T1 Lampiran Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Citra Tokoh Utama Perempuan pada Sastra Populer: Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills pada Novel Tetralogi 4 Musim Karya Ilana Tan

Lampiran Summer In Seoul
Bab
Bab 1

Kalimat
Karena Sandy tetap tidak bisa menemukan dompetnya,
bibi pemilik toko mengizinkannya membayar besok. Sandy
mengumpulkan kembali barang-barangnya yang berserakan di
meja kasir sambil berkali-kali membungkukkan badan dalamdalam sebagai tanda terima kasih sekaligus permintaan maaf.
Jung Tae-Woo agak bingung mendengar penjelasan Park HyunShik. Pandangannya berpindah-pindah dari sang manajer ke
gadis yang berdiri di hadapannya, lalu kembali ke manajernya
lagi. Secara sekilas, ia mengamati orang asing yang sekarang ada
di ruang tamunya itu: gadis bertubuh kecil dengan rambut
dikucir dan tangan menjinjing kantong plastik besar serta tas
tangan. Raut wajahnya terlihat kusam, lelah, dan pucat. Gadis itu
diam tak bersuara sementara Park Hyun-Shik menjelaskan apa
yang sudah terjadi.

Bab 2

“Gadis yang kemarin itu, Han Soon-Hee… aku sudah

menyelidikinya,” kata Park Hyun-Shik sambil mengulurkan
sehelai kertas kepada Tae-Woo. Ia lalu melanjutkan, “Sedang
kuliah tahun ketiga dan bekerja sambilan di butik seorang
perancang busana. Ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang
Korea. Ayahnya kepala cabang perusahaan mobil dan ibunya ibu
rumah tangga. Dia anak tunggal, lahir di Jakarta dan tinggal di
sana sampai usianya sepuluh tahun, lalu karena kontrak kerja
ayahnya sudah selesai, mereka sekeluarga pindah ke Seoul. Lima
tahun yang lalu orangtuanya pindah kembali ke Jakarta karena
ayahnya ditugaskan lagi di sana, sedangkan dia tetap tinggal di
Seoul. Latar belakangnya bersih dan sederhana.”
Park Hyun-Shik hanya tersenyum dan mengeluarkan sehelai
kertas lain dari dalam mapnya lalu mulai membaca, “Menurut
orang-orang yang kenal baik dengannya, Han Soon-Hee wanita
baik-baik dan bisa dipercaya. Tidak merokok, tidak pernah
mabuk-mabukan, tidak memakai obat-obat terlarang, dan tidak
punya catatan kriminal apa pun. Jadi aku berani menyimpulkan
dia tidak ada sangkut pautnya dengan foto-foto di tabloid itu.”
Lalu ia menyodorkan kertas itu.
Tae-Woo membuka mata. Gadis berambut sebahu dan bertopi

merah memasuki ruangan sambil mendorong rak pakaian beroda.
Gadis itu membungkuk hormat. Tae-Woo berdiri dan
membungkuk sedikit untuk membalas sapaannya.
Tepat pada saat itu ia melihat gadis yang membawakan pakaian
tadi sedang duduk di kursi bulat di samping sofa. Topi merahnya

70

3

5

7

dilepas dan gadis itu sedang menyisir rambutnya yang agak ikal
dengan jari-jari tangan. Tae-Woo tertegun dan menatap gadis itu.
Itulah kali pertama ia melihat jelas wajah si gadis sejak ia masuk
bersama rak pakaian
Jung Tae-Woo terdiam sebentar, lalu berkata, “Malam ini jam
tujuh kau harus ke rumah Hyun-Shik Hyong. Ada yang ingin

dibicarakan. Mengerti?”
Wajah Sandy berubah kesal, tapi ia berkata, “Ya, ya,
mengerti. Tapi rumahnya di mana?”
Ketika berjalan kembali ke tempat duduknya, Sandy
melihat Park Hyun-Shik berdiri tidak jauh dari Jung Tae-Woo.
Park Hyun-Shik juga melihatnya. Sandy membungkukkan badan
sedikit untuk memberi salam yang dibalas Park Hyun-Shik
dengan senyuman dan acungan jempol. Pasti paman yang satu itu
sudah melihat adegan kecil tadi
“Sedang apa kau di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.
Wanita itu berbalik dan agak terkejut melihatnya.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Tae-Woo sekali lagi. Ia
tidak menyangka bisa bertemu Sandy di sini. Ia menatap Sandy
tajam dan melihat pipi gadis itu agak memerah.
“Itu… Paman yang menyuruhku ke sini,” Sandy mencoba
menjelaskan dengan agak bingung. “Kau tidak tahu? Katanya
kita akan difoto.”
Tae-Woo menoleh ke belakang dan melihat kerumunan
wartawan mulai menghampiri mereka dengan cepat.
“Tidak,” jawabnya. “Ikut aku.”

Ia

merangkul
pundak Sandy dan
berjalan
menjauh
ketika kilatan-kilatan lampu blitz kamera
mulai beraksi dan para wartawan berlomba-lomba mengajukan
pertanyaan.
“Jung Tae-Woo, siapa wanita ini?”
“Apakah dia wanita misterius di
foto waktu itu?” “Nona! Siapa
nama Anda?” “Apa hubungan
kalian berdua?”
“Apakah Anda bisa memberikan sedikit komentar?”

71

Tae-Woo hanya mengangkat sebelah tangan dan
menuntun Sandy ke mobilnya yang diparkir tidak jauh dari sana.

Ia membuka pintu mobil untuk Sandy sambil berusaha
menghalangi para wartawan mengambil gambar jelas gadis itu.
Ia memerhatikan Sandy terus menunduk dan menutupi wajah
dengan sebelah tangan. Tae-Woo cepat-cepat menutup pintu dan
berjalan mengelilingi mobilnya ke bagian tempat duduk
pengemudi. Sebelum masuk ke mobil, ia tersenyum dan
melambaikan tangan sekali lagi ke arah para wartawan.
8

“Tidak usah dipikirkan,” kata Tae-Woo pelan. “Kau akan baikbaik saja. Percayalah padaku.”
Aku akan pastikan kau tidak mendapat masalah….
Mata Sandy tampak menerawang. Ia menarik napas dalam-dalam
dan mengembuskannya pelan. “Aku tidak tahu,” sahutnya.
“Banyak sekali yang kupikirkan sampai-sampai aku sendiri
bingung.”
“Kau tidak usah khawatir,” kata Jung Tae-Woo dengan
nada rendah. “Biar aku saja yang menyelesaikan masalah ini.
Setelah itu kita akan bicara lagi. Kau... kau mau menunggu
sampai saat itu?”


