Makalah S Aureus - Makalah
17
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Staphylococcus aureus
Terdapat sekurang-kurangnya 40 spesies dalam genus Staphylococcus. Tiga
spesies yang selalu ditemukan dengan kepentingan klinis adalah Staphylococcus
aureus,
Staphylococcus
epidermidis
dan
Staphylococcus
saprophyticus.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu patogen utama pada manusia.
Hampir setiap orang akan mengalami infeksi yang disebabkan oleh S. aureus
dalam hidup mereka dengan tahap keparahan yang berbeda; dari keracunan
makanan atau infeksi kulit minor hingga infeksi yang membahayakan nyawa
(Jawetz, 2010). Staphylococcus aureus biasanya mengkolonisasi kulit dan
membran mukosa manusia. Daerah depan (anterior) hidung merupakan habitat
utama S. aureus, namun bakteri ini dapat dijumpai pada kulit, perineum, pharynx,
saluran pencernaan (gastrointestinal), vagina dan ketiak (axilla) manusia
(Wertheim, 2005).
Staphylococcus aureus pertama kali digambarkan oleh Anton Rosenbach
seorang dokter asal Jerman pada tahun 1884 (Freeman-Cook, 2006).
Staphylococcus aureus bersifat non-motil (tidak bisa bergerak), tidak membentuk
spora dan tumbuh secara berkelompok menyerupai buah anggur. Bakteri Grampositif ini mempunyai diameter 1µm dan berbentuk kokus (bulat) (Jawetz, 2010).
Secara biokimia, semua Staphylococci dapat memproduksi katalase (katalase
dapat mendegradasi H2O2 menjadi O2 dan H2O). Katalase merupakan suatu faktor
virulensi yang penting karena H2O2 bersifat mikrobisidal dan degradasi katalase
membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh. Staphylococcus aureus dapat
memproduksi koagulase yaitu suatu enzim yang dapat menyebabkan plasma
menggumpal dengan mengaktivasi protrombin. (Levinson et al. 2002)
Batas suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah antara 15°C hingga 45°C
dan bakteri ini dapat tumbuh pada lempeng agar yang mengandung NaCl
sehingga konsentrasi 15% (Todar, 2012). Staphylococcus aureus dapat
18
memfermentasi manitol dan menghemolisis sel darah merah (Levinson et al.
2002). Pada lempeng agar, koloni yang terbentuk berwarna kuning keemasan
(Todar, 2012).
2.1.1. Struktur Dinding Sel
Dinding sel bakteri terdiri dari jaringan makromolekul yang disebut
peptidoglikan (dikenal juga sebagai murein) dan jaringan ini bisa tersusun tunggal
atau dengan kombinasi zat lain. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram
positif. Dinding sel bakteri Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan yang
banyak sehingga struktur yang terbentuk tebal dan kaku (Tortora, 2013).
Peptidoglikan merupakan suatu target yang bagus untuk obat antibakteri karena
peptidoglikan hanya dijumpai pada bakteri, bukan pada manusia (Levinson et al.
2002). Dinding sel kebanyakan bakteri gram positif mengandung asam teichoic
dan asam teichuronic yang mengatur fungsi elastisitas, porositas, kekuatan tarik
dan sifat elektrostatik dinding sel. Dinding sel bakteri memberi proteksi osmotik
bagi bakteri, mempertahankan bentuk bakteri, meregulasi proses pembelahan sel
dan menentukan karakteristik antigen bakteri (Jawetz, 2010).
2.1.2. Faktor Virulensi
Virulensi suatu organisme adalah derajat patogenisitas organisme tersebut.
Virulensi bakteri bergantung pada struktur sel, eksotoksin dan endotoksin yang
dimiliki bakteri tersebut, sehingga keseluruhan komponen itu disebut sebagai
faktor virulensi (Gladwin, 2001). Staphylococcus aureus dapat memproduksi
sejumlah besar faktor virulensi untuk memfasilitasi patogenesisnya. Pada
awalnya, penelitian terfokus pada peran faktor virulensi protein permukaan seperti
kapsul; namun sejak kebelakangan ini, peneliti mula memperhatikan pentingnya
keseluruhan eksoprotein Staphylococcus, seperti sitolisin dan superantigen, dalam
inisiasi dan perkembangan infeksi melalui kerusakan jaringan langsung ke
membran mukosa dan kulit.
19
A.
Faktor
permukaan
sel:
Kapsul
dan
protein
pengikat-fibronektin
(Fibronectin-binding protein).
Faktor virulensi yang terkait dengan dinding sel Staphylococcus aureus
mencakup
polisakarida
kapsuler
(capsular
polysaccharides,
CPs),
staphyloxanthin (pigmen karotenoid) dan sekelompok protein yang dikenal
sebagai microbial surface components recognizing adhesive matrix molecules
(MSCRAMMs).
