KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA T

KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME DALAM
SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
Oleh:
Usman
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

ABSTRAK
Perang melawan terorisme tidak bisa dimenangkan hanya dengan pendekatan represif.
Tetapi diperlukan juga perang gagasan yang menjadi sumber dari kekerasan dan
terorisme, melalaui program deradikalisasi. Oleh krena itu Putusan Pengadilan tidak
hanya menghukum yang bersangkutan, tapi juga memberikan ruang deradikalisasi.
Persoalnnya, sejauhmana tentang deradikalisasi narapidana aterorisme telah diatur
dalam hukum pidana yang berlaku saat ini.
Meskipun belum terdapat ketentuan khusus tentang deradikalisasi narapdaian terorisme
dalam sistem hukum pidana Indoesia, melalui metode penafsiran, gratikal dan
sistematis terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan
deradiklasi sasi narapidana terorisme.
Diperlukan perubahan peraturan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, dengan menambahkan ketentuan terkait dengan derdikalisasi
narapidana terorisme. Selain itu juga diperlukan peraturan lebih lanjut tentang tata cara

deradikalisasi narapidana terorisme.

Kata Kunci: Terorisme, Radikalisme Deradikalisasi, Narapidana
I. PENDAHULUAN
Setiap kejahatan pada dasarnya merupakan ancaman terhadap hak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, namun terorisme merupakan kejahatan
yang memberikan ancaman sangat serius. Karena terorisme tidak saja menimbulkan
rasa takut yang luas, namun juga memberikan dampak negatif pada kehidupan sosial,
ekonomi, politik, dan hubungan

internasional. Bahkan terorisme dapat mengancam

keamanan dan kedaulatan suatu negara serta perdamaian dunia. 1 Karena itu terorisme
tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan kekerasan biasa, akan tetapi dapat
dikatagorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime)2.
1Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi
Undang-Undang.
2Muladi, “Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Kkhusus (Extra Ordinary Crime)”
Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, hlm. 1-2.


Seriusnya ancaman terorisme mengundang reaksi keras masyarakat bangsabangsa di dunia dan menjadikan terorisme sebagai isu bersama. Sebagai bentuk
komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme telah
disepakati beberapa konvensi internasional yang menyerukan seluruh anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya.3 Dalam kaitan ini
tercatat dua belas (12) Konvensi Internasional, serta empat (4) Resolusi Dewan
Keamanan PBB yang terkait dengan Terorisme. 4

Upaya pemberantasan terorisme

tersebut semakin menguat pasca teror terhadap menara kembar World Trade Center
(WTC) Amerika Serikat, pada 11 September Tahun 2001.5
Istilah

“perang terhadap terorisme” yang populer pasca serangan bom 11

September 2001,6 mengindikan bahwa pendekatan kekerasan merupakan pilihan dalam
menunjukkan reaksi negara-negara di dunia terhadap terorisme. Akibatnya upaya
penanggulangan terorisme di lakukan melalui tindakan represif, baik tindakkan dalam

kerangka penegakan hukum melalui mekanisme sistem peradilan pidana, maupun
dalam kasus tertentu dilakukan dengan tindakan militer terhadap kelompok atau suatu
negara yang dianggap teroris atau mendukung terorisme. Sejumlah teroris tewas,
ditangkap dan dipenjarakan, bahkan razim yang dianggap mendukung terorisme
berhasil digulingkan. Persoalannya, apakah tindakan tersebut efektif dalam menekan
terorisme global? Faktanya menunjukkan, bahwa terorisme tetap ada dan menjadi
ancaman bersama. Yang terjadi justru rangkaian tindakan kekerasan yang dibalas
dengan kekerasan, sehingga menciptakan lingkaran teror yang berkelanjutan. Hal ini
telah menimbulkan kesadaran bahwa perang melawan terorisme

tidak bisa

dimenangkan hanya dengan membunuh dan menangkap teroris, mengumpulkan
intelijen atau mengamankan perbatasan. Tetapi diperlukan juga perang gagasan yang
3Penjelasan umum UU No. 15 Tahun 2003, Op. Cit.
4Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik HukumNasional
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 2, 2013, hlm. 82.

5Isu ini kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri AS dan sekutunya dan berupaya meraih
dukungan negara-negara di dunia. Melalui Presidennya, George Walker Bush, dikenal ungkapan politik

“stick and carrot”. Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya akan diberikan dukungan (dana),
sebaliknya bagi yang menolaknya akan diperangi. Edwin JHW, “Deradikalisasi Sebagai Upaya
Mencegah Aksi-Aksi Terorisme” Diunduh 15 Juni 2013.
6http://id.wikipedia.org/ wiki/ Serangan_11_September_2001# Teori_yang_bertentangan, diunduh
31 Agustus 2014.

menjadi sumber dari kekerasan dan terorisme.7 Atau dengan kata lain, pendekatan
kekerasan saja tidak bisa menghapus ancaman terorisme, selama radikalisme sebagai
akar masalah yang mendorong terorisme tidak dapat diselesaikan.
Terkait dengan dengan hal tersebut, menurut

Edra Wijaya, pemberantasan

tindak pidana terorisme tidak hanya dalam pengertian tindakan yang represif dan
perlakuan fisik. Tetapi juga memerlukan upaya lainnya yang kreatif yang lebih
“humanis”, seperti melalui program deradikalisasi.

Sehubungan dengan hal tersebut,

maka Putusan Pengadilan tidak hanya menghukum yang bersangkutan, tapi juga

memberikan ruang deradikalisasi.8 Terkait dengan hal ini maka konsep deradikalisasi
seharusnya juga terintegrasi dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, kususnya
dilakukan pada tahap pelaksanaan pidana.