...Siapa sebenarnya Han Soon-Hee? Kekasih Jung TaeWoo atau seseorang yang ingin membalas dendam? ... Han
Soon-Hee adalah adik penggemar Jung Tae-Woo yang
meninggal dunia saat jumpa penggemar empat tahun lalu... Apa
maksudnya mendekati Jung Tae-Woo? ...
Membalas dendam atas kematian sang kakak... Jung Tae-Woo
sudah tahu? Atau tidak... Sekadar menebus dosa? ... Rasa
kasihan...

.

72

Lampiran Autumn in Paris
Bab
1

Kalimat
Élise mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang
persis di depan meja tara. “Bukankah kau sudah selesai siaran
sejak...,” ia melirik jam dinding, “satu setengah jam yang lalu?”

tanya Élise dengan alis terangkat.
“Sampai jumpa.” Tara merangkul Sebastien dan
menempelkan pipinya di pipi Sebastien dengan cepat, setelah
itu ia melambai kepada Tatsuya dan keluar dari restoran.

2

“Ke mana saja kau?” desis Tara sambil mengetukngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat oranye.
“‟Menurutku kau sudah minum terlalu banyak,‟ kata
Hugo pelan, mengalah sedikit. „Aku bisa dipecat kalau kau
sampai mabuk di sini.‟
“Gadis itu menatap Hugo dengan mata disipitkan, lalu
tersenyum lebar. „Aku belum mabuk, Teman,‟ bantahnya.
Mendadak ia menoleh ke arahku dan berkata, „Monsieur,
tolong katakan padanya kalau aku belum mabuk.‟
“Aku mengamati gadis itu. Menurutku ia memang
sedikit mabuk, tapi ia masih bisa berdiri tegak, ucapannya
masih jelas, dan pandangannya masih terfokus.
“Aku berdeham dan berkata pada Hugo,
„Sepertinya dia belum terlalu mabuk.‟

“Hugo menopangkan kedua tangan di meja bar dan
menggeleng-geleng. „Kalau dia sudah memanggilku Hugo,
artinya dia sudah harus pulang,‟ katanya tegas.
Tara mengangguk tegas, lalu tersenyum. “Kata
Sebastien, menjadi penyiar radio memang cocok untukku
karena aku ini cerewet sekali.”

3

“Oh, sebenarnya Papa tahu kebiasaan burukmu yang
tidak mau bangun dari tempat tidur sebelum jam dua belas
siang di hari Minggu, tapi Papa butuh bantuanmu,” jelas
ayahnya dengan nada resmi, seakan hendak mengatakan kalau
Tara akan melakukan tugas mulia bagi negara. “Mobil Papa
rusak, sedangkan Papa ada janji penting jam setengah sebelas
nanti. Antarkan Papa, ya?”

73

5


Tara, ayo!” seru salah seorang rekan kerjanya yang
sudah berjalan ke pintu, mengikuti beberapa orang lainnya.
“Katanya kau mau ikut minum bersama.”
“Gadis ini berbeda. Aku benar-benar suka padanya.”
Mobil sempat oleng begitu Tara mendengar katakata Sebastien.
“Ya Tuhan! Hati-hati, Tara. Kau hampir menabrak
mobil di sebelahmu!” seru Sebastien memperingatkan.

7

...
“Kepalaku pusing sekali hari ini. Badan juga terasa
tidak enak. Semua itu karena aku terpaksa menuruti
permintaannya.
Dia
membujukku—nyaris
memaksa!—
menemaninya ke Disneyland kemarin. Bukan hanya
menemaninya ke tempat bermain untuk anak-anak balita itu,

tetapi juga menemaninya mencoba seluruh permainan
mengerikan di sana. Kau tahu, kan, jenis permainan yang bisa
membuat jantung copot, mengobrak-abrik isi perut, dan
menjungkirbalikkan otak? Dengan rendah hati kuakui aku
sama sekali tidak tahan dengan permainan seperti itu. Tapi
harap dicatat, aku tidak mengeluh. Setidaknya sedikit
pengorbananku itu membuatnya senang.”
“Ternyata dia bisa memasak! Aku sudah pernah
mencoba masakannya dan dia hampir sama jagonya denganku.
Hari ini giliran siapa yang memasak makan malam ya? Dia
atau aku? Aku lupa. Pokoknya hari ini makan malam di
tempatnya saja.

\8

Sebastien meneguk air putih yang disuguhkan sambil
melirik jam tangannya. Tara sudah terlambat 23 menit, tapi
Sebastien tidak heran. Ia tidak berharap gadis itu bisa muncul
tepat waktu, karena itu sama artinya dengan berharap salju
turun di bulan Juli.


74

10

Tara mengibaskan tangannya. “Kau terdengar persis
seperti ibuku. Ibu tidak pernah mengizinkan aku minum sedikit
pun selama aku tinggal di Jakarta. Membosankan. Padahal aku
tidak pernah minum sampai mabuk. Aku tahu batasnya.” Ia
memiringkan kepalanya ke arah Tatsuya dan berkata,
“Temanku ingin menambah minuman.”
“Sudah kubilang kau selalu memanggilku dengan nama
lain begitu kau sudah mabuk. Kau tidak pernah percaya
padaku,” celoteh Édouard menggebu-gebu. “Sekarang kau
boleh tanya padanya. Dia dengar sendiri ketika kau tidak mau
berhenti minum dan terus memanggilku Hugo.”