Polisakarida kapsuler diproduksi oleh kira-kira 90% S. aureus isolat klinis,
dan 2 serotipe (CP5 dan CP8) menyumbang sekitar 75% isolat yang ditemukan
dari manusia. Fungsi utama kapsul pada virulensi Staphylococcus adalah untuk
mencegah fagositosis oleh neutrofil, tetapi kapsul Staphylococcus juga telah
ditunjukkan dapat meningkatkan kolonisasi bakteri dan ketahanan pada
permukaan mukosa. Pigmen keemasan S. aureus yaitu staphyloxanthin, juga
berfungsi untuk melawan neutrofil (fagositosis berbasis-oksidan reaktif).
MSCRAMMs seperti faktor penggumpalan (Clumping factors, Clf), protein
pengikat-fibronektin (fibronectn-binding proteins, FnBP), pengikat kolagen dan
Protein A, mempunyai peran penting dalam pelekatan mikroba pada protein sel
inang (antara lain: fibronektin, fibrinogen dan kolagen) dan menetapkan langkah
pertama terjadinya infeksi. Protein-protein ini juga mencegah pengenalan
organisme oleh sistem kekebalan tubuh inang. Sebagai contoh, faktor
penggumpalan (Clf) dan protein pengikat-fibronektin (FnBP) dapat menyebabkan
aktivasi platelet, yang mengakibatkan pembekuan. Protein A mengikat pada
bagian Fc immunoglobulin untuk mencegah opsonisasi.
B.
Faktor disekresi : Lipase, Sitolisin, Superantigen dan Protease
Berbeda dengan peran protektif dan pasif faktor virulensi yang terkait
dengan dinding sel, faktor virulensi yang disekresi oleh S. aureus memainkan
peran aktif dalam mengganggu sistem kekebalan tubuh inang dengan merusak sel
inang dan jaringan, menghalangi sistem kekebalan tubuh inang melepaskan nutrisi
dan memfasilitasi penyebaran bakteri. Faktor virulensi yang disekresi terdiri dari
empat kategori utama: superantigen, toksin pembentuk-pori, berbagai eksoenzim
dan bermacam-macam protein (Lin, 2010).
20
Tabel 2.1. Faktor-faktor virulensi yang disekresi Staphylococcus aureus
FAKTOR VIRULENSI
FUNGSI
Toxic shock syndrome toxin 1;
Mengaktivasi sel T dan makrofag
staphylococcal enterotoxins;
staphylococcal enterotoxin-like
toxins
Cytolysins (α-, β-, γ-, δ-toxins); Menyebabkan
apoptosis
(pada
phenolsoluble
konsentrasi rendah) dan lisis berbagai sel
modulin-like peptides;
termasuk eritrosit, limfosit, monosit, sel
leukocidins (Panton-Valentine
epitel; variasi target spesifik
leukocidin, PVL ; LukD/E)
Lipase
Inaktivasi asam lemak
Hyaluronidase
Degradasi asam hyaluronik
Serine proteases; cysteine
Menginaktifkan
proteases (termasuk
neutrofil; inaktivasi peptida antimikroba
aktivitas
proteolitik
staphopains); aureolysin
Staphylokinase
Aktivasi plasminogen; Inaktivasi peptida
antimikroba
Exfoliative toxins
Bertindak
sebagai
protease
serine;
mengaktivasi sel T
Chemotaxis inhibitory protein
Menghambat komplemen
of S. aureus; Staphylococcal
inhibitor of complement
Staphylococcal superantigen-
Menghambat komplemen C5 dan IgA;
like proteins; extracellular
menghambat migrasi neutrofil
adherence protein
21
2.2. Antibiotik Betalaktam (ß-laktam)
2.2.1. Mekanisme kerja antibiotik ß-laktam
Penicillin, seperti semua antibiotik ß-laktam, menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi sintesis dinding sel bakteri.
Dinding sel bakteri berfungsi untuk menjaga bentuk sel dan integritas sel, dan
mencegah terjadinya lisis sel yang disebabkan oleh tekanan osmotik tinggi.
Dinding sel bakteri diperbuat daripada polimer kompleks polisakarida dan
polipeptida serta peptidoglikan yang dihubungkan bersilangan (cross-linked).
Polisakarida tersebut mengandung gula amino, N-acetylglucosamine dan asam Nacetylmuramic. Satu pentapeptida terhubung pada asam N-acetylmuramic; peptida
ini akan terminasi pada D-alanyl-D-alanine. Dalam proses membentuk cross-link
dengan peptida yang berdekatan, enzim penicillin binding protein (PBP) akan
mengeluarkan alanine terminal tersebut. Antibiotik ß-laktam mempunyai struktur
analog substrat alami D-Ala-D-Ala, mengikat secara kovalen pada active site PBP.
Ini akan menyebabkan terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses
transpeptidasi antara rantai peptidoglikan terganggu dan membawa kepada
kematian sel. Mekanisme kematian sel yang tepat tidak diketahui, namun terdapat
penglibatan autolisin dan gangguan pada morfogenesis dinding sel. Antibiotik ßlaktam hanya dapat membunuh sel bakteri pada waktu bakteri masih aktif tumbuh
dan mensintesis dinding sel (Katzung, 2009)
2.2.2. Mekanisme Resistansi
Resistansi bakteri terhadap penicillin dan antibiotik ß-laktam lain dapat
disebabkan oleh satu dari empat mekanisme umum: (a) inaktivasi antibiotik oleh
enzim betalaktamase (ß-laktamase), (b) modifikasi target PBP, (c) gangguan
penembusan obat ke target PBP, dan (d) effluks. Produksi enzim ß-laktamase
merupakan mekanisme resistansi yang tersering. Terdapat ratusan enzim ßlaktamase yang telah diidentifikasi, bahkan ada enzim ß-laktamase yang
diproduksi oleh spesies bakteri tertentu yang mempunyai spesifisitas terhadap
suatu substrat. Pengubahan target PBP merupakan dasar resistansi terhadap
methicillin dalam Staphylococci. Organisme (bakteri) yang resistan ini akan
memproduksi PBP dengan afinitas rendah pada pengikatan antibiotik ß-laktam.
22
Sebagai konsekuensinya, organisme ini tidak terhambat kecuali pada konsentrasi
obat tinggi yang biasanya tidak tercapai secara klinis (Katzung, 2009). Semua
bakteri termasuk S. aureus mempunyai membran plasma dan dinding sel.
Kebanyakan zat obat memasuki sel melalui pori pada membran sel. Konsentrasi
obat di dalam sel adalah sebanding dengan jumlah pori pada sel. Ada bakteri yang
menjadi resistan terhadap obat (antibiotik) dengan mekanisme mengurangi jumlah
pori pada membran sel. Pada bakteri dimaksud, jumlah obat yang memasuki sel
tidak cukup untuk merusak atau membunuh bakteri tersebut. Ada pula bakteri
yang memproduksi pompa efluks yang mengeluarkan antibiotik dari sel sebelum
antibiotik tersebut dapat merusaknya. Terdapat pompa khusus untuk obat tertentu
saja dan pompa yang dapat mengekspor berbagai obat. Pompa yang dapat
mengekspor berbagai obat ini dikenal sebagai pompa multi-drug resistance
(MDR) dan bakteri yang mempunyai pompa ini resistan terhadap berbagai
antibiotik. Pompa MDR ini juga bisa mengeluarkan disinfektan dan antiseptik
yang biasanya digunakan untuk membunuh bakteri pada permukaan. Pompapompa ini kemungkinan telah berevolusi dari fungsi aslinya yaitu mengekspor
substansi kimia toksik yang dijumpai bakteri di alam (Freeman-Cook, 2006).
2.3. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Wabah infeksi didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections) yang
disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) diakui
dengan frekuensi meningkat di Amerika Serikat. Dua pertiga dari kasus infeksi ini
berjangkit di instalasi perawatan intensif. Pasien rawat inap terinfeksi dan
dikolonisasi MRSA menjadi reservoir utama, dimana tangan petugas rumah sakit
sebagai pembawa transien MRSA merupakan mekanisme yang paling penting
pada seri penularan kuman dari satu pasien ke pasien lain. Pada lebih dari 85%
rumah sakit di mana MRSA telah ditemukan, strain MRSA telah menjadi patogen
nosokomial endemik (Thompson, 1982).
Strain MRSA ditemukan segera setelah methicillin diperkenalkan dalam
praktek klinis. Resistansi tersebut disebut intrinsik karena kerusakan yang terjadi
bukan disebabkan oleh antibiotik ß-laktam. Wabah pertama infeksi yang
23
disebabkan oleh MRSA terjadi di rumah sakit Eropa pada awal tahun 1960. Sejak
itu, strain MRSA dan methicillin-resistant coagulase-negative Staphylococci telah
menyebar di seluruh dunia dan telah menjadi mapan di luar lingkungan rumah
sakit, terutama dalam kalangan pasien di fasilitas perawatan penyakit kronis dan
pencandu obat parenteral. Terjadi peningkatan yang stabil dalam prevalensi
MRSA yang diisolasi di rumah sakit di Amerika Serikat sehingga sekarang,
sekitar 25% dari isolat klinis S. aureus merupakan strain resistan methicillin
(MRSA).
Sekitar 30 sampai 50 kb DNA kromosom tambahan, mec, tidak ditemukan
pada methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) namun terdapat pada
MRSA. Mec selalu ditemukan dekat kelompok gen pur-nov-his pada kromosom
S. aureus. Mec mengandung MecA, gen struktural untuk protein pengikat
penicillin 2a (Pencillin-binding protein 2a, PBP 2a); mecI dan mecR1, elemen
yang mengontrol transkripsi MecA; dan 20 sampai 45 kb DNA terasosiasi mec.
MecA mengkode PBP 2a (juga dikenal sebagai PBP 2’), suatu 76-kDa PBP
yang dapat diinduksi dan menentukan sifat resistan terhadap methicillin. Strain
S.aureus yang rentan terhadap methicillin (MSSA) tidak memiliki gen MecA.
Kedua MRSA dan MSSA menghasilkan empat PBP utama, PBPs 1, 2, 3, dan 4
dengan perkiraan massa molekul 85, 81, 75, dan 45 kDa. Penicillin-binding
protein (PBP) adalah membran terikat DD-peptidase yang telah berevolusi dari
protease serin (serine), dan mekanisme aktivitas biokimianya mirip dengan yang
protease serin. Enzim-enzim ini mengkatalisis reaksi transpeptidasi yang
membentuk cross-links pada peptidoglikan dinding sel bakteri. Antibiotik ßlaktam adalah analog substrat yang mengikat PBP secara kovalen di situs-aktif
serin dan mengakibatkan inaktivasi enzim pada konsentrasi yang kurang lebih
sama dengan minimum inhibitory concentration (MIC). Penicillin-binding
proteins (PBP) 1,2 dan 3 memiliki afinitas tinggi untuk sebagian besar antibiotik
ß-laktam, dan pengikatan antibiotik ß-laktam oleh PBP ini mematikan bagi sel
bakteri. Pada sel bakteri yang resistan terhadap methicillin, PBP 2a, dengan
afinitas rendah untuk mengikat antibiotik ß-laktam dapat menggantikan fungsi
penting dari PBP dengan afinitas tinggi untuk mengikat antibiotik dalam
konsentrasi antibiotik yang dinyatakan letal. (Chambers,1997).
24
2.4. Infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial menurut World Health Organization (WHO) adalah
adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika pasien berada di dalam rumah
sakit atau fasilitas kesehatan; dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat
pasien diterima di rumah sakit. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda infeksi
setelah keluar dari rumah sakit dan infeksi pada petugas-petugas kesehatan yang
bekerja di fasilitas kesehatan juga disebut sebagai infeksi nosokomial. Infeksi
yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga
sebagai suatu infeksi nosokomial.
Menurut Darmadi (2008), infeksi nosokomial merupakan suatu infeksi yang
diperoleh pasien selama pasien tersebut dirawat di rumah sakit. Infeksi
nosokomial dapat terjadi karena ada transmisi mikroba patogen dari lingkungan
rumah sakit. Salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian (mortalitas) di rumah sakit adalah infeksi nosokomial, sehingga
ini dapat menjadi suatu masalah kesehatan di negara berkembang maupun di
negara maju. Infeksi nosokomial juga dijadikan landasan mengukur mutu
pelayanan rumah sakit, malah jika angka kejadian infeksi nosokomial di sebuah
rumah sakit tinggi, maka izin operasional rumah sakit tersebut bisa ditarik
kembali. Pihak asuransi juga tidak bersedia menanggung biaya yang ditimbulkan
akibat infeksi nosokomial dan ini amat merugikan bagi pihak pasien.
World Health Organization (WHO) telah mengelola suatu survei mengenai
prevalensi infeksi nosokomial dalam 55 rumah sakit di 14 negara. Negara-negara
ini mewakili 4 wilayah WHO yaitu Eropa, wilayah Mediterania Timur, Asia
Tenggara dan wilayah Pasifik Barat. Hasil dari survei ini menyatakan rata-rata
8,7% pasien di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Lebih dari 1,4 juta
orang di seluruh dunia menderita akibat komplikasi infeksi yang didapat di rumah
sakit. Frekuensi terjadinya infeksi nosokomial yang paling tinggi dilaporkan pada
rumah sakit di wilayah Mediterania Timur sebesar 11,8%. Ini diikuti dengan
wilayah Asia Tenggara dengan frekuensi 10.0%, wilayah Pasifik Barat dengan
frekuensi 9,0% dan wilayah Eropa dengan frekuensi 7,7%.
25
Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi adalah infeksi luka bedah,
infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Menurut studi
yang dijalankan oleh WHO dan lain-lain, prevalensi terjadinya infeksi nosokomial
adalah paling tinggi di instalasi perawatan intensif dan di bangsal bedah akut serta
bangsal ortopedi. Tingkat infeksi lebih tinggi pada kalangan pasien dengan
peningkatan kerentanan disebabkan oleh usia lanjut, penyakit yang mendasari atau
kemoterapi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Staphylococcus aureus
Terdapat sekurang-kurangnya 40 spesies dalam genus Staphylococcus. Tiga
spesies yang selalu ditemukan dengan kepentingan klinis adalah Staphylococcus
aureus,
Staphylococcus
epidermidis
dan
Staphylococcus
saprophyticus.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu patogen utama pada manusia.
