Analisis Kadar Gas Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) Serta Keluhan Kesehatan Pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT X Kota Batam Tahun 2017 Chapter III VI

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1

Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survai bersifat deskriptif, yaitu untuk

mengetahui gambaran kadar NH3 (Amonia) dan H2S (Hidrogen Sulfida) serta
keluhan kesehatan pada pekerja pengelola limbah di IPAL departemen Utility PT.
X Kota Batam tahun 2017.
3.2

Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di IPAL Departemen Utility PT. X Kota Batam,
Kepulauan Riau. Adapun alasan penulis memilih lokasi tersebut sebagai tempat
penelitian adalah:
1. PT. X merupakan salah satu industri oleokimia terbesar di Indonesia khusunya
di Batam.
2. Dalam sistem pengelolaan limbah cair di IPAL departemen utility PT. X Kota

Batam khususnya pada pengelolaan biologi, melalui proses aerob dan anaerob
sering mengeluarkan gas-gas yang menimbulkan bau seperti amoniak (NH3)
dan hidrogen sulfida (H2S) yang dihasilkan dari proses metabolisme bakteri
yang digunakan dalam pengelolaan limbah.
3. Adanya pekerja yang bekerja setiap hari di lokasi dan terkadang tidak
menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) seperti masker sehingga dapat
menimbulkan efek berupa keluhan kesehatan bagi pekerja tersebut.

31

32

3.2.2

Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini direncanakan pada Februari sampai dengan Mei

2017 di IPAL departemen Utility PT. X Kota Batam. Waktu pelaksanaan
direncanakan setelah usulan penelitian skripsi diterima dan disetujui oleh dosen
tim pembimbing.

3.3

Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Data Primer
Data primer diperoleh melalui observasi lapangan, pengukuran kualitas
udara, dan melakukan wawancara kepada pekerja dengan bantuan kuesioner.
3.3.2

Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Laboratorium PT. Sucofindo cabang Kota

Batam dan data dari PT X Kota Batam.
3.4

Parameter dan Objek Penelitian

3.4.1 Parameter Penelitian
Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar amoniak (NH3)
dan hidrogen sulfida (H2S) dengan pertimbangan tingginya tingkat kebauan di

udara dan membandingkan dengan KepMen LH No. 50 tahun 1996 tentang Baku
Tingkat Kebauan dan keluhan kesehatan yang timbul pada pekerja di PT. X Kota
Batam.
3.4.2

Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah:

1. Pekerja atau karyawan yang bekerja di IPAL departemen utility PT. X kota
Batam.

33

2. Kadar NH3 (Amonia) dan H2S (Hidrogen Sulfida) yang akan diambil pada 4
titik yaitu di sebelah kanan kolam Collecting PIT, di tengah area kolam UASB
(Uplow Anaerobic Slude Blanket) tank, diarea kolam Conditioning tank, dan
di tengah area kolam MBR Tank mengingat keempat titik tersebut merupakan
tempat sistem pengelolahan limbah cair secara biologi yang menggunakan
bakteri aerob dan anaerob yang bermetabolisme sehingga dapat menimbulkan
bau.

3.5

Populasi dan Sampel

3.5.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang bekerja di
instalasi pengolahan air limbah departemen utility PT. X kota Batam yang terdiri
dari 45 orang.
3.5.2

Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan

diambil (Notoatmojo, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja
yang bekerja di Instalasi Pengolahan air limbah departemen utility PT.X kota
Batam, yaitu sejumlah 45 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana
jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono, 2007). Alasan mengambil total
sampling karena menurut sugiyono (2007) jumlah populasi yang kurang dari 100
seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya. Dengan rincian sebagai

berikut:

34

1. Superintendent berjumlah 3 pekerja.
2. Supervisor berjumlah 14 pekerja.
3. Rank & File yang terdiri dari operator dan helper berjumlah 28 pekerja.
3.6

Titik Pengambilan Sampel
Titik pengambilan sampel diambil pada 4 titik yaitu di sebelah kanan kolam

Collecting PIT, di tengah area kolam UASB (Uplow Anaerobic Slude Blanket)
tank, di tengah area kolam Conditioning tank, dan di tengah area kolam MBR
Tank mengingat keempat titik tersebut merupakan tempat sistem pengelolahan
limbah cair secara biologi yang menggunakan bakteri aerob dan anaerob yang
bermetabolisme sehingga dapat menimbulkan bau.

Gambar.2 Denah IPAL PT. X Kota Batam
Sumber: (PT. X Kota Batam, 2017)

Keterangan gambar:
1

= Collecting PIT

2

= Oil Separator

3

= Oil Waste Tank

4

= Fat Separator

35

5


= Mixing Tank

6

= Primary Sludge

7

= Dissolved Air Flotation

8

= Chemical Area

9

= Storage Tank

10


= Laboratory

11

= Control Room

12, 13, 14, 15 = UASB Tank

16, 17, 18, 19 = Conditioning Tank

20, 21, 22, 23 = Activated Sludge

24, 25, 26, 27 = MBR Tank

28

29

= Effluent Tank


= MBR Chemical Tank

3.7 Definisi Operasional
1. Amoniak (NH3) adalah gas tajam yang tidak berwarna yang terdapat di IPAL
Departemen Utility PT. X Kawasan Industri Kabil Kota Batam. Nilai baku
mutu yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996 tentang baku mutu tingkat kebauan adalah 2,0 ppm.
2. Hidrogen Sulfida (H2S) adalah salah satu gas pencemar udara yang
menimbulkan bau busuk yang terdapat di IPAL Departemen Utility PT. X
Batam. Nilai baku mutu yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 tentang baku mutu tingkat kebauan
adalah 2,0 ppm.
3. Melebihi baku mutu adalah apabila kualitas udara yang diukur melebihi dari
nilai ambang batas yang diatur oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996 tentang baku tingkat kabauan.
4. Keluhan kesehatan adalah keluhan yang dirasakan oleh responden yang
berupa gangguan kesehatan akibat paparan gas NH3 dan H2S yang dialami
pekerja di IPAL departemen utility PT. X Batam


36

5. Umur adalah salah satu karakteristik pekerja yang menyatakan jumlah tahun
yang dihitung mulai dari responden lahir hingga saat penelitian berlangsung.
6. Lama paparan adalah lama kontak antara pekerja pengelola limbah dengan
gas NH3 (Amonia) dan H2S (Hidrogen Sulfida) di IPAL departemen Utility
PT. X kota Batam.
7. Masa kerja adalah salah satu karakteristik pekerja yang menyatakan waktu
yang telah dihabiskan oleh pekerja mulai dari ia bekerja sampai penelitian
berlangsung.
3.8 Aspek Pengukuran
3.8.1

Kadar Amoniak
Kadar amoniak (NH3) di udara diukur dengan menggunakan metode

indofenol. Hasil pengukuran yang diperoleh dibandingkan dengan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 mengenai baku tingkat kebauan
NH3 sebesar 2,0 ppm.
3.8.2


Kadar Hidrogen Sulfida
Kadar Hidrogen Sulfida (H2S) di udara diukur dengan metode merkuri

tiosinat dan absorbs gas. Hasil pengukuran yang diperoleh dibandingkan dengan
kebauan H2S sebesar 0,02 ppm.
3.8.3

Karakteristik Responden

1. Usia
Usia responden dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) ≤ 25 tahun
b) 26 – 35 tahun

37

c) 36 – 45 tahun
d) >45 tahun
2. Lama paparan
Lama paparan diukur berdasarkan jam kerja responden dikurangi
jam istirahat.Saat pekerja pengelola limbah bekerja memantau kolam
Collecting PIT, kolam UASB (Uplow Anaerobic Slude Blanket) tank,
Conditioning tank, dan MBR Tank sehingga terjadi kontak langsung secara
inhalasi antara pekerja dan gas NH3 dan H2S yang berasal dari kolamkolam tersebut.
3. Masa Kerja
Masa kerja responden dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. ≤ 5 tahun
b. 6 – 15 tahun
c. 16 – 25 tahun
4. Penggunaan APD
Mengetahui bagaimana penggunaan APD pada pekerja dilakukan
dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, dibagi menjadi
dua kategori, yaitu:
a) Pekerja menggunakan APD lengkap, apabila pekerja menggunakan
seluruh jenis APD yang digunakan.
b) Pekerja tidak menggunakan APD lengkap, apabila terdapat satu atau
lebih jenis APD yang tidak digunakan.

38

3.8.4

Keluhan Kesehatan

3.8.4.1 Keluhan Saluran Pernafasan
1. Terjadi keluhan saluran pernapasan jika responden mengatakan “Ya” pada salah
satu keluhan pilek, tenggorokan kering, batuk-batuk, sesak napas, dan nyeri dada
saat pengambilan data.

2. Tidak terjadi keluhan saluran pernapasan jika responden mengatakan “Tidak”
pada semua keluhan pilek, tenggorokan kering, batuk-batuk, sesak napas, dan
nyeri dada saat pengambilan data.

3.8.4.2

Keluhan Iritasi Mata

1. Terjadi keluhan iritasi mata jika responden mengatakan “Ya” pada salah satu
keluhan mata gatal, mata merah, mata kotor, dan mata berair saat pengambilan
data.
2. Tidak terjadi keluhan iritasi mata jika responden mengatakan “Tidak” pada semua
keluhan mata gatal, mata merah, mata kotor, dan mata berair saat pengambilan
data.

3.9 Pengukuran Kadar Amonia
3.9.1 Prinsip
Amoniak dari udara ambient yang telah dijerap oleh larutan penjerap asam
sulfat, akan membentuk amonium sulfat. Kemudian direaksikan dengan fenol dan
natrium hipoklorit dalam suasana basa, akan membentuk senyawa komplek
indofenol yang berwarna biru. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm.

39

3.9.2

Peralatan

1. Midget Impinger
2. Pompa hisap
3. Spektrofotometer
4. Flow meter
3.9.3

Bahan Regensia

1. Reaksi penyerap
Diambil 5 ml H2SO4 1N, kemudian diencerkan dengan aquabides sampai
volume 500ml ( H2SO4 0,01N ). Kemudian dari stock H2SO4 1N dimasukkan 14
ml HSO4(p) dalam 200 ml akuabides, lalu diencerkan dengan akuabides sampai
500 ml.
2.

Larutan Nessler
Dilarutkan Kalium iodida (KI) 17,5 gr ke dalam akuabides beberapa ml,

lalu dimasukkan 25 gr HgI2 sedikit demi sedikit hingga larut. Kemudian
ditambahkan NaOH 40 gr yang sudah dilarutkan terlebih dahulu dalam akuabides.
Diencerkan hingga volume 250 ml. Endapan yang dihasilkan dibuang dan
supernatant dimasukkan dalam botol coklat.
3. Larutan standar Ammonia
Timbang 0,3147 gr Ammonium Klorida (NH4Cl) kemudian larutkan
dalam 100 ml aquabides. Dipipet 1 ml larutan bagian atas, dan diencerkan dengan
aquabides hingga volume 100 ml.

40

3.9.4

Pembuatan Kurva Kalibrasi

1. Ambil larutan sediaan 0 ml , 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml masukkan ke dalam
labu ukur 25 ml
2. Tambahkan masing-masing 10 ml larutan penyerap dan 1 ml larutan
reagen nessler, ditambahkan larutan penyerap sebagai tanda batas,
kemudian dikocok.
3. Tunggu

selama

10

menit,

kemudian

baca

absorbansi

dengan

spektrofotometer UV-Visibel pada = 425 nm.
4.

Buat kurva kalibrasi yang menyatakan hubungan absorbansi dengan
konsentrasi NH3.

3.9.5

Waktu Pengukuran
24 jam dengan interval waktu 6 jam, masing – masing 1 interval diambil 30

menit dianjurkan mulai dari jam 08.00.

3.9.6

Cara Pengambilan Contoh

1. Ambil 30 ml pereaksi penyerap masukkan ke dalam midget impinger.
2. Rangkai midget impinger dengan pompa vacuum selama 30 menit dengan
laju aliran 30 ml / menit.
3. Setelah pengambilan contoh, simpan contoh dalam termos es.
3.9.7

Cara Uji

1. Atur pH larutan 7,4
2. Ambil 5 ml sampel a, b, c, d, dan e pada suhu kamar, kemudian masukkan
masing-masing ke dalam labu takar 25 ml.

41

3. Ambil 5 ml larutan penyerap (blanko), dimasukkan kedalam labu takar 25
ml yang berbeda.
4. Tambah 1 ml reagen Nessler,kemudian tambahkan larutan penyerap ke
masing-masing labu takar sebagai tanda batas, dikocok dan disimpan di
tempat gelap selama 10 menit.
5. Baca absorbansi pada = 425 nm
3.9.8

Rumus Perhitungan
Kadar NH3 (ppm) =

x

x 0,71 ppm

Keterangan :
V1 = Volume di midget
V2 = Volume yang diambil
Faktor konversi = gr/m3NH3 = 1,47.10-3 ppm
3.10 Pengukuran Kadar H2S
3.10.1 Prinsip Pengukuran
Ion sulfida bereaksi dengan p-amino-dimetil anilin dan FeCl3 membentuk
metilen biru, yang kemudian intensitasnya diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 670 nm.
3.10.2 Peralatan
1. Midget impinger
2. Flow meter
3. Pompa hisap
4. Labu ukur 25 ml
5. Spektrofotometer

42

3.10.3 Bahan Regensia
1. Pereaksi penyerap : 4,3 gr CdSO4, 8 H2O ditambah 0,3 gr NaOH
dilarutkan dalam air suling, sampai 1 liter.
2.

Larutan induk H2SO4 – Amin : 12 gr NN dimethyl penylen diamin
hidroksida yang dilarutkan dalam campuran dingin dari 50 ml H2SO4
dalam 30 ml air suling.

3. Larutan uji amin : encerkan 2,5 ml larutan induk menjadi 100 ml dengan
H2SO4 dengan perbandingan 1 : 1 (50 ml H2SO4 : 50 ml air suling).
4.

Larutan feri klorida (FeCl3) 100 % : 10 gr FeCl3 6 H2O dilarutkan
dengan air suling sampai menjadi 10 ml.

5.

Larutan amino fosfat

6. Larutkan 400 gr Amonium fosfat (NH4)2 HPO4 dengan aquades sampai 1
liter.
7. Larutan induk sulfide : 0,3 gr larutan Na 2S anhidrat dilarutkan dengan
NaOH 0,1 M yang baru dibuat (0,4 gr NaOH dalam 100 ml air suling)
ditambah 100 ml dalam labu ukur.
8.

Larutan sediaan : 1 ml larutan induk sulfida dilarutkan dengan air suling
dalam labu ukur sampai menjadi 100 ml.

3.10.4 Waktu Pengukuran
Waktu pengambilan contoh 30 menit dengan waktu pengukuran dalam satu
hari.
3.10.5 Prosedur Pengambilan Contoh

1. Ambil 50 ml pereaksi penyerap, masukkan ke dalam impinger 100 ml.

43

2.

Rangkai midget impinger dengan pompa hisap. Hisap udara selam 30
menit dengan laju alir 1,5 l/menit.

3. Setelah pengambilan contoh selesai, simpan dalam termos pendingin.
3.10.6 Pembuatan Kurva Kalibrasi
1. Masukkan 10 ml pereaksi penyerap ke dalam labu ukur 25 ml. Masing –
masing berisi larutan sediaan 0 ml, 1 ml, 2 ml, 3 ml.
2. Tambahkan 1,5 ml larutan uji Amin, kemudian kocok.
3. Tambahkan 1 tetes larutan FeCl3 (jika timbul warna kuning + Amonium
phosphat tetes demi tetes sampai warna hilang (40 gr (NH4)2 HPO4 dalam
100 ml AS encerkan dengan air suling sampai tanda batas dan diamkan
selama 10 menit.
4. Baca absorbansi dengan = 670 nm.
5. Buat kurva kalibrasi yang menyatakan absorbansi dengan konstanta
sulfida.
3.10.7 Cara Uji
1. Ambil 10 ml contoh dari midget impinger (suhu kamar) masukkan ke
dalam labu ukur 25 ml.
2. Tambahkan 1,5 ml larutan uju Amin , kocok.
3. Tambahkan 1 tetes FeCl3 (jika timbul warna kuning + amonium phosphat
tetes demi tetes sampai warna kuning hilang). Encerkan sampai tanda
batas dan diamkan selama 30 menit.
4. Baca absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 670
nm

44

3.10.8 Rumus Perhitungan
Kadar H2S (PPM) =

x

x 0,71 ppm

Keterangan :
Faktor konversi H2S 1 g/l = 0,71 ppm
V1 = Volume dalam midget
V2 = Volume yang diambil
3.11 Teknik Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan diolah dengan cara:
1. Editing ( pemeriksaan data)
Editing merupakan kegiatan pengecekan dan perbaikan terhadap semua isian
kuesioner yang telah dikumpulkan, setelah pengambilan data di lapangan dan uji
laboratorium telah selesai. Kegiatan ini untuk memastikan bahwa data yang
diperoleh tersebut semua terisi, konsisten, relevan, dan dapat dibaca dengan baik.
2. Coding ( pemberian kode)
Data yang berbentuk kalimat atau huruf yang telah terkumpul dan dikoreksi
ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual
yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau
bilangan. Pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukkan data (data
entry).
3. Entry (pemasukan data ke komputer)
Data yang dalam bentuk kode (huruf atau angka) dimasukkan ke program
computer untuk diolah.

45

4. Cleaning (Pembersihan Data)
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program computer
guna menghidari terjadinya kesalahan pemasukan data.
3.12

Analisa Data
Data diperoleh dan diolah secara manual, komputerisasi dan disajikan

dalam bentuk tabel yang diteliti dan kemudian di analisa dengan membandingkan
kualitas udara NH3 dan H2S dengan baku mutu kebauan menurut KepMen LH No.
50 Tahun 1996 dan melakukan wawancara terhadap para pekerja tentang keluhan
kesehatan tenaga kerja dengan menggunakan kuesioner yang dibandingkan
dengan karakteristik pekerja.

BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum PT. X Batam
4.1.1 Latar Belakang Pendirian Pabrik
PT. X Batam sebelumnya didirikan pada tahun 1991 dan diresmikan pada
tanggal 19 Februari 1994 oleh Presiden Soeharto yang tergabung dalam Divisi
Kimia Salim Group. Seiring dengan perkembangan industri yang terjadi dan
permintaan pasar yang semakin meningkat, maka dilakukan ekspansi di Pulau
Batam. Dipilihnya Pulau Batam sebagai lokasi pabrik oleokimia karena selain
merupakan salah satu pusat perindustrian terbesar di Indonesia, Pulau Batam juga
terletak di daerah segitiga emas yaitu Indonesia (Batam), Singapura dan Malaysia
(Johor).
PT. X Batam adalah perusahaan yang bergerak di bidang oleokimia,
menghasilkan produk dari alam, berbahan dasar minyak nabati daerah tropis yang
ramah lingkungan.Sebagai salah satu penghasil utama oleokimia dengan jumlah
yang besar maka PT. X berkomitmen menyediakan produk yang bermutu tinggi
dengan harga yang berdaya saing dan membangun hubungan yang erat dengan
pelanggan sembari berinvestasi di sumber daya manusia.
Berlokasi dekat dengan terminal CPO / CPKO, PT. Ecogreen
Oleochemicals Batam tersambung langsung dengan Terminal Kabil yang
mempermudah proses memuat dan membongkar barang dari kapal tanker.
Teknologi proses industri yang digunakan di PT. X Batam adalah teknologi Lurgi
AG dari Jerman dan teknologi Davy dari Inggris. Bahan baku utama proses

46

47

berupa minyak inti sawit (Crude Palm Kernel Oil), minyak sawit (Crude Palm
Oil), ataupun minyak kelapa (Coconut Oil).
4.1.2 Bidang Usaha
PT. X Batam memproduksi erbagai macam bahan kimia sebagai berikut:
1. Fatty Acids (Asam Lemak)
Secara umum Fatty Acids dihasilkan dari proses Raw Material (CPKO,
RBDPS,

PKO,

RBDPO) dipompakan

ke splitting dimana

terjadi

proses Hidrolisis yang menghasilkan Fatty Acids dan Glyserin setelah itu
proses Hidrogenasi yaitu untuk menghasilkan Fatty Acids yang jenuh dengan
memberikan Hydrogen, kemudian proses Destalasi selanjutnya proses
Fraksinasi dan akhirnya dihasilkan Fatty Acids.
2. Fatty Alkohol (Lemak Alkohol)
Fatty Alkohol merupakan hasil lanjut dari pengolahan Fatty Acids yang
terlebih dahulu di proses melalui Methylester.
3. Fatty Amino (Lemak Amino)
Fatty Amino digunakan sebagai bahan industri plastik, pelumas, tekstil
dan surfaktan.
4. Methylester
Methylester dihasilkan melalui proses Waterifikasi pada lemak yang
diberi Methanol atau Etanol dengan katalisator Nametoksi. Contohnya bahan
pembuatan sabun.

48

5. Gliserin
Gliserin merupakan pemisahan dari Fatty Acids pada proses Hidrolisasi.
Contohnya untuk industri kosmetik, bahan pelarut, pengatur kekenyalan
shampoo, obat kumur, pasta gigi, industri rokok, permen karet, cat, adesip,
plester dan sabun.
4.2. Mekanisme Sistem Pengelolaan Limbah Cair di PT. X Batam
4.2.1 Proses Waste Water Treatment Plant

Gambar 3. Proses Pengelolaan Limbah Cair Oleokimia PT. X Batam
4.2.2

Oil Separator
Air limbah yang berasal dari proses produksi dirancang dengan debit 1000

m3/d dan mengalir ke instalasi pengolahan air limbah. Langkah pretreatment
pertama adalah pemisahan minyak. Air limbah yang mengandung minyak
dialirkan ke Oil Separator untuk memisahkan minyak dan air limbah. Pemisahan

49

ini diadasarkan atas perbedaan densitas antara air dan minyak. Dimana minyak
akan naik keatas karena memiliki densitas lebih ringan dibandingkan densitas air.
Oil Separator mampu menampung air limbah dengan volume 56,3 m 3 dan
dilengkapi dengan perangkap minyak. Aliran dirancang over flow sehingga
minyak akan terperangkap dan mengalir secara gravitasi ke Oil Waste Tank
kemudian akan di pompaka ke coal boiler sebagai bahan bakar. Sedangkan air
limbah selanjutnya dialirkan menggunakan pompa.
Adapun parameter yang dimonitor di Oil Separator adalah pH (6-9),
temperatur (28-40oC), dan warna dalam air limbah dan Oil Separator dapat
mengurangi COD sebesar 5%.
4.2.3

Fat Separator
Air limbah dari Oil Separator masih mengandung minyak sehingga

diperlukan pemisahan lanjutan di Fat Separator. Pada Fat Separator dilakukan
penambahan HCl 33% yang bertujuan untuk mengasamkan air limbah dan untuk
membantu mengemulsi air dengan minyak sehingga minyak akan naik ke
permukaan. Fat Separator juga dilengkapi dengan alat perangkap minyak untuk
dialirkan ke Oil Waste Tank. Fat Separator mampu menampung air limbah
dengan volume 37,8 m3. Dan air limbah bebas minyak dialirkanke proses
selanjutnya dengan menggunakan pompa. Adapun parameter yang dimonitor di
Oil Separator adalah pH (2-3), temperatur (28-40oC), dan mampu mengurangi
COD sebesar 5%.

50

4.2.4

Koagulan Tank dan Flokulan Tank
Air limbah yang bebas dari minyak dipompakan ke koagulan tank dengan

menggunkaan pompa. Dialirkan ke koagulan tank untuk memisahkan suspended
solid pada air limbah dengan penambahan koagulan. Koagulan yang digunakan
adalah PAC 10% yang dipompakan dari Koagulan Tank. Adapun proses
terbentuknya flok ialah suspended solid yang ada dalam air terdiri dari ion-ion
yang bermuatan negatif. Ion tersebut akan saling tolak-menolak. Sedangkan zatzat pengendap terdiri atas ion-ion positif. Apabila ion positif bersentuhan dengan
ion negatif maka dapat membentuk gumpalan-gumpalan. Sehingga ukuran
partikel akan bertambah besar dan lebih mudah untuk diendapkan.
Pada proses koagulasi pH sangat berpengaruh pada pembentukan flok,
sehingga pada koagulan tank pH dijaga antara 6,5 – 8,5 dengan penambahan
NaOH 48%. Apabila pH dibawah 6,5 maka flok akan sulit terbentuk sedangkan
apabila pH diatas 8,5 flok yang sudah terbentuk dapat pecah kembali. Kemudian
dialirkan ke flokulan tank. Flokulan yang ditambahkan berupa polimer dari
flokulan tank. Polimer berfungsi untuk memperbesar partikel koloid dan flok yang
telah terbentuk, sehingga proses pengendapan dapat berlangsung lebih cepat dan
sempurna.
4.2.5

Dissolved Air Flotation (DAF)
Air limbah ke flokulan tank selanjutnya dialirkan ke Dissolved Air

Flotation untuk memisahkan endapan flok yang sudah terbentuk dari air. Prinsip
pemisahan pada Dissolved Air Flotation adalah untuk dialirkan dari bawah
dengan menggunakan blower sehingga flok-flok yang terbentuk akan naik dan

51

berkumpul di permukaan. Selanjutnya akan dipisah menggunakan skimmer.
Sludge akan ditampung di Primary Sludge Pit dan dipompakan menggunakan
pompa ke sludge receive tank. Kemudian sludge akan dipindahkan ke kontainer
dan digunakan sebagai bahan bakar. Sedangkan air limbah dari DAF akan
dialirkan ke proses selanjutnya. COD air limbah dari DAF berkurang sebesar 5%.
4.2.6

Collection Pit
Air limbah dari Dissolved Air Flotation dialirkan ke Colleciton Pit.

Collection Pit dengan desain volume 3200 m3. Adapun tujuan Collection Pit
didisain

begitu

besar

yang

pertama

untuk

memfasilitasi

proses

hidrolisis/acidogenasi air limbah sehingga terbentuk asam organik, ini ditandai
terjadinya penurunan pH di Collection Pit. Kemudian untuk mengakomodasi
kegagalan pemisahan fisik dan biologi.
Di Collection Pit ditambahkan nitrogen dan phospat sebagai nutrient
mikroorganisme diproses selanjutnya dengan perbandingan COD:N:P = 1000:7:1.
Air limbah dari Collection Pit selanjutnya dialirkan ke distributor tank dengan
mengguakan pompa. Adapun yang dimonitor di collection pit adalah pH, flow,
total flow, dan temperatur.
4.2.7

Distribution Tank
Air limbah dari Collection Pit selanjutnya dialirkan ke distributor tank

dengan menggunakan pompa. Distribution Tank fungsinya untuk membagi flow
ke proses selanjutnya yaitu conditioning tank. Pada aliran distribution tank
ditambahkan NaOH 48%. Penambahan NaOH 48% untuk mengontrol pH di
Conditioning Tank yang sangat berpengaruh terhadap proses selanjutnya.

52

4.2.8

Conditioning Tank
Air limbah dari distribution tank dialirkan ke conditioning tank. Air

limbah dikondisikan pH nya netral antara 6,5 – 8,5 sehingga diambah NaOH 48%.
Karena pH sangat berpengaruh pada proses anaerobik. Air limbah dari
Conditioning Tank dipompakan ke Uplow Anaerobic Sludge Blanked (UASB)
Tank dan sebagian disirkulais ke Conditioning Tank untuk memperkecil
kebutuhan NaOH 48%.
4.2.9

UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanked) Tank
Air limbah dari Conditioning Tank dialirkan ke UASB Tank dengan

menggunakan pompa. Air limbah dialirkan dari bawah UASB Tank dan debit
influen dijaga sesuai dengan setpoint yang telah ditentukan. UASB Tank mampu
mengurangi COD air limbah sebesar 85%. Effluent dari UASB Tank dialirkan ke
proses aerobic yang sebelumnya ditampung di Distribution Tank.
Proses pengolahan air limbah di UASB Tank dilakukan dengan bantuan
mikroorganisme untuk mengubah organic komplek menjadi gas metan. Ada
empat jenis bakteri yang berperan dalam UASB Tank yaitu bakteri hidrolitik,
bakteri asidogenik, bakteri asitogenik, dan bakteri metanogenik.
4.2.10 Distribution Tank
Air limbah dari UASB Tank dialirkan ke Distribution Tank secara
gravitasi. Distribution Tank fungsinya untuk membagi flow ke proses selanjutnya
yaitu Activated Sludge. Volume Distribution Tank 1 m 3.

53

4.2.11 Activated Sludge
Adapun pengolahan air limbah secara Activated Sludge ialah senyawa
organic yang tersisa pada air limbah didekomposisi mikroorganisme. Pada tangki
aerasi disuplai oksigen dari blower. Selain suplai oksigen blower juga berfungsi
sebagai pengadukan dalam tangki aerasi. Parameter yang dimonitor dalam tangki
aerasi salah satunya adalah pH sehingga ditambahkan HCl 33% apabila air limbah
dalam kondisi asam. Kemudian air limbah dialirkan ke MBR Tank secara over
flow.
Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengoperasian lumpur
aktif yaitu:
1. Butiran lumpur dan kualitas lumpur, butiran lumpur yang keras sulit
mengendap sehingga sulit untuk dipisahkan dari cairan, bila lumpur ini ada
dalam jumlah banyak maka akan menutupi permukaan dan mengakibatkan
terganggunya kehidupan mikroorganisme. Butiran ini terjadi karena
rendahnya konsentrasi oksigen yang terlarut.
2. Tidak tersedianya nutrisi yang cukup dan waktu tinggal lumpur dalam cairan
terlalu lama, oleh karena itu harus selalu diketahui perbandingan volume
lumpur dan berat lumpur.
4.2.12 MBR Tank
MBR Tank berfungsi untuk menyaring sludge dari aliran over flow aerasi
tank. Volume MBR Tank 73,4 m3. Air limbah kemudian dialirkan ke Effluen Tank
dengan menggunakan pompa. Sedangkan sludge dipompakan ke Sludge Storage

54

Tank untuk dipisahkan sludge dari air limbah. MBR Tank dilengkapi dengan
boiler untuk menghindari terjadinya fouling pada membran.
4.2.13 Belt Press
Belt Press berfungsi untuk memisahkan sludge dari air limbah. Sludge
dialirkan ke Sludge Storage Tank kemudian dipompakan ke Belt Press dengan
menggunakan pompa. Untuk mempermudah pemisahan ditambahkan polimer.
Prinsip kerja pada Belt Press ialah air limbah yang di pres sehingga sludge akan
menggumpal dan ditampung ke dalam kontainer. Sedangkan air limbah yang
bebas sludge ditampung di Belt Press Drain Tank kemudian dipompakan kembali
ke dalam Distribution Tank.
4.2.14 Effluent Tank
Effluent Tank berfungsi untuk menampung air limbah yang sudah di
treatment. Volume Effluent Tank adalah 180 m3. Air limbah yang telah di
treatment kemudian ditransfer ke titik pembuangan air limbah dengan
menggunakan pompa.

55

4.3 Chemical
Tabel 4.1 Bahan Kimia yang Ditambahkan pada Proses WWTP
Chemical

Penyimpanan

Konsentrasi

Penambahan

HCL

F-700

33%

Fat Separator

Pengemulsi

Activated

Mengontrol

Sludge

pH

Koagulan

Mengontrol

Tank

pH

NaOH

F-710

48%

Fungsi

Pipa effluent
Coll pit
PAC

F-720

10%

Koagulan

Koagulan

Tank
Polimer

F-730

0,1%

Flokulan Tank

Flokulan

Urea

F-740

10%

Coll pit

Nutrien

DAP

F-750

5%

Coll pit

Nutrien

Sumber: Operasional Manual Waste Water Treatment Plant PT. X Batam.
4.4 Kualitas Udara
Kadar NH3 (Ammonia) dan H2S (Hidrogen Sulfida) diukur pada
tanggal 4 Mei 2017 pada pukul 13.30 – 15.30 WIB di wilayah WWTP (Waste
Water Treatment Plant) PT. X Batam. Titik pengambilan sampel sebanyak 4
titik dan pada saat pengukuran dilakukan, keadaan cuaca dalam keadaan cerah
setelah hujan selama 1 jam. Adapun hasil pengukuran kadar NH3 (Ammonia)
dan H2S (Hidrogen Sulfida) dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini :

56

Tabel 4.2

No.

Hasil Pengukuran Kadar Gas NH3 (Ammonia) dan H2S
(Hidrogen Sulfida) di IPAL Departemen Utility PT. X Batam
Tahun 2017

Parameter

1
NH3
2
H2S
Keterangan:

Kadar NH3 dan H2S
Titik
Titik
Titik
Titik
I
II
III
IV

Syarat Baku
Mutu Udara
Ambien

Ket.

0,44
0,012

2 ppm
0,02 ppm

MS
MS

0,20
0,008

0,20
0,007

0,19
0,005

MS : Memenuhi Syarat
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari pengukuran yang dilakukan pada
empat titik di IPAL departemen Utility PT. X Batam yaitu, Collecting Pit,
Conditioning Tank,UASB Tank, dan MBR Tank tidak terdapat hasil yang
melebihi baku mutu udara ambien nasional. Kadar NH3 dan H2S pada titik I
sebesar 0,44 ppm dan 0,012 ppm, pada titik II 0,20 ppm dan 0,008 ppm, pada
titik III 0,20 ppm dan 0,007 ppm, pada titik IV 0,19 ppm dan 0,005 ppm
4.5

Karakteristik Responden
Karakteristik responden berupa usia karyawan, masa kerja karyawan, lama

paparan, jam kerja pekerja, riwayat merokok, dan penggunaan alat pelindung diri
di IPAL Departemen Utility PT. X Kota Batam dapat dilihat pada tabel 4.3 di
bawah ini.

57

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pada Pekerja
Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT. X Kota Batam
Tahun 2017.
Variabel

Kelompok

Usia karyawan

≤ 25 tahun
26 – 35 tahun
36 – 45 tahun
> 45 tahun

Jumlah
(orang)
9
23
8
5

Persentase (%)
20,0
51,1
17,8
11,1

Jumlah

45

100,0

≤ 5 tahun
6 – 15 tahun

21
18

46,7
40,0

16 – 25 tahun
Jumlah

6
45

13,3
100,0

Lama paparan

≤ 5 jam
> 5 jam
Jumlah

19
26
45

42,2
57,8
100,0

Jam kerja

< 8 jam
8 jam
Jumlah

9
36
45

20,0
80,0
100,0

Riwayat Merokok

Ya
Tidak
Jumlah

14
31
45

31,1
68,9
100,0

Penggunaan APD

Lengkap
Tidak Lengkap
Jumlah

16
29
45

35,6
64,4
100,0

Masa kerja karyawan

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja memiliki usia dalam
rentang 26 – 35 tahun yaitu sebanyak 23 orang (51,1 %). Kemudian, untuk masa
kerja responden, pada umumnya perkerja memiliki masa kerja ≤ 5 tahun yaitu
sebanyak 21 orang (46,7%).
Untuk lama paparan dengan udara menunjukkan bahwa sebagian besar
pekerja kontak dengan udara sekitar IPAL Departemen Utility PT. X selama > 5
jam yaitu sebanyak 26 orang (57,8%). Adapun jam kerja sebagian besar pekerja

58

pengelola limbah di IPAL Departemen Utility PT. X bekerja selama 8 jam sehari
yaitu 36 orang (80,0%)
Untuk riwayat merokok responden sebagian besar responden yang bekerja
di IPAL Departemen Utility PT. X kota Batam tidak merokok yaitu 31 orang
(68,9%) sedangkan yang merokok yaitu 14 orang responden (31,1%).
Sebagian besar responden tidak menggunakan alat pelindung diri lengkap
saat bekerja yaitu sebanyak 29 orang (64,4%), sedangkan untuk yang
menggunakan alat pelindung diri lengkap sebanyak 16 orang (35,6%).
Adapun jenis alat pelindung diri (APD) yang digunakan oleh responden
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Alat Pelindung Diri
yang Digunakan di IPAL Departemen Utility PT. X Kota Batam
Tahun 2017
Jenis Alat Pelindung Diri yang Digunakan
Masker

Kacamata

SSarung tangan

Kadang – kadang
Tidak pernah
Jumlah
Kadang – kadang
Tidak pernah
Jumlah

Jumlah
(orang)
18
27
45
16
29
45

Persentase
(%)
40,0
60,0
100,0
35,6
64,4
100,0

Kadang – kadang
Tidak pernah
Jumlah

20
25
45

44,4
55,6
100,0

Berdasarkan tabel 4.4 dari hasil penelitian menunjukkan bahwa petugas
yang menggunakan masker yaitu sebanyak 18 orang (40,0 %), untuk petugas yang
menggunakan kacamata yaitu sebanyak 16 orang (35,6 %), sedangkan untuk
penggunaan sarung tangan oleh petugas lebih banyak yaitu sebanyak 20 orang
(44,4 %).

