Faktor-faktor psikologis mempengaruhi forgivenness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

(1)

FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG M EM PENGARUHI

FORGIVENESS

PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM

RUM AH TANGGA (KDRT)

Disusun Oleh :

NURAN

107070000398

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

FAKTOR - FAKTOR PSIKOLOGIS YANG M EM PENGARUHI FORGIVENESS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUM AH TANGGA (KDRT)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh

gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

NURAN

107070000398

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

FAKTOR - FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI

FORGIVENESS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA (KDRT)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh: NURAN NIM: 107070000398

Di bawah bimbingan:

Pembimbing

Jahja Umar, Ph.D NIP: 130 885 522

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi

Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 11 Oktober 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/Ketua Pembantu Dekan/

Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra.Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota:

Yunita Faela Nisa, M.Psi., Psi NIP. 19770608 200501 2 003


(5)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nuran NIM : 107070000398

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Psikologis

Yang Mempengaruhi Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah

Tangga” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan

plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta,11 Oktober 2011

Nuran NIM: 107070000398


(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

M otto:

“ B el a j a r a d a l a h per j u a n ga n , per j u a n ga n a d a l a h

pen gor ba n a n , d a n p en gor ba n a n i t u a d a l a h

m en i n gga l k a n ha l -ha l y a n g m en y en a n gk a n "

( J a h j a U m a r )

P er sembahan:

Skr ipsi ini kuper sembahkan untuk M alaikat hidupku

P apa dan M ama..

Ser ta pengukir senyum dalam har i-har iku Amir a, R ayhan,

dan I bel..


(7)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta B) Oktober 2011

C) Nuran

D) Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

E) XV + 123 Halaman (belum termasuk lampiran)

F) Forgiveness merupakan hal yang penting dalam suatu hubungan untuk melakukan perubahan motivasi seseorang yang disakiti sehingga dapat diperbaiki demi kepentingan antar pasangan. Forgiveness adalah peningkatan dorongan ke arah yang lebih baik atau positif, yang ditandai dengan rendahnya dorongan untuk menghindar (avoidance motivations); rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations); dan bertambahnya dorongan untuk berperilaku baik. Tingkat forgiveness dipengaruhi oleh beberapa faktor, tiga faktor yang sangat berperan penting adalah tipe kepribadian, kualitas hubungan, dan religiusitas. Tipe kepribadian yang digunakan adalah tipe kepribadian Jung yang terdiri dari ekstrovert dan introvert. Kualitas hubungan yang digunakan terdiri dari komitmen, kepercayaan, keintiman, dan kepuasan hubungan. Religiusitas yang digunakan terdiri dari keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tipe kepribadian ekstrovert-introvert, kualitas hubungan, dan religiusitas terhadap forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian kuantitatif dengan analisis regresi berganda melibatkan sampel sebanyak 150 orang yang memenuhi kriteria (wanita berusia 20-60 tahun, status menikah, belum cerai, korban KDRT di LBH APIK).Alat ukur forgiveness yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil adaptasi dari alat ukur Measuring Offence-Spesific Forgiveness Scale (MOFS), sedangkan alat ukur tipe kepribadian ekstrovert-introvert yang digunakan adalah adaptasi dari alat ukur Myers Brigss Type Indicator (MBTI), kemudian untuk alat ukur kualitas hubungan yang digunakan berupa skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Guldner & Swesen, dan alat ukur religiusitas yang digunakan adalah hasil adaptasi dari alat ukur Glock & Stark.

Hasil penelitian membuktikan bahwa secara bersamaan tipe kepribadian ekstrovert-introvert, kualitas hubungan, dan religiusitas secara signifikan mempengaruhi forgiveness (P < 0.05).Dalam penjabarannya terdapat dua variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness, yaitu kualitas hubungan dan religiusitas konsekuensi. Hasil dari moderator variabel yang digunakan yaitu usia pernikahan secara signifikan mempengaruhi forgiveness, dengan independen variabel yang berpengaruh pada kelompok usia pernikahan tinggi yaitu kualitas hubungan dan religiusitas konsekuensi, kemudian pada kelompok usia pernikahan


(8)

rendah didapatkan independen variabel yang berpengaruh yaitu kualitas hubungan.

Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar dalam melakukan penelitian menggunakan variabel yang terkait dengan forgiveness yang tidak dianalisis sebagai IV, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, anak, dsb, kemudian dapat memperkaya penelitian dengan membandingkan antara forgiveness istri dari pasangan normal dan pasangan KDRT, serta lebih banyak menggunakan dan mengembangkan item – item yang lebih valid dalam mengukur konstruk – konstruk psikologisnya.

G) Daftar Bacaan : 35; buku: 17 + jurnal: 11 + artikel: 3 + skripsi: 3 + hasil wawancara: 1


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim

Syukur Alhamdulillah Peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Faktor-Faktor Psikologis Yang

Mempengaruhi Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah

Tangga”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah

Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan skripsi ini Peneliti dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi Peneliti.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga sebagai Dosen Pembimbing. Terima kasih karena telah meluangkan waktu dalam proses bimbingan skripsi ini, untuk segala ilmu yang telah Peneliti dapatkan.

2. Dua sosok penyemangat hidup yang sangat peneliti hormati dan kasihi, Papa dan Mama, Ali Muhammad Abdat dan Hamida Jaff Abdat. Rangkaian kata-kata indah tak akan dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih Peneliti atas segala jerih payah, kesabaran, ilmu, dan segala dukungan yang telah Papa dan Mama berikan bagi Peneliti. Terima kasih, malaikatku.

3. Kepada Pak Ikhwan Luthfi M.Psi, sebagai Dosen Pembimbing Seminar Proposal, terima kasih atas segala bimbingan, arahan, kritik yang membangun, dan waktu yang diberikan kepada Peneliti. Kepada Bu Zulfa Indira M.Psi, Psi pembimbing


(10)

Evangeline I Suaidy dan Pak M. Avicenna M.Hsc,. Psy yang telah memberi ilmu dan menjadi motivator bagi Peneliti dalam mengembangkan ilmu psikologi dan mengikuti program beasiswa.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan pelajaran kepada Peneliti, baik itu dalam hal akademis maupun dalam menjalani kehidupan.

5. Kepada Mba Rini & para Staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu Peneliti dalam menjalani perkuliahan dan

menyelesaikan skripsi.

6. Kepada LBH APIK atas izin dan bantuannya dalam pengambilan data di kantor, dan kepada seluruh responden dari LBH APIK atas kesediaan, serta kerjasamanya dalam penelitian yang dilakukan oleh Peneliti

7. Kepada Amira, Rayhan, dan Ibel yang sangat Peneliti sayangi, terima kasih untuk support, nasihat, senyuman, semangat, dan doa yang selalu diberikan. Semoga kalian dapat lebih baik lagi dari Peneliti dan kita berempat akan selalu jadi kebanggan terbesar untuk Papa dan Mama.

8. Untuk Sahabat-sahabat Peneliti, yaitu Naya, Icha, Risna, Siro, Camel, Siro, Nurul, Rifa, Linda, dan Weni atas perjalanan suka dan duka selama 4 tahun kebersamaan ini, "cerita kita masih panjang, maka jangan sudahi sampai disini". Kemudian, untuk Sahabat-sahabat Peneliti d'Bibirs, Farah, Laras, Efiy, Anya, Winda, Lala, Rara, dan Unyil, terima kasih atas tawa, tangis, cerita, dukungan, semangat, dan segala kebersamaan ini, "terbukti walaupun kita tak selalu bersama tapi justru kebersamaan ini terus terbangun".

9. Untuk The GH yaitu Iccy, Fara, Laura, Mayang, Ezzat, Epiy, dan Sukria, terima kasih untuk segala cerita cita dan cinta "atas nama persahabatan GH". Untuk Iki,sahabat juga kakak bagi Peneliti, atas seluruh dukungan dan setiap bantuan, sungguh terima kasih dari lubuk hati terdalam. Dan untuk Ami, Indah, Imel, terima kasih telah mengukir banyak cerita dalam hari-hari Peneliti.

10. Untuk Sahabat 'Buavita', yaitu Ogy, Ben, Jali, Chris, Ayu, Desy, Tari, Syiva, dan Damai terima kasih untuk setiap canda, tawa, juga amarah yang muncul, kalian adalah semangat untuk menjadi yang tercepat dan terbaik demi rencana-rencana


(11)

masa depan kita. Kemudian, untuk Putri, Hani, Felya, Tika, Putaw, Mail, dan teman-teman "Borocks" yang selalu menjadi semangat, motivator, pengingat dan pesaing Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih 'sahabat tak akan terganti'.

