PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN

(1)

i

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

TIARA AGUSTAVIA NIM : 1112048000040

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016M. Isi : ix+84 halaman + lampiran, 27 daftar pustaka (1980-2013)

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah perjanjian yang mengandung klausula merugikan yang terdapat pada transaksi jual beli perumahan yang berakibat pada hangusnya uang konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan dengan klausula baku.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan bersifat yuridis normatif. Yuridis normatif artinya penelitian yang digunakan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah klausul yang menyebabkan uang muka hangus pada jual beli perumahan adalah klausul baku yang dilarang pada pasal 18 ayat (1) karena klausula baku yang terdapat pada jual beli perumahan

menjadikan konsumen tidak memiliki bargaining power/ daya tawar pada saat

proses jual beli tersebut.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Klausula Baku

Pembimbing I : Dr. M. Ali Hanafiah, S.H, M.H

Pembimbing II : Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H Sumber Rujukan dari tahun 1980 sampai 2013.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulilahirrabil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak ujian dan cobaan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan dengan baik. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Asep Saefudin Hidayat, S.H, M.H, dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum,

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas


(7)

vii

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu

yang bermanfaat selama kuliah kepada penulis, dan tidak lupa kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.

5. Iklaswan dan Neneng Mujaenah selaku Ayahanda dan Ibunda yang penulis

sangat cintai, yang telah mencurahkan segala cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat dan do’a, semangat serta dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Nenek dan Kakek penulis yang dari kejauhan selalu merindukan, tetap

mendoakan dan memberikan semangatnya kepada penulis.

7. Rizki Ichlaswan, S.Kom, Winda Putria, S.S, Syifa Kamila, dan Septya Riani,

S.Si selaku Kakak dan Adik dari Penulis yang selalu mencintai penulis dan memberikan semangat kepada penulis dalam keadaan apapun.

8. Sahar Afra Fauziyyah, Juwita Daningtyas, Tiffani Ratna Suri, selaku sahabat

penulis yang memberikan keceriaan dan semangat di setiap perjalanan kuliah penulis. Bersama mereka penulis berproses bersama menjadi keluarga. Terimakasih atas bantuan, pengalaman, dan kenangan yang indah selama masa kuliah.

9. Mochammad Indriansyah, selaku teman dekat penulis yang memberikan

banyak motivasi, bantuan dan semangat yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi penulis.


(8)

viii

viii

10.Teman-teman Ilmu Hukum Angkatan 2012 UIN Jakarta, baik konsentrasi

Hukum Bisnis maupun konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.

11.Teman-teman Saman Ilmu Hukum, Tabloid Justitia, dan Angkatan Muda

Peduli Hukum (AMPUH) yang telah memberikan banyak warna dan kenangan indah selama masa kuliah.

12.Teman-teman KKN Melodi 2015, yang telah memberikan pengalaman dan

arti solidaritas dan kerjasama yang sesungguhnya.

13.Serta semua pihak yang membantu proses penulisan yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali do’a dan ucapan terima kasih kepada kalian, semoga Allah membalas segala kebaikan kalian semua. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pembacanya.


(9)

ix

Lembar Pengesahan Panitia ... ii

Lembar Pernyataan ... iii

Abstrak…….. ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ……. ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

E. Kerangka Konseptual ... 7

F. Kajian (Review) Terdahulu ... 8

G. Metode Penelitian ... 9

H. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 14

A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 14

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 16

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 18

D. Penyelesaian Sengketa ... 22

a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan ... 23

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ... 27

E. Sanksi-Sanksi ... 30

BAB III TINJAUAN PERJANJIAN BAKU DAN UANG MUKA ... 34

A. Perjanjian pada Umumnya ... 34

B. Perjanjian Baku pada Umumnya ... 35

C. Definisi Perjanjian Baku ... 37

D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku ... 39

E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku ... 42

F. Perjanjian yang Dilarang ... 43

G. Uang Muka... 47

BAB IV ANALISIS AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA BAKU ... 49

A. Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Perjanjian Baku ... 49


(10)

x

B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen Terhadap

Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha ... 51

C. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku ... 54

BAB V PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA... 65


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-empat memiliki cita-cita luhur yakni melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Menjabarkan arti dan makna melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum tersebut dituangkanlah dalam pasal-pasal melalui ketentuan yang berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen yang Ke-4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J.

Pada Pasal 28 huruf H mengamanatkan bahwa ;

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan

Indonesia, kesejahteraan umum biasanya dikaitkan dengan tiga hal yakni, pangan, sandang, papan. Sebagian besar masyarakat, selain sandang, pangan, dan papan atau rumah sudah menjadi kebutuhan dasar yang tidak

dapat ditunda dalam menjalankan kehidupan sehari-hari1. Salah satu

kebutuhan pokok atau primer adalah kebutuhan akan papan atau rumah. Perumahan merupakan representasi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

1

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h.1


(12)

2

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.

Berbagai kota besar di Indonesia, pesatnya peningkatan populasi manusia mengharuskan pemerintah untuk berperan serta meningkatkan kualitas perumahan bagi warga yang layak untuk dihuni. Sisi lain permasalahan pemerintah yakni dalam pembangunan perumahan mengalami berbagai kendala salah satunya adalah keterbatasan lahan perumahan.

Pesatnya pembangunan perumahan menimbulkan permasalahan lain yang sering muncul dalam pemenuhan kebutuhan akan perumahan yakni hak-hak konsumen yang dirugikan. Meningkatnya pembangunan perumahan, seringkali tidak diselaraskan dengan pemenuhan kewajiban oleh pelaku usaha. Permasalahan dalam bisnis perumahan yang sering muncul adalah ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuan-ketentuan penandatanganan atas dokumen-dokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pelaku usaha, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku atau klausula baku.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya


(13)

tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan2. Perjanjian baku yang selanjutnya disebut sebagai klausula baku, diadakan dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi, kepastian dan lebih bersifat praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor negatif, karena dapat merugikan pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Pada klausula baku, konsumen dalam hal ini, hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya.

Praktik perjanjian baku sering dibuat dalam kondisi yang tidak berimbang. Produsen (Pelaku Usaha) memanipulasi perjanjian yang dibuat dalam ketentuan klausula baku. Biasanya perjanjian tersebut lebih menguntungkan

salah satu pihak yaitu pelaku usaha3.

Selain itu, pihak pengembang properti juga tidak jarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian jual beli perumahan. Klausula baku dalam bidang perumahan misalnya terdapat dalam perjanjian jual beli perumahan

dalam klausula down payment(dp) atau booking fee yang menyebutkan bahwa

“…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….”

Rendahnya kesadaran dan pengetahuan konsumen, tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip untuk mencari

2

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1994), h.66

3


(14)

4

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan konsumen.

Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha,

dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan4. Disebabkan posisi tawar

konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk dilanggar5.

Posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan

(pengayoman) kepada masyarakat6. Perlindungan kepada masyarakat tersebut

harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum menjadi hak konsumen7.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi yang hasilnya akan dituangkan

dalam judul : Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual

Beli Perumahan

4

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h.242

5

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum.………, h.243

6

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: Grasindo,2004), h.112

7


(15)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah:

1. Apa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha perumahan yang

mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen dalam perjanjian jual beli.

2. Apa kriteria suatu perjanjian disebut sebagai perjanjian baku

3. Apa sajakah jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku

4. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang hukum perlindungan konsumen.

5. Apakah perbedaan antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian baku.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

pembahasan penelitian ini mengalami pembatasan masalah,

pembahasannya akan dibatasi pada perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku jual beli perumahan.

2. Rumusan Masalah

Untuk lebih mengerucutkan pokok permasalahan yang akan diteliti, maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini meliputi :


(16)

6

a. Bagaimanakah akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan yang

mengandung klausula baku yang merugikan konsumen?

b. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan konsumen terhadap pelaku

usaha yang merugikan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli

perumahan dengan klausula baku.

b. Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan konsumen terhadap

perjanjian dengan klausula baku. 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

1) Dengan dilakukannya penelitian ini penulis berharap dapat

memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

2) Dengan dilakukan penelitian ini penulis berharap dapat

menambah wawasan dan memberikan ilmu pengetahuan khususnya hukum perlindungan konsumen.

b. Manfaat Praktis

1) Diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana

perlindungan terhadap konsumen terhadap perjanjian baku jual beli perumahan yang mengandung klausula baku.


(17)

2) Diharapkan dapat ikut membantu untuk lebih mengembangkan dan menginpirasi masyarakat dan mahasiswa lainnya.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti atau akan diteliti8.

Istilah-istilah yang penulis perlu jelaskan adalah:

1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Lihat Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

3. Jual Beli adalah suatu perjanjian yang mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain membayarkan harga yang telah dijanjikan. (Lihat Pasal 1457 KUH Perdata)

4. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,

baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana,

8


(18)

8

sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. (Lihat Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman)

F. Kajian (Review) Terdahulu

No Nama Penulis/ Judul Skripsi/Tahun

Substansi Perbedaan

dengan Penulis

1. Marwan/ Perlindungan

Konsumen dalam

Kontrak Jual Beli

Rumah di Perumahan Harapan Indah Bekasi/ Skripsi, UIN Jakarta, 2015.

Skripsi tersebut

membahas mengenai

perlindungan konsumen

terhadap tidak

dipenuhinya janji-janji dalam kontrak jual beli

pada Perumahan

Harapan Indah Bekasi.

Penulis membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap

perjanjian baku

yang

menyebabkan

hangusnya uang

konsumen pada

praktik jual beli perumahan.

2. Diana Sarawati

Purnamasari/

Perjanjian Baku dalam kredit pemilikan rumah

Tesis tersebut

membahas tentang

klausula yang tidak

boleh dimuat dalam

Penulis memfokuskan penulisan


(19)

(KPR) : Studi kasus

analisis perjanjian

antara PT. Bank Panin tbk dengan X/ Tesis, Universitas Indonesia, 2011.

perjanjian KPR serta

bagaimanakah proses

penyelesaian sengketa yang dilakukan salah

satu pihak dalam

perjanjian baku KPR bank Panin.

satu klausula baku yang

menyebabkan

hangusnya uang

konsumen ditinjau

dari hukum

perlindungan konsumen.

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan metode pendekatan yuridis normatif (law in book).

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau

juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.9

2. Pendekatan Masalah

Berkaitan dengan tipe penelitian penulis menggunakan penelitian yuridis normatif, maka pendekatannya menggunakan pendekatan

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta:Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h.18


(20)

10

perundang-undangan (Statute Approach)10 khususnya pada

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. a. Sumber Data

Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Selain peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.11

Dalam penelitian peraturan perundang-undangan yang

digunakan yaitu;

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821 .

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010

10

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III, (Jawa Timur : Bayumedia Pubishing, 2007), h.302.

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.IV (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.141


(21)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah teori atau pendapat sarjana hukum, hasil karya dari kalangan ahli hukum, skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, makalah, penelusuran internet dan sebagainya.

3. Bahan non-hukum (tersier), yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan atau bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia, dan lain-lain.

b. Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan

data secara library research (studi kepustakaan) dalam hal ini penulis

menggunakan buku-buku berkaitan dengan perlindungan konsumen.

c. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang telah terkumpul tersebut baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier di klasifikasikan sesuai dengan masalah hukum yang dibahas. Setelah itu bahan hukum tersebut diuraikan dan diteliti secara sistematis. Dan pengelolaan data dapat dilakukan dengan cara deduktif, yakni


(22)

12

menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada. Sehingga pertanyaan atas masalah dapat teruraikan dan terjawab.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 yang telah direvisi pada tahun 2014 dengan sistematika yang terdiri dari lima bab”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bagian pendahuluan penulisan yang

memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Bab ini memuat tentang hukum perlindungan konsumen

yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya

dibahas tentang Pengertian Hukum Perlindungan

Konsumen, dilanjutkan dengan Asas-Asas serta Tujuan hukum Perlindungan Konsumen, Hak serta Kewajiban bagi Pelaku Usaha dan Konsumen, Penyelesaian Sengketa, serta Sanksi-Sanksinya.

BAB III: Bab ini memuat tentang tinjauan perjanjian baku yang

terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya dibahas tentang Perjanjian Pada Umumnya, Perjanjian Baku Pada


(23)

Umumnya, Definisi Perjanjian Baku, Ciri-ciri Perjanjian Baku, Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku, dan Perjanjian Yang Dilarang, Uang Muka.

BAB IV: Bab ini memuat tentang Analisis Perlindungan Konsumen

Terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan uraian tentang Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan yang Mengandung Klausula Baku, Upaya Hukum yang dapat Dilakukan oleh Konsumen terhadap Pelanggaran yang Dilakukan oleh Pelaku Usaha, dan Analisis Akibat Hukum terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku.

BAB V: Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini. Untuk itu

penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis memberikan pendapat dan saran yang dianggap perlu.


(24)

14 BAB II

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit di pisahkan dan ditarik batasannya. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan

bagian dari hukum konsumen dan tidak dapat dipisahkan1. Dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Menurut Az. Nasution Hukum Konsumen adalah sebagai

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya dengan masalah penyediaan dan pengunaan produk (barang dan/jasa)

antara penyedia dan penggunaanya dalam kehidupan bermasyarakat2.

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.20-21

2


(25)

Menurut N.H.T Siahaan sesungguhnya baik istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan,

dengan dua alasan/pertimbangan yaitu3:

1. Jika membicarakan hukum dalam hubungannya dengan konsumen atau

hukum dalam hubungannnya dengan perlindungan konsumen, maka keduanya tentu tidak luput dari pembahasan mengenai hak-hak konsumen, kepentingannya, upaya-upaya pemberdayaannya, atau kesetaraannya dalam hukum dengan pelaku usaha.

2. Seluruh kaidah hukum di negeri ini dapat hadir dan tunduk dibawah

sebuah payung hukum dasar yang bersumber dari Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 merupakan segala sumber hukum nasional, yang secara filosofis memberikan perlindungan keadilan bagi semua bangsa dan golongan di negeri ini termasuk dalam hukum konsumen. Jadi pada hakikatnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan.

Perlindungan hukum kepada konsumen ini dapat berasal dari lingkup berbagai disiplin hukum, diantaranya Hukum Privat (Hukum Perdata), maupun dari Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin hukum ini mempertegas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi. Hal ini sesuai dengan sifat hukum ekonomi, yang

3

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005) , h.33


(26)

16

tidak hanya melibatkan aspek hukum perdata namun pada saat yang

bersamaan juga melibatkan aspek hukum publik4.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan asas hukum bukan sebagai hukum konkrit merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif5 dan dapat

ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam

peraturan konkrit tersebut6.

Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan tentang asas-asas dalam perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

4

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h.2-3

5

Ius constitutum adalah hukum positif. Ius constitutummerupakan hukum yang

dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h.5

6

Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, cet.1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h.25


(27)

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum7 dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selain merumuskan asas dalam Perlindungan Konsumen, Undang-undang

Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan Perlindungan Konsumen yang terdapat pada pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu;

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

7

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta:Sinar Grafika,2013), h.14


(28)

18

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen:

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Menurut ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;


(29)

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang dipergunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara

patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga

mempunyai diwajibkan untuk;

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan


(30)

20

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Undang-undang dalam Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini karena pada dasarnya hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha memiliki saling ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang.

Namun pada kenyataannya, kedudukan konsumen seringkali berada

pada posisi yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha8. Dalam

undang-undang Perlindungan Konsumen hak-hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu;

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

8

Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, cet.1, (Jakarta: Puspa Suara, 1996), h.11


(31)

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni;

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.


(32)

22

D. Penyelesaian Sengketa

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

Ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut;

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan aggaran dasarnya.

4. Pemerintah dan atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen


(33)

swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf

b, c, dan huruf d diatas, hanya dapat diajukan ke peradilan umum9.

Menurut Undang-Undang Perlindugan Konsumen Pasal 45 ayat 2 “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui jalur pengadilan

ataupun diluar jalur pengadilan10.

a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan

Beberapa kasus sengketa di bidang perumahan, seperti tidak direalisasinya fasos dan fasum, konsumen sebagai korban bersifat massal. Apabila diselesaikan melalui pengadilan dengan prosedur konvensional, menjadi tidak praktis. Jalan keluarnya adalah dengan mekanisme gugatan perwakilan. Di mana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung

menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut11.

9

Gunawan Widjaja&Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.75

10

Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Perlindungan………., h.85

11

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h.40


(34)

24

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, untuk pertama kali

secara eksplisit kata class action terdapat dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b disebutkan, undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau

class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar merasa dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah bukti transaksi.

Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan class

action juga diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Dalam pasal 38 ayat (1) huruf c disebutkan, masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan secara kelompok orang tidak dengan kuasa

melalui gugatan perwakilan12.

Selain itu ketentuan mengenai pembuktian berdasarkan diatur dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak mendalilkan suatu hak, (yang dalam hal ini, konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen

harus dapat membuktikan bahwa13:

1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;

12

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan,………., h.41

13

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.68-69


(35)

2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak;

3. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau

pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu;

4. Konsumen tidak berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak

langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.

Dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam pasal 22 dan pasal 28, kewajiban pembuktian tersebut “dibalikan” menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian selama pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut14.

Usaha-usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen telah dilakukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yang memberikan kemungkinan konsumen untuk mengajukan penyelesaiannya sengketanya diluar pengadilan, yaitu

14


(36)

26

melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya dinyatakan final dan mengikat (Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen), sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen15.

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa ia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulir ditemukan apabila para pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan dipihak lainnya. Disamping itu secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalu pengadilan,

yaitu karena16:

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Sangat Lambat;

2. Biaya Perkara yang Mahal;

3. Pengadilan Pada Umumnya Tidak Responsif;

4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah;

5. Kemampuan Para Hakim yang Bersifat Generalis.

15

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………., h.239

16

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h.239-247


(37)

Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banyak dikeluhkan oleh pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang

terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha17.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai suatu pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II dengan susunan yang terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu wakil ketua merangkap anggota, serta sembilan sampai lima belas anggota. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang masing-masing diwakili setidaknya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan, dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di wilayah

tempat konsumen yang bersangkutan18.

17

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan ………., h.237

18


(38)

28

Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang serta penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimuat dari pasal 49

sampai pasal 5819 dan diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri

Nomor 350/MPP/KEP/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara damai yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan ataupun tanpa bantuan pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan dan tanpa yang merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Biasanya perundingan perdamaian dapat dibantu oleh pihak ketiga lainnya, yang dapat berfungsi sebagai mediator, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Cara penyelesaian sengketa damai ini maka diharapkan adanya suatu penyelesaian sengketa secara mudah, murah dan cepat. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa secara damai diatur dalam Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 KUHPerdata

19


(39)

mengenai perdamaian/dading20 dan pasal 45 ayat (2)jo. Pasal 47

Undang-Undang Perlindungan Konsumen21.

Mekanisme penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengkera Kosumen, baik secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase dilakukan melalui majelis, dengan tahapan/tata cara penyelesaian

sengketa sebagai berikut22:

1. Sidang pertama dilaksanakan pada hari kerja ke 7 (tujuh) terhitung

sejak diterimanya permohonan pengaduan secara benar dan lengkap.

2. Bilamana dalam sidang I (pertama), konsumen dan pelaku usaha,

bukti-bukti yang ada dianggap cukup, dan tidak memerlukan keterangan tambahan saksi dan saksi ahli, maka majelis wajib memproses dan memberi putusan, selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari, terhitung sejak diterimanya.

3. Tetapi jika konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada sidang ke

I (pertama), maka majelis memanggil dan bila perlu dengan bantuan penyidik agar hadir pada sidang ke II (kedua), yang dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 5 (lima) setelah sidang ke I (pertama).

20

Perdamaian/Dading adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. (Lihat Pasal 1851 KUH Perdata)

21

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen……….,h.233-234

22

BPSK DKI Jakarta, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, (Jakarta : BPSK DKI Jakarta, 2010), h.19


(40)

30

4. Sidang ke II (kedua), jika konsumen tidak hadir, maka gugatannya gugur demi hukum, sebaliknya, jika pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa hadirnya pelaku usaha.

5. Bilamana dalam sidang berikutnya, yaitu sidang untuk mendengar

putusan, konsumen dan pelaku usaha, tidak hadir maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib disampaikan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak putusan dibacakan.

6. Pelaku usaha yang menerima isi putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib melaksanakan, dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika menolak wajib

mengajukan keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

E. Sanksi-Sanksi

Setiap perselisihan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atas pelaksanaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang menerbitkan kerugian bagi konsumen, harus diselesaikan secara perdata. Dalam Bab IX telah dijelaskan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti bahwa selain hubungan keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen


(41)

juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar Undang-Undang Perlindungan

Konsumen tersebut23.

Sanksi yang dapat dikenakan pada pelaku usaha yang melanggar ketentuan dapat ditemukan dalam bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari pasal 60 samapai dengan pasal 63.

Sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:

1) Sanksi administratif;

Sanksi administratif merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan

oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen atas tugas dan/atau kewenangan yang dibeikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk menyelesaikan persengketaan

konsumen diluar pengadilan24.

Menurut kententuan pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka;

23

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2000), h.82

24


(42)

32

a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada

konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;

b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang

dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;

c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan

purnajual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan

sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang

memperdagangkan barang dan/atau jasa.

2) Sanksi Pidana Pokok

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsu memungkinkan dilakukannya tuntutan pidana terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja

dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan25.

Rumusan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan pelanggaran terhadap:

25


(43)

1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam;

a) Pasal 8, mengenai barang dan/jasa yang tidak memenuhi standar

yang telah ditetapkan;

b)Pasal 9 dan pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar;

c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang

berhubungan dengan kesehatan;

d)Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik);

e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e mengenai iklan yang memuat

informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan;

f) Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang; dan

g) Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku;

Dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp.2000.000.000,00 (dua milyar rupiah)

2. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam:

a) Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang;

b) Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;

c) Pasal 13 ayat (1) mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;

d) Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui

undian;


(44)

34

f) Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, mengenai produksi iklan

yang bertentangan dengan etika, kesusilaan dan ketentuan hukum yang berlaku;

Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat

tetap, atau kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku secara umum.

3) Sanksi pidana tambahan

Ketentuan pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan diluar sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa:

a) Perampasan barang tertentu;

b) Pengumuman keputusan hakim;

c) Pembayaran ganti kerugian;

d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan

timbulnya kerugian konsumen;

e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran;


(45)

34 A. Perjanjian pada Umumnya

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, munculah suatu hubungan antara

dua orang tersebut yang dinamakan perikatan1.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap Perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih orang (pihak dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.

1


(46)

35

Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih.

Sedangkan menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani pengikatan, seperti

telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUH Perdata oleh pasal 1320 KUH

Perdata dirumuskan dalam bentuk2:

1. Kesepakatan yang bebas;

2. Dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak;

3. Untuk melakukan suatu prestasi tertentu;

4. Prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum,

kepatuhan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (atau biasa disebut dengan suatu klausa yang halal).

Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara mereka.

B. Perjanjian Baku pada Umumnya

Perjanjian baku telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato

(423-347SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak. Dalam perkembangannya, penentuan secara

2


(47)

sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak sekadar masalah harga

tetapi sudah mencakup syarat-syarat yang lebih detail3.

Setelah terjadi revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke-19, kebutuhan perjanjian baku makin berkembang. Jumlah transaksi perdagangan makin meningkat, konsentrasi modal makin besar, sehingga penggunaan kontrak-kontrak baku makin mendesak. Pada abad ke-20 pembakuan syarat-syarat perjanjian makin meluas. Terjadilah penumpukan modal besar pada

kelompok golongan ekonomi kuat yang disebut kapitalis4.

Penggunaan perjanjian baku sudah dikenal secara umum oleh masyarakat dalam kehidupan sehari, hari baik untuk pemasangan instalasi listrik, telepon, air maupun pembukaan rekening di bank. Walaupun tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian baku telah menjadi salah satu dari jenis-jenis perjanjian yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia.

Perjanjian baku sebagai perjanjian sepihak di mana satu pihak hanya menuntut haknya saja dan membebaskan diri dari tanggungjawabnya dan pihak lain harus melaksanakan kewajibannya saja sementara hak-haknya dihilangkan. Pada perjanjian yang sepihak selalu timbul kewajiban-kewajiban hanya bagi satu dari para pihak.

3

Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Produk dan Tinjauan Hukum Publik dan Perdata, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008),h.46

4

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1992),h.2


(48)

37

Meskipun sifatnya sepihak namun Perjanjian baku sudah diterima dalam hubungan hukum antar subyek hukum terutama sangat dibutuhkan dalam hubungan hukum antara produsen dalam menjual produksinya dan atau jasanya memerlukan transaksi yang cepat, efektif, dan efisien sehingga nampak jelas bahwa yang diutamakan adalah prinsip ekonomi.

C. Definisi Perjanjian Baku

Perjanjian Baku berasal dari dua kata yaitu kata “Perjanjian” dan kata “Baku” yang menurut KBBI masing-masing berarti;

Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat dalam menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu5.

Baku adalah tolak ukur yang berlakku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan;standar6;

Menurut Prof.Sutan Remi Sjahdeni, S.H mengemukakan Perjanjian

baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan7.

Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku artinya

perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan

5

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002), h.458

6

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia………., h.94

7

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan………., h.66


(49)

pengusaha. Yang dibukukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model,

rumusan dan ukuran8.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Perjanjian baku tetap

merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggung jawab berdasarkan kalusula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal 18 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen9.

Menurut Boyke A Sidharta, S.H, Perjanjian baku adalah perjanjian yang

menjadi standar bagi setiap transaksi yang dibuat oleh dan diantara pihak yang dominan dengan pihak lain yang seluruh atau sebagian besar substansinya telah ditentukan sebelumnya secara sepihak demi meletakkan kepastian

hukum, keamanan dan kontrol dipihak yang dominan10.

Menurut Munir Fuadi, Kontrak Baku adalah sutu kontrak tertulis yang

dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut bahkan seringkali

kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir

8

Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta:Direktorat Perlindungan Konsumen,2001), h.183

9

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan………., h.118

10


(50)

39

tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut di tandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya

kontrak baku sangat berat sebelah11.

D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku

Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan

masyaratkat. Ciri-ciri tersebut yakni12;

1. Bentuk Perjanjian Tertulis

Yang dimaksud dengan perjanjian ialah naskah perjanjian keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otientik atau akta di bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka, perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Contoh perjanjian baku ialah perjanjian

jual beli, perjanjian polis asuransi, charter party, kredit dengan jaminan

11

Munir Fuadi, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), h.76

12


(51)

sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian ialah konosemen, nota pesanan, nota pembelian, tiket pengangkutan.

2. Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian meliputi model, rumusan dan ukuran. Format ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko, naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Contoh format perjanjian baku ialah polis asuransi, akta pejabat pembuat akta tanah, perjanjian sewa beli, penggunaan kartu kredit dan sertifikat obligasi.

3. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini tergambar dari klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tanganilah perjanjian tersebut.


(52)

41

4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak

Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatanganan itu menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.

5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan

Syarat-syarat perjanjian terdapat standar baku mengenai penyelesaian sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang menghendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri.

6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha

Kenyataan menunjukkan bahwa kencenderungan perkembangan perjanjian ialah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis biasa ke perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap dalam naskah perjanjian atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah dengan formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha menguntungkan pengusaha berupa;


(53)

a. Efisiensi biaya,waktu dan tenaga;

b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani;

c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;

d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku

Pada prakteknya perjanjian baku yang terdapat di masyarakat dibedakan

dalam beberapa jenis, sebagai berikut13;

a. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak pelaku usaha, yang lazimnya memiliki posisi kuat dibandingkan pihak konsumen.

b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah adalah perjanjian baku

yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 mengenai akta jual-beli model 1156727 dan akta hipotik model 1945055.

c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah

perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan

13

Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), (Bandung: Bina Cipta, 1986), h.63


(54)

43

notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda

disebut dengan “contract model”.

F. Perjanjian yang Dilarang

Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang Anti monopoli diatur dalam pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. adapun perjanjian tersebut adalah;

1. Perjanjian yang bersifat oligopoli, dari rumusan Pasal 4 dari

Undang-undang Anti Monopoli terlihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan

oligopoli dilarang jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut14:

a. Adanya suatu perjanjian

b. Perjanjian tersebut dibuat antara pelaku usaha

c. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara

bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa

d. Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan curang.

e. Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi

jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar dari satu jenis barang atau jasa.

14

Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h.53


(55)

Jadi dapat dikatakan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dikuasai oleh beberapa produsen saja (untuk produksi satu jenis barang). Bagi pihak yang melakukan bisnis secara oligopolis berlaku rumusan bahwa aksi-aksi yang bersifat interdepedensi jauh lebih baik dari tindakan yang bersifat “indepedensi”.

2. Perjanjian penetapan Harga tertentu atas suatu barang dan atau jasa yang harus

dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan pengecualian:

a. Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b. Perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku (pasal 5 ayat (2))

3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan

harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama (pasal 6)

4. Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat (pasal 7);

5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa

tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya tersebut, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat menimbulkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (pasal 8);

6. Penjelasan atas pasal 9 Undang-undang Anti Monopoli, maka yang dimaksud


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

juga diderita Pemohon Kasasi sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);

10 Bahwa Pasal V Surat Pemesanan Rumah tersebut dan Pasal 2 perjanjian dimaksud juga mencantumkan adanya denda masing-masing sebesar 2 dan 3%;

11 Bahwa ini berarti bahwa Termohon Kasasi dalam Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (vide bukti P-3 dan P-4) telah menyatakan menolak menyerahkan kembali uang yang telah dibayar Pemohon Kasasi, serta penerapan sanksi denda bagi Pemohon Kasasi atau dengan kata lain Termohon Kasasi telah mencantumkan klausula baku dengan Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut;

12 Bahwa pencantuman klausula baku merupakan suatu larangan bagi Termohon Kasasi yang harus ditaati oleh Termohon Kasasi karena sudah ditentukan oleh hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

b Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

c Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

d Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

e Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang bertugas aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”;

1 Bahwa dengan demikian adalah jelas bahwa Termohon Kasasi telah memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU dimaksud sehingga melakukan

Hal. 12 dari 17 hal Put. Nomor ... K/Pdt.Sus/...

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999;

2 Bahwa pencantuman klausul baku yang dilarang tersebut berakibat bahwa klausul baku menjadi batal demi hukum berdasarkan UU No. 8/1999 Pasal 18 ayat 3 yang menyatakan: “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”;

3 Bahwa selain dari pada itu Judex Facti telah salah atau keliru dalam menerapkan hukum karena Judex Facti di satu sisi telah mengakui dan menerapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ketika memberikan pertimbangan hukum menyangkut hal yang bersifat formil mengenai hukum acara dalam perkara a quo (vide putusan Judex Facti halaman 26 dan 28), dengan merujuk pada UU tersebut Pasal 56 angka 2, Pasal 54 dan 50 (vide putusan Judex Facti halaman 27), Akan tetapi di sisi lain Judex Facti tidak menerapkan UU yang sama ketika memberikan pertimbangan tentang substansi atau materi perkara (vide putusan Judex Facti halaman 28, 29 dan 30);

4 Bahwa begitu pula Judex Facti salah atau keliru dalam menerapkan hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya karena Judex Facti dalam memberikan pertimbangan hukum tentang perjanjian sebagaimana dimaksud dalam bukti P-4 tidak memperhatikan atau menerapkan syarat sahnya suatu perjanjian yaitu unsur “adanya sebab atau klausul yang halal” dalam hal ini tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan perundangan yang ada yaitu UU No. 8 tahun 1999 yang melarang adanya klausul baku dalam semua dokumen dan/atau perjanjian. Sedangkan dalam Perjanjian dan Surat pemesanan Rumah sebagaimana dimaksud bukti P-3 dan P-4 terdapat klausul baku yang dilarang dan memenuhi ketentuan dilarangnya klausul baku oleh UU tersebut, Apalagi Judex Facti sendiri menyatakan: “….kebebasan berkontrak adalah kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja asal tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum” (vide putusan Judex Facti halaman 29);

Hal. 13 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

5 Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon agar Termohon Kasasi dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan atau melanggar hukum yaitu terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon agar Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 dinyatakan batal demi hukum sepanjang mengenai klausul baku, dan proses transaksi pembelian rumah dimaksud antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi tetap dilanjutkan tanpa ada sanksi denda dan/atau bunga apa pun;

6 Bahwa oleh karena Termohon Kasasi telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang atau hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka berarti Termohon Kasasi melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum atas diri Pemohon Kasasi. Oleh karena itu adalah beralasan pula jika Pemohon Kasasi mohon agar Termohon Kasasi dihukum untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon Kasasi untuk kerugian materiel sebesar Rp 87.167.900,- (delapan puluh tujuh juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah) dan kerugian immateriel Rp500.000.00,- (lima ratus juta rupiah);

DALAM REKONVENSI.

7 Bahwa Pemohon Kasasi menolak keras dalil Termohon Kasasi kecuali apa yang secara tegas diakui Pemohon Kasasi;

8 Bahwa alasan Termohon Kasasi mengajukan gugatan rekonvensi adalah mengada-ada dan tanpa dasar hukum yang kuat dan bahkan tanpa disertai bukti sama sekali (mohon periksa putusan Judex Facti halaman 10 sampai dengan 22);

9 Bahwa dengan demikian adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon agar gugatan rekonvensi Termohon Kasasi ditolak atau dikesampingkan atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

mengenai alasan ke 1 s/d 21:

Bahwa, alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 22 Juni 2010 dan kontra memori kasasi tanggal

Hal. 14 dari 17 hal Put. Nomor ... K/Pdt.Sus/...

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

23 Juli 2010 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Negeri Surabaya telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

• Bahwa Pengadilan Negeri/Judex Facti salah menerapkan hukum karena telah mengenyampingkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) c UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang melarang dibuat atau dicantumkan klausula baku, terutama tentang larangan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan jasa, padahal klausula yang demikian sudah dicantumkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Pemesanan Rumah, sehingga perjanjian tersebut seharusnya dinyatakan batal demi hukum dan Termohon Keberatan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum;

• Bahwa Pemohon Keberatan masih tetap berkehendak melanjutkan

transaksi pembelian rumah/perjanjian jual beli sehingga petitum ini dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MARTINUS TEDDY ARUS BAHTERAWAN tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 274/Pdt.G/2010/PN.Sby tanggal 25 Mei 2009 yang membatalkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor 35/BPSK/III/2010 tanggal 31 Maret 2010 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara a quo dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat dikabulkan, maka Termohon Kasasi/Tergugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara pada semua tingkat peradilan;

Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MARTINUS TEDDY ARUS BAHTERAWAN tersebut;

Hal. 15 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 274/Pdt.G/ 2010/ PN.Sby tanggal 25 Mei 2009;

MENGADILI SENDIRI

1 Mengabulkan keberatan Pemohon Keberatan untuk sebagian;

2 Menyatakan Termohon Keberatan telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu telah melakukan pencantuman klausula baku;

3 Menyatakan Surat Pemesanan dan Pengikatan Jual Beli batal demi hukum;

4 Menyatakan Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 sepanjang mengenai pencantuman klausula baku mengenai tidak dapatnya Pemohon Keberatan untuk menuntut atau meminta kembali uang yang telah dibayar Pemohon Keberatan kepada Termohon Keberatan dan penerapan denda adalah batal demi hukum;

5 Menghukum Termohon Keberatan untuk terus memproses transaksi pembelian rumah sebagaimana dimaksud Surat Pemesanan Rumah No. 01/ VII/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 tanpa denda dan/atau bunga apapun;

6 Menolak keberatan Pemohon Keberatan untuk selain dan selebihnya; Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar biaya perkara pada semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis tanggal 30 Mei 2013 oleh Dr.H. Abdurrahman, SH.,MH. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.,M.Hum. dan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH.,LL.M.

Hakim Agung masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-Anggota tersebut dan dibantu oleh Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH. Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak;

Anggota-anggota K e t u a Ttd./H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.,M.Hum. Ttd./

Ttd./Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH.,LL.M. Dr.H. Abdurrahman, SH.,MH.

Hal. 16 dari 17 hal Put. Nomor ... K/Pdt.Sus/...

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Panitera Pengganti Ttd./

Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH.

Biaya-biaya: 1. Meterai : Rp 6.000,00

2. Redaksi : Rp 5.000,00 3. Administrasi Kasasi : Rp489.000,00 +

Jumlah : Rp500.000,00

Untuk Salinan

MAHKAMAH AGUNG R.I. An. Panitera

Panitera Muda Perdata Khusus

( RAHMI MULYATI, SH.MH. ) NIP : 19591207 1985 12 2 002

Hal. 17 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id