TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK UTANG PIUTANG ( STUDI KASUS DI TANJUNG MEDAN JORONG PETOK SELATAN NAGARI PANTI SELATAN KECAMATAN PANTI KABUPATEN PASAMAN TIMUR)

SKRIPSI SKRIPSI SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Hukum Guna Meraih Gelar Sarjana Hukum Guna Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Oleh: Oleh: Oleh:

ESA KURNIAWATI ATMA ESA KURNIAWATI ATMA ESA KURNIAWATI ATMA NIM. 312.306 NIM. 312.306 NIM. 312.306

FAKULTAS SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL IMAM BONJOL IMAM BONJOL

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek

Utang Piutang (Studi Kasus di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur)”

yang disusun oleh Esa Kurniawati Atma Bp 312306. Latar belakang dari masalah yang penulis angkat adalah mengenai utang piutang uang yang dibayar dengan padi. Praktek utang piutang tersebut terjadi ketika telah terjadi akad diantara dua orang berakad dimana pihak pertama sebagai pemberi utang dan pihak kedua sebagai penerima utang. Ketika pihak pertama memberikan sejumlah uang kepada pihak kedua maka kesepakatan yang terjadi adalah pihak kedua tersebut akan mengembalikan utang uang yang ia pinjam dibayar dengan padi pada saat panen. Masalah yang muncul dari transaksi tersebut adalah jika utang uang tersebut dibayar berupa padi maka pihak pemberi utang akan menerima utang dalam jumlah lebih jika diuangkan. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktek utang piutang uang yang dibayar dengan padi studi kasus di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (Field Research) yang merupakan penelitian yang langsung dilakukan di lapangan atau pada responden baik melalui wawancara maupun melalui observasi. Penelitian ini menggunakan data kualitatif yaitu penelitian yang dilihat berdasarkan makna yang terkandung dalam setiap gejala-gejala yang terjadi dengan menganalisa data di lapangan. Praktek utang piutang yang berupa utang uang bayar dengan padi yang terjadi di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur dapat penulis simpulkan bahwa tinjauan hukum Islam terhadap praktek utang uang bayar dengan padi yang terjadi di Tanjung Medan adalah boleh karena manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya.

ABSTRACT

This thesis entitle is “The Observation Islamic Law about Practice Of

Obligation (Case in Tanjung Medan South Petok Oval South Panti City Panti District East Pasaman Regent House).” Arranged by Esa

Kurniawati Atma BP 312306. The background of this problem was writer wrote is about obligation money which it must be payed with the paddy. The practice of obligation happened when there are two people, which one side as kreditur while another side as debitur. When kreditur side was given several money, so the debitur side will pay that money with paddy at harvest moment. The problem will come from that transaction is if that obligation of money must be payed with paddy so in creditur side will accept more. The purpose of this thesis is to know how observation of Islamic law about obligation in Tanjung Medan South Petok Oval South Panti City Panti District East Pasaman Regent House. In this research writer was used field research it is like interview or observation. This research was used kualitative data it is the research which can be looked according the sense of symptoms happened with analysis of data in field. The conclusion is observation Islamic law about obligation money must be payed with paddy is allowed because there is the benefit is bigger than disadvantage.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang (Studi Kasus di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur). Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan contoh teladan yang sempurna bagi umat.

Teristimewa buat kedua orang tua tercinta, Ayahanda (Sulaiman Gandhi) dan Ibunda (Fitri) yang sampai detik ini masih diberikan kesehatan, semoga Allah memberikan umur yang panjang kepada keduanya dan memberkahi apa yang telah dicapai dan yang tengah dijalani oleh keduanya. Mereka yang telah bersusah payah membiayai penulis, memberikan banyak nasehat, mencurahkan kasih sayang serta untaian do’a agar penulis sukses dalam meraih cita-cita. Mereka berdualah yang senantiasa mendo’akan demi kesuksesan penulis, anaknya. Kepada adik-adikku (Esa Kurniawati Atmi, M. Bagus Alandri dan semua keluarga). Teruntukmu my twin Atmi, terima kasih atas segala pengorbanan yang telah engkau berikan kepadaku. Semua tidak akan pernah sampai sejauh ini tanpa bantuan dan pengorbananmu untukku, your twin.

Penulisan skripsi ini tidak selesai begitu saja tanpa dorongan dan niat ikhlas, semangat yang kuat serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Eka Putra Wirman, M.A selaku Rektor UIN Imam Bonjol Padang, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu.

2. Bapak Dr. H. Muchlis Bahar, LC., M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah, Wakil

3. Bapak M. Yenis, SH.MH, M.Pd selaku ketua jurusan dan Ibu Duhriah, M.Ag selaku sekretaris jurusan yang telah membantu dan memberikan arahan kepada penulis.

4. Bapak Drs. Burhanuddin, M.Ag selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing I. Bapak Aslan Deri Ichsandi, SH.MH selaku pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesain skripsi ini.

5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang yang telah meminjamkan buku dan mengizinkan penulis membaca di pustaka sebagai bahan rujukan bagi penulisan skripsi ini.

6. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang yang telah banyak memberikan ilmu kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Begitupun untuk teman-teman BP. 2012 jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah terimakasih atas motivasinya. Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, namun punya andil dalam proses penyelesaian skripsi ini hanya rasa terima kasih yang bisa penulis sampaikan. Semoga segala perhatian dan bantuan yang telah disumbangkan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Aamiin yaa robbal ‘alamiin.

Padang, 09 Agustus 2017 Penulis

ESA KURNIAWATI ATMA NIM.312.306

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Setiap segi kehidupan manusia pada dasarnya tidak akan terlepas dari proses bermuamalah. Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah dan muamalah. Islam juga mengatur segala bentuk tata cara dalam memenuhi kebutuhan antara seseorang dengan orang lain, seperti dalam masalah utang piutang. Utang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara ini. Selain itu, adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (utang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.

Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara utang piutang. Konsep utang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Utang piutang merupakan transaksi yang sering dilakukan oleh manusia. Karena manusia mengalami pasang surut dalam kehidupannya, sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 155 yang berbunyi:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Kementrian Agama RI 2016, 24)

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dituntut untuk bersikap sabar apabila tengah ditimpa musibah maupun Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dituntut untuk bersikap sabar apabila tengah ditimpa musibah maupun

Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya. (Kementrian Agama RI 2016, 106)

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sangat dianjurkan untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan, namun dalam menjalankannya tidak boleh lepas dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Begitu juga Allah melarang orang yang saling tolong menolong dalam keburukan dan dosa. Selain itu, ancaman Allah kepada manusia agar senantiasa bertakwa kepadanya, karena sesungguhnya Allah amat berat siksanya.

Memberikan pertolongan kepada orang lain yang sangat membutuhkan sangat besar pahalanya. Anjuran kebaikan tersebut dapat kita lihat pada pratek kehidupan sehari-hari. Misalnya seseorang yang sangat terdesak memerlukan uang untuk hal tertentu dimana orang tersebut berutang kepada orang lain dan orang tersebut bersedia membantu. Bagi orang yang berutang ia akan terlepas dari kesusahannya di dunia, sedangkan bagi orang yang memberikan utang tersebut ia akan

Adapun alasan orang berutang adalah didorong oleh beberapa faktor, antara lain kemiskinan, kebutuhan sehari-hari yang sangat mendesak, sampai untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Utang piutang dapat dikatakan transaksi yang bersifat sukarela tetapi mempunyai nilai tanggung jawab penggantiannya sebab orang yang berpiutang dalam memberikan utang sifatnya sukarela tanpa memperoleh imbalan keuntungan dari perbuatannya, tetapi pada saat yang sama orang tersebut mempunyai hak untuk meminta kembali dari orang yang berutang bila waktunya sudah tiba.

Utang piutang dimaksudkan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Selain itu juga untuk menghilangkan kesulitan dan penderitaan sesama. Islam juga membolehkan utang piutang dengan catatan sesuai syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan Al-qur’an maupun As-sunnah. Adapun yang dimaksud dengan utang adalah harta yang diberikan oleh kreditur (pemberi utang) kepada debitur (pemilik utang) agar debitur mengembalikan yang serupa dengannya kapada kreditur ketika telah mampu (Sabiq 2009, 115). Selain itu defenisi utang piutang adalah akad tertentu antara dua pihak, satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain dengan ketentuan pihak yang menerima harta mengembalikan kepada pemiliknya dengan nilai yang sama (Rozalinda 2005, 145). Menurut Sayyid Sabiq, tolong-menolong adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din bahwa tolong- menolong hukumnya adalah wajib (Suhendi 2011, 93).

Adapun fakta yang terjadi di lapangan yaitu kebiasaan masyarakat dalam berutang uang yang pembayarannya berupa padi. Praktek semacam ini sering terjadi di desa Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur.

Kebiasaan seperti ini dilakukan ketika seseorang memerlukan uang untuk kebutuhannya yang sangat mendesak. Maka orang tersebut Kebiasaan seperti ini dilakukan ketika seseorang memerlukan uang untuk kebutuhannya yang sangat mendesak. Maka orang tersebut

Adapun utang uang dibayar dengan padi pada waktu panen si pemberi utang mengutangkan uang sebesar Rp 5.000.000,- kepada orang yang berutang. Orang yang berutang tersebut akan membayar utangnya dengan cara mengangsur setiap panen padi selama lima kali panen, karena angsuran setiap satu kali panen yaitu sebesar Rp 1.000.000,- dengan jumlah padi sebanyak 48 kaleng. Jadi, setiap kali panen dibayar sebanyak 48 kaleng padi. Satu kaleng padi beratnya adalah 11,5 kg. Jadi

48 kaleng dikali 11,5 adalah 552 kg. Menurut Ibu Fitri, beliau sudah mengangsur pinjaman selama 4 tahun dengan jumlah pinjaman Rp 10.000.000 yaitu dimulai dari tahun 2012 sampai saat sekarang ini. Di tahun 2012 harga padi yaitu Rp 2000 per kg. (Fitri 2016). Jika diuangkan jumlah padi sebanyak 48 kaleng tersebut dengan harga Rp 2000 per kg, maka jumlahnya yaitu Rp 1.104.000. Di tahun 2012 saja Bu Fitri sudah membayar lebih dengan harga padi saat itu Rp 2000 per kg. Apalagi sekarang harga padi sudah mencapai Rp 4000 per kg nya. Jadi Bu Fitri membayar utangnya kepada orang yang memberi piutang dengan nilai yang lebih atau bertambah.

