Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Parkir Terhadap Pencantuman Klausula Baku (Studi Kasus PT. Sky Parking) Chapter III V

BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU DALAM
PERJANJIAN

A. Klausula Baku Dalam Perjanjian
Perjanjian pada umumnya telah diatur di dalam Buku III (tiga) KUH Perdata
mengenai perikatan. Istilah perikatan merupakan terjemahan dari Bahasa belanda,
yaitu verbintenis. Istilah tersebut mempunyai arti lebih luas dari pada istilah
perjanjian. Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan
perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit. Perikatan adalah suatu
hubungan hukum yang terjadi karena adanya peristiwa hukum ini perlu dibedakan
dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan
kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan.
Sesuai ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatanperikatan lahir dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir dari
perjanjian timbul karena adanya kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan
diri yang dituangkan dalam perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian,
memang dikehendaki oleh 2 (dua) orang atau pihak yang membuat suatu
perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh
undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. 55

55


Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 3.

46

Universitas Sumatera Utara

47

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu
overeenkomst. Kata overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang artinya
setuju atau sepakat. Sehingga istilah perjanjian mengandung kata sepakat sesuai
dengan asas konsensualisme. Dalam ketentuan umum mengenai perjanjian,
terdapat definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.56
Apabila diperhatikan, adapun unsur-unsur dari perjanjian itu adalah :
1. Terdapat para pihak sedikitnya 2 (dua) orang;
2. Ada persetujuan antara para pihak yang terkait;
3. Memiliki prestasi yang akan dilaksanakan;

4. Memiliki tujuan yang akan dicapai;
5. Dapat berbentuk lisan maupun dilaksanakan;
6. Memiliki syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian.
Selain itu, terdapat beberapa ahli hukum yang mengemukakan pendapat
mereka mengenai rumusan pengertian perjanjian, yaitu :
1.

Subekti merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saing berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal”.57

56
57

Ibid, hlm, 4.
Ibid, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


48

2.

Achmad Ichsan merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian

adalah

suaatu

hubungan

atas

dasar

hukum

kekayaan


(vermogensrechttelijke betrekking) antara dua pihak atau lebih dalam mana
pihak yang satu berkewajiban memberikan sesuatu prestasi atas mana pihak
yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu”.58
3.

Sudikno Mertokusumo merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah hubungan hukum (rechtshandeling) dalam hal mana satu
pihak atau lebih mengikat diri terhadap satu atau lebih pihak lain”.59

4.

Van Dune merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”.60
Berdasarkan dari pengertian-pengertian yang telah penulis paparkan dapat

disimpulkan bahwa perjanjian timbul atau terjadi karena adanya kata sepakat atau
persetujuan kedua belah pihak. Kata sepakat terjadi karena adanya persesuaian
kehendak diantara para pihak. Perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi

kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian dinamakan juga
persetujuan dan/atau kontrak karena menyangkut kedua belah pihak yang setuju
atau sepakat untuk melakukan sesuatu.
Terdapat asas-asas sebagai rangkaian prinsip atau norma atau patokan dasar
yang berguna untuk dipedomani dalam mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan
suatu perjanjian. Asas-asas perjanjian di dalam buku perikatan sebagai berikut :

58

Achmad Ichsan, Hukum Perdata I B, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1967, hlm. 15.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 4.
60
Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami & Membuat Surat Perjanjian, Visimedia, Jakarta,
2010, hlm. 5.
59

Universitas Sumatera Utara

49


1. Asas Kebebasan Berkontrak
Mariam Darus Badrulzaman memberikan penjelasan mengenai asas
kebebasan berkontrak mengatakan bahwa sepakat mereka mengikat diri adalah
asas esensial dari hukum perjanjian, Asas ini dinamakan juga dengan asas
ekonomi “konsensualisme”, yang menentukan „ada‟nya (rasion d’ertre, het
bestaanwaarde) perjanjian.61
Didalam hukum inggris, asas ini dikenal juga. Berkata Anson yang dikutip
oleh Mariam Darus Badrulzaman yaitu A promise more than a more statement of
intention for it imports a willingness on the part of the promiser to be bound to the
person to whom it is made. Penjelasan tersebut ternyata asas kebebasan ini tidak
hanya milik KUHPerdata akan tetapi bersifat universal.
Kebebasan Berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
pancaran hak asasi manusia.62
Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang dari paham individualisme, yaitu
setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Paham
individualisme memberikan peluang kepada golongan kuat (ekonomi) untuk
menguasai golongan yang lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan

61


Mariam Darus, KUHPerdata, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung,
Alumni, 1993, hlm. 83
62
Tantri Kurnia Ningtiyas, Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Gas Bumi Antara
PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk Wilayah III Sumbagut Dengan Konsumen, Skripsi,
Medan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2007, Hlm. 27.

