Dampak biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua : Studi kasus pada perceraian yang diakibatkan oleh perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga

(1)

(Studi Kasus pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

MAYANGSARI

NIM: 1111054100012

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/ 2015 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini, telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari saya terbukti bahwa dalam penulisan skripsi ini bukan hasil karya

saya sendiri atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain (plagiat), maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2015


(5)

i Mayangsari

Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Perselingkuhan dan disertai dengan Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT merupakan pemicu perceraian rumah tangga nomor dua di Indonesia. Perceraian kerap kali membawa pengaruh dalam segala aspek kehidupan anak baik pengaruh yang bersifat positif maupun negatif.

Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah perceraian orang tua agar dapat melihat bagaimana dampak perceraian orang tua mempengaruhi kondisi kesehatan anak, psikologis anak, kehidupan sosial anak serta spiritual anak atau dapat disebut sebagai biopsikososial dan spiritual. Dengan memperhatikan aspek tersebut diharapkan perceraian tidak menjadi momok yang menakutkan bagi anak karena meskipun orang tua mereka berpisah, mereka masih dapat merasakan kasih sayang seutuhnya dari kedua orang tua.

Pendekatan yang peneliti gunakan dalam skripsi ini adalah metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus, dimana dalam teknik pengumpulan data penulis melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik pemilihan informan yang peneliti gunakan ialah purposive sampling. Pemilihan purposive sampling berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik. Peneliti melakukan wawancara dengan orang tua, anak yang menjadi korban perceraian serta beberapa temannya.

Adapun hasil temuan yang peneliti dapatkan mengenai dampak biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tuanya, adalah dapat dilihat melalui aspek biologis yaitu bagaiamana kondisi kesehatan anak sebelum dan sesudah perceraian orang tuanya, aspek psikologis yaitu bagaimana konsep diri seorang anak dengan perceraian orang tuanya, aspek sosial dan spiritual adalah bagaimana interaksi seorang anak dengan lingkungannya, apakah perceraian benar-benar memberikan pengaruh terhadap aspek-aspek tersebut diatas. Serta bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya, karena pola asuh merupakan dasar pembentukan diri seorang anak.


(6)

ii

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Bopsikososial dan Spiritual Anak (Studi Kasus terhadap Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).” Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Sang Teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat guna meraih gelar Sarjana Sosial Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menghaturkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung kepada:

1. Dr. Arif Subhan, MA selaku Dekan Ilmu Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suparto, M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan bidang Administrasi Umum. Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial. Terimakasih atas nasehat dan bimbingannya. 3. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

membantu mengarahkan, membina, dan selalu bersedia meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih telah menjadi dosen pembimbing penulis sejak praktikum 1, praktikum 2, hingga skripsi.


(7)

iii

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.

5. Kepada seluruh informan peneliti yang telah bersedia memberikan informasi dan waktunya sehingga penelitian ini dapat selesai tepat waktu.

6. Kedua orangtua tercinta ayahku Adeng Mustajab dan Ibuku Kristina yang tak pernah hentinya memanjatkan doa dan memberikan dukungannya kepada penulis, sehingga penulis selalu termotivasi dengan kasih sayang kalian yang begitu besar. Dan untuk kedua kakakku, Rizkyana dan Ludfy Adetia yang juga turut memberikan dukungan bagi kelancaran penulisan skripsi ini. Serta keempat keponakanku Kanza, Nada, Azka dan Dhiva yang menjadi penghibur dikala lelah dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Muhammad Hafiz Zuldi dan Ade yang selalu memberikan dukungan moril, semangat serta perhatian terbaiknya kepada peneliti sehingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Sahabat terbaikku sejak kecil Renzi Yurfiandi yang selalu membantu, mengarahkan, mengantarkan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Sahabatku tercinta Yusnia, Nindy, Retno, Sonia dan Tri yang selalu

berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi ini, serta teman-teman kesejahteraan sosial Angkatan 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Jakarta, Juni 2015


(8)

iv

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Metodelogi Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORI ... 22

A. Keluarga ... 22

1. Pengertian Keluarga ... 22

2. Orang tua ... 23

3. Anak ... 23

a. Pengertian Anak...23

b. Anak dan Keluarga yang Bercerai...24

4. Pola Asuh ... 25


(9)

v

c. Hukuman...28

d. Perlakuan Salah Terhadap Anak...29

e. Akibat Kekerasan Pada Perkembangan Anak...30

f. Ayah sebagai Pengasuh...31

g. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...32

B. Perceraian ... 33

1. Definisi Perceraian ... 33

2. Penyebab Perceraian ... 33

C. Psikologi Sosial ... 35

1. Pengertian ... 35

2. Fase-fase Perkembangan ... 36

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psikososial ... 40

D. Biopsikososial...42

1. Faktor Biologis...42

2. Faktor Psikologis...44

3. Faktor Sosial...46

E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual...51

BAB III GAMBARAN UMUM INFORMAN ... 55

A. Profil Informan 1 ... 55

B. Profil Informan 2 ... 58


(10)

vi

E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual...66

BAB IV HASIL TEMUAN & ANALISIS ... 78

A. Temuan Lapangan ... 78

1. Kondisi Biologis...78

a. Dampak Perceraian Orang tua terhadap Aspek Kesehatan Anak...78

2. Kondisi Psikologis Anak...84

a. Fase-fase Perkembangan Anak...84

b. Hubungan dengan Lingkungan Keluarga...89

c. Status Ekonomi Orang tua...94

3. Kondisi Sosial Anak...98

a. Budaya...98

b. Status Sosial Ekonomi...101

c. Aspek Spiritual...103

4. Pola Asuh Orang tua...107

a. Jenis Pola Asuh...107

b. Kelekatan...112

c. Perlakuan Salah terhadap Anak...115

d. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak...118

e. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...122

B. Analisa...125

1. Kondisi Biopsikososial dan Spiritual...126


(11)

vii

1) Fase-fase Perkembangan Anak...127

2) Hubungan Anak dengan Lingkungan Keluarga...128

3) Status Ekonomi Orang tua...129

c. Kondisi Sosial...129

1) Budaya...130

2) Status Sosial Ekonomi...130

3) Aspek Spiritual...131

2. Pola Asuh Orang Tua...131

a. Jenis Pola Asuh...131

b. Kelekatan...132

c. Hukuman...133

d. Perlakuan Salah terhadap Anak...134

e. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak...134

f. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak...135

BAB V PENUTUP ... 136

A. Kesimpulan ... 136

B. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA...140


(12)

viii


(13)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 - Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 2 - Pedoman Wawancara

Lampiran 3 - Pedoman Observasi

Lampiran 4 - Transkip Wawancara

Lampiran 5 - Hasil Observasi


(14)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup berdampingan satu dengan yang lainnya, dan saling tolong menolong tanpa membedakan suku bangsa mereka, sehingga tercapai suatu kehidupan yang dinamis dan harmonis.

Perkawinan merupakan bentuk kehidupan bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diridhai Allah. Melalui suatu perkawinan maka diberikanlah suatu jalan yang aman dan sah pada naluri kebutuhan biologis antara seorang laki-laki dan seorang peremuan. Selain itu dengan perkawinan akan terjaga kemurnian dan terpelihara keturunan yang dilahirkan oleh pasangan tersebut.

Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan dan dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa saat itu pasangan telah resmi menjadi suami istri. Duvall & Miller menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak, dan membangun pembagian peran di antara sesama pasangan.1

Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai

1

Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 73.


(15)

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 disebutkan bahwa “perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

dan rahmah”. 3

Akan tetapi, jika salah satu unsur dari ketiga sifat itu tidak tertanam secara kuat dalam keluarga, maka kelangsungan keluarga tersebut akan sangat rapuh. Upaya untuk tetap mempertahankan kebahagian rumah tangga seringkali tidak berjalan mulus, dan tidak jarang suatu rumah tangga mengalami hambatan-hambatan sehingga sukar untuk mempertahankan keutuhannya. Ketika keutuhan rumah tangga sudah tidak dapat lagi dipertahankan, maka jalur yang ditempuh adalah mengakhiri perkawinan dengan jalan perceraian.

Sejalan dengan penegasan Rasulullah saw, bahwa menceraikan istri merupakan perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah. Dalam hadits

riwayat dari Ibn Umar ra,. ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah).4 Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di sisi lain juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan suami isteri. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan

2

Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000), h. 96.

3

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinbapera Depag RI: 2000), h. 3. 4

Asep Usman Ismail, MA, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial Islam Yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), cet. I, h. 164.


(16)

kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lagi kecuali dengan perceraian antara suami isteri.5

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Fenomena perceraian cukup meningkat akhir-akhir ini. Baik dari kalangan artis maupun masyarakat biasa. Dalam sebuah rumah tangga pasti tidak akan terlepas dari masalah. Masalah dalam rumah tangga itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokkan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan perceraian. Perceraian pada dasarnya merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki oleh pasangan suami isteri yang sama-sama terikat dalam perkawinan. Perceraian merupakan kondisi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami isteri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. 6

Seperti yang kita ketahui fenomena perceraian kini banyak terjadi. Usia pernikahan yang baru sebentar rentan terhadap konflik yang berujung perpisahan. Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengakui bahwa angka perceraian hingga saat ini masih tetap tinggi. Berdasar data Peradilan Agama (PA) secara nasional angka perceraian pada 2010 mencapai 314.354 pada tingkat pertama. Sementara berdasar bidangnya, jumlah perceraian mencapai 284.379, yakni cerai gugat mendominasi mencapai 190.280 dan cerai talak sebanyak 94.009, dikutip dari merdeka.com.7

5Jamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia”

, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 30.

6Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan”, cet. 5 (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 307.

7

http://www.vemale.com/relationship/keluarga/31001-fenomena-perceraian-di-indonesia-ternyata-inilah-penyebabnya.html, diakses pada 18 Febuari 2015.


(17)

Selain itu faktor lain yang dapat memicu perceraian, diantaranya perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain faktor ekonomi yang menjadi alasan pertama para suami isteri memutuskan untuk bercerai, ternyata perselingkuhan menduduki peringkat kedua sebagai alasan untuk melakukan perceraian. Menurut data yang ada Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Nasaruddin Umar mengakui bahwa penyebab perkawinan itu bermacam-macam. Penelitian yang dilakukan pihaknya, ada 14 faktor penyebab perceraian. Perceraian yang disebabkan perselingkuhan menaik dari sebelumnya. Di urutan pertama ada ekonomi sebagai pemicu perceraian, di urutan kedua, pemicu perceraian adalah perselingkuhan sebanyak 20.199 kasus. Jawa Timur menempati urutan tertinggi dengan 7.172 kasus, menyusul Jawa Barat sebanyak 3.650 kasus dan posisi ketiga ditempati Jawa Tengah sebanyak 2.503. Sedangkan di DKI Jakarta sebanyak 1.158 perceraian disebabkan perselingkuhan.8

Banyak pemberitaan di media baik cetak maupun elektronik yang memaparkan berbagai faktor-faktor mengenai perceraian yang sering kita lihat sehari-hari. Seperti halnya perceraian yang diakibatkan oleh faktor kekerasan atau biasa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga, tetapi

8

http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=85348, diakses pada 28 Febuari, 2015.


(18)

umumnya masyarakat masih banyak mengartikan bahwa KDRT itu hanya semata kekerasan fisik.9

Banyak pasangan suami isteri yang memutuskan untuk melakukan perceraian karena adanya indikasi kekerasan yang dirasakan oleh salah satu pihak, biasanya isteri yang menjadi korban KDRT. Banyak isteri yang mengalami luka-luka, kecacatan, bahkan banyak kasus KDRT yang berujung pada kematian karena mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, hal tersebut bisa disebabkan karena emosi yang tinggi, pertengkaran yang hebat dan sulit untuk menemukan jalan keluarnya bahkan banyak juga isteri tersebut mengetahui suaminya telah berselingkuh dengan wanita lain.

Seringkali perceraian orang tua membuat anak menjadi korbannya. Dampak yang ditimbulkan dari perceraian orang tua ternyata sangat berpengaruh pada kehidupan anak. Banyak kita lihat dan bahkan kita rasakan bahwa perceraian menjadikan pintu masuk kenakalan para remaja. Dampak dari perceraian orang tua terhadap anak akan mempengaruhi segala aspek kehidupan anak, seperti aspek biologis atau fisik, psikologi, sosial, dan spiritual.

Sebuah penelitian yang dilakukan Norwegian Institute of Public Health dan The University of Olso, mempelajari 3.166 siswa kelas tiga untuk memastikan apakah status pernikahan orang tua mempengaruhi gaya dan nafsu makan anak-anak. hasilnya anak dengan orang tua bercerai memiliki berat badan yang berlebih atau gemuk dibandingkan dengan anak yang tumbuh dengan orang tua yang tidak bercerai. Penelitian juga menemukan, anak lelaki dengan orang tua

9

http://www.pa-bantul.go.id/artikel/87-kdrt-pada-anak-sebagai-alasan-perceraian.html, diakses pada 18 Febuari 2015.


(19)

bercerai lebih beresiko mengalami obesitas.10 Selain itu terjadi dalam beberapa kasus, anak yang orang tuanya bercerai menjadi lebih mudah terserang penyakit yang diakibatkan dari trauma psikologis akibat dari perceraian orangtuanya.

Secara psikologis anak yang orang tuanya bercerai akan mengalami kesedihan, merasa bersalah atas perpisahan orang tuanya, anak merasa kesepian, kehilangan kasih sayang, depresi bahkan frustasi. Menurut psikolog sekaligus pemerhati anak, Seto Mulyadi mengatakan, perceraian membuat anak merasa

sedih, dan tidak lengkap. “Mereka cenderung menjadi tidak bersemangat, gelisah, bingung, dan sebaginya.” 11

Dampak dari trauma psikologis ternyata akan berpengaruh terhadap aspek sosisal. Menurut sebuah studi di tahun 2011, American Sociological Review, dampak negatif sosial pada anak-anak yang diakibatkan oleh perceraian orang tua, umunya dimulai ketika proses perceraian itu dimulai. Kesedihan, kesepian, kecemasan, masalah perilaku dan berkurangnya harga diri cenderung dialami oleh anak. Anak-anak dalam penelitian itu, dikatakan menjadi sosok yang tidak percaya diri di hadapan teman-temannya, kemampuan belajarnya berkurang, begitu juga dengan keterampilan sosial interpersonalnya. Saat proses perceraian

selesai, anak akan “terpaksa” pindah dari lingkungannya karena harus mengikuti

salah satu dari orangtuanya. Lingkungan anak yang sebelumnya sudah sangat akrab dengannya akan terputus.12

10“Perceraian Picu Anak Obesitas”, Warta Kota, 14 September 2014, h. 5. 11

http://m.life.viva.co.id/news/read/394141-dampak-perceraian-orangtua-terhadap-psikologis-anak, diakses pada 9 Maret 2015.

12

Perceraian Sebabkan Perkembangan Sosial Anak Terganggu,

http://tabloidnova.com/Keluarga?Pasangan/Perceraian-Sebabkan-Perkembangan-Sosial-Anak-Terganggu, diakses pada 29 Juli 2015.


(20)

Perceraian orang tua sangatlah berdampak negatif bagi anak-anak. Dampak tersebut tidak hanya berasal disaat perceraian orang tua saja, tetapi dampak tersebut juga dirasakan anak sejak sebelum perceraian dan setelah perceraian. Sebelum perceraian orang tuanya, seorang anak biasanya akan menyalahkan dirinya dan merasa bahwa dia adalah penyebab dari perceraian orangtuanya. Dan ketika orangtua telah berpisah, ia akan merasa kehilangan sosok atau figur seorang ayah atau ibu yang sekarang sudah tidak bersama lagi.

Biopsikososial dan spiritual adalah alat assesmen yang digunakan oleh para pekerja sosial untuk melakukan intervensi terhadap seseorang yang biasa dikenal dengan klien. Biopsikososial menekankan bagaimana pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis, psikologis serta spiritual terhadap berkembangnya masalah-masalah individu dari berbagai segi usia.13

Oleh karena itu, menarik untuk meneliti dampak perceraian orang tua bagi anak dengan judul ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi kasus pada perceraian yang diakibatkan oleh

perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga)”.

Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca terlebih tentang dampak yang dihadapi oleh anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya meliputi aspek kesehatan, psikologis, sosial dan spiritualnya. Selain itu skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pasangan suami isteri yang sedang dalam proses perceraian atau sudah menjalani proses perceraian, seyogyanya memperhatikan dan mempersiapkan suatu perceraian dengan baik terutama bagi anak, dimulai dari memberikan pengertian pada anak

13


(21)

bahwa akan adanya sebuah perpisahan antara ayah dan ibu. Selain itu orang tua juga harus tetap bertanggung jawab kepada anak-anak mereka, agar anak tersebut tidak merasa kehilangan meskipun ada sebuah perpisahan. Dan bagi para calon pasangan suami isteri yang akan menikah diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi tentang dampak perceraian orang tua yang dirasakan oleh anak. Perceraian sangat mahal harganya, hal ini berarti banyak hal yang harus dibayar karena begitu banyak konsekuensi negatif yang menjadi resiko perceraian, terutama bagi anak-anak dari hasil perkawinan tersebut, karena menikah bukan hanya sebagai kesenangan semata, namun banyak tanggung jawab yang harus diemban oleh suami dan isteri terlebih ketika mereka telah dikaruniai seorang anak.

B. Batasan dan Rumusan Masalah A. Batasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penulis memfokuskan hanya pada ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh

Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan pembatasan masalah di atas, penulis membuat rumusan masalah yaitu:


(22)

1. Bagaimana dampak biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua?

2. Bagaimana pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca perceraian? C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan kondisi biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua.

2. Untuk mengetahui pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca perceraian orang tua.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis

1) Memberikan sumbangan pengembangan pengetahuan bagi kompetensi pekerjaan sosial yang berkaitan dengan Biopsikososial pada anak sebagai korban perceraian orang tua.

2. Manfaat Praktis

1) Memberikan masukan dan saran kepada orang tua tentang dampak perceraian terhadap Biopsikososial anak. menjadikan suatu rekomendasi kepada calon pasangan suami isteri yang akan menikah tentang dampak perceraian kepada anak. Serta bagi para suami isteri yang telah memutuskan untuk memilih bercerai, agar lebih memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan anak-anak pasca perceraian.

2) Untuk masyarakat yang belum menikah, agar mempersiapkan suatu pernikahan secara matang baik dari segi emosional dan ekonomi


(23)

agar kelak tidak terjadi perceraian, karena perceraian sangat mahal harganya bagi anak.

E. Metodelogi Penelitian

Metode Penelitian merupakan suat proses yang harus dilalui dalam suatu penelitian agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Metode penelitian ini kemudian dibagi menjadi:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bodgan Tailor dalam bukunya sebagaimana di kutip oleh Lexy J.Moleong, metodelogi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data dan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka pendapat ini diartikan pada latar dan individu secara holistic (utuh). Peneliti tidak boleh mengisolasikan inividu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu gambaran sebagai dari suatu keutuhan.14

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam setting dan konteks naturalnya (bukan di dalam laboratorium) dimana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati. 15

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study).

Studi kasus merupakan penelitian tentang suatu “kesatuan sistem”.

14Dr. Lexy J.moleong, “Metodelogi Penelitian Kualitatif”

, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h.3.

15


(24)

Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terkait oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk menghimpun data, mengambil makna dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kasus sama sekali tidak mewakili populasi dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan dari populasi. Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Tiap kasus bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan kasus lainnya.16

Studi kasus adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi

dari suatu “sistem yang berbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Sesuai dengan salah satu ciri dari model studi kasus adalah keunikan dari kasus yang diangkat. Dalam studi kasus, kasus yang diangkat biasanya kasus-kasus yang memiliki keunikan dapat berupa program, kejadian, aktivitas atau subjek penelitian.17 Peneliti akan mencoba mencari tahu dampak-dampak apa saja yang dirasakan oleh anak pasca perceraian orang tuanya meliputi aspek bio/fisik, psikologi dan sosial.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

16

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. 1, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 61.

17

Haris Herdiansyah, Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, cet. 3, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 76.


(25)

Adapun lokasi yang menjadi tempat penelitian adalah sesuai dengan domisili para informan yaitu di Jakarta, Depok dan Bekasi. Waktu penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari 2015 hingga Juni 2015.

4. Teknik Pemilihan Informan

Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan dalam penelitian ini adalah ialah purposive sampling. Pemilihan purposive sampling berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan.18

Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik. Typical sampling adalah suatu strategi yang digunakan untuk kasus-kasus yang bersifat khas atau unik atau individu-individu yang memiliki karakteristik unik. Unik dapat berarti tidak familier atau tidak biasa, tetapi bukan merupakan suatu hal yang ekstrem. Identifikasi yang dapat dilakukan oleh peneliti adalah dengan bertanya langsung kepada individu yang bersangkutan atau dengan menggunakan data demografis atau data survei, tergantung dari kasus yang akan diteliti.19 Untuk itu peneliti memilih lima orang anak yang menjadi korban perceraian orang tua sebagai sumber informan yang sesuai dengan ciri-ciri dari penelitian yang akan dilakukan. Selain itu peneliti juga akan menggali informasi yang diperoleh dari orang tua, guru disekolah, dan teman-teman.

18

Herdiansyah, Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, h. 106. 19Ibid


(26)

Keterangan informasi yang akan diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Karakteristik Informan

No Informan Informasi yang dicari Jumlah 1. Anak korban

perceraian orang tua

Untuk mengetahui tentang biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua serta bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua setelah adanya


(27)

5. Sumber Data

Data Primer diperoleh dari proses penelitian langsung dari partisipan atau sasaran penelitian, yaitu daya yang berasal dari 4 orang anak korban perceraian orang tua, 4 orang tua yang bercerai, dan 2 orang teman.

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai literatur, buku-buku, Perpustakaan, atau internet yang terkait dengan penelitian. 6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:

a. Teknik Observasi

Metode observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan

perceraian. 2. Orang tua yang

melakukan percceraian dengan kasus perselingkuhan Untuk mengetahui kondisi biopsikososial dan spiritual anak serta adakah pengaruh penyebab perceraian terhadap pola

pengasuhan anak

1 Orang

4. Orang tua yang melakukan perceraian dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga Untuk mengetahui kondisi biopsikososial dan spiritual anak serta adakah pengaruh penyebab perceraian terhadap pola

pengasuhan anak

3 Orang

5. Teman Mengetahui perubahan-perubahan yang

dirasakan setelah orang tua bercerai

2 Orang


(28)

mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.20

Inti dari observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya tujuan yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung, dan dapat diukur. 21

Teknik observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipatif, dimana sesuai dengan cirinya yaitu pendekatan dan rancangan yang mendalam, kualitatif, dan studi kasus. Observasi partisipatif mengharuskan peneliti terlibat langsung dalam berbagai kegiatan informan. Teknik ini digunakan hanya untuk dua orang informan saja,

yaitu informan “IA” dan “AP”. Hal tersebut ditengarai karena kedua

informan masih belum bisa diajak berkomunikasi secara aktif, sehingga untuk mendapatkan data, peneliti menggunakan teknik observasi ini kepada kedua informan. Seperti melakukan observasi ketika informan sedang berinteraksi dengan orang tuanya serta lingkungan sekitar. Selain itu peneliti juga akan melakukan observasi ketika informan berada dirumah. Dengan menggunakan metode observasi diharapkan peneliti dapat memperoleh data terkait tentang aspek sosial informan.

b. Metode Wawancara

Wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk

20

M.Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 165. 21


(29)

suatu tujuan tertentu.22 Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur karena peneliti akan melakukan wawancara secara mendalam dan percakapan ini mirip dengan percakapan informal.

Penggunaan metode wawancara dipilih karena peneliti dapat menggali informasi secara mendalam dari para informan tentang aspek biopsikososial dan spiritual anak pasca perceraian orang tuanya. Selain itu peneliti juga bisa menggali informasi dari sumber-sumber yang sudah ditentukan seperti guru, teman dan orang tua informan.

c. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Studi dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan.23 Teknik dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peninggalan tertulis, foto-foto, rekam medis, buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, teori maupun literatur lainnya.

7. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan uraian dasar. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

22Ibid

., h.118. 23Ibid


(30)

interactive model yang dikemukakan oleh Miles and Huberman. Teknik analisis data ini meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan lalu diverifikasi.24

Tahap pertama reduksi data melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokkan, dan meringkas data. Pada tahap kedua, peneliti menyusun kode-kode dan catatan-catatan (memo) mengenai berbagai hal termasuk yang berkenaan dengan aktivitas serta proses-proses hingga peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok, dan pola-pola data. Berdasarkan keterangan diatas, maka setiap tahap dan proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan bentuk dokumen pribadi, gambar, foto, dsb, melalui metode wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi. Hal ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu mengungkap lebih dalam, menganalisis, serta menggambarkan tentang seberapa besar dampak perceraian orang tua mempengaruhi aspek biopsikososial anak serta bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan pasca perceraian orang tua. 8. Teknik Keabsahan Data

Burhan Bungin dalam bukunya penelitian kualitatif mengatakan bahwa dalam melakukan penelitian kualitatif seringkali menghadapi persoalan dalam menguji keabsahan hasil penelitian, hal ini dikarenakan banyak hal, yaitu karena, (1) alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mendukung banyak kelemahan ketika

24


(31)

dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa control dalam observasi partisipatif, (2) sumber data kualitatif yang kurang akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian.25 Oleh sebabitu, hendaknya seperti yang telah dijelaskan oleh Lexy J. Moleong dalam bukunya Metodelogi Kualitatif dalam menentukan keabsahan data adalah dengan melakukan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.26

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, sehingga data yang diperoleh sangat berpeluang untuk keluar dari obyektifitas, untuk itu cukup penting untuk penulis melakukan pemeriksaan kembali data yang diperoleh, dengan tujuan untuk mendapatkan kevalidan data.

Teknik keabsahan data yang digunakan oleh peneliti adalah triangulasi sumber dan metode. Menurut Burhan Bungin, triangulasi yaitu membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, sedangkan triangulasi sumber membandingkan apa yang dikatakan didepan umum dengan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

9. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan penelitian ini, penulis melakukan tinjauan pustaka sebagai langkah dari penyusunan skripsi yang penulis teliti, agar terhindar dari kesamaan judul dan lain-lain dari skripsi yang sudah ada

25

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Ekonomi, Kebijakan public, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 156.

26


(32)

sebelum-sebelumnya. Setelah mengadakan tinjauan pustaka, maka peneliti menggunakan skripsi sebagai tinjauan pustaka pada skripsi ini.

Peneliti menggunakan literatur berupa skripsi yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Skripsi pertama membahas tentang

“Dampak Perceraian pada Anak Remaja” oleh Grace Killis

(089900046Y), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia, tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dampak perceraian orang tua pada anak usia remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhi dampak perceraian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada awal perceraian anak akan lebih merasakan dampak negatifnya tetapi seiring dengan berjalannya waktu ternyata perceraian juga mempunyai dampak positif bagi kehidupan individu yang mengalaminya.27

Skripsi kedua membahas tentang “Perbedaan Self-Esteem antara Anak Usia Middle Childhood yang Orang Tuanya Bercerai dan yang Orang

Tuanya Tidak Bercerai” oleh Belinda Agustya Pawidya Putri

(0606092290), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan self-esteem antara anak usia middle childhood yang orang tuanya bercerai dan yang orang tuanya tidak bercerai. Aspek yang diukur pada penelitian ini yaitu personal, akademis (sekolah), sosial (teman sebaya), dan keluarga (orang tuanya). Hasil analisis menunjukkan rendahnya Self-Esteem pada anak yang orangtuanya bercerai, baik secara menyeluruh atau pada tiap aspeknya.

27

Grace Killis, Dampak Perceraian pada Anak Remaja, (Skripsi S1) Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia, 2013.


(33)

Pada dua kelompok ditemukan bahwa anak perempuan memiliki Self-Esteem yang tinggi dibandingkan anak laki-laki.

Judul pada penelitian ini adalah Dampak Biopsikososial Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada perceraian yang diakibatkan oleh perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga). Peneliti akan membahas tentang dampak-dampak perceraian orang tua yang dirasakan oleh anak-anak dari berbagai macam aspek yaitu aspek kesehatan, psikologis, sosial dan spiritual.

Untuk teknis penulisan hasil penelitian ini mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi, dkk. Yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007. 10. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini disajikan kedalam 5 Bab, berikut adalah sistematika penulisan skripsi:

BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian (terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik pemilihan subyek dan informan, sumber data, teknik analisis data, teknik keabsahan data), serta Sistematika Penulisan.

BAB II Landasan Teori, Bab ini mengemukakan tentang keluarga, tentang perceraian, psikososial, serta aspek biopsikososial.

BAB III Gambaran Umum, meliputi profil dari empat orang informan, yaitu anak yang menjadi korban perceraian orang tua, melihat seberapa besar perceraian


(34)

orang tua berpengaruh ada biopsikososial dan spiritual anak, serta untuk melihat bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua pasca perceraian.

BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis Data, Pada bab ini memuat tentang temuan-temuan dan analisis yang mendukung secara garis besar mengenai dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial anak serta bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak pasca perceraian.

BAB V Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(35)

22

KAJIAN TEORI

Penelitian ini berisikan tentang dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial dan spiritual anak. Untuk menunjang penelitian ini, maka peneliti menuliskan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini, yaitu:

A. Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Dalam Islam, untuk membentuk sebuah keluarga maka para muslim dan muslimah dianjurkan untuk melakukan pernikahan, karena menikah merupakan fondasi dalam pembentukan keluarga.

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.1

Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga adalah ibu, bapak dan anak-anaknya. Ini disebut keluarga batih (nuclear family). Keluarga yang diperluas (extended family) mencakup semua orang dari satu keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan isteri. Keluarga mempunyai fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, dan menolong serta melindungi yang lemah, khususnya orang tua yang lanjut usia.2

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri, atau suami isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, ata ibu dan

1

W.A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 180. 2


(36)

anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. 3

Jadi yang dimaksud keluarga merupakan kelompok orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, dan keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan. Yang termasuk dalam keluarga adalah ayah, ibu, adik, kakak, nenek dan mencakup semua keturunan dari suatu keturunan.

2. Orang Tua

Seperti yang telah kita ketahui diatas, bahwa keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak, bahkan ada juga keluarga yang terdiri dari beberapa orang lainnya seperti ada kakek, nenek, paman dan sebagainya. Dalam keluarga, ayah dan ibu biasa disebut sebagai orang tua yang memiliki peran masing-masing dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya.

Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.4

3. Anak

a. Pengertian Anak

Anak merupakan anugrah terindah yang dititipkan Tuhan kepada para pasangan suami isteri yang harus dijaga dengan baik. Anak membutuhkan kasih sayang, perhatian, rasa aman dalam setiap tumbuh kembangnya.

Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut

3

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Surabaya: Kesindo Utama, 2003), h. 4.

4Ibid , h.4.


(37)

undang undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.5

Menurut John Locke, anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.6

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak merupakan manusia yang berusia 0 hingga mencapai 18 tahun dan memiliki pribadi yang bersih dan peka terhadap rangsangan dari lingkungan.

b. Anak dan Keluarga yang Bercerai

Sebagian besar peneliti setuju bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk dibanding anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai.7 Anak yang berasal dari keluarga bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah akademis, menunjukkan masalah-masalah eksternal seperti kenakalan, kurang memiliki tanggung jawab, memiliki hubungan intim yang kurang baik, putus sekolah, berhubungan dengan peer yang antisosial, dan memiliki nilai diri yang rendah.8

Konflik perkawinan bisa memiliki akibat negatif terhadap anak, baik dalam konteks perkawinan maupun perceraian. Kepribadian dan tempramen memainkan peran dalam penyesuaian anak-anak dari keluarga bercerai. Anak-anak yang secara sosial dewasa dan bertanggung jawab, yang hanya menunjukkan sedikit masalah emosional, dan yang memiliki temperamen yang terkendali lebih baik dalam menghadapi perceraian

5

Ibid, h. 4. 6

Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Tugu Publisher, 2012), cet.1, h. 11. 7

Santrock, Perkembangan Anak, h. 186. 8Ibid


(38)

mereka. Anak-anak dengan tempramen yang sulit sering kali mengalami kesulitan dalam menghadapi perceraian orang tua mereka. Ketika hubungan orang tua yang bercerai terjalin harmonis dan ketika mereka menggunakan gaya pengasuhan otoritatif, penyesuaian anak-anak akan meningkat.9

4. Pola Asuh

A. Jenis-Jenis Pola Asuh

Hubungan suami isteri yang harmonis merupakan prakondisi yang diperlukan guna mewujudkan pengasuhan anak yang kondusif. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orang tua, baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam, dan berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kualitas kesehatan fisik, emosi, mental dan spiritual anak.

Dengan mengacu pada konsep dasar tumbuh kembang anak, maka secara konseptual pengasuhan anak adalah upaya orang dewasa dalam lingkungan keluarga guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asah, asih dan asuh) dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.10

Menurut Diana Baumrind ada 4 jenis pola pengasuhan orang tua, yaitu:11

9

Santrock, Perkembangan Anak, h. 188. 10

Asep Usman Ismail, MA., Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosail: Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial Islam yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, h. 165.

11


(39)

a. Pengasuhan Otoritarian (Authoritarian Parenting)

Pengasuhan otoritarian ini adalah pola yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan orang tua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Batas dan kendali yang tegas diterapkan pada anak, dan sangat sedikit tawar-menawar verbal yang diperbolehkan. Pola ini bisa mengakibatkan perilaku anak yang tidak kompeten secara sosial. Anak yang memiliki orang tua otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Anak dengan pola pengasuhan ini mungkin berperilaku agresif.

b. Pengasuhan Otoritatif (Authoritatif Parenting)

Pola ini mendorong anak untuk mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang kepada anak. Pola ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang kompeten secara sosial. Anak yang memiliki orang tua otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik.

c. Pengasuhan Yang Mengabaikan (Neglectful Parenting)

Pola dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa


(40)

aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak diantaranya memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk.

d. Pengasuhan Yang Menuruti (Indulgent Parenting)

Suatu pola dimana orang tua sangat terlibat penuh dengan anak tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada mereka. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dan teman sebaya.

Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan bijaksana, tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti mampu memberi pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan anak dan apa harapan orangtua. Dengan demikian pengasuhan yang diberikan oleh orangtua lebih mengutamakan kasih sayang, kebersamaan, musyawarah, saling pengertian dan penuh keterbukaan. Jika anak-anak dibesarkan dan diasuh dengan pola asuh yang demokratis, niscaya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh potensi yang dimiliki anak dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian pada gilirannya nanti anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat terwujud. Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang baik, saling menghargai, saling menghormati, saling


(41)

menyayangi, saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif, jujur, dan mempunyai toleransi yang baik.

B. Kelekatan (Attachment)

Kelekatan yang aman pada orang tua dalam masa remaja bisa membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan anak yang tercermin dalam harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Anak yang lekat secara aman memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melakukan perilaku bermasalah.12

C. Hukuman

Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul dianggap sebagai metode yang perlu dan bahkan disarankan untuk mendisiplinkan anak. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua berasosiasi dengan tingkat ketaatan dan agresi cepat yang lebih tingi oleh anak-anak. Selain itu hukuman fisik berhubungan dengan tingkat internalisasi moral dan kesehatan mental yang lebih rendah.13

Berikut adalah alasan mengapa orang tua tidak dibenarkan memberikan hukuman fisik ataupun hukuman serupa, yaitu:14

1. Ketika orang tua menghukum anak dengan berteriak, menjerit atau sebagainya, mereka menunjukkan kepada anak model lepas kendali ketika menghadapi situasi yang menekan. Anak-anak mungkin akan meniru perilaku agresif dan lepas kendali ini.

12

John W. Santrock, Perkembangan Anak, h. 177. 13

Santrock, Perkembangan Anak, h. 169. 14Ibid


(42)

2. Hukuman bisa menanamkan rasa takut, kemarahan, dan penghindaran. Pemukulan terhadap anak bisa menyebabkan anak takut dengan orang tua dan pada akhirnya memilih untuk menghindari orang tua.

3. Hukuman memberi tahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi anak seharusnya diberikan umpan balik.

4. Hukuman bisa bersifat menyiksa. Ketika orang tua mendisiplinkan anak mereka, mereka mungkin tidak bermaksud menyiksa. Namun mereka menjadi begitu terpancing ketika menghukum anak tersebut sehingga menjadi bersifat menyiksa.

Kebanyakan psikolog anak merekomendasikan orang tua agar mengajak anak berpikir logis, khususnya menjelaskan akibat tindakan anak terhadap orag lain, sebagai cara terbaik untuk menangani perilaku anak yang salah.

D. Perlakuan Salah Terhadap Anak

Penting untuk diketahui bahwa kekerasan terhadap anak adalah kondisi yang beragam, bahwa keparahan kekerasan itu biasanya mulai dari ringan ke sedang, dan bahwa kekerasan terhadap anak hanya disebabkan oleh karakteristik kepribadian orang tua. Berikut akan dijelaskan tipe perlakuan yang salah terhadap anak menurut National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect:15

1. Kekerasan fisik, dicirikan oleh terjadinya cidera fisik karena penonjokan, pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran atau pembahayaan anak.

15


(43)

2. Penelantaran anak, dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak. Penelantaran bisa berupa penelantaran fisik, meliputi peninggalan, pengusiran dari rumah, pengawasan yang kurang memadai dan penundaan dalam mencari perawatan kesehatan. Penelantaran pendidikan, meliputi membiarkan anak bolos sekolah yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, dan tiadak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, dan penelantaran emosional meliputi, tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang, penolakan atau ketidakmampuan untuk memberikan kepedulian psikologis yang perlu, penyiksaan pasangan di depan anak, dan pembiaran penggunaan alkohol dan obat-obatan oleh anak.

3. Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak, hubungan seksual, pemerkosaan, sodomi, eksploitasi komersial melalui pelacuran atau produksi materi pornografi.

4. Kekerasan emosional meliputi tindakan pengabaian orang tua atau pengasuh yang menyebabkan atau bisa mengakibatkan pada masalah behavioral, kognitif atau emosional yang serius.

Walaupun bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak diatas bisa ditemukan secara terpisah, namun bentuk-bentuk tersebut sering juga terjadi dalam kombinasi. Kekerasan emosional hampir selalu ada ketika bentuk kekerasan lain terjadi.

E. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak

Akibat perlakuan salah terhadap anak pada perkembangannya antara lain adalah pengendalian emosi yang buruk, masalah keterikatan,


(44)

masalah dalam hubungan dengan peer group, kesulitan beradaptasi di sekolah, dan masalah psikologis lainnya.16 Anak yang diperlakukan secara salah mungkin menunjukkan emosi negatif yang berlebihan, seperti mudah marah atau menangis, atau mereka mungkin juga menunjukkan emosi positif yang tidak peka seperti jarang tersenyum atau tertawa.

Ketika anak-anak diperlakukan secara salah, mereka sering menunjukkan pola keterlibatan yang tidak percaya diri dalam hubungan sosial mereka ketika dewasa. Anak-anak yang diperlakukan secara salah kurang memiliki bekal untuk mengembangkan hubungan peer yang berhasil. Mereka cenderung menjadi terlalu agresif terhadap teman sebaya atau menghindari interaksi dengan teman sebaya. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran beresiko menghadapi masalah akademis. Kekerasan fisik terkait dengan kecemasan anak, masalah kepribadian, depresi, gangguan perilaku dan kenakalan.17

Pengasuhan yang baik membutuhkan waktu dan usaha. Pada dasarnya orang tua tidak bisa melakukannya hanya dalam waktu satu menit. Tentu bukan hanya jumlah waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak yang penting bagi perkembangan anak tetapi kualitas pengasuhan jelas lebih penting.

F. Ayah Sebagai Pengasuh

Parke & Sawin dalam Santrock, menunjukkan bahwa ayah memiliki kemampuan untuk bertindak secara peka dan secara tanggap terhadap anaknya.18 Meskipun ayah dapat menjadi pengasuh yang aktif,

16

Santrock, Perkembangan Anak, h. 173. 17

Ibid., h. 174. 18

John W. Santrock, Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 198.


(45)

sabar dan terlibat penuh dengan si anak, tetapi masih jarang orang tua yang mengikuti pola ini.

Memang terdapat perbedaan antara perilaku ayah dan ibu terhadap seorang anak. Interaksi ibu dan anak biasanya berpusat pada kegiatan pengasuhan anak, memberi makan, mengganti popok, memandikan dan lain sebagainya. Sedangkan interaksi ayah dengan anak mencakup aktivitas permainan. Ayah lebih banyak melibatkan diri dalam permainan fisik seperti melambungkan bayi, melemparkan bayi ke udara, menggelitik dan lain sebagainya.

G. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak

Peran ayah juga memberi pengaruh pada anak. keterlibatan ayah dalam membesarkan anak pada usia 5 tahun merupakan penentu empati terkuat bagi pria dan wanita pada usia 31 tahun. Pria dan wanita tersebut memiliki hubungan sosial yang lebih baik mengalami lebih banyak kehangatan dari ayah semasa anak-anak. Ayah yang menggunakan gaya pengasuhan otoritatif lebih cenderung memiliki anak dengan masalah eksternal seperti mengekspresikan perasaan yang tertahan atau bersikap sangat agresif dan masalah internal seperti kecemasan atau depresi yang lebih sedikit dibandingkan dengan ayah yang menggunakan gaya pengasuhan lainnya.19

19


(46)

B. Perceraian

Perceraian dapat dikatakan sebagai mimpi buruk bagi para pasangan suami isteri terlebih ketika mereka telah memiliki anak. Perceraian sendiri akan membuat anak menjadi korbannya. Untuk itu perlu diperhatikan kepada para pasangan orang tua yang telah bercerai, maupun yang sedang dalam proses perceraian, hendaknya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik terlebih dengan kesiapan mental dari anak itu sendiri. Berikut adalah beberapa teori yang peneliti gunakan terkait dengan perceraian.

1. Definisi Perceraian

Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta kepada pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta benda masing-masing yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Hal ini dapat dipahami karena besarnya dampak perceraian yang tidak hanya menimpa suami-isteri, tetapi juga anak-anak. anak-anaklah yang sangat merasakan pahitnya akibat perceraian kedua orang tuanya. Sejatinya perceraian dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.20

2. Penyebab Perceraian

Banyak hal yang dapat menyebabkan pasangan suami isteri memiliki jalan untuk bercerai sebagai jalan terakhir. Seperti yang kita ketahui, dewasa

20

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), cet. 1, h. 228.


(47)

ini tidak hanya seorang suami yang menjatuhkan talak, justru seorang istri yang lebih banyak menggugat suaminya. Berikut akan dibahas yang menjadi penyebab-penyebab perceraian.

Berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainnya yang

sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mengancam jiwa pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar disembuhkan sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Serta antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan.21

Selain itu Miller dalam bukunya menyatakan bahwa penyebab perceraian dapat dibagi dalam beberapa kategori spesifik, yaitu:

a. Ketidaksesuaian yang tidak dapat ditanggulangi lagi.

21

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, artikel diakses pada tanggal 16 Maret 2015, dari


(48)

b. Tinggal secara terpisah lebih dari 18 bulan tanpa kemungkinan untuk bersatu kembali.

c. Selingkuh.

d. Perkawinan kontrak.

e. Meninggalkan pasangan secara sukarela selama lebih dari 1 tahun. f. Pergi tanpa kabar berita selama 7 tahun.

g. Kebiasaan mabuk-mabukan.

h. Kekerasan yang tidak dapat ditoleransi. i. Pasangan menjalani hukuman.

j. Pasangan dalam perawatan karena gangguan mental selama 5 dari 6 tahun terakhir. 22

C. Psikologi Sosial

Psikologi sosial merupakan salah satu cabang psikologi yang secara nyata berhubungan langsung dengan masalah sosial manusia.

1. Pengertian

Psikologi sosial adalah psikologi dalam konteks sosial. Psikologi, seperti yang telah kita ketahui, adalah ilmu tentang perilaku, sedangkan sosial di sini berarti interaksi antar individu atau antar kelompok dalam masyarakat. Psikologi sosial adalah psikologi yang dapat diterapkan dalam konteks keluarga, sekolah, teman, kantor, politik, negara, lingkungan, organisasi dan sebagainya.23

Kata psikososial itu sendiri menggaris bawahi suatu hubungan yang dinamis antara efek psikologis dan sosial, yang mana masing-masingnya saling

22Grace Kilis, “Dampak Perceraian Pada Anak Remaja”, (Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Juli 2003), h. 10.

23


(49)

mempengaruhi. Kebutuhan psikososial mencakup cara seseorang berfikir dan merasa mengenal dirinya dengan orang lain, keamanan dirinya dan orang-orang yang bermakna baginya, hubungan dengan orang-orang lain dan lingkungan sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian-kejadian disekitarnya.24

Baron dan Byrne mengemukakan bahwa psikologi sosial adalah cabang psikologi yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan cara berpikir, berperasaan, dan berperilaku individu yang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain itu dapat dirasakan secara langsung, diimajinasikan, ataupun diimplikasikan.25

Selain itu menurut Allport, psikologi sosial adalah upaya untuk memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan dan perilaku individu terpengaruh oleh kehadiran orang lain. Pengaruh tersebut dapat bersifat aktual, dalam imajinasi, maupun secara tidak langsung. 26

Jadi psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain dan interaksi tersebut saling mempengaruhi baik dalam pikiran maupun dalam berperilaku.

2. Fase-Fase Perkembangan

Menurut Erik H. Erickson, fase-fase perkembangan psikososial dibagi dalam beberapa tahapan tertentu, yaitu sebagai berikut:27

24

Departemen sosial, Standar Rehabilitasi Psikososial Pekerja Migran, (Jakarta: 2004), h.2.

25

Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), cet. I, h. 1.

26

Sarwono dan Meinarno, Psikologi Sosial, h. 12. 27

Azahrotun, Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press___, 2006), h. 58.


(50)

a. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar (Trust vs Mistrust) Masa bayi berlangsung antara 0-1 tahun. pada tahap ini anak mulai belajar percaya pada orang yang ada di sekitarnya. Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak dapat merasa tidak percaya pada orang lain, menarik diri dari lingkungan masyarakat dan melakukan pengasingan diri. Pemenuhan kebutuhan pada tahap ini cenderung bersifat fisik, seperti pemenuhan kepuasan untuk makan dan mengisap, rasa hangat dan nyaman, cinta dan rasa aman. Semua pemenuhan ini akan menimbulkan sebuah kepercayaan pada diri anak terhadap orang lain. Sebaliknya jika kepuasan ini tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan perasaan curiga, rasa takut dan tidak percaya pada orang lain. Hal ini ditandai dengan perilaku makan, tidur dan eliminasi yang buruk.

b. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan (autonomy vs

shame and doubt)

Masa kanak-kanak permulaan yaitu berlangsung pada usia 2-3 tahun yang menentukan tumbuhnya kemauan baik dan kemauan keras, anak mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban dan hak-haknya yang disertai pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Inilah tahap saat berkembangnya kebebasan pengungkapan diri yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak. Konsekuensi apabila kepuasan pada tahap ini tidak terpenuhi adalah anak akan menjadi individu yang pemalu.


(51)

c. Inisiatif versus Kesalahan (Initiative vs Guilt)

Masa bermain, berlangsung pada usia 4 tahun sampai usia sekolah. Pada tahap ini anak mulai belajar pada tingkat ketegasan tertentu. Anak mulai mengevaluasi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak bisa merasa kurang percaya diri, pesimis, takut salah. Perasaan takut salah ini muncul pada saat anak melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang yang lebih tua darinya. Selain itu, anak juga perlu belajar untuk melakukan aktivitas yang tidak merusak hak-hak orang lain.

d. Kerajinan versus Inferioritas (Industry vs Inferiority)

Masa usia sekolah, berlangsung antara usia 6-11 tahun. Pada masa ini berkembang kemampuan berpikir deduktif, disiplin diri dan kemampuan berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Pada tahap ini anak mulai membangun rasa bersaing dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya, anak mungkin akan kehilangan harapan, merasa cukup, menarik diri dari sekolah dan teman sebaya. Anak mulai mendapatkan pengenalan melalui demonstrasi ketrampilan dan produksi benda-benda serta mengambangkan harga dirinya melalui sesuatu pencapaian apa yang diinginkannya. Tahap ini mendorong anak untuk memiliki perasaan inferior, yaitu perasaan yang timbul akibat adanya orang yang dewasa yang memandang usaha anak untuk belajar bagaimana sesuatu bekerja melalui manipulasi dianggap merupakan sesuatu yang bodoh atau merupakan masalah.