11. Untuk Sahabat 'Kita' yaitu Hani, Pras, Rudhi, Aji, Danny, Kak Amal, Rika, Kak Siro, Kak Isni yang banyak sekali membantu Peneliti dan memberikan arahan dalam mengerjakan skripsi. Kemudian, untuk Adyo, sahabat dan guru yang berusaha sabar mengahadapi Peneliti, terima kasih untuk dukungan dan kesabarannya. Dan untuk sahabat, kakak, adik, saudara, dan calon adik ipar, Dara Amalia, terima kasih untuk segala kasih, kesabaran, support, nasihat, kecerewetan, dan segala hal berarti yang sulit untuk dijabarkan.

13. Untuk teman-teman angkatan 2007, khususnya kelas D yang sangat kompak dan penuh cerita, terimah kasih untuk segala kebersamaan ini. Kemudian, untuk teman-teman seperjuangan yaitu Aji, Risna, Vfah, Reza, Kak Sarah, "setiap detik menunggu, setiap semangat yang ditumbuhkan, rasa letih, bingung, dan kebersamaan dari setiap bimbingan, selamat menikmati kesuksesan ini anak-anak Pak Jahja"

14. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu per satu, terima kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya Peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan, bantuan, bimbingan dari semua pihak dibalas dengan sebaik-baiknya balasan. Selain itu mengingat kekurangan dan keterbatasan Peneliti, maka segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan Peneliti sebagai bahan penyempurnaan.

Jakarta, 11 Oktober 2011


(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Pengesahan Pembimbing... iii

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... iv

Lembar Orisinalitas ... v

Motto dan Persembahan ... vi

Abstrak ... vii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar ... xvi

Daftar Lampiran ... xvii

BAB 1 Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 15

1.3 Pembatasan Masalah ... 16

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.4.1 ... 17

1.4.2 ... 17

1.5 Sistematika Penulisan ... 17

BAB 2 Kajian Teori ... 19

2.1 Forgiveness ... 19

2.1.1 Definisi forgiveness ... 19

2.1.2 Dimensi yang mendasari forgiveness ... 21

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness ... 26

2.1.4 Pengukuran forgiveness ... 28

2.2 Kepribadian ... 29

2.2.1 Definisi kepribadian ... 29

2.2.2 Struktur kepribadian ... 31


(13)

2.2.4 Pengukuran tipe kepribadian ... 37

2.3 Kualitas hubungan dengan pelaku ... 37

2.3.1 Definisi kualitas hubungan ... 37

2.3.2 Dimensi-dimensi kualitas hubungan ... 38

2.3.3 Bentuk kualitas hubungan dengan forgiveness ... 40

2.3.4 Pengukuran kualitas hubungan ... 40

2.4 Religiusitas ... 41

2.4.1 Definisi religiusitas ... ... 41

2.4.2 Dimensi-dimensi religiusitas ... 42

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas ... 44

2.4.4 Pengukuran religiusitas ... 46

2.5 Kerangka Berpikir ... 47

2.6 Hipotesis Penelitian ... 52

BAB 3 Metode Penelitian ... 54

3.1 Populasi dan Sampel ... 54

3.2 Variabel Penelitian ... 54

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 55

3.4 Instrumen Penelitian ... 56

3.5 Pengujian Validitas Konstruk ... 62

3.5.1 Uji validitas konstruk forgiveness ... 64

3.5.2 Uji validitas konstruk tipe kepribadian ... 68

3.5.3 Uji validitas konstruk kualitas hubungan ... 72

3.5.4 Uji validitas konstruk religiusitas Glock & Stark ... 75

3.6 Prosedur Pengumpulan Data ... 86

3.7 Metode Analisis Data ... 87

BAB 4 Hasil Penelitian ... 91

4.1 Analisis Deskriptif ... 91

4.2 Uji Hipotesis Penelitian ... 93

4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ... 93


(14)

4.3.1 Analisis sub kelompok ... 107

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran ... 112

5.1 Kesimpulan ... 112

5.2 Diskusi ... 113

5.3 Saran ... 118

5.3.1 Saran metodologis ... 119

5.3.2 Saran praktis ... 119

Daftar Pustaka ... 121


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipologi Tipe kepribadian ... 32

Tabel 3.1 Blueprint Tipe kepribadian ... 58

Tabel 3.2 Blueprint Kualitas hubungan ... 58

Tabel 3.3 Blueprint Religiusitas ... 59

Tabel 3.4 BlueprintForgiveness ... 62

Tabel 3.5 Muatan Faktor dari Forgiveness ... 66

Tabel 3.6 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran Forgiveness ... 67

Tabel 3.7 Muatan Faktor dari item Tipe Kepribadian Ekstrovert ... 69

Tabel 3.8 Muatan Faktor dari itemTipe Kepribadian Introvert ... 71

Tabel 3.9 Muatan Faktor dari item Kualitas Hubungan ... 73

Tabel 3.10 Muatan Faktor dari item Keyakinan ... 76

Tabel 3.11 Muatan Faktor dari item Praktek Agama ... 79

Tabel 3.12 Muatan Faktor dari item Pengalaman Keagamaan ... 82

Tabel 3.13 Muatan Faktor dari item Pengetahuan Keagamaan ... 83

Tabel 3.14 Muatan Faktor dari item Konsekuensi Keagamaan ... 85

Tabel 4.1 Subjek berdasarkan usia pernikahan ... 92

Tabel 4.2 Subjek berdasarkan tingkatan forgiveness ... 93

Tabel 4.3 Rsquare Regresi ... 94

Tabel 4.4 Anova dari Analisis Regresi ... 95

Tabel 4.5 Koefisien Regresi ... 96

Tabel 4.6 Penghitungan Proporsi Varians ... 103

Tabel 4.7 Median Usia Pernikahan ... 108

Tabel 4.8 Koefisien Regresi Kelompok Usia Pernikahan Rendah ... 109


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ... 51 Gambar 3.1 Analisis Konfirmatorik Skala Forgiveness ... 65 Gambar 4.1 Residual Plots Forgiveness ... 107


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Kuisioner

Lampiran B : Contoh Syntax Analisis Faktor Konfirmatorik Analisis Faktor Konfirmatorik Forgiveness

Analisis Faktor Konfirmatorik Tipe Kepribadian Ekstrovert Analisis Faktor Konfirmatorik Tipe Kepribadian Introvert Analisis Faktor Konfirmatorik Kualitas Hubungan

Analisis Faktor Konfirmatorik Keyakinan Analisis Faktor Konfirmatorik Praktek Agama

Analisis Faktor Konfirmatorik Pengalaman Keagamaan Analisis Faktor Konfirmatorik Pengetahuan Keagamaan Analisis Faktor Konfirmatorik Konsekuensi Keagamaan Lampiran C : Matriks Korelasi Antar Independent Variabel


(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam bab satu ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang masalah, yang di dalamnya mencakup fenomena yang terjadi, penemuan di lapangan, serta penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki hubungan dengan penelitian-penelitian ini. Kemudian akan dibahas juga alasan ketertarikan peneliti pada faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi forgiveness. Selain itu dalam bab ini dibahas juga mengenai perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang

Tindak kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian. Tindak kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Di dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dikemukakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau


(19)

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Hanita dkk, 2009).

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan dijaga ketat privacy nya karena persoalannya terjadi dalam area keluarga. Ke dua, KDRT seringkali dianggap wajar karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga (Hasbianto, 1996). Kenyataan ini membuat istri merasa terpojok dengan tidak memiliki tempat berkeluh kesah dan berusaha menyimpan permasalahan dan menahan perasaan yang timbul dalam diri karena kurangnya pemahaman dalam mengatasi masalah.

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah kasus kekerasan berbasis gender yang paling sering dialami oleh perempuan. Data Komnas Perempuan menyebutkan kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang menempati urutan tertinggi yang dilaporkan. Pada tahun 2009 angka kasus kekerasan terhadap istri mencapai 17.772 kasus. Padahal pada tahun 2007 kekerasan terhadap istri hanya 1.348 kasus.

Dalam tindakan kekerasan akan dikenal istilah korban yaitu orang yang disakiti dan pelaku sebagai orang yang telah menyakiti. Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari hubungan antar dua individu, dimana individu yang satu merasa tersakiti (korban) dan karena perbuatan individu yang lain (pelaku). Akibatnya ialah


(20)

timbul perasaan-perasaan negatif (marah, benci, ingin balas dendam) pada pelaku kekerasan yang tak lain ialah suaminya (Komnas perempuan, 2002).

Dari perlakuan menyakiti tersebut selain dapat mengakibatkan perasaan negatif yang muncul dapat pula selanjutnya menghadirkan sisi positif lain yaitu kesediaan untuk melakukan forgiveness dari diri korban. Hal ini membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama dan mendalam. Memaafkan sendiri tidak dapat menghilangkan perasaan sakit, namun setelah memaafkan rasa sakit itu dapat ditahan. Setelah memaafkan, individu menyadari bahwa kemarahan dan kebencian dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk (Enright, 2001).

Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian, namun ada pula yang tetap mempertahankan rumah tangganya dan memaafkan suami yang telah melakukan kekerasan (Hanita dkk, 2009). Sikap forgiveness disini terlihat pada beberapa kasus yang banyak menjadi bahan pembicaraan, sikap ini pasti memiliki alasan yang sangat kuat dengan latar belakang tertentu dari korban, hingga memunculkan perasaan dapat melakukan forgiveness pada pelaku.

Dalam kehidupan sehari-hari, memaafkan merupakan sesuatu hal yang dianggap baik. Dalam Wikipedia (2010) dijelaskan bahwa forgiveness adalah proses menyimpulkan dendam, marah atau kemarahan sebagai akibat dari perbedaan, dianggap pelanggaran atau kesalahan, dan atau berhenti untuk menuntut hukuman atau restitusi dan juga merupakan norma yang diajarkan dalam setiap agama dan setiap agama memiliki konsep yang berbeda mengenai forgiveness.


(21)

Namun forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan karena harus melibatkan dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999), karena tidak cukup dikatakan sebagai forgiveness apabila hanya menghilangkan perasaan negatif saja, namun juga harus mengembalikan perasaan positif terhadap pelaku kejahatan (Worthington, 1998).

Kebanyakan hasil dari pikiran istri-istri korban kekerasan dalam rumah tangga adalah mencoba untuk mengungkapkan forgiveness dapat menjadi suatu pertolongan yang sangat berguna dalam membantu mereka yang telah terluka fisik dan psikis, menyembuhkan sebuah luka hati akibat dari sakit hati yang telah dilakukan oleh pasangannya, dan meringankan rasa sakit yang telah mereka terima sebagai akibat dari perilaku orang lain yang telah berbuat salah kepada mereka.

Dikatakan sulit dilakukan karena hal ini menyangkut perasaan seseorang yang sangat dalam. Maksudnya ialah ketika seseorang telah siap menyatakan memaafkan pelaku kejahatan, maka maaf yang diberikan, seharusnya maaf secara keseluruhan tidak hanya maaf dari sebuah perkataan saja, dan secara otomatis ditumbuhkan perasaan untuk kembali berhubungan dan berpikiran positif mengenai pelaku kejahatan tersebut. Akan tetapi, kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat dari forgiveness yang dinyatakan hanyalah sebuah perkataan saja. Hal ini juga diperkuat dengan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 26-27 november 2010 dengan melakukan wawancara pribadi pada 20 mahasiswa fakultas psikologi UIN Jakarta. Diketahui bahwa penyataan forgiveness yang diberikan bukan


(22)

meninggalkan luka di hati, rasa kesal, kecewa, dan emosi negatif lain dalam dirinya, bahkan kenyataan lain yang ada sangat sulit untuk melakukan forgiveness karena dirasa beberapa permasalahan yang terjadi sudah terlalu menyakiti diri individu tersebut.

Secara umum, manusia diharapkan dengan tulus memohon maaf atas kesalahan mereka dan memberi maaf atas tindakan keliru yang mengena pada mereka. Saling memaafkan merupakan salah satu bentuk tradisi hubungan antar manusia, akan tetapi tradisi ini sering kali juga hanya merupakan ritual belaka. Dengan kata lain, perilaku tersebut dilakukan namun tidak disertai ketulusan yang sungguh-sungguh. Pada sisi lain, ada mitos yang mengatakan bahwa dengan memberi maaf maka beban psikologis yang ada akan hilang. Pada kenyataannya banyak orang yang memberi maaf kepada orang lain kemudian kecewa dengan tindakan tersebut. Hal ini terjadi karena permintaan maaf sering tidak ditindaklanjuti dengan perilaku yang konsisten dengan permintaan maaf tersebut.

Mc.Cullough dkk (1997) mendefinisikan forgiveness sebagai suatu perubahan motivasi, motivasi untuk melakukan pembalasan (revenge motivation) dan motivasi untuk menghindar (avoidance motivation). Penurunan kedua motivasi tersebut mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang telah menyakiti atau melukai melainkan untuk berperilaku konstruktif terhadap pihak tersebut.

McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002) menjelaskan bahwa forgiveness merupakan peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan untuk menghindari (avoidance motivations) transgressor,


(23)

rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations) terhadap transgressor tersebut, dan meningkatnya dorongan untuk bertindak positif (benevolence motivations) terhadap transgressor.

Worthington (1998) menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu, forgiveness dapat mengurangi marah, depresi, cemas dan membantu dalam penyesuaian perkawinan. Memaafkan dalam hubungan interpersonal yang erat juga berpengaruh terhadap kebahagian dan kepuasan hubungan (Fincham dkk, 2001).

Penelitian ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniah.

Banyak kajian mengenai forgiveness dan telah ditemukan pengaruh yang positif dari forgiveness. Seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa (Fincham, 2009) "If we really want to love, we must learn how to forgive", lalu pernyataan dari Reinhold Niebuhr "Memaafkan adalah bentuk keindahan tertinggi dari cinta, sebagai balasannya Anda akan menerima kedamaian yang tak terkatakan dan kebahagiaan".

Forgiveness terjadi dilatarbelakangi oleh bermacam-macam tingkat permasalahan, baik pada seorang individu atau sekelompok. Terdapat banyak


(24)

kelebihan dengan melakukan forgiveness. Kesadaran seperti hal-hal yang telah dibuktikan lewat beberapa penelitian sebelumnya lebih dibutuhkan untuk mengganti semua pengalaman negatif menjadi hal positif. Keinginan untuk melakukan forgiveness ini dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan faktor sebelumnya.

Menurut McCullough dkk (1998), terdapat lima aspek yang dapat mempengaruhi forgiveness, yaitu determinan sosio-kognitif, peristiwa menyakitkan, tipe kepribadian, dan empati. Penelitian lain dari McCullough dkk (1997) menunjukkan bahwa forgiveness berhubungan dengan kebahagiaan psikologis, empati, permohonan maaf dan perspective taking, atribusi dan penilaian kekejaman orang yang menyakiti.

Secara lebih rinci terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap forgiveness seperti yang dikemukakan oleh McCulllough dkk (1998, dalam Tri & Faturochman, 2009) faktor-faktor tersebut ialah empati, atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya, tingkat kelukaan, tipe kepribadian, kualitas hubungan, religiusitas. Faktor-faktor yang telah dijelaskan sebelumnya ialah hal-hal yang berkaitan erat dengan proses terjadinya forgiveness.

Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu sikap dan perilaku seseorang yang dalam pembahasan kali ini yaitu forgiveness. Kepribadian menurut Jung (dalam Feist & Feist, 2010) menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan tujuannya dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh masa lalu dan masa depan manusia. Jung menjelaskan berbagai macam struktur dari psyche, tipologi kepribadian manusia berdasarkan sikap dan fungsi dominan yang dimiliki oleh


(25)

manusia, mekanisme pergerakan energi psikis dan tahap perkembangan kepribadiannya.

Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006), manusia dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu yang bertipe ekstravers dan manusia yang bertipe introvers. Orang yang ekstravers dipengaruhi oleh dunia obyektif yaitu dunia di luar dirinya. Orientasi utama tertuju keluar; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Orang yang ekstravers ini mempunyai sikap yang positif terhadap masyarakat.

Berbeda dengan orang ekstravers, orang yang introvers dipengaruhi oleh dunia subyektif yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasi utama tertuju ke dalam; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor subyektif. Penyesuaian dengan dunia luar pada tipe introvers ini kurang baik, sebaliknya mempunyai penyesuaian yang baik dengan dirinya sendiri.

Kajian tentang forgiveness mulai menarik untuk diteliti, beberapa pakar psikologi pun telah turut serta mengkaji mengenai forgiveness secara ilmiah, banyak hal yang telah diteliti baik mengenai tipe kepribadian, kualitas hubungan, kesehatan psikis, religiusitas, dan lain sebagainya.

Pemaparan di atas mengenai tipe kepribadian juga didukung oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wang (2008). Ia telah melihat hubungan antara tipe kepribadian dan forgiveness. Akan tetapi tipe kepribadian yang diteliti di sini mengenai tipe kepribadian big five dengan forgiveness dalam dua jurnal penelitian, yang hasilnya pertama menyatakan bahwa antara kepribadian tipe big five dengan forgiveness menghasilkan signifikansi positif pada agreeableness dan signifikansi


(26)

negatif pada neuroticism, dan tidak terdapat signifikansi pada consciousness, extraversion, dan openness. Maka diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe kepribadian big five dengan forgiveness.

Dari penelitian Wang dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara kepribadian seseorang dengan forgiveness. Tipe kepribadian yang dikemukakan yaitu tipe kepribadian big five, kemudian dari pembahasan mengenai forgiveness didapatkan bahwa kepribadian sendiri termasuk ke dalam faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness pada individu. Karena pada dasarnya tipe kepribadian yang dimiliki setiap individu berbeda-beda dan memiliki pengaruh terhadap forgiveness.

