan(lembaran Negara tahun 1959 No.42, tambahan lembaran Negara
No.1227).

17. Undang-undang

No.3

tahun

1958

tentang

penempatan

tenaga

asing(lembaran Negara tahun 1958 No.8)
18. Undang-undang No.7 prp tahun 1963 tentang pencegahan pemogokan atau
penutupan di perusahaan, jawatan dan badan yang vital(lembaran Negara
tahun 1963 No.3)

4

Universitas Sumatera Utara

19. Undang-undang No.12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja
diperusahaan swasta(lembaran Negara tahun 1964 No. 93, tambahan
lembaran Negara No.2686) 2
Dalampemerintah orde baru telah dibentuk, disahkan dan diberlakukan
peraturan perundang-undangan dan mencabut peraturan pada masa penjajahan
Belanda dan pemerintahan orde lama yaitu:
1.Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok
tenaga kerja(lembaran Negara tahun 1969 No.55, tambahan lembaran Negara
No.2912).
2.Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja(lembaran
Negara tahun 1970 No.1, tambahan lembaran Negara No.2918).
3.Undang-undang No.7 tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di
perusahaan
4.Peraturan pemerintah RI No.8 tahun 1981 tentang perlindungan upah.
5.Undang-undang

No.3


tahun

1992

tentang

jaminan

social

tenaga

kerja(lembaran Negara 1992 No.14, tambahan lembaran Negara No.3468).
6.Undang-undang No.25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, tanggal 3
Oktober 1997 beserta peraturan pelaksana.
7.Peraturan

perundang-undangan

lainnya


yang

meratifikasi

konvensi

perburuhan internasional.

2

H.R.Abdussalam dan Adri desasfuryanto, Hukum ketenagakerjaan(hukum perburuhan), Jakarta, PTIK hal 4

5
Universitas Sumatera Utara

Sedang pemerimtahan B.J.Habibi dan Gus Dur hanya menerbitkan peraturanperaturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No.25 tahun 1997 tentang
ketenagakerjaan. Pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah mensahkan dan
memberlakukan Undang-undang RI No.20 tahun 2000 tentang serikat pekerja atau
serikat buruh dan Undang-undang RI. No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Dalam pemerintahan Susilo Bambang yudhoyono(SBY) telah mensahkan dan
memberlakukan Undang-undang RI. No 2 tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, Undang-undang RI No.39 tahun 2004 tentang
penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan Undangundang RI No.40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional, peraturan
pemerintah RI No.8 tahun 2005 tentang tata kerja dan susunan organisasi lembaga
kerja sam tripartit, keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Nomor :
Kep.14/Men/1/2005 tentang pencegahan pemberangkatan TKI non prosedural dan
pelayanan

pemulangan

TKI.

Dengan

latar

belakang

ini


Undang-undang

ketenagakerjaan yang dibentuk, disahkan dan diberlakukan adalah untuk memberi
jaminan dan perlindungan hukum kepada semua buruh/pekerja/karyawan untuk
mendapatkan hak-hak normatif dari pengusaha, sehingga buruh/pekerja/karyawan
mendapatkan kepastian hukum dan keadilan secara normatif.
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan
undang-undang yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. UU tersebut diundangkan pada
tanggal 25 Maret 2013. Pada saat itu pula, beberapa peraturan perundang-undangan

6
Universitas Sumatera Utara

dibidang ketenagakerjaan yang dipandang sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 dibentuk, disahkan dan diberlakukan
dengan cita-cita ingin mewujudkan suatu landasan, asas dan tujuan dalam
pembangunan ketenagakerjaan serta mewujudkan hubungan industrial sesuai dengan
nilai-nilai pancasila dan juga perlindungan buruh termasuk perlindungan terhadap
hak-hak dasar pekerja atau buruh, perlindungan upah, kesejahteraan dan jaminan
sosial tenaga kerja 3. Kenyataannya bahwa suatu peraturan perundang-undangan
dibuat, disahkan dan diberlakukan untuk kepentingan rakyat. Namun, dalam undangundang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan masih ada yang menjadi polemik
dan problemadi Indonesia khususnya yang terkait dengan outsourching.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memang tidak
tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourching, namun dalam
pasal 64 secara tidak langsung disinggung mengenai outsourching yaitu :perusahaan
dapat menyerahkan sebahagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja atau buruh yang
dibuat secara tertulis
Problema outsourching di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya
praktik

outsourching

dengan

undang-undang

No.13

Tahun

ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi. Di tengah

2003

tentang

kekhawatiran

masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah malah melegalkan
praktik outsourching yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja atau buruh.
3

