Perlindungan hukum bagi anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga : analisis komparatif antara hukum islam dengan hukum positif

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Analisis Komparatif antara Hukum Islam dengan Hukum Positif)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh:

Lina Ervina NIM : 104043201366

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Analisis Komparatif antara Hukum Islam dengan Hukum Positif)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam(S.H.I)

Oleh

Lina Ervina NIM. 104043201366

Dibawah Bimbingan:

Pembimbing I

DR. KHA. Juaini Syukri, Lcs., MA NIP. 195507061992031001

Pembimbing II

Dedi Nursyamsi, SH, M.Hum NIP. 196111011993031002

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Analisis Komparatif Antara Hukum Islam dengan Hukum Positif)”, telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan Hukum.

Jakarta, 22 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

Ketua : DR.H. Muhammad Taufiki, M.Ag

NIP. 196511191998031002 : (...) Sekertaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si

NIP. 197412132003121002 : (...) Pembimbing I : Dr. KHA. Juaini Syukri, Lcs., M.A

NIP.195507061992031001 : (...) Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH., M. Hum

NIP: 19611011993031002 : (...) Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag

NIP: 197210101997031008 : (………) Penguji II : Nahrowi, SH., MH


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Rabiul Akhir 1432 H 22 Maret 2011 M


(5)

KATA PENGANTAR

ح ـ ا ح ــ ا َـ ا ـــس

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber dari kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya sehingga penulis diberikan kekuatan yang begitu melimpah dari kekuatan fisik hingga psikis untuk tetap menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Analisis Komparatif antara Hukum Islam dengan Hukum Positif)”

Shalawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat dan pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup manusia, dan pencerahan atas kegelapan manusia yang dijadikan sebagai sebuah pembelajaran bagi umat muslim hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) pada Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:


(6)

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, SH., MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku ketua Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M. Si., selaku sekretaris Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

3. Bapak DR. KHA. Juaini Syukri, Lcs., MA dan Bapak Dedi Nursyamsi, SH., M.Hum., sebagai pembimbing yang telah rela meluangkan waktu, memberikan ilmu dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Asmawi, M. Ag., dan Bapak Nahrowi, SH., MH., selaku penguji yang rela memberikan ilmu dan masukan-masukan yang bermanfaat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang berguna.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan tak lupa Segenap karyawan Perpustakaan Umum wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang


(7)

7. Papa dan mama tersayang, Bapak Hendra Elwoear dan Ibu Wasih yang sangat penulis hormati dan cintai, selalu memberikan kasih sayang yang begitu melimpah kepada penulis, yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kelancaran dan kesuksesan penulis. Untuk adikku yang termanja, Dede Reza Elwoear, terima kasih atas kenakalan dan kejahilannya. Suamiku tercinta, Bapak Dedi Irwansyah, yang selalu menemani penulis, selalu siap mendengarkan keluh kesah penulis, terima kasih atas semua kebaikan dan kebahagiaan. Untuk mutiara kecilku, buah hatiku, Alif Ahmad Faruqi Abdus Shobur yang memberikan penulis semangat dan telah memberikan warna bagi kehidupan penulis. Mertuaku tersayang Ibu Hj. Ainin dan Bapak H. Abdurrahman (Alm) yang sangat penulis hormati, terima kasih atas kasih sayang dan doa kepada penulis. Serta untuk adik iparku, Mardiah dan Ibnu Ramdhan, terima kasih atas dorongan semangatnya. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka.

8. Sahabat terbaikku, Levitasari, Dinar Wardani, Sri Noviyanti, Nur Okta, Tri Kusuma Dewi, Desy Widaningsih. Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut kurang lebih sembilan tahun. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu. Dan semua teman kelasku di Perbandingan Hukum (PH) angkatan 2004.


(8)

Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin.

Jakarta, 20 Desember 2010


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ………..………... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Batasan dan rumusan masalah ….………... 10

C. Tujuan dan manfaat ………... 10

D. Tinjauan Kajian Terdahulu……….. 11

E. Metode penelitian ……….... 13

F. Sistematika penulisan ……….. 14

BAB II KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Status anak dalam rumah tangga menurut hukum islam ……... 17

B. Hak anak dalam rumah tangga menurut hukum islam ……….... 23

C. Status anak dalam rumah tangga menurut hukum positif …..…. 31

D. Hak anak dalam rumah tangga menurut hukum positif ..…...…. 42

BAB III BENTUK DAN DAMPAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA A. Gambaran singkat kekerasan terhadap anak ……… 49

B. Bentuk kekerasan terhadap anak ………....……. 55


(10)

BAB IV HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Hukum islam tentang perlindungan anak korban kekerasan dalam rumah tangga …..………. 63 B. Hukum positif tentang perlindungan anak korban kekerasan dalam rumah tangga..……….…... 68 C. Persaman dan perbedaan hukum islam dan hukum positif tentang

pelindungan anak korban kekerasan dalam rumah tangga .……. 76 D. Analisis penulis mengenai perlindungan anak korban kekerasan

dalam rumah tangga ………. 78 E. Contoh Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga……….