Naik turunnya harga padi tidak akan mengurangi takaran padi saat membayar utang. Pada saat harga padi masih murah orang yang berutang tidak akan sulit untuk membayar utang. Lain halnya dengan harga padi yang dari tahun ke tahun semakin melonjak naik tentunya ini akan menyulitkan orang yang berutang, karena mereka membayar utang tersebut setiap tahun. Pada saat harga Rp 4.000,- seperti harga rata-rata Naik turunnya harga padi tidak akan mengurangi takaran padi saat membayar utang. Pada saat harga padi masih murah orang yang berutang tidak akan sulit untuk membayar utang. Lain halnya dengan harga padi yang dari tahun ke tahun semakin melonjak naik tentunya ini akan menyulitkan orang yang berutang, karena mereka membayar utang tersebut setiap tahun. Pada saat harga Rp 4.000,- seperti harga rata-rata

Berdasarkan masalah di atas terjadi ketidakseimbangan utang dengan pembayaran utang antara orang yang memberi piutang dengan orang yang berutang.

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas dan menjadikan penelitian dalam penyusunan skripsi yang

berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang (Studi Kasus di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur.)”

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan utang piutang uang yang dibayar dengan padi di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari panti Selatan kecamatan Panti kabupaten Pasaman Timur?

3. Pertanyaan Penelitian

3.1 Bagaimana proses utang piutang dengan cara utang uang dibayar dengan padi di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur?

3.2 Bagaimana tinjauan hukum Isalam terhadap pelaksanaan utang piutang uang yang dibayar dengan padi di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur?

4. Signifikansi Penelitian

4.1 Signifikansi Penelitian Penelitian ini penting untuk diteliti dan berguna untuk memperdalam dan menambah ilmu serta wawasan penulis terhadap praktek utang piutang uang dibayar dengan padi yang terjadi di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur. Selain itu penelitian ini manfaatnya bagi masyarakat adalah untuk mengetahui bagaimana seharusnya cara memberikan utang yang baik dengan pembayaran yang baik juga.

4.2 Tujuan Penelitian Merujuk dari latar belakang dan rumusan masalah yang penulis paparkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktek utang piutang uang yang dibayar dengan padi di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur

4.3 Kegunaan Penelitian

4.3.1 Penelitian ini bermanfaat untuk semua orang pada umumnya dan untuk penulis khususnya

4.3.2 Hasil penelitian ini sebagai bentuk sumbangsih pemikiran penulis dan untuk menambah referensi bacaan bagi rekan- rekan mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang pada umumnya dan mahasiswa fakultas Syariah khususnya

4.3.3 Untuk menambah wawasan penullis tentang kajian ini

khususnya dan tentang ilmu hukum pada umumnya

4.3.4 Sebagai masukan bagi pihak-pihak yang berminat melakukan penelitian ini selanjutnya

5. Studi Literatur

Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami masalah yang penulis bahas, maka penulis merasa perlu melakukan tinjauan kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam skripsi Maisaroh Siregar (310188) dengan judul skripsi “Sistem Pembayaran

Utang dengan Hasil Panen Kebun Karet dalam Perspektif Fiqh

Muamalah” dalam skripsi Maisaroh menyimpulkan bahwa sistem pembayaran utang uang dengan hasil panen karet tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Karena pembayaran utang bukan dengan nilai yang sama melainkan dengan hasil panen getah karet. Adapun yang penulis bahas adalah tinjauan hukum Islam terhadap praktek utang piutang (studi kasus di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur).

6. Kerangka Teori

Utang piutang adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan dengan yang semisal atau senilai dengan yang diterima oleh pihak kedua. Alasan orang melakukan praktek utang piutang adalah karena adanya kebutuhan atau sesuatu yang mendesak.

Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Dasar disyariatkannya qardh adalah Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’.

6.1 Dasar Hukum Al Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 245:

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (Kementrian Agama RI 2016, 39)

6.2 Rukun dan Syarat Qardh Menurut jumhur fuqaha rukun dari qardh adalah :

6.2.1 Akid Akid yaitu muqridh dan muqtarid (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat akid diantaranya merdeka, baligh, berakal, tidak di bawah pengampuan, dan kedua belah pihak melakukan qardh karena keterpaksaan.

6.2.2 Harta yang diutangkan (Ma’qud ‘Alaih) Syarat dari harta yang diutangkan adalah harta tersebut berupa harta yang ada padanannya, harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah mengutangkan manfaat (jasa), harta yang diutangkan diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya.

