Sindrom Depresif pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyerta termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tidak berdaya serta bunuh diri (Kaplan dan Sadock, 1998).
World Health Organization (WHO) tahun 2012 mendefinisikan depresi

adalah kelainan mental yang ditunjukkan dengan adanya perasaan tertekan,
kehilangan minat, penurunan energi, penyesalan, keinginan tidur dan selera
makan yang terganggu, dan penurunan konsentrasi.
2.1.2 Etiologi
1. Faktor Biologi
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenik,
seperti 5-hidroksiindolasetatacid (5-HIAA), homovaniltacid (HVA), dan 3metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) di dalam darah, urine, dan cairan

serebrospinalis pasien dengan gangguan mood. Dari amin biogenik, norepinefrin

dan seritonin merupakan neurotransmiter yang paling terkait didalam patofisiologi
depresi (Sadock dan Sadock, 2014).
Selain norepinefrin dan serotonin sebagai etiologi penyebab terjadinya
depresi, dopamin juga pernah diteorikan memiliki peran dalam penyebab
terjadinya depresi. Data yang mendukung bahwa aktivitas dopamin berkurang
pada depresi. Penemuan subtipe baru reseptor dopamin serta meningkatnya
pemahaman mengenai regulasi prasinaps dan pascasinaps pada fungsi dopamin
lebih lanjut telah memperkaya riset mengenai hubungan antara dopamin dan
depresi. Dua teori terkini mengenai dopamin dan depresi adalah bahwa jaras
dopamin mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan bahwa
reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif pada depresi (Sadock dan Sadock, 2014).
Metode lain dari penelitian berfokus pada kemungkinan abnormalitas
dalam korteks prafrontal (prefrontal cortex), area dari lobus frontal yang terletak

Universitas Sumatera Utara

6

didepan area motorik. Peneliti menemukan bukti dari aktivitas metabolisme yang
lebih rendah dan ukuran korteks prafrontal yang lebih kecil pada orang yang

menderita depresi bila dibandingkan dengan kelompok yang sehat. Korteks
prafrontal terlibat dalam pengaturan neurotransmiter yang dipercaya terlibat
dalam gangguan mood, termasuk serotonin dan norepinefrin, sehingga tidak
mengejutkan bila bukti menunjukkan ketidakteraturan pada bagian otak ini (Nevid
et al, 2003).

2. Faktor Genetik
Suatu bidang pengetahuan yang semakin berkembang mengimplikasikan
faktor-faktor genetik pada gangguan mood. Kita mengetahui bahawa gangguan
mood, termasuk depresif mayor dan terutama gangguan bipolar, cenderung

menurun dalam keluarga. Namun penelitian membuktikan, semakin dekat
hubungan genetik yang dibagikan seseorang dengan orang lain yang menderita
suatu gejala depresi, semakin besar pula kecenderungan bahwa orang tersebut
juga akan mengalami hal sama (Sadock dan Sadock, 2014).
Namun, genetik bukanlah satu-satunya determinan dari depresi melainkan
faktor-faktor lingkungan juga berperan penting, misalnya pemaparan terhadap
peristiwa hidup yang penuh tekanan, tampaknya memainkan peranan tidak sama
pentingnya dengan genetik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara
faktor lingkungan dan genetik memiliki peranan yang sama dalam terjadinya

depresi (Nevid et al,2003).
3. Faktor Psikososial
Beberapa faktor psikososial yang terkait menyebabkan terjadinya depresi
meliputi peristiwa hidup dan stres lingkungan, kepribadian, psikodinamik, dan
ketidakberdayaan yang dipelajari (Sadock dan Sadock, 2014).
4. Kelainan Tidur
Masalah tidur, baik itu insomnia, sering terbangun, hipersomnia adalah
gejala yang lazim dan klasik yang dialami seseorang yang mengalami depesi.
Penelitian yang dilakukan, menunjukan bahwa elektroensefalogram tidur (EEG)
pada banyak orang depresi menunjukan adanya kelainan. Kelainan-kelainan ini
termasuk tidur yang tertunda, pemendekan latensi rapid eye movement (REM)

Universitas Sumatera Utara

7

(waktu antara jatuh tidur dan periode REM pertama), peningkatan lama periode
REM pertama, serta tidur delta abnormal (Sadock dan Sadock, 2014).
2.1.3 Gejala Klinis
Menurut NIMH ( National Institute of Mental Health ), gejala klinis dari depersi

adalah :
a. Perasaan sedih, khawatir atau “empty” yang menetap.
b. Merasa tidak ada harapan atau pun pesimis.
c. Adanya penyesalan, merasa tidak berguna, atau perasaan seperti tidak ada yang
menolong.
d. Mudah marah dan gelisah.
e. Kehilangan minat dalam beberapa aktivitas atau pun hobi yang menyenangkan,
termasuk seks.
f. Mudah lelah dan kehilangan energi.
g. Susah berkonsentrasi, mengingat secara detail, dan membuat keputusan.
h. Insomnia, early-morning wakefullness, atau tidur yang berlebihan.
i. Banyak makan, atau kehilangan selera makan.
j. Adanya keinginan untuk bunuh diri.
k. Nyeri atau sakit, sakit kepala, kram, atau masalah pencernaan yang tidak bisa
diatasi.
2.1.4 Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9)
Kuesioner PHQ-9 merupakan kuesioner yang paling sering dipakai untuk
keperluan baik riset atau diagnosis lain. PHQ-9 memiliki pertanyaan yang lebih
sedikit dibanding kuesioner lain tentang depresi, dan fokus kepada gejala depresi
dalam DSM-IV. Kuesioner PHQ-9 sebelumya telah divalidasi dalam dua studi