Universitas Sumatera Utara

50

kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkraman pihak
yang kuat.63
Pada akhir abad XIX, akibat desakan paham-paham etis dan sosialis, paham
individualism mulai pudar, masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak
mendapatkan perlindungan, akhirnya kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak,
akan tetapi diberi arti relative dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.
Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan
tetapi perlu diawasi pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum, menjaga

keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui
penerobosan hukum perjanjian oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum
perjanjian ke hukum public. Melalui campur tangan pemerintah ini, terjadi
pemasyrakatan (vermaatschappelijking) hukum perjanjian. Perkembangan asas
kebebasan berkontrak belakangan ini semakin hari menjadi semakin sempit dilihat
dari beberapa segi yaitu :64
a. Dari segi kepentingan umum;
b. Dari segi perjanjian baku (standar);
c. Dari segi perjanjian dengan pemerintah.
2. Asas Konsensualisme
Diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. Asas konsensualisme berasal dari kata consensusyang berarti

63
64

Ibid.
Ibid, Hlm. 28


Universitas Sumatera Utara

51

sepakat dan pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
3. Asas Kepercayaan
Mariam Darus memberi penjelasan mengenai asas kepercayaan dengan
mengatakan bahwa asas kepercayaan yang terdapat di dalam Pasal 1320
KUHPerdata mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling
berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.65
Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu
dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber dari moral.
Manusia terhormat akan memelihara janjinya, kata Eggens.
4. Asas Kekuatan Mengikat
Perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak yang terlibat
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.
Mariam Darus Mengatakan Grotius mencari dasar consensus itu dalam
hukum kodrat. Ia mengatakan bahwa “pacta sunt servanda” (janji itu mengikat).
Seterusnya ia mengatakan lagi “promissorum implendorum obligation” (kita harus

memenuhi janji kita).66
5. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan

65
66

Mariam Darus, Ibid, Hlm. 87.
Ibid, Hlm. 83.

Universitas Sumatera Utara

52

dan lain-lain. Para pihak wajib menghormati satu sama lain sebagai mahluk
ciptaan Tuhan.
6.

Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian

itu. Asas kesimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Kedudukan kreditur yang
kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga
kedudukan kreditur dan debitur seimbang.67
7. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figure harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.
Subekti mengatakan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat 1
KUHPerdata berbunyi semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dapat dipandang sebagai suatu
syarat tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat).68

67
68

Mariam Darus, Op.cit, Hlm. 88
Subekti, Op.cit, Hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara

53

8. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan
suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai
kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini
juga terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
9. Asas Kepatutan
Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata berbunyi suatu perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas kepatutan di sini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
10. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata, dipandang sebagai
bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang
secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang didalam keadaan dan kebiasaan
yang lazim diikuti.
11. Asas Hukum Perjanjian Bersifat Hukum Mengatur
Subekti memberi penjelasan dengan mengatakan pasal-pasal dari hukum
perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law) yang
berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh
pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat

Universitas Sumatera Utara

54

ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian.
Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu
soal. Itu berarti mereka mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undangundang.69
12. Asas kepribadian
Dalam Pasal 1352 KUHPerdata merumuskan bahwa pada umumnya tidak
seorangpun dapat mengikat diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya
suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Pejanjian itu sendiri dan tidak mengikat
orang-orang lain.
Maka perikatan hukum yang diciptakan suatu perjanjian, hanya mengikat
orang-orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orangorang lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
antara para pihak yang membuatnya.
Hubungan hukum perjanjian memiliki hak dan kewajiban pihak yang satu
berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Menurut Logemann, tiap
hubungan hukum terdapat pihak yang berhak meminta prestasi dan pihak yang
wajib melakukan prestasi. Hubungan hukum mempunyai dua segi yaitu hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari satu peristiwa hukum
(misalnya jual beli) dari satu pasal hukum objektif (Pasal 1474 KUH Perdata).70

69
70

Ibid, Hlm. 13
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 269.

Universitas Sumatera Utara

55

Hubungan hukum mempunyai tiga unsur, yaitu :71
1.

Adanya orang-orang yang hak atau kewajibannya saling berhadapan;

2.

Objek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban; dan

3.

Hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau hubungan atas
objek yang bersangkutan.
Suatu hubungan hukum baru ada jika telah adanya dasar hukum yang

mengatur hubungan hukum tersebut dan timbulnya peristiwa hukum.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat-syarat yang diperlukan bagi
sahnya suatu perjanjian, antara lain :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Subekti mengatakan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan
dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, “setuju” mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan
itu.72
Pengertian sapakat dilukiskan sebagai pernyataan atas suatu kehendak yang
disetujui antara para pihak. Pernyatan dari pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyatan dari pihak yang menerima tawaran dinamakan
akseptasi (acceptatie).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Seseorang yang membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum.
Pada prinsipnya, setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah
71
72

Ibid.
Subekti, Op.cit. Hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

56

cakap menurut hukum. Namun demikian, undang-undang membatasi siapa-siapa
yang dapat melakukan perbuatan hukum, sebab sesuatu perbuatan hukum baru
dianggap sah apabila yang melakukan adalah cakap menurut hukum. Pasal 1329
KUHPerdata.
3. Suatu hal tertentu.
Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal yang tertentu. Artinya segala
sesuatu yang diperjanjikan harus mempunyai objek (bepaald onderwerp)
tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itudapat
berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada.
a. Benda itu adalah barang yang dapat diperdagangkan;
b. Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain
seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan
sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian;
c. Dapat ditentukan jenisnya;
d. Barang yang akan datang;
e. Objek perjanjian.
4. Suatu sebab yang halal.
Menyangkut tujuan diadakannya suatu perjanjian atau persetujuan. Jika
tujuan yang hendak dicapai dari persetujuan itu bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan maka tujuan dari persetujuan itu adlah
tidak halal (Pasal 1337 KUHPerdata), jadi persetujuan itu batal demi hukum.73
Dua syarat yang pertama (sepakat mereka yang mengikatkan diri dan
kecakapan untuk membuat suatu perikatan) adalah syarat yang menyangkut

73

Tantri Kurnia Ningtiyas, Op cit, Hlm 46.