Penjelasan Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

7
Universitas Sumatera Utara

Indikasi lemahnya perlindungan hak asasi kepada pekerja atau buruh terutama
pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourching yang disebabkan
dilegalkannya sistem outsourching bisa dilihat dari banyaknya penyimpangan dan
pelanggaran yang terjadi terhadap norma kerja dan norma keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan bisnis outsourching.
Penyimpangan dan pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core
Business) dan pekerjaan penunjangan perusahaan (Non Core Business) yang
merupakan dasar dari pelaksanaan outsourching (Ahli daya), sehingga dalam
prakteknya yang di-outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama
perusahaan. Tidak adanya klasifikasi atau pengelompokan terhadap sifat dan
jenis pekerjaan yang di-outsource mengakibatkan pekerja atau buruh
dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan pokok atau pekerjaan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, bukan sebagai kegiatan
penunjang sebagaiman yang dikehendaki oleh undang-undang.
2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (Principal) menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain atau perusahaan penerima
pekerjaan (Vendor) yang tidak berbadan hukum.
3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja atau buruh
outsourching sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja atau buruh
lainnya yang bekerja langsung pada perusahaan principal yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8
Universitas Sumatera Utara

Kesenjangan antara Das Sollen (Keharusan) dan Das Sain (Kenyataan) dalam
sistem outsourching selain menimbulkan penderitaan bagi kaum pekerja atau buruh
juga berdampak pada kemajuan produktivitas perusahaan menurut Robert Owen
(1771-1858) 4 rangkaian sikap pekerja atau buruh dalam hubungan kerja sangat
berpengaruh

terhadap

produktivitas

karena

terkait

dengan

motivasi

untuk

meningkatkan prestasi kerja. Pekerja atau buruh akan lebih bekerja keras apabila
mereka percaya bahwa perusahaan memperhatikan kesejahteraan mereka fenomena
seperti ini sering disebut Hawthorne Effect.
Kontroversi atau tidaknya praktek outsourching tersebut tergantung pada
kepentingan yang melatarbelakangi konsep dari masing-masing subyek. Bagi yang
setuju berpendapat bahwa outsourching bermanfaat dalam pengembangan usaha,
memicu tumbuhnya bentuk usaha-usaha baru (kontraktor) yang secara tidak langsung
membuka lapangan pekerjaan bagi pencari kerja, dan bahkan diberbagai Negara
praktik seperti ini bermanfaat dalam hal peningkatan pajak, pertumbuhan dunia usaha,
pengetasan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan daya beli masyarakat.
Sedangkan bagi perusahaan sudah pasti setuju dengan praktik outsourching
dikarenakan setiap kebijakan bisnis diorientasikan kepada keuntungan.
Pasca dilegalkannya sistem outsourching yang tidak sedikit menuai
kontroversi, pemerintah justru mengurangi tanggungjawabnya dalam memberikan
perlindungan hukum bagi pekerja atau buruh. Kebijakan dibidang ketenagakerjaan
(employment policy) baik pada tingkat lokal maupun nasional dirasakan kurang
4

James A.F. Stoner,“Manajemen”, edisi kedua (revisi) jilid 1, alih bahasa Alfonsus Sirait. Penerbit
Erlangga.cetakan kedua 1990 hal 31