6.2.3 Shigat Shigat merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang 6.2.3 Shigat Shigat merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang

7. Metode Penelitian

Agar penelitian ini berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, maka penelitian ini memerlukan suatu metode tertentu. Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan proposal ini adalah sebagai berikut:

7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan untuk penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) yang merupakan penelitian yang langsung dilakukan di lapangan atau pada responden baik melalui wawancara maupun melalui observasi. (Misbahuddin dan Hasan 2004, 5) Penelitian ini menggunakan data kualitatif yaitu penelitian yang dilihat berdasarkan makna yang terkandung dalam setiap gejala-gejala yang terjadi dengan menganalisa data di lapangan. (Husman dan Akbar 2009, 52) Adapun lokasi, objek dan sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut:

7.1.1 Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian yang akan dilakukan yaitu di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur.

7.1.2 Objek Penelitian Objek yang akan diteliti adalah tentang sistem utang piutang di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan

7.1.3 Sumber Data Adapun sumber data dalam data ini yaitu terdiri dari sumber

data primer dan sekunder. Sumber data primer dalam data ini adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan yaitu orang yang berutang (debitur) dan orang yang mempiutangkan (kreditur). Selanjutnya yang menjadi sumber data sekunder yaitu tokoh masyarakat, pemuka agama di Tanjung Medan Jorong Panti Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur.

7.2 Teknik Pengumpulan Data Wawancara yang akan penulis gunakan yaitu wawancara terstruktur (terarah) yaitu dengan memakai pertanyan-pertanyaan yang telah penulis siapkan.

7.3 Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul maka penulis menganalisis bahan dan data yang ada tersebut dengan menggunakan metode berpikir yaitu:

7.3.1 Deduktif Pembahasan bertitik tolak belakang dengan pemikiran pengetahuan umum yang diarahkan kepada hal-hal yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya dengan jalan menggunakan pola berfikir yang disebut dengan silogisma.

7.3.2 Induktif Cara berfikir untuk memberikan alasan yang dimulai dengan pernyataan-pernyataan yang spesifik untuk menyusun suatu argumentasi yang bersifat umum. Alasan secara induktif banyak digunakan untuk menjajaki aturan-aturan alamiah dari suatu fenomena. (Nazir 1998, 197-202)

BAB II KONSEP UTANG PIUTANG DALAM HUKUM ISLAM

1. Pengertian Utang Piutang

Secara etimologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy- syai’-yaqridhu, yang berarti dia memutuskannya. (Mardani 2014, 333) Harta yang dibayarkan kepada muktarid (yang diajak akad qardh) dinamakan qardh. Sebab merupakan potongan dari harta muqrid (orang yang membayar).

Qardh menurut istilah, antara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah:

“Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”

Sayyid Sabiq memberikan defenisi qardh adalah sebagai berikut:

“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”

Hanabilah sebagaimana dikutip oleh Ali Fikri memberikan defenisi qardh sebagai berikut:

“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya

Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:

“ Qardh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan)”

Jelasnya qardh atau utang piutang adalah akad tertentu antara dua pihak, satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain dengan ketentuan pihak yang menerima harta mengembalikan kepada pemiliknya dengan nilai yang sama. (Rozalinda 2005, 145-146)

Dari defenisi di atas, dapat diambil intisari bahwa qardh adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan dengan yang semisal atau senilai dengan yang diterima oleh pihak kedua.

2. Dasar Hukum Utang Piutang

Utang piutang merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Dasar disyariatkannya qardh adalah Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’.

2.1 Dasar Hukum Al Qur’an

2.1.1 Surah Al-Baqarah (2) ayat 245:

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan

Tafsir ayat Perhatikanlah anjuran yang lembut ini untuk memberi nafkah, dan bahwasannya orang yang menafkahkan hartanya sesungguhnya dia memberi pinjaman kepada Allah yang Maha Kaya lagi Maha Mulia, dan Allah menjanjikan kepadanya balasan berlipat ganda yang melimpah sebagaimana Allah berfirman:

perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Al-Baqarah : 261) (Kementrian Agama RI 2016, 44)

Ketika penghalang terbesar untuk berinfak adalah takut kemiskinan, Allah mengabarkan bahwa kekayaan dan kemiskinan itu berada di tangan Allah, dan bahwa Dia menahan rezki dari siapa yang dihendakiNya

kepada siapa yang dikehendakiNya. Maka janganlah menunda-nunda wahai orang yang hendak berinfak karena takut akan kemiskinan, dan janganlah ia berpikir bahwa hartanya itu hilang begitu saja, namun tempat kembali seluruh hamba adalah kepada Allah, lalu orang-orang yang berinfak dan beramal akan mendapatkan pahala mereka tersimpan di sisiNya untuk suatu kebutuhan yang paling mereka butuhkan dan memiliki kepentingan begitu besar yang tidak mungkin diungkapkan oleh kata- kata.

dan

memberikannya

Maksud dari pinjaman yang baik adalah perkara yang menyatukan segala sifat dan kebijakan dari niat yang shalih, kelapangan dada dalam berinfak, dan tepat sasarannya, dan orang yang berinfak itu tidak mengiringnya dengan mengungkit-ungkitnya dan tidak pula perkataan yang menyakitkan, tidak membatalkannya dan tidak pula menguranginya. (as-Sa’di 2012, 424-425)

Sisi pendalilan dari ayat di atas adalah bahwa Allah SWT menyerupakan amal saleh dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda kepada pembayaran utang. Amal kebaikan disebut pinjaman (utang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang mengutangkan sesuatu agar mendapat gantinya. (Mardani 2012, 334)

Berdasarkan pemaparan tafsir ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa bagi orang yang mau menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepada orang tersebut dengan lipat ganda yang banyak. Sebagai contoh orang yang memberikan utang kepada orang lain yang membutuhkan, Allah akan balas perbuatan tersebut dengan pahala. Sekiranya orang tersebut memberikan utang sebanyak dua kali, maka perbuatan tersebut sama dengan bersedekah satu kali.