59

4.6

Keluhan Kesehatan Responden
Untuk mendapatkan gambaran tentang keluhan gangguan keluhan

kehatan responden dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner
sebagaimana dalam tabel 4.5 berikut ini.
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Kesehatan pada
Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT. X
Kota Batam Tahun 2017
Keluhan Kesehatan
Keluhan Gangguan
Saluran Pernapasan
Tenggorokan kering
Pilek
Nyeri dada
Batuk – batuk
Sesak napas
Keluhan Iritasi Mata
Mata gatal
Mata merah
Mata kotor
Mata Berair

Iya
n
17

%
37,8

Tidak
n
%
28
62,2

5
5
3
15
4
14
7
11
3
5

29,4
29,4
17,6
88,2
23,5
31,1
50,0
78,6
21,4
35,7

12
12
14
2
13
31
7
3
11
9

70,6
70,6
82,4
11,8
76,5
68,9
50,0
21,4
78,6
64,3

Total
N
%
45
100,0
17
17
17
17
17
45
14
14
14
14

100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 17 orang responden
(37,8%) yang mengalami keluhan gangguan saluran pernapasan sebagian besar
responden juga mengalami keluhan batuk-batuk 15 orang (88,2 %), sedangkan
dari 14 orang responden (31,1 %) yang mengalami keluhan iritasi mata sebagian
besar responden juga mengalami keluhan mata merah 11 orang (78,6%).

60

Tabel 4.6

No.
1.
2.

Distribusi Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen
Utility PT. X Kota Batam Berdasarkan Jumlah Keluhan
Gangguan Saluran Pernafasan

Keluhan Kesehatan
Gangguan Saluran Pernapasan
< 3 Keluhan
≥ 3 Keluhan
Iritasi Mata
< 3 Keluhan
≥ 3 Keluhan

Jumlah
(orang)

Persentase
(%)

14
3

82,4
17,6

11
3

78,6
21,4

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa jumlah keluhan gangguan
saluran pernapasan terbanyak yang dialami oleh pekerja pengelola limbah di
IPAL Departemen Utility PT. X Kota Batam yang mengalami keluhan < 3 yaitu
sebanyak 14 orang (82,4%), sedangkan petugas yang mengalami ≥ 3 keluhan
yaitu 3 orang (17,6%). Untuk Keluhan iritasi mata, petugas yang mengalami
keluhan iritasi mata < 3 keluhan yaitu sebanyak 11 orang (78,6%) dan petugas
yang mengalami keluhan iritasi mata ≥ 3 keluhan yaitu sebanyak 3 orang
(21,4%).
4.7 Keluhan Kesehatan Berdasarkan Karakteristik Responden
Tabel 4.7

Hasil Tabulasi Silang Karakteristik Responden Terhadap
Keluhan Iritasi Mata Pada Pekerja Pengelola Limbah di
IPAL Departemen Utility PT. X Kota Batam

Karakteristik
Responden
(n)
Umur
≤ 25 tahun
26 – 35 tahun
36 – 45 tahun
> 45 tahun

4
6
5
2

Keluhan iritasi mata
Iya
Tidak
%
(n)
%
44,4
26,1
62,5
40,0

5
17
3
3

55,6
73,9
37,5
60,0

Total
(n)

%

9
23
8
5

100,0
100,0
100,0
100,0

61

Lajuntan tabel 4.7

Masa Kerja
≤ 5 tahun
6 – 15 tahun
16 – 25 tahun
Lama
paparan
≤ 5 jam
>5 jam
Jam Kerja
< 8 jam
8 jam
Penggunaan
APD
Lengkap
TidakLengkap

Hasil Tabulasi Silang Karakteristik Responden
Terhadap Keluhan Iritasi Mata Pada Pekerja
Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT.
X Kota Batam

10
5
2

47,6
27,8
33,3

11
13
4

52,4
72,2
66,7

21
18
6

100,0
100,0
100,0

6
11

31,6
42,3

13
15

68,4
57,7

19
26

100,0
100,0

6
11

31,6
42,8

13
15

68,4
57,7

19
26

100,0
100,0

2
12

12,5
41,4

14
17

87,5
58,6

16
29

100,0
100,0

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden dengan rentang
umur 26 – 35 tahun paling banyak mengalami keluhan iritasi mata yaitu sebanyak
6 orang (26,1%). Selain itu, petugas dengan masa kerja ≤ 5 tahun paling banyak
mengalami keluhan iritasi mata yaitu sebanyak 10 orang (47,6%). Sedangkan
sebanyak 11 orang (42,3%) mengalami keluhan iritasi mata dengan lama paparan
>5 jam. Untuk petugas dengan jam kerja 8 jam sehari mengalami keluhan iritasi
mata yaitu sebanyak 11 orang (42,8%) dibandingkan dengan petugas dengan jam
kerja < 8 jam sehari yaitu sebanyak 6 orang (31,6%). Untuk penggunaaan APD,
hanya 2 orang (12,5%) yang menggunakan APD lengkap.

62

Tabel 4.8

Hasil Tabulasi Silang Karakteristik Responden Terhadap
Gangguan Saluran Pernapasan Pada Pekerja Pengelola
Limbah di IPAL Departemen Utility PT. X Kota Batam

Karakteristik
Responden
Umur
≤ 25 tahun
26 – 35 tahun
36 – 45 tahun
> 45 tahun
Masa Kerja
≤ 5 tahun
6 – 15 tahun
16 – 25 tahun
Lama
paparan
≤ 5 jam
>5 jam
Jam Kerja
< 8 jam
8 jam
Penggunaan
APD
Lengkap
TidakLengkap

Keluhan saluran pernapasan
Iya
Tidak
(n)
%
(n)
%

Total
(n)

%

4
6
5
2

44,4
26,1
62,5
40,0

5
17
3
3

55,6
73,9
37,5
60,0

9
23
8
5

100,0
100,0
100,0
100,0

7
6
1

33,3
33,3
16,7

14
12
5

66,7
66,7
83,3

21
18
6

100,0
100,0
100,0

4
10

21,1
38,5

15
16

78,9
61,5

19
26

100,0
100,0

5
12

55,6
33,3

4
24

44,4
66,7

9
36

100,0
100,0

3
14

18,8
48,3

13
15

81,2
51,7

16
29

100,0
100,0

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa responden dengan rentang
umur 26 – 35 tahun paling banyak mengalami gangguan saluran pernapasan yaitu
sebanyak 6 orang (26,1%). Selain itu, petugas dengan masa kerja ≤ 5 tahun paling
banyak mengalami gangguan saluran pernapasan yaitu sebanyak 7 orang (33,3%).
Sedangkan sebanyak 10 orang (38,5%) mengalami gangguan saluran pernapasan
dengan lama paparan >5 jam. Untuk petugas dengan jam kerja 8 jam sehari
mengalami gangguan saluran pernapasan yaitu sebanyak 12 orang (33,3%). Untuk
penggunaaan APD, hanya 3 orang (18,8%) yang menggunakan APD lengkap.

63

4.8

Responden yang Terganggu dengan Bau
Adapun responden yang terganggu dengan adanya bau pada penelitian ini

dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut :
Tabel 4.9

No
1
2
3

Distribusi Responden yang Terganggu Dengan Bau yang
Dirasakan pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL
Departemen Utility PT. X Kota Batam tahun 2017

Frekuensi Merasakan
Kebauan
Sering
Kadang – Kadang
Tidak Pernah
Jumlah

Jumlah
(Orang)
24
15
6
45

Persentase
%
53,3
33,3
13,4
100

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa responden yang merasa terganggu dengan
bau sebanyak 24 orang (53,3%), sedangkan yang merasakan bau kadang – kadang
yaitu sebanyak 15 orang (33,3%), dan tidak terganggu dengan bau sebanyak 6
orang (13,4%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
bekerja di IPAL Departemen Utility PT. X kota Batam terganggu dengan adanya
bau dari masing-masing kolam pengelola limbah cair tersebut.