Menurut McCullough dkk (2001b, dalam Tri & Faturrochman, 2009) tipe kepribadian tertentu seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Berdasarkan ciri tersebut dapat dikatakan individu dengan tipe kepribadian ini memiliki tingkat emosi yang lebih stabil atau memungkinkan untuk melakukan forgiveness. Dapat diduga bahwa terdapat hubungan antara kepribadian, tepatnya tipe kepribadian ekstravert dengan forgiveness.

Penelitian lainnya yaitu penelitian yang mencari tahu mengenai hubungan antara trait kepribadin big five factors dengan forgiveness pada pasangan yang


(27)

menikah dalam masa pernikahan 1 hingga 5 tahun. Diketahui dari hasil penelitian tersebut terdapat hubungan yang erat antara trait kepribadian yaitu trait extraversion, agreeableness, dan openess dengan forgiveness pada pasangan yang menikah (dalam Arthasari, 2010).

Penelitian lainnya yang berhubungan dengan tipe kepribadian big five factors yaitu yang dilakukan oleh McCullough (1998) menyatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk melakukan forgiveness memiliki korelasi yang cukup erat dengan dua buah dimensi big five, yaitu neuroticism dan agreeableness, dimana orang-orang agreeableness (ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik) memiliki tingkat emosi yang lebih stabil, lebih cenderung mudah memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka. Bagi orang-orang yang memiliki kepribadian neuroticism (mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive), lebih cenderung sulit memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka.

Dikarenakan banyaknya penelitian mengenai tipe kepribadian big five factors yang telah dilakukan terhadap forgiveness dan dirasa masih sedikit penelitian mengenai tipe kepribadian ekstrovert dan introvert, serta didukung pendapat dari McCullough mengenai hubungan tipe kepribadian ekstravert dengan forgiveness, maka berdasarkan hal tersebut peneliti berniat mengangkat tipe kepribadian yang diteliti dengan menggunakan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.


(28)

Faktor kedua yang mempengaruhi forgiveness ialah kualitas hubungan. Menurut McCullough dkk (1998), kualitas hubungan menjadi faktor kuat yang mempengaruhi terjadinya proses forgiveness, karena individu yang memaafkan kesalahan pihak lain (pasangan) dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Di dalamnya terdapat beberapa alasan yang menjadi pemicu bahwa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan (forgiveness) dalam hubungan interpersonal.

Dalam kualitas hubungan, kedekatan antara korban dan pelaku kekerasan, kadar penderitaan yang dipersepsikan subjek dan keinginan untuk berhubungan baik kembali mempengaruhi seseorang untuk memaafkan (McCullough dkk., 1998).

Penelitian terdahulu lain yang mendukung kualitas hubungan dengan forgiveness dikemukakan oleh Fincham (2000) bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam bersikap memaafkan terhadap individu lain. Hal ini biasanya terjadi dikarenakan kualitas hubungan yang dekat antara individu satu dengan individu lainnya. Dikarenakan kedekatan hubungan antara kedua individu tersebut, maka dapat memunculkan forgiveness dari dirinya. Di dalam jurnal ini dijelaskan bahwa individu yang memiliki hubungan kedekatan dengan orang yang bermasalah dengannya, akan memiliki tingkat forgiveness yang lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan yang kualitas hubungannya tidak dekat.

Dalam penelitian lainnya mengenai kualitas hubungan suami dan istri dikatakan oleh Fincham dkk (2009) yang memperlihatkan bahwa dengan melakukan forgiveness memunculkan dampak yang positif atau keuntungan dengan timbulnya


(29)

kesejahteraan suatu hubungan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan yaitu rata-rata suami istri yang mementingkan, mencoba, dan menyetujui forgiveness terjadi pada usia yang pernikahannya lebih lama, dan dengan melakukan forgiveness pernikahannya lebih berumur panjang, serta dirasa memuaskan.

Faktor lainnya yang mempengaruhi forgiveness yaitu religiusitas. Religiusitas menurut Glock & Stark (1974) adalah apa yang diyakini seseorang sebagai kebenaran religius, apa yang seseorang lakukan sebagai bagian pengamalan keyakinan, melibatkan emosi atau pengalaman sadar dalam agama yang dianut, yang diketahui tentang keyakinan, dan bagaimana tingkah laku sehari-hari dipengaruhi agama. Di dalam religiusitas terdapat beberapa dimensi yang akan diteliti juga dalam penelitian ini, yaitu dimensi-dimensi menurut Glock & Stark, terdiri dari lima macam yaitu dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.

Dalam salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Gorsuch dan Hao (1993, dalam Batson dkk., 2006) menyimpulkan dalam penelitiannya yang berjudul Forgiveness: An exploratory factor analysis and its relationships to religious variables, bahwa "Semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat forgiveness terhadap orang lain"

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Rusdi (2009) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan forgiveness pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirasat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta. Diketahui dari hasil penelitian sebelumnya bahwa agama dapat mempengaruhi secara


(30)

secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsep forgiveness dalam agama Islam, seperti anjuran forgiveness dalam al-qur'an seperti dalam surat Al-Anfaal ayat 7, An-Nur ayat 162, Ali Imran ayat 134, serta ayat-ayat lain di dalam al-qur'an yang menganjurkan untuk forgiveness.

Agama sendiri dalam Wikipedia (2008) tidak hanya Islam, ada banyak agama lain dan semua agama berbeda-beda dalam mengajarkan mengenai forgiveness, baik agama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha , dan begitu pula pada agama Katolik.

Selain itu Edward (2002, dalam Batson dkk., 2006) menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara konstrak keyakinan (faith) dengan forgiveness, maka apabila seorang individu memiliki suatu keyakinan dalam beragama yang kuat, maka kesediaan untuk memaafkan akan berpeluang lebih besar dari yang tidak memiliki keyakinan kuat.

Kanz (2000, dalam Horn) menyimpulkan bahwa religiusitas merupakan salah satu variabel yang memiliki korelasi dengan penerimaan untuk forgiveness. Maka dari teori dan hasil penelitian yang ada menunjukkan terdapat kaitan antara religi dan keinginan melakukan forgiveness.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa forgiveness merupakan salah satu cara yang dipilih agar seseorang yang disakiti dapat menyembuhkan luka hati akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan perasaan-perasaan negatif yang muncul dan meningkatkan motivasi positif, yaitu untuk berdamai atau memperbaiki hubungan dengan pelaku. (Mc.Cullough dkk., dalam Worthington, 1998).


(31)

Maka diketahui dari beberapa penelian dalam terjadinya forgiveness terdapat bermacam-macam faktor yang mempengaruhi berlangsungnya dan bersedianya seseorang melakukan hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti ingin mengetahui dan merasa tertarik melakukan penelitian dengan judul

"Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban


(32)

1.2 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari kesimpangsiuran persepsi dan lebih terarahnya pembahasan, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :

1. Forgiveness merupakan proses perubahan dorongan ke arah perilaku dari diri individu terhadap pelaku. Pada penelitian ini forgiveness yang dimaksud adalah peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan untuk menghindari (avoidance motivations) pelaku, rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations) terhadap pelaku, dan meningkatnya dorongan untuk bertindak positif atau membina hubungan kembali (benevolence motivations) terhadap pelaku.

2. Tipe kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian tipologi Jung yaitu tipe kepribadian extrovert dan introvert.

3. Kualitas hubungan merupakan keadaan seberapa baik atau buruk interaksi pada suatu hubungan. Pada penelitian ini kualitas hubungan yang dimaksud adalah tingkat baik buruknya kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang mendalam bertujuan memudahkan proses dalam suatu hubungan antara satu dengan yang lain.

4. Religiusitas merupakan perwujudan individu penganut agama. Pada penelitian ini religiusitas yang dimaksud adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan dan semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Terdapat beberapa dimensi religiusitas, dan dalam penelitian ini religiusitas yang diukur adalah religiusitas yang dipaparkan oleh Glock & Stark (1974) yaitu dimensi keyakinan,


(33)

praktek agama, pengalaman keagamaan, pengetahuan keagamaan, dan pengamalan keagamaan.

5. Sampel dalam penelitian ini adalah wanita yaitu istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di bawah perlindungan LBH APIK yang berusia 20-60 tahun, status menikah dengan usia pernikahan 1-30 tahun.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan yaitu:

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan tipe kepribadian, kualitas hubungan, religiusitas, dan usia pernikahan terhadap forgiveness pada istri korban kekerasan rumah tangga?

2. Variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara pokok dan prinsip tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan penelitian yang telah peneliti rumuskan di atas. Oleh karenanya tujuan dan manfaat subtansial penelitian ini sangat berkaitan erat dengan pertanyaan penelitiannya yaitu:


(34)

1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh tipe kepribadian ekstrovert-introvert, kualitas hubungan, religiusitas, dan usia pernikahan terhadap forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Melihat variabel mana yang paling besar mempengaruhi forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga.

1.4.2 Manfaat Penelitian

1. Diharapkan penelitian ini secara teoritis dapat menambahkan hasil-hasil penelitian kualitas hubungan dan religiusitas dimensi konsekuensi terhadap forgiveness pada korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, seperti: mendorong minat teman-teman lainnya yang berkecimpung di bidang psikologi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan forgiveness, dan membantu seseorang dalam konseling pernikahan, psikiater pernikahan, dan menemukan problem solving pada pasangan yang menikah, mengingat hal tersebut masih sangat baru sehingga masih banyak hal yang dapat digali mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas dalam skripsi ini, maka penulis mengemukakannya dengan sistematika penulisan sebagai berikut:


(35)

Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, permasalahan-permasalahan penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2. Landasan Teori

Pada bab ini berisi teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, yakni teori tentang tipe kepribadian, teori kualitas hubungan dengan pelaku, teori religiusitas, teori forgivenes, dan kerangka berpikir.

Bab 3. Metode Penelitian

Pada bab ini berisi penguraian mengenai, variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, tekhnik pengambilan dan sampel, desain penelitian, instrumen penelitian, tekhnik pengambilan data dan tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab 4. Analisis Hasil Penelitian

Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai gambaran subjek penelitian, deskripsi data dan hasil uji hipotesis.

Bab 5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran.


(36)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Dalam bab dua ini, akan dibahas semua teori yang dapat menjelaskan masing-masing variabel penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai teori-teori yang berkenaan dengan forgiveness yang dimulai dengan definisi, hingga teori-teori yang dibahas dari beberapa tokoh yang berbeda. Setelah itu peneliti akan membahas faktor-faktor psikologis yang dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness pada korban kekerasan dalam rumah tangga.

2.1. Forgiveness

2.1.1 Definisi forgiveness

Forgiveness adalah kesediaan menanggalkan kesalahan yang diakukan oleh seseorang yang telah menyakiti hati atau melakukan suatu perbuatan salah pada individu lain (Braumesiter & Exline, dalam McCullough dkk., 2003).

Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku. Sebaliknya ada keinginan adanya keinginan untuk berdamai dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti, walaupun orang yang telah menyakiti telah berbuat yang menyakitkan terhadap kita. (McCullough, 1997, dalam McCullough dkk., 2003).

Menurut McCullough dkk (1997) menjelaskan bahwa forgiveness adalah suatu perubahan motivasi, perubahan motivasi untuk melakukan pembalasan


(37)

(revenge motivation) dan motivasi untuk menghindar (avoidance motivation). Penurunan kedua motivasi tersebut mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang telah menyakiti atau melukai melainkan untuk berperilaku konstruktif terhadap pihak tersebut.

Selain itu, McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002) menjelaskan bahwa forgiveness adalah proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap pelaku. Dikatakan bahwa forgiveness merupakan peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan untuk menghindari (avoidance motivations) pelaku, rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations) terhadap pelaku, dan meningkatnya dorongan untuk bertindak positif atau membina hubungan kembali (benevolence motivations) terhadap pelaku.

Kemudian, Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan forgiveness sebagai sikap untuk mengatasi hal- hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang telah menyakiti dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa forgiveness adalah peningkatan dorongan dari arah yang negatuntuk berperilaku ke arah yang lebih baik, yang ditandai dengan rendahnya dorongan seseorang untuk menghindar, untuk membalas dendam, dan bertambahnya dorongan dari diri untuk membina hubungan kembali.


(38)

2.1.2 Dimensi yang mendasari forgiveness

Dimensi forgiveness yang dikemukakan merupakan penjelasan lebih jauh mengenai definisi McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002). Forgiveness merupakan proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap transgressor. Tiga dorongan tersebut adalah avoidance motivations, revenge motivations, dan benevolence motivations, yang selanjutnya juga menjadi dimensi forgiveness. Penjelasan dari ke tiga dimensi yang mendasari forgiveness ialah sebagai berikut:

1) Avoidance motivations

Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri (withdrawal) dari pelaku.

2) Revenge motivations

Ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku yang ditujukan kepadanya. Dalam kondisi ini, individu tersebut marah dan berkeinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku. Ketika individu dilukai oleh individu lain (pelaku), maka yang terjadi dalam dirinya adalah peningkatan dorongan untuk menghindar (avoidance) dan membalas dendam (revenge). 3) Benevolence motivations

Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku. Dengan adanya kehadiran benevolence, berarti juga menghilangkan kehadiran dua dimensi sebelumnya. Oleh karena itu, individu yang memaafkan, memiliki benevolence motivations yang tingi, namun di sisi lain memiliki avoidance dan revenge motivations yang rendah.


(39)

Selain dari tiga aspek dimensi yang telah dijelaskan di atas, terdapat pendapat lain mengenai dimensi yang mendasari forgivenes. Dua aspek yang selalu hadir dalam setiap definisi forgiveness, yaitu berkurangnya keinginan untuk menghindari pelaku yang telah menyakiti korban dan berkurangnya keinginan untuk membalas dendam. Menurut McCullough dkk (1998), terdapat dua aspek sistem motivasional yang menentukan respons seseorang ketika mengalami transgresi interpersonal, yaitu perasaan disakiti (feeling of hurts) dan amarah. Perasaan disakiti merupakan persepsi dan transgresi yang memotivasi seseorang untuk menghindari orang yang melakukan transgresi tersebut, baik secara fisik maupun psikologis sedangkan amarah merupakan emosi yang menyebabkan seseorang ingin membalas dendam.

Ketika individu menyatakan bahwa tidak dapat memaafkan orang lain atas suatu peristiwa atau tindakan yang menyakitkan, persepsinya terhadap peristiwa atau tindakan tersebut akan menstimulasi kedua aspek tadi ke arah destruksi hubungan yang dijalani bersama pasangannya tersebut, yaitu dengan adanya motivasi yang tinggi untuk menghindar dan motivasi yang tinggi untuk membalas dendam atau melihat orang yang menyakitinya tadi memperoleh petaka (McCullough dkk, 1998). Sebaliknya ketika individu tersebut menunjukan indikasi telah memaafkan orang lain, persepsi akan orang tersebut beserta tindakan atau peristiwa yang menyakitkan yang telah dilakukan oleh pasangannya tersebut tidak lagi menciptakan motivasi untuk menghindar maupun membalas dendam, sehingga orang yang memaafkan tadi akan mengalami tranformasi motivasional yang bersifat konstruktif.


(40)

1. Penghindaran (avoidance)

Worthington (1998) menganalogikan transgresi dengan pengkondisian klasik (classical conditioning) terhadap seorang tikus dalam penelitian eksperimental. Dalam eksperimen, tikus tersebut membuat sebuah nada (stimulus terkondisi). Tikus tadi akan mengasosiakan nada dengan sengatan listrik. Asosiasi tersebut dapat terjadi dalam beberapa kali percobaan jika sengatan listrik relatif lembut. Dibandingkan dengan individu yang mengalami transgresi dan belum dapat memaafkan. Pertama, individu tersebut mengalami luka, baik yang disebabkan oleh kritik, kebohongan, ketidaksetiaan, dan sebagainya. Luka ini sebagai stimulus yang tak terkondisi, sedangkan pelaku (dalam penelitian ini berarti pasangan) berperan sebagai stimulus tak terkondisi. Setelah mengalami transgresi, individu tetap bertemu dengan trangresor. Pertemuan dengan pelaku akan membuat cemas, serupa dengan reaksi tikus yang menciutkan tubuh dan mengejang. Setelah itu ia akan berusaha untuk menghindari pelaku. Jika penghindaran pelaku tidak mungkin untuk dilakukan maka kemarahan, pembalasan, dan konfrontasi dilancarkan. Apabila kemarahan, pembalasan dan konfrontasi tersebut merupakan hal yang dianggapnya tidak rasional, destruktif, atau tidak berguna, individu tadi akan menunjukan tingkah laku yang serupa dengan tingkah laku submisif yang ditunjukan tikus, yaitu depresi, yang menunjukan bahwa ia berada dalam posisi yang lemah dan membutuhkan pertolongan.


(41)

2. Pembalasan (revenge)

Ketika penghindaran sudah tidak lagi efektif, seorang individu dapat menyimpan dendam yang ada, kemudian membalaskannya. Terdapat beberapa alasan yang mendasari keputusan seseorang untuk membalas dendam, yaitu diperolehnya keuntungan praktis maupun materi, mencegah terjadinya persitiwa yang menyakitkan, menghayati konsekuensi dari luka yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, mempertahankan harga diri, dan mempertahankan prinsip moral.