9
Universitas Sumatera Utara

mengarah pada upaya menjadikan pekerja atau buruh sebagai bagian dari mekanisme
pasar dan komponen produksi yang memiliki nilai jual untuk perusahaan.
Jika dilihat dari sisi perusahaan sistem outsourching menguntungkan
perusahaan sebab pihak perusahaan sewaktu-waktu dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Pihak perusahaan biasanya juga tidak membayar tunjangan
hari raya (THR) dengan alasan bukan karyawan tetap. Sehingga hal ini menyebabkan
para pekerja atau buruh pada setiap peringatan hari Buruh Sedunia (May Day) terus
mengemukakan masalah sistem outsourching. Tuntutan para pekerja atau buruh dari
tahun ke tahun hampir sama yaitu agar sistem outsourching segera dihapuskan.
Beberapa tahun terakhir ini bukan hanya merasakan kian menurunnya kesejateraan
akibat terus menurunnya upah riil dan daya beli melainkan merasa tidak nyaman
akibat tidak adanya jaminan dan kepastian akan masa depan.
Sistem outsourching yang diterapkan diperusahaan-perusahaan Indonesia
sesungguhnya mengikuti pola penerimaan tenaga kerja diperusahaan-perusahaan
asing seperti MNC (Multinational Corporation) atau TNC (Transnational
Corporation). Mengingat masih tingginya angka penganguran di Indonesia maka pola
penerimaan tenaga kerja outsourching tetap eksis. Ini dapat dilihat dari permintaan
untuk mendapatkan pekerjaan tergolong tinggi meskipun dalam status outsourching.
Selanjutnya yang menjadi persoalan adalah para pekerja outsourching ini kemudian
menuntut agar pihak perusahaan menerima mereka menjadi karyawan tetap dan pihak
perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR).
Menanggapi persoalan tersebut Benny A Susetyo mengatakan “nasib pekerja
atau buruh semakin ternistakan karena keserakaan juragannya dan kebijakan

10
Universitas Sumatera Utara

pemerintah yang membiarkan praktik outsourching yang kerap tak manusiawi 5.
Tepatlah dengan apa yang dikatakan oleh Robert Cooter bahwa sudah menjadi sifat
pengusaha untuk terus melakukan efisiensi dan memaksimalkan hasil usaha 6.
Efisiensi oleh pengusaha ternyata berakibat jauh bagi para pekerja atau buruh lebihlebih untuk pekerja atau buruh waktu tertentu termasuk pekerja atau buruh
outsourching 7. Pengusaha semata-mata hanya berorientasi kepada keuntungan dan
mengabaikan hak normatif dari pekerja atau buruh .
Praktek outsourching ditolak dan ditentang karena hal ini merupakan pola
perbudakan jaman modern yang harus ditentang. Dengan praktek tersebut posisi para
pekerja atau buruh akan sangat lemah. Sampai pada saat ini kondisi pekerja atau
buruh di Indonesia masih tertindas karena hak-haknya tidak dipenuhi oleh
perusahaan. Sistem outsourching telah merugikan hak pekerja atau buruh secara
keseluruhan. Persoalan yang selama ini menjadi polemik dikalangan pekerja atau
buruh selalu dikeluhkan oleh pekerja atau buruh dengan adanya sistem outsourching
adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap pekerja atau buruh tanpa memenuhi kewajiban sebagaimana
telah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Dengan status pekerja atau buruh
outsourching maka pihak perusahaan tidak memiliki kewajiban yang harus
dipenuhinya seperti pesangon atau uang cuti maupun pemberian jaminan keselamatan
kerja.

5

Benny A Susetyo. ”Masih Saktikah Pancasila Kita”.Artikel dalam harian umum kompas hal.6
Robert Cooter.1998.Law and Economic.illionis: Scot foresman & Co, 1998. hal.12
7
Gunarto Suhardi .2006.Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourching.Yogyakarta.Universitas
atma jaya hal.25
6