2.1.2 Surah Al-Hadid (57) ayat 11:

Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak. (Kementrian Agama RI 2016, 538)

Tafsir Ayat Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, setelah turun ayat ini : “Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya.” (Al-Baqarah: 245)

Maka berkatalah Abu Dahdah Al-Anshari, “ Ya Rasulullah, apakah Allah benar-benar menghendaki pinjaman dari kami?” Rasul bersabda, “Benar hai Abu Dahdah,” Abu Dahdah berkata, Tunjukkanlah kepadaku tanganmu itu, ya Rasulullah?” Kata Ibnu Mas’ud maka Rasulullah saw pun memberikan tangannya kepada Abu Dahdah. Abu Dahdah berkata, “ Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebunku.”

Memang Abu Dahdah mempunyai sebidang kebun yang di dalamnya terdapat 600 pohon kurma, dan Ummu Dahdah (istrinya) berada di sana bersama keluarganya. Abu Dahdah memanggil istrinya itu, “ Hai Ummu Dahdah.” “ Labbaik” kata istrinya. Abu Dahdah berkata, “ Keluarlah kamu, karena aku benar-benar telah meminjamkannya kepada Tuhanku ‘ Azza wa jalla.” Istrinya berkata kepadanya, “Berlabalah jual belimu, hai Abu dahdah,” dan wanita itu pun memindahkan barang dan anak- anaknya dari kebun tersebut. Rasulullah saw bersabda, “ Betapa banyak dahan-dahan yang panjang dalam surga milik Abu Dahdah.” (Al-Maragi 2010, hal 181)

2.1.3 Surah At-Taghabun (64) ayat 17:

Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni

Tafsir Ayat Allah memberikan pahala yang berlipat ganda kepada orang yang mentaatiNya, dan tidak menyegerakan siksaanNya kepada orang yang mendurhakaiNya, meskipun dosa dan kesalahannya itu banyak.

Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan perbuatan qardh (memberikan utang) kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Selain itu, jika orang yang diberi utang mengembalikan utangnya lebih dari jumlah yang ia utang tanpa ada paksaan atau kesepakatan di awal akad, maka ini dibolehkan dalam Islam. Jadi, dengan demikian manusia telah melakukan perbuatan saling tolong menolong.

Dari sisi muqridh (orang yang memberikan utang), Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan dengan cara memberi utang. Dari sisi muqtaridh, utang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan dibolehkan karena seseorang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2.2 Dasar dari Hadist

Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Kesimpulan yang dapat diambil dari hadis tersebut adalah anjuran kepada seseorang untuk menolong sesama yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Jika orang tersebut ikhlas dalam memberikan pertolongan kepada orang lain yang sedang dalam kesusahan, maka sebagai balasannya Allah akan melapangkan dari nya suatu kesusahan di hari kiamat. Sebagai contoh, seseorang yang membantu orang lain dengan memberikan pinjaman atau utang untuk dimanfaatkan oleh orang yang sedang membutuhkan. Maka orang tersebut telah melapangkan satu kesusahan dunia terhadap orang yang membutuhkan tersebut.

Selain itu, orang yang memudahkan seseorang yang kesulitan dalam membayar utang, jika mereka memang tidak mampu untuk membayar utang tersebut maka Allah akan memudahkan baginya kesulitan di dunia dan akhirat. Begitu juga barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tesebut menolong saudaranya.

“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qardh dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah) (Al-AlBani

Maksudnya yaitu tidaklah seorang muslim mengutangkan hartanya kepada muslim lainnya sebanyak dua kali kecuali perbuatannya sama dengan sedekah satu kali. Sebagai contoh seseorang memberikan utang kepada orang lain sebesar Rp 100.000,- sebanyak dua kali, maka perbuatan tersebut sama dengan bersedekah satu kali sebesar Rp 100.000,- kepada orang lain. Begitu indahnya anjuran dan perintah kepada seorang muslim terhadap muslim lainnya.

2.3 Dasar dari Ijma’

Kaum muslimin sepakat bahwa qardh dibolehkan dalam Islam. Hukum qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.

Memberikan utang kadang-kadang dapat menjadi wajib seperti menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat hajat dan tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat satu sama lain hajat menghajatkan pertolongan. (Moh. Rifa’I, 414)

Adapun hukum qardh yaitu mengikuti hukum taklifi : terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang

sesuai dengan cara mempraktekkannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.

