Akibat Hukum Putusan MK RI NO. 46 2010 Terhadap Hubungan Antara Anak Dengan Ayah Biologisnya

29

BAB II
HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN ANTARA ANAK YANG LAHIR
DALAM PERKAWINAN YANG SAH DENGAN ORANG TUA SAH DAN
AYAH BIOLOGISNYA

A. Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Pekawinan.
Pernikahan atau adalah upacara pengikatan janjinikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara
norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak
ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau
hukum agama tertentu pula. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya
terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani.
Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk
melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk
merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang
melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai
kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.18

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang
menimbulkan

akibat

hukum,

baik

tehadap

hubungan

antara

pihak

yang

melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai

kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak, maka timbul
18

Pernikahan, http://id. wikipedia. org/wiki, 2012

29

Universitas Sumatera Utara

30

hubungan hukum antara anak dan orangtuanya. Berdasarkan Undang-Undang nomor
1 Tahun 1974 Tentang Pekawinan ( selanjutnya disebut UU Perkawinan), sudah
seyogyanya akan timbul hubungan hukum antara anak dan orang tuanya, antara lain
memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mandiri. 19
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan
bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan adalah
sah


apabila

dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya. Dengan demikian bagi yang beragama Islam perkawinannya sah
apabila dilakukan menurut ketentuan dan tata cara hukum Islam. Perkawinan dan
perceraian tidak bisa terpisahkan dengan Pengadilan Agama, karena baik UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,

telah mengatur bahwa sengketa di bidang perkawinan bagi yang beragama Islam atau
yang tunduk pada hukum Islam di selesaikan di Pengadilan Agama.20
Untuk melangsungkan pernikahan seorang peria atau wanita diharuskan
memenuhi beberapa syarat tertentu, Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

19

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung 1995, hlm. 15
A Weng, Henry Lee, Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan, Medan, Rimbow
med.hlm 38
20

Universitas Sumatera Utara

31

1 Tahun 1974 menjelaskan syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan sebagai
berikut :
1.


Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2.

Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
Di sisi lain Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) dan (2)

berbunyi sebagai berikut :
1.

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

2.

Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria atau pihak wanita.
Dari kedua pasal tersebut ada dua hal yang berhubungan dengan Pengadilan


Agama yaitu berkaitan dengan izin kawin dan dispensasi kawin. Undang-undang
hanya mengizinkan kepada pria untuk menikah sesudah berumur 19 tahun dan bagi
wanita 16 tahun, apabila ketentuan tersebut belum terpenuhi, maka untuk bisa
melangsungkan pernikahan, terlebih dahulu pihak yang berkepentingan tersebut harus
mendapat dispensasi kawin dari pengadilan. Dikatakan dispensasi kawin, karena yang
bersangkutan belum mencapai batas minimal usia perkawinan yang dibolehkan

Universitas Sumatera Utara

32

Undang-Undang, oleh karena itu untuk melangsungkan pernikahan diperlukan
dispensasi kawin.21
Sementara bagi pria yang telah berusia 19 tahun dan wanita telah berusia 16
tahun telah diizinkan untuk melakukan perkawinan oleh Undang-Undang dengan
ketentuan harus mendapat izin dari kedua orang tua terlebih dahulu, jika izin dari
orang tua yang bersangkutan tidak diperoleh, maka izin tersebut dapat dimintakan ke
Pengadilan. Izin nikah, karena yang bersangkutan telah mencapai batas minimal usia
yang dizinkan Undang-Undang untuk melakukan perkawinan, hanya saja harus

mendapat izin orang tua terlebih dahulu karena belum berusia 21 tahun. Karena izin
dari orang tua tidak ada, maka untuk melangsungkan pernikahan diperlukan izin
kawin dari Pengadilan. Dengan demikian kita dapat memahami perbedaan antara izin
kawin dengan dispensasi kawin yang dapat diperoleh melalui tahapan proses
presidangan di Pengadilan Agama.22
Selain dispensasi kawin dan izin kawin seperti diuraikan di atas, salah satu
syarat pernikahan adalah adanya wali nikah. Apabila syarat-syarat yang ditentukan
undang-undang dan hukum syara’ telah terpenuhi, tetapi wali nikah dalm hal ini
orang tua mempelai perempuan tidak mau menikahkan dengan alasan-alasan yang
tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dan syari’at, maka calon
mempelai perempuan dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama perihal
keengganan walinya untuk menikahkan. Keengganan seorang wali untuk menikahkan

21
22

Gatot Supramono, Segi – Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998.hlm 12
Ibid, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara


33

anaknya dalam Hukum Materiil Peradilan Agama disebut Wali Adhal. Berdasarkan
permohonan tersebut Pengadilan Agama akan memberikan penetapan apakah wali
pemohon tersebut Adhal atau tidak.23
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam UU Perkawinan adalah
sebagai berikut:24
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spritual dan materiil.
b. Dalam UU Perkawinan dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
apabila

dilakukan

menurut

hukum


masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. UU Perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun,
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendai oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
pengadilan.

23
24

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung 1995

Ibid, Hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

34

d. UU Perkawinan menganut prinsip, bahwa calon isteri itu harus telah masak
jiwa

raganya

untuk

melaksanakan

perkawinan,

agar

supaya


dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian
dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami isteri di bawah umur.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera, maka UU Perkawinan menganut prinsip untuk
mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus
ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbangdengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami isteri.
Asas atau prinsip-prinsip diatas salah satunya juga mementingkan dan ingin
mewujudkan keluarga yang lengkap dengan adanya kehadiran seorang anak, karena
seorang anak memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah kehidupan rumah
tangga, karena selain untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan
sejahtera juga untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan, sehingga
banyak pasangan suami isteri yang baru melangsungkan perkawinan langsung
mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangganya, karena

Universitas Sumatera Utara

35

selain akan menjadi cikal bakal penerus keturunan bagi orangtuanya juga akan
membuktikan kesempurnaan ikatan cinta dan kasih sayang diantara mereka.25
Pada umumnya orang tua berharap kelak seorang anak akan mampu
mewujudkan harapan dan cita-citanya yang belum tercapai, sedangkan disisi lain
anak juga akan menjadi pewaris dari harta dan kekayaan yang ditinggalkan
orangtuanya

kelak

jika

ia

meninggal.

Sejalan

dengan

hal

itu

Soetojo

Prawirohamidjojo menyatakan bahwa tujuna utama dari sebuah perkawinan adalah
untuk memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, membentuk dan
mengatur rumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang, memelihra manusia dari
kejahatan dan menumbuhkan kesungguhan mencari rejeki yang halal dan
memperbesar tanggung jawab.26 Begitu banyak makna sebuah perkawinan dalam
menghiasi perjalanan hidup manusia, karena perkawinan merupakan fitrah yang harus
dijalani dengan itikad yang tulus semata-mata untuk tujuan menciptakan kehidupan
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan agama dan kepercayaan yng
diyakininya. Perkawinan bukanlah hal yang mudah, dan hal itu sangat penting karena
menimbulkan akibat hukum bukan hanya antara si calon suami isteri saja, melainkan
dengan anak yang akan mereka hasilkan nantinya. Apabila dari perkawinan tersebut
menghasilkan anak, maka akan timbullah hubungan antara anak dan orangtua.

25

Muhammad dan Zulchaina, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektip Konvensi
Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti,1999.hlm20-22
26
Soetojo Prawirihamidjojo, pluralisme dalam PerUndang-Undangan Perkawinan di Indonesia,
Airlangga University Press,Jakarta,1986. Hlm 28-29)

Universitas Sumatera Utara

36

Dimana hukum antara orang tua dan anak menimbulkan kewajiban si orangtua untuk
memelihara, bertanggung jawab dan mendidik sampai anak-anaknya bisa mandiri.
Dilihat dari Pasal 2 ayat 1 (satu) UU Perkawinan, perkawinan adalah
sah,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Dengan perumusan ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang
dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk ketentuan
perUndang-Undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undnag-Undang,
dengan begitu aturan-aturan tentang perkawinan yang telah menjadi hukum tersendiri
didalam beberapa agama tetap tidak kehilangan eksistensinya sepanjang hal tersebut
tidak bertentangan atau dinyatakan lain di dalam undang-undang. 27
Di dalam perkawinan di Indonesia ini sering terjadi nya perkawinan
campuran, dimana hal ini berpengaruh tehadap kedudukan anak yang terlahir dari
perkawinan cmpuran yang sah. Istilah perkawinan campuran ialah dari Peraturan
Perkawinan Campuran, yang merupakan objek sebenarnya dari disertasi ini. Beslit
Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23, S. 1898/158 (“Regeling op de gemengde
huwelijken”, selanjutnya disingkat GHR) memberi definisi sebagai berikut :
“perkawinan orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan”
(Pasal 1). Hukum yang berlainan ini, diantaranya dapat disebabkan karena perbedaan
kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai “regio” Kerajaan Belanda,
27

Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, hlm. 1-2

Universitas Sumatera Utara

37

golongan rakyat (bevolkingsgroep, landaard), tempat kediaman atau agama. Dengan
demikian kita mendapatkan perkawinan campuran internaisonal, perkawinan
campuran

antar regio

(interregionaal) perkawinan campuran antar tempat

(interlocaal), perkawinan campuran antargolongan (intergentiel) dan antar agama.
Maka dari itu, perkawinan campuran dapat dibagi menjadi tiga bagian :28
1.

Perkawinan Campuran Antartempat
Perkawinan antar tempat dimaksudkan perkawinan antara orang-orang

Indonesia sendiri yang berasal dari suku bangsa atau daerah yang berlainan dan
hidup dalam berbagai lingkungan hukum (rechtssferen, rechtskringen). Misalnya
perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda, seorang Jawa dengan
wanita Lampung dan sebagainya.Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa makin
tertutup suatu masyarakat, makin besar perasaan yang menentang perkawinanperkawinan dengan orang-orang dari luar.
Perkawinan seorang perempuan dari suku tertutup dengan orang asing akan
membawa akibat buruk dari “vreemdenmagie” itu bukan saja bagi perempuan
tersebut, tetapi juga bagi masyarakatnya. Akan tetapi, kontak dengan “dunia luar”
bertambah, karena berpindahan tempat secara besar-besaran (volksverhuizing)
semakin tipislah ketakutan ini.Makin kurang orang-orang asing dipandang sebagai
“duivelendragers” maka makin banyak terjadi perkawinan interlokal.
Perkawinan campuran ternyata tidak terlarang secara mutlak oleh sesuatu
peraturan adat, akan tetapi dianggap lebih baik untuk kawin dalam suku sendiri.
28

Saimin, Soedaryo, Hukum Orang dan Keluarga Sinar Grafika, Jakarta. 2002,hlm 30-34

Universitas Sumatera Utara

38

Kendor kencangnya hal yang belakangan ini bergantung pada keadaan masyarakatmasyarakat suku masing-masing. Untuk tahun-tahun belakangan dari abad ke-20,
terlihat bahwa karena perbaikan perhubungan dan tambah sempurnanya pendidikan
dapat dilihat, bahwa perkawinan-perkawinan campuran antartempat di kalangan
rakyat Indonesia sendiri makin lama akan makin bertambah.
2.

Perkawinan Campuran Antaragama,
Pernikahan beda agama (interfaith marriage) merupakan kenyataan sosial

yang terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia. Hubungan antar masyarakat
menyebabkan adanya hubungan antar keyakinan (interfaith relationship) yang
memang dapat menghasilkan pernikahan di antara pemeluk keyakinan yang berbeda.
Negara-negara maju telah lama memberlakukan peraturan yang mengizinkan
pernikahan beda agama.
Hukum Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai pernikahan
pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan menjelaskan bahwa pernikahan sah jika dilakukan sesuai agama dan
kepercayaannya.Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkannya pada ajaran setiap
agama.Maka, ada syarat formil dan materil yang harus dipenuhi. Dengan berlakunya
UU Perkawinan, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Bugrlijke Wetboek), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op
de Gemende Huwelijken Staatblad 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU Perkawinan, dinyatakan
tidak berlaku. Tidak adanya pengaturan mengenai pernikahan beda agama

Universitas Sumatera Utara

39

menyebabkan para pihak

yang hendak melakukan pernikahan

melakukan

penyelundupan hukum (evasion of law). Ada empat cara yang populer ditempuh
pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1.