17

“Biasanya suaramu sudah terdengar ke mana-mana dan
kau selalu tidak bisa diam,” desak Élise sambil mencondongkan
tubuhnya ke depan. Ia semakin khawatir melihat tindak-tanduk
temannya. “Hari ini kau bahkan tidak bersuara. Ada apa?”
Tatsuya teringat sifat Tara yang gampang penasaran.
Kalau gadis itu memang belum tahu yang sebenarnya,
seharusnya sekarang ini ia sedang berusaha mencari tahu.
Seharusnya sekarang ini ia sedang merongrong ayahnya, atau
bahkan Tatsuya. Bukannya menghilang seperti ini. Tatsuya
sudah menelepon ke stasiun radio dan Élise berkata Tara sudah
pulang dari tadi. Sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Pergi
begitu saja.
“B-bagaimana sekarang... P-papa?” gumam Tara di
sela-sela tangisnya. “Ba-bagaimana sekarang?... Aku harus...
bagaimana?...” Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan
untuk menahan tangisnya yang semakin kencang. Belum
pernah ia menangis sesedih ini. Ini pertama kalinya ia tersedusedu di luar kendali.

18

“Aku tidak pernah mendengar putriku menangis seperti
itu,” kata Jean-Daniel cepat. “Sepertinya dia nyaris histeris.”
Histeris...? Otak Tatsuya berputar. Tadi ketika ia
bersama Tara, gadis itu kelihatannya biasa-biasa saja, walaupun
sedikit pendiam. Ia hanya berpikir Tara sedang punya masalah
dan nanti perasaannya akan membaik dengan sendirinya. Tetapi
kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini Tara menghindarinya,
berubah pendiam, dan sikapnya aneh sekali tadi. Benarkah dia
sudah tahu?

75

“Kau sungguh-sungguh mau membiarkannya mabuk?”
tanya Édouard ketika membawakan tequila sunrise pesanan
Tara. Tara sudah menghabiskan botol bir pertamanya dan
sekarang akan memulai botol kedua. “Kalau kau masih ingat,
dia sudah minum dua gelas tequila sunrise.”
Sebelum Sebastien sempat menjawab, Tara mengangkat
sebelah tangannya dan mengibas-ngibas. “Claude, tidak usah
banyak bicara dan berikan minuman itu,” katanya. Ia meraih
gelas yang diletakkan Édouard dengan ragu-ragu.

20

22

epilog

Édouard memandangi Sebastien dan menghela napas.
“Dia sudah mabuk. Lagi-lagi dia tidak ingat namaku.”
HARI ini Tara merasa sangat rapuh. Tubuhnya gemetar
dan ia merasa tidak bertenaga. Hari ini Tatsuya akan pulang ke
Jepang. Tidak akan kembali ke Paris lagi.
Foto ketiga. Dirinya berada di dapur apartemennya
sendiri, mengangkat panci dengan dua tangan. Ia kembali
membalikkan foto itu.
“Dia pintar memasak...
Hei, aku sama sekali tidak keberatan menjadi matamata. Aku tahu kau mencemaskan Tara, sama seperti kami di
sini. Tapi kau tentu sudah tahu, Tara itu gadis yang kuat. Dia
pasti bisa bertahan.

76

Lampiran Winter in tokyo
Bab
Bab 1

Kalimat
Ishida Keiko mengibaskan rambut panjangnya ke belakang
agar tidak menghalangi pandangan sementara ia bergegas
menyusuri jalan kecil dan sepi yang mengarah ke gedung
apartemennya.
Ia bekerja di sebuah perpustakaan umum di Shinjuku dan ia
sangat menyukai pekerjaannya. Sejak kecil ia memang
sangat gemar membaca buku dan impiannya adalah bekerja
di perpustakaan, tempat ia bisa membaca buku sepuas
hatinya, tanpa gangguan, dan tanpa perlu mengeluarkan
uang.
“Oneesan tahu aku selalu merasa waswas kalau berjalan
sendirian di jalan sepi,” kata Keiko. “Dan aku punya alasan
bagus untuk itu.”
Keiko mengeluarkan dua buku dari tas tangannya yang
superbesar. Dua-duanya buku klasik terkenal. “Dua buku ini
baru masuk hari ini, jadi aku orang pertama yang
membacanya.”
Keiko maju selangkah mendekati pintu apartemen 201
dengan ragu-ragu. Ia menyapu poninya yang terpotong rapi
dari kening dan menarik napas panjang. Kemudian setelah
membulatkan tekad, ia menempelkan telinga kanannya ke
pintu dengan hati-hati. Tidak terdengar apa-apa. Ia memutar
kepalanya dan kali ini telinga kirinya yang ditempelkan ke
pintu. Masih tetap sunyi senyap di dalam sana.
Kemudian ia melihat seorang gadis berambut hitam panjang
tersungkur di lantai di hadapannya sambil merintih pelan.
Sepertinya sentakannya membuka pintu membuat gadis itu
terjatuh.
Tiba-tiba gadis itu mendongak dan menatap Kazuto. Mata
gadis itu terbelalak kaget. Sesaat Kazuto merasa gadis itu
bukan orang Jepang. Mata gadis itu besar dan bulat, tidak
seperti mata orang Jepang pada umumnya, apalagi tadi gadis
itu mengatakan sesuatu dalam bahasa yang sudah jelas bukan
bahasa Jepang. Kazuto bingung. Otaknya masih bekerja lebih
lambat daripada biasa.
“Maafkan aku,” gumam Keiko lirih sambil membungkuk
beberapa kali, lalu melirik Kazuto sekilas dan membungkuk

77

Bab 2

badan lagi
KEIKO berdiri di koridor lantai dua gedung perpustakaan
tempatnya bekerja, di samping mesin penjual kopi yang—
mengikuti tema bulan Desember—tiba-tiba saja sudah
dipenuhi hiasan Natal.
Keiko menoleh ke arah suara wanita yang memanggilnya. Ia
melihat salah seorang rekan kerjanya melambai ke arahnya.
Di sampingnya berdiri seorang wanita berambut pirang.
Orang asing, pikir Keiko langsung. Di perpustakaan itu hanya
Keiko satu-satunya karyawan yang bisa berbahasa Inggris,
jadi secara tidak langsung ia yang selalu diminta melayani
pelanggan asing yang tidak bisa berbahasa Jepang.
Wajah kami sama persis, hanya gaya rambut kami yang
berbeda, lalu dia punya tahi lalat kecil di hidung dan dia
sedikit lebih tinggi dariku. Sifat kami berdua memang tidak
sama, tapi juga tidak benar-benar bertolak belakang. Kami
tinggal bersama di sini