Universitas Sumatera Utara

57

subyeknya dinamakan syarat subyektif, sedangkan dua syarat yang terakhir (suatu
hal yang tertentu dan suatu sebab yang halal) adalah mengenai obyeknya dan
dinamakan syarat obyektif.
Definisi perjanjian baku atau klausula baku menurut Pasal 1 angka (10)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu,
Klausula baku adalah setiap aturan dan ketentuan atau syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh para pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen.
Perjanjian baku (standar), sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno.
Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan
yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan
perbedaan mutu makanan tersebut.74
Dalam

perkembangannya,

tentu

saja

penentuan

sepihak

oleh

produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi
mencakuo syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur
dengan perjanjian baku pun makin bertambah luas. Menurut sebuah laporan
dalam Harvard Law Reviewpada 1071,99% (Sembilan puluh Sembilan persen)
perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar atau
perjanjian baku.75

74
75

Zaky Siraj Hasibuan, Ibid, Hlm. 40.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

58

Sutan Remy Sjahdeni mengemukakan beberapa istilah penting dalam pustaka
hukum yang dapat dipakai untuk perjanjian baku yaitu antara lain :76
1. Standardized agreement, standardized contract, pad contract, standard
contract dan contract of adhesion.
2. Murray dalam bukunya Murray on Contract menggunakan istilah
standardized mass contract dan contract of adhesion.
3. Ehrenzweig menggunakan istilah adhesion contract dalam tulisannya
berjudul Adhesion Contract in the Conflict oh Laws yang diterbitkan tahun
1953.
4. Istilah contract of adhesion diimpor ke Amerika Serikat oleh Patterson
melalui karangannya The deliver of a Life-Insurance Policy yang diterbitkan
tahun 1919. Istilah tersebut lebih lanjut dipopulerkan di Amerika Serikat oleh
para ilmuwan yang belajar di Eropa dan kemudian mengajar di negara
tersebut antara lain oleh Kessler.
5. Dalam buku 6 Algemen Gedeelte van her Verbinteissenrecht dari Nieuw
Nederlands Burgerlijk Wetboek yang mulai diberlakukan pada 1 Januari
1992, istilah yang digunakan ialah standaardregeling Pasal 214. (6.5.1.2) dan
algemene voorwaarden Pasal 231. (6.5.2A.1).
Defini perjanjian baku atau klausula baku menurut para ahli memang sangat
bervariasi sebagaimana diuraikan oleh penulis dibawah ini :
76

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, Hlm. 66, 67
& 68.

Universitas Sumatera Utara

59

Pengertian perjanjian baku atau klausula baku menurut E.H Hondirus adalah
syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih
akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa dibicarakan terlebih dahulu
isinya.77
Menurut pendapat Drooglever Fourtujin pengertian perjanjian baku adalah
perjanjian yang isinya dibakukan (ditentukan standarnya, sehingga memiliki arti
yang tetap , yang dapat menjadi pegangan umum) dan dituangkan dalam bentuk
formulir.78
Sudikno Mertokusumo berpendapat yang dimaksud dengan klausula baku
adalah perjanjian yang isinya ditentukan secara a-priori oleh penguasa atau
perorangan yang pada umumnya kedudukannya lebih kuat atau lebih unggul
secara ekonomis atau secara psikologis dibandingkan dengan pihak lawan.79
Ahmad Miru & Sutarman Yudo berpendapat perjanjian baku merupakan
perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus
diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan
beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak
lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap
ditanggung oleh para pihak yang bertanggungjawab berdasarkan klausula
perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang
dilarang berdasarkan Pasal 8 UUPK. 80

77

Kelik Wardiono, Perjanjian Baku Klausul Eksonerasi dan Konsumen, Surakarta, Penerbit
Ombak, 2014, hlm. 10.
78
Ibid.
79
Ibid.
80
Ahmadi Miru dan Suratman Yudo, Op.cit, hlm. 183.

Universitas Sumatera Utara

60

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian disebut
sebagai klausula baku apabila dalam perjanjian tersebut telah memenuhi kriteria
atau syarat-syarat sebagai klausula baku yaitu sebagai berikut :
a) Isinya dibuat/ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang
mempunyai kedudukan ekonomi lebih kuat;
b) Diperuntungkan bagi setiap orang yang melibatkan diri dalam perjanjian
sejenis itu;
c) Bentuk perjanjian tertulis;
d) Mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Perjanjian jenis ini merupakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat
tertentu sehingga lebih “menguntungkan” bagi pihak yang mempersiapkan
pembuatannya. Kalau pada keadaan normal pelaksanaan perjanjian diperkirakan
akan tetapi suatu masalah, maka dipersiapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan
apa yang diperjanjikan sebelumnya, pada umumnya pengusaha atau penjual
menyediakan syarat-syarat khusus untuk menghindari dirinya dari kesukaran, atau
tuntutan/gugatan pihak lawannya. Syarat-syarat untuk pembebas diri dari beban
tanggung jawab berdasarkan hukum pada umumnya, karena terjadinya sesuatu
perihal atau peristiwa tertentu sepanjang masa perjanjian, disebut dengan syaratsyaratbaku.81
Bentuk perjanjian dengan syarat-syarat baku umumnya dapat terdiri atas :82

81
82

AZ Nasution, Op.cit, hlm. 94-95.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

61

1. Dalam bentuk dokumen;
2. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan dalam perjanjian.
Sutan Remy Sjahdeni mendefinisikan perjanjian standar atau perjanjian baku
sebagai suatu perjanjian yang hamper seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan
oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya
beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat,
waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni
menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan
klausul-klausulnya.83
Di satu sisi, bentuk perjanjian klausula baku ini sangat menguntungkan, jika
dilihat dari beberapa banyak waktu, tenanga dan biaya yang dapat dihemat. Akan
tetapi, di sisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini menempatkan pihak yang
tidak ikut membuat klausul-klausul di dalam perjanjian itu sebagai pihak yang
baik langsung maupun tidak sebagai pihak yang dirugikan , yakni di satu sisi ia
sebagai salah satu pihak dalam perjanjian itu memiliki hak untuk memperoleh
kedudukan seimbang dalam menjalankan perjanjian tersebut, di sisi yang lain ia
harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya. 84
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar
tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata.
Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take

83
84

Sutan Remi Sjahdeni, Op.cit, hlm. 66.
Zaky Siraj Hasibuan, Op.cit, hlm. 44

Universitas Sumatera Utara

62

it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it). Itulah sebabnya,
perjanjian baku ini kemudia dikenal dengan nama take it or leave it.85
Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi secara efektivitas kerja,
maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang khas yang tidak
dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian baku
dibuat oleh salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk perundingan, isi
perjanjian yang telah distandarisasi, klausul yang ada di dalamnya biasanya
merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku secara
terus-menerus dalam waktu yang lama.86
Mariam Darus Badrulzaman membedakan perjanjian standar menjadi 3 (tiga)
jenis yaitu :87
1. Perjanjian standar sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pilhak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini
adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat
dibandingkan debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,
misalnya pada perjanjian buruh kolektif;
2. Perjanjian standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, ialah perjanjian standar
yang mempunyai objek-objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agrarian,
misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Surat
Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Agustusn 19977 Nomor

85

Shidarta, Op.cit, hlm. 120.
Celina Tri Siwi Krisyanti, Op.cit, hlm. 49.
87
Mariam Darus, Op.cit, hlm. 49.
86

Universitas Sumatera Utara

63

104/Dja/1997, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727, akta
hipotek model 1045055, dan sebagainya; dan
3. Perjanjian standar yang ditentukan dalam lingkungan notaris dan/atau
advokat terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang
meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam
kepustakan Belanda, jenis ini disebut contract model.
Ahli hukum Indonesia, Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa
perjanjian standar itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan asas
kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab , terlbih lagi ditinjau dari asas-asas
hukum nasional, dimana akhirnya kepentingan masyarakatlah yang didahulukan.
Dalam perjanjian standar, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang.
Posisi yang di dominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya
untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hakhaknya dan tidak kewajibannya. Menurutnya, perjanjian standar ini tidak boleh
dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu diterbitkan.88
B. Akibat Hukum Dari Klausula Baku Dalam Perjanjian
Sistem hukum perdata mengenal asas kebebasan berkontrak, sebagaimana
dianut di dalam KUHPerdata. Asas ini disebut dengan freedom of contract atau
laissez faire, yang di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku halnya sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak yang kita kenal itu disebut
88

Mariam Darus, Op.cit, hlm. 54.

Universitas Sumatera Utara

64

dengan “sistem terbuka”, karena siapa saja dapat melakukan perjanjian dan apa
saja yang dapat dibuat di dalam perjanjian itu.89
Pengaturan mengenai klasula baku merupakan konsekuensi dari upaya
kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi yang
seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara produsen (pelaku
usaha) dan konsumen dalam prinsip kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak
adalah bila para pihak di kala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan
kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan
perjanjian yang di sepakati.
Bebas diartikan sebagai tidak dalam keadaan dipaksa dan terpaksa bagi
semua pihak dalam melakukan perjanjian. Ini diartikan pula bahwa setiap pihakpihak menyadari sepenuhnya tentang isi dari perjanjian itu, dan demikian pula
setiap pihak tidak berada kondisi atau keadaan sulit menentukan keinginan dan
pilihan dalam melakukan perjanjian itu. Atas dasar asas kebebasan berkontrak
inilah yang dijadikan dasar eksistensi kontrak baku dalam suatu perjanjian.
Perjanjian baku ini sendiri dalam teori kontrak termasuk dalam doktrin
ketidakadilan (unconscionability) yaitu suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak
yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak
yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil
dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan.90

89
90

Zaky Siraj Hasibuan, Op.cit, hlm. 49.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

65

Salah satu wujud ketidakadilan dalam kontrak adalah apa yang disebut
dengan “Keterkejutan yang Tidak Adil” (Unfair Surprise). Suatu klausula dalam
kontrak dianggap merupakan unfair surprise manakal klausula tersebut bukan
klausula yang diharapkan oleh seorang yang normal dalam kontrak semacam itu,
sementara pihak yang menulis kontrak mempunyai alasan untuk mengetahui
bahwa klausula tersebut tidak akan sesuai dengan keinginan yang wajar dari pihak
lain, tetapi pihak yang menulis kontrak tersebut tidak berusaha menarik perhatian
pihak lainnya terhadap klausula tersebut.91
Contoh klausula yang bersifat unfair surprise adalah kontrak baku atau
kontrak standar. Pandangan yang modern dalam hukum kontrak mengajarkan
bahwa klausula dalam kontrak baku hanya mengikat sejauh klausula tersebut akan
di pandang sebagai klausula yang wajar dan adil. Jika ada klausula tersebut
bersifat sebaliknya, maka yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
ada.92
Dengan melihat pengertian dari para ahli, David M.L. Tobing dalam
kesimpulan untuk mengartikan konsep perjanjian baku dari berpendapat, bahwa
klasula baku :93
Perjanjian baku bukanlah perjanjian murni karena pada saat dibuat hanya ada

1.

satu pihak yang mengetahuinya yaitu si pembuat itu sendiri/tidak ada
negosiasi (perjanjian sepihak).

91

David M.L Tobing, Op.cit, hlm. 39.
Ibid.
93
Ibid.
92

Universitas Sumatera Utara

66

Perjanjian baku memuat syarat-syarat eksonerasi yang membuat perbatasan

2.

dan/atau pengalihan tanggung jawab dari si pembuat perjanjian baku (pelaku
usaha).
Isi perjanjian sudah dibuat dan ditetapkan terlebih dahulu oleh satu pihak dan

3.

untuk diberlakukan secara berulang-ulang. Biasanya oleh pengusaha atau
produsen dalam melakukan perjanjian dengan konssumen.
Perjanjian baku tersebut sudah dicetak dalam suatu kertas perjanjian dan tidak

4.

dapat dilakukan perubahan lagi kecuali oleh yang mebuat dan menetapkan
(klausula baku).
Pengertian klausula baku dalam UUPK diatur dalam Pasal 1 angka 10 yang
memberikann rumusan tentang klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan
dengan syarat yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.94
Dengan berlakunya perjanjian baku tersebut muncul suatu permasalahan bagi
pihak lain, yakni bahwa perjanjian itu bersifat “berat sebelah”. Perjanjian berat
sebelah adalah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak
salah satu pihak saja yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut.
Tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban pihak lainnya sedangkan apa
yang menjadi hak-hak piahk lainnya itu tidak disebutkan.

94

Zaky Siraj Hasibuan, Op.cit, hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara

67

C. Perlindungan Bagi Konsumen dan Pelaku Usaha Terhadap Perjanjian
Klausula Baku
Menurut Remy Sjahdeni, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas
kebebasan berkontrak ini oleh pihak yang kedudukan lebih kuat, maka diperlukan
campur tangan melalui undang-undang dan pengadilan. Dalam hukum
perburuhan, misalnya ada pembatasan-pembatasan dalam kontrak kerja. Campur
tangan pengadilan dapat dijumpai dalam alasan penyebab putusanya perjanjian,
yang

dikenal

dengan

istilah

penyalahgunaan

keadaan

(mibruik

van

omstandigheden). Dalam KUHPerdata baru Negeri Belanda, penyalahgunaan
keadaan ini dikukuhkan sebagai alasan keempat dan cacat kehendak.95
Dalam kenyataannya, campur tangan yang disarankan itu dapat dilakukan
oleh pemerintah. Misalnya saja dalam lapangan perburuhan dan agraria sangat
banyak dilakukan standardisasi perjanjian. Akan tetapi, untuk perjanjianperjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaris, tentu tidak harus distandardisasi.
Perjanjian-perjanjian berskala luas, walaupun tidak mnya bersifat publik seperti di
bidang perburuhan dan agraria. Perjanjian berskala luas yang dimaksud
pembuatannya secara sepihak kepada pelaku usaha, dikhawatirkan akan membuat
banyak klausula eksonerasi yang merugikan masyarakat. 96
Dikaitkan dengan klausula dalam karcis parkir sebagai salah satu bentuk
perjanjian baku yang tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian dalam
KUHPerdata, maka perjanjian baku tersebut harus memiliki adanya kata sepakat
dari pihak yang cakap untuk membuat tindakan hukum mengenai suatu hal yang
95
96

Shidarta, Op. Cit, hlm. 122.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

68

halal. Dengan demikian klausula yang menyatakan bahwa pengelola parkir tidak
bertanggung jawab atas kerusakan ataupun kehilangan di tempat parkir
bertentangan dengan hukum dengan kata lain tidak memenuhi salah satu unsur
perjanjian dan perjanjian baku tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi
syarat objektif.97
Dalam UUPK, istilah klausula baku ada di Pasal 1 angka 10 mendefinisikan
sebagai, setiap aturan ataupun ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Jadi yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat
sepihak, bukan mengenai isinya.
Sehubung dengan UUPK, ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam
Bab V Tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari
satu pasal, yaitu Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan
dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya.
Pasal 18 ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 ayat (2)
mengatur bentuk atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang.
Pasal 18 ayat (1) huruf (a) menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan
seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk pengalihan tanggung

97

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

69

jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan
sebagainya.98
Tidak disitu saja pengaturan tentang klausula baku ini berhenti karena
terhadap pelanggaran yang dilakukan berkaitkan dengan tidak dipenuhinya
ketentuan pada Pasal 18 ini juga diberikan ancaman sanksi pidana sebagaimana
diatur pada Pasal 62 UUPK ayat (1) yaitu, pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf, c, huruf e, dan ayat (2), dan
Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dengan adanya pengaturan terhadap Perlindungan Konsumen terutama pada
peraturan yang berikatan dengan klausula baku sedikit banyak menyadarkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.99
Serta paling tidak memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana
bagi peningkatan perlindungan terhadap penggunaan klausula baku, yang tentu
saja merugikan salah satu pihak pada perjanjian. Dimana pengaturan ini
merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam penempatan pihak
pada suatu perjanjian.

98
99

Shidarta, Loc.cit.
Celina Tri Siwi Krisyanti, Op.Cit, hlm. 147.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP
PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 (Sudi Kasus PT. Sky Parking)

A. Pengaturan Hubungan Hukum Antara Konsumen dengan Pihak
Pengelola Perparkiran
Hubungan hukum antara satu pihak terhadap pihak lain, dapat muncul karena
dari adanya hubungan hukum dua belah pihak yang disebut perikatan.
Berdasarkan pada Pasal 1233 KUHPerdata menegaskan bahwa Perikatan, lahir
karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Selanjutnya pada Pasal
1313 KUHPerdata menegaskan bahwa suatu persetujuan ialah suatu perbuatan
yang satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. 100
Sedangkan perikatan yang timbul karena hukum (undang-undang), timbul
karena perbuatan baik itu perbutan yang sesuai dengan hukum maupun perbuatan
yang melanggar hukum. Pada Pasal 1352 KUHPerdata menegaskan bahwa
perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai
undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Pasal
1353 KUHPerdata, perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang, muncul dari suatu perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang
melanggar hukum. Dengan demikian dapat dikatan bahwa perikatan, lahir karena
100

Basri, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Parkir, Tarakan, Fakultas Hukum
Universitas Borneo Tarakan, 2015, Vol. XX, No. 1, hlm. 42.

70

Universitas Sumatera Utara

71

suatu perjanjian, atau karena undang-undang. Lahir karena perjanjian, apabila
adanya perikatan itu akibat kehendak para pihak itu sendiri, serta lahir karena
undang-undang, apabila adanya perikatan itu akibat berlakunya aturan tertentu,
atau perbuatan seseorang (baik yang sah, maupun yang melawan hukum).101
Terkait masalah jasa parkir dapat dilihat bahwa jasa parkir merupakan suatu
perikatan yang bisa timbul karena perjanjian atau perikatan yang timbul karena
undang-undang, jika dilihat sebagai suatu perikatan yang timbul karena perjanjian
maka termasuk perjanjian penitipan barang.
Perjanjian penitipan barang dalam KUHPerdata diatur mulai dari Pasal 1694
sampai dengan Pasal 1729. Pasal 1694 menegaskan bahwa, Penitipan adalah
terjadi apabila seorang menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan syarat
bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya. Pasal
1696 ayat (1) menegaskan bahwa, Penitipan barang sejatinya dianggap telah
dibuat dengan cuma-cuma jika tidak diperjanjikan dengan sebaliknya. Pasal 1706
KUHPerdata menegaskan bahwa, Penerima titipan wajib memelihara barang
titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan
sendiri. Pasal 1707 Ketentuan dalam pasal di atas ini wajib diterapkan secara
lebih teliti, antara lain:102
a. Jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan
barang itu;
b. Jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;
c. Jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentingan penerima titipan;

101
102

Ibid.
Ibid, hlm. 44.

Universitas Sumatera Utara

72

d. Jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggungjawab
atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu.

Pengkualifikasian perjanjian parkir relevan untuk memastikan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian parkir dan perlu diperhatikan bahwa dalam
prakteknya di Indonesia pihak konsumen sudah langsung merujuk pada UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang sangat
umum. Jika kualifikasi perjanjian parkir ternyata perjanjian sewa menyewa, posisi
pengelola parkir tentu lebih bebas, namun kenyataannya perjanjian parkir
dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang.

Dalam KUHPerdata sendiri, telah diatur kewajiban penerima titipan (dalam
hal ini pengelola parkir) yang cukup ketat, di mana perjanjian penitipan bukan
hanya perikatan yang prestasinya bersifat usaha (untuk menjaga barang tersebut),
namun juga bersifat hasil (untuk mengembalikan barang tersebut dalam kondisi
yang sama dengan saat diterima).103

Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan
konsumen sebagai pelanggan atau pengguna jasa. Tanpa dukungan konsumen,
tidak mungkin pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya,
konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil barang dan/atau jasa pelaku
usaha.
PT. Sky Parking merupakan perusahaan pengelola perparkiran yang
memberikan atau menyediakan tempat parkir yang dibutuhkan oleh konsumen
yang digunakannya untuk meletakkan kendaraannya tidak jauh dengan tempat
103

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

73

tujuannya dan pemberian karcis parkir atau tiket parkir sebagai alat bukti
konsumen terhadap kendaraannya, karcis tersebut juga berguna untuk menentukan
tarif parkir atau upah parkir pada kendaraan konsumen pada saat keluar dari areal
parkir.
Selain itu pelayanan PT. Sky Parking berikan kepada konsumen pengguna
jasa perparkiran adalah untuk mendapatkan rasa nyaman dan aman seperti :
1. Lot Parking;
2. Pelayanan di pos keluar sdm;
3. Pelayanan di pos masuk otomatis;
4. CCTV setiap lantai.
Dalam perjanjian penitipan barang tanggung jawab pengelola parkir
terhadap konsumen parkir adalah memelihara barang titipan itu dengan sebaikbaiknya

seperti

memelihara

barang-barang

kepunyaan

sendiri

serta

mengembalikan kendaraan dalam keadaan semula, ketentuan tersebut bahkan
harus lebih teliti lagi jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri
untuk menyimpan barang itu dan jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk
penitipan itu. Dengan kata lain apabila terjadi kerusakan dan bahkan kehilangan
kendaraan di areal parkir merupakan tanggung jawab pengelola parkir.
Sistem peraturan hukum antara konsumen dengan pengelola perparkiran PT.
Sky Parking dengan memberikan lahan atau areal parkir kepada konsumen dan
disertai pemberian karcis parkir pada saat masuk ke dalam areal parkir yang
berguna sebagai alat bukti konsumen atas kendaraan nya yang berada di lot
parkir.

Universitas Sumatera Utara

74

Pada saat dilapangan didapati bukti PT. Sky Parking mengalihkan tanggung
jawab ketika kendaraan konsumen rusak atau hilang, Dengan dicantumkannya
klausula baku yang berbunyi resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas
kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang didalamnya merupakan
kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri. Klausula tersebut sangat jelas
mengalihkan tanggung jawab PT. Sky Parking sebagai pengelola perparkiran
yang tanggung jawab nya dibebankan kepada konsumen.
Dikaitkan dengan perjanjian jasa parkir maka jika perjanjiannya dianggap
sebagai perjanjian sewa menyewa maka terdapat beberapa unsur-unsur tertentu
terkait perjanjian sewa menyewa yang diatur di dalam KUHPerdata yang tidak
dapat terpenuhi secara dalam perjanjian parkir sebab si pemilik kendaraan yang
menyewa lahan parkir tidak serta merta menguasai lahan yang disewa selama
jangka waktu sewa, dalam arti setelah memarkirkan kendaraan si penyewa
langsung meninggalkan lahan parkir sehingga tidak dapat menguasai atau
memelihara lahan parkir dan konstruksi sewa menyewa ini adalah sewa menyewa
tidak murni sehingga apabila terjadi kehilangan atau kerugian atas kendaraan di
lahan yang disewa, maka penyewa masih mempunyai hak untuk menuntut ganti
rugi kepada pihak yang menyewakan lahan karena walaupun lahan parkir telah
disewakan kepada konsumen, namun penguasaan lahan parkir tetap pada pihak
yang menyewakan (pengelola parkir).104

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2078 K/ Pdt/2009 Perkara
PT Securindo Packatama Indonesia vs Sumito Y. Viansyah (kasus kehilangan
sepeda motor di tempat parkir). Mahkamah Agung menyatakan bahwa hubungan
104

Ibid, hlm. 45.

Universitas Sumatera Utara

75

hukum antara pengguna jasa parkir parkir dengan pengelola tempat parkir
merupakan perjanjian penitipan.105

Diperkuatnya hubungan hukum antara pengguna jasa parkir dengan
pengelola parkir oleh Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dinyatakan
merupakan perjanjian penitipan barang bukan perjanjian sewa menyewa.

Sangat disayangkan, apabila bisnis yang sangat menjanjikan keuntungan
yang besar ini tanpa diimbangi tanggung jawab dari PT. Sky Parking terhadap
kendaraan milik konsumen. Pada umumnya pengelola parkir masih berlindung di
bawah Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun
2002 yang menindas hak-hak konsumen pengguna jasa parkir.
Pengelola perparkiran berlindung dengan adanya ketentuan pada Pasal 13
ayat (2), petugas parkir dibebaskan dari tuntutan hukum atas kerusakan,
kehilangan kendaraan serta barang-barang di dalamnya, dan ketentuan Pasal 13
ayat (3) yang berbunyi petugas parkir bertanggung jawab moral atas kerusakan,
kehilangan kendaraan serta barang-barang di dalamnya.106
Ketentuan pada Peraturan Daerah ini terutama mengenai tanggung jawab
moral yang dimiliki petugas parkir berakibat pada tidak seriusnya pengamanan
terhadap kendaraan yang parkir di lahar parkir yang ia kelola. Hal ini jelas
membuat lemahnya kedudukan konsumen parkir untuk dapat menuntut kerugian
apabila terjadi kerusakan atau kehilangan pada kendaraanya yang diparkirkan di
areal parkir. Selain itu pihak pengelola parkir dibebaskan dari tuntutan terhadap
105

www.nasima.wordpress.com, Masalah Perjanjian Parkir, https://nasima.wordpress.com
/2012/08/13/masalah-perjanjian-parkir, diakses tanggal 15 Juli 2017.
106
Zaky Siraj Hasibuan, Ibid, hlm. 65.

Universitas Sumatera Utara

76

hilangnya kendaraan yang diparkirkan sebagaimana yang dicantumkan dalam
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2002.107
B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Perparkiran
yang Kendaraanya Rusak atau Hilang
Perlindungan hukum PT. Sky Parking dengan konsumen pengguna jasa
tidak terlihat dikarenakan pencantuman klausula baku yang dibuat oleh pihak PT.
Sky Parking berindikasi terhadap pelanggaran kewajiban pelaku usaha untuk
beriktikad

baik

dalam

melakukan

kegiatan

usahanya,

karena

dengan

pencantuman klausula baku yang bersifat eksonerasi berarti pihak PT. Sky
Parking berusaha mengalihkan tanggung jawab terhadap kerusakan atau
kehilangan kendaraan di areal parkir yang dikelolanya.
Pengertian

klausula

baku

tidak

sekedar

mempersoalkan

prosedur

pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat mengalihkan kewajiban atau
tanggung jawab pelaku usaha.108
Pencantuman klausula baku ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat
(1) huruf (a) UUPK yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Rusak atau hilangnya kendaraan yang dialami oleh konsumen merupakan
pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola parkir terhadap hak konsumen atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dala mengkonsumsi barang dan/atau
jasa. Pengelola parkir telah melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan
kehilangan kendaraan konsumen pengguna jasa.