11
Universitas Sumatera Utara

Dengan adanya undang-undang ini maka diharapkan hak-hak para tenaga
kerja serta hal lain mengenai tenaga kerja dapat terjamin. Akan tetapi dalam undangundang tersebut terdapat satu pasal yang isinya dirasa cukup merugikan bagi para
tenaga kerja. Yaitu pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya (Outsourcing). Pasal tersebut menyatakan bahwa
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh
yang dibuat secara tertulis”.
Dari pasal ini mempunyai dampak baik secara langsung maupun tidak
langsung bagi semua tenaga kerja outsourcing di Indonesia yang dirasakan sangat
merugikan bagi hak-hak para tenaga kerja karena aturan tersebut dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang termuat dalam
Pasal 27 ayat 2 yaitu bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, serta Pasal 28D ayat (2) yaitu “setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yangadil dan layak
dalam hubungan kerja”
Selain kedua pasal tersebut diatas, Pasal 64 Undang-Undang No 13 Tahun
2003 juga dirasakan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) 5Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa “ perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Peraturan dalam Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan tersebut juga bertentangan denga ketentuan yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

12
Universitas Sumatera Utara

Pada kenyataannya, masih terlihat banyak tenaga kerja outsourching di
Indonesia tidak terpenuhi hak-hak asasinya sedangkan kewajiban harus terus
dijalankan. Dari apa yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti,
mengkaji dan mengangkat judul skripsi yaitu “ Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi
Tenaga Kerja Outsourching dalam Kajian UU.No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan”

I. 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang maka dalam
penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimanakah perlindungan
hak asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourching?”
I.3. Pembatasan Masalah
Dalam sebuah penelitian dubutuhkan adanya pembatasan masalah terhadap
masalah yang akan diteliti. Penulis perlu membuat pembatasan masalah agar hasil
penelitian yang diperoleh atau didapatkan tidak menyimpang dari tujuan dan kajian
yang akan dicapai sehingga menjadi karya tulis yang sistematis. Adapun batasan
masalah dalam penelitian ini adalah penelitian ini terbatas pada pengkajian peraturanperaturan pemerintah dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi tenga
kerja khususnya tenaga kerja outsourching
I.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :

13
Universitas Sumatera Utara

1. Untuk mendeskripsikan peraturan-peraturan pemerintah yang melndungi hak
asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourching
2. Untuk mengetahui sejauhmanakah pemerintah dalam melindungi hak asasi
manusia bagi para tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourching.
I.5. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, terlebih lagi untuk
perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat yang diharpakan
dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah
informasi dalam menambah wawasan dan wacana berpikir dan kesadaran
bersama dalam berbagai bidang keilmuan mengenai hak-hak asasi bagi para
tenaga kerja yang sering diabaikan khususnya bagi para tenaga kerja
outsourching.
2. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan
kemampuan berpikir dalam menulis sebuah karya ilmiah.
I.6. Kerangka Teori dan Konsep
Dalam sebuah penelitian dibutuhkan kerangka teori sebagai landasan atau
pedoman berpikir. Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep dan konstruksi
defenisi dan proposis untuk menerangkan fenomena sosial dengan cara merumuskan
hubungan antara konsep. Ringkasnya teori adalah hubungan suatu konsep dengan
konsep lainnya untuk menjelaskan suatu fenomena tertentu 8. Konsep merupakan
8

Masri Singarimbun & Sofian Effendi,1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES, hal 37

14
Universitas Sumatera Utara

generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat digunakan untuk
menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Atau konsep adalah suatu kata atau
lambang yang menggambarkan kesamaan-kesamaan dalam berbagai gejala walaupun
berbeda 9.
I.6.1Teori dan konsep kebijakan publik
Setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi dapat
menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan di dalam menguji argumennya.Analisis
dalam kerangka kebijakan publik secara tidak langsung menunjukkan penggunaan
institusi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan
pemecahan ke dalam komponen-komponennya, tetapi juga merencanakan dan
mencari sintesis atas alternatif-alternatif yang memungkinkan.Kegiatan ini mencakup
penyelidikan untuk menjelaskan atau memberikan wawasan terhadap problem atau
isu yang muncul atau untuk mengevaluasi program yang sudah berjalan. Menurut
Charles O. Jones kebijakan terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: 10


Goal atau tujuan yang diinginkan,



Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan,



Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,



Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan
tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.

9

Rianto Adi,2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit, hal 27
Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2005. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: Yayasan Pembaruan
Administrasi Publik Indonesia & Lukman Offset. Hal 66.