Meminta penetapan pengadilan;

2.

Pernikahan dilakukan menurut masing-masing agama;

3.

Penundukan sementara pada salah satu hukum agama; dan

4.

Menikah di luar negeri.
Dengan dicatatkannya pernikahan beda agama yang dilakukan di luar negeri

tidak serta-merta membuat pernikahan itu sah berdasarkan hukum Indonesia. Kantor
Catatan Sipil hanya lembaga pencatat pernikahan.
Pada tahun 1986, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan MA No.
1400 K/Pdt/1986 yang menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu
diperkenankan untuk melangsungkan pernikahan beda agama. Kasus ini bermula dari
pernikahan yang hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani (wanita) dengan
Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (pria). Dengan pengajuan pencatatan pernikahan
di Kantor Catatan Sipil maka Andi Vonny telah memilih untuk pernikahannya tidak
dilangsungkan menurut agama Kristen. Dengan demikian, Andi Vonny memilih
untuk mengikuti agama Andrianus. Maka, Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan
dan mencatatkan pernikahan tersebut.
Berdasarkan pada putusan MA tersebut, seorang muslim atau muslimah dapat
memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan pernikahan tidak berdasarkan
agama lain. Kemudian, apabila permohonan pencatatan pernikahan tersebut

Universitas Sumatera Utara

40

dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka pernikahan tersebut adalah sah
menurut hukum. Usulan amandemen terhadap UU No. 1 Tahun 1974 telah lama
dikemukakan oleh sejumlah kelompok. Salah satu usulan tersebut adalah
memasukkan klausul pernikahan beda agama. Hal ini mendapat reaksi negatif dari
seluruh lembaga keagamaan. Pernikahan beda agama merupakan pilihan bebas setiap
pihak dengan segala konsekuensinya. Berdasarkan yurisprudensi MA tersebut di atas,
maka syarat formal pernikahan telah terpenuhi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Namun, syarat materil pernikahan tidak terpenuhi karena berbenturan dengan
ketentuan pasal 2 UU Perkawinan. Pendapat dari seluruh lembaga keagamaan di
Indonesia menyatakan tidak sahnya pernikahan berbeda keyakinan ditinjau dari
hukum setiap agama. Tidak terpenuhinya syarat materil pernikahan dalam agama
berdampak pada waris dan status anak dari pasangan berbeda keyakinan.
Jika suami - istri tersebut memiliki anak perempuan non muslim, maka jika
ayah kandungnya adalah muslim, dia tidak dapat menikahkan anaknya sesuai syariat.
Hal ini berlaku sebaliknya. Jika ayah kandungnya non muslim dan anaknya muslim,
pernikahan anaknya harus dilakukan oleh wali hakim. Padahal, berdasarkan syariat,
seorang ayah kandung wajib menikahkan anak gadisnya dan ini merupakan bentuk
doa restu. Anak yang berbeda keyakinan dengan orang tua tidak memiliki bagian
warisan sesuai syariat. Yang diperolehnya adalah hibah;Jika anak tersebut adalah pria
muslim, dia tidak dapat melakukan shalat jenazah terhadap salah satu orang
tuanya;Jika kemudian salah satu dari pasangan berbeda agama tersebut menjadi

Universitas Sumatera Utara

41

muslim, pernikahan tersebut dapat disahkan sesuai syarat materil dalam UU
Perkawinan. Jadi, pernikahan tersebut dapat diulang berdasarkan syariat. 29
3. Perkawinan Campuran Negara
Pernikahan beda negara memang tengah marak di kalangan masyarakat.
Apalagi, era yang semakin terbuka ini makin memudahkan seseorang untuk
melakukan hal tersebut. Namun, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum
memutuskan pernikahan tersebut, terutama kaum wanita. Hal ini mengingat di
Indonesia memang belum ada aturan yang spesifik untuk melindungi mereka yang
terkait dengan pernikahan beda negara. Perlindungan secara khusus tidak ada dalam
pernikahan beda negara, tetapi kementerian PP-PA akan memberikan perlindungan
kepada wanita yang menjadi korban kekerasan khususnya dalam rumah tangga
sebagai akibat dari pernikahan beda negara, lebih baik sebelum melakukan
pernikahan, hendaknya harus dibekali pengetahuan yang cukup. Tentu saja, semua itu
dimaksudkan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Apalagi, tak sedikit wanita yang akhirnya menjadi korban. Harus diketahui dala
pernikahan beda negara atau menikah dengan orang asing adalah suatu hal yang
sangat pelik, belum lagi perbedaan bahasa, budaya gaya hidup dan pola pikir yang
jelas sekali. Pemasalahan imigrasi, perjanjian pranikah, KDRT, tantangan dari Negara

29

Muchtar, Kamar, Asas – Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta,
1993. hlm. 26

Universitas Sumatera Utara

42

(kebijakan, aturan hukum dan perundang-undangan), masyarakat maupun dari dalam
keluarga sendiri. 30
Surat-surat lengkap yang digunakan untuk perkawinan campuran beda negara
harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah, kemudian
dilegalisir oleh kedutaan Negara di mana calon suami menjadi warga negara. Setelah
melangsungkan perkawinan dan tercatat di Pegawai Catatan Pernikahan maka akta
pernikahan sebaiknya dilegalisir di departemen luar negeri dan didaftarkan di
kedutaan asal calon suami. Hal ini perlu dilakukan agar pernikahan tersebut
dianggapsah secara internasional.
Ada baiknya sebelum melakukan perkawinan campuran antar negara,
dilakukannya Perjanjian Pra-Nikah. Perjanjian pra-nikah dibuat sebelum pernikahan
dilaksanakan, dapatdibuat oleh notaris atau pengacara yang dipilih oleh calon pelaku
pernikahan campuran. Perjanjian pra-nikah termuat dalam Undang-Undang
Perkawinan pasal 29 (3) UU no. 1 tahun 1974. Perjanjian pra-nikah menyangkut
perjanjian perihal harta, pekerjaan maupun penghasilan. Perjanjian pranikah ini bukan
merupakan bentuk persiapan untuk bercerai. Perjanjian pranikah malah akan
melindungi masing-masing pasangan dari hal-hal yang tidak diinginkan bila terjadi
sesuatu dengan salah satu dari mereka. Misalnya, salah satu dari mereka mengalami
kebangkrutan usaha, maka kalau terjadi penyitaan harta akibat dari pailit itu, yang
akan disita hanyalah harta yang bersangkutan. Sedangkan harta pasangannya tidak

30

http://lifestyle. okezone. com/read/2013/02/13/196/761011/belum-ada-perlindungan-khususdalam-pernikahan-beda-negara

Universitas Sumatera Utara

43

akan diganggu gugat karena memang tidak terlibat dalam bisnis tersebut. Dengan
demikian, kehidupa mereka masih bisa berjalan dengan baik karena mereka masih
mempunyai pegangan secara ekonomi. Perjanjian pranikah juga bisa mengatur segala
kesepakatan yang sekiranya akan merugikan salah satu di antara mereka. Ininya
adalah, perjanjian pranikah ini untuk saling menghargai dan melindungi mereka
berdua.
Masalah status anak berhubungan dengan asas kewarganegaraan Indonesia.
Indonesia menganut asas Ius Sanguinis (garis darah), sehingga anak-anak yang lahir
dari perkawinan campuran secara hukum mengikuti kewarganegaraan ayahnya
(WNA). Risikonya, anak hasil dari pernikahan campuran harus mengikuti aturan
hukum yang berlaku untuk orang asing.
Bagi yang hendak melakukan perkawinan campuran hendaklah kuat secara
mental dan materil, karena untuk memenuhi persyaratannya diperlukan waktu,
tenaga, dan uang. Melihat kondisi maraknya pernikahan campuran antarnegara ini,
diharapkan pemerintah merevisi undang-undang mengenai kewarganegaran lebih
toleran. Semoga pembahasan makalah hukum perkawinan lebih disosialisasikan agar
semua orang bisa lebih memahaminya.
Pengertian dan Kedudukan Perkawinan tidak Tercatat
Pernikahan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang paling utama dalam
kehidupan masyarakat yang sempurna. Namun perkawinan juga merupakan suatu hal
yang mempunyai dasar-dasar hukum. Jadi perkawinan bukan sesuatu permainan,
karena perkawinan mempunyai kedudukan hukum, baik hukum menurut syariat Islam

Universitas Sumatera Utara

44

maupun hukum menurut UU. Oleh karena itu, untuk mengetahui status hukum
pernikahan yang tidak tercatat atau nikah di bawah tangan maka akan dijelaskan
secara rinci melalui uraian sebagai berikut :
1. Status Hukum Pernikahan Yang Tidak Tercatat Menurut Syariat Islam
Perkawinan merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan dalam
Islam. Hal ini dilaksanakan untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak
terjerumus ke dalam perzinaan maka diperintahkan untuk melangsungkan pernikahan.
Untuk membicarakan apakah sah pernikahan yang tidak tercatat (nikah di bawah
tangan), menurut hukum Islam maka kita harus memahami syarat-syarat dan rukun
pernikahan menurut hukum Islam.
Karena perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat maka hal ini harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tanpa adanya pemberitahuan pada pihak
yang berwenang mengenai masalah perkawinan, sehingga tidak mempunyai dokumen
resmi. Dengan melaksanakan perkawinan di bawah tangan, berarti telah mengabaikan
dan tidak melaksanakan ketentuan yang telah diperintahkan. Apabila dalam
perkawinan telah terpenuhi rukunnya dan syaratnya yang telah ditetapkan dalam
undang-undang maka dalam suatu daerah akan berkurang pernikahan di bawah
tangan. Apabila perkawinan itu tercatat maka hak seseorang akan terlindungi. Artinya
apabila dalam keluarga tersebut timbul suatu permasalahan maka akan dapat
diselesaikan melalui pengadilan dengan membawa barang bukti akta nikah. Karena
akta nikahlah merupakan salah satu bukti autentik bahwa dia telah resmi menikah dan
apabila tidak memiliki maka perkawinan itu tidak dapat dibuktikan bahwa dia sudah

Universitas Sumatera Utara

45

menikah atau belum dan pengadilan pun tidak dapat membuktikannya. Karena
pernikahan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pernikahan itu sendiri merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang
laki-laki dan perempuan ke dalam suatu ikatan yang sah. Oleh karena itu, pernikahan
tidak dapat dipermainkan. Jadi setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan itu
harus dipikirkan dengan matang terlebih dahulu, apabila kemauan dan kemampuan
sudah ada sepenuhnya barulah pernikahan itu dilaksanakan. Pelaksanaan pernikahan
itu ditetapkan menurut hukum Islam maupun menurut undang-undang, untuk
menjaga agar tidak terjadi suatu hal yang mengkhawatirkan terhadap suatu umat,
maka hal itu diperintahkan kepada para pemuda untuk melaksanakan suatu
pernikahan dengan maksud untuk menjaga pandangan bagi para pemuda agar
terhindar dari perbuatan zina. 31
Islam mensahkan perkawinan dan segala akibat baik yang bertalian dengan
perkawinan, baik bagi yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun bagi
kemanusiaan pada umumnya. Walaupun pernikahan itu dilakukan menurut syariat
Islam dan pernikahan itu sah, tetapi pengadilan tidak menerima keberadaannya
tentang pernikahan yang tidak tercatat. 32
Pengumuman dan pendaftaran itu penting dan perihal untuk menghindari
akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dalam hubungannya
dengan pihak ketiga; misalnya tentang sahnya anak, wali nikah, tentang waris
31

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI. Cet. VII Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990, hlm. 23
Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara,
1987) hlm. 3
32

Universitas Sumatera Utara

46

mewaris. Bahwa bagaimanapun pendaftaran itu penting bagi kemaslahatan kedua
belah pihak. Kepastian hukum bagi masyarakat demikian juga baik suami dengan
isteri tidak demikian saja dapat mengingkari perjanjian perkawinan yang suci
tersebut, dan tidak dengan mudah menjatuhkan talak, sesuai dengan analogi (qiyas).
Dengan melakukan perkawinan yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, berarti
telah melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Pencatatan tidak menentukan sah atau
tidak sahnya suatu perkawinan. Perkawinan apabila dilakukan menurut ketentuan
agama masing-masing, walaupun perkawinan tersebut tidak terdaftar dalam surat
Keputusan Mahkamah Islam tinggi, pada tahun 1953 No. 23/19 menegaskan bahwa
bila izin nikah telah lengkap, walaupun tidak terdaftar maka nikahnya tidak
didaftarkan. 33
Setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang menangani hal
perkawinan selalu menegaskan bila perkawinan itu rukunnya telah lengkap tetapi
tidak terdaftar, akan menghadapi kesulitan-kesulitan bahkan akan dikenakan denda
sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Syarat dan rukun dalam perkawinan
berkedudukan pada tingkat pertama menurut syariat Islam walaupun tidak tercatat.
Tetapi pegawai pencatat perkawinan (KUA) selalu mengawasi terjadinya perkawinan
karena dialah yang berhak untuk melaksanakan hal itu. Di dalam hukum Islam bahwa
perkawinan di bawah tangan itu menempati kedudukan pada tingkatan kedua dari

33

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi ummat Islam), Cet. IV
(Jakarta: UL. Press, 1986), hlm 21

Universitas Sumatera Utara

47

syarat yang telah ditentukan dalam syariat Islam. Walaupun demikian pernikahan di
bawah tangan sebaiknya tidak dilaksanakan.
Terkadang ada orang yang takut-takut kawin karena sangat takut untuk
memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan. Memang banyak
kesulitan yang dihadapi bagi orang yang telah melaksanakan pernikahan, tetapi
dengan pernikahan akan dapat memperoleh hikmah-hikmah dalam pernikahan
tersebut. Pernikahan merupakan salah satu aktivitas bagi setiap insan atau
mendapatkan keturunan yang sah. Islam mengantarkan pernikahan sebagaimana
tersebut karena pernikahan sangat mempunyai pengaruh bagi ummat manusia, tetapi
apabila perkawinan itu tidak teratur maka akan mendapatkan dampak negatif, bagi
kehidupan kita. Jika pernikahan itu dilakukan di bawah tangan dan telah diketahui
oleh pihak yang berwenang melaksanakan pencatatan pernikahan yang dilakukan
bagi umat Islam yaitu KUA, maka hal itu akan menjadi permasalahan besar bahkan
dinyatakan sebagai pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Allah SWT, tidak berkembang sesuai dengan apa yang menjadi kehendak
manusia. Allah mengatur naluri yang terdapat pada manusia prinsip-prinsip dan
undang-undang, sehingga manusia tetap utuh semakin baik suci dan bersih. Oleh
karena itu, segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tidak akan terlepas
dari didikan Allah semata.34

34

H. Ibrahim Lubis, Agama Islam (Suatu Pengetahuan) (Cet I; Jakarta Timur: Ghalia Indonesia,
1982), hlm. 329

Universitas Sumatera Utara

48

Sebenarnya segala hukum dan adat istiadat boleh dilakukan oleh setiap umat
dalam hukum perkawinan asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam, kesucian
dan keutuhan ikatan perkawinan hendaknya dijaga dengan sebaik-baiknya. Di
Indonesia perkawinan umat Islam telah mendapat jaminan hukum dari pemerintahan
RI, dengan UU perkawinan No. 2 tahun 1946 dan telah dinyatakan bagi seluruh
bangsa Indonesia dengan UU No. 35 tahun 1954 menyatakan: “Barang siapa
melakukan perkawinan yang tidak menurut Undang-undang dapat dituntut; walaupun
sah menurut hukum Islam, karena Undang-undang mengatur perlindungan hakim
yang tegas supaya benar-benar syariat Islam ditegakkan”.
Masyarakat yang beragama Islam wajib mengikut segala peraturan yang telah
menjadi ketetapan pemerintah.Hukumlah yang mengatur segala yang dikerjakan oleh
setiap manusia, baik hukum itu berasal dari Allah, Rasulullah maupun dari ketetapan
pemerintah. Allah memudahkan pernikahan, tetapi pernikahan itu sendiri tidak boleh
dimudah-mudahkan untuk dilaksanakan. Pernikahan tidak terlepas dari hukumhukum yang telah disyariatkan. Setiap manusia yang akan melangsungkan pernikahan
maupun bentuk akad lainnya selalu terikat oleh hukum, tergantung dari niat seseorang
yang akan melaksanakan pernikahan itu.
Dengan memahami hukum-hukum perkawinan maka seseorang tidak akan
keliru dalam mempraktekkan kehidupannya dalam berumahtangga dan dalam
bermasyarakat. Dengan demikian kedudukan perkawinan sangatlah penting menurut
hukum Islam. Olehnya itu masyarakat tidak akan lagi melaksanakan pernikahan yang
dimaksudkan.

Universitas Sumatera Utara

49

2. Kedudukan pernikahan yang tidak tercatat (Nikah di bawah tangan)
menurut UU No. 1 tahun 1974
Pencatatan pernikahan bertujuan untuk menjadikan peristiwa pernikahan itu
menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, bagi orang lain maupun bagi masyarakat.
Suatu surat yang bersifat resmi dibuat dalam suatu daftar sehingga surat itu sewaktuwaktu dapat dipergunakan bilamana hal itu perlu, terutama sehingga sebagai suatu
alat bukti yang autentik. 35
Dengan ketetapan tersebut di atas adalah sama seperti yang disyariatkan
dalam Islam. Jadi dengan pencatatan peristiwa pernikahan itu dapat menjadi jelas dan
bersifat resmi karena perkawinan tersebut telah terdaftar di KUA bagi beragama
Islam.
Pada tanggal 1 April 1977 pemerintahan mengundangkan Undang-undang RI
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 2 ayat (1):
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya”.
Yang

dimaksud

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya yaitu apabila pernikahan itu dilakukan bagi orang yang beragama
Islam maka pernikahan sebelum dilaksanakan kita harus melapor terlebih dahulu ke
KUA dan jika melakukan pernikahan itu selain dari yang beragama Islam maka
melapor pada kantor catatan sipil. Tentang tidak adanya pernikahan di luar hukum

35

Kwantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Ghalia Indonesia,
1976), hlm. 17

Universitas Sumatera Utara

50

masing-masing agamanya itu, dan pelanggaran pernikahan itu sebenarnya tidak
diinginkan baik menurut hukum Islam itu sendiri maupun menurut agama lain yang
ada di Indonesia. Setiap agama tentu sudah mempunyai peraturan-peraturan sendiri,
bagi orang yang beragama Islam dicatat di KUA dan bagi non muslim dicatat di
kantor catatan sipil.
Hal ini sebagaimana juga yang telah dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2)
UU Perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menjelaskan secara umum bahwa
tiap-tiap pernikahan sama dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang misalnya kelahiran kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, surat akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Hal tersebut tidak
menjelaskan maksud diadakan pencatatan tetapi hanya menjelaskan. Dalam suatu
pernikahan, sebelum pernikahan itu dilaksanakan sebaiknya terlebih dahulu kedua
calon mempelai datang menghadap sendiri kepada pegawai pencatat pernikahan
sehingga pegawai pencatat pernikahan secara langsung menanyakan segala sesuatu
kepada yang berkepentingan. Sebaiknya pertanyaan itu dilakukan secara lisan, supaya
lebih jelas. Berdasarkan dengan isi Pasal 3 peraturan pelaksanaan menjelaskan:

Universitas Sumatera Utara

51

“Pada prinsipnya untuk melaksanakan pernikahan harus dilakukan secara
lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau orang tuanya atau
wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuannya
kehendak melangsungkan secara lisan, atau tidak mungkin dilakukan, maka
pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat
mewakili dari mempelai atau memberitahukan kehendak melangsungkan
pernikahan adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa
khusus. 36
Untuk menghindari diri dari hal-hal yang tidak diinginkan dalam pernikahan,
olehnya itu seseorang diharuskan memperhatikan segala ketentuan yang telah
disyariatkan baik dalam Islam maupun peraturan perundang-undangan.Pernikahan
yang tidak tercatat sebaiknya tidak dilaksanakan bagi umat Islam. Sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pasal 26 ayat 2 UU Perkawinan yang
berbunyi:
“Hak untuk membatalkan suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini
gugur apabila mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak
berwenang dan pernikahan harus diperbaharui supaya sah”.
Jika dalam pernikahan tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan dan
ketentuan yang telah ditetapkan surat akte nikah itu dibuat oleh pihak yang
berwewenang, maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Catatan pada tiap-tiap
pernikahan sangatlah penting karena dengan pencatatan seseorang telah dapat
membuktikan, bahwa adanya pernikahan tersebut telah terbukti bahwa kelahiran
anaknya adalah anak yang sah.Dengan demikian kedudukan pernikahan di bawah
36

Lili Rasjid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 87

Universitas Sumatera Utara

52

tangan menurut Undang-undang No. 1 / 1974 tentang perkawinan belum memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan dalam ketentuan tersebut.
B. Akibat Hukum Keperdataan Perkawinan Sah Terhadap Anak Yang
Dilahirkan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga. Keluarga terdiri atas:
ayah, ibu dan anak, bahkan menurut hukum adat tujuan perkawinan adalah untuk
memperoleh keturunan. Kehadiran anak itu sendiri menimbulkan hubunganhubungan hukum, baik dengan ayah maupun ibunya; hubungan-hubungan tersebut,
mulai persoalan legitimasi sampai pada persoalan warisan.Anak yang dilahirkan dari
atau akibat suatu perkawinan, adalah anak sah.Demikian pula anak yang dilahirkan
dari seorang ibu yang dikawin oleh seorang pria yang bukan pembenih anak tersebut.
Menurut ketentuan agama Islam, seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang
telah hamil sebelum perkawinannya, dianggap sebagai anak yang tidak sah.Oleh
karena suami ibunya dianggap bukan pembenih anak itu, maka anak tersebut
dipandang sebagai anak hasil dari suatu perzinahan.
Dahulu anak luar kawin dianggap sebagai anak ibunya, bahkan mempunyai
hubungan keperdataan dengan keluarga ibunya.Akibat lebih ianjut, bahwa anak
tersebut juga berhak mewaris selain dari ibu juga dari keluarga ibunya.
Dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan hanya mengatur secara singkat
tentang kedudukan anak. Dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UU Perkawinan hanya
menyebutkan 2 macam kedudukan anak, yakni anak sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, dan anak luar kawin atau anak yang

Universitas Sumatera Utara

53

dilahirkan diluar perkawinan. Dalam KUH Perdata diatur secara rincin dan tegas
adanya 4 macam kedudukan anak sebagai berikut:
a . Anak Sah, yaitu anak yang dianggap lahir selama perkawinan orang tuanya
(pasal 250 KUH Perdata).
Untuk kepentingan si bayi, maka anak yang lahir 180 hari setelah perkawinan dan
300 hari setelah perceraian dianggap sebagai bayi suami yang bersangkutan (pasal
251 KUH Perdata). Dalam hal demikian menurut pasal 251 si suami diberi hak untuk
menyangkal keabsahan bayi tersebut dengan mengemukakan alasan-alasan:

1. Sebelum 180 hari dan 300 hari tidak berhubungan badan dengan isterinya.
2. Karena zinah yang dilakukan isteri dan isteri menyembunyikan kelahiran
bayinya terhadap suaminya.
3. Karena bayi lahir 300 hari sesudah keputusan perpisahan meja dan tempat
tidur sudah mendapat kekuatan pasti. Dalam hal demikian isteri / ibu bayi
diberi hak dan kewenangan untuk mengajukan data-data sebagai
pembuktian balik untuk dapat menguatkan bahwa suaminya benar-benar
ayah yang sah dari bayinya.
Terhadap hak ingkar dari suami tersebut diadakan pembatasan-pembatasan, yakni:

1. Bilamana si suami sebelum perkawinan telah mengetahui kehamilan
isterinya.
2. Bilamana dia hadir pada waktu dibuat akte kelahiran, menanda tangani
akte tersebut atau menyatakan tidak dapat membubuhi tanda tangan.
b . Anak Wajar, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan orang tuanya.