Jika orang yang berutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak, maka orang yang bisa membantu orang yang sedang dalam kesusahan hukumnya wajib. Adapun kebutuhan yang mendesak adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk makan. Jika mereka tidak berutang maka mereka akan kelaparan, maka wajib bagi mereka

Jika pemberi utang mengetahui bahwa pengutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat maka hukumnya adalah haram. Misalnya, orang berutang karena ingin membeli minuman keras, untuk berjudi dan perbuatan lain yang dilarang agama, maka haram hukumnya bagi pemberi utang untuk memberikan utang kepadanya.

Jika seorang yang berutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi utang kepadanya adalah mubah. Selain itu, orang yang berutang dengan tujuan untuk memperkaya diri hukumnya juga mubah. Misalnya seorang berutang untuk membeli mobil, rumah, dan sebagainya yang bertujuan untuk memperkaya diri orang yang berutang tersebut.

Seseorang boleh berutang jika dirinya yakin dapat membayar utang tersebut karena ada harta yang diharapkan dan ada niat juga untuk membayar utang tersebut. Seseorang wajib berutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan. (ath-Thayar, 157-158)

3. Rukun dan Syarat Utang Piutang

Utang piutang merupakan akad pemilikan. Boleh melakukannya bagi orang yang berhak melakukan transaksi terhadapnya yaitu orang yang cakap bertindak hukum, tidak dikenakan hajru, dan harta tersebut merupakan miliknya sendiri. Dengan demikian tidak sah melakukan akad utang piutang terhadap orang yang tidak memenuhi ketentuan ini. Akad ini dinyatakan sah dengan adanya ijab qabul berupa lafaz qardh atau yang sama pengertiannya. Seperti “ aku utangkan uang ini kepadamu dan kamu

Seperti halnya jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, rukun qardh adalah ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut jumhur fuqaha rukun qardh adalah :

3.1 Aqid, yaitu muqridh dan muqtarid (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat akid adalah:

3.1.1 Merdeka. Maksudnya orang yang melakukan transaksi adalah orang yang tidak berada dalam pengampuan orang lain (mahjur ‘alaih). Selain tidak berada dalam pengampuan orang lain, merdeka berarti ia sudah mandiri dalam kehidupannya.

3.1.2 Baligh. Maksudnya adalah orang yang melakukan transaksi sudah dewasa. Adapun tanda bagi laki-laki yang sudah baligh yaitu sudah mengalami mimpi basah. Sedangkan tanda baligh bagi perempuan adalah sudah datang haid atau mengalami menstruasi. Adapun yang dimaksud dengan haid menurut ulama Malikiyah adalah darah yang keluar sendiri dari kemaluan wanita dan biasanya wanita yang sudah bisa hamil. Oleh karena itu tidak sah qardh yang dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur. (Shalih 2013, 199)

3.1.3 Berakal. Maksudnya adalah orang yang melakukan transaksi adalah orang yang sudah bisa membedakan baik buruknya suatu perbuatan, sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. (Rozalinda 2005, 43)

3.1.4 Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak. Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak , seperti orang gila, orang yang di bawah pengampuan (mahjur), karena boros atau yang lainnya. (Suhendi 2011, 50)

3.1.5 Tidak ada paksaan. Maksudnya orang yang melakukan transaksi berdasarkan kemauan sendiri dan tidak atas dasar 3.1.5 Tidak ada paksaan. Maksudnya orang yang melakukan transaksi berdasarkan kemauan sendiri dan tidak atas dasar

Untuk ‘akid, baik muqridh maupun muktaridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’.

Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain:

3.1.6 Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’. Maksunya untuk seorang muqridh (pihak pemberi utang) adalah seorang yang ahli dan dan cakap hukum dalam bertransaksi.

3.1.7 Mukhtar (memiliki pilihan) Sedangkan untuk muqtaridh hanya disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih. (Muslich 2013, 278- 279)

3.2 Harta yang diutangkan (Ma’qud ‘Alaih) Syarat harta yang diutangkan adalah sebagai berikut:

3.2.1 Harta tersebut berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda. Contohnya harta atau barang yang banyak dijual orang, seperti beras, minyak, dan sebagainya.

3.2.2 Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah mengutangkan manfaat (jasa). Hal ini disebabkan karena mengutangkan suatu manfaat atau jasa tidak diketahui kadar dan sifatnya. Contohnya orang yang tolong menolong di saat panen padi secara bergilir dari sawah ke sawah. Menurut hukum asalnya tidak boleh karena tidak diketahui kadar dan sifatnya.

3.2.3 Harta yang diutangkan diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya. Maksudnya, harta yang diutangkan yaitu berupa 3.2.3 Harta yang diutangkan diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya. Maksudnya, harta yang diutangkan yaitu berupa

dimanfaatkan yaitu, maka tidak sah qardh yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi. (Suhendi 2011, 95)

Menurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap qardh pada benda yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai syarat. Akan tetapi, dibolehkan jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau tidak diketahui adanya manfaat pada qardh.