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………..…… 82

B. Saran ………..……….. 83


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbagai kekerasan, penyimpangan dan eksploitasi terhadap anak akhir-akhir ini kian merebak sehingga sudah sangat meresahkan dan mengkhawatirkan bagi terpenuhinya perlindungan hukum untuk anak. Meskipun Undang-undanng Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Anak) telah diberlakukan tetapi kekerasan terhadap anak tidak menyurut bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun

Apabila kita cermati, sesungguhnya anak merupakan anggota keluarga yang paling rentan karena anak kerap kali menjadi korban kekerasan dari keluarga maupun lingkungan. Keluarga mempunyai potensi yang sangat besar untuk menekan anak dalam segala hal. Anak kerap kali ditelantarkan, diperlakukan kasar dan menjadi korban penyimpangan pengasuhan. Padahal masa depan mereka terletak pada seberapa maksimal perhatian kita terhadap anak, karena anak adalah aset orang tua, keluarga, dan lebih dari itu anak juga aset bangsa yang kelak akan menjadi tokoh utama yang akan menjalankan lokomotif pembangunan. Kasus kekerasan yang menimpa anak tidak hanya terjadi didaerah perkotaan tetapi juga banyak melanda daerah pedesaan.


(12)

Kita telah memiliki berbagai macam peraturan yang semua itu dapat dijadikan payung hukum bagi pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak, tetapi ternyata usaha perlindungan hukum dan HAM terhadap anak tidak hanya cukup dengan konsep tetapi harus diterapkan dalam praktek yang nyata. Adanya berbagai peraturan tentang hak anak belum menjamin pelaksanaan upaya perlindungan hukum bagi anak, khususnya bagi anak yang menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga yang kesemuanya itu adalah menjadi tanggung jawab kita bersama karena anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, selaras, dan seimbang.1 Oleh karena itu terhadap anak perlu dilakukan pendidikan, pembinaan, dan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya agar pertumbuhan dan perkembangan fisik,mental dan sosial anak dapat terjaga dari kemungkinan-kemungkinan yang akan membahayakan mereka.

Sebagaimana yang telah digariskan dalam UUD 1945 dan tujuan bangsa Indonesia bahwa pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum,


(13)

mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari landasan hukum inilah diambil patokan berpijak untuk mengatur segi-segi hukum perlindungan anak di Indonesia.

Dalam hukum Islam, secara naluriah setiap makhluk yang hidup dialam ini selalu berusaha untuk mendidik, membesarkan dan melindungi anak-anaknya dengan rasa kasih sayang dan menerima anak sebagaimana adanya. Karena setiap anak yang dilahirkan kedunia ini merupakan buah hati yang sangat dinantikan dan dirindukan oleh kedua orang tuanya khususnya suami dan isteri dalam sebuah rumah tangga dan keluarga, tentunya harus melalui proses pernikahan yang sah menurut hukum yang berlaku.

Setiap anak yang terlahir kedunia ini adalah terlahirkan dalam keadaan fitrah (suci), bahkan didalam segi ideologi atau paham kehidupannya semua akan terlindungi dengan jelas oleh orang tuanya sebagaimana dalam hadis nabi SAW;

ـق ـ ع َ ا ـض

ــ ـ أ ـع

:

ـس ـ ع َ ا ـص ـ َ ا ـق

:

ـ ـ

ـطف ـ ع ـ َّ ـ

.

ــسج أ ا ــص أ ــ ا

ا ــف

.

جــت ت ــ ك

ـ ـ أ ـق ـث ء ـع ج ـ ـ ـ

ا

:

ّ ـ ع س ـ ا ـطف ـتَا َ ا ـطف

ق ا ـ ا كـ ا قـ ـ ت

(

ـ ا ا

)

2

Artinya: “Dan Abu Hurairah R.A., ia berkata; Rasulullah SAW bersabda; tidak ada bayi yang dilahirkan melainkan lahir diatas fitrah, maka ayah bundannya yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi. Bagaikan lahirnya seekor binatang yang lengkap/sempurna. Fitrah Allah yang manusia diciptakan Allah atas fitrah itu, tidak ada perubahan terhadap apa yang diciptakan Allah. Itulah agama yang lurus.(H.R. Bukhori)

2


(14)

Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa keluargalah yang mempunyai peranan terpenting dalam tumbuh kembang anak termasuk dalam hal memberikan perlindungan.