Bab 3

Bab 5

“Aku? Sekarang aku mau membeli bahan makanan,” jawab
Keiko. “Persediaan di rumah sudah habis.”
Keiko tahu benar dirinya orang yang mudah bergaul, tapi
jarang sekali ia bisa langsung merasa akrab dengan
seseorang. Nishimura Kazuto kelihatannya sangat percaya
diri dan pandai berbicara. Selama makan siang mereka
mengobrol banyak. Bersama laki-laki itu membuat Keiko
menceritakan hal-hal yang sebenarnya tidak terpikir untuk
diceritakan. Ia bercerita tentang tetangga-tetangga mereka
juga tentang dirinya sendiri, seperti tentang ibunya yang saat
ini sedang berada di Jakarta karena kakeknya sedang tidak
sehat. Kazuto sepertinya tertarik pada semua yang diceritakan
Keiko.
“Oneechan! Dengar, aku baru melihat Keiko Oneesan keluar
dari apartemen Kazuto Oniisan,” Tomoyuki melaporkan
dengan nada mendesak.
“Apa?” Haruka mengangkat alis dan melirik jam dinding.
Jam enam. “Sepagi ini?” Tomoyuki mengerutkan kening dan
berpikir-pikir. “Oneechan, menurutmu
mereka...”
Haruka memukul kepala adiknya.
sembarangan. Keiko gadis baik-baik.”

“Jangan

berpikir

78

“Aku kan tidak bilang apa-apa,” gerutu Tomoyuki sambil
mengusap-usap kepalanya.
Bab 6

Keiko sedang membantu Nenek Osawa di dapur ketika
Haruka menghampirinya dan berbisik dengan nada
mendesak. Keiko menoleh dan melihat mata tetangganya
berkilat-kilat penasaran.
“Apa maksud Oneesan?” gerutu Keiko salah tingkah, lalu
kembali berkonsentrasi pada tugasnya memotong sayur.
Sementara para wanita sibuk di dapur, para pria duduk
mengobrol di ruang duduk. Kakek Osawa sedang bercerita
tentang masa mudanya dulu ketika ia masih bekerja sebagai
petugas keamanan di sekolah menengah, salah satu topik
yang paling disenanginya

Bab 10

“Ngomong-ngomong kau naik shinkansen11 atau pesawat?
Ke Kyoto, maksudku,” kata Kazuto ringan. Ia merasa tidak
perlu membuat Keiko cemas dengan kecurigaannya terhadap
mobil hitam di belakang sana. Gadis itu pasti akan panik dan
mulai berpikir yang tidak-tidak.

Bab 11

“Kenapa melamun sendiri di sini?” Terdengar suara berat
ayahnya dari belakang. “Kau tidak membantu ibumu
menyiapkan makan malam?”
“Ya,” sahut Keiko cepat dan segera bangkit.

Bab 18

“Dia mencengkeram bahuku dan mendorongku ke dinding,”
gumam Keiko sambil menunduk. Saat itu Kazuto merasakan
tangan Keiko yang berada dalam genggamannya gemetar.
“Dia begitu dekat. Akub isa merasakan... merasakan
napasnya yang bau mengenai wajahku. Lalu dia mencoba...
mencoba... Maksudku, tangannya...
tangannya bergerak terus. Aku sudah berusaha melawan.
Sungguh. Aku mencoba sebisaku, tapi dia sangat kuat. Dia
mabuk. Dan... dan... tangannya terus bergerak...” Suara Keiko
mulai pecah.
Tapi aku tidak apa-apa,” kata Keiko cepat dan memaksakan
tawa hambar. “Aku menjerit dan menjerit terus. Untungnya
tepat pada saat itu ada dua polisi yang berpatroli di sekitar
sana. Mereka mendengar jeritanku. Pemabuk itu tidak sempat
melakukan apa-apa selain... selain... menyentuh. Maksudku,
dia tidak sempat bertindak lebih jauh.”

79

Keiko mengangguk. Kemudian seakan tersadar bahwa ia
begitu dekat dengan Kazuto, ia bergerak gelisah dan bergeser
menjauh sedikit dari Kazuto. “Seperti yang sudah kukatakan
padamu, aku baik-baik saja dan aku bisa menjaga diri.
Sungguh.” Ia menatap Kazuto dan tersenyum. “Sebenarnya,
Kazuto-san, kau tahu benar aku bisa menjaga diri karena aku
pernah menghajarmu ketika kau baru pindah ke sini. Kukira
kau penguntit.”
Bab 21

Kazuto mengerutkan kening. Perlahan ia menarik Keiko ke
belakang punggungnya.
“Siapa kalian?” tanya Kazuto kepada orang-orang berpakaian
serbahitam itu.
Kazuto tetap memeluk Keiko, menahan Keiko di tanah
dengan tubuhnya sementara ia menerima setiap pukulan yang
diarahkan kepadanya. Keiko terisak memanggil namanya,
tetapi Kazuto tidak menyahut. Kalau bukan karena lengannya
yang merangkul tubuh Keiko dengan kencang, Keiko pasti
berpikir laki-laki itu sudah pingsan.
Salah seorang tukang pukul itu, entah yang mana,
mencengkeram lengan Keiko dan menariknya dengan kasar
sampai berdiri. Keiko berusaha melawan, menendang,
memukul, dan berteriak. Si tukang pukul mengangkat tangan
dan menamparnya dengan keras. Kepala Keiko tersentak ke
belakang. Ia bisa merasakan telinganya berdenging kesakitan
dan ledakan warna menyilaukan terlihat di balik kelopak
matanya.
Keiko terbelalak di balik punggung Kazuto dan
cengkeramannya di lengan Kazuto mengencang. Astaga!
Orang itu yang dulu menyerang Kazuto. Orang itu... Orang
itu yang membuat Kazuto hilang ingatan. Dan orang itu...
orang itu... Oh! Tiba-tiba Keiko terkesiap ketika ia akhirnya
bisa melihat wajah pria itu dengan lebih jelas di bawah sinar
lampu pinggir jalan.