10

15
Universitas Sumatera Utara



Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer
atau sekunder).

Jadi pada dasarnya studi kebijakan publik berorientasi pada pemecahan
masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat.Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam
hubungannya dengan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah
masyarakat, maka kebijakan adalah keputusan-keputusan pemerintah untuk
memecahkan masalah-masalah yang telah diutarakan. Dalam memecahkan masalah
yang dihadapi kebijakan publik, Dunn mengemukakan bahwa ada beberapa tahap
analisis yang harus dilakukan yaitu, (agenda setting) penetapan agenda kebijakan;
(policy formulation) formulasi kebijakan; (policy adoption) adopsi kebijakan; (policy
implementation) isi kebijakan, dan (policy assessment) evaluasi kebijakan. 11
1. Agenda Setting
Tahap penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan pertama kali
adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya
permasalahan ditemukan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn problem
structuring memiliki 4 fase yaitu : pencarian masalah (problem search), pendefenisian
masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem specification) dan
pengenalan masalah (problem setting).

2. Policy Formulation
Berkaitan dengan policy formulation, Woll berpendapat bahwa formulasi
kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah

11

Ibid, Hal. 7-10.

16
Universitas Sumatera Utara

publik, dimana pada tahap para analis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa
teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan
yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam menentukan pilihan kebijakan pada
tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan, dimana
keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba
terbatas.
Pada tahap formulasi kebijakan ini, para analis harus mengidentifikasikan
kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk
memecahkan masalah yang di dalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan
kebijakan yang akan dipilih.

3. Policy Adoption
Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan
melalui dukungan para stakeholdersatau pelaku yang terlibat. Tahap ini dilakukan
setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternative) yang dilakukan
pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan
merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi
kemajuan masyarakat luas.
2) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai
alternatif yang akan direkomendasi.

17
Universitas Sumatera Utara

3) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteriakriteria yang relevan (tertentu) agar efek positif alternatif kebijakan
tersebut lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.

4. Policy Implementation
Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor
(birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber
daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat
dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan
berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi
ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan
menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang
eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan
teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi
terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan
mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan
apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan
otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur.
Tugas implementasi sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan
kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.

5. Policy Assesment

18
Universitas Sumatera Utara

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap
kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses
implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau
direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran
(kriteria-kriteria) yang telah ditentukan. Evaluasi kebijakan dapat dilakukan oleh
lembaga independen maupun pihak birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif)
untuk mengetahui apakah program yang dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuan
atau tidak. Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai atau memiliki kelemahan,
maka pemerintah harus mengetahui apa penyebab kegagalan (kelemahan) tersebut
sehingga kesalahan yang sama tidak terulang di masa yang akan datang.
Menurut Dunn evaluasi kebijakan publik mengandung arti yang berhubungan
dengan penerapan skala penilaian terhadap hasil kebijakan dan program yang
dilakukan.Jadi termologi evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (apprasial),
pemberian angka (rating), dan penilaian (assesment).Dalam arti yang lebih spesifik
lagi, evaluasi kebijakan berhubungan dengan produk informasi mengenai nilai atau
manfaat hasil kebijakan. Maka dapat diketahui sifat dari evaluasi sebagai berikut :
1) Fokus nilai, dimana evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut
keperluan atau nilai dari suatu kebijakan dan program.
2) Interdependensi fakta dan nilai, dimana tuntutan evaluasi tergantung pada
fakta dan nilai untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu
telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi atau rendah.

19
Universitas Sumatera Utara

3) Orientasi masa kini dan masa lampau, dimana evaluasi bersifat retrospektif
dilakukan setelah aksi-aksi dilakukan, sekaligus bersifat prospektif untuk
kegunaan masa mendatang.
4) Dualitas nilai, dimana nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi
mempunyai kualitas ganda karena dipandang mempunyai tujuan dan
sekaligus cara.