107
108

Ibid, hlm. 66.
Shidarta, Ibid, hlm. 123.

Universitas Sumatera Utara

77

Selain itu, dengan hadirnya Putusan Mahkamah Agung mengenai kasus
kehilangan kendaraan No.1264/K/Pdt/2005, klausula baku tersebut tidak berlaku
karena sudah batal demi hukum, karena dilanggarnya ketentuan dalam UUPK. 109
Putusan ini juga dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim-hakim lain yang
mengadili perkara yang serupa sehingga terdapat adanya kesamaan hak dan
kewajiban antara pemilik kendaraan dan pengelola parkir.110
Konsumen dalam hal ini pengguna jasa tidak perlu ragu lagi untuk
melakukan tuntutan ganti rugi karena klausula baku tentang pengalihan tanggung
jawab yang dijadikan “benteng” oleh pengelola parkir telah batal demi hukum. 111
PT. Sky Parking memberikan bentuk perlindungan hukum kepada konsumen
kerusakan atau kehilangan dengan melakukan prosedur olah TKP. Contoh
permasalahan, kehilangan spion mobil pasti ada bekas serpihan yang disebabkan
karena patahan spion, dan juga pengecekan CCTV dari pintu masuk terdapat 2
CCTV depan dan belakang.
Olah TKP berguna agar tidak adanya tindak kecurangan oleh konsumen
kepada PT. Sky Parking, karena pernah di alami oleh PT. Sky Parking ketika
konsumen melaporkan kendaraannya rusak dan pada saat dilakukakan
pemeriksaan dan olah TKP di dapati kerusakan pada kendaraan tersebut sudah ada
pada saat sebelum memasuki areal parkir.
Kerusakan kendaraan konsumen yang berada di areal parkir PT. Sky Parking
biasanya disebabkan oleh kelalaian oleh konsumen tersebut. Salah satu kerusakan

109

Zaky Siraj Hasibuan, Ibid, hlm. 78.
Ibid.
111
David M.L. Tobing, Ibid, hlm. 50.
110

Universitas Sumatera Utara

78

nya adalah kehilangan spion mobil dan terbaret pada badan mobil karena posisi
kendaraan tidak sesuai dengan lot parkir sedangkan motor kehilangan barang yang
berada di kendaraan nya seperti helm atau pun barang pribadi si pemilik motor
tidak di titipkan di tempat penitipan helm dan barang pribadi ditinggalkan
(digantungkan) begitu saja pada kendaraan tersebut.
PT. Sky Parking untuk saat ini belum pernah mengalami kehilangan
kendaraan di areal parkir mereka baik kendaraan roda 4 (empat) kecuali
kendaraan roda 2 (dua) yang disebabkan oleh konsumen di tipu dengan orang
yang baru dikenal. Terlebih areal parkir yang berada dalam gedung dan keluar
dari areal parkir memerlukan bukti untuk keluar yaitu karcis parkir atau tiket
parkir.
Tanggung jawab PT. Sky Parking kepada konsumen dengan permasalahan
kerusakan kendaraan konsumen dengan menyelesaikan secara damai atau
kekeluargaan dan mengganti rugi tidak dengan harga baru atau barang baru dan
memberikan parkir VIP secara gratis salam 1 (satu) bulan sebagai permohonan
maaf itu juga konsumen sepakat dengan pertanggung jawaban oleh PT. Sky
Parking.
Dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen,
menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Maka dari ketentuan
pasal tersebut pelaku usaha bertanggung jawab apabila produk yang dihasilkan

Universitas Sumatera Utara

79

atau diperdagangkan tersebut mengalami kerusakan, pencemaran, ataupun
kerugian pada konsumen.112
Pada Pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum. Perjanjian klausula baku yang memuat klausula eksonerasi didalamnya
dan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK dinyatakan batal demi hukum. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa UUPK menjadi lex specialist dari pengaturan
umum yang ada pada KUHPerdata khususnya pada Pasal 1493 dan Pasal 1494.
Klausula baku dalam perjanjian boleh saja dibuat akan tetapi tidak boleh
mengalihkan, membatasi atau menghindari tanggung jawab. Tidak boleh
mengalihkan beban kepada konsumen, ada batasan-batasan klausula yang boleh
dimuat dalam perjanjian.
Dari hasil wawancara penulis kepada PT. Sky Parking, konsumen pernah
menanyakan perihal klausula baku yang dicantumkan oleh PT. Sky Parking.
Tanggapan PT. Sky Parking dengan pertanyaan konsumen tersebut hanya dengan
menjelaskan bahwa PT. Sky Parking memberikan kepastian keamanan kendaraan
yang berada areal parkir tetap aman meskipun tidak di awasi oleh petugas
lapangan tetapi CCTV tetap dipantau oleh petugas.
Jika hanya dengan pernyataan keamanan dan kenyamanan yang diberikan
oleh PT. Sky Parking kepada konsumen. Bagaimana konsumen bisa merasa
nyaman dan aman terlebih dengan kejadian yang pernah dialami oleh kons