Namun dari sisi asas legalitas, adanya

perumusan kebijakan tentang deradikalisasi tersebut merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi. Karena hanya dengan kebijakan tersbut maka dapat dijamin legalitas
dari kebijakan deradikalisasi narapidana terorisme. Sehubungan dengan ini maka
persoalnnya, sejauhmana tentang deradikalisasi narapidana aterorisme telah diatur
dalam hukum pidana yang berlaku saat ini?
II. RADIKALISME, TERORISME DAN DERADIKALISASI
II.1.Relasi Radikalisme dan Terorisme
Istilah “radikalisme” sering dikaitkan ketika membicarakan tentang terorisme.
Karena dianggap sebagai bagian dari akar persoalan terorisme. Pandangan semacam ini
di dunia Barat terutama sejak ikrar perang terhadap terorisme oleh Presiden George W
Bush pasca serangan 11 September 2001. Mislanya, Brian Michael Jenkins, sebagai
pakar terorisme menyatakan, "Teroris tidak jatuh dari langit, mereka muncul dari
seperangkat keyakinan yang dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka
menjadi teroris"9

Dengan pendekatan kajian psikologis, Fathali Moghaddam, sebagaimana dukutip
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, menggambarkan bagaimana seseorang
7Noor dan Shagufta Hayat, Deradicalization: Approaches and Models, Pakistasn: Institute for
Peace Studies (PIPS), 2009, hlm. 1.
8Endra Wijaya, “Peranan Putusan Pengadilan Dalam Program Deradikalisasi Terorisme Di
Indonesia” Jurnal Yudisial, Vol.III/No-02/Agustus/2010, Hlm. 1.
9Dalam Leila Ezzarqui, “De-Radicalization And Rehabilitation Program:The Case Study Of Saudi
Arabia”, School of Arts and Sciences of Georgetown University, Washington DC, 2010, hlm. 5.

mengalami transformasi menjadi teroris. Moghaddam memperkenalkan konsep The
Staircase to Terrorism. Meskipun tidak menggambarkan secara utuh penganutan
idiologis pada masing-masing tahap atau tangga, Moghaddam telah meyakinkan publik
bahwa untuk menjadi teroris seseorang tidak bisa serta merta. Ada tahapan dengan
berbagai dinamika sosial dan psikologi individu masing-masing yang harus dilalui.
Pertama, individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan yang
tidak adil. Kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas
persoalan tersebut dengan penyerangan yang dianggap sebagai musuh. Pada tangga
ketiga, individu mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari
kelompoknya. Keempat, setelah seseorang memasuki organisasi teroris,


hanya ada

kemungkinan kecil atau bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup.
Individu dalam tangga kelima ini secara psikologis, menjadi siap dan termotivasi untuk
melakukan kegiatan-kegiatan terorisme.10
Terkait denga pendapat Fathali Moghaddam tersebut, secara teoritik Afadlal
menjelaskan bagaimana pergeseran dari radikalisme menjadi terorisme yang bergerak
dari konsep fanatisme dan radikalisme. Dalam mengekspresikan fanatisme dan
radikalisasi bisa muncul dalam berbagai bentuk. Tetapi pada umumnya berbanding
lurus dengan reaksi dan atau sikap dari kelompok lawan. Aksi dan reaksi antara dua
kelompok berhadapan mungkin berbeda, namun pada umumnya mendekati derajat dan
pola yang hampir sama. Kekerasan akan dilawan dengan kekerasaan, dan salah satu
bentuknya bisa berwujud gerakan terorisme.11 Sejalan dengan pendapat tersebut,
menurut Mustofa, terorisme yang bermotivasikan ideologi agama, tidak akan mudah
dihancurkan dengan tindakan militer, bahkan akan memperkuat militansi. Upaya
Amerika Serikat menangkap hidup atau mati Osama bin Laden dengan melakukan
pemboman Afganistan, maupun menyebutkan adanya jaringan terorisme internasional
bernama Jamaah Islamiyah, justru memperkokoh stereotipe yang dibangun terhadap
Amerika Serikat sebagai perwujudan dari "setan."12


10Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed),
Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan
Beragama/ Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka Masyarakat Stara, 2010, hlm .13.
11Afadlal, Afadlal et all, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPPI Ress, 2005, hlm. 9.
12Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi”, Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002, hlm. 37.

Gambaran tersebut juga dapat menjelaskan fenomena terorisme di Indonesia.
Misalnya Irfan Idris, menyebutkan bahwa salah satu akar terorisme di Indonesia adalah
faham radikalisme yang diwujudkan dalam bentuk tindakan radikal yang memaksakan
kehendak.13 Demikian juga menurut Sarlito Wirawan, bahwa para pelaku terorisme
adalah orang-orang biasa yang kebetulan memiliki ideologi yang berbeda, yang sangat
meyakini seolah-olah ideologi mereka yang paling benar, di luar itu salah dan merusak
umat manusia oleh karena harus diperangi. Selain itu dalam sebuah wawancara dengan
majalah Tempo (21/3/2011), Arsyad Mbai menyatakan bahwa radikalisme adalah akar
dari terorisme. Menurutnya, ideologi radikal adalah penyebab dari maraknya aksi teror
di Indonesia, sehingga pencegahan terorisme harus diikuti oleh pemberantasan
radikalisme. Secara spesifik, Mbai melihat adanya ideologi tersebut dalam perilaku
teror di masyarakat sejak tahun 2000-an.14 Pendapat serupa juga disampaikan oleh Rais
Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi,