Hampir setiap orang akan mengalami infeksi yang disebabkan oleh S. aureus
dalam hidup mereka dengan tahap keparahan yang berbeda; dari keracunan
makanan atau infeksi kulit minor hingga infeksi yang membahayakan nyawa
(Jawetz, 2010). Staphylococcus aureus biasanya mengkolonisasi kulit dan
membran mukosa manusia. Daerah depan (anterior) hidung merupakan habitat
utama S. aureus, namun bakteri ini dapat dijumpai pada kulit, perineum, pharynx,
saluran pencernaan (gastrointestinal), vagina dan ketiak (axilla) manusia
(Wertheim, 2005).
Staphylococcus aureus pertama kali digambarkan oleh Anton Rosenbach
seorang dokter asal Jerman pada tahun 1884 (Freeman-Cook, 2006).
Staphylococcus aureus bersifat non-motil (tidak bisa bergerak), tidak membentuk
spora dan tumbuh secara berkelompok menyerupai buah anggur. Bakteri Grampositif ini mempunyai diameter 1µm dan berbentuk kokus (bulat) (Jawetz, 2010).
Secara biokimia, semua Staphylococci dapat memproduksi katalase (katalase
dapat mendegradasi H2O2 menjadi O2 dan H2O). Katalase merupakan suatu faktor
virulensi yang penting karena H2O2 bersifat mikrobisidal dan degradasi katalase
membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh. Staphylococcus aureus dapat
memproduksi koagulase yaitu suatu enzim yang dapat menyebabkan plasma
menggumpal dengan mengaktivasi protrombin. (Levinson et al. 2002)
Batas suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah antara 15°C hingga 45°C
dan bakteri ini dapat tumbuh pada lempeng agar yang mengandung NaCl
sehingga konsentrasi 15% (Todar, 2012). Staphylococcus aureus dapat
18
memfermentasi manitol dan menghemolisis sel darah merah (Levinson et al.
2002). Pada lempeng agar, koloni yang terbentuk berwarna kuning keemasan
(Todar, 2012).
2.1.1. Struktur Dinding Sel
Dinding sel bakteri terdiri dari jaringan makromolekul yang disebut
peptidoglikan (dikenal juga sebagai murein) dan jaringan ini bisa tersusun tunggal
atau dengan kombinasi zat lain. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram
positif. Dinding sel bakteri Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan yang
banyak sehingga struktur yang terbentuk tebal dan kaku (Tortora, 2013).
Peptidoglikan merupakan suatu target yang bagus untuk obat antibakteri karena
peptidoglikan hanya dijumpai pada bakteri, bukan pada manusia (Levinson et al.
2002). Dinding sel kebanyakan bakteri gram positif mengandung asam teichoic
dan asam teichuronic yang mengatur fungsi elastisitas, porositas, kekuatan tarik
dan sifat elektrostatik dinding sel. Dinding sel bakteri memberi proteksi osmotik
bagi bakteri, mempertahankan bentuk bakteri, meregulasi proses pembelahan sel
dan menentukan karakteristik antigen bakteri (Jawetz, 2010).
2.1.2. Faktor Virulensi
Virulensi suatu organisme adalah derajat patogenisitas organisme tersebut.
Virulensi bakteri bergantung pada struktur sel, eksotoksin dan endotoksin yang
dimiliki bakteri tersebut, sehingga keseluruhan komponen itu disebut sebagai
faktor virulensi (Gladwin, 2001). Staphylococcus aureus dapat memproduksi
sejumlah besar faktor virulensi untuk memfasilitasi patogenesisnya. Pada
awalnya, penelitian terfokus pada peran faktor virulensi protein permukaan seperti
kapsul; namun sejak kebelakangan ini, peneliti mula memperhatikan pentingnya
keseluruhan eksoprotein Staphylococcus, seperti sitolisin dan superantigen, dalam
inisiasi dan perkembangan infeksi melalui kerusakan jaringan langsung ke
membran mukosa dan kulit.
19
A.
Faktor
permukaan
sel:
Kapsul
dan
protein
pengikat-fibronektin
(Fibronectin-binding protein).
Faktor virulensi yang terkait dengan dinding sel Staphylococcus aureus
mencakup
polisakarida
kapsuler
(capsular
polysaccharides,
CPs),
staphyloxanthin (pigmen karotenoid) dan sekelompok protein yang dikenal
sebagai microbial surface components recognizing adhesive matrix molecules
(MSCRAMMs).