Alasan utama yang menyebabkan seseorang untuk memutuskan balas dendam kepada orang yang telah menyakitinya adalah dapat diperolehnya keuntungan praktis maupun material dari orang tersebut. Ketika seseorang menyakiti orang lain, seakan-akan berhutang terhadap orang yang disakitinya itu. Memaafkan berarti meniadakan hutang tersebut, dan dapat dilakukan jika pihak yang menyakiti telah menampilkan tingkah laku yang menguntungkan pihak yang telah disakitinya. Penghilangan hutang juga dapat dilakukan dengan melakukan balas dendam. Pembalasan dendam dapat mendatangkan kepuasan atas dicapainya “keadilan” dan keimbangan.

Disimpannya dendam merupakan “alat” untuk mencegah berulangnya luka. Peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi akan lebih mudah terulang. Kemungkinan untuk kembali terluka dimasa depan akan dipertimbangkan seseorang, apapun yang dirasakannya ketika dilukai, sehingga individu tersebut akan bertanya-tanya, “apakah orang yang menyakiti saya ini akan mengulangi perbuatannya?” Memaafkan akan meningkatkan peluang berulangnya peristiwa


(42)

yang menyakitkan. Dengan memutuskan untuk tidak memaafkan, seseorang dapat berharap untuk mempengaruhi pihak yang menyakitinya agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang telah melukainya. Tidak memaafkan juga dapat membuat pihak yang telah menyakiti seseorang terus teringat akan perbuatannya. Memaafkan tidak memungkinkan seseorang untuk membuat pihak yang telah menyakitinya terus teringat akan perbuatannya, sebab ketika pemaafan telah terjadi, peristiwa yang menyakitkan tersebut tidak diungkit-ungkit kembali, dan tidak ada pula rasa bersalah yang dapat diinduksikan kepada pihak yang telah menyakiti, sehingga dengan memaafkan kontrol terhadap tingkah lakunya di masa yang akan datang tidak dapat dilakukan. Dendam juga akan disimpan jika konsekuensi dari luka yang ditorehkan oleh pihak yang menyakiti ternyata berlangsung untuk jangka waktu yang panjang. Pemaafan akan sulit timbul jika konsekuensi dari peristiwa menyakitkan yang dialami berlangsung hingga masa depan.

Alasan lain disimpannya dendam adalah untuk menjaga harga diri pihak yang disakiti (Baumister et al, 1998). Banyak peristiwa menyakitkan yang dapat mengancam harga diri, sehingga pihak yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut menganggap bahwa memaafkan dapat menyebabkan mereka kehilangan harga diri. Ketidakinginan akan kehilangan harga diri tersebut membuat individu merasa ingin atau butuh mempertahankan citra bahwa memiliki kekuatan.

Dari beberapa dimensi yang di paparkan di atas, peneliti akan menggunakan dimensi menurut McCullough dkk, yang berisi tiga dimensi yaitu avoidance


(43)

motivations, revenge motivations, dan benevolence motivations. Peneliti menggunakan dimensi tersebut dikarenakan sesuai dengan definisi yang digunakan dan sesuai dengan skala yang ditemukan dan digunakan.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness

Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh terhadap forgiveness yang dikemukakan oleh McCullough dkk (1998, dalam Tri & Faturrochman, 2009) yaitu:

(1) Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses pemaafan. Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi untuk memaafkannya.

(2) Karakteristik serangan

Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang dialami oleh orang yang disakiti serta konsekuensi yang menyertainya. Seseorang akan lebih sulit untuk memaafkan kejadian-kejadian yang dianggap penting dan


(44)

bermakna dalam hidupnya. Misalnya, seseorang akan sulit untuk memaafkan perilaku perselingkuhan yang dilakukan suaminya dibandingkan memaafkan perilaku orang lain yang tiba-tiba menyelinap antrian. Girard dkk (dalam Tri & Faturrochman, 2009) menyebutkan bahwa semakin penting dan bermakna suatu kejadian, maka akan semakin sulit bagi seseorang untuk memaafkan. (3) Tipe kepribadian

Ciri dari tipe kepribadian tententu seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah dalam forgiveness cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Ciri-ciri tersebut memiliki kecenderungan invidu yang memiliki tipe kepribadian ekstravert cenderung dapat melakukan forgiveness terhadap pelaku yang menyakiti. (4) Kualitas hubungan dengan pelaku

Berdasarkan penelitian yang ada, Nelson dkk (dalam Worthington dkk, 1998) menemukan bahwa korban cenderung memaafkan apabila hubungan antara korban dan pelaku sebelum peristiwa menyakitkan terjadi, terdapat kepuasan, komitmen dalam hubungan tersebut.

Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada


(45)

dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menlain hubungan di antara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka (McCullough dkk., 1998).

(5) Religiusitas

Studi yang menunjukkan bahwa nilai dan praktek keagamaan berhubungan positif dengan sikap yang mendukung tindakan memaafkan (Gorsuch & Hao,1993). Studi lain yang dilakukan Wuthnow (2009) menunjukkan bahwa kegiatan kelompok agama yang bersifat tradisional seperti sharing dan doa bersama, terbukti membantu individu memaafkan orang lain.

2.1.5 Pengukuran forgiveness

Dari hasil membaca literatur tentang penelitian-penelitian mengenai forgiveness, peneliti memperoleh beberapa instrument untuk mengukur

forgiveness, diantaranya yaitu:

1. Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS)

2. Transgression-Related Interpersonal Motivation Scale (TRIM) 3. The Heartland Forgiveness Scale (HFC)

Adapun penjelasan mengenai instrument-instrument tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS). MOFS terdiri


(46)

dari 10 item. Item-item dalam alat ukur ini sesuai dengan dua komponen forgiveness yaitu, resentment-avoidance dan benevolence. Kedua,

Transgression-Related Interpersonal Motivation scale (TRIM). TRIM terdiri dari 12 item. Alat tes ini mengukur tingkat forgiveness berdasarkan dua sub skala yakni rendahnya tingkat menghindari pelaku (avoidance) dan rendahnya tingkat membalas (revenge). Ketiga, The Heartland Forgiveness Scale (HFC). Tediri dari 18 item. Alat tes ini membahas mengenai laporan diri yang mengukur forgiveness disposisional seseorang (yaitu, kecenderungan umum untuk memaafkan).

Maka dari beberapa alat ukur yang dikemukakan, peneliti menggunakan alat ukur Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS). Dikarenakan sesuai dengan kajian teori yang digunakan.

2.2 Kepribadian

2.2.1 Definisi kepribadian

Menurut Pervin dan John (2005) kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten. Definisi tersebut memiliki arti yang cukup luas yang membolehkan kita untuk fokus pada banyak aspek yang berbeda pada setiap orang. Pada waktu yang bersamaan, hal tersebut menganjurkan kita untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas dalam diri orang tersebut yang diukur secara teratur.


(47)

Menurut Koentjaraningrat kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu (http://www.e-dukasi.net).

Freud (dalam Feist, 2010) pada teori kepribadian adalah eksplorasinya ke dalam dunia tidak sadar dan keyakinan bahwa manusia termotivasi oleh dorongan-dorongan utama yang belum atau tidak mereka sadari. Freud mengidentifikasikan tiga angkatan dalam kehidupan mental, yaitu alam tidak sadar, alam bawah sadar, dan kesadaran. Maka, kepribadian merupakan integrasi dari id, ego, dan superego (Chaplin, 1999).

Kepribadian menurut Allport (dalam Sumadi, 2006) merupakan organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Berbeda dengan yang lainnya, Jung tidak berbicara tentang kepribadian melainkan tentang Psyche. Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006) psyche adalah totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Kepribadian yang dijelaskan oleh Jung dalam bentuk psyche adalah integrasi dari ego, ketidaksadaran pribadi, dan ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks, arkhetip-arkhetip (archetypes), persona, dan anima (Chaplin, 1999).

Maka kepribadian adalah mengenai berbagai hal atau segala aktivitas dari individu, yang mewakili atau memperlihatkan karakteristik asli dari individu baik yang nampak maupun yang tidak nampak.


(48)

2.2.2 Stuktur kepribadian

Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006) jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu:

a. Alam sadar (kesadaran) yang berfungsi sebagai penyesuaian terhadap dunia luar

b. Alam tak sadar (ketidaksadaran) yang berfungsi sebagai penyesuaian terhadap dunia dalam.