Masalah anak perlu mendapat perhatian serius baik oleh masyarakat luas maupun masyarakat ilmiah agar mereka mendapat perlindungan hukum yang layak. Memang harus kita akui bahwa perlindungan hukum terhadap anak masih kurang jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pemerintah Indonesia untuk itu telah memberikan perhatian yang serius terhadap hak-hak anak, terbukti dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesejahteran anak dan ditandatanganinya konvensi tentanng hak-hak anak (Convention of The Right of The Child) sebagai hasil sidang umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan telah disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 yang menyatakan

bahwa:” Semua anak tanpa pengecualian apapun memiliki hak yang tercantum dalam deklarasi, tanpa perbedaan atau diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau paham lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya dan dirinya atau dari keluarganya. Disamping itu semua anak berhak dalam perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang diperlukan bagi pertumbuhannya dengan cara yang sehat dan dalam

suasana yang bebas dan terhormat”.

Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan lebih lanjut yang tidak selalu dapat diatasi secara


(15)

perorangan, tetapi harus secara bersama-sama, dan yang penyelesaiannya menjadi tanggung jawab kita bersama. Perlindungan anak adalah hasil interaksi karena adanya interaksi antara fenomena yang ada dan saling memperngaruhi.3

Hukum mengenai perlindungan anak sebagai suatu kajian di Indonesia adalah relatif baru, sekalipun kelahiran perlindungan anak itu sendiri telah lahir bersama lahirnya hak-hak anak secara universal yang diakui dalam sidang umum PBB tanggal 20 November 1959 (Declaration of The Rights of The Child), yang didalam mukadimahnya tersirat kewajiban memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak, dan dalam era pembangunan hukum yang mempunyai kaitan dengan kehidupan anak atau remaja, demi mencapai kesejahteraan bagi mereka.4

Berbicara masalah perlindugan anak pada dasarnya tidak berarti baru ada setelah lahirnya undang Perlindungan Anak, sebelum lahirnya Undang-undang ini masalah perlindungan anak sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik yang sifatnya umum atau secara khusus mengatur masalah anak. undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan terakhir dalam Undang-Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah dicantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban tanggungjawab orang tua,

3

Arif Gosita, Kumpulan Karangan Masalah Korban Kejahatan (Jakarta: Akademika Pressindo, 1989), edisi ke-2, hlm. 220

4

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 5


(16)

keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara, namun perlindungan terhadap hak-hak anak masih memerlukan penanganan yang serius manakala ada hal-hal yang sifatnya spesifik.

Manakala terjadi kekerasan yang menimpa anak terutama yang terjadi dilingkungan rumah tangga dan dilakukan oleh orang-orang terdekat dari anak tersebut, diperlukan perangkat hukum yang dapat melindungi hak-hak anak karena kekerasan terhadap anak adalah tindak kejahatan yang terselubung. Kebanyakan kasus sering tidak terlihat dan tidak dilaporkan, kalaupun terungkap biasanya jika sudah ada yang mengalami perlakuan yang parah atau bahkan meninggal. Pelaku kekerasan biasanya adalah orang-orang yang dekat dengan anak sehingga sulit untuk memantau apa yang terjadi.

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang dan manusiawi.5 Bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.6

5

Lindawati Ginting, Anak dalam Perlindungan Bidang Hukum Perdata: Kumpulan Karya Tulis Bidang Hukum Tahun 2000 (Jakarta: BPHN, 2000), hlm. 165

6


(17)

Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam lingkup keluarga, dilingkungan sekolah, dilingkungan masyarakat dan kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Ini semua terjadi karena adanya paradigma keliru mengenai anak, baik dikalangan orang tua, pendidik, media masa, tokoh panutan maupun pejabat atau pemimpin bangsa, seolah anak boleh dilakukan apa saja, anak tidak boleh bersuara, anak tidak perlu didengar pendapatnya, anak boleh dilupakan dan akhirnya anak bisa diletakkan pada prioritas paling akhir.

Kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam lingkup rumah tangga biasanya disebabkan karena kebanyakan anggota masyarakat mempunyai persepsi bahwa anak merupakan milik orang tua, sehingga mereka harus menerima perlakuan apa saja yang dianggap wajar oleh orang tua. Kekerasan terhadap anak juga berkaitan dengan nilai-nilai budaya, termasuk pandangan bahwa kekerasan merupakan bagian dari cara mendidik dan untuk menanamkan rasa patuh anak kepada orang tua. Keluarga yang tidak harmonis merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Jadi, akar permasalahan kekerasan terhadap anak adalah adanya interpretasi yang keliru terhadap ajaran agama dan faktor budaya setempat.7