bahwa fenomena

terorisme yang melanda Indonesia dalam 12 tahun terakhir dipengaruhi oleh faktor
mewabahnya faham radikalisme agama. "Terorisme berkembang seiring dengan
massifnya perkembangan faham radikalisme agama. Maraknya gerakan radikalisme
agama menjadi ladang subur bagi terorisme."15 Pandangan tersebut juga ditemukan dari
hasil penelitian Stara Institut, bahwa organisasi radikal dan teroris menunjukkan relasi
yang cukup dekat.16
Dari paparan tersebut menunjukkan bahwa

terdapat relasi kausal antara

terorisem dan radikalisme. Meskipun demikian perlu di catat

bahwa

pertama,

pengertian radikalisme di sini tidak terbatas pada radikalisme agama, termasuk di

dalamnya radikalisme politik yang berbasis pada suku, rasa, kebangsaan atau
radikalisme lainnya. Kedua, tidak semua teror terjadi dilatarbelakangi oleh radikalisme.
Mislanya dalam kasus teror yang dilakukan oleh negara (state terrorisme).
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat keterkaitan antara
terorisme dan radikalisme, namun

radikalisme agama sesungguhnya tidak lebih

sebagai faktor pemicu terhadap berbagai persoalan dasar yang bersifat kompleks. Oleh
13Irfan Idris, “Deradikalisasi terorisme di Indonesia”
diakses pada tanggl 12 Mei 2013.
14Arsyad Mbai, “Radikalisme Adalah Akar Terorisme“, diunduh
27 -2-2014.
15Republika.co.id, Kamis, 28 Juli 2011.
16Ismail Hasaani dan Bonar Tigor N (ed), Op. Cit, hlm. 190.

karena itu dalam upaya penanggulangannya tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi,
tetapi perlu pendekatan yang komprehensip. Ini artinya penanggulangan terorisme itu
tidak cukup hanya melalui tindakan-tindakan yang bersifat represif, di sisi lain pelu
menyelesaikan secara tuntas dan adil akar penyebab yang menimbulkan fenomena

terorisme itu.
II.2. Deradikalisasi dan Upaya Penanggulangan Terorisme
Dalam pandangan International Crisis Group, deradikalisasi adalah proses
meyakinkan kelompok radikal untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini
juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan yang mencegah
tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara menanggapi “root causes” (akar-akar
penyebab) yang mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini.17
Dalm koteks pemahaman agama, Muhammad Harfin Zuhdi yang pendapatnya
dapat dipandang menjembatani perbedaan tersebut. Menurut Muhammad Harfin Zuhdi,
untuk dapat melihat persoalan secara jernih, maka harus dibedakan antara agama dan
pemikiran keagamaan serta bagaimana aktualisasinya dalam sejarah peradaban
manusia. Dalam kasus Islam, pemikiran Islam mencakup sejumlah disiplin ilmu dan
mazhab pemikiran. Jadi sejarah dan pemikiran Islam adalah produk dari sebuah
interaksi dan dialektika yang panjang dan kompleks antara interpretasi manusiawi
dengan wahyu Ilahi.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Muhammad Harfin Zuhdi

melihat deradikalisasi dari sisi pemahaman terhadap ajaran Islam.

Dari sisi ini

deradikalisasi berarti upaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadis, kkhususnya ayat atau hadis yang berbicara tentang konsep jihad,
perang melawan kaum kafir dan seterusnya. Berdasarkan pemaknaan tersebut maka
deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk menyampaikan “pemahaman
baru” tentang Islam, dan bukan pula pendangkalan akidah. Tetapi sebagai upaya
mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman tentang apa dan bagaimana
Islam.18
Program apakah yang perlu dilakukan untuk merubah agar sesorang atau
kelompok radikal menjadi tidak radikal atau tidak menggunakan kekerasan dalam
17International Crisis Groeup, “Deradikalisasi dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia,” Asia
Report N°142 – 19 November 2007, Hlm. 1.
dan Upaya Deradikalisasi
Pemahaman Al-Qur’an Dan Hadis”, RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010, hlm. 91.
18Muhammad

Harfin

Zuhdi,

“Fundamentalisme

memperjuangkan misinya? Inilah persoalan yang

mendasar dalam pembicaraan

tentang deradikalisasi. Program deradikalisasi sebagai suatu upaya untuk merubah
pemahanan dan perilaku radikal tentu harus berkesesuaian dengan orang, waktu dan
tempat, atau terhadap siapa dan di mana deradikalisasi itu dilakukan. Oleh karena itu
tidak mungkin diperlakukan dengan metode yang sama di antara setiap kelompok
sasaran tersebut. Sehingga diperlukan program yang bervariatif.
Menurut Leila Ezzarqui, Program De-radikalisasi merupakan usaha untuk
mengatasi tantangan ideologis dan menggagalkan daya tarik militansi, mengubah sikap
dan berusaha untuk merehabilitasi individu ke dalam masyarakat umum. Dibutuhkan
pemahaman tentang hubungan yang kompleks antara sikap, keyakinan dan perilaku.
Untuk itu diperlukan pendidikan ulang (reedukasi) dan program rehabilitasi berbasis
ideologis, antara lain mencakup reinterpretasi argumen teologis untuk mendelegitimasi
penggunaan kekerasan terhadap negara dan masyarakat lainnya.19
Dalam upaya deradikalisasi, metode diskusi atau dialog intensif dengan topik
dari teks al-Qur'an, maupun dari berbagai konteks sosial, ekonomi, politik dengan
melibatkan mantan teroris, ustadz dan psikolog, pernah dilakukan dalam eksperimen
yang pernah dilakukan Sarlito Worawan Sarwono. Hasilnya ditemukan bahwa para
mantan pelaku teror bisa diubah sikapnya, walaupun usaha untuk mengubah ideologi
sangat tidak mudah, bahkan ada beberapa yang menunjukkan penolakan mutlak.
Sedangkan program disengagement, yang dialakukan dalam bentuk pemberdayaan
dakwah yang bernuansa Islam rahmatan lil alamin, melalui pelatihan dakwah nonkekerasan, yang disatukan dengan kegiatan mereka sehari-hari, hasilnya sangat baik.
Para mantan teroris yang sebelumnya masih bicara keras, sesudang mengikuti
programbisa bicara di TV dengan membawa misi damai, malah mendukung NKRI.20
Menyimak konsep deardikalisasi yang dilakukan di beberapa Negara, ternyata
cukup beragam. Yaman yang dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi,
yang

menjalankan program deradikalisasi sejak tahun 2002, dilakukan dengan

membentuk

Komite

untuk

Dialog (Committee

for

Dialogue).

Program

ini

memprioritaskan dialog dan debat intelektual, dan bertujuan untuk meyakinkan kepada
para aktivis kekerasan atau mereka yang tersangkut terorisme bahwa pemahaman yang
19Leila Ezzarqui, Op. Cit, hlm. 7.
20Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi, Jakarta : Pustaka
Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP), 2012, hlm. 133.

mereka miliki adalah salah.21

Program

deradikalisasi Pemerintah

Arab Saudi

dilakukan dengan konsep PRAC (Prevention, Rehabilitation and After Care)
(pencegahan, rehabilitasi dan perawatan pasca program). Selain dialog teologis seperti
ceramah anti-terorisme yang dilakukan oleh ulama-ulama terkemuka Arab Saudi, juga
dilakukan melalui program konseling psikologis serta pembinaan terpadu melalui Care
Center, dan bantuan sosial serta finansial sebagai modal usaha.22
Program deradikalisasi melalui dialog teologis, dengan tujuan meruntuhkan
persepsi teroris yang salah dan melakukan konstruksi ulang ideologi yang mendasari
tindakan radikal,

juga dilakukan oleh Pemerintah Mesir

dengan memfasilitasi

pertemuan di antara para tokoh JI Mesir dengan melibatkan ulama-ulama Al-Azhar.23
Di Singapura program deradikalisasi yang dilakukan sejak tahun 2002, dilakukan
melalui sesi bersama psikolog, sesi konseling yang melibatkan para tahanan dan
keluarganya, dan juga program rehabilitasi agama, yang merupakan komponen utama
dalam program ini.24
Di Indonesia, sebagaimana desebutkan oleh Irfan Idris, bahwa desain
deradikalisasi memiliki yaitu reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi.
Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat
tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham
tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme, reedukasi dilakukan dengan
memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan
kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri
bukanlah jihad yang diidentikkan dengan aksi terorisme. Adapun rehabilitasi memiliki
dua makna, yaitu pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian, pembinaan
kemandirian adalah melatih dan membina para mantan napi mempersiapkan
keterampilan dan keahlian, gunanya adalah agar setelah mereka keluar dari lembaga
pemasyarakatan, mereka sudah memiliki keahlian dan bisa membuka lapangan
pekerjaan. Sedangkan pembinaan kepribadian adalah melakukan pendekatan dengan
21http://www.eramuslim.com, “Deradikalisasi di Beberapa Negara”, Diunduh 17 juni 2013.
hlm.2.
22Ismail Hasani dan Bonar TN, at all, Op. Cit, hlm. 171.

23Hasibullah Satrawi, “Deradikalisasi BerbasisIdeologi, ”http://budisansblog.blogspot.com,
diunduh 30 Oktober 2011, hlm. 1-2.
24http://www.eramuslim.com, “Deradikalisasi di Beberapa Negara”, Op. Cit, hlm. 3.

berdialog kepada para napi teroris agar mind set mereka bisa diluruskan serta memiliki
pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak yang berbeda dengan
mereka. Proses rehabilitasi dilakukan dengan bekerjasama dengan berbagai pihak
seperti polisi, Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkokesra, ormas,
dan lain sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka
dalam menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selain
program terebut, untuk memudahkan mantan narapidana dan narapidana teroris
kembali dan berbaur ke tengah masyarakat, BNPT juga mendesain program
resosialisasi dan reintegrasi, dengan cara membimbing mereka dalam bersosialisasi
dan menyatu kembali dengan masyarakat. Selain itu deradikalisasi juga dilakukan
melalui jalur pendidikan dengan melibatkan perguruan tinggi, melalui serangkaian
kegiatan seperti public lecture, workshop, dan lainnya, mahasiswa diajak untuk berfikir
kritis dan memperkuat nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang
destruktif.25
Dari uraian tentang program deradikalisasi tersebut, menunjukkan bahwa
deradikalisasi pada dasarnya merupakan upaya perang pemikiran terhadap paham
radikal, oleh karena itu dialog teologis merupakan yang utama. Meskipun demkikian
tidak cukup hanya dilakukan melalui debat pemahaman agama saja. Selain itu perlu
didukung dengan program lainnya seperti pembinaan psikologis, intelektualnya serta
keterampilan. Selain itu keterlibatan masyarkat, terutama keluarga diperlukan untuk
mendukung agar narapidana terorisme dapat bersosialisasi dan berintegrasi dalam
masyarakat umum dengan baik.

III.

KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME
Dalam kerangka sistem peradilan pidana, deradikalisasi narapidana terorisme

pada dasarnya merupakan suatu proses yang terkait dengan tahap eksekusi atau
pelaksanaan pidana penjara di Lembaga pemasyarakatan. Meskipun demikian sebagai
bagian dari bekerjanya sistem peradilan pidana, maka proses deradikalisasai tidak
25Irfan Idris, Ibid, hlm. 2-3.

terlepas dari tahapan sistem yang berjalan sebelumnya, yaitu dimulai dari penetapan
kebijakan formulasi oleh pembentuk undang-undang, dan tahap aplikasi mulai dari
penyidikan oleh

penyidik, tahap penuntutan oleh penuntut umum, dan tahap

mengadili/menjatuhkan putusan oleh hakim. Oleh karena itu dilihat dari kerangka
sistem hukum pidana, maka deradikalisasi narapidana terorisme tidak hanya terkait
dengan hukum pelaksanaan pidana, tetapi juga merupakan fungsi dari hukum pidana
materiel dan hukum pidana formil sebagai satu kesatuan.26
Terkait dengan hukum pidana metriel, maka deradikalisasi narapidana terorisme
terkait dengan pilihan jenis pidana apa yang dirumuskan di dalam undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Karena hanya jenis pidana penjara
yang memungkinkan untuk nantinya dapat dilakukan deradikalisasi narapidana
teorisme. Sendangkan untuk jenis pidana lainnya tidak memungkinkan untuk adanya
deradikalisasi narapidana teorisme. Demikian pula terkait dengan hukum pidana formil.
Hanya dengan penjatuhan pidana penjara yang memungkinkan untuk dilakukan
deradikalisasi narapidana teorisme. Sedangkan apabila hakim menjatuhkan pidana
selain pidana penjara maka tidak memungkinkan untuk adanya deradikalisasi
narapidana teorisme. Selain itu adanya ketetapan dari pengadilan yang mengharuskan
terpidana menjadi dradikalisasi juga dapat menjadi jaminan bagi pelaksanaan
deradikalisasi.
1. Analisis Ketentuan Tentang Deradikalisasi Narapidana Terorisme Dalam UU
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
merupakan undang-undang yang bersifat khusus. Di dalamnya tidak saja memuat
ketentuan tentang hukum pidana materil, terkait dengan rumusan tindak pidana, pidana
dan pertangunggungjawaban pidana, sebagaimana dirumuskan dalam BAB III Pasal 6
sampai dengan Pasal 18, dan BAB IV Pasal 20 sampai dengan Pasal 24. Tetapi undangundang ini juga dimuat materi tentang hukum acara pidana yang bersifat khusus, yang
berlainan dengan ketentuan di dalam KUHAP, terkait dengan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme
26Tentang sistem hukum pidana lihat Barda Arief Nawai, RUU KUHP Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Pustaka Magister,
2007, hlm. 4.

sebagaimana diatur dalam BAB V. Meskipun demikian ternyata di dalam undangundang tidak ditemui ketentuan khusus terkait dengan pelaksansaan pidana, maupun
tentang dradikalisasi. Meskipun demikian bukan berarti tidak artinya terkapa lagi
tentang deradikalisasi.
Dari sisi sanksi, dari sejumlah 33 rumusan tindak pidana dalam UU No 15
Tahun 2003, terdapat 21 rumusan tindak pidana diancam dengan maksimal pidana mati.
Sedangkan sisanya diancam dengan pidana penjara, pidana kurungan dan pidana
denda untuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Ancaman maksimal pidana
mati ditemui dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, pasal 10, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16. Ancaman pidana mati selalu dirumuskan secara alternatif, dengan
pidana penjara. Lamanya pidana penjara sebagai alternatif ancaman pidana mati adalah
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Sedangkan ancaman
pidana mimalnya

antara 3 sampai 4 ahun. Sedangkan acaman pidana penjara

dirumuskan secara beragam seasui dengan bobot tindak pidana terorisme. Ancaman
pidana penjara seumur hidup hanya ditemui dalam Pasal 7. Ancaman maksimal
pidana penjara 15 tahun dirumuskan dalam Pasal 11 Pasal 12, Pasal 13, pasal 14, Pasal
15, Pasal 16 dan Pasal 21.
Dalam Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
selain perumusan pasal 7 digunakan sistem perumusan ancaman pidana maksimumminimum. Artinya undang-undang memberikan batas maksimal dan minimal yang
dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Lama ancaman pidana
minimal untuk pidana penjara dirumuskan sesua dengan bobot tindak pidana terorisme
berkisar antara 2 sampai 3 tahun.
Meskipun acaman pidana mati cukup banyak digunakan sebagai ancaman tindak
pidana terorise dalam UU No 15 Tahun 2003, namun ancaman pidana

yang lebih

banyak digunakan adalah pidana penjara. Demikian juga dalam praktiknya sebagian
besar pelaku tindak pidana terorisme dikenakan pidana penjara. Dikaitkan dengan
pengaturan tentang deradikalisasi narapidana terorisme, sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa hanya jenis pidana penjara yang memungkinkan untuk dilakukan
deradikalisasi, maka dengan

ancaman pidana penjara ini merupakan dasar untuk

penjatuhan pidana penjara. Dengan dijatuhkannya pidana penjara tersebut maka dalam
pelaksanaannya dapat dilakukan deradikalisasi terhadap narapidana terorisme.

Dari analisis tersebut, meskipun UU No 15 Tahun 2003 merupakan undangundang khusus, yang di dalamnya mengatur baik hukum materiel maupun hukum
formil, tetapi ternyata belum mengatur ketetnuan tentang pelaksanaan pidana. Karena
deradaikalisasi narapidana terorisme termasuk ke dalam pelaksanaan pidana, maka jelas
ketentuan tentang deradikalisasi narapidana terorisme belum dimuat di dalam undangundang tersebut. Meskipun demikian jika ditilik dari jenis sanksi pidana yang
digunakan, di mana

ancaman pidana penjara cukup dominan maka secara tidak

langsung dengan dijatuhkannya pidana penjara maka dapat dilakukan deradikalisasi
narapidana terorisme. Atau dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam kerangka
sistem peradilan pidan, ancaman pidana penjara di dalam hukum pidana materiil
merupakan tahap awal dari kebijakan deradikalaisasi narapidana terorisme.
2. Analisis ketentuan tentang deradikalisasi narapidana terorisme dalam
KUHAP dan Putusan Pengadilan
Dalam melaksanakan putusaan pengadilan, lembaga pemasyarakatan pada
dasarnya hanya melaksanaan pidana sesuai dengan putusan pengadilan. Berkenaan
dengan deradikalisasi terhadap narapidana terorisme, persoalannya

sejauh mana

KUHAP mengatur tentang hal tersebut?
Di dalam KUHAP tentang pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam BAB
XIX. Mulai dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276. Terkait dengan pelaksanaan
pidana penjara KUHAP tidak mengatur secara rinci bagaimana pelaksanaan putusan
pengdilana tersebut. Pasal 270 hanya menentukan, “Pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu
panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Terkait dengan pelaksanaan pidana penjara KUHAP hanya mengatur terkait
dengan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal 277 ayat
(1) menentukan, “Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus
untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.”
Berdasarkan Pasal 280 dan Pasal 282, pengawasan dan pengamatan pelaksanaan
putusan pengadilan dilakukan untuk: a) memperoleh kepastian bahwa putusan
pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya; b) bahan penelitian demi ketetapan

yang bermanfaat bagi pemidanaan; dan c) menetukan cara pembinaan narapidana
tertentu.
Meskipun KUHAP tidak secara tegas mengatur tentang pelaksanaan pidana,
namun dari ketentuan Pasal 280 dan Pasal 282 terdapat ketentuan yang mengarahkan
cara pelaksanaan pidana dan pembinaan yang tepat terhadap narapidana tertentu,
termasuk di dalamnya narapidana teerorisme, sebagai narapidana yang bersifat khusus,
namun bagaimana ketentean lebih lanjut tentang cara pembinaan narapidana tersebut,
tidak diatur di dalam KUHAP. Demikian juga di dalam putsan pengadilan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 197

ayat (1) KUHAP, jelas tidak terdapat ketentuan yang

mewajibkan untuk mencantumkan ketetapan mengenai bagaimana putusan pengadilan
itu harus dilaksanakan. Hal ini sudah tepat, karena KUHAP merupakan ketentuan
hukum acara pidana yang bersifat umum. Yang berlaku untuk setiap tindak pidana.
dalam hal terdapat ketentuan yang menyimpang dari KUHAP, maka hal itu seharusnya
dimuat dalam undang-undang yang bersifat khusus. Dalam hal ini adalah UU No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Sehingga sebelum adanya ketentuan
tersebut, maka tidak akan ditemui ketetetapan tentang cara pelaksanaan putusan
pengadilan.
Menyikapi permasalahan tersebut, berdasarkan pada asas 1ex specialis derogat
lex generalis, tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana yang bersifat khusus,
sangat mungkin untuk menyimpang dari ketentuan tentang muatan putusan pengadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Meskipun demikian sesuai
dengan asas legalitas penyimpangan tersebut harus dinyatakan dalam undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Model pengaturan seperti ini
sesungguhnya telah digunakan di Indonesia, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal
103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
bahwa:
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
Ketentuan mengenai putusan pengadilan tersebut berlaku untuk tindak pidana
narkotika. Persoalannya apakah model perumusan ketentuan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 cocok untuk digunakan di dalam undangundang pemberantasan tindak pidana terorisme? Tindak pidana terorisme memang
berbeda dengan tindak pidana narkotika. Karena di dalam kasus pecandu narkotka,
pelaku mengalami ketergantungan biologis. Sedangkan di dalam kasus terorisme yang
dipicu oleh radikalisme, pelaku mengalami ketergantungan mental dan ideologis.
Meskipun demikian jika dicermati antara pelaku tindak pidana narkotika dan pelaku
tindak pidana terorisme terdapat titik persamaannya, yaitu sama-sama mengalami
ketergantungan oleh karena itu kedua-duanya membutuhkan perawatan dan pembinaan
yang bersifat khsusus.
Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis, model pengaturan

yang

dirumuskan di dalam Pasal 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika tersebut sesungguhnya dapat diterapkan dalam undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Dengan mengadobsi model perumusan
tersbut maka hakim dapat memutus untuk memerintahkan terpidana terorisme dalam
pelaksanaan pidanyanya wajib menjalani program deradikalisasi, dan masa menjalani
deradikalisasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Sebagai konsekuensi dari penggunaan model perumusan Pasal 103 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam kasus
tindak pidana terorisme, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan menambahkan
ketentuan terkait dengan

derdikalisasi. Model perumusan yang disarankan adalah

sebagai berikut:
Pasal ….
(1) Hakim yang memeriksa perkara terorisme dapat memutus untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani deradiklasisasi jika terbukti
yang bersangkutan melakukan tindak pidana karena dirong atau dipengaruhi
oleh paham radikalisme.
(2) Deradikaliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lakukan di Lapas
khusus atau Lapas lainnya yang memiliki fasilitas dan sumberdaya manusia
untuk menyelenggarakan deradikalisasi.