80

Lampiran Spring in London
Bab
1

Kalimat
Tepat pada saat itu pintu kamar mandi terbuka dengan suara
keras dan Naomi melesat kembali ke kamar tidurnya, disusul
dengan suara pintu lemari dibuka dengan gaduh dan gantungangantungan baju berjatuhan ke lantai.
Kemudian terdengar bunyi gedebuk keras, disusul suara Naomi
yang berseru,

2

3

Bab 5

“Aku tidak jatuh! Tenang. Aku tidak jatuh. Aku baik-baik saja.”
Chris tersenyum lebar. “Tubuhku memang tidak bisa gemuk
walaupun aku makan banyak. Sedangkan kalian berdua kurus
kering karena tidak makan.”
Naomi menunduk menatap tanagn Danny, kemudian ia
meletakkan cangkir kertasnya di atas meja dan berdiri dari kursi.
Ia membungkuk sedikit sebelum menjabat tangan Danny—itu
salah satu kebiasannya sebagai orang Jepang yang tidak bisa
dihilangkannya—dan bergumam, “Naomi Ishida.”
Danny pergi menyapa beberapa staf produksi yang sudah
dikenalnya. Tiba-tiba ia mendengar seseorang berseru
memanggilnya. Ia menoleh ke arah salah satu tenda dan melihat
Yoon, penata rias selebriti yang sudah dikenalnya, bersama
seorang gadis berambut hitam panjang yang belum pernah
dilihatnya. Nah, gadis itu pasti lawan mainnya.
Naomi tersenyum dan mengangguk walaupun rasa lelah
mulai menjalari tulangnya dan tubuhnya menggigil. Ditambah
lagi kakinya terasa sakit dalam sepatu bot yang kekecilan. Tentu
saja ini bukan pertama kalinya ia merasakan semua itu. Sebagai
model pekerjaannya sangat menuntut waktu dan tenaganya. Ia
pernah pulang ke rumah pada pukul dua pagi setelah tampil di
London Fashion Week sepanjang hari dan harus keluar lagi dari
rumah pada pukul empat pagi untuk acara pemotretan di
Cornwall. Jadi rasa lelah sama sekali tak asing baginya, malah
kadang-kadang ia merasa ia membutuhkan perasaan lelah itu.
Selain bekerja sebagai model, Naomi juga bekerja sebagai editor
freelance di salah satu majalah fashion populer di Inggris. Ia
sangat suka dan tahu banyak soal dunia fashion, jadi ketika
Nakajima Miho, mantan teman seprofesi dan putri pemilik
majalah itu, meminta bantuannya menulis artikel fashion untuk
majalahnya, Naomi dengan senang hati menerima pekerjaan itu.
Danny mengangkat bahu dengan ringan. “Kukira mungkin kau
bisa menemaniu berkeliling kota setelah syuting berakhir. Aku
tidak punya teman lain di sini, kecuali sutradara kita, tentu saja,

81

tapi menurutku dia mungkin lebih suka menghabiskan waktu
bersama istri dan anaknya daripada bersamaku.”
“Oh, kurasa tidak,” gumam Naomi cepat—mungkin terlalu
cepat—sambil menurunit angga ke stasiun kereta bawah tanah.
Danny
bergegas
menyusulnya.
“Kenapa
tidak?” “Karena aku tidak
punya waktu.”
Kedengarannya tidak meyakinkan. Danny semakin
penasaran. Sepertinya Naomi Ishida tidak menyukainya. Tapi
kenapa? Danny tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang
yang menjengkelkan. Ia ramah pada siapa saja. Dan ia jelas
selalu bersikap ramah pada Naomi. Lalu kenapa ia merasa
seolah-olah Naomi tidak menyukainya? Apakah ia telah
melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan gadis itu?
Sepertinya tidak.
Alis Danny terangkat dan ia tersenyum tipis. “Kau tidak
membenciku, tapi juga tidak suka padaku.” Ia menghela napas
sejenak, lalu bertanya, “Apakah kau takut padaku?”

Bab 6

Bab 7

Laki-laki selalu membuat Naomi merasa resah dan gugup. Ia
tidak pernah merasa nyaman berada di dekat laki-laki. Tidak
pernah. Yah, sebenarnya bukan
“tidak pernah”. Tentu saja ia tidak terlahir takut pada laki-laki.
Hanya saja beberapa tahun terakhir ini, sejak kejadian... kejadian
itu, ia tidak pernah bisa memandang laki-laki dengan cara yang
sama lagi. Hanya Chris satu-satunya laki-laki yang dianggapnya
teman dan satu-satunya laki-laki yang tidak membuatnya merasa
resah.
“Hyong, apa pendapat Hyong tentang dia?” tanya Danny
tiba-tiba.
“Dia profesional,” sahut Bobby Shin sambil kembali
membalik-balikkan kertas di pangkuannya. “Punya wajah yang
cocok untuk video musik ini.”
“Dia juga model?
Naomi menggeleng. “Dia bekerja di perpustakaan di Tokyo.”
“Oh.” Danny sambil mengangguk-angguk. “Dia juga galak
sepertimu?” Kali ini Naomi menoleh ke arahnya dengan alis
berkerut. “Aku tidak galak.”
“Baiklah, baiklah. Kau tidak galak,” sela Danny cepat, lalu
mengangkat bahu, “hanya sedikit... yah, menakutkan.”
“Aduh, aku jadi ingin melihatnya,” erang Chris. Tetapi

82

Bab 8

suaranya dengan segera berubah serius. “Lalu bagaimana dengan
Naomi? Apakah dia baik-baik saja?”
“Ya,” sahut Julie. “Kau tahu, aku melihatnya tersenyum,
bahkan tertawa, bersama laki-laki itu. Sudah lama sekali aku
tidak melihatnya seperti itu. Itu bagus, bukan?”
“Ya. Ya, tentu saja,” sahut Chris. Ia terdiam sejenak, lalu
menambahkan, “Kuharap begitu.”
“Dia benar-benar sudah berubah, bukan?” tanya Chris lagi.
“Dia tidak gila kerja seperti dulu,” kata Julie sambil
mengangguk. “Jadwal kerjanya juga tidak sepadat dulu.”
“Dan dia makan dengan teratur. Biasnaya dia bahkan hampir
tidak pernah... oh, aku tidak mau memikirkan dia dulu yang jarak
makan,” kata Chris gemetar, lalu menyesap tehnya. “Aku jadi
ingin bertemu dengan orang bernama Danny Jo itu.”