Polisakarida kapsuler diproduksi oleh kira-kira 90% S. aureus isolat klinis,
dan 2 serotipe (CP5 dan CP8) menyumbang sekitar 75% isolat yang ditemukan
dari manusia. Fungsi utama kapsul pada virulensi Staphylococcus adalah untuk
mencegah fagositosis oleh neutrofil, tetapi kapsul Staphylococcus juga telah
ditunjukkan dapat meningkatkan kolonisasi bakteri dan ketahanan pada
permukaan mukosa. Pigmen keemasan S. aureus yaitu staphyloxanthin, juga
berfungsi untuk melawan neutrofil (fagositosis berbasis-oksidan reaktif).
MSCRAMMs seperti faktor penggumpalan (Clumping factors, Clf), protein
pengikat-fibronektin (fibronectn-binding proteins, FnBP), pengikat kolagen dan
Protein A, mempunyai peran penting dalam pelekatan mikroba pada protein sel
inang (antara lain: fibronektin, fibrinogen dan kolagen) dan menetapkan langkah
pertama terjadinya infeksi. Protein-protein ini juga mencegah pengenalan
organisme oleh sistem kekebalan tubuh inang. Sebagai contoh, faktor
penggumpalan (Clf) dan protein pengikat-fibronektin (FnBP) dapat menyebabkan
aktivasi platelet, yang mengakibatkan pembekuan. Protein A mengikat pada
bagian Fc immunoglobulin untuk mencegah opsonisasi.
B.
Faktor disekresi : Lipase, Sitolisin, Superantigen dan Protease
Berbeda dengan peran protektif dan pasif faktor virulensi yang terkait
dengan dinding sel, faktor virulensi yang disekresi oleh S. aureus memainkan
peran aktif dalam mengganggu sistem kekebalan tubuh inang dengan merusak sel
inang dan jaringan, menghalangi sistem kekebalan tubuh inang melepaskan nutrisi
dan memfasilitasi penyebaran bakteri. Faktor virulensi yang disekresi terdiri dari
empat kategori utama: superantigen, toksin pembentuk-pori, berbagai eksoenzim
dan bermacam-macam protein (Lin, 2010).
20
Tabel 2.1. Faktor-faktor virulensi yang disekresi Staphylococcus aureus
FAKTOR VIRULENSI
FUNGSI
Toxic shock syndrome toxin 1;
Mengaktivasi sel T dan makrofag
staphylococcal enterotoxins;
staphylococcal enterotoxin-like
toxins
Cytolysins (α-, β-, γ-, δ-toxins); Menyebabkan
apoptosis
(pada
phenolsoluble
konsentrasi rendah) dan lisis berbagai sel
modulin-like peptides;
termasuk eritrosit, limfosit, monosit, sel
leukocidins (Panton-Valentine
epitel; variasi target spesifik
leukocidin, PVL ; LukD/E)
Lipase
Inaktivasi asam lemak
Hyaluronidase
Degradasi asam hyaluronik
Serine proteases; cysteine
Menginaktifkan
proteases (termasuk
neutrofil; inaktivasi peptida antimikroba
aktivitas
proteolitik
staphopains); aureolysin
Staphylokinase
Aktivasi plasminogen; Inaktivasi peptida
antimikroba
Exfoliative toxins
Bertindak
sebagai
protease
serine;
mengaktivasi sel T
Chemotaxis inhibitory protein
Menghambat komplemen
of S. aureus; Staphylococcal
inhibitor of complement
Staphylococcal superantigen-
Menghambat komplemen C5 dan IgA;
like proteins; extracellular
menghambat migrasi neutrofil
adherence protein
21
2.2. Antibiotik Betalaktam (ß-laktam)
2.2.1. Mekanisme kerja antibiotik ß-laktam
Penicillin, seperti semua antibiotik ß-laktam, menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi sintesis dinding sel bakteri.
Dinding sel bakteri berfungsi untuk menjaga bentuk sel dan integritas sel, dan
mencegah terjadinya lisis sel yang disebabkan oleh tekanan osmotik tinggi.
Dinding sel bakteri diperbuat daripada polimer kompleks polisakarida dan
polipeptida serta peptidoglikan yang dihubungkan bersilangan (cross-linked).
Polisakarida tersebut mengandung gula amino, N-acetylglucosamine dan asam Nacetylmuramic. Satu pentapeptida terhubung pada asam N-acetylmuramic; peptida
ini akan terminasi pada D-alanyl-D-alanine. Dalam proses membentuk cross-link
dengan peptida yang berdekatan, enzim penicillin binding protein (PBP) akan
mengeluarkan alanine terminal tersebut. Antibiotik ß-laktam mempunyai struktur
analog substrat alami D-Ala-D-Ala, mengikat secara kovalen pada active site PBP.