(3) Masa menjalani deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Dengan adanya ketetuan tentang tatacara pelaksanaan pidana teresebut, maka
terdapat dasar hukum yang jelas bagi hakim untuk memutuskan untuk memerintahkan
terpidana tidak pidana terorisme untuk menjalani deradiklasisasi jika terbukti yang
bersangkutan melakukan tindak pidana karena dirong atau dipengaruhi oleh paham
radikalisme. Konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka pada tahap impelementasinya
diperlukan adanya lembaga pemasyaraktan khusus yang menanganai perawatan dan
pembinaan

narapidana

terorisme.

Atau

paling

tidak

diperlukan

lembaga

pemasyarakatan umum yang di dalamnya tersedia fasilitas dan sumberdaya manusia
untuk menyelenggarakan deradikalisasi.
3. Analisis ketentuan tentang deradikalisasi narapidana terorisme dalam UU
Nomor 12 Tahun 1995 dan Peraturan Pelaksanaannya
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, ketentuan tentang pelakasanaan pidana
penjara diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan
peraturan pelaksanaannya. Persoalnnya apakah di dalam peraturan perundangundangan tersebut telah mengatur, atau paling tidak terdapat ketentuan yang dapat
dijadikan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan deradikalisasi narapidana terorisme?
Di dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 secara eksplisit tidak ditemui ketentuan
tentang deradikalisasi narapidana terorisme. Meskipun demikian terkait dengan dengan
pembinaan narapidana,

Pasal 12

ayat (1), UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan membuat klasifikasi atau penggolongan yang didsarkan atas dasar:
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf d, maka secara gramatikal 27 dapat
27 Interprestasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai
kaedah bahasa, kaedah hukum tata bahasan. Teguh Prastyo, “ Metode Penemuah Hukum
Dalam Perkembangan Teori dan Praktik Pengadilan di Indonesia, dalam Idris at all,(ed)
Penemuan Hukum Nasinal dan Internasional, Bandung: Fikahati Aneska bekerja sama dengan
Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012, hlm. 628.

ditafsirkan, bahwa dalam hal jenis kejahatannya adalah terorisme, maka digolongkan ke
dalam narapidana terorisme. Setelah dilakukan pengolongan tersebut persoalnnya
bagaimanakah konsep dan cara pembinaannya? Dalam kaitan ini Pasal 2 ayat (1) PP
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan, menentukan bahwa : “Program pembinaan dan pembimbingan
meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian.”
Selanjutnya menurut

Pasal 3

Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan

kemandirian tersebut meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
kesadaran berbangsa dan bernegara;
intelektual;
sikap dan perilaku;
kesehatan jasmani dan rohani;
kesadaran hukum;
reintegrasi sehat dengan masyarakat;
keterampilan kerja; dan
latihan kerja dan produksi.

Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya mengatur tentang pola pembinaan
narapidana secara umum, yaitu digolongkan ke dalam dua jenis pembinaan, meliputi
pembinaan kepribadian dengan rincian program dan kegiatan terkait dengan poin a
sampai dengan g, dan pembinaan kemandirian dengan rincian program dan kegiatan
terkait dengan poin h dan i.
Pola dan program kegaitan tersebut pada dasarnya juga terkait dengan program
deradikalisasi, namun program derdaikalisasi narapidana terorisme tentunya tidak
terbatas pada program dan kegiatan tersebut. Selain itu masih dibutuhkan program yang
spesifik lainnya. Satu hal yang paling mendasar adalah program reedukasi terkait
dengan pemahaman ideology radikal. Hal ini berarti baik UU Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan maupun PP Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, meskipun terdapat beberapa ketetnuan
yang secara umum memberrikan arahan terkait dengan deradikalisasi narapidana
terorisme, namun belum secara sepsifik mengatur tentang deradikalisasi narapidana
terorisme. Ketentuan tesebut justru itemui di dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu PP
Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, sebagaimana diubah dengan

Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
Dalam peraturan pemerintah tersebut, terkait dengan hak-hak narapidana tindak
pidana terorisme terdapat beberapa hak yang diatur secara khusus, yaitu: hak remisi;
hak

asimilasi; hak cuti mengunjungi keluarga; hak cuti menjelang bebas; hak

pembebasan bersyarat. Bagi narapidana teorisme, selain harus memenuhi persyaratan
umum, yang juga berlaku untuk setiap narapidana juga harus memenuhi persyaratan
khusus sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34A PP Nomor 32 Tahun 1999, yaitu:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar
perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah “mengikuti program deradikalisasi” yang diselenggarakan oleh LAPAS
dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi
Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak
pidana terorisme.
Demikian halnya dalam mendapatkan asimilasi. Selain harus memenuhi
persyaratan umum, berdasarkan Pasal 38A PP Nomor 32 Tahun 1999 , Asimilasi untuk
Narapidana terorisme diberikan dalam bentuk kerja sosial pada lembaga sosial. Dengan
syarat setelah:
a. selesai mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS
dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan
b. menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi
Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
Narapidana Warga Negara Asing.
Berdasarkan rumusan peraturan pemerintah tersebut, program deradikalisasi
merupakan syarat penting dalam pembinaan narapidana terorisme.