Bab 10

Bab 11

Danny tersenyum tipis. Naomi bahkan tidak berhasil
menyingkirkan keraguan dari nada suaranya. Selama Danny
mengenal Naomi, ia sudah berhasil mengetahui beberapa hal
tentang diri gadis itu. Pertama, Naomi Ishida selalu bersikap
waswas di depan laki-laki. Hal ini membuat Danny lega karena
itu berarti Naomi tidak bersikap gugup dan resah hanya di depan
Danny. Namun hal itu juga menimbulkan pertanyaan lain:
Kenapa Naomi enggan berhubungan dengan laki-laki? Walaupun
hubungan mereka sudah mengalami banyak kemajuan kalau
dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka, Danny merasa
Naomi masih menahan diri.
Hal kedua yang disadari Danny adalah Naomi masih tidak
suka disentuh. Dan sampai sekarang Danny masih belum tahu
alasannya.
Danny kembali mengenang pertemuan pertamanya dengan
Naomi. “Awalnya dia terlihat dingin dan sulit didekati. Tapi
kalau kau berhasil mendekatinya dan mengenalnya lebih baik,
kau akan tahu bahwa dia sebenarnya orang yang menarik.
“Ini aku,” gumam Danny cepat ketika Naomi melompat
berdiri dan menjauh dari sofa. Ia menatap Danny dengan mata
terbelalak kaget dan... takut? Jantung Danny mencelos. Astaga,
itu adalah tatapan yang dulu sering dilihat Danny pada awal
perkenalan mereka. Tatapan Danny beralih ke tangan Naomi
yang terkepal di sisi tubuhnya. Alis Danny berkerut samar ketika
melihat tangan Naomi gemetar.
Kenapa tangan gadis itu gemetar? “Ini aku,” gumam Danny
sekali lagi.

83

Naomi mengerjap satu kali, dua kali, dan Danny melihat
sinar ketakutan itu menghilang dari mata Naomi. Gadis itu
tertawa pendek dan berkata ringan, “Tentu saja aku tahu itu kau.”
Bab 13

Bab 15

“Jadi, Naomi, kau sudah tidak marah padaku?” tanya
Danny. Suaranya terdengar ragu, sama sekali tidak seperti yang
dikenal Naomi.
Naomi mendengus. “Aku tidak marah padamu.”
Bagaimanapun juga ia tidak mungkin mengakui bahwa ia tidak
suka dengan kenyataan bahwa Miho menjawab ponsel Danny,
bahwa Danny ingin mengajak Miho ke suatu tempat, bahwa
mereka makan malam bersama, bahwa Miho bisa melihat Danny
sementara Naomi sendiri tidak bisa.
Bahwa Miho yakin Danny mulai menyukainya.
Danny
terkekeh.
“Suaramu terdengar
marah.” “Aku tidak
marah.”
Namun saat itu Miho menolak memikirkannya. Sama seperti
sekarang. Ia sama sekali belum ingin mundur. Danny Jo mungkin
menyukai Naomi, tapi Naomi belum tentu menyukai Danny.
Miho mengenal temannya dengan baik. Naomi bukan tipe wanita
yang mudah didekati. Malah Miho selalu melihat Naomi
menjauhi laki-laki. Jadi Miho masih memiliki kesempatan.
Chris dan Julie adalah orang-orang yang tidak pernah
merasa resah berada di tengah banyak orang, berlawanan dengan
Naomi. Naomi tidak menyukai pesta. Bahkan bisa dibilang ia
benci pesta. Tentu saja sebagai model ia harus menghadiri
berbagai jenis pesta, baik pesta pribadi yang sopan maupun pesta
yang berisik dan gila-gilaan. Namun Naomi tidak pernah tinggal
lebih lama dari setengah jam di setiap pesta itu, karena pada
setengah jam pertama semua orang masih bersikap sopan dan
suasana pesta masih beradab. Tetapi segalanya akan berubah
setelah orang-orang menegak minuman keras yang tak pernah
berhenti disajikan. Dan Naomi selalu menghindari saat itu.
Ia menoleh ke arah Danny yang berdiri di sampingnya dan
sedang berbicara dengan salah seorang tamu pesta. Naomi tidak
meminta Danny menemaninya, tetapi sepertinya Danny
menyadari kegelisahan Naomi di tengah-tengah orang banyak,
karena laki-laki ini tidak pernah meninggalkan sisinya sepanjang
malam itu.
Tubuh Naomi mulai gemetar sementara ia merasa dirinya
meluncur kembali ke masa lalu. Ke hari itu, tiga tahun yang lalu.

84

Hari saat ia merasakan ketakutan terbesar dalam hidupnya. Hari
yang menghancurkan seluruh hidupnya. Hari saat ia untuk
pertama kalinya berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
“Kalau kau tidak mengingatku, aku bisa maklum,” pria itu
melanjutkan sambil menyunggingkan senyum miringnya. “Kau
tentu lebih mengenal Jo Seung-Ho.”
Nama itu membuat napas Naomi tercekat dan ketakutan
besar yang pernah dirasakannya satu kali itu pun kembali
melandanya.
“Kau masih ingat padanya, bukan?” desak pria itu sambil
maju selangkah. “Bagaimanapun juga kalian pernah bersenangsenang.”
“Kau tahu,” lanjut pria itu dengan nada melamun. “Kalau
kupikir-pikir, kurasa Seung-Ho tidak akan keberatan kalau kau
menemaniku sebentar.”
Pria itu mengulurkan tangan menyentuh pipi Naomi dan
Naomi otomatis menepis tangannya dan mundur selangkah lagi.
“Tidak,” kata Naomi dengan suara tercekat dan gemetar. Ia
menatap pria yang kini menghalangi jalan keluar itu dengan
panik. “Biarkan aku lewat.”
Naomi berusaha berjalan melewatinya, namun pria itu tibatiba mencengkeram bahu Naomi dan mendorongnya ke dalam
bilik penyimpanan jaket. Naomi mendengar jeritan keras ketika
ia jatuh tersungkur di lantai, lalu menyadari bahwa itu adalah
suaranya sendiri.
“Kalau kau bisa menemani Seung-Ho dan adiknya, kau
tentu juga bisa menemaniku. Sebutkan hargamu.” Naomi
mendengar pria itu berbicara dengan nada malas yang ditariktarik. Naomi mendongak dan melihat pria itu sudah masuk ke
bilik sempit tersebut dan menutup jalan keluar. Tubuhnya mulai
gemetar dan perasaan ngeri membuat sekujur tubuhnya lumpuh.
Ia tidak bisa melakukan apa pun selain menatap pria itu dengan
mata terbelalak ketakutan. Ia sudah bersumpah ia tidak akan
pernah merasakan ketakutan seperti ini lagi. Ia sudah
bersumpah...
Ia harus menjerit. Ia harus menjerit minta tolong. Kenapa
suaranya tidak mau keluar?
Sebelum Naomi sempat berpikir, pria itu mulai menarik