Ulama Malikyah berpendapat bahwa muqrid tidak boleh memanfaatkan harta muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan di rumah muqtarid, jika dimaksudkan untuk membayar utang muqrid dan bukan sebagai penghormatan.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang qardh terhadap sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan qardh agar mendapat sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak. Sebab qardh dimaksudkan sebagai akad kasih sayang dan mendekatkan hubungan kekeluargaan, mempererat tali silaturrahmi. Selain itu, Rasulullah SAW pun melarang qardh terhadap sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi orang yang memberi utang tersebut.

Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau tidak dimaksudkan untuk mengambil yang lebih baikmaupun lebih banyak, qardh dibolehkan. Tidak dimakruhkan bagi muqrid untuk mengambilnya, sebab Rasulullah pernah memberikan anak unta yang lebih baik kepada seorang laki-laki daripada unta yang diambil beliau SAW. (Syafei 2000, 156)

3.3 Shigat Shigat merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang 3.3 Shigat Shigat merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang

Sedangkan qabul adalah sesuatu yang disebutkan kemudian yang berasal dari salah satu pihak yang berakad yang menunjukkan kesepakatan dan kerelaannya sebagai jawaban dari ucapan pertama.

Salah satu prinsip muamalah adalah antaradin atau azas kerelaan para pihak yang melakukan akad. Rela merupakan persoalan batin yang sulit diukur kebenarannya, maka manifestasi dari suka sama suka itu diwujudkan dalam bentuk akad. Akad pun menjadi salah satu proses dalam pemilikan sesuatu.

Ijab qabul disyaratkan:

3.3.1 Jelas menunjukkan ijab dan qabul, artinya masing-masing dari ijab dan qabul jelas menunjukkan maksud dan kehendak dari dua orang yang berakad. Tidak sah ijab qabul yang dilakukan dengan samar ataupun tidak jelas maksudnya.

3.3.2 Bersesuaian antara ijab dan qabul, kesesuaian dikembalikan kepada setiap yang diakadkan. Contohnya, jika seorang mengatakan saya utangkan uang kepada anda, maka jawabannya adalah saya terima uang dari anda, saya utangkan kepada anda emas 2,5 gram, maka jawabannya adalah saya terima emas dari anda atau sejenisnya. Bila terjadi perbedaan antara ijab dengan qabul maka akad tidak sah.

3.3.3 Bersambungan antara ijab dan qabul. Ijab dan qabul terjadi

pada satu tempat jika kedua belah pihak hadir bersamaan.

Untuk terciptanya bersambungan antara ijab dan qabul disyaratkan:

3.3.1 Bersatunya majelis (tempat) ijab dan qabul. Akad tidak boleh dilakukan dengan ijab pada suatu tempat sedangkan qabul pada tempat lain. Dalam masalah bersambungan ijab dan qabul ini terjadi perbedaan pendapat ulama apakah ijab harus segera dijawab dengan qabul. Jumhur fuqaha yang terdiri dari Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, menyatakan tidak disyaratkan segera dalam pernyataan qabul, karena pihak lain (penjawab) membutuhkan waktu untuk berfikir. Sedangkan al Ramli dari kalangan Syafi’iyah mensyaratkan segera dalam qabul. Hanafiyah dan Malikiyah dalam masalah ini berpendapat, antara ijab dan qabul boleh saja diantarai oleh waktu sehingga pihak kedua dapat berpikir dengan baik. Namun Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, jarak antara ijab dan qabul tidak boleh terlalu lama yang menimbulkan dugaan terjadinya perubahan objek akad.

3.3.2 Tidak ada penolakan dari salah seorang yang berakad Maksudnya adalah dalam melakukan akad antara dua orang yang berakad tidak boleh terjadi penolakan dari salah seorang yang berakad. Sebagai contoh, ketika dua orang berakad dimana pihak pertama memberikan utang sebesar Rp 100.000,- kepada pihak kedua dan pihak kedua harus mengembalikan utang tersebut dalam tiga hari, jika pihak kedua menolak dengan kesepakatan tersebut maka akad tersebut batal.

3.3.3 Tidak ditarik kembali sebelum ada qabul dari pihak lain Maksudnya adalah dalam melakukan transaksi oleh dua orang yang berakad dimana pihak pertama tidak menarik kembali ucapannya sebelum ada qabul dari pihak lain.

Pada prinsipnya akad dilakukan dengan lisan, namun bukan satu-satunya cara untuk melakukan akad. Untuk melaksanakan akad menurut para ulama ada beberapa cara yang bisa ditempuh diantaranya :

3.3.1 Akad al-Mu’athah (saling memberi) Akad mu’athah adalah akad saling menukar dengan perbuatan yang menunjukkan kerelaan tanpa ucapan ijab dan qabul. Misalnya pembeli mengambil barang dan menyerahkan uang kepada kasir tanpa mengucapkan ijab dan qabul. Contohnya jual beli yang dilakukan di supermarket, minimarket, atau toko- toko swalayan lainnya.