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Kadar Gas NH3 (Ammonia) dan H2S (Hidrogen Sulfida) di IPAL Departemen
Utility PT.X kota Batam
Berdasarkan hasil pengukuran kadar NH3 dan H2S yang dilakukan pada empat
titik di kolam pengelolaan limbah cair yaitu kolam Collecting Pit, UASB (Upflow
Anaerobic Sludge Blanket) Tank, MBR Tank, dan Conditioning Tank belum ada yang
memenuhi baku mutu. Nilai baku mutu udara kebauan untuk NH3 dan H2S
berdasarkan KepMen LH No. 50 Tahun 1996 masing-masing sebesar 2 ppm dan 0,02
ppm.
Adapun rentang dari hasil pengukuran yang dilakukan pada 5 titik di IPAL
Departemen Utility PT. X Batam adalah (0,19 – 0,44) ppm untuk NH3 dan (0,005 –
0,012) ppm untuk H2S. Titik pengukuran I di kolam Collecting Pit memberikan hasil
untuk kadar NH3 (Ammonia) 0,44 ppm dan H2S 0,012 ppm. Bila ditinjau dari hasil
pengukuran maka dikatakan kadar NH3 dan H2S tersebut masih belum memenuhi
syarat. Namun, untuk kadar H2S hampir memenuhi baku mutu.
. Titik pengukuran II di Conditioning Tank memberikan hasil yaitu 0,20 ppm

untuk kadar NH3 dan 0,008 ppm untuk kadar H2S. .Bila ditinjau dari hasil
pengukuran maka dapat dikatakan kadar NH3 dan H2S di titik ini dalam taraf rendah.
Titik pengukuran III di UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) Tank memberikan

64

65

hasil untuk kadar NH3 yaitu 0,20 ppm dan kadar H2S 0,007 ppm. Maka dapat
dikatakan kadar NH3 dan H2S di titik ini dalam taraf rendah. Titik pengukuran IV di
MBR (Membran Bio Reactor) Tank memberikan hasil untuk kadar NH3 yaitu 0,19
ppm dan kadar H2S yaitu 0,005 ppm, maka dapat dikatakan kadar NH3 dan H2S di
titik ini dalam taraf rendah.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar NH3 dan H2S di kelima titik yang paling
tinggi kadar NH3 dan H2S terdapat di titik pengukuran I di kolam Collecting Pit yaitu
sebesar 0,44 ppm dan 0,012 ppm. Sedangkan untuk kadar NH3 dan H2S yang
terendah terdapat di MBR Tank yaitu 0,19 ppm dan 0,005 ppm.
Kadar ammonia dan hidrogen sulfida yang tidak melebihi baku mutu tersebut
dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah waktu pengambilan sampel
udara. Sampel udara yang diambil dilakukan saat pengelolaan limbah cair di IPAL
PT. X berjalan normal dan debit limbah yang diolah tidak terlalu banyak sehingga
bau yang dikeluarkan tidak terlalu menyengat.
Selain itu, suhu juga mempengaruhi kadar udara di IPAL PT. X tersebut. Pada
saat dilakukan pengukuran kualitas udara, suhu udara dilapangan tinggi yaitu sebesar
32,6 oC – 36,8 oC. Suhu udara yang tinggi menyebabkan udara makin renggang
sehingga konsentrasi pencemar menjadi makin rendah. Sebaliknya pada suhu yang
dingin keadaan udara makin padat sehingga konsentrasi pencemar di udara
tampaknya makin tinggi (Depkes dalam Junaidi, 2002). Kemudian curah hujan juga

66

turut mempengaruhi kadar NH3 dan H2S yang rendah dimana 1 jam sebelum
penelitian dilakukan di lapangan saat itu sedang hujan deras.
5.2 Karakteristik Responden
5.2.1 Umur
Berdasarkan tabel distribusi responden dapat dilihat bahwa dari total 45 orang
responden, sebagian besar responden adalah pekerja yang berada dalam kelompok
umur dengan rentang usia antara 26 – 35 tahun yaitu 23 responden atau sebesar
51,1% dari total responden. Kelompok umur dengan jumlah responden terkecil
adalah kelompok umur > 45 tahun yaitu 5 orang atau 11,1% dari total responden.
Berdasarkan kelompok umur yang ditetapkan maka pekerja di PT. X Batam termasuk
dalam pekerja usia produktif.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 mendefinisikan
tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat. Penduduk dalam usia kerja (15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk
dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan
terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut
(Kusumosuwidho, 2007). Di Indonesia tenaga kerja ditetapkan dengan UU No. 25
Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan yang menetapkan bahwa batas usia kerja 15
tahun.

67

5.2.2 Masa Kerja
Dari tabel distribusi responden dapat dilihat bahwa dari total 45 responden,
sebagian besar responden bekerja dengan masa kerja selama ≤ 5 tahun yaitu 21 orang
atau 46,7% dari total responden. Selanjutnya, pekerja dengan masa kerja selama 6-15
tahun yaitu sebanyak 18 orang atau 40,0% dari total responden. Kemudian pekerja
yang bekerja dengan masa kerja selama 16 – 25 tahun yaitu 6 orang atau 13,3 % dari
total responden.
Masa kerja dapat diartikan sebagai sepenggal waktu yang agak lama dimana
seorang tenaga kerja masuk dalam suatu wilayah tempat usaha sampai batas waktu
tertentu (Suma’mur P.K., 2009:71).
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Sembiring (2002) yang
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gangguan
pernapasan, maka semakin lama masa kerja seseorang, maka akan semakin lama
terpajan gas iritan sehingga semakin mengganggu kesehatan paru-paru pekerja.
5.2.3 Lama Paparan
Sebagian besar responden memiliki lama paparan selama > 5 jam yaitu
sebanyak 26 orang atau 57,8% dari total responden. Sedangkan responden dengan
lama paparan selama ≤ 5 jam yaitu sebanyak 19 orang atau 42,2 % dari total
responden. Sesuai dengan penelitian Ramadhona (2014) yang menunjukkan bahwa
semakin lama seseorang terpapar amonia maka semakin besar risiko kesehatan yang
diterima.

68

5.2.4 Jam Kerja
Dari total 45 responden, sebagian besar responden bekerja selama 8 jam yaitu
sebanyak 36 orang atau 80,0% dari total responden. Sedangkan yang bekerja < 8 jam
yaitu 9 orang atau 20,0 % dari total responden. Responden yang bekerja selama 8 jam
adalah operator, helper, dan supervisor yang bertugas untuk selalu memantau masingmasing kolam di IPAL PT. X Batam agara kualitas effluent yang keluar tidak
melebihi baku mutu air limbah. Sedangkan responden yang bekerja < 8 jam pada
umumnya adalah super intendent yang bertugas mengatur kerja masing-masing
supervisor dan operator.
Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 1, mewajibkan setiap
pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah
diatur dalam 2 sistem yaitu 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1
minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu dan 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam
kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.