Ini akan menyebabkan terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses
transpeptidasi antara rantai peptidoglikan terganggu dan membawa kepada
kematian sel. Mekanisme kematian sel yang tepat tidak diketahui, namun terdapat
penglibatan autolisin dan gangguan pada morfogenesis dinding sel. Antibiotik ßlaktam hanya dapat membunuh sel bakteri pada waktu bakteri masih aktif tumbuh
dan mensintesis dinding sel (Katzung, 2009)
2.2.2. Mekanisme Resistansi
Resistansi bakteri terhadap penicillin dan antibiotik ß-laktam lain dapat
disebabkan oleh satu dari empat mekanisme umum: (a) inaktivasi antibiotik oleh
enzim betalaktamase (ß-laktamase), (b) modifikasi target PBP, (c) gangguan
penembusan obat ke target PBP, dan (d) effluks. Produksi enzim ß-laktamase
merupakan mekanisme resistansi yang tersering. Terdapat ratusan enzim ßlaktamase yang telah diidentifikasi, bahkan ada enzim ß-laktamase yang
diproduksi oleh spesies bakteri tertentu yang mempunyai spesifisitas terhadap
suatu substrat. Pengubahan target PBP merupakan dasar resistansi terhadap
methicillin dalam Staphylococci. Organisme (bakteri) yang resistan ini akan
memproduksi PBP dengan afinitas rendah pada pengikatan antibiotik ß-laktam.
22
Sebagai konsekuensinya, organisme ini tidak terhambat kecuali pada konsentrasi
obat tinggi yang biasanya tidak tercapai secara klinis (Katzung, 2009). Semua
bakteri termasuk S. aureus mempunyai membran plasma dan dinding sel.
Kebanyakan zat obat memasuki sel melalui pori pada membran sel. Konsentrasi
obat di dalam sel adalah sebanding dengan jumlah pori pada sel. Ada bakteri yang
menjadi resistan terhadap obat (antibiotik) dengan mekanisme mengurangi jumlah
pori pada membran sel. Pada bakteri dimaksud, jumlah obat yang memasuki sel
tidak cukup untuk merusak atau membunuh bakteri tersebut. Ada pula bakteri
yang memproduksi pompa efluks yang mengeluarkan antibiotik dari sel sebelum
antibiotik tersebut dapat merusaknya. Terdapat pompa khusus untuk obat tertentu
saja dan pompa yang dapat mengekspor berbagai obat. Pompa yang dapat
mengekspor berbagai obat ini dikenal sebagai pompa multi-drug resistance
(MDR) dan bakteri yang mempunyai pompa ini resistan terhadap berbagai
antibiotik. Pompa MDR ini juga bisa mengeluarkan disinfektan dan antiseptik
yang biasanya digunakan untuk membunuh bakteri pada permukaan. Pompapompa ini kemungkinan telah berevolusi dari fungsi aslinya yaitu mengekspor
substansi kimia toksik yang dijumpai bakteri di alam (Freeman-Cook, 2006).
2.3. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Wabah infeksi didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections) yang
disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) diakui
dengan frekuensi meningkat di Amerika Serikat. Dua pertiga dari kasus infeksi ini
berjangkit di instalasi perawatan intensif. Pasien rawat inap terinfeksi dan
dikolonisasi MRSA menjadi reservoir utama, dimana tangan petugas rumah sakit
sebagai pembawa transien MRSA merupakan mekanisme yang paling penting
pada seri penularan kuman dari satu pasien ke pasien lain. Pada lebih dari 85%
rumah sakit di mana MRSA telah ditemukan, strain MRSA telah menjadi patogen
nosokomial endemik (Thompson, 1982).
Strain MRSA ditemukan segera setelah methicillin diperkenalkan dalam
praktek klinis. Resistansi tersebut disebut intrinsik karena kerusakan yang terjadi
bukan disebabkan oleh antibiotik ß-laktam. Wabah pertama infeksi yang
23
disebabkan oleh MRSA terjadi di rumah sakit Eropa pada awal tahun 1960. Sejak
itu, strain MRSA dan methicillin-resistant coagulase-negative Staphylococci telah
menyebar di seluruh dunia dan telah menjadi mapan di luar lingkungan rumah
sakit, terutama dalam kalangan pasien di fasilitas perawatan penyakit kronis dan
pencandu obat parenteral. Terjadi peningkatan yang stabil dalam prevalensi
MRSA yang diisolasi di rumah sakit di Amerika Serikat sehingga sekarang,
sekitar 25% dari isolat klinis S. aureus merupakan strain resistan methicillin
(MRSA).