Universitas Sumatera Utara

54

Istilah anak wajar dipakai dalam dua buah pengertian:

1) Anak wajar dalam arti luas, yakni semua anak luar kawin yang tidak
disyahkan.

2) Anak wajar dalam arti sempit, yakni terbatas pada anak luar kawin yang
diperoleh dari zinah dan incest. Pasal 280 KUH Perdata menyatakan bahwa
anak-anak wajar yang orang tuanya hanya ada hubungan hukum (hubungan
perdata) bilamana si bapak dan si ibu mengakuinya. Bagi ibu mengakui
anak luar kawin adalah merupakan suatu kewajiban.
Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan sukarela dan yang
dipaksakan (atas putusan Pengadilan Negeri karena gugatan anak luar
kawin).Pengakuan sukarela adalah dengan membuat suatu pernyataan yang
sebagaimana

ditentukan

UndangUndang

yang

menyatakan

bahwa

seseorang adalah bapak atau ibu seorang anak yang lahir di luar
perkawinan. Pernyataan pengakuan ini dapat dilakukan melalui 3 proses,
yakni: dalam akte kelahiran, dalam akte perkawinan (apabila orang tua dari
bayi tersebut melangsungkan perkawinan), dan dalam akte autentik
tersendiri.
Untuk melakukan pengakuan anak luar kawin, seorang laki-laki harus
mencapai umur 19 tahun.Dan apabila pengakuan itu karena penipuan dan
kekhilafan, maka pengakuan tersebut tidak sah.

Universitas Sumatera Utara

55

Anak luar kawin yang diakui dengan ketiga proses tersebut, dengan
kawinnya kedua orang tuanya akan menjadi anak sah. Akan tetapi jika
pengesahan itu dilakukan dengan Surat Pengesahan, maka akan
memperoleh akibat hukum yang lebih terbatas, yakni :
1) Pengesahan mulai berlaku sejak Surat pengesahan diberikan.
2) Pengesahan itu dalam hal pewarisan tidak boleh merugikan nak anak
sah yang ada sebelum pengesahan itu.
3) Pengesahan itu tidak berlaku dalam pewarisan terhadap para wangsa
yang lain kecuali kalau mereka memberi ijin untuk pengesahan itu.
Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa "anak yang diakui" adalah anak yang
lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, tetapi diakui oleh orang tuanya
(ayahnya). Sedangkan "anak yang disahkan" adalah anak yang lahir di luar
ikatan perkawinan yang sah, yang telah diakui atau disahkan dengan Surat
Pengesahan, dan akhirnya kedua orang tuanya kawin secara sah.
c . Anak Zina, yaitu anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, yang

salah satu atau kedua orang tuanya telah mempunyai ikatan perkawinan yang
sah dengan orang lain. Anak yang lahir karena hubungan zina (anak zina) ini
dilarang untuk diakui dan disahkan (pasal 272 KUH Perdata).
d . Anak Incest (anak sumbang), anak yang lahir dari kedua orang tua yang oleh

Undang-Undang dilarang kawin. Menurut Pasal 273 KUH Perdata, anak-anak
yang dilahirkan karena incest (anak incest/anak sumbang) dapat disahkan
dengan cara mengakuinya dalam akta perkawinan setelah mendapat

Universitas Sumatera Utara

56

dispensasi dari Menteri Kehakiman atas nama Presiden.
Menurut Pasal 45 (1) UU No. 1/1974, kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (Pasal 45 ayat 1 UU, No. 1/1974).
Kewajiban demikian dalam KUH Pdt ditentukan dalam pasal 298. Jadi kedua orang
tua mempunyai ikatan /hubungan dengan anak-anaknya (anak sah) disebut dengan
kekuasaan orang tua yang ditujukan untuk kesejahteraan anak-anaknya. Setiap anak
wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Antara orang
tua dengan anak terdapat kewajiban alimentasi, yakni kewajiban timbal balik antara
orang tua dengan anak seperti yang ditentukan dalam Pasal 45 dan 46 UU
Perkawinan dan Pasal 321 KUH Perdata. Orang tua dibebani kewajiban untuk
memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum dewasa sesuai dengan
kemampuan masing-masing, demikian sebaliknya anak yang telah dewasa wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas, bila mereka memerlukan bantuannya.
Menurut KUH Perdata, alimentasi bersifat pribadi, oleh karena mana berakhir
dengan kematian dari donor atau penerima. Dalam garis lurus pertama ke atas
kewajiban alimentasi karena hubungan semenda berakhir bilamana ibu mertua kawin
lagi, sedangkan mengenai ayah mertua pembatasan demikian tidak dikenal.
Alimentasi merupakan hukum yang memaksa, jadi tidak dapat disimpangidan hak
alimentasi tidak dapat dihapus antara mereka yang berkewajiban memberikannya
secara timbal balik.
Menurut KUH Perdata, kekuasaan orang tua selain kekuasaan terhadap diri

Universitas Sumatera Utara

57

anak seperti tersebut di atas, juga meliputi kekuasaan terhadap harta benda kepunyaan
anak yang terdiri dari :
a. Kekuasaan untuk mengelola harta benda.
b. Kekuasaan untuk memperoleh kenikmatan hasil dari harta benda.
Pelaksanaan dari kewajiban ini harus dilakukan dengan itikat baik disertai
pemeliharaan harta benda termaksud seperti selayaknya dilaksanakan oleh seorang
bapak rumah tangga yang baik.
Terhadap harta benda kepunyaan anak, dalam Pasal 48 UU Perkawainan
menyatakan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.
Menurut UU Perkawinan, kekuasaan orang tua berakhir:
a.