(52)

e. Identitas versus Kekacauan Identitas (Identity vs Role Confusion) Masa adolesen, berlangsung pada usia 12/13-20 tahun. Selama masa ini individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau sifat memperbaharui. Selain itu individu mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada irinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa dan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Terjadinya kegagalan untuk mengembangkan rasa identitas akan menyebabkan kebingungan peran, yang sering muncul dari perasaan tidak adekuat, isolasi dan keragu-raguan.

f. Keintiman versus Isolasi (Intimacy vs Isolation)

Masa dewasa muda, berlangsung antara usia 20-24 tahun. Pada masa ini, mereka mengorientasikan dirinya terhadap pekerjaan dan teman hidupnya. Menurut Erickson, masa ini menumbuhkan kemampuan dan kesediaan meleburkan diri dengan orang lain, tanpa merasa takut kehilangan sesuatu yang ada pada dirinya yang disebut intimasi. Ketidakmampuan untuk masuk ke dalam hubungan yang menyenangkan serta akrab dapat menimbulkan hubungan sosial yang hampa dan terisolasi atau tertutup (menutup diri).

g. Generativitas versus Stagnasi

Masa dewasa tengah, berlangsung pada usia 25-45 tahun. generativitas yang ditandai jika individu mulai menunjukkan perhatiannya terhadap


(53)

apa yang dihasilkan, ia mulai kreatif, produktif, dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Sedangkan gejala negatif yang dapat timbul adalah ia mulai merasa kurang nyaman terhadap dirinya. Untuk mengatasi hal tersebut, ia cenderung sangat perhatian dengan dirinya baik dari segi penampilan maupun cara bertindaknya dihadapan orang lain demi tercapainya cita-cita di masa depan. Ia akan melakukan perenungan diri yang mengarah pada stagnasi kehidupan.

h. Integritas versus Keputus-asaan

Masa usia tua, berlangsung diatas usia 65 tahun. tahap ini merupakan tahap terakhir dimana individu telah menjalani kehidupannya dan menerima kehidupannya itu sebagai suatu yang berharga dan unik. Masa ini disebut juga masa lansia. Pada masa ini manusia telah dapat melihat ke belakang dengan rasa puas dan siap menerima sebuah kematian. Resolusi (pencapaian) yang tidak berhasil bisa menghasilkan perasaan putus asa karena individu melihat kehidupan sebagai bagian dari ketidakberuntungan, kekecewaan dan kegagalan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psikososial a. Lingkungan Keluarga

Hubungan dengan orang tua atau pengasuh merupakan dasar bagi perkembangan psikososial. Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang orangtua dan pengasuh selama beberapa tahun kehidupan merupakan kunci utama perkembangan sosial anak. meningkatnya kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada tahun-tahun prasekolah dan setelahnya. Salah satu


(54)

aspek penting dalam hubungan orangtua dan anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua.

b. Status Ekonomi Orang Tua

Keadaan sosio-ekonomi keluarga tentulah mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak, bahwa dengan adanya perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak di dalam keluarga itu lebih luas, ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengambangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembankan apabila tidak ada alat-alatnya.28

c. Lingkungan Sekolah

Mengenai peran sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, hurlock mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan anak, baik dalam cara berfikir maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orang tua. Ada beberapa alasan mengapa sekolah memainkan peranan berarti bagi perkembangan psikososial anak, yaitu anak harus hadir di sekolah, sekolah memberikan pengaruh kepada anak sejak dini seiring perkembangan konsep dirinya dan anak lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain selain di luar rumah. d. Kelompok Teman Sebaya

Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan psikososial anak. hasil penelitian lainnya dikemukakan oleh Hans Sebald (Sigelman &

28


(55)

Shaffer) bahwa teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam memilih cara berpakaian, hobi, perkumpulan (klub) dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.

Peran teman sebaya bagi anak adalah memberikan kesempatan untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, mengontrol tingkah laku sosial, mengembangkan keterampilan, dan saling bertukar perasaan masalah.

D. Biopsikososial

Bipsikososial merupakan alat assessment yang digunakan oleh pekerja sosial untuk melakukan intervensi terhadap kliennya. Pendekatan biopsikososial (biopsychosocial approach) menekankan pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosial terhadap berkembangnya masalah-masalah remaja dan orang-orang yang berasal dari berbagai usia lainnya.29

Dengan demikian seandainya seseorang terlibat dalam suatu permasalahan, maka permasalahan tersebut dapat terkait dengan kombinasi dari faktor biologis seperti faktor bawaan atau proses-proses yang berlangsung di otak, faktor psikologis seperti gejolak emosional atau kesulitan dalam menjalin relasi serta faktor sosial seperti kemiskinan dan lain sebagainya. 1. Faktor-Faktor Biologis

Menurut pendekatan biologis, masalah-masalah remaja disebabkan oleh kegagalan dari fungsi-fungsi tubuhnya. Para ilmuwan yang menganut

29


(56)

pendekatan biologis biasanya berfokus pada faktor otak dan faktor genetik sebagai penyebab timbulnya masalah-masalah remaja.30

a. Otak 31

Salah satu perkembangan fisik yang paling penting selama masa awal anak-anak ialah perkembangan otak dan sistem syaraf yang berkelanjutan. Meskipun otak terus bertumbuh pada masa awal anak-anak, namun otak tidak bertumbuh sepesat saat masa bayi. Ketika anak-anak mencapai usia 3 tahun, ukuran otaknya adalah ¾ otak orang dewasa. Pada usia 5 tahun, otaknya mencapai sekitar 9/10 otak orang dewasa.

Otak dan kepala bertumbuh lebih pesat dari pada bagian tubuh lain manapun. Beberapa pertambahan ukuran otak disebabkan oleh pertambahan jumlah dan ukuran urat syaraf yang berujung di dalam dan di antara daerah-daerah otak. Ujung-ujung urat syaraf itu terus bertumbuh setidak-tidaknya hingga masa remaja. Beberapa pertumbuhan otak juga disebabkan oleh myelination, suatu proses dimana sel-sel urat syaraf ditutup dan disekat dengan suatu lapisan sel-sel lemak. Proses ini memiliki dampak meningkatkan kecepatan informasi yang berjalan melalui sistem surat syaraf.

b. Genetika

Setiap spesies harus memiliki suatu mekanisme untuk meneruskan karakteristik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mekanisme ini dijelaskan dengan prinsip-prinsip genetika. Masing-masing dari kita akan

30

Santrock, Remaja, h. 233. 31


(57)

membawa suatu kode genetik yang kita warisi dari orang tua kita. Kode genetik ini ditempatkan di dalam setiap sel tubuh kita.

Masing-masing dari kita memulai kehidupan sebagai suatu sel tunggal yang beratnya kira-kira seperduapuluh juta ons. Potongan benda yang sangat kecil ini menyimpan kode genetika. Intruksi ini mengatur pertumbuhan dari sel tunggal itu menjadi seseorang yang terdiri dari bertrilyun-trilyun sel, yang masing-masing berisi satu tiruan kode genetik asli yang sempurna.32

2. Faktor- Faktor Psikologis

Beberapa faktor psikologis yang dianggap sebagai penyebab timbulnya masalah remaja adalah gangguan berpikir, gejolak emosional, proses belajar yang keliru, dan relasi yang bermasalah. Secara khusus pengaruh keluarga dan kawan-kawan sebaya dianggap memiliki kontribusi yang penting terhadap timbulnya masalah remaja.33

A. Emosi

Karena emosi memainkan peran yang sedemikian penting dalam kehidupan, maka penting diketahui bagaimana perkembangan dan pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial.

a. Pola Perkembangan Emosi

Kemampuan untuk bereaksi secara emoional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat. Dengan meningkatnya usia anak,

32

Santrock, Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, h. 84. 33


(58)

reaksi emosional mereka menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan.34

b. Emosi Tidak Memaksa Kita Untuk Berbuat Sesuatu

Emosi seperti rasa sayang, marah, dan benci yang kita alami dalam batin kita biasanya merupakan tanggapan terhadap kejadian-kejadian dalam hidup kita. Emosi dapat merangsang pikiran baru, khayalan baru, dan tingkah laku baru. Namun pada saat-saat tertentu hubungan antara perasaan dan tingkah laku tidak begitu jelas, terlebih ketika kita sedang berada di dalam dua perasaan yang bertentangan satu sama lain, dan kita tidak bisa membedakannya. Emosi sendiri pada dasarnya tidak memaksa kita untuk bertingkah laku secara tertentu. Tetapi arti yang kita berikan kepada emosi itu dapat mengarahkan kita kepada tingkah laku tertentu.35 Bukan hanya emosi yang menjadi salah faktor psikologi, tetapi juga gangguan berpikir. Berikut akan dibahas konsep dasar berpikit dan jenis-jenis gangguan berpikir.