besar yang melibatkan 3.000 pasien di 8 tempat pelayanan primer dan 7.000
pasien di klinik obsetri ginekologi (Fatimah, 2014).
Kuesioner ini telah dibuat untuk melihat mood pasien diatas 2 minggu
yang lalu. Pertanyaan yang ditanyakan adalah: Selama 2 minggu terakhir,
seberapa sering terganggu oleh masalah-masalah berikut (Kroenke dan Spitzer,
2001).
1. Kurang tertarik atau bergairah dalam melakukan apapun.

Universitas Sumatera Utara

8

2. Merasa murung, muram, atau putus asa.
3. Sulit tidur atau mudah terbangun, atau terlalu banyak tidur.
4. Merasa lelah atau kurang bertenaga.
5. Kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan.
6. Kurang percaya diri – atau merasa bahwa Anda adalah orang yang gagal
atau telah mengecewakan diri sendiri atau keluarga.
7. Sulit berkonsentrasi pada sesuatu, misalnya membaca koran atau
menonton televisi.

8. Bergerak

atau

berbicara

sangat

lambat

sehingga

orang

lain

memperhatikannya. Atau sebaliknya, merasa resah atau gelisah sehingga
Anda lebih sering bergerak dari biasanya.
9. Merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun.
Penilain yang dibuat untuk jawaban yaitu:

a. Tidak sama sekali

:nilai 0

b. Beberapa hari

:nilai 1

c. Lebih dari separuh waktu yang dimaksud

:nilai 2

d. Hampir setiap hari

:nilai 3

Tabel 2.1 Skor PHQ-9
Skor

Interpretasi


0-4

Tidak depresi

5-9

Depresi ringan

10-14

Depresi sedang

15-19

Depresi sedang-berat

20-27

Depresi berat


Universitas Sumatera Utara

9

2.2 Diabetes Melitus
2.2.1 Defenisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus

(DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya (PERKENI, 2011).
2.2.2 Klasifikasi Etilogi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) tahun
2010, dibagi dalam 4 jenis, yaitu :
1. Diabetes melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus/ IDDM

DM Tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM Tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level protein c-peptide yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinis pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis (Ndraha, 2014).
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Melitus/
NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta
pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe
ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimptomatik. Adanya resistensi
yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan
glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi
(Ndraha, 2014).


Universitas Sumatera Utara

10

3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 2.2
(Ndraha, 2014).
4. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor sisiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes
gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah
suatu keadaan diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes
secara genetik mungkin akan memperlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi
klinis diabetes kehamilan. Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang
dianjurkan adalah kriteria yang diusulkan oleh O’Sullivan dan Mahan (1973).
Menurut kriteria ini, GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini
ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75g glukosa oral: puasa, 105mg/dL;
1 jam, 190mg/dL; 2 jam, 165mg/dL; 3 jam, 145mg/dL (Price dan Wilson, 2014)

Universitas Sumatera Utara

11

Tabel 2.2: Klasifikasi DM menurut ADA 2010

Sumber:Ndrah S.2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini.
Availablefrom:http://cme.medicanus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Diabet
es_Melitus_Tipe_2_dan_tata_laksana_terkini.pdf

2.2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Tiga organ tubuh berperan penting dalam mengatur konsentrasi glukosa
darah yaitu: (1) sel beta pankreas yang mengeluarkan insulin untuk menurunkan
glukosa darah, (2) hati melepaskan glukosa, dan (3) otot meningkatkan asupan
glukosa. Dalam keadaan normal insulin senantiasa bekerja mempertahankan
konsentrasi glukosa plasma agar selalu dalam batas normal pada saat puasa
maupun sesudah puasa (Daily, 2009).
Pada Diabetes Melitus Tipe 2, pankreas masih dapat membuat insulin,
tetapi kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan
baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa kedalam sel. Akibatnya, glukosa
dalam darah meningkat. Kemungkinan lain terjadinya diabetes melitus tipe 2
adalah sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten
terhadap insulin, sehingga glukosa tidak dapat masuk kedalam sel dan akhirnya
tertimbun dalam peredaran darah. Keadaan ini umumnya terjadi pada pasien yang
gemuk atau mengalami obesitas (Putri, 2013).

Universitas Sumatera Utara

12

Apabila keadaan diatas tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas. Kerusakan sel-sel beta
pankreas yang terjadi secara progresif seringkali akan mengakibatkan defisiensi
insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 memang umunya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu
resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fitriyani, 2012).

2.2.4 Gejala Klinis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes melitus.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti dibawah ini :
A. Keluhan klasik DM berupa: sekresi urin berlebihan (poliuria), sering merasa
haus (polidipsia), polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya (Price dan Wilson,2014).
B. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (PERKENI, 2011).

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer (PERKENI, 2011).
Menurut PERKENI diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dLdengan adanya keluhan
klasik.

Universitas Sumatera Utara

13

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleansi glukosa dapat dilihat
pada gambar 1.1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat
pada tabel-2.3. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau
DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) (PERKENI, 2011).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam