Hubungan Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being pada Pelayan Khusus di GBKP

BAB II
LANDASAN TEORI
A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
1. Definisi
Menurut Ryff (dalam Bianca, 2012), konsep psychological wellbeing (PWB) secara teoritis didasarkan dan bersumber dari terori awal
dalam psikologi perkembangan dan psikologi klinis. Teori tersebut
menekankan potensi individu untuk hidup yang berarti dan realisasi
diri dalam menghadapi tantangan. PWB melihat bagaimana individu
berusaha mencapai tujuan yang bermakna, tumbuh dan berkembang
serta mengembangkan hubungan yang berkualitas dengan seksama.
Ryff (dalam Bianca, 2012) mengatakan bahwa, secara
psikologis manusia memiliki sikap positif terhadap diri dan orang lain.
Mereka mampu membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah
laku mereka, serta mereka mampu memilih dan membentuk
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap orang
memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya, dan mereka berusaha
untuk menggali dan mengembangkan diri mereka semaksimal
mungkin.
Menurut Ryff (1989), well-being tidak hanya terdiri dari efek
positif, efek negatif, dan kepuasan hidup, melainkan paling baik
dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensi yang terdiri dari sikap

hidup. Ryff membuat skala dari psychological well-being berdasarkan
11

Universitas Sumatera Utara

12

pada sebuah integrasi dari kesehatan mental, klinis, dan teori
perkembangan rentang kehidupan.
2. Dimensi Psychological Well-Being
Menurut Ryff (1995), psychological well-being memiliki enam
dimensi, yaitu:
a. Penerimaan Diri (Self-acceptance)
Menurut Ryff, penerimaan diri tidak hanya mencakup
adanya sikap positif terhadap diri sendiri, akan tetapi juga
penerimaan terhadap kualitas baik dan kualitas buruk dalam
diri seseorang, termasuk juga perasaan positif terhadap masa
lalu. Hal ini merupakan ciri kesehatan mental dan juga
karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi
secara optimal dan matang. Kemampuan untuk bersikap positif

terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani menandakan
psychological well-being yang tinggi.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with
other)
Ryff (dalam Birren, 1980), mengatakan bahwa menjadi
seseorang yang memiliki kesehatan mental pada umur
berapapun dibutuhkan kemampuan untuk berhubungan dengan
orang lain dalam memberi dan membangun hubungan.
Kemampuan tersebut untuk meningkatkan hubungan positif
dengan orang lain. Individu yang mencapai aktualisasi diri

Universitas Sumatera Utara

13

memiliki perasaan yang kuat mengenai empati dan kasih
sayang terhadap semua manusia serta mampu untuk menjalin
hubungan cinta yang lebih baik, persahabatan yang lebih
dalam, dan identifikasi yang lebih lengkap dengan orang lain.
Ryff (dalam Birre, 1980), mengemukakan bahwa ciri

individu yang memiliki skor yang baik dalam hubungan
dengan orang lain adalah orang yang memiliki kehangatan,
kepuasan, dan hubungan kepercayaan dengan orang lain,
peduli mengenai kesejahteraan orang lain, mampu berempati,
intimacy, serta memahami konsep memberi dan menerima
dalam hubungan manusia.
c. Otonomi (Autonomy)
Menurut Ryff, otonomi merupakan keadaan dimana
seseorang mengatur nasib mereka sendiri, independen, mampu
untuk mengatur perilaku, dan dapat mengambil keputusan
sendiri. Karakteristik individu yang memiliki otonomi yang
baik adalah self-determining dan independen, mampu bertahan
terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan
cara tertentu, mengulasi tingkah laku dari dalam diri, dan
memiliki standar personal untuk mengevaluasi.
d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu
untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok

Universitas Sumatera Utara


14

dengan kondisi psikis individu yang merupakan karakteristik
dari kesehatan mental. Selama perkembangan hidup, manusia
membutuhkan

kemampuan

untuk

memanipulasi

dan

mengendalikan lingkungan. Perspektif ini menunjukkan bahwa
partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan hal
yang penting dalam kerangka kerja fungsi positif psikologi.
Memiliki penguasaan dan kompetensi dalam mengatur
lingkungannya, dapat mengendalikan situasi eksternal yang

kompleks, dapat menggunakan kesempatan di lingkungan
secara efektif, mengenali lingkungan, serta mampu untuk
memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
nilai-nilai dan kebutuhan ppersonalnya merupakan karakteristik
individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik.
e. Tujuan Hidup (Purpose in Llife)
Dalam dimensi ini menjelaskan bahwa kesehatan mental
melibatkan keyakinan yang memberikan individu perasaan
adanya

tujuan

yang

berarti

dalam

hidupnya.


Definisi

kematangan juga menekankan pemahaman yang jelas tentang
tujuan hidup, rasa ingin mengarahkan, dan intensionalitas. Ryff
mengemukakan bahwa karakteristik individu yang memiliki
skor yang tinggi adalah memiliki tujuan yang jelas dan terarah,
merasakan makna kehidupan sekarang dan masa lalu, serta
memegang keyakinan dalam hidupnya. Sebaliknya, individu

Universitas Sumatera Utara

15

yang memiliki skor yang rendah cenderung hanya memiliki
sedikit tujuan, tidak terarah, serta tidak mengetahui tujuan dan
makna dalam hidupnya.
f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)
Dinamika ini merupakan kebutuhan untuk mengoptimalkan
fungsi psikologis tidak hanya meningkatkan karakteristik
sebelumnya, tetaoi juga terus mengembangkan potensi untuk

terus berkembang sebagai pribadi. Menurut Ryff, individu yang
memiliki skor yang tinggi adalah individu yang memiliki
keinginan untuk selalu berkembang, melihat diri sebagau
pribadi yang terus tumbuh, terbuka terhadap pengalaman baru,
menyadari potensi diri, kemajuan diri, dan tingkah laku setiap
saat,

serta

melakukan

perubahan

yang

merefleksikan

pemahaman diri serta efektivitas.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Faktor-faktor


yang

mempengaruhi

psychological

well-being

seseorang, antara lain (Ryff, 1995):
1. Faktor Demografis
Beberapa

faktor

demografis

yang

mempengaruhi


psychologicall well-being antara lain, sebagai berikut:
a. Usia
Ryff mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi
perbedaan dalam dimensi-dimensi psychological well-being.

Universitas Sumatera Utara

16

Dalam penelitiannya, Ryff menemukan bahwa dimensi
penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami
peningkatan seiring bertambahnya usia. Dimensi hubungan
positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring
bertambahnya usia. Namun, dimensi tujuan hidup dan
pertumbuhan

pribadi

memperlihatkan


penurunan

seiring

bertambahnya usia.
b. Jenis Kelamin
Penelitian Ryff menemukan bahwa dibandingkan pria,
wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan
yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan
pribadi.
c. Status Sosial Ekonomi
Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi
psychological

well-being

seorang

individu.


Data

yang

diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study (dalam Ryff,
1995) memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi well-being
pada dewasa madya. Data tersebut memperlihatkan bahwa
pendidikan

tinggi

dan

status

pekerjaan

meningkatkan

psychological well-being, terutama pada dimensi penerimaan
diri dan dimensi tujuan hidup.

Universitas Sumatera Utara

17

d. Budaya
Penelitian mengenai psychological well-being (dalam Ryff,
1995) yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan
menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor
yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang
lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal
ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat
kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden
Amerika

memiliki

skor

yang

tinggi

dalam

dimensi

pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi
tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang
rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita.
2. Dukungan Sosial
Menurut Davis (dalam Pratiwi, 2000), individu-individu yang
mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological wellbeing yang lebih tinggi. Dukungan sosial dapat diartikan sebagai
rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang
dipersepsikan oleh seorang individu yang di dapat dari orang lain
atau kelompok. Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber,
diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter,
maupun organisasi sosial.
Terdapat empat jenis dukungan sosial (Ryff, dalam Sarafino,
1990), yaitu:

Universitas Sumatera Utara

18

a. Dukungan Emosional (Emotional Support)
Dukungan emosi melibatkan empati, kepedulian, dan
perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan
rasa nyaman, aman, dimiliki, dan dicintai pada individu
penerima, terutama pada saat-saat stres.
b. Dukungan Penghargaan (Esteem Support)
Dukungan penghargaan muncul melalui pengungkapan
penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan
terhadap pemikiran atau perasan, dan juga perbandingan
yang positif antara individu dengan orang lain. Dukungan
ini membangun harga diri, kompetensi, dan perasaan
dihargai.
c. Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support)
Dukungan

ini

melibatkan

tindakan

konkrit

atau

memberikan pertolongan secara langsung.
d. Dukungan Informasional (Informational Support)
Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran,
atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang.
3. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Ryff

(dalam

pengalaman
psychological

hidup

Sarafino,

1990)

mengemukakan

bahwa

tertentu

dapat

mempengaruhi

kondisi

well-being

seorang

individu.

Pengalaman-

Universitas Sumatera Utara

19

pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dalam
berbagai periode kehidupan.
4. Locus of Control (LOC)
Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan
umum seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap
penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu.
5. Faktor Religiusitas
Penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan
oleh Ellison dan Levin (dalam Bianca, 2012) menemukan
hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being.
Mereka menemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi
psikososial dari agama, antara lain: doa dapat berperan penting
sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, partisipasi
aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi
rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, dan
keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.

B. PERILAKU PROSOSIAL
1. Definisi
Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented)
dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu
keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku prososial menurut
William (dalam Dayakisni, 2003) yaitu perilaku yang memiliki intensi

Universitas Sumatera Utara

20

untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari
kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara mental maupun
psikologis. Bringham (dalam Dayakisni, 2003) menyatakan bahwa
perilaku prososial mempunyai maksud menyumbang kesejahteraan
orang lain, dengan kedermawaan, persahabatan, kerjasama, menolong,
menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku
prososial.
Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan perilaku prososial
sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain
tanpa harus menyediakan suatu manfaat langsung kepada orang yang
melakukan tindakan menolong tersebut, dan bahkan mungkin
memberikan resiko bagi orang yang menolong.
Dividio (dalam Franzio, 2009) mengungkapkan bahwa perilaku
prososial adalah perilaku yang dengan sukarela bertujuan untuk
menolong orang lain. Perilaku prososial juga dikatakan lebih
mendasar,

yang

artinya

tindakan

tersebut

bermaksud

untuk

memperbaiki situasi si penerima pertolongan, tindakan tersebut tidak
dimotivasi oleh penyempurnaan tanggung jawab profesional, dan
penerima adalah orang dan bukan organisasi.
Prososial diartikan sebagai suatu tindakan heroik dengan tujuan
untuk menolong orang lain. Definisi dalam konteks psikologi sosial
menyebutkan definisi prososial sebagai tindakan menolong yang
menguntungkan

orang

lain

tanpa

harus

menyediakan

suatu

Universitas Sumatera Utara

21

keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut
(Edwina, 2002).
Dari beberapa pendapat para ahli tentang perilaku prososial
diatas, maka ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perilaku
prososial dalam konteks penelitian ini adalah membantu orang lain
dengan cara meringankan beba fisik atau psikologi orang tersebut,
memperhatikan

kesejahteraan

orang

lain

tanpa

memikirkan

kepentingan sendiri (tanpa mengharapkan imbalan), dan ikut
menyokong dengan tenaga dan pikiran.
2. Faktor-faktor Penentu Perilaku Prososial
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain
(Baron, 2006):
a. Faktor internal, terdiri dari guilt dan mood.
b. Faktor eksternal, terdiri dari social norms, number of bystanders,
time pressures, dan similarity.
c. Faktor karakteristik penolong (helpers dispositions), terdiri dari
personality trait, gender, dan religius faith.
Menurut Sarwono dan Meinarno (2009) mengungkapkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu:
a. Pengaruh Faktor Situasional
1. Bystander
Orang-orang yang berada di sekitar kejadian mempunyai peran
sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan

Universitas Sumatera Utara

22

antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan
darurat.
2. Daya Tarik
Seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya
tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan
bantuan.
3. Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada
orang lain bila ia mengasumsikan bahwa letidakberuntungan
korban adalah di luar kendali korban.
4. Ada model
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat
mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada
orang lain.
5. Desakan waktu
Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong,
sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar
kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang
memerlukannya.
6. Sifat kebutuhan korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa
korban

benar-benar

membutuhkan

pertolongan,

korban

memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan, dan

Universitas Sumatera Utara

23

bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan
bantuan dari orang lain.
b. Pengaruh Faktor dalam Diri
1. Suasana hati
Emosi positif dan emosi negatif mempengaruhi kemunculan
tingkah laku.
2. Sifat
Karakteristik seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan
menolong orang lain.
3. Ada model
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat
mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada
orang lain.
Menurut Sears (2994) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
prososial, antara lain:
a. Faktor situasi, terdiri dari:
1) Kehadiran orang lain
Kehadiran orang lain terkadang dapat menghambat usaha
untuk

menolong,

karena

orang

yang

begitu

banyak

menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung jawab.

Universitas Sumatera Utara

24

2) Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan disebut juga sebagai keadaan fisik,
mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Keadaan fisik ini
meliputi cuaca, ukuran wilayah, dan tingkat kebisingan.
b. Faktor karakteristik penolong, terdiri dari:
1) Kepribadian
Kepribadian setiap individu berbeda-beda , salah satunya
adalah kepribadian individu yang mempunyai kebutuhan tinggi
untuk dapat diakui oleh lingkungannya. Kebutuhan ini akan
memberikan corak yang berbeda dan memotivasi individu
untuk memberikan pertolongan.
2) Suasana hati
Suasana hati yang buruk menyebabkan kita memusatkan
perhatian pada diri kita sendiri yang menyebabkan mengurangi
kemungkinan untuk membantu orang lain.
3) Rasa bersalah
Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila
kita melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan
untuk mengurangi rasa bersalah dapat menyebabkan kita
menolong

orang

yang

kita

rugikan

atau

berusaha

menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang lebih
baik.

Universitas Sumatera Utara

25

4) Distress diri dan rasa empati
Distress diri adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang
lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan
apapun yang dialami. Empatik adalah perasaan simpati dan
perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi
pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan
orang lain.
c. Faktor yang membutuhkan pertolongan, terdiri dari:
1) Menolong orang yang disukai
Individu yang mempunyai perasaan suka terhadap orang lain
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik atau
adanya kesamaan antar individu.
2) Menolong orang yang pantas ditolong
Individu lebih cenderung melakukan tindakan menolong
apabila individu tersebut yakin bahwa timbulnya masalah
berada di luar kendali orang tersebut.
3. Aspek Perilaku Prososial
Carlo dan Randal (2002), mengemukakan 6 aspek perilaku
prososial, yaitu :
a.

Altruism
Perilaku prososial altruistic merupakan motivasi membantu
orang lain terutama yang berhubungan dengan kebutuhankebutuhan dan kesejahteraan orang lain, seringkali disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

26

respon-respon simpati dan diinternalisasikan ke dalam normanorma atau prinsip-prinsip yang tetap dengan membantu orang lain.
Asspek yang mendasari perilaku altruistik adalah adanya
simpati dan internalisasi norma-norma atau prinsip-prinsip
(internalized norms/principles). Empati merupakan reaksi emosi
terhadap suatu hal/situasi. Empati dapat memunculkan simpati dan
personal distress. Personal distress adalah reaksi pribadi terhadap
penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya dan
perhatian terhadap orang lain.
Aspek lainnya yang berkorelasi dengan perilaku altruistik
adalah internalized norms/principles. Orang yang memiliki prinsip
yang tinggi dalam menolong cenderung memiliki kesukaan untuk
memberi manfaat kepada orang lain. Internalized norms merupakan
level tertinggi dari moral reasoning.
b. Compliant
Perilaku prososial compliant merupakan menolong orang lain
sebagai respon terhadap permintaan baik berupa verbal ataupun
nonverbal. Compliant ini lebih sering dilakukan secara spontan.
Individu yang memiliki tingkat compliant yang tinggi berkaitan
dengan approval oriented yang turun dari moral reasoning.
c. Emotional
Perilaku prososial emotional adalah kecenderungan menolong
orang lain atas dasar situasi emosional yang tinggi. Hal ini dapat

Universitas Sumatera Utara

27

dipengaruhi oleh hubungan atau kesamaan. Respon emosional ini
dihubungkan dengan kemampuan regulasi emosi dan perilaku
menolong.
Bagi seseorang, memunculkan perilaku menolong ketika
berada dalam situasi emosional yang tinggi dikarenakan perlunya
untuk mengatasi personal distress. Karena ketika seseorang mampu
memberikan pertolongan kepada orang lain, maka perilaku tersebut
dapat meningkatkan suasana hati seseorang. Bagi yang lainnya,
perilaku muncul dikarenakan adanya dorongan simpati. Namun,
pada umumnya, perilaku prososial yang muncul karena tingkat
emosional yang tinggi berkaitan erat dengan simpati dan otheroriented personal tendencies.
d. Public
Perilaku prososial yang dilakukan di depan orang lain yang
dimotivasi dengan keinginan untuk mendapatkan penerimaan dan
penghormatan

ataupun

pengakuan

dari

orang

lain

serta

meningkatkan harga diri.
Peneliti mengemukakan bahwa perilaku ini didasari oleh selforiented, sehingga mendorong perilaku prososial muncul di depan
banyak orang. Self-oriented ini, perilaku prososial yang dilakukan
di depan orang lain juga berhubungan dengan approval-priented
dan social desirability.

Universitas Sumatera Utara

28

e. Anonymous
Perilaku prososial anonymous didefinisikan sebagai menolong
yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang ditolong.
f. Dire
Dire mengacu pada menolong orang ketika dihadapkan pada
keadaan krisis atau situasi darurat. Perilaku ini sama halnya dengan
perilaku altruistik,, perilaku ini muncul dikarenakan adanya
perasaan empati terhadap seseorang yang sedang membutuhkan
pertolongan.
C. PELAYAN KHUSUS
Dalam Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), memiliki pelayan
khusus yang bertugas sebagai petugas dalam pelaksanaan acara gereja
maupun sebagai pemerhati jemaat di gereja. Pelayan khusus tersebut
adalah Pendeta, Pertua dan Diaken.
1.

Pendeta
Pendeta (yang disingkat Pdt) berstatus sebagai pendeta Gereja
Batak Karo Protestan (GBKP) dan ditempatkan melayani Runggun,
Klasis, dan Sinode serta di luar GBKP. Seseorang yang berhak
menjadi Pdt adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan
minimal sarjana teologi dari perguruan tinggi teologi yang diakui oleh
GBKP. Dalam proses pendidikan, maka seorang calon Pdt akan diajari
mengenai fungsi dan tugas Pdt sebagai gembala, guru, dan juga
pemimpim jemaat. Seorang Pdt memiliki tanggung jawab untuk

Universitas Sumatera Utara

29

memahami dan mematuhi Alkitab, Pengakuan Iman GBKP, dan Tata
Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015).
2.

Pertua
Pertua (yang disingkat Pt) berstatus sebagai pertua GBKP yang
berbasis pada Runggun yang memilihnya. Seorang Pt memiliki masa
jabatan dalam 1 periode adalah selama 5 tahun kecuali diakhiri atau
ditanggalkan. Seseorang yang menjabat sebagai Pt di gereja, harus
memiliki panggilan dalam pelayanan kepemimpinan, menunjukkan
keaktifan dalam kegiatan gereja, memperlihatkan keteladanan dalam
iman dan dalam kehidupan moral sehari-hari serta memiliki karunia
untuk memimpin dan melayani jemaat (dalam Tata Gereja GBKP,
2015).

3.

Diaken
Diaken (yang disingkat Dk) berstatus sebagai diaken GBKP yang
berbasis pada Runggun yang memilihnya. Seorang Dk memiliki masa
jabatan dalam 1 periode adalah selama 5 tahun kecuali diakhiri atau
ditanggalkan. Seseorang yang menjabat sebagai Dk di gereja, harus
memiliki panggilan dalam pelayanan kepada orang-orang yang
menderita,

menunjukkan

keaktifan

dalam

kegiatan

gereja,

memperlihatkan keteladanan dalam iman dan dalam kehidupan moral
sehari-hari serta memiliki karunia untuk memimpin dan melayani
jemaat (dalam Tata Gereja GBKP, 2015).

Universitas Sumatera Utara

30

D. PELAYANAN KHUSUS DI GBKP
1.

Pendeta
Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015),
adapun tugas Pendeta adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan pemberitaan Firman Tuhan.
2. Melayankan sakramen-sakramen.
3. Melayankan sidi, penerimaan, dan penerimaan kembali warga.
4. Menyampaikan berkat Tuhan dengan penumpangan tangan.
5. Melayani kebaktian-kebaktian.
6. Menahbiskan pendeta dengan penumpangan tangan.
7. Menahbiskan atau mengukuhkan pertua dan diaken.
8. Melaksanakan pemberkatan perkawinan.
9. Melaksanakan pendidikan dan pembinaan terutama katekisasi.
10. Memperhatikan dan menjaga ajaran yang berkembang dalam
jemaat agar sesuai dengan Firman Allah dan ajaran GBKP.
11. Melaksanakan tri tugas panggilan gereja, yakni persekutuan,
kesaksian, dan pelayanan.
12. Melaksanakan

kegiatan

lainnya

membantu,

mendukung,

mendirikan, menjadi inspirasi, dan menyediakan fasilitas bagi
pengembangan masyarakat.
2.

Pertua
Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015),
adapun tugas Pertua adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

31

1. Memimpin dan melayani jemaat, bersama-sama dengan pelayan
khusus lainnya.
2. Menjadi pembimbing, pendorong, dan teladan bagi warga gereja
dalam pertumbuhan menuju kedewasaan iman dalam kehidupan
yang bersekutu, bersaksi, dan melayani.
3. Melakukan

perkunjungan

rumah

tangga,

memperhatikan

kesejahteraan jasmani maupun rohani warga gereja, dan
melaporkan kepada Majelis Runggun apabila ada warga yang
perlu dibantu secara khusus.
4. Menyelenggarakan pelayanan kebaktian, pemberitaan firman,
persiapan-persiapan sakramen, persiapan-persiapan pemberkatan
perkawinan, persiapan sidi, penyelanggaraan pendidikan agama,
menilik isis pengajaran yang tidak sesuai dengan pengajaran
GBKP, serta menggembalakan warga gereja.
5. Mendampingi warga gereja yang sedang menghadapi kesulitan
dirumah tangga, di lingkungan masyarakat atau di tempat kerja
guna

membantu

mencapai

jalan

keluar

dan

menyimpan

kerahasiaan yang menyangkut pribadi-pribadi warga gereja
dengan sebijaksana mungkin.
3.

Diaken
Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015),
adapun tugas Diaken adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

32

1. Memberikan perhatian dan pelayanan kepada jemaat dan
masyarakat yang menderita, karena: sakit dan berkebutuhan
khusus, yatim piatu, terpenjara, kemiskinan., bencana alam.,
kemalangan, tertindas, korban ketidakadilan, korban kekerasan,
dan lain-lain.
2. Menjadi pembimbing dan pendorong bagi warga gereja dalam
pertumbuhan menuju kedewasaan iman dalam kehidupan yang
bersekutu, bersaksi, dan melayani.
3. Menyelenggarakan pelayanan kebaktian-kebaktian.
4. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga Kristen, lembagalembaga pemerintah dan lembaga-lembaga dalam masyarakat
yang bergerak di bidang masalah-masalah sosial, ekonomi,
bantuan hukum atau upaya-upaya hukum dan lain-lain. Tugas ini
dilaksanakan atas keputusan Majelis Runggun.
5. Melaksanakan pelayanan cinta kasih yang tertuju kepada
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan hidup warga gereja dan
masyarakat sekitar.
6. Mengusahakan dan mengembangkan bentuk-bentuk baru bagi
pelayanan cinta kasih gereja di tengah-tengah masyarakat yang
terus menerus berubah dan berkembang.
7. Mendampingi warga gereja yang sedang menghadapi kesulitan di
rumah tangga, di lingkungan masyarakat atau di tempat kerja guna
mencapai jalan keluar dan menyimpan kerahasiaan yang

Universitas Sumatera Utara

33

menyangkut pribadi-pribadi warga gereja dengan sebijaksana
mungkin.
E. DINAMIKA HUBUNGAN PERILAKU PROSOSIAL DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
Bagi pelayan khusus di gereja, tentunya banyak tuntutan-tuntutan
dalam melakukan pelayanan, terutama tuntutan kerja dalam gereja.
Pelayan khusus yang memiliki timgkat religiusitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jemaatnya, mampu merasakan kebahagiaan,
kedamaian, kenyamanan dan juga kesejahteraan secara psikologis
(Pinquart, 2001).
Tidak banyak yang memilih untuk menjadi pelayan khusus di gereja,
terutama mereka tidak menerima imbalan (gaji) atas pelayanan yang
mereka lakukan. Namun, karena bekerja sebagai pelayan khusus
mendapatkan kesejahteraan psikologis, kedamaian, dan kenyamanan
secara iman, hal tersebutlah yang mendorong seseorang untuk bersedia
bekerja sebagai pelayan di gereja. Bagi pelayan khusus, mereka merasakan
kesejahteraan secara psikologis (psychological well-being) karena mereka
mampu meresapi tugas panggilan yang berasal dari hati untuk melayani
dalam nama Tuhan (Binarti, 2012).
Ryff menjelaskan bahwa ketika seseorang mlebih merasakan
kesejahteraan psikologis (psychological well-being), akan mendorong
seseorang untuk melakukan perilaku prososial. Dalam penelitiannya, Sears
mengatakan bahwa perilalu menolong dapat memberikan kepuasan dan

Universitas Sumatera Utara

34

dapat meningkatkan perasaan mereka sehingga tercapainya psychological
well-being. Tugas dan tanggung jawab dalam pelayanan mereka tidak
terlepas dari perilaku prososial, dimana mereka harus menaungi jemaat
yang ada di gereja. Sebagai pelayan khusus harus siap untuk membantu
jemaat baik dalam keadaan sukacita maupun dukacita.
Seorang pelayan khusus yang mampu memaknai tugas dan tanggung
jawabnya sebagai panggilan dari Tuhan, mereka akan melakukan
pelayanan mereka dengan sungguh-sungguh (Karina, 2015). Ketika
pelayan khusus memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi
maka mereka akan lebih mampu melakukan pelayanan di gereja sesuai
dengan tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan khusus.
F. HIPOTESIS
Berdasarkan teori yang telah diuraikan dan analisis terhadap teoriteori tersebut, diajukan hipotesis sebagai berikut:
Perilaku prososial memiliki hubungan dengan Psychological WellBeing.

Universitas Sumatera Utara

35

G. Kerangka Berpikir
PSYCHOLOGICAL
PENGERTIAN

WELL-BEING
Pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan sebagai hasil
dari evaluasi yang dilakukan seseorang
terhadap hidupnya, baik evaluasi secara
kognitif maupun secara emosi.

Aspek psychological well-being:
Self-acceptance, personal growth, purpose
in life, positive relation with others, dan
autonomy.

Pelayan khusus di gereja, memiliki tingkat
psychological well-being yg tinggi.
Orang yang hidupnya berorientasi dengan
Tuhan mampu merasakan kenyamanan, damai,
bahagia dan juha merasa sejahtera secara
psikologis.

Tugas dan tanggung jawab sbg pelayan
khusus di gereja adalah melayani warga
jemaat.
Pelayanan tsb tidak terlepas dari
perilaku prososial.

Pelayanan dalam gereja dapat berupa,
kunjungan ketika sukacita maupun
dukacita, kunjungan orang sakit,
memasuki rumah baru, mendampingi
jemaat dan melakukan pastoral
konseling (pelayanan diakonia).

Perilaku prososial merupakan perilaku
yg bertujuan untuk memberi
keuntungan pada penerima bantuan
tanpa adanya kompensasi timbal balik
yang jelas atas perilaku tersebut.

Kenyataannya tdk semua
pelayanan diakonia memunculkan
perilaku prososial yang tinggi.

Dari data wwcr yang di
dapat banyak jemaat di
gereja yang masih belum
puas terhadap pelayanan
diakonia.

Ketika pelayan khusus memiliki
tingkat psychological well-being
yang tinggi maka mereka akan
mampu menunjukkan pelayanan.

Universitas

Dengan demikian, apakah ada
hubungan perilaku prososial
dengan psychological well-being
pelayan khusus?
Sumaterapada
Utara