5.3 Keluhan Kesehatan Responden
Berdasarkan tabel distribusi keluhan kesehatan responden dapat dilihat bahwa
dari total 45 responden, hampir setengahnya yang mengalami keluhan kesehatan
yaitu sebanyak 20 orang atau 44,4 % dari total responden, sedangkan yang tidak
mengalami keluhan kesehatan yaitu 25 orang atau 55,6 % dari total responden. Dari 2

69

jenis keluhan kesehatan responden yaitu keluhan iritasi mata dan keluhan gangguan
saluran pernapasan, selama bekerja responden paling banyak mengalami keluhan
gangguan saluran pernapasan yaitu sebanyak 17 responden atau sebesar 44,4%,
dengan jenis keluhan yang paling banyak adalah batuk-batuk yaitu sebanyak 14
responden dari 17 responden yang memiliki keluhan gangguan pernapasan.
Sedangkan untuk jenis keluhan kesehatan iritasi mata dari 45 responden,
hanya 14 orang atau 31,1% dari total responden yang mengalaminya. Dengan jenis
keluhan iritasi mata terbanyak adalah mata perih sebanyak 11 responden atau 78,6 %
dari 14 responden yang mengalami keluhan iritasi mata.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2007) tentang Analisa
Dampak Gas Amonia dan Klorin Pada Faal Paru Pekerja Pabrik Sarung Tangan Karet
“X” Medan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: di bagian amonia terdapat keluhan
berupa tenggorokan kering (80%), jalan pernapasan kering (73,3%), mata perih
(66,67%), iritasi hidung dan batuk (53,3%), dan pingsan (6,67%). Hasil pemeriksaan
udara menunjukkan bahwa kadar pada lingkungan kerja masih berada dibawah
ambang batas menurut Permenaker No. 13 Tahun 2011 (25 ppm), yaitu gas amonia
sebesar 1,7 ; 1,9, dan 3,5 ppm.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pakpahan (2013) hasil Pengukuran
kadar H2S pada PT. Allegrindo Nusantara Desa Urung Panei Kecamatan Purba
Kabupaten Simalungun tidak ada yang melebihi batas baku mutu yang ditetapkan
oleh KepMenLH No. 50 Tahun 1996. Hasil tertinggi berada pada jarak 60 meter dari

70

peternakan yakni sebesar 0,016 ppm, dan hasil yang terendah berada pada jarak 500
meter dari peternakan yakni sebesar 0,0002 ppm. Kemudian dari di jumpai ada 36
orang (40,0%) yang memiliki keluhan kesehatan saluran pernapasan selama 3 bulan
terakhir dan 27 orang (30,0%) yang memiliki keluhan iritasi mata selama 3 bulan
terakhir.
Gas amoniak merupakan gas yang mudah larut dalam air sehingga permukaan
tubuh yang basah seperti mata dan kontak dengan gas secara langsung akan
mengalami iritasi. Amoniak yang masuk melalui pernapasan akan diserap oleh paruparu kemudian amoniak berikatan dengan darah yang ada di dalam paru - paru.
Kemudian darah diedarkan ke suluruh tubuh dan masuk ke dalam ginjal dan diubah
bentuk menjadi ion ammonium oleh glutamin dengan cara deaminasi yang dikatalis
oleh enzim glutaminase. Amoniak yang tidak dikeluarkan melalui urin akan
menumpuk di dalam ginjal dan akan menyebabkan kerusakan ginjal. Kerusakan
ginjal dapat mengakibatkan hemoglobin dalam darah turun (anemia) dan sesak nafas
karena menurunnya daya perfusi pulmonal (Arisman, 2010 dalam Sari, 2014).
Anemia yang terjadi akan menyebabkan pusing dan juga nyeri dada akibat
penyempitan pembuluh arteri pada jantung yang disebabkan oleh jantung kekurangan
oksigen yang cukup. Batuk sendiri merupakan gangguan saluran pernapasan yang
disebabkan oleh reaksi biologis tubuh untuk membersihkan saluran pernapasan dari
benda asing.

71

Gas hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang mudah larut dalam air
sehingga permukaan tubuh yang basah seperti mata dan kontak dengan gas secara
langsung akan mengalami iritasi. Selai itu gas hidrogen sulfida (H2S) dalam tubuh
dapat menghambat enzim cytochorome axidase sebagai penghasil oksigen. Hal ini
yang menyebabkan suplai oksigen dalam dibawa oleh darah ke jaringan tubuh
berkurang yang dapat menyebabkan pusing. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan
sistem pernapasan terpicu untuk bernafas lebih sering untuk mencukupi kebutuhan
oksigen yang dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas dan juga akibat kurangnya
oksigen maka terjadi penyempitan arteri yang menyuplai darah ke otot jantung yang
dapat menyebabkan dada terasa nyeri.
Berdasarkan karakteristik responden menurut umur, responden dengan usia 2635 tahun paling banyak mengalami keluhan kesehatan yaitu sebanyak 9 orang atau
45,0 % dari total responden. Tingginya persentase responden yang memiliki keluhan
kesehatan pada kelompok umur 26-35 tahun dikarenakan kelompok umur tersebut
merupakan kelompok umur produktif yang terus beraktivitas sehingga tingkat
pemaparan polutan udara lebih tinggi. Menurut Mukono (2008). Pada kelompok
umur 21-30 tahun, maupun 31-40 tahun, telah melewati pertumbuhan paru sehingga
beresiko terhadap terjadinya gangguan pernapasan.
Berdasarkan karakteristik masa kerja responden , terjadi keluhan kesehatan
tertinggi pada responden dengan masa kerja ≤ 5 tahun yaitu sebanyak 11 orang

72

(55,0%). Hal ini disebabkan karena mayoritas pekerja pengelola limbah berusia 26-35
tahun bekerja selama ≤ 5 tahun sehingga masa kerja belum relatif lama.
Berdasarkan karakteristik lama kontak responden , terjadi keluhan kesehatan
terbanyak pada responden dengan lama kontak > 5 jam yaitu sebanyak 13 orang
(65,0%). Menurut Suma’mur (2009) dalam Umakaapa M, dkk (2013), menyatakan
bahwa salah satu variabel potensial yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru
adalah lamanya seseorang terpapar zat toksik seperti gas maupun debu.
Berdasarkan karakteristik jam kerja responden, keluhan kesehatan tertinggi
terjadi pada responden yang bekerja selama 8 jam. Jumlah responden yang bekerja
selama 8 jam lebih banyak memiliki keluhan kesehatan dibandingkan dengan
responden yang bekerja

Dokumen yang terkait

Analisa Kadar H2S (Hidrogen Sulfida) Dan Keluhan Kesehatan Saluran Pernapasan Serta Keluhan Ititasi Mata Pada Masyarakat Di Kawasan PT. Allegrindo Nusantara Desa Urung Panei Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun Tahun 2013

1 52 97

Penambahan Mikroba Pengurai Limbah Pada Manur Untuk Menurunkan Kadar Gas Amonia Dan Hidrogen Sulfida Di Peternakan Babi Di Bali

1 11 4

Faktor-Faktor Risiko Paparan Gas Amonia dan Hidrogen Sulfida terhadap Keluhan Gangguan Kesehatan Pada Pemulung di TPA Jatibarang Kota Semarang.

0 5 16

Pemurnian Biogas Dari Gas Pengotor Hidrogen Sulfida (H2S) Dengan Memanfaatkan Limbah Geram Besi Proses Pembubutan.

0 0 12

Analisis Kadar Gas Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) Serta Keluhan Kesehatan Pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT X Kota Batam Tahun 2017

0 2 18

Analisis Kadar Gas Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) Serta Keluhan Kesehatan Pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT X Kota Batam Tahun 2017

0 0 2

Analisis Kadar Gas Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) Serta Keluhan Kesehatan Pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT X Kota Batam Tahun 2017

0 1 6

Analisis Kadar Gas Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) Serta Keluhan Kesehatan Pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT X Kota Batam Tahun 2017

2 12 24

Analisis Kadar Gas Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) Serta Keluhan Kesehatan Pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT X Kota Batam Tahun 2017

3 8 3

Analisis Kadar Gas Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) Serta Keluhan Kesehatan Pada Pekerja Pengelola Limbah di IPAL Departemen Utility PT X Kota Batam Tahun 2017

0 1 30