Karena untuk

memperoleh remisi dan asimilasi, narapidana terorisme harus telah mengikuti program
deradikalisasi. Dengan adanya persyaratan ini, maka sudah seharusnya pada setiap

lemabaga pemasyarakatan yang di dalamnya melakukan pembinaan terhadap
narapidana terorisme wajib menyelenggarakan program deradikalisasi. Jika tidak,
bagaimana mungkin narapidana terorisme dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan
remisi maupun asimilasi. Persoalnnya, apakah ketentuan tersebut berarti menjadi norma
atau dasar hukum yang mewajibkan adanya program deradikalisasi bagi setiap
narapaidana terorisme?
Sehubungan dengan persoalan tersebut, dapat ditafsirkan menjadi dua versi.
Pertama, berdsarkan penafsiran secara gramatikal, 28 ketentuan tersebut hanya
merupakan syarat saja bagi narapidana untuk dapat mengajukan remisi dan asimilasi.
Terlepas dari apakah

lembaga pemasyarakatan atau pihak terkait lainnya wajib

menyelenggarakan atau tidak program deradikalisi dalam lembaga tersebut. Jika
terdapat program deradikalisasi dan narapidana mengikuti, maka hal tersebut dapat
dijadikan syarat untuk mendapatkan remisi dan asimilasi. Namun jika di dalam
lembaga tesebut tidak diselenggarakan program deradikalisasi, maka

hak untuk

mendapat remisi dan asimilasi bagi narapidana terorisme tidak dapat diajukan kaena
tidak dapat memenuhi syarat

terlah mengikuti deradikalisasi. Selain penafsiran

tersebut, kedua dapat ditafsirkan seecara sistematis, 29 dengan adanya persyaratan
tersebut, maka menjadi kewajiban pada setiap lembaga pemasyarakatan yang di
dalamnya

melakukan

pembinaan

terhadap

narapidana

terorisme

untuk

menyelenggarakan program deradikalisasi. Karena tanpa adanya kewajiban tersebut
maka ketetentuan tentang persyaratan remisi dan asimilasi bagai narapidana terorisme
tidak akan ada artinya.
Jika penafsiran yang kedua tersebut dapat disepakati, maka dapat dikatakan
telah ada dasar hukum derdikalisasi narapidana teorisme. Meskipun demikian hal
tersebut baru terbatas pada kewajiban menyelenggarakan program deradikalisasi.
Persoalnnya bagaimana konsep hukum dan tata cara atau teknis deradikalisasi
narapidana terorisme tersebut juga belum jelas. Oleh karean itu ke depan diperlukan
perat teknis yang mengatur tentang konsep hukum dan tata cara atau teknis
deradikalisasi narapidana terorisme.
28 Ibid.
29Interprestasi sistematis yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan perundang-undangan. Ibid. Jadi keseluruhan peerundang-undangan dalam suatu
Negara diangap seabgai usatu sistem yang utuh. Achmad Ali,
Menguak Tabir Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 132.

IV. PENUTUP
1. Terorisme merupakan tindak pidana yang kompleks, berbeda dari bentuk kejahatan
kekerasan lainnya. Satu hal yang membedakan adalah adanya keterkaitan dengan
ideologi radikal. Oleh karena itu deradikalisasi sebagai program yang diupayakan
untuk menghapuskan radikalisme merupakan hal yang penting dalam proses
peradilan pidana tidak pidana terorisme.
2. Meskipun belum terdapat ketentuan khusus tentang deradikalisasi narapdaian
terorisme dalam sistem hukum pidana Indoesia, melalui metode penafsiran, gratikal
dan sistematis terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan
deradiklasi sasi narapidana terorisme.
3. Diperlukan perubahan peraturan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme,

dengan menambahkan ketentuan terkait dengan

derdikalisasi narapidana terorisme. Selain itu juga diperlukan peraturan lebih lanjut
tentang tata cara deradikalisasi narapidana terorisme.
Daftar Pustaka
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.
Afadlal, Afadlal et all, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPPI Ress, 2005.
Arsyad Mbai, “Radikalisme Adalah Akar Terorisme“,
diunduh 27 -2-2014.
Barda Arief Nawai, RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Semarang: Pustaka Magister, 2007.
Edwin JHW, “Deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme”
Diunduh 15 Juni 2013.
Endra Wijaya, “Peranan Putusan Pengadilan Dalam Program Deradikalisasi Terorisme
Di Indonesia” Jurnal Yudisial, Vol.III/No-02/Agustus/2010.
Hasibullah
Satrawi,
“Deradikalisasi
BerbasisIdeologi,
”http://budisansblog.blogspot.com, diunduh 30 Oktober 2011.
http://id.wikipedia.org/
wiki/
Serangan_11_September_2001#
Teori_yang_bertentangan, diunduh 31 Agustus 2014.
http://www.eramuslim.com, “Deradikalisasi di Beberapa Negara”, Diunduh 17 juni
2013.
International Crisis Groeup, “Deradikalisasi dan Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia,” Asia Report N°142 – 19 November 2007.

Irfan Idris, “Deradikalisasi terorisme di Indonesia” diakses pada tanggl 12 Mei 2013.
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Ismail Hasani dan Bonar Tigor
Naipospos (ed), Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat:
Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Jakarta:
Pustaka Masyarakat Stara, 2010.
Leila Ezzarqui, “De-Radicalization And Rehabilitation Program:The Case Study Of
Saudi Arabia”, School of Arts and Sciences of Georgetown University,
Washington DC, 2010.
Mardenis,
Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik
HukumNasional Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 2,
2013.
Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman
Al-Qur’an Dan Hadis”, RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010.
Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi”, Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002.
Muladi, “Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Kkhusus (Extra Ordinary
Crime)” Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004.
Noor dan Shagufta Hayat, Deradicalization: Approaches and Models, Pakistasn:
Institute for Peace Studies (PIPS), 2009.
Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi, Jakarta :
Pustaka Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP), 2012.
Teguh Prastyo, “ Metode Penemuah Hukum Dalam Perkembangan Teori dan Praktik
Pengadilan di Indonesia, dalam Idris at all,(ed) Penemuan Hukum Nasinal
dan Internasional, Bandung: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Bagian
Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012,