Seorang anak secara hukum sepenuhnya dapat menjadi subjek sejumlah

kekerasan yang dilakukan oleh orang tua dengan mengatasnamakan “disiplin rumah tangga”. Orang tua berhak menjatuhkan hukuman fisik “seperlunya dan layak” untuk

7

Seto mulyadi. Runtuhnya Makna dan Nilai Luhur Keluarga (Media Indonesia 26 Januari 2006)


(18)

kebaikan mereka. Adalah sah menurut hukum bagi orang tua atau seorang pengganti orang tua untuk melakukan tindakan koreksi kepada anak, dengan kasih sayang beberapa tindakan dianggap layak dilakukan dalam suatu situasi.8 Tetapi orang tua

bisa dituntut jika hukuman untuk kebaikan anak melebihi standar “yang masuk

diakal”. Hukuman atau pendisiplinan bagi seorang anak menjadi suatu pelanggaran

hukum jika hukuman yang diberikan untuk kepuasan atas penderitaan anak atas perwujudan kemarahan, atau jika hukuman yang diberikan tidak layak atau berlebihan, atau jika hukuman diperpanjang diluar kemampuan daya tahan anak atau dengan suatu alat yang tidak cocok untuk bertujuan penghukuman dan diperkirakan dapat membahayakan nyawa dan mencederai tubuh.9

Kekerasan kepada anak terjadi karena lunturnya nilai-nilai hakiki tentang kemanusiaan, manusia tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan dan anak sebagai titipan-Nya. Anak lebih dilihat dari unsur kegunaan dan asas manfaat.10 Hal ini terjadi karena banyak pihak pada saat ini yang lebih mementingkan unsur materi dan harta benda bukan pada proses kehidupan itu sendiri, bahkan kesuksesan dalam hidup dikemudian hari lebih diukur dari sisi materi dari pada keberhasilan menjalani proses dan nilai-nilai kehidupan. Banyak orang yang tidak lagi memegang teguh nilai-nilai kehidupan dalam suatu keluarga, orang tidak lagi menganggap fungsi dan posisi

8

Purnianti dan Rita Serena Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga

(Jakarta: MitraPerempuan, 2003), hlm. 51 9

Ibid.

10


(19)

orang tua sebagai sebuah penggilan hidup, karena itu banyak orang tua yang tidak mampu menjadikan keluarga sebagai tempat perlindungan yang aman dan tenteram bagi anak.

Anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah biasanya terancam secara fisik dan non fisik dan ini biasanya terjadi dilingkungan terdekatnya, sehingga kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi dengan baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Dalam kondisi demikian korban akan mengalami stress dan trauma dan apabila tidak cepat ditangani akan mengganggu kehidupannya sehari-hari.

Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindak pelaku sesuai dengan falsafah pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Negara berpendapat bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.11

Paradigma diatas merupakan hal-hal yang melatarbelakangi mengapa penulis memilih judul “Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (Analisis Komparatif Antara Hukum Islam dengan Hukum Positif)”. Penulis mencoba mengupas bahwa banyaknya peraturan perundang-undangan yang memuat hak anak belum menjamin pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak. Substansinya mungkin sudah cukup, namun

11

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


(20)

kekerasan terhadap anak tetap saja terjadi. Sebenarnya apa yang salah dan mengapa anak harus terus menjadi korban.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Memberikan perlindungan Hukum dan HAM terhadap anak meupakan kewajiban kita semua. Namun ketika hukum mulai begerak dan berpindah menuju wilayah rumah tangga untuk melindungi anak-anak dari kekerasan orang tua dan orang-orang terdekat dilingkunganya dapat menimbulkan beberapa permasalahan Agar tidak terjadi pelebaran pembahasan maka oleh penulis dilakukan pembatasan dan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk dan dampak tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga?

2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum menurut hukum islam dan hukum positif terhadap anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga?

3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan antara hukum islam dan hukum positif tentang perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan dalam umah tangga?

C. Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan dari permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk dan dampak tindak kekerasan terhadap anak dalam


(21)

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum menurut hukum islam dan hukum positif terhadap anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. 3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum islam dan hukum

positif tentang perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Penulis juga berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teori maupun praktek hukum. Semoga hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai informasi bagi praktisi hukum, kalangan akademisi dan masyarakat mengenai perlindungan anak, dapat dijadikan bahan acuan pada penelitian berikutnya berkenaan dengan masalah yang terkait, serta dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam rangka pertimbangan-pertimbangan hukum dinegara Indonesia, karena mengingat kekerasan terhadap anak khususnya yang terjadi dalam rumah tangga umumnya bersifat tertutup dan sulit terungkap.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Sebelum melakukan penelitan, penulis terlebih dahulu melakukan tinjauan kajian terdahulu agar diketahui posisi skripsi yang akan ditulis. Disini penulis telah melakukan tinjauan kajian terdahulu terhadap beberapa skripsi yang telah ditulis dengan membahas topik yang sama, antara lain: skripsi yang dituis oleh Eva Susanti

(Pidana Islam 2006) dengan judul “Tinjauan hukum pidana islam dan hukum pidana

positif tentang kekerasan fisik terhadap anak oleh orang tua, studi kasus komnas


(22)

hukuman bagi orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya dan apakah sama jika yang melakukan itu orang lain, persamaan dan perbedaan dalam menjatuhkan hukuman menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif. Penulis hanya membahas kekerasan fisik terhadap anak diwilayah komnas perlindungan anak.