I.6.2.Teori Implementasi Kebijakan Publik
Mempelajari mengenai implementasi kebijakan publik kita jangan hanya
menyoroti perilaku-perilaku lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang
bertanggung jawab atas suatu program berikut pelaksanaannya terhadap kelompokkelompok sasaran(target groups), tetapi perlu juga memperhatikan secara cermat
berbagai kekuatan jaringan politik,ekonomi,sosial yang langsung atau tidak langsung
berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam suatu program
dan akhirnya membawa dampak (yang diharapkan maupun tidak) terhadap program
tersebut 12.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi implemetasi itu ialah untuk
membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaransasaran publik diwujudkan sebagai “outcome”(hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang
dilakukan pemerintah
Kebijakan – kebijakan publik pada umumnya masih abstrak berupa

12

Abdul, Solihin. 2008.Pengantar
Muhammadiyah,hal.176

Anaslisis

Kebijakan

Publik,

Malang

:

Penerbit

Universitas

20
Universitas Sumatera Utara

pernyataan umum yang berisikan tujuan, sasaran dan berbagai macam sarana yang
kesemuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan ataupun sasaran yang
telah dinyatakan dalam kebijakan tersebut. Hal ini menjadi penyebab mengapa
berbagai macam program mungkin sengaja dikembangkan guna mewujudkan tujuan –
tujuan kebijakan yang kurang lebih sama. Program-program aksi itu sendiri boleh jadi
juga diperinci lebih lanjut dalam bentuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan.
Pemerincian program-program ke dalam bentuk proyek-proyek ini dapat kita
maklumi mengingat proyek-proyek itu merupakan instrumen yang lazim digunakan
untuk mengimplementasikan kebijakan.
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers
bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya.
Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik
yang bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu
program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku
birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku
kelompok sasaran. 13
Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh
badan-badan pemerintah. Badan badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak pada warga negaranya. Politik
menurut Frank Goodnow yang menulis pada tahun 1900, berhubungan dengan
penetapan kebijakan yang akan dilakukan oleh negara. Ini berhubungan dengan nilai
keadilan, dan penentuan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh
13

Subarsono 2005. Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal.87

21
Universitas Sumatera Utara

pemerintah. Namun dalam praktik badan-badan pemerintah sering menghadapi
pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat undang-undang yang terlalu makro dan mendua
(ambiguous) sehingga memaksa mereka untuk membuat diskresi, untuk memutus apa
yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa
yang Lipsky disebut” street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau
mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang sederhana,
implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor,
misalnya kebijakan pemerintah untuk mengubah undang-undang ketenagakerjaan
agar sesuai dengan keinginan dan kesejahteraan buruh. Maka usaha-usaha
implementasi ini akan melibatkan berbagai institusi seperti Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja, Serikat Buruh dan pengusaha.
Kompleksitas implementasi kebijakan bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya
aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi
dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual
maupun variabel yang organisasional dan masing-masing variabel pengaruh tersebut
juga saling berinteraksi satu sama lain. Keberhasilan implementasi kebijakan akan
ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut
saling berhubungan satu sama lain. Pendekatan yang digunakan terhadap studi
implementasi kebijakan dimulai dari sebuah intisari dan menanyakan : Apakah
prakondisi untuk implemetasi kebijakan yang berhasil? Apakah rintangan primer
untuk implementasi kebijakan yang sukses. Dalam pengkajian terhadap implementasi
ada empat faktor yang beroperasi secara simultan dan berinteraksi satu sama lain

22
Universitas Sumatera Utara

untuk membantu atau bersifat merintangi implementasi kebijakan. Dalam teori
George Edwards III (1980), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel
yakni : komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi 14.
Agar

a.Komunikasi

implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya adalah untuk
mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang seharusnya mereka
kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan kebijakan mesti ditransmisikan
kepada personalia yang tepat dan kebijakan ini mesti akurat, jelas dan konsisten. Jika
para pembuat keputusan ini berkehendak untuk melihat yang diimplementasikan tidak
jelas dan bagaimana rinciannya maka kemungkinan akan timbul kesalahpahaman
diantara pembuat kebijakan dan implementornya. Komunikasi yang tidak cukup juga
memberikan implementor dengan kewenangan ketika mereka mencoba untuk
membalik kebijakan umum menjadi tindakan-tindakan khusus. Sehingga komunikasi
merupakan faktor yang sangat penting dalam pengimplementasian suatu kebijakan.
b.Sumberdaya
Walaupun
konsisten,tetapi