Ulama berbeda pendapat tentang akad dengan cara tha’athi. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dapat dilakukan dengan cara tha’athi terhadap sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia. Karena sesungguhnya kebiasaan manusia adalah petunjuk nyata bagi keredaan. Maksudnya adalah perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan terhadap suatu hal adalah bukti atas keredaannya melakukan perbuatan tersebut. Tidak ada lagi tawar menawar antara pembeli dan penjual, bagi pembeli mereka menyetujui berapa saja harga yang ditetapkan oleh si penjual. Mazhab Maliki dan pendapat yang paling kuat dari mazhab Ahmad menyatakan, akad dapat dengan perbuatan.

Sedangkan Syafi’iyah, Syi’ah, Zahiriyah berpendapat, tidak diakadkan akad dengan cara perbuatan atau mu’athah karena tidak kuat menunjukkan atas saling berakad, sebab redha merupakan urusan tersembunyi yang tidak bisa menjadi petunjuk atas keredaan kecuali dengan adanya akad. Sesungguhnya disyaratkan terjadi akad dengan lafaz-lafaz yang jelas atau sindiran (sharih dan kinayah) atau sesuatu yang bisa dijadikan Sedangkan Syafi’iyah, Syi’ah, Zahiriyah berpendapat, tidak diakadkan akad dengan cara perbuatan atau mu’athah karena tidak kuat menunjukkan atas saling berakad, sebab redha merupakan urusan tersembunyi yang tidak bisa menjadi petunjuk atas keredaan kecuali dengan adanya akad. Sesungguhnya disyaratkan terjadi akad dengan lafaz-lafaz yang jelas atau sindiran (sharih dan kinayah) atau sesuatu yang bisa dijadikan

3.3.2 Akad bi al-Kitabah (akad dengan tulisan) Akad sah dilakukan melalui tulisan oleh dua orang yang berakad baik keduanya mampu berbicara maupun bisu, keduanya hadir pada waktu akad maupun tidak, dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua orang yang berakad. Sebagaimana ijab dan qabul diucapkan dengan perkataan, maka ijab dan qabul dengan surat-menyurat sah dilakukan. Contohnya transaksi via pos, telegram, e-mail dan sebagainya sah dilakukan.

Tetapi akad perkawinan tidak sah dilakukan dengan tulisan apabila kedua belah pihak (mempelai laki-laki dan wali perempuan) hadir pada suatu tempat, kecuali pada salah satu pihak tidak mampu berbicara seperti bisu.

3.3.3 Akad bi al-Isyarat (Akad dengan isyarat) Isyarat adakalanya dari orang yang mampu berbicara dan juga berasal dari orang bisu. Apabila orang yang berakad mampu berbicara maka akad yang dilaksanakan tidak sah dilakukan dengan isyarat, tetapi wajib dengan lisan atau tulisan, karena walaupun

isyarat menunjukkan kehendak tapi tidak memfaedahkan suatu keyakinan seperti lafaz atau tulisan. Apabila orang yang berakad tidak bisa berbicara seperti bisu atau gagap, jika tulisannya baik harus dengan tulisan, begitu riwayat yang kuat dari golongan Hanafiyah karena tulisan lebih menunjukkan pengertian yang dalam daripada isyarat. Jika tulisannya tidak baik, dan mempunyai isyarat yang bisa dipahami isyarat menunjukkan kehendak tapi tidak memfaedahkan suatu keyakinan seperti lafaz atau tulisan. Apabila orang yang berakad tidak bisa berbicara seperti bisu atau gagap, jika tulisannya baik harus dengan tulisan, begitu riwayat yang kuat dari golongan Hanafiyah karena tulisan lebih menunjukkan pengertian yang dalam daripada isyarat. Jika tulisannya tidak baik, dan mempunyai isyarat yang bisa dipahami

Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai yang sama dengan yang diterima dari pemiliknya, tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu membuat transaksi ini menjadi riba yang diharamkan.

Yang dimaksud dengan keuntungan atau kelebihan dari pembayaran adalah kelebihan yang disyaratkan dalam akad utang piutang atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba, bahkan cara ini dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini terdapat dalam beberapa riwayat dari Nabi diantaranya adalah :

“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam).” (HR. Tirmidzi) (Al-AlBani 2014, 86)

Dibolehkan mengutangkan ternak yang nantinya akan dibayar dengan ternak yang sama. Ini berarti bahwa bertambahnya umur ternak atau berlebih beratnya jika ternak tersebut dikembalikan adalah dibolehkan. Bahkan sehubungan Dibolehkan mengutangkan ternak yang nantinya akan dibayar dengan ternak yang sama. Ini berarti bahwa bertambahnya umur ternak atau berlebih beratnya jika ternak tersebut dikembalikan adalah dibolehkan. Bahkan sehubungan

Semua utang yang menarik manfaat (keuntungan) adalah sebagan dari beberapa macam riba (bunga) (HR. Baihaqi).

Berdasarkan hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa semua utang yang menarik manfaat atau keuntungan adalah riba. Riba maksudya di sini adalah penambahan yang disyaratkan pada waktu akad. Jika seseorang berutang dan pada saat pembayarannya dilebihkan karena telah disyaratkan di awal kesepakatan maka ini disebut dengan riba nasiah. Riba nasiah terjadi karena adanya penundaan. Sebagai contoh, seorang yang berutang dan membayar lebih pada saat pembayaran dan juga telah disyaratkan di awal kesepakatan.