Tinjauan kajian terdahulu kedua adalah skripsi yang ditulis oleh Deni

Kurniawan (PMH 2006) dengan judul “Hukum perlindungan anak terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga perspektif hukum islam dan hukum positif”. Pada skripsinya penulis membahas tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga, konsep perlindungan hukum bagi anak, dan bagaimana perlindungan hukum anak terhadap kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum islam dan hukum positif.

Dari dua skripsi yang telah disebutkan diatas dapat disimpulkan keduanya membahas tentang apa sebenarnya definisi kekerasan dalam rumah tangga, bagaimana konsep perlindungan anak yang sebenarnya, bagaimana perlindungan anak ketika mendapat kekerasan fisik, hukuman bagi pelaku kekerasan baik dalam hukum positif maupun hukum islam. Sedangkan pada skripsi yang akan penulis tulis akan membahas tentang gambaran singkat kekerasan terhadap anak dalam hukum islam dan hukum positif, kewajiban dan tanggungjawab orang tua sebagai pelaku utama perlindungan anak dalam hukum islam dan hukum positif, dampak yang ditimbulkan dengan adanya kekerasan terhadap anak, analisis yuridis dan komparasi terhadap perlindungan hukum bagi anak korban tindak kekerasan dalam rumah


(23)

tangga meliputi persamaan dan perbedaan antara hukum islam dan hukum positif, serta analisis penulis mengenai perlindungan anak.

E. Metode Penelitian

Untuk mengkaji pokok permasalahan dalam penulisan ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum kualitatif dan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.12

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari:13

a. Bahan hukum primer (bahan-bahan hukum yang mengikat), yaitu terdiri dari;Al-Qur‟an, hadits, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini adalah segala peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah dalam skripsi ini)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain; tafsir, buku-buku umum, jurnal, dokumen-dokumen dan referensi lainnya yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

12

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 13. 13


(24)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus dan ensiklopedia.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan library research atau studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik komperatif secara kualitatif yaitu dengan membandingkan tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap permasalahan pada penelitian ini.

Adapun teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Supaya penelitian ini dapat mengikuti alur pikir yang logis dan mudah dipahami, maka penulis memberikan gambaran tentang bagian-bagian dari penulisan yang disusun sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II : KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF


(25)

Pada bab ini penulis menguraikan tentang status anak dalam rumah tangga menurut hukum islam, hak anak dalam rumah tangga menurut hukum islam, status anak dalam rumah tangga menurut hukum positif, dan hak anak dalam rumah tangga dalam hukum positif.

BAB III : BENTUK DAN DAMPAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA

Pada bab ini penulis menguraikan tentang gambaran singkat kekerasan terhadap anak, bentuk kekerasan terhadap anak, serta dampak yang ditimbulkan dari kekerasan terhadap anak.

BAB IV : HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Pada bab ini penulis menguraikan tentang hukum islam tentang perlindungan anak korban kekerasan dalam rumah tangga, hukum positif tentang perlindungan anak korban kekerasan dalam rumah tangga, persamaan dan perbedaan hukum islam dan hukum positif tentang perlindungan anak korban kekerasan dalam rumah tangga, dan analisis penulis mengenai perlindungan anak korban kekerasan dalam rumah tangga.


(26)

BAB V : PENUTUP

Ini merupakan bab terakhir yang didalamnya dikemukakan kesimpulan dan saran yang dianggap penting.


(27)

BAB II

KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Status Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam

Permulaan lahirnya seorang anak adalah adanya proses pembuahan melalui hubungan antara laki-laki dan perempuan. Mengenai sah atau tidaknya anak tersebut tergantung dari sah atau tidaknya perkawinan orang tuanya. Bila perkawinan itu sah maka anak yang dilahirkan mempunyai status hukum anak sah, demikian juga sebaliknya, jika perkawinan itu tidak sah maka anak yang dilahirkan mempunyai status hukum anak tidak sah. Dalam hukum positif anak dibagi menjadi 2 (dua), yaitu anak sah dan anak diluar nikah.