85

jaket Naomi dengan kasar. Naomi memekik dan berusaha
melepaskan diri, tetapi tangan pria itu langsung membekap
mulutnya dan menahannya di lantai. Otak dan pandangan Naomi
berubah gelap. Ia terus menjerit walaupun mulutnya dibekap
dengan kasar. Ia terus meronta, mencakar, dan menendang
dengan membabi buta walaupun sepertinya hal itu sama sekali
tidak berpengaruh.
Ketika Danny tidak bisa menemukan Naomi di ruang pesta, ia
memutuskan untuk mencari ke tempat penitipan jaket, melihat
apakah Naomi sudah pulang atau belum. Tetapi tidak ada orang
yang terlihat di sana. Ia hampir saja berbalik pergi kalau bukan
karena mendengar suara aneh di dalam bilik penyimpanan jaket.
Ketika ia masuk untuk memeriksa, tidak ada satu hal pun di
dunia yang bisa mempersiapkannya menyaksikan apa yang
sedang terjadi. Kim Dong-Min sedang menahan Naomi di lantai
sambil berusaha merobek pakaiannya.
Bab 17
Mata Danny menyipit. Tatapannya itu seakan ingin
mencabik-cabik Dong-Min di tempat. “Ceritakan dari awal,”
katanya dengan nada rendah dan datar.
Dong-Min mendesah dan duduk di salah satu kursi di
dekatnya sambil meringis kefan. Tulang-tulangnya terasa nyeri.
“Ceritanya tidak panjang. Itu hanya hubungan semalam.”
Dong-Min menelan ludah. “Aku dan kakakmu pergi ke
Tokyo untuk membuat film dokumenter, bekerja sama dengan
salah satu stasiun televisi di Jepang. Suatu hari kami diundang
menghadiri pesta yang diadakan oleh salah seorang perancang
busana yang baru saja menggelar fashion show di Tokyo. Gadis
itu—model bernama Naomi itu—adalah model utamanya.
Kakakmu langsung terpesona padanya sejak pertama kali
melihatnya.”
Danny tidak berkomentar, hanya berdiri bersandar di
dinding dengan kedua tangan yang masih dijejalkan ke dalam
saku celana panjangnya.
Dong-Min memijat-mijat pelipisnya yang mulai berdenyut.
“Kakakmu berusaha mendekatinya, tapi sepertinya gadis itu tidak
tertarik.” Dong-Min mengeluarkan suara setengah mendengus,
setengah terkekeh. “Bayangkan apa yang dirasakan olehJo
Seung-Ho yang tidak pernah gagal mendekati wanita, ketika ia
ditolak oleh gadis yang menarik perhatiannya. Kakakmu kesal.

86

Dan marah. Dan mulai menenggak bergelas-gelas sampanye.
Dan suasana hatinya memburuk. Dia mulai marah-marah padaku
tanpa alasan. Kau tentu tahu bagaimana sikap kakakmu kalau dia
sedang kesal. Bahkan aku yang menjadi sahabat terdekatnya saja
tidak berani mendekatinya kalau dia sedang begitu.
“Aku yakin gadis itu hanya berlagak jual mahal. Gadis
seperti dia pasit sudah sering berhubungan dengan banyak orang.
Bagaimanapun juga kakakmu pria yang tampan, pintar, dan
sukses. Gadis mana yang mungkin menolaknya? Lalu kupikir
kalau saja aku bisa memberi kakakmu sedikit kesempatan berdua
dengan gadis itu, suasana hati kakakmu pasti akan langsung
membaik.”
“Saat itu aku benar-benar merasa ide itu sangat bagus. Aku tidak
mau dipaksa menghadapi amukan kakakmu. Suasana hatinya
bisa tetap buruk selama berhari-hari kalau sedang kesal, kau tahu
itu,” lanjut Dong-Min, mulai terdengar membela diri. “Kebetulan
sekali pesta itu diadakan di hotel. Jadi aku memesan kamar,
membawa gadis itu ke sana, menyuruh kakakmu menyusul ke
sana...”
“Membawa gadis itu ke sana?” potong Danny tiba-tiba.
“Bagaimana caranya? Jangan katakan padaku dia dengan senang
hati mengikutimu.”
Dong-Min tertawa gugup. Tadinya ia bermaksud melewatkan
detail kecil itu, tetapi sepertinya Danny tidak akan
melepaskannya begitu saja. “Eh, kalau soal itu... Kebetulan aku
membawa... semacam... semacam... pil... yang kucampurkan ke
dalam minuman gadis itu.” Melihat perubahan ekspresi di wajah
Danny, Dong-Min buru-buru menambahkan, “Tapi katanya pil
itu tidak berbahaya. Sungguh. Hanya membuat pusing sedikit.
Supaya aku bisa membawanya ke kamar tanpa membuat
keributan.”
“Pusing sedikit?”
Butir-butir keringat mulai bermunculan di dahi Dong-Min.
Sialan, kenapa Danny membuatnya merasa terintimidasi? Anak
itu lebih muda darinya. Sialan.
“Yah, mungkin aku salah mengukur takarannya. Gadis itu
hampir tidak bisa berjalan. Lemas. Tapi aku berhasil
membawanya ke kamar—aku sama sekali tidak menyentuhnya.
Sungguh!—lalu aku menghubungi kakakmu.”
“Dan kakakku datang?”
“Tentu saja,” sahut Dong-Min sambil mengangkat bahu,
heran mendengar Danny menanyakan pertanyaan yang
jawabannya sudah sangat jelas.