B. Konsep Berpikir

Plato mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas ideasional. Jadi, berpikir adalah suatu aktivitas, karenanya subyek yang berpikir itu aktif. Aktivitas itu sendiri sifatnya ideasional, artinya menggunakan abstraksi-abstraksi (ideas), dan bukan aktivitas sensoris atau motoris, tetapi dapat disertai oleh kedua aktivitas itu.36

34

Hurlock, Perkembangan Anak, h. 212. 35

Rochelle Semmel Albin, Emosi: Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, (Yogyakarta: Kanisisus, 1986), h. 17.

36

MIF Baihaqi, Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 91.


(59)

Berpikir adalah proses yang dinamis. Sedangkan bagaimana proses berpikir itu berlangsung, para ahli mengemukakan dengn istilah yang berbeda. Menurut Suryabrata, proses berpikir dapat dibagi menjadi tiga langkah, yaitu:37

1. Pembentukan pengertian, 2. Pembentukan pendapat, dan 3. Pembentukan kesimpulan. 3. Faktor-Faktor Sosial

Masalah-masalah psikologis yang berkembang pada dasarnya juga muncul di sebagian besar budaya. Meskipun demikian, frekuensi dan intensitas masalah-masalah tersebut bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, dimana variasi ini berkaitan dengan aspek-aspek budaya seperti aspek sosial-ekonomi, teknologi dan agama atau spiritual. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan masalah-masalah remaja dapat meliputi status sosio-ekonomi dan kualitas lingkungan tempat tinggal.38

Berikut akan dibahas beberapa faktor yang mempengaruhi aspek sosial seseorang adalah sebagai berikut:

a. Budaya

Budaya (Culture) adalah pola perilaku, keyakinan dan hal-hal lain yang dihasilkan oleh suatu kelompok orang tertentu yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 39

37

MIF Baihaqi, Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan, h. 92. 38

Santrock, Remaja, h. 233. 39


(60)

Menurut Richard Brislin mendeskripsikan sejumlah karakteristik budaya sebagai berikut:40

1. Budaya disusun oleh sejumlah idealisasi, nilai, dan asumsi mengenai kehidupan yang mengarahkan perilaku manusia yang hidup di budaya tersebut.

2. Budaya dibuat oleh manusia.

3. Budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; yang bertanggung jawab dalam mewariskan budaya tersebut adalah orang tua, guru, dan pimpinan komunitas.

4. Pengaruh budaya paling jelas terlihat dalam perselisihan-perselisihan halus di antara orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

5. Apabila nila-nilai budaya mereka dilanggar atau ketika harapan budaya mereka dabaikan, orang yang tinggal di budaya tersebut akan cenderung bereaksi secara emosional.

6. Tidak jarang orang menerima suatu nilai budaya di suatu keadaan dalam kehidupannya namun kemudian menolaknya di saat lain. b. Status Sosial- Ekonomi

Status Sosial-ekonomi (socioeconomic status atau SES) merujuk pada kelompok orang-orang yang memiliki pekerjaan, pendidikan, dan karakteristik ekonomi yang kurang lebih sama. Individu yang berasal dari SES yang berbeda memiliki tingkat kekuasaan, pengaruh dan prestasi yang berbeda-beda.41

40Ibid

, h. 189. 41


(61)

Beberapa perbedaan status sosial-ekonomi yang terlihat secara gamblang tergantung pada ukuran dan kompleksitas komunitas. Sosial ekonomi rendah kadangkala dideskripsikan sebagai orang yang memiliki penghasilan rendah, kelas pekerja atau kerah biru. Sementara sosial ekonomi menengah kadangkala dideskripsikan sebagai orang yang memiliki penghasilan menengah, memegang pekerjaan manajerial atau kerah putih. Para profesional yang berada di puncak bidangnya, para eksekutif perusahaan tingkat tinggi, para pemimpin politik, dan individu-individu yang kaya adalah mereka yang digolongkan sebagai kategori sosial ekonomi kelas atas.42

Hoff, Laursen, & Tardif, mengemukakan bahwa ditemukan perbedaan pengasuhan anak di antara kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang berbeda.43

1. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi rendah lebih mengusahakan agar anaknya meyesuaikan diri terhadap ekspektasi sosial, mencipatakan atmosfir rumah dimana orang tua memiliki otoritas yang jelas terhadap anak-anak, lebih banyak menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak-anaknya, dan komunikasi yang dilakukan kepada anak-anaknya bersifat searah.

2. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi lebih tinggi lebih mengusahakan agar anak-anaknya mengembangkan inisiatif dan mampu menunda kepuasan, menciptakan lingkungan rumah dimana anak-anak lebih ditempatkan sebagai partisipan yang setara dan lebih

42

Santrock, Remaja, h. 198. 43Ibid


(1)

sambil memegang sebuah mainan robot. Setelah “IA” selesai mengenakan baju, peneliti meminta izin untuk pamit pulang.

Hasil observasi informan “AP”

Waktu Observasi : Rabu, 6 Mei 2015

Tempat Observasi : Di rumah Orang tua “AP” Orang yang terlibat : Orang Tua “AP” dan “AP”

Waktu Deskripsi Makna

13.00-15.30 Ketika peneliti melakukan observasi terhadap “AP”, saat itu “AP” merasa takut ketika peneliti datang dan ia bersembunyi dibelakang ibu “N”. Saat itu “AP” menolak ketika diajak bersalaman oleh peneliti. Ketika peneliti duduk diruang tamu dan ibu “N” pergi ke dapur, “AP” selalu mengikuti kemanapun ibunya pergi. Ketika peneliti sedang melakukan wawancara dengan ibu “N”, “AP” meminta makan kepada ibunya. Namun ibu “N” menolak permintaan “AP” dikarenakan “AP” baru selesai makan. Kemudian “AP” kesal dengan ibunya.

“Ketika “AP” sedang kesal oleh ibunya karena tidak diambilkan makanan. “AP” tidak dapat mengungkapkan rasa kesalnya seperti anak-anak yang lain. Saat itu “AP” hanya duduk disudut pintu sambil menatap tajam kearah ibu “N”, seolah-olah menunjukkan bahwa dirinya sedang merasa kesal. Tidak lama kemudian “AP” menangis sambil memukul-mukul wajahnya. Dengan rasa kesal akhirnya ibu “N” mencubit tangan “AP” sambil memarahi “AP”. Tidak lama kemudian “AP” berhenti menangis dan menghampiri ibu “N”

Berdasarkan hasil observasi ternyata “AP” merupakan anak

pendiam dan takut jika bertemu dengan orang yang baru pertama kali ia lihat. Selain itu “AP” juga termasuk anak yang tidak bisa

mengekspresikan perasaannya ketika sedang kesal kepada ibunya.


(2)

yang sedang duduk dengan peneliti. Kemudian ibu “N” mencium dan memeluk “AP” serta mengambilkan makanan untuk “AP”. Ketika ibu “N” mengambilkan makanan, peneliti mencoba untuk mendekati “AP” yang sedang duduk disamping motor sambil menonton tv. Saat itu peneliti bertanya “Kamu suka nonton film kartun ini ya?” Kemudian “AP” menjawab pertanyaan peneliti dengan bercerita tentang film kartun tersebut. Tidak lama kemudian ibu “N” datang dan menyuapi “AP” dengan sepiring nasi dan ayam goreng yang dimasaknya”


(3)

Lampiran 6

DOKUMENTASI

“IA” yang sedang memakan ice cream dirumahnya


(4)

Wawancara dengan ibu “N”


(5)

Wawancara dengan “RP”


(6)