isi

kebijakan

apabila

sudah

implementor

dikomunikasikan
kekurangan

secara

jelas

sumberdaya

dan
untuk

melaksanakan,implementasi tidak akan berjalan secara efektif. Sumberdaya tersebut
dapat berupa sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya
finasial.Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar
efektif.Tanpa sumberdaya kebijakan hanya tinggal di kertas dan menjadi dokumen
saja.Sumberdaya yang penting meliputi staf ukuran yang tepat dengan keahlian yang
14

Subarsono.Ibid. Hal. 89

23
Universitas Sumatera Utara

diperlukan,

informasi

yang

relevan

dan

cukup

tentang

cara

untuk

mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya terlibat dalam
implementasi. Sumberdaya yang tidak cukup akan berarti bahwa undang-undang tidak
akan diberlakukan, pelayanan tidak akan diberikan dan peraturan-peraturan yang
layak tidak akan dikembangkan.
c.Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki implementor, seperti
komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.Apabila implementor memiliki disposisi
yang baik, maka dia akan menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau
perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif.
Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga di dalam
pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi adalah
untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang
harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan ini, melainkan juga mereka
mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.
Para implementor tidak selalu siap untuk megimplementasikan kebijakan
sebagaimana mereka para pembuat kebijakan.Konsekuensinya, para pembuat
kebijakan sering dihadapkan dengan tugas untuk mencoba memanipulasi atau
mengerjakan disposisi implementor atau untuk meng opsi-opsinya.Berbagai
pengalaman pembangunan di negara-negara dunia ketiga menunjukkan bahwa tingkat
komitmen dan kejujuran aparat rendah.Berbagai kasus korupsi yang muncul di negara

24
Universitas Sumatera Utara

Dunia Ketiga, seperti Indonesia adalah contoh konkret dari rendahnya komitmen dan
kejujuran aparat dalam mengimplementasikan program-program pembangunan.
d.Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas untuk mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.Salah satu dari
aspek struktur yang terpenting dari setiap organisasi adalah prosedur operasi yang
standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan
cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur
birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan
aktivitas organisasi yang tidak fleksibel.
Sumberdaya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan ini
ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin mengerjakannya,
implementasi

mungkin

dicegah

karena

kekurangan

dalam

struktur

birokrasi.Fragmentasi organisasional mungkin merintangi koordinasi yang perlu
untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang
mensyaratkan kerjasama banyak orang dan mungkin juga memboroskan sumberdaya
langka, merintangi perubahan, menciptakan kekacauan mengarah kepada kebijakan
bekerja dalam lintas-tujuan dan menghasilkan fungsi-fungsi penting yang terabaikan.
Karena implementasi kebijakan begitu kompleks, seharusnya tidak diharapkan dapat
diselesaikan dalam satu model rutin. Bahkan presiden tidak bisa mengasumsikan
secara pasti bahwa keputusannya dan komandonya akan dilakukan secara efektif.
Sesungguhnya, berdasarkan perkembangan dan pengalaman pada kahir-akhir ini telah

25
Universitas Sumatera Utara

merubah para pengamat kebijakan publik yang paling optimis menjadi sinis dan
pesimis.Kurangnya perhatian terhadap implementasi merupakan salah satu masalah
dalam pengimplementasian kebijakan publik.Implementasi kebijakan telah memiliki
prioritas rendah diantara kebanyakan dari pejabat kita yang terpilih.Para anggota
Kongres dan legislator yang tugasnya untuk mengawasi birokrasi sering kekurangan
keahlian untuk mengimplementasikan kebijakan publik dengan efektif 15.