87

Suasana hening sejenak. Lalu ketika Danny berbicara,
suaranya terdengar aneh.
“Dan kau meninggalkan kakakku yang mabuk berat bersama
gadis itu—gadis yang kaubius itu—di dalam kamar?”
Dong-Min ragu sejenak, lalu mengangguk kaku.
“Lalu apa yang terjadi?”
“Apa lagi? Tentu saja hal yang pasti terjadi apabila seorang
pria berduaan saja dengan seorang wanita di kamar hotel.”
Kim Dong-Min tersinggung. “Aku sama sekali tidak
mengada-ada. Kakakmu sendiri meneleponku setelah dia selesai
dengan gadis itu. Dan bisa kupastikan suasana hatinya jauh
berubah, seperti yang sudah kuperkirakan. Dia sangat gembira.
Katanya dia akan pergi dari hotel itu sebelum gadis tersebut
benar-benar pulih kesadarannya. Katanya dia tidak ingin
mendapat masalah.”
“Tidak ingin mendapat masalah?”
Kim Dong-Min mengangkat bahu. “Kata kakakmu, gadis itu
masih... eh, belum berpengalaman, jadi dia pasti akan
menyulitkan kalau sudah benar-benar sadar. Maksudku, pasti
akan ada banyak sekali air mata dan jeritan yang terlibat. Jadi dia
lebih memilih pergi sebelum gadis itu mampu bangun. Tentu saja
kakakmu bermaksud menghubunginya setelah beberapa hari,
setelah gadis itu lebih tenang. Tapi seperti yang kau tahu,
keesokan harinya kakakmu mengalami kecelakaan lalu lintas
sewaktu pulang dari acara minum-minum bersama rekan-rekan
kerja kami di Jepang.”
Danny merasa sekujur tubuhnya mati rasa dan sangat berat.
Seolah-olah ia tidak sanggup berdiri lagi. Ia harus
mencengkeram lemari kecil di sampingnya. Ia tidak boleh jatuh
di sini. Otaknya berputar kembali ke saat ia pertama kali bertemu
dengan Naomi Ishida. Gadis itu pasti sudah tahu sejak awal
bahwa Danny adalah adik Jo Seung-Ho, orang yang
menyakitinya. Tidak heran pada awalnya Naomi selalu terlihat
gugup dan resah di dekatnya. Tidak heran mata hitam besar itu
selalu memandangnya dengan tatapan takut. Tidak heran gadis
itu membenci Danny. Tidak heran... tidak heran... Demi Tuhan,
mengingat apa yang telah dilakukan kakaknya pada Naomi,
Danny heran gadis itu tidak langsung mencakarnya ketika
pertama kali melihatnya.
Apa yang sudah dilakukan kakaknya? Astaga... Ya Tuhan...
“Kau boleh bertanya pada gadis itu kalau kau tidak percaya
pada ceritaku,” kata Dong-Min tiba-tiba. “Sudah kubilang aku
tidak mengada-ada.”

88

Danny mengangkat wajahnya yang pucat. Matanya menatap
Dong-Min dengan tajam. Sekujur tubuhnya gemetar menahan
amarah, menahan dorongan ingin membunuh. “Dan kau,”
katanya dengan nada rendah dan dingin, “setelah tahu apa yang
telah dilakukan kakakku pada Naomi, kau masih ingin
melakukan hal yang sama padanya malam ini.”
Dong-Min mendecakkan lidah. “Oh, ayolah, Danny. Gadis
itu bukan lagi gadis lugu. Apa salahnya...
Bab 18

“Orangtuaku... Merekalah alasan utama aku tidak pernah berkata
apa-apa tentang kejadian itu. Seumur hidupku aku belum pernah
melakukan sesuatu yang membuat mereka terpaksa menanggung
rasa malu. Mereka bangga pada anak-anak mereka. Mereka
bangga padaku. Kalau mereka sampai tahu masalah ini... Kalau
ayahku sampai tahu masalah ini, aku tidak berani
membayangkan bagaimana perasaannya.”
“Sebenarnya ada dua hal yang bisa disyukuri dalam
kejadian ini, kalau kita bisa menyebutnya rasa syukur,” sela
Naomi, masih memunggungi Danny. “Selama kejadian itu aku
lemas tak berdaya, nyaris tidak sadarkan diri, sehingga aku tidak
terlalu kesakitan walaupun aku tahu siapa lelaki itu, dan ingin
berontak, ingin melawannya. Dan yang kedua, aku tidak hamil.”
Naomi tidak langsung menjawab, hanya menatap Danny
tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu berkata, “Kau pasti
merasa jijik padaku.”
Danny terkejut, sama sekali tidak menyangka akan
mendengar kata-kata itu.
“Apa? Tidak. Aku tidak....”
“Aku juga merasa jijik pada diriku sendiri,” sela Naomi.

Bab 20

Naomi menggigit bibir dan membenamkan wajah di kedua
tangannya. Saat ini ia sama sekali tidak punya keyakinan untuk
menepati janjinya. Dengan adanya skandal itu, bagaimana ia bisa
tetap bersama Danny? Ia adalah wanita dengan masa lalu yang
kotor dan rumit, masa lalu yang berhubungan dengan kakak lakilaki Danny. Ia hanya akan membuat Danny semakin menderita.
Ia juga akan membuat keluarga Danny menderita.
Ia juga hanya akan membuat dirinya sendiri menderita.

89

Ia mengira ia sudah mengatasi masa lalunya, tetapi ternyata
ia belum berhasil mengatasi apa-apa. Ia hanya menyembunyikan
masa lalunya yang gelap itu jauh dalam hatinya. Sama sekali
tidak mau memikirkannya, tidak pernah berniat menghadapinya.
Ia selalu menghindar. Selalu. Dan apa akibatnya? Ia membuat
jarak dengan semua orang. Teman-temannya, Danny Jo, bahkan
orangtua dan saudara kembarnya.
Bab 21

Seperti yang dikatakannya tadi, ia butuh waktu untuk
berpikir. Tentang masa lalu dan masa depannya. Juga tentang
Danny Jo. Saat ini Naomi benar-benar tidak bisa berdiri di
hadapan Danny dan menatap matanya tanpa merasa malu. Masa
lalunya terlalu kotor.

90

Dokumen yang terkait

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22