Anak kawin atau dapat berdiri sendiri (pasal 45 ayat 2).

b.

Anak sudah dewasa (sudah mencapai umur 18-tahun), diatur dalam pasal 47.

c.

Apabila salah seorang atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu (pasal 49).
Menurut KUH Perdata berakhirnya kekuasaan orang tua adalah sebagai

berikut:
a.

Berakhirnya secara relatif.
1) Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim (Pasal 319 KUH Perdata), dengan

Universitas Sumatera Utara

58

alasan-alasan:
a)

Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau melalaikan kewajiban
untuk memelihara dan mendidik satu atau lebih anak-anaknya..

b) Kelakuan hidup yang tercela.
c)

Telah dijatuhi hukuman oleh karena dengan sengaja ikut serta dengan
suatu kejahatan terhadap anak yang masih di bawah kekuasaannya.

d) Dihukum karena kejahatan yang termaktub dalam babXII, XIV, XV,
XIX dan XX KUH Pidana terhadap anak-anak di bawah umur
termaksud di atas.
e)

Karena dihukum dengan hukuman penjara minimal 2 tahun.

Apabila terjadi pemecatan kekuasan orang tua, maka hak orang tua untuk
memperoleh kenikmatan hasil harta benda anaknya hapus.Pemecatan kekuasaan
orang tua berlaku untuk semua anak-anaknya.
a) Karena pembebasan kekuasaan orang tua, misalnya kelakuan si anak luar
biasa nakalnya hingga orang tua tidak mampu/tidak, berdaya lagi, untuk
mendidiknya. Pembebasan kekuasaan orang tua tidak menghapuskan hak
orang tua untuk memperoleh kenikmatan hasil harta benda anaknya.
Pembebasan kekuasaan orang tua hanya meliputi satu anak saja, jadi tidak
semua anak-anaknya. Kekuasaan orang tua yang dipecat dan dibebaskan
tersebut dapat diserahkan kembali kepada orang tua bila ternyata bahwa
alasan-alasan yang mengakibatkan pencabutan dan pembebasan sudah tidak
ada. Pemulihan hak ini dapat diminta oleh orang tua yang bersangkutan,

Universitas Sumatera Utara

59

kejaksaan dan Dewan Perwalian.
b) Berakhirnya kekuasaan orang tua secara absolut.
1) Karena kematian anak.
2) Karena anak mencapai kedewasaan (umur 21 tahun).
3) Karena pembubaran perkawinan orang tua, sehingga anak-anaknya di
bawah pengawasan seorang wali.
C. Hubungan Hukum Keperdataan Antara Anak yang Lahir Dalam
Perkawinan Yang Sah Dengan Ayah Biologisnya Pasca Putusan MK R.I
No.46/2010.
Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah disini di maksudkan, si janin
sudah ada di dalam perut ibunya sebelum pernikahan dilakukan dan dilahirkan
sesudah perkawinan sah tetapi bukan dengan ayah biologis dari si anak yang
dikandungnya, atau anak yang lahir dalam perkawinan yang sah ini bisa terjadi
karena si isteri berselingkuh dan menghasilkan anak dari perselingkuhannya dengan
pria lain. Sebelum diperdalam lagi tentang anak yang lahir dalam perkawinan yang
sah, dijelaskan dahulu arti dari perkawinan yang sah dilihat dari segi hukum UU
Perkawinan atau dari segi hukum Islam.
Didalam UU Perkawinan, syarat dari sahnya perkawinan jelas dituliskan di
Pasal 2 ayat 1 dan 2, yang menuliskan perkawinan itu sah dilangsungkan menurut
agamanya masing-masing dan dilakukannya pencatatan. Apabila tidak dilakukannya
pencatatan maka perkawinan itu tidak sah menurut negara. Dan kalau dilihat dari segi

Universitas Sumatera Utara

60

hukum Islam, perkawinan sah apabila :37
a. Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
b. Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau
wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul).
c. Adanya wali dari calon istri.
d. Adanya dua orang saksi.
Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing
agamanya dan kepercayaannya, dan dilihat dari syarat – syarat sahnya perkawinan
dari hukum Islam maka banyak yang melakukan perkawinan yang hanya memakai
syarat sahnya perkawinan hanya dari Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, tanpa
mencatatkan perkawinan mereka. Hal ini yang akhirnya berpengaruh dengan anak –
anak yang dihasilkan dari perkawinan Sirri dan terkadang si ayah biologis dan
menyatakan bahwa si anak bukan darah dagingnya walaupun si anak dari perkawinan
yang sah menurut agama.
Dan hal inilah yang akhirnya membuat seorang Machicha Mochtar
mengajukan uji materi ke MK tentang Anak Biologisnya, hasil dari perkawinan Sirri
nya dengan Moerdiono. Dan setelah beberapa tahun berusaha maka MK telah
mengabulkannya, sehingga Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1/1974 diubah dan
menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

37

Victor dan Cormentyna, 1991, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, hlm. 25

Universitas Sumatera Utara

61

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya".
Nampak jelas bahwa si anak dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah
menurut negara, dimana tidak tercatat di kantor catatan sipil, tetapi sah menurut
agama. maka dari itu si anak disebut sebagai anak di luar nikah. Dalam
pembuktiannya si anak memang hasil dari hubungan Machicha dengan Moerdiono,
bisa di buktikan dari test DNA dan bukti – bukti lainnya seperti foto yang
menunjukkan adanya perkawinan Sirri ataupun menunjukkan mereka melakukan
hubungan suami isteri.
Selain dari perkawinan sah atau tidak sahnya sebuah pekawinan,
penyangkalan juga dilakukan pria untuk tidak mengakui si anak adalah hasil
hubungannya dengan wanita, dan sering terjadi didalam perkawinan yang sah, hasil
dari perselingkuhan. Anak dapat diingkari ayahnya, apabila :38
a.

Pasal 44 ayat 1 UU Perkawinan, menyatakan bahwa seorang suami dapat
menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari
perzinahan tersebut.

b.

Sedangkan dalam Pasal 251 KUH Perdata dinyatakan bahwa keabsahan seorang
anak yang dilahirkan