T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab MDR (Multi Drugs Resistance) pada Pasien TB di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 BAB IV

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Setting Penelitian
4.1.1 Proses Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti melewati berbagai tahap
dalam proses penelitian. Tahap-tahap tersebut, meliputi:
tahap penentuan partisipan, dan tahap pengumpulan data
dari partisipan.
4.1.1.1 Penentuan partisipan
Penentuan partisipan pada penelitan ini
berada di daerah Jawa Tengah, yaitu di Desa
Watuagung (Partisipan I) dan Desa Protomulyo
(Partisipan II). Pada tanggal 28 Juli 2016 berangkat
ketempat

penelitian.

Tiba

ditempat


penelitian,

peneliti memilih partisipan yang sesuai dengan
kriteria yang telah dibuat oleh peneliti sebelumnya.
4.1.1.2 Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik wawancara mendalam untuk mengumpulkan
data.

Oleh

sebab

itu,

peneliti

menggunakan

panduan wawancara yang telah dibuat peneliti

29

30

sebelumnya. Selain itu, peneliti juga menyiapkan
informed consent yang berisi surat penjelasan
penelitian dan surat persetujuan menjadi partisipan.
Dalam proses wawancara, peneliti menggunakan
handphone sebagai alat untuk merekam proses
percakapan antara peneliti dengan partisipan terkait
dengan penyebab TB MDR. Selain itu juga, peneliti
menyiapkan alat tulis untuk menunjang proses
wawancara.
4.1.2 Gambaran Umum Riset Partisipan
Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini
terdiri dari 2 pasien yang sedang menjalani
pengobatan Multi Drugs Resistance (MDR) dan 1
triangulasi sumber yaitu perawat yang bekerja di
Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga
(RSPAW).

4.1.2.1 Karakteristik Riset Partisipan 1
Nama

: Bapak R

Jenis kelamin

: Laki-laki

Usia

: 45 tahun

Pekerjaan

: Wiraswasta

Status

: Menikah


31

Bapak R awalnya terdiagnosa TB paru sejak
bulan Januari 2014. Selama menjalani proses
pengobatan
sehingga

partisipan

putus

mengakibatkan

dalam

kambuh

berobat,
kemudian


terdiagnosa TB MDR pada bulan Oktober 2014
dan

harus

menjalani

pengobatan

sampai

sekarang.
Riset partisipan merupakan anak ke dua
dari

3

bersaudara.


Masing-masing

sudah

berkeluarga dan hidup terpisah-pisah hanya adik
kandung partisipan yang tinggal bersebelahan
dengan

rumah

partisipan.

Jumlah

anggota

keluarga yang ada di rumah partisipan berjumlah
tiga orang yaitu riset partisipan istri partisipan, dan
ibu partisipan. Riset partisipan tidak mempunyai
pekerjaan semenjak partisipan mengalami sakit.

Riset partisipan hanya menempuh pendidikan
sampai jenjang Sekolah Dasar, anak partisipan
tinggal bersama pamannya di Jakarta untuk
menempuh jenjang pendidikan.
4.1.2.3 Gambaran Umum Riset Partisipan 2
Nama

: Ibu F

Jenis kelamin

: Perempuan

32

Usia

: 32 Tahun

Pekerjaan


: Wiraswasta

Status

: Nikah
Ibu F merupakan seorang ibu rumah tangga

dan mempunyai riwayat terkena TB paru sekitar 1
tahun yang lalu kemudian terdiagnosa TB MDR
sejak bulan Agustus 2015. Riset partisipan tidak
mempunyai

pekerjaan

semenjak

partisipan

mengalami sakit dan hanya melakukan aktivitas

didalam

rumah.

Selain

itu

riset

partisipan

menempuh pendidikan sampai jenjang Sekolah
Menengah Atas/SMA.
4.1.2.3 Gambaran Umum Riset Partisipan 3 (Triangulasi
sumber)
Nama

: Ibu B


Jenis kelamin

: Perempuan

Usia

: 40 tahun

Pekerjaan

: Perawat

Status

: Nikah
Triangulasi

sumber

pada


penelitian

ini

merupakan salah satu tenaga kesehatan di
Rumah Sakit dr Ario Wirawan Salatiga, latar

33

belakang Ibu B tentu mempunyai perbedaan
dengan partisipan lainya. Hal itu yang menjadi
menarik bagi peneliti, karena Ibu B sering
menemukan pasien terdiagnosa TB MDR diruang
dahlia 2.
4.2 Hasil Penelitian
Dari penelitian dan analisa data yang peneliti
lakukan diperoleh 6 tema besar yang akan peneliti bahas
dan jabarkan pada hasil penelitian ini. Diantara enam tema
besar tersebut, diantaranya menjadi pengantar dalam
menjelaskan tentang faktor penyebab TB MDR (Multi Drugs
Resistance).

Sehingga

dari

hal

ini,

peneliti

dapat

mengetahui apa saja yang menjadi faktor penyebab TB
MDR.
4 .2.1 Pengetahuan
Kata Kunci

Kategori

Sub Tema

Awalnya saya
nda tau mas,
lantaran saya
diberikan
penjelasan
oleh
dokter
makanya saya
tau TB MDR
P1 (48-49)

Kurangnya
pengetahuan
kedua
riset
partisipan
tentang gejala
penyakitnya

Kurangnya
pengetahuan
tentang TB
MDR

Tema
Pengetahuan

34

Berdasarkan hasil wawancara yang diterima,
peneliti akan memaparkan beberapa hal tentang
kurangnya

pengetahuan

terhadap

Multi

Drugs

Resistance (MDR). Pengetahuan akan MDR oleh
partisipan sangat rendah, dan baru mengetahui
tentang MDR setelah menjalani pengobatan. Hal
tersebut, sesuai dengan pernyataan kedua partisipan
sebagai berikut :
“Awalnya saya nda tau mas,
lantaran saya diberikan penjelasan
oleh dokter makanya saya tau,
sebelumnya saya tidak tau apa itu
MDR,
BKPM

ketika saya berobat
saya

diberitahu

di

dokter

kalau MDR itu kuman kebal sama
obat di situ saya baru tahu tentang
MDR” (P1, 48-49), (P2, 39-42)
Hasil wawancara menunjukkan bahwa kedua
partisipan mempunyai tingkat pengetahuan yang
kurang tentang penyakit TB MDR. Pengetahuanpengetahuan tersebut diketahui setelah terdiagnosa
TB MDR dan mendapatkan penjelasan dari petugas
kesehatan. Pada penelitian ini peneliti mencari

35

penyebab terkena MDR. Kurangnya pengetahuan
yang dimiliki kedua partisipan tentang TB MDR
menyebabkan mereka terkena MDR. Disamping itu,
pasien diberikan penjelasan tentang TB MDR seperti
lamanya proses pengobatan dan efek samping obat
yang diminum. Hal ini dapat dilihat dari penyataan
yang dikemukakan oleh Triangulasi Sumber, yaitu :
“untuk cirinya, dilakukan anamnesis
kemudian cek laboratorium dulu,
kira-kira ada MDR atau nda”
“iya mas itu dijelaskan kepada
pasien, pasien harus tanda tangan
informed consent untuk persediaan
diterapi jadi di dalam informed
consent

itu

dijelaskan

lamanya

proses pengobatan, jumlah obat
dan efek samping obat”
“tentunya ada mas seperti ruangan
diberikan ventilasi udara, ajarkan
pola

hidup

sehat,

cara

pembuangan dahak (P3, 18-74)
Berdasarkan
diungkapkan

oleh

hasil

wawancara

triangulasi

sumber

yang
dalam

36

penelitian ini mengatakan bahwa sebelum pasien
dilakukan pemeriksaan dari petugas kesehatan.
Pasien mendapatkan penjelasan tentang tandatanda dari MDR dari petugas kesehatan pada saat
pasien yang bersangkutan telah terdiagnosa TB
MDR. Upaya yang dilakukan untuk mengetahui
pasien tersebut terkena MDR atau tidak, maka
petugas kesehatan seperti dokter atau perawat
melakukan

anamnesis

laboratorium.

Setelah

dan

selesai

pemeriksaan
anamnesis

dan

laboratorium, pasien dinyatakan terdiagnosa MDR
pasien diwajibkan untuk tanda tangan informed
consent. Tujuan dari informed consent sendiri
bentuk persetujuan pasien untuk diberikan terapi
selama proses pengobatan.
Dari pernyataan diatas peneliti berpendapat
bahwa kurangnya program penyuluhan tentang TB
khususnya TB MDR yang dilakukan oleh petugas
kesehatan

berdampak

pada

kurangnya

pengetahuan. Hal tersebut diungkapkan oleh kedua
partisipan, kedua partisipan mengatakan bahwa
sebelumnya mereka tidak mengatahui tentang TB
MDR, namun setelah kedua partisipan terdiagnosa

37

TB MDR dan diberikan penjelasan oleh tenaga
kesehatan

P1

pemahaman

dan

tentang

P1
TB

baru

mendapatkan

MDR.

Sehingga

menyebabkan keterlambatan dalam penegakan
diagnosis, mengakibatkan penderita sulit untuk
disembuhkan dan memerlukan proses pengobatan
yang lama.
4.2.2 Sikap
Kata Kunci
Yah bisa 1
bungkus lebih
mas sehari,
kadang juga
lebih mas,
Yaah buat
nyenangin diri
aja mas,
soalnya nda
ada kerjaan
(P1,39-41)
saya
merasakan
berimajinasi,
badan lemas,
saya juga
nggak sadar
biasanya mas
P2 (78-114)

Kategori
Perilaku yang
tidak sehat
serta
mengabaikan
perintah
dokter

Sub Tema
Perilaku
mengabaikan
perintah
petugas
kesehatan

Tema
Sikap

38

Berdasarkan

hasil

wawancara,

bahwa

kedua partisipan sebelumnya mempunyai perilaku
tidak

sehat

seperti

kebiasaan

merokok

dan

mengabaikan perintah dokter ketika terdiagnosa TB
paru. Seperti yang diungkapkan oleh P1 bahwa
sebelumnya

mempunyai

kebiasaan

merokok

sedangkan P2 mempunyai sikap yang mengabaikan
perintah

dokter

dalam

proses

pengobatan,

dikarenakan merasa kondisi fisik yang sudah
membaik

sehingga

memberhentikan

memutuskan

pengobatan,

yang

untuk
dijelaskan

dengan pernyataan sebagai berikut :
“Yah bisa 1 bungkus lebih mas sehari,
kadang juga lebih mas, Yaah buat
nyenangin diri aja mas, soalnya nda
ada kerjaan” (P1,39-41)
“Iya pernah mas tapi cuman sebantar,
tau lah mas orang kalau udah agak
mendingan udah malas lagi untuk
berobat,

itu

saya

merasakan

berimajinasi, badan lemas, saya juga

39
nggak sadar biasanya mas” P2 (78114)
“Selain karna bosan selain itu juga nda
tahan dengan efek samping dari obat
misalanya efek samping kategori satu
mual muntah itu menjadi khawatir kalau
mengalami efek samping itu” P3 (5865)
Sikap yang tidak sehat seperti merokok dan
menghentikan

pengobatan

akan

menyebabkan

ketidakpatuhan dalam berobat. Hal ini dibuktikan
dengan

pernyataan

kedua

partisipan.

P1

mengatakan bahwa salah satu cara untuk membuat
diri senang dan tidak bosan adalah merokok, karena
dengan merokok dia merasa lebih nyaman. Selain
itu, partisipan sudah berulang kali diingatkan oleh
dokter untuk memberhentikan kebiasaan merokok
namun P1 tetap melakukannya dengan alasan sulit
untuk

menghilangkan

kebiasaan

merokok.

Sedangkan P2 mengatakan yang menyebabkan
sikap tidak patuh dalam berobat adalah ketika P2
menjalani pengobatan selama berapa bulan dan

40

merasakan kondisi badan mulai membaik. P2
memberhentikan pengobatan tidak sesuai pada
waktu yang telah ditetapkan oleh dokter, P2
beralasan bahwa kondisi fisiknya mulai membaik.
Padahal,

kondisi

fisik

yang

mulai

membaik

seharusnya disertai dengan hasil pemeriksaan dari
tenaga kesehatan, bukan hanya anggapan dari
pasien. Hal inilah yang menyebabkan P2 melakukan
pengobatan dari tahap awal lagi. Selain itu juga P2
mengatakan

efek

samping

dari

obat

tersebut

membuat sikap untuk menyerah, dikarenakan tidak
kuat menahan efek OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
yang diminumnya setiap hari. P2 mengatakan
bahwa

ketika

minum

OAT

dia

merasakan

berimajinasi bahkan hilang kesadaran.
Hal

tersebut

tersebut

juga

didukung

oleh

pernyataan triangulasi sumber yang mengatakan
salah satu faktor penyebab mereka tidak patuh yaitu
efek samping dari obat

anti tuberkulosis. Efek

samping OAT yang dirasakan oleh penderita seperti
mual muntah menimbulkan rasa khawatir dalam diri
penderita ketika mengkonsumsi obat tersebut.

41

Dari pernyataan diatas peneliti berpendapat
bahwa, perilaku yang tidak sehat sebelumnya
seperti merokok dan mengabaikan perintah dokter
seperti

menghentikan

merasa

kondisi

pengobatan

fisik

mulai

dikarenakan

membaik

akan

menyebabkan terjadinya resiko TB MDR. Selain itu,
efek

samping

berimajinasi

OAT

dan

menimbulkan
menyelesaikan

seperti

hilangnya

perilaku

mual

muntah,

kesedaran
menyerah

pengobatan.

akan
dalam

Sehingga

menyebabkan resistance terhadap obat dan harus
menjalani pengobatan ulang.
4.2.3 Ekonomi Rendah
Kata Kunci
Yahh kaya gini
lah mas,
mungkin
keadaan nda
memungkinkan
saya juga nda
punya askes
mas P1 (115119)

Kategori
Keterbatasan
dalam biaya
pengobatan

Sub Tema
Ekonomi

Tema
Ekonomi
rendah

42

Berdasarkan hasil wawancara kedua partisipan
menyatakan bahwa status ekonomi mempengaruhi
ketika

melakukan

pengobatan,

hal

tersebut

dikarenakan P1 dan P2 sudah tidak bisa melakukan
aktivitas seperti biasanya sehingga berdampak pada
penghasilan. Selain itu, kedua partisipan juga tidak
mempunyai

askes

seperti

sehingga

hanya

bergantung kepada keluarga untuk biaya kebutuhan
sehari-hari dan biaya pengobatan. Hal itu dibuktikan
dengan dengan kedua partisipan, sebagai berikut :
“Yaah kaya gini lah mas, mungkin keadaan
yang nda

memungkinkan, saya juga nda punya

askes, saya

juga dari keluarga yang ekonominya

kurang mas,

(P1,115-119)

“Ada sih mas soalnya suami saya kan kerja
sendiri, jadi penghasilanya pas-pasan, kami juga
nda punya

askes mas” (P2, 104-106)

Salah satu yang mengahambat pasien yaitu
latar

belakang

ekonomi

yang

kurang

misalnya dalam hal biaya pemeriksaan lainlain,

karena

kebanyakan

mereka

tidak

memiliki akses, tapi kalau untuk obat
mereka mendapatkan secara gratis P3 (28)

43

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
kedua partisipan mempunyai masalah dalam hal
biaya dikarenakan kedua partisipan mempunyai latar
belakang ekonomi yang kurang serta tidak memiliki
askes

untuk

melakukan

pengobatan.

Hal

itu

disebabkan karena kedua patisipan sudah tidak
mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mempunyai
penghasilan sendiri. Sehingga kedua partisipan
hanya bergantung kepada keluarga terdekat untuk
proses

biaya

pengobatan

dan

biaya

untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan
triangulasi

sumber

yang

menyatakan

bahwa

ekonomi mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita
TB MDR untuk melakukan pengobatan, dikarenakan
kebanyakan

pasien

MDR

yang

berobat

tidak

memiliki askes sehingga mereka harus membayar
biaya lain seperti rontgen, pemeriksan dahak, dan
lain-lain.

Meskipun

mereka

mendapatkan

obat

secara gratis dari pemerintah.
Dari pernyataan diatas peneliti berpendapat
bahwa

status

seseorang

ekonomi

dalam

dapat

melakukan

mempengaruhi

pengobatan.

Hal

44

tersebut disebabkan karena mengalami penurunan
kondisi

tubuh

yang

dialami,

menyebabkan

ketidakmampuan bekerja seperti biasanya

dan

berdampak pada penghasilan. Sehingga hanya
bergantung

kepada

keluarga

dalam

biaya

pengobatan seperti rotgen, dan pemeriksaan lainya
dan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
4.2.4 Jarak yang jauh
Kata Kunci
Sebenarnya iya
mas, disana
kan lebih dekat
dengan
puskesmas
lagian suami
saya kan kerja
kalau pagi P2
(130-134)

Kategori
Akses
pelayanan
yang jauh
serta tidak
tersedianya
sarana
transportasi

Sub Tema
Akses
pelayanan
kesehatan

Tema
Jarak yang jauh

Menurut hasil wawancara, P2 memilki
kendala ketika menuju Rumah sakit. Hal tersebut
disebabkan jarak dari rumah menuju kerumah sakit
yang jauh ± 69,3 km. Hal ini sesuai dengan
pernyataan kedua riset partisipan, yaitu:

45
“Eemm nda sih mas,soal e jarak dari rumah
kalo

mau kerumah sakit kan deket mas, nda

terlalu jauh” ( P1, 128-131)
“Sebenarnya ia mas, soalnya kalo dari
semarang sini lumayan jauh mas e, itu pun
kalo nda macet dijln” (P2-130-134).
“iya mas kebanyakan rumah mereka jauhjauh itu menyebabkan mereka malas” P3
(67-70)
Akses

pelayanan

kesehatan

merupakan

keterjangkauan tempat yang berhubungan dengan
lokasi sarana pelayanan kesehatan. P2 mengatakan
mempunyai kendala dalam mengakses pelayanan
kesehatan dikarenakan jarak yang ditempuh ± sejauh
69,3 km dari rumah partisipan menuju rumah sakit.
Semakin jauh jarak antara tempat tinggal dengan
tempat kegiatan akan semakin menurunkan motivasi
seseorang dalam melakukan aktivitas.
P3 (Triangulasi Sumber) mengatakan bahwa
akses pelayanan yang jauh dari rumah menjadi
penyebab untuk tidak patuh sehingga menyebabkan
rasa malas dari penderita.

46

Dari pernyataan di atas, peneliti berpendapat
bahwa jarak yang jauh dari salah satu faktor
mempengaruhi

seseorang

dalam

melakukan

pengobatan. Dengan demikian, jarak tempuh yang
jauh akan menurunkan motivasi seseorang dalam
melakukan pengobatan ke rumah sakit sehingga
dapat menimbulkan rasa malas dalam melakukan
pengobatan.
4.2.5 Pengawasan minum obat
Kata Kunci
Iya saya
diawasi, Ooh
kalau itu tidak
pernah mas,
soalnya saya
kalau berobat
di RSPAW
Salatiga cuman
minum obat aja
P1 (87-135)

Kategori
Pengontrolan
yang
dilakukan oleh
petugas
atapun
keluarga

Sub Tema
Petugas
kesehatan
yang
mengawasi
minum obat.

Tema
Pengawasan
minum obat

Pengawasan minum obat merupakan kegiatan
yang dilakukan untuk menjamin kepatuhan penderita
untuk minum obat secara teratur sesuai dengan dosis
dan jadwal yang sudah ditetapkan, tetapi kedua
partisipan memilki perbedaan dalam pengawasan

47

minum obat, hal tersebut sesuai dengan pernyataan
kedua partisipan, sebagai berikut:
“Iya saya diawasi, Ooh kalau itu tidak pernah
mas, soalnya saya kalau berobat di RSPAW
Salatiga cuman minum obat aja “ P1 (87-135)
“Kalau di RSPAW Salatiga saya diawasi
kalau minum obat mas, beda kaya di BKPM
Semarang kalau disana kita ambil ambil obat
untuk sekian hari

dan

minum obatnya

dirumah terus diawasi sama suami” P2 (8892)
“Perlu diketahui bahwa obat MDR boleh
dibawa pulang oleh pasien tetapi dengan
syarat

persetujuan

dari

petugas

dan

keluarga. Makanya disitu ada kerja sama
rumah sakit satelit atau puskesmas yang
menjadi rujukan untuk pasien MDR” P3 (5461)
Peran pengawasan minum obat tidak sepenuhnya
diawasi oleh petugas kesehatan. Namun melibatkan
pihak keluarga penderita agar mampu memotivasi
penderita ketika mengonsumsi obat Anti Tuberkulosis

48

(OAT).

Pengawasan

minum

obat

(PMO)

juga

berfungsi untuk mencegah terjadinya putus berobat
P1 menyatakan setiap kali penderita minum obat di
RSPAW

Salatiga

selalu

diawasi

oleh

petugas

kesehatan, sedangkan P2 mengatakan ketika dia
menjalani pengobatan di RSPAW Salatiga selalu
diawasi oleh petugas. Namun saat para partisipan
berobat di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)
Semarang,

mereka

mendapatkan

menyatakan

perhatian

dari

bahwa

petugas

kurang

pengawas

minum obat. Partisipan mengungkapkan bahwa obat
selalu dibawa kerumah dan yang menjadi pengawas
minum

obat

adalah

suami.

Partisipan

juga

menyatakan bahwa ketika melakukan pengobatan di
BKPM. Petugas dari BKPM menyarankan agar obat
anti tuberkulosis (OAT) diminum dirumah, dikarenakan
minimnya petugas yang mengawasi minum obat
sehingga P2 diputuskan untuk minum obat dirumah
dan diawasi oleh suami
Menurut

P3

mengatakan

setiap

kali

pasien

mengkonsumsi obat MDR, obat tersebut boleh dibawa
pulang atas persetujuan petugas dan keluarga,
didalam

lembar.

persetujuan

tersebut

petugas

49

kesehatan menunjuk salah satu anggota keluarga
yang bersedia mengawasi penderita dalam minum
obat ketika dirumah. Pengawasan yang dilakukan oleh
keluarga hanya sementara. Tujuan dari pengawasan
yang dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat agar
mampu memberikan dorangan atau motivasi kepada
penderita agar mampu menyelesaikan pengobatan
sampai tuntas dan mencegah terjadinya putus dalam
berobat.
Dari

pernyataan

diatas

peneliti

berpendapat

bahwa pengawasan minum obat (PMO) sangat
penting dalam memotivasi pasien untuk mengonsumsi
obat OAT dan memantau proses pengobatan.
4.2.5 Dukungan sosial pada pasien penderita TB MDR
Kata Kunci
Mereka selalu
memberikan
semangat dan
motivasi buat
saya, soalnya
mereka selalu
mengingatkan
saya untuk
minum obat P1
(143-145)

Kategori
Dukungan
serta motivasi
dari keluarga
adalam
proses
pengobatan

Sub Tema
Keluarga

Tema
Dukungan
keluarga pada
penderita TB
MDR

50

Kedua partisipan mendapat dukungan penuh dalam
menjalani proses pengobatan. Hal itu didukung oleh
pernyataan kedua dan P3 (Triangulasi Sumber)
partisipan selama menjalani proses pengobatan.
“Mereka

selalu

memberikan

semangat dan motivasi

buat

saya,

soalnya mereka yang memberikan
biaya pengobatan saya, mereka
selalu

mengingatkan

saya

juga
untuk

minum obat“ (P1,143-47)
“Yah paling pertama dari suami saya,
pertama

dia

berhenti bekerja,

menyuruh

saya

untuk

Ada, dia bilang kamu

berhenti bekerja terus

kamu

soalnya kasian anak mu ni lo

berobat
masih

kecil, mereka masih membutuhkan ibu,
sih bapak juga selalu mengingatkan
saya jangan lupa minum obat pokoknya gitu
lah

mas” (P12, 155-159)
“ya yang pertama itu motivasi kepada
pasien, terus melibatkan keluarga” P3
(69-71)

51

Kedua partisipan mengatakan bahwa tidak
ada

masalah

dengan

keluarga

dalam

proses

pengobatan, kedua partisipan selalu mendapat
dukungan untuk sembuh, P1 dan P2 mengatakan
dukungan

merupakan

memberikan

salah

semangat

satu

untuk

faktor

partisipan

yang
dalam

menghadapi dan melakukan pengobatan sampai
selesai. Selain itu juga P3 berpendapat bahwa untuk
membantu proses pangobatan pasien dalam jangka
panjang

yaitu

motivasi

dari

keluarga

yang

merupakan orang terdekat pasien dengan tujuan
mampu memberikan semangat agar menyelesaikan
pengobatan sampai tuntas.
Dari pernyataan ditatas peneliti berpendapat
bahwa

dukungan

atau

motivasi

dari

keluarga

merupakan hal yang penting dalam membantu
penderita menyelesaikan pengobatan. Motivasi yang
diberikan orang terdekat bertujuan agar penderita
mampu bersikap patuh dalam menyeleasaikan
pengobatan sampai selesai.

52
4.3. Hasil Data Pendukung
4.3.1 Data Pendukung Observasi
a. Observasi Riset Partisipan P1 dan P2
Pada saat peneliti melakukan observasi rumah
kedua partisipan, peneliti melihat kondisi rumah kedua
partisipan sangat kekurangan ventilasi udara dikamar,
seperti kamar kedua partisipan yang tidak mempunyai
ventilasi

udara,

sehingga

kurang

mendapatkan

pencahayaan pada siang hari. Hasil data-data

pada

saat peneliti melakukan observasi seperti ruang tamu,
kamar, terlampir dihalaman lampiran.
4.4 Pembahasan
Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mengatahui

faktor

penyebab TB MDR di RSPAW Salatiga. Dalam penelitian ini
ditemukan bahwa sebagain besar dari kedua partisipan memiliki
faktor penyebab yang sama terkait dengan TB MDR, untuk
mengetahui faktor penyebab TB MDR akan dirangkum dalam
enam tema besar yang akan dibahas oleh peneliti, yaitu : (1)
Pengetahuan, (2) Sikap, (3) Ekonomi Rendah, (4) Jarak yang
jauh , (5) Pengawasan minum obat, (6) Dukungan Keluarga
pada penderita TB. Keenam tema tersebut telah ditentukan oleh

53

peneliti berdasarkan tujuan penelitian untuk mencari tahu faktor
penyebab TB MDR di RSPAW Salatiga.
4.4.1 Pengetahuan
Berdasarkan analisa hasil penelitian diketahui
bahwa kedua partisipan memiliki pengetahuan yang
kurang tentang penyakit TB MDR yang mereka derita,
pengetahuan tersebut didapatkan setelah mendapatkan
penjelasan dari petugas kesehatan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Maesaroh
(2009), bahwa kurangnya pengetahuan penderita dapat
menyebabkan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB
serta dapat kambuh dengan kuman yang resisten
terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). P1 dan P2
mengatakan

bahwa

sebelumnya

mereka

tidak

mengetahui tentang TB MDR. Pengetahuan tersebut
diketahui ketika mendapatkan penjelasan dari tenaga
kesehatan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan

oleh

Erawatyningsih,

dkk

(2012)

yang

mengatakan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang
rendah akan berisiko lebih dari dua kali terjadi kegagalan
pengobatan

dibandingkan

dengan

penderita

yang

54

memiliki pengetahuan tinggi. Ketidakpatuhan pengobatan
ini meliputi keteraturan pengobatan, pemeriksaan dahak
ulang pada akhir pengobatan fase awal dan satu bulan
sebelum akhir pengobatan fase lanjutan. Kepatuhan
adalah kesesuaian antara perilaku pasien dengan
ketentuan yang diberikan obat sesuai jangka waktu yang
ditentukan dan rutin kontrol ke instansi kesehatan.
Peneliti
pengetahuan

berpendapat
tentang

TB

bahwa
akan

kurangnya
menyebabkan

keterlambatan dalam pemberian terapi pengobatan dan
mengakibatkan

resistance

terhadap

obat

anti

tuberkulosis. Dalam penelitian terdahulu didapati bahwa
pengetahuan pasien berkaitan erat dengan kepatuhan
berobat.

Pengetahuan

yang

kurang,

tentu

saja

berpengaruh pada saat pasien melakukan pengobatan.
Sedangkan pengetahuan, dalam penelitian ini peneliti
mendapati bahwa begitu minimnya pengetahuan pasien
akan penyakit yang dideritanya. Hal ini dikarenakan
kurangnya pendidikan kesehatan yang diberikan, seperti
penyuluhan tentang TB khusunya TB MDR baik di rumah
sakit ataupun puskesmas. Pengetahuan pasien sebelum
terdiagnosa MDR hanyalah pengetahuan umum tentang
TB. Kurangnya pengetahuan tersebut menyebabkan

55

pasien terkena TB MDR. Sehingga membutuhkan waktu
yang lama dalam melakukan proses pengobatan dan
harus melakukan pengobatan dari tahap awal.
4.6.1 Sikap
Dari

hasil

penelitian

menunjukan

bahwa

P2

mengungkapkan beberapa alasan yang mempengaruhi
perilaku

pengobatan

yaitu

setelah

mendapatkan

pengobatan dan merasakan gejala dan kondisi fisik mulai
membaik sehingga menyebabkan untuk memberhentikan
pengobatan. Merujuk pada teori Green, (2005) yang
menyatakan bahwa, sikap merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya suatu perilaku seseorang bersikap
negatif atau kurang setuju terhadap suatu pengobatan,
akan mendorong penderita tersebut untuk berperilaku
tidak patuh dalam berobat ulang maupun dalam hal
minum obat. Hal ini juga didukung oleh Zoebir (1997)
dalam Rosiana (2013). Perilaku berobat akan terjadi
bila

hilangnya

merupakan
sehingga

atau kurangnya

ukuran
penderita

kesembuhan

gejala

penyakit,

bagi

penderita

menghentikan pengobatannya.

Disamping hal tersebut, berat atau ringannya gejala
penyakit mempengaruhi kepatuhan penderita berobat.

56

Selain dikarenakan gejala penyakit mulai membaik atau
berkurang ada hal lain yang menyebabkan perilaku tidak
patuh dalam berobat yaitu efek samping obat.
P1

dan P2

mengatakan salah satu yang

membuat mereka memberhentikan pengobatan jangka
panjang yaitu karena tidak kuat dengan efek samping
OAT yang diminum, karena setelah mengkonsumsi obat
mereka selalu berimajinasi dan kadang sampai hilang
kesadaran. Pendapat ini berkaitan dengan Safarino
(1990) dalam Maesaroh (2009), mengatakan bahwa
ketidakpatuhan menelan obat dapat menurunkan efek
samping obat. Dapat diartikan ketidakpatuhan dalam
menelan obat bisa berawal dari adanya efek samping
obat yang dirasakan, tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Erawatyningsih, dkk
(2012) bahwa ada pengaruh signifikan antara efek
samping obat dengan ketidakpatuhan berobat penderita
TB paru. Hasil penelitian ini menunjukkan, adanya
keterkaitan antara keluhan penderita dengan kepatuhan
penderita untuk berobat. Dengan kata lain, semakin
banyak keluhan penderita sebagai akibat dari efek
samping obat, maka semakin besar kemungkinan
penderita tidak patuh untuk berobat.

57

Pada umumnya gejala efek samping obat yang
ditemukan pada penderita adalah sakit kepala, mualmual, muntah serta sakit sendi tulang. Gejala efek
samping OAT dapat terjadi pada fase awal pengobatan.
Hal ini juga didukung oleh teori Notoadmojo (2007)
yang

mengatakan

bahwa

sikap

merupakan

faktor

predisposisi untuk terjadinya suatu perilaku seseorang,
sikap

negatif

pengobatan

atau
akan

kurang

setuju

mendorong

terhadap

penderita

suatu

tersebut

berperilaku tidak patuh dalam berobat.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, perilaku
kedua partisipan tergambar dalam sebuah sikap tidak
patuh. Sikap tidak patuh tersebut meliputi kebiasaan
merokok dan mengabaikan perintah dokter. Kebiasaan
merokok tersebut bagi peneliti merupakan sebuah sikap
negative atau kurang setuju yang diperlihatkan partisipan
baik secara tidak sadar maupun sengaja terhadap suatu
pengobatan. Sikap seperti ini akan mendorong perilaku
tidak patuh dalam berobat, karena meskipun telah
dilarang, partisipan tetap saja melakukan kebiasaan
tersebut. Selain itu, sikap tidak patuh yang kedua adalah
anggapan bahwa telah sembuh juga dilakukan partisipan

58

dan menghentikan pengobatan yang tidak sesuai dengan
anjuran dokter. Padahal, kesembuhan seorang pasien
ditentukan melalui pemeriksaan medis terhadap penyakit
yang diderita pasien.
Selain itu juga yang menyebabkan perilaku tidak
patuh disebabkan efek samping Obat anti tuberkulosis
(OAT) yang diminum, OAT yang diminum setiap hari
menimbulkan banyak keluhan dari penderita seperti
mual, hilangnya nafsu makan, dan hilangnya kesadaran
seperti yang dialami oleh partisipan kedua. Sehingga
menimbulkan rasa khawatir ketika mengkonsumsi OAT.
4.6.3 Ekonomi Rendah
Pada penelitian ini peneliti mendapatkan satu
masalah yang mempengaruhi ketidakpatuhan dalam
pengobatan TB MDR yaitu ekonomi. Berdasarkan hasil
wawancara

dari

kedua

partisipan,

P1

dan

P2

menyatakan bahwa setelah terdiagnosis TB MDR
mereka tidak mempunyai penghasilan tetap dan hanya
bergantung kepada keluarga untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari serta tidak mempunyai askes. Sehingga harus
menggunakan
pemeriksaan

biaya
seperti

sendiri
rontgen,

untuk
dahak

melakukan
serta

biaya

59

transportasi.

Hal

ini

sejalan

dengan

penelitian

Erawatyningsih,dkk (2012) yang mengatakan bahwa ada
pengaruh

signifikan

antara

pendapatan

terhadap

ketidakpatuhan berobat pada penderita TB. Pendapatan
yang

rendah

dapat

menyababkan

ketidakpatuhan

penderita dalam berobat. Penderita TB paling banyak
menyerang masyarakat yang berpenghasilan rendah,
sehingga dalam pengobatan TB selain penghasilannya
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, mereka
harus mengeluarkan biaya transportasi untuk berobat di
puskesmas. Hal ini yang menyebabkan mereka tidak
patuh dalam pengobatan. Disisi lain sosial ekonomi juga
mempengaruhi kemampuan pembiayaan dalam bidang
kesehatan karena masih terfokus kebutuhan pokoknya.
Peneliti

berpendapat

mempengaruhi

bahwa

status

ekonomi

dalam melakukan pengobatan. Hal

tersebut dikarenakan kedua partisipan karena tidak
mempunyai pengasila serta tidak mempunyai askes. Hal
tersebut yang menyebabkan penderita TB MDR tidak
patuh dalam melakukan pengobatan karena masih
terfokus untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga
hanya bergantung kepada keluarga untuk memenuhi
kebutuhan

sehari-hari

dan

biaya

untuk

kontrol,

60

pemeriksaan rotgen, pemeriksaan dahak, dan biaya
kehidupan sehari-hari dipenuhi oleh keluarga.
4.6.4 Jarak yang jauh
Pada penelitian ini, ditemukan juga faktor lain yang
menyebabkan tidak patuh dalam minum obat dan
melakukan pemeriksaan. Hal itu diungkapkan P2
mengatakan bahwa selain faktor pengetahuan, perilaku,
dan ekonomi, Salah satu faktor yang menghambat
dalam proses pengobatan menuju puskesmas ataupun
rumah sakit, adalah jarak yang jauh. Menurut P2 jarak
rumah yang lumayan jauh dari akses pelayanan
kesehatan seringkali muncul sikap malas berobat.
Pernyataan diatas berkaitan dengan pendapat Astuti
(2008)

yang

mengatakan

bahwa

kesulitan akses

pelayanan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak
adanya kemampuan sarana ekonomi dikarenakan biaya
kesehatan yang mahal, kondisi geografis yang sulit
untuk

menjangkau

sarana

kesehatan.

Peneliti

berpendapat semakin jauh jarak yang ditempuh oleh
penderita dalam mengakses pelayanan kesehatan maka
akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan

61

dan akan menimbulkan sikap malas untuk melakukan
pengobatan.
4.6.5 Pengawasan minum obat
Menurut Depkes RI (1999) PMO (Pengawas Minum
Obat) adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya
untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam
meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa
berasal dari keluarga, tetangga, kader atau tokoh
masyarakat atau petugas kesehatan.
Pengawasan minum obat merupakan kegiatan yang
dilakukan

untuk

menjamin

kepatuhan

penderita

penderita untuk minum obat sesuai dengan dosis dan
jadwal

yang

penelitian,

telah

ada

ditetapkan.

perbedaan

P1

Berdasarkan
dan

P2

hasil
dalam

pengawasan minum obat dimana P1 selalu diawasi oleh
petugas Kesehatan. Sedangkan P2 diawasi oleh suami.
Dalam prakteknya, P2 selalu teratur minum obat
dikarenakan ada pengawasan dari suami yang sering
mengontrol serta mengingatkan jadwal meminum obat di
rumah.
Hal ini juga didukung oleh WHO (1998) dalam
Maesaroh (2009), mendefinisikan PMO (pengawasan

62

minum obat) adalah orang pertama yang selalu
berhubungan

dengan

pasien

sehubungan

dengan

pengobatannya. PMO bertugas untuk mengingatkan
agar pasien meminum obat, mengawasi sewaktu
menelan obat, membawa pasien untuk kontrol secara
berkala, dan menolong pada saat ada efek samping. Hal
ini juga didukung oleh teori Mangunnegoro dan
Suryatenggoro

(1994)

bahwa

dalam

pengawasan

pengobatan, petugas harus mengikut sertakan keluarga
supaya pasien dapat berobat secara berkelanjutan.
Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil
yang besar dalam meningkatkan kepatuhan penderita.
Namun demikian, peneliti berpendapat bahwa tidak
menutup

kemungkinan

terjadi

kegagalan.

Hal

ini

dikarenakan faktor yang mempengaruhi kesembuhan
TB tidak hanya dari kinerja PMO saja melainkan dari
faktor pasien, faktor lingkungan serta kepatuhan untuk
minum obat dan pemeriksaan rutin untuk memantau
perkembangan pengobatan. Faktor lingkungan yang
bersih sangat terkait dengan keberadaan kuman dan
proses timbul serta penularan. Faktor perilaku sangat
berpengaruh pada kesembuhan yang dimulai dari
perilaku sehat, makan makanan yang bergizi hindari

63

rokok dan alkohol. Hal ini didukung oleh Kulsum (2014),
menyatakan bahwa pengawas menelan obat merupakan
faktor eksternal yang ada di lingkungan individu yang
akan berpengaruh terhadap menyelesaikan seluruh
pengobatannya hingga tuntas, mengingat jangka waktu
pengobatan yang cukup lama sehingga berpotensi
terhadap ketidakteraturan dalam pengobatan.
4.6.6 Dukungan keluarga pada pasien penderita TB MDR
Hasil

penelitian

ini

juga

menunjukan

bahwa

dukungan keluarga tidak ada pengaruh terhadap
kepatuhan dalam menjalani pengobatan, dikarenakan
P1 dan P2 selalu mendapatkan motivasi dan dukungan
dari keluarga untuk dapat menyelesaikan pengobatan
secara tuntas.
Friedman

(1998)

dalam

dhewi,

dkk

(2012)

mengungkapkan bahwa keluarga memiliki peran seperti
memberikan
sesuatu

dukungan

untuk

berhubungan

dan

mengajarkan

mempersiapkan
dengan

orang

segala

anggota

keluarga

lain

dalam

mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga
agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Sedangkan
menurut Iriyanto dalam (Maesaroh) 2009, sikap keluarga

64

terhadap penderita merupakan faktor penguat agar tetap
berperilaku patuh dalam menjalankan pengobatan. Ini
berarti bahwa sikap keluarga merupakan motivasi untuk
mendorong penderita dalam melakukan pengobatan
serta meningkatkan kepatuhan berobat.
Dalam penelitian ini peneliti berpendapat
bahwa dukungan dari keluarga sangat mempengaruhi
tingkat keberhasilan keluarga, Hal ini dikarenakan saat
menjalani

proses

pengobatan

penderita

sangat

membutuhkan orang terdekat seperti keluarga, ataupun
suami untuk memberikan dorongan atau motivasi
selama

menjalani

proses

pengobatan,

sehingga

mendukung perilaku untuk patuh dalam menyelesaikan
pengobatan sampai tuntas.
4.5 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak semua rumah
sakit melayani pasien TB MDR, dan jumlah penderita MDR
juga terbatas. Hal ini menyebabkan sangat spesifiknya kasus
tersebut, yang berimplikasi pada jumlah partisipan yang
sesuai dengan kriteria peneliti sangat terbatas. Kemudian,
faktor lingkungan menjadi salah satu faktor yang menjadi
keterbatasan peneliti. Hal itu disebabkan karena peneliti tidak

65

melakukan penelitian mengenai lingkungan penderita TB
MDR. Sehingga peneliti tidak bias menggali informasi lebih
mendalam dari partisipan tentang faktor penyebab TB MDR.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24