I.7. Metodologi Penelitian
I.7.1.Metode Penelitian
Metodologi penelitian adalah sebagai suatu usaha atau proses untuk mencari
jawaban atas suatu pertanyaan atau masalah dengan cara yang sabar, hati-hati,
terencana, sistematis atau dengan cara ilmiah dengan tujuan untuk menemukan fakta
atau prinsip-prinsip, mengembangkan dan menguji kebenaran ilmiah suatu
pengetahuan 16.
Metode penelitian yang akan digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1992:21-22) dalam buku
Pengantar Metodologi Penelitian karya Jusuf Soewadji, MA menjelaskan bahwa
penelitian

kualitatif

diartikan

sebagai

salah

satu

prosedur.Penelitian

yang

menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang
yang diamati.Pendekatan Kualitatif ini diharapkan mampu menghasilkan uraian yang
mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang diamati dari suatu individu,
15

Edwards,George. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta Lukman Offset .Hal.3
Hadari Nawawi, 1987. Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal 63

16

26
Universitas Sumatera Utara

kelompok masyarakat dan atau organisasi tertentu dalam suatu koneksi tertentu yang
dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik 17.
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dikarenakan dalam
penelitian peneliti menggambarkan tentang objek penelitian yang berupa UUD Tahun
1945 tentang Hak Asasi Manusia dan

UU.No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

I.7.2. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis.Metode ini
digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data serta digunakan untuk
mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum
diketahui atau dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu
yang baru sedikit diketahui.Sehingga penelitian kualitatif ini dapat memberi rincian
yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan dengan metode
kuantitatif 18.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis dikarenakan
dimana peneliti dalam meneliti objek-objek penelitian memberikan gamabaran dan
analisis terkait objek yang akan diteliti yaitu UUD Tahun 1945 terkai Hak Asasi
Manusia dengan UU.No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
I.7.3.Tekhnik Pengumpulan Data

17
18

Soewadji, jusuf.Pengantar Metodelogi Penelitian.2012.Jakarta. Mitra Wacana Media Hal.52
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.hal.5

27
Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data
sekunder.Data sekunder adalah data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun
yang telah diolah baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data dapat diperoleh dari
literature yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal,
artikel,makalah, peraturan, Undang-Undang, internet dan sumber-sumber lain yang
dapat memberikan informasi mengenai masalah penelitian.
I.7.4 Teknik Analisa Data
Sesuai dengan metode penelitian dalam menganalisis data, pada penelitian ini
teknik analisi data yang digunakan adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif,
yaitu teknik tanpa menggunakan alat bantu dengan rumus statistik danmemberikan
hasilpenelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan
menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut 19.
Metode kualitatif dapat didefinisikan sebagai proses penelitian yang
menghasilkan data deskriptif yang mengkaji masalah secara kasus per kasus. Teknik
ini mendeskripsikan data-data yang ada dan dilakukan analisis sehingga diperoleh
gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan
penarikan kesimpulan 20.
I.8. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih
mengarahkan dan mempermudah penulis sehingga penlis lebih fokus dalam

19

Burhan, Bungin.2009. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial
Lainnya, Jakarta :Kencana Hal.153
20
Burhan, Bungin, 2003. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo, hal 43

28
Universitas Sumatera Utara

melakukan pembahasan

karya ilmiah ini. Maka penulis membagi sistematika

penulisan ini kedalam empat bab yaitu.
BAB I :PENDAHULUAN
Bab Ini Berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian Dan Sistematika
Penulisan.
BAB II :DESKRIPSI PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan memaparkan dan mengambarkan objek-objek
yang akan dijadikan peneliti dalam melakukan penelitian seperti pengertianpengertian dan peraturan-peraturan yang dijadikan objek dalam penelitian.

BAB III :ANALISA DATA DAN PEMABAHASAN
Dalam bab ini penulis akan memuat analisa data kemudian melakukan
pembahasan terhadap data penelitian yang telah didapat melalui metode penelitian
yang digunakan.

BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini yang berisi
kesimpulan dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan
terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi
saran-saran yang baik bagi penulis maupun khalayak ramai.

29
Universitas Sumatera Utara