Sedangkan dalam islam terdapat berbagai macam status anak, sesuai dengan asal muasal anak itu sendiri. Asal itulah yang akan menentukan status seorang anak, dimana setiap keadaan menentukan kedudukkannya, sifatnya sendiri, dan memberi haknya.

Hubungan seorang anak dengan orang tuanya mempunyai syarat yang membenarkan hubungan yang ada dan terdapat antara ibu bapaknya. Dalam hal ini perkawinan menentukan status anak, maka status seorang anak yang dilahirkan tergantung kepada perkawinan (hubungan) orang tuanya.

Anak menurut segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Kata “anak” dipakai secara umum baik untuk


(28)

manusia maupun binatang bahkan tumbuh-tumbuhan. Dalam bahasa Arab terdapat bermacam kata yang digunakan untuk arti “anak”. Umpamanya kata “walad” artinya secara umum adalah “anak”, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia atau binatang yang bersangkutan. Jika dikatakan “Waladi” artinya “anak

kandungku” dan “Walad hadzal heiwan” berarti “anak binatang yang dilahirkan induknya”. Disamping itu terdapat kata “ibnun”yang artinya “anak” juga, hanya ada perbedaan pemakaian keduanya. Kata yang terakhir ini dipakai dalam arti yang luas yakni dipakai untuk anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri dan lainnya. 14

Masing-masing anak ini mendapat perhatian khas dalam islam yang menentukan statusnya baik di dalam keturunan, kewarisan, maupun dalam pandangan masyarakat.

1. Anak kandung

Anak kandung berarti anak sendiri yakni anak yang dilahirkan dari seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarkan perkawinan yang mempunyai syarat.15

Anak kandung mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga, orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam ibadah dan

14

Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), Cet. II, hlm. 24-26.


(29)

budi pekerti anak dalam kehidupan sampai dewasa. Setelah anak itu dewasa, anak harus dapat berdiri sendiri. Sekiranya masih sekolah lagi, maka ia dibiayai oleh ibu bapaknya sampai selesai pendidikannya. Disamping itu sang anak mendapatkan warisan dari ibu bapaknya.

2. Anak susu

Anak susu berarti seorang anak yang menetek dari seorang wanita tertentu.16 Hal ini sudah menjadi satu kebiasaan yang dilakukan, bahkan Rasulullah SAW sendiri disusui oleh Ibu susu.

3. Anak angkat

Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. 17

4. Anak pungut

Anak pungut adalah anak yang didapatkan dimanapun dan dipelihara untuk menjauhkannya dari kesengsaraan dan kehancuran pribadinya.18

Kebanyakkan mereka ini berkeliaran dijalan raya, dikolong jembatan dan tempat-tempat yang menjadi sarang penyakit moral. Kebanyakan anak-anak ini tidak mengetahui ibu bapak mereka dan dari mana asal mereka.

16

Ibid, hlm. 59 17

Ibid, hlm. 47 18


(30)

Anak pungut sebenarnya adalah cabang dari anak angkat. Anak angkat mendapatkan kedudukkan yang lebih tinggi daripada anak pungut. Anak pungut tidak mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan anak angkat, ia hanya mendapat pemeliharaan dari orang yang memungutnya.

Kata “dipungut” sudah menampakan perbedaan, “dipungut” berarti

mengambil sesuatu yang tidak berarti atau yang kurang artinya. Sedangkan

“diangkat” berarti ditinggikan dari keadaan dimana ia berada.

5. Anak tiri

Anak tiri adalah anak suami atau istri dari perkawinannya dengan orang lain. Anak yang dibawa serta dalam perkawinan baru, maka ia menjadi anak tiri bagi sang suami atau sang istri. 19

6. Anak zina

Anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah. Maka

“zina” itu berarti bergaul antara pria dan wanita tidak menurut ajaran islam. 20 Kalau anak zina itu ialah anak yang timbul dari pergaulan tidak sah antara pria dan wanita, hal ini berarti bahwa pergaulan itu dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain.

19


(31)

Anak ini sebenarnya tidak bersalah, tidak berdosa sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu. Mereka yang bertanggung jawab dan mereka pula yang menerima ganjaran atas perbuatan mereka.

Memang status anak ini tidak dapat dikatakan secara hukum islam mempunyai ibu bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak mulanya bahkan didasarkan kepada sesuatu yang tidak dapat dibenarkan bahkan melanggar peraturan yang ada sanksi hukumnya.

Anak ini adalah manusia biasa dan normal serta ia memiliki hak hidupnya yang sama dengan manusia lainnya, ia memiliki hak asasi sama dengan manusia lain, hanya ia kehilangan hak lainnya seperti hak warisan, sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah.