1) Struktur kesadaran

Kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa, yang masing-masing mempunyai peranan penting dalam orientasi manusia dalam dunianya.

a. Fungsi jiwa

Suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda

b. Sikap jiwa

Arah daripada energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya

c. Tipologi jung

Kedua sisi introversi dan ekstroversi dapat dikombinasikan dengan berbagai fungsi jiwa sebagai berikut:


(49)

Tabel 2.1

Tipologi Jung

(Sumber: Sumadi, 2006)

Sikap Jiwa

Fungsi Jiwa Tipe Ketidaksadarannya

Ekstravers Pikiran Pemikir ekstravers Perasa introvers Perasaan Perasa ekstravers Pemikir introvers Pendriaan Pendria ekstravers Intuitif introvers Intuisi Intuitif ekstravers Pendria introvers Introvers Pikiran Pemikir introvers Perasa ekstravers Perasaan Perasa introvers Pemikir ekstravers Pendriaan Pendria ekstravers Intuitif ekstravers Intuisi Intuitif introvers Pendria ekstravers

(1) Introversi adalah aliran energi psikis ke arah dalam yang memiliki orientasi subjektif. Introver memiliki pemahaman yang baik terhadap dunia dalam diri mereka, dengan semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang bersifat individu. Orang-orang ini akan menerima dunia luar dengan sangat selektif dan dengan pandangan subjektif mereka, Jung, (dalam Feist, 2010).

Orang yang introvers dipengaruhi oleh dunia subyektif yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasi utama tertuju ke dalam; pikiran, perasaan, serta


(50)

tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor subyektif. Penyesuaian dengan dunia luar pada tipe introvers ini kurang baik, sebaliknya mempunyai penyesuaian yang baik dengan dirinya sendiri.

(2) Ekstraversi adalah sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan menjauh dari subjektif. Ektrover akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh sekelilingnya dibanding oleh kondisi dirinya sendiri. Mereka cenderung untuk berfokus pada sikap objektif dan menekan sisi subjektifnya (dalam Feist & Feist, 2010).

Orang yang ekstravers dipengaruhi oleh dunia obyektif yaitu dunia di luar dirinya. Orientasi utama tertuju keluar; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Orang yang ekstravers ini mempunyai sikap yang positif terhadap masyarakat.

(3) Pikiran (thinking)

Aktivitas intelektual logika dapat memproduksi serangkaian ide yang disebut dengan berpikir (thinking). Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir extrovert sangat bergantung pada pemikiran yang nyata, tetapi mereka juga menggunakan ide abstrak jika ide tersebut dapat ditransmisikan kepada mereka secara langsung. Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir introvert bereaksi terhadap rangsangan eksternal, tetapi interpretasi mereka


(51)

terhadap suatu kejadian lebih diwarnai oleh pemaknaan internal yang mereka bawa dalam dirinya sendiri dibanding dengan fakta objektif yang ada.

(4) Perasaan (feeling)

Jung menggunakan kata perasaan (feeling) untuk mendeskripsikan proses evaluasi sebuah ide atau kejadian. Orang-orang dengan perasaan extrovert menggunakan data objektif untuk melakukan evaluasi. Orang-orang dengan perasaan introvert mendasarkan penilaian mereka sebagian besar pada persepsi subjektif dibanding dengan fakta objektif.

(5) Sensasi (sensing)

Fungsi yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan fisik dan mengubahnya ke dalam bentuk kesadaran perseptual yang disebut dengan sensasi (sensation). Orang-orang dengan sensing extrovert menerima rangsangan eksternal secara objektif, kurang lebih sama seperti rangsangan ini eksis dalam kenyataan. Orang-orang dengan sensing introvert biasanya sangat dipengaruhi oleh sensasi subjektif akan penglihatan, pendengaran, rasa, sentuhan, dan lainnya.

(6) Intuisi (intuition)

Intuisi (intuition) meliputi persepsi yang berada jauh di luar sistem kesadaran. Orang-orang dengan intuisi extrovert selalu berorientasi pada fakta dalam dunia eksternal. Orang-orang dengan intuisi introvert dipandu oleh persepsi ketidaksadaran terhadap fakta yang umumnya subjektif dan memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kesamaan dengan kenyataan eksternal.


(52)

d. Persona

Cara individu dengan sadar menampakkan diri ke luar (ke dunia sekitarnya). Persona merupakan kompromi antara individu dan masyarakat, antara struktur batin sendiri dengan tuntutan-tuntutan sekitar mengenai bagaimana seharusnyaorang berbuat.

2. Struktur ketidaksadaran

Ketidaksadaran mempunyai dua lingkaran, yaitu ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif.

a. Ketidaksadaran Pribadi

Ketidaksadaran pribadi berisikan hal-hal yang diperoleh oleh individu selama hidupnya.

b. Ketidaksadaran kolektif

Ketidaksadaran kolektif mengandung isi-isi yang diperoleh selama pertumbuhan jiwa seluruhnya, yaitu pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia, melalui generasi yang terdahulu.

2.2.3 Extroversion Vs Introversion

Ekstraversi adalah sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan menjauh dari subjektif. Ekstrovert akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh sekelilingnya dibanding oleh kondisi dirinya sendiri. Mereka cenderung untuk berfokus pada sikap objektif dan menekan sisi subjektifnya, Jung dalam Feist (2010).

Introversi adalah aliran energi psikis ke arah dalam yang memiliki orientasi subjektif. Introvert memiliki pemahaman yang baik terhadap dunia dalam diri


(53)

mereka, dengan semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang bersifat individu. Orang-orang ini akan menerima dunia luar dengan sangat selektif dan dengan pandangan subjektif meraka, Jung dalam Feist (2010).

Extroversion dan Introversion merupakan salah satu dimensi saling berlawanan yang dapat digambarkan oleh MBTI. MBTI mengacu pada teori Carl Gustav Jung tentang struktur kepribadian (psyche). Teori ini mengatakan bahwa manusia memiliki cara yang saling bertentangan dalam memperoleh energi psikologis (secara extroversion atau introversion); mendapatkan atau menjadi sadar akan suatu informasi (melalui pancaindra/sensing atau melalui intuisi/intuition); memutuskan atau mengambil kesimpulan tentang informasi tersebut (dengan berpikir/thinking atau dengan merasakan/feeling); dan berhadapan dengan dunia sekitar (dengan cara menghakimi/judging atau menerima saja/perceiving).

Ekstrovert dalam MBTI diartikan sebagai tipe pribadi yang suka bergaul, menyenangi interaksi sosial dengan orang lain dan berfokus pada the world outside the self. Sebaliknya tipe introvert dalam MBTI diartikan sebagai mereka yang senang menyendiri, reflektif, dan tidak begitu suka bergaul dengan banyak orang. Orang introvert lebih suka mengerjakan aktivitas yang tidak banyak menuntut interaksi seperti membaca, menulis, dan berpikir secara imajinatif.

2.2.4 Pengukuran tipe kerpibadian

Terdapat instrumen untuk mengukur tipe kepribadian ekstrovert -introvert yaitu Myers Briggs Type Indicator (MBTI). Myers Briggs Type Indicator (MBTI) adalah suatu alat tes psikologi yang diciptakan atau dikembangkan oleh Isabel Myers dan KatharineBriggs yang mengacu pada teori Carl Gustav Jung tentang struktur


(54)

kepribadian (psyche). Alat ukur ini mengukur ekstrovert, sensing, introvert, dan judging pada setiap individu, hanya saja dalam penelitian ini hanya mengukur ekstrovert dan introvert dari diri individu. Alat ukur ini digunakan karena sesuai dengan teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, selain MBTI sudah pernah digunakan dan teruji pada penelitian-penelitian terdahulu. peneliti mengadaptasi dari alat ukur kepribadian Myers Briggs Type Indicator (MBTI). Skala extrovert dan introvert ini terdiri dari 18 item.

2.3 Kualitas Hubungan dengan Pelaku

2.3.1 Definisi kualitas hubungan

Kualitas hubungan adalah tingkat baik buruknya kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang mendalam bertujuan memudahkan proses dalam suatu hubungan antara satu dengan yang lain (Pierce dkk., 1997).

Pierce dkk (1997) juga menyatakan bahwa kualitas hubungan ialah suatu hubungan intim antara satu individu dengan individu lain yang dibina untuk menuju ke arah hubungan yang lebih baik, merupakan salah satu kebutuhan pada usia dewasa muda.

Dapat disimpulkan bahwa kualitas hubungan adalah keadaan seberapa baik sebuah interaksi yang mendalam yang dilakukan individu dalam hubungannya dilihat dari dimensi-dimensi yang menentukan.


(55)

2.3.1 Dimensi-dimensi kualitas hubungan

Kualitas hubungan menurut Guldner dan Swesen (1995) ditentukan oleh empat aspek yaitu commitment, trust, intimacy, dan relationship satisfaction.

1) Komitmen (commitment)

Dalam hubungan percintaan komitmen berperan sebagai penyatu ikatan antara pasangan. Seseorang yang telah berkomitmen akan senantiasa berperan sebagai pemberi dukungan bagi pasangannya yang secara konsisten berpendapat bahwa berada dalam hubunga tersebut merupakan satu keuntungan, hingga akhirnya seseorang dapat terus setia terhadap pasangannya. Selain itu, dikatakan bahwa komitmen mempunyai pengaruh yang besar dalam menjaga hubungan dan menurunkan kemungkinan individu untuk tertarik kepada lawan jenis lainnya (Brehm, 1992). Selain itu, Brehm menambahkan bahwa komitmen terhadap suatu hubungan dapat mempengaruhi kepatuhan individu kepada pasangannya.

2) Kepercayaan (trust)

Kepercayaan merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan suatu hubungan. Dengan belajar untuk mempercayai orang lain, akan menimbulkan perasaan tentram pada diri sendiri. Bird dan Melville (1994, p 227) mendefinisikan kepercayaan sebagai keyakinan seseorang bahwa orang lain dapat dipercaya. Dalam hubungan percintaan, kepercayaan mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk terbuka terhadap pasangannya, khususnya dalam berbagai perasaan dan impian. Adapun kepercayaan yang tidak dibina


(56)

dengan baik dapat menimbulkan kecurigaan, kecemburuan, ketidakjujuran, dan salah persepsi.

3) Keintiman (intimacy)

Keintiman dapat didefinisikan melalui berbagai pandangan, adapun keintiman dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu keintiman melalui interaksi secara fisik dan non-fisik. Keintiman yang digambarkan melalui interaksi secara fisik, biasanya ditunjukkan oleh pasangan yang berhubungan intim untuk mengungkapkan rasa sayang dengan sentuhan, ciuman, pelukan, belaian, atau dengan berhubungan seksual. Di lain sisi, keintiman secara non-fisik menurut Mietzner & Lin (2005) ditandai dengan kualitas kedekatan seseorang terhadap orang lain, yang ditunjukkan melalui komunikasi, yakni dengan berbagai perasaan, rasa saling mendukung, keterbukaan, dan kehangatan di antara pasangan.

4) Kepuasan hubungan (relationship satisfaction)

Kepuasan hubungan dapat dilihat dari sejauh mana seseorang memperoleh kepuasan dari hubungan yang dijalaninya, juga ditentukan oleh kebersamaan dan komunikasi bersama pasangan. Hal ini ditandai dengan seberapa banyak setiap pasangan menyediakan waktu untuk hubungan tersebut (Guldner & Swensen, 1995).

2.3.3 Bentuk kualitas hubungan dengan forgiveness

Mc.Cullough,dkk (1998) memberikan 3 bentuk kualitas hubungan (antara korban dan pelaku) yang berkaitan dengan diberikannya forgiveness, yaitu:


(57)

1) Adanya pengalaman atau sejarah yang dilalui bersama sehingga hal ini dapat memunculkan adanya empati pada hubungan yang ada

2) Kemampuan korban untuk memaknai bahwa peristiwa menyakitkan terjadi untuk kepentingan dirinya

3) Pelaku mampu meminta maaf atau mengkomunikasikan penyesalan, baik secara verbal atau non-verbal.

2.3.4 Pengukuran kualitas hubungan

Untuk mengetahui kualitas hubungan pada seseorang dapat digunakan alat sebagai pengukur kualitas hubungan individu dengan pelaku. Alat ukur yang digunakandalam penelitian ini adalah berupa skala berisi item-item yang dibuat oleh peneliti berdasarkan dimensi yang ada. Dimensi yang ada sebanyak 4 dimensi yaitu, komitmen, kepercayaa, keintiman, dan kepuasaan hubungan. Kemudian berdasarkan dimensi-dimensi tersebut peneliti membuat skala tersebut berdasarkan aspek-aspek yang ada, keseluruhannya berjumlah 26 item.


(58)

2.4 Religiusitas

2.4.1 Definisi religiusitas

Gazalba (1987, dalam Risnawati dan Ghufron, 2010) mengatakan religiusitas berasal dari kata religi dalam bahasa latin "religio" yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat. Ini mengandung makna bahwa religi atau agama pada umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya.

Menurut Thouless (1995) religius adalah sikap atau cara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukan lingkungan yang lebih luas dari pada lingkungan dunia fisik yang terkait ruang dan waktu.

Anshori (1980, dalam Risnawati & Gufron, 2010) mengatakan bahwa religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh seseorang dalam hati. Pendapat tersebut senada dengan Dister (dalam Risnawati dan Gufron, 2010) mengartikan bahwa religiusitas sebagai keberagamaan karena adanya internalisasi agama ke dalam diri seseorang.

Mujib (2006) menjelaskan bahwa religius adalah kemampuan individu untuk menjalankan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.

Agama adalah sebuah sistem yang berdimesi banyak. Glock & Stark (dalam Ancok, 2001) mendefinisikan agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan dan semuanya berpusat pada persoalan


(59)

yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Menurut Glock and Stark (1974) ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan, dimensi peribadatan atau praktek agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dan dimensi pengamalan.

Nashori (1997, dalam Risnawati & Gufron, 2010) menjelaskan bahwa orang religius akan mencoba selalu patuh terhadap ajaran-ajaran agamanya, selalu berusaha mempelajari pengetahuan agama, menjalankan ritual agama, meyakini doktrin-doktrin agamanya, dan selanjutnya merasakan pengalaman-pengalaman beragama.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut terlihat adanya suatu kesamaan yaitu perwujudan individu penganut agama dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.

2.4.2 Dimensi-dimensi religiusitas

Glock & Stark (1974) mengembangkan sebuah pembagian fase dimensi religiusitas, yaitu apa yang diyakini seseorang sebagai kebenaran religius, apa yang seseorang lakukan sebagai bagian pengamalan keyakinan mereka, bagaimana mereka melibatkan emosi atau pengalaman sadar mereka dalam agama yang dianut, apa yang diketahui tentang keyakinan mereka, dan bagaimana tingkah laku sehari-hari mereka dipengaruhi agama.

Menurut Glock & Stark (Robertson, 1988, dalam Ancok & Suroso, 2004) dimensi-dimensi religiusitas terdiri dari lima macam yaitu:


(60)

1) Dimensi keyakinan

Dimensi ini terdiri dari pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, dan mengakui kebenaran ajaran-ajaran agama. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharap untuk taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi terdapat tradisi-tradisi dalam agama yang sama.

2) Dimensi praktek agama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmennya terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua hal yang penting yaitu ritual dan ketaatan. Ritual seperti mengahdiri pengajian agama, sedangkan ketaatan seperti mengerjakan shalat.

3) Dimensi pengalaman keagamaan

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan yang pasti, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama baik pada suatu saat akan mencapai pengetahuan sebjektif dan langsung mengenai kenyataan bahwa seseorang akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural.


(61)

4) Dimensi pengetahuan keagamaan

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritual-ritual, kitab suci, dan tradisi-tradisi.

5) Dimensi konsekuensi keagamaan

Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Konsekuensi keagamaan tersebut di tiap komitmen agama berlainan. Maka dari itu, kita perlu suatu ketegasan secara komunal yang dapat diambil dari salah satu hukum agama yang tertulis yang terdapat di dalam kitab agama masing-masing untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat menjerumuskan kehidupan bermasyarakat.

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas

Thousless (1992) mengemukakan ada enam faktor yang mempengaruhi religiusitas, diantaranya yaitu;

1) Faktor sosial

Faktor sosial berpengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, mulai dari pendidikan yang diterima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang di sekitar, dari apa yang mereka katakan berpengaruh terhadap sikap-sikap keagamaan individu tersebut, juga berbagai tradisi yang diterima oleh individu dari masa lampau. karena tidak seorang pun diantara


(62)

tiap individu yang dapat mengembangkan sikap-sikap keagamaan yang terisolasi dari orang-orang dalam masyarakat.

2) Faktor alami dalam agama

Terdiri dari pengalaman mengenai dunia nyata, konflik moral dan mengenai keadaan-keadaan emosional tertentu yang tampak memiliki kaitan dengan agama.

3) Faktor konflik moral

Pegalaman mengenai konflik moral antara beberapa kecenderungan perilakunya sendiri dan sistem tatanan yang otoritasnya dikenali. Sistem

tatanan pada umumnya disebut hukum moral, sedangkan konflik psikologik yang timbul daripadanya disebut konflik moral

4) Faktor emosional

Setiap pemeluk agama memiliki pengalaman emosional dalam kadar tertentu yang berkaitan dengan agamanya. Namun ada sejumlah orang terjadi pengalaman-pengalaman keagamaannya yang memiliki kekuatan dan komitmen agama yang luar biasa, sehingga berbeda dengan pengalaman-pengalaman orang lain. Karena beberapa orang menganggap dirinya sendiri hanya terpengaruh oleh persepsi seremonial yang bersifat visual dan ada sebagian menganggap sekedar kesibukan saja. Pendapat orang-orang beragama umumnya bahwa akibat penting dari kesadaran orang beragama adalah dorongan untuk taat kepada ajaran agama yang dipeluknya dan berperilaku


(1)


(2)


(3)


(4)


(5)

Analisis Faktor Konfirmatorik Religiusitas Pengalaman Keagamaan


(6)