Sekitar 30 sampai 50 kb DNA kromosom tambahan, mec, tidak ditemukan
pada methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) namun terdapat pada
MRSA. Mec selalu ditemukan dekat kelompok gen pur-nov-his pada kromosom
S. aureus. Mec mengandung MecA, gen struktural untuk protein pengikat
penicillin 2a (Pencillin-binding protein 2a, PBP 2a); mecI dan mecR1, elemen
yang mengontrol transkripsi MecA; dan 20 sampai 45 kb DNA terasosiasi mec.
MecA mengkode PBP 2a (juga dikenal sebagai PBP 2’), suatu 76-kDa PBP
yang dapat diinduksi dan menentukan sifat resistan terhadap methicillin. Strain
S.aureus yang rentan terhadap methicillin (MSSA) tidak memiliki gen MecA.
Kedua MRSA dan MSSA menghasilkan empat PBP utama, PBPs 1, 2, 3, dan 4
dengan perkiraan massa molekul 85, 81, 75, dan 45 kDa. Penicillin-binding
protein (PBP) adalah membran terikat DD-peptidase yang telah berevolusi dari
protease serin (serine), dan mekanisme aktivitas biokimianya mirip dengan yang
protease serin. Enzim-enzim ini mengkatalisis reaksi transpeptidasi yang
membentuk cross-links pada peptidoglikan dinding sel bakteri. Antibiotik ßlaktam adalah analog substrat yang mengikat PBP secara kovalen di situs-aktif
serin dan mengakibatkan inaktivasi enzim pada konsentrasi yang kurang lebih
sama dengan minimum inhibitory concentration (MIC). Penicillin-binding
proteins (PBP) 1,2 dan 3 memiliki afinitas tinggi untuk sebagian besar antibiotik
ß-laktam, dan pengikatan antibiotik ß-laktam oleh PBP ini mematikan bagi sel
bakteri. Pada sel bakteri yang resistan terhadap methicillin, PBP 2a, dengan
afinitas rendah untuk mengikat antibiotik ß-laktam dapat menggantikan fungsi
penting dari PBP dengan afinitas tinggi untuk mengikat antibiotik dalam
konsentrasi antibiotik yang dinyatakan letal. (Chambers,1997).
24
2.4. Infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial menurut World Health Organization (WHO) adalah
adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika pasien berada di dalam rumah
sakit atau fasilitas kesehatan; dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat
pasien diterima di rumah sakit. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda infeksi
setelah keluar dari rumah sakit dan infeksi pada petugas-petugas kesehatan yang
bekerja di fasilitas kesehatan juga disebut sebagai infeksi nosokomial. Infeksi
yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga
sebagai suatu infeksi nosokomial.
Menurut Darmadi (2008), infeksi nosokomial merupakan suatu infeksi yang
diperoleh pasien selama pasien tersebut dirawat di rumah sakit. Infeksi
nosokomial dapat terjadi karena ada transmisi mikroba patogen dari lingkungan
rumah sakit. Salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian (mortalitas) di rumah sakit adalah infeksi nosokomial, sehingga
ini dapat menjadi suatu masalah kesehatan di negara berkembang maupun di
negara maju. Infeksi nosokomial juga dijadikan landasan mengukur mutu
pelayanan rumah sakit, malah jika angka kejadian infeksi nosokomial di sebuah
rumah sakit tinggi, maka izin operasional rumah sakit tersebut bisa ditarik
kembali. Pihak asuransi juga tidak bersedia menanggung biaya yang ditimbulkan
akibat infeksi nosokomial dan ini amat merugikan bagi pihak pasien.
World Health Organization (WHO) telah mengelola suatu survei mengenai
prevalensi infeksi nosokomial dalam 55 rumah sakit di 14 negara. Negara-negara
ini mewakili 4 wilayah WHO yaitu Eropa, wilayah Mediterania Timur, Asia
Tenggara dan wilayah Pasifik Barat. Hasil dari survei ini menyatakan rata-rata
8,7% pasien di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Lebih dari 1,4 juta
orang di seluruh dunia menderita akibat komplikasi infeksi yang didapat di rumah
sakit. Frekuensi terjadinya infeksi nosokomial yang paling tinggi dilaporkan pada
rumah sakit di wilayah Mediterania Timur sebesar 11,8%. Ini diikuti dengan
wilayah Asia Tenggara dengan frekuensi 10.0%, wilayah Pasifik Barat dengan
frekuensi 9,0% dan wilayah Eropa dengan frekuensi 7,7%.
25
Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi adalah infeksi luka bedah,
infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Menurut studi
yang dijalankan oleh WHO dan lain-lain, prevalensi terjadinya infeksi nosokomial
adalah paling tinggi di instalasi perawatan intensif dan di bangsal bedah akut serta
bangsal ortopedi. Tingkat infeksi lebih tinggi pada kalangan pasien dengan
peningkatan kerentanan disebabkan oleh usia lanjut, penyakit yang mendasari atau
kemoterapi.