Anak zina hanya menerima warisan yang tidak baik dari perbuatan dua manusia yang bersalah itu. Ia menjadi korban karena sesuatu yang ganjil dan tidak biasa, ia terima secara ganjil dan tidak biasa pula dan msyarakat pun menerimanya secara ganjil dan tidak biasa juga sebab masyarakat mempunyai pandangan tersendiri didalam segala hal, baik yang baik apalagi yang buruk.


(32)

Dalam islam juga dibedakan antara anak yang masih kecil (ghiru baligh) dan anak yang sudah baligh. Anak yang masih kecil ada yang mumayiz dan ada yang belum mumayiz (belum bisa membedakan antara yang hak dan batil). 21

Adapun tanda-tanda kebalighan seseorang dapat ditentukan dengan umur dan tanda-tanda tertentu seperti telah keluar mani, haid, dan lain-lain. Mengenai masalah umur seseorang dapat dikatakan baligh, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah mengatakan seorang anak belum bisa dikatakan baligh kalau belum berumur 18 tahun bagi laki-laki dan umur 17 tahun bagi perempuan, karena perempuan pertumbuhannya lebih cepat dari laki-laki. Imam Syafi‟i dan Hambali serta jumhur ulama berpendapat bahwa anak disebut baligh baik laki-laki maupun perempuan adalah berumur 15 tahun. 22

Ada 3 (tiga) fase yang dilalui manusia sejak lahir sampai usia dewasa, yaitu sebagai berikut: 23

1. Fase tidak adanya kemampuan berfikir

Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, Fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia 7 tahun. Pada fase ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir, ia pun disebut anak yang belum

21

A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. I, Jil. I, hlm. 112

22

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005), Cet. III, Jil. I, hlm. 394

23


(33)

mumayiz. Anak dianggap belum mumayiz usianya belum sampai 7 tahun meskipun ada anak dibawah 7 tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan buruk dari pada anak lain seusianya.

2. Fase kemampuan berfikir lemah

Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia 7 tahun sampai ia mencapai usia baligh. Mayoritas fuqaha membatasinya sampai usia 15 tahun. Apabila seorang anak telah mencapai usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun ia belum dewasa dalam arti sebenarnya. Imam Abu Hanifah membatasi kedewasaan pada usia 18 tahun.

3. Fase kekuatan berfikir penuh (sempurna)

Menurut pendapat mayoritas fuqaha, fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia kecerdasan (dewasa), yaitu menginjak usia 15 tahun, atau 18 tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan madzhab Maliki.

B. Hak Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam

Dalam islam seorang anak mempunyai hak yang harus diakui, hak yang harus diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara. Hak-hak anak yang mutlak dalam pandangan kehidupan agama islam terdiri dari:

1. Hak nasab (keturunan)

Yang dimaksud dengn hak nasab adalah hak anak atas kepastian status diri anak dan diri orang tuanya. Anak berhak memperoleh identitas pribadi, karena


(34)

identitas pribadi berpengaruh kepada status dan kedudukan anak dimana hal tersebut bertujuan untuk menjaga kehormatan anak. Seorang anak berhak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Nasab berakibat timbulnya hubungan hukum antara anak dengan ayahnya dan menimbulkan adanya hak bagi anaknya, seperti hak waris, nafkah, wali, dan lain sebagainya.

Agama islam memelihara keturunan agar jangan sampai tersia-sia, jangan didustakan dan jangan dipalsukan. Islam menetapkan bahwa ketentuan keturunan itu menjadi hak anak; anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya. Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan cucu-cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan orang lain.24

2. Hak anak untuk tetap hidup.

Allah SWT Berfirman didalam Al-Qur‟an:











(

س

ءآ سّا

/

17

:

31

)

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.

24


(35)

Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS. Al-Israa: 31)

3. Hak anak untuk mendapat perlindungan dari ketika masih dalam kandungan. Allah SWT berfirman didalam Al-Qur‟an:



































(

ف ـقحّا

/

46

:

15

)

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu

bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".(QS. Al-Ahqaaf/46: 15)

4. Hak anak untuk disusui selama 2 (dua) tahun.

Setiap bayi berhak menyusu semata-mata dengan kelahirannya agar ia bertambah besar, tumbuh dan makan makanan yang wajar yaitu air susu ibunya. Ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang ia ditentukan untuk itu; maksudnya tidak ada wanita lain yang akan mengambil alih tugas itu darinya atau bayi itu


(36)

tidak mau menyusu kecuali kepada ibunya saja.25 Dan perintah penyusuan itu tercantum dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233;











































































(

ـق ا

/

2

:

233

)

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah/2: 233).

Mengenai keterangan diatas sudah jelas bahwa menyusukan anak itu adalah kewajiban menurut agama, bukan menurut peradilan kecuali kalau si ibu itu satu-satunya yang akan menyusukan. Dalam madzhab Hanafi maka dipihak


(37)

lain kita tetapkan juga bahwa menyusukan itu adalah hak dari ibu, wajib diberikan kalau dimintanya dan selamanya ibu kandung lebih berhak dari wanita lain untuk menyusukan anaknya.

5. Hak anak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntunan dan akhlak yang baik dan benar.

Setiap anak membutuhkan orang lain yang akan menjaga dan memeliharanya serta mendidik dan mengajarinya bermacam-macam urusan yang berhubungan dengan jasmani dan pembentukan kepribadiannya. Anak juga membutuhkan orang yang akan mengawasi urusan hak miliknya, supaya dipelihara dan dikembangkan.

Anak berhak diasuh oleh ibunya; mendidik dan memelihara anak termasuk mengurus makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya dalam periode umurnya yang pertama. Dalam hal ini ibu kandunglah yang berhak mengasuh anaknya daripada keluarganya ibu atau keluarga laki-laki. Wanita lebih mampu dari pada laki-laki untuk mengurus anak kecil dan memeliharanya dalam usia sekian itu dan juga lebih lembut dan lebih sabar, lebih tekun dan banyak waktu.26

26


(38)

















































(

ـج ا

/

58

:

11

)

Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadillah /58: 11).

6. Hak anak untuk mendapatkan nafkah dari kedua orang tuanya.

Ahli fuqaha menetapkan bahwa hubungan kekeluargaan yang menyebabkan wajib nafkah itu ialah keluarga dekat yang membutuhkan bantuan. Imam Malik berpendapat bahwa nafkah wajib diberikan oleh ayah kepada anak dan kemudian anak kepada ayah dan ibunya dan terbatas hanya disitu saja, Imam

Syafi‟I berpendapat bahwa nafkah itu wajib diberikan kepada semua keluarga

yang mempunyai hubungan vertikal keatas dan kebawah tanpa membatasinya dengan anggota-anggota tertentu, seorang ayah wajib memberi nafkah kepada anak dan cucunya sampai kebawah. Jadi, lingkungan wajib nafkah lebih luas daripada pendapat imam Malik. Menurut Imam Hanafi kewajiban memberi nafkah itu berlaku kepada semua anggota kaum keluarga yang muhrim dengan dia, dengan demikian lingkungan wajib nafkah bertambah luas lagi.


(39)

Kewajiban ayah memberi nafkah tercantun dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233;











































































(

ـق ا

/

2

:

233

)

Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al -Baqarah /2: 233)

7.

Hak perwalian terhadap diri dan harta

Perwalian berlaku kepada setiap anak. Anak yang lahir kedunia ini pasti membutuhkan orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya maupun harta


(40)

benda, hak miliknya; karena ia membutuhkan orang lain yang akan mengawasi penyusunan dan pengasuhannya, dalam periode kehidupannya yang pertama itu.

Maka dari itu, perwalian yang berlaku terhadap seorang anak, sesudah ia lahir ada 3 (tiga) macam yaitu, pertama, perwalian terhadap pengasuhan dan menyusukannya. Kedua, perwalian terhadap diri anak yang dilaksanakan untuk menjaga kesejahteraan anak itu sendiri, dan untuk mengawasi hal-hal yang berhubungan dengan dirinya dan segala macam kesejahteraan yang belum dapat dikelolanya sendiri. Ketiga, perwalian terhadap hak milik anak mencakup

transaksi dan „aqad yang berhubungan dengan hak milik anak yang diwalikan

diantaranya menjual, membeli, mempersewakan, meminjamkan dan sebagainya; urusan itu semuanya dilaksanakan oleh wali karena anak belum sanggup mengurus hak miliknya itu sendiri. 27

C. Status Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif.

Dalam hukum positif terdapat beberapa pengertian tentang anak. Pengertian anak dalam bidang keperdataan berhubungan erat dengan kedewasaan bagi anak tersebut. Terdapat perbedaan –perbedaan antara batas seorang anak yang belum dewasa dan yang sudah dewasa, terutama dalam segi pembatasan usia.

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 330 berbunyi:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun,

dan tidak lebih dahulu telah kawin”.


(41)

2. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terdapat pasal-pasal khusus mengenai ketentuan seseorang digolongkan sebagai anak, tetapi tidak tersurat secara tegas namun tersirat dalam beberapa pasal yang mengisyaratkan batas-batas dimana seseorang dinyatakan belum dewasa atau sudah dewasa.

Pasal 7 ayat (1), memuat batasan minimal ketentuan kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita adalah 16 tahun.

Pasal 47 ayat (1), memuat ketentuan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekusaannya.

3. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. (Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Kesejahteraan Anak)

4. Anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun. (Undang-undang Peradilan Anak) 5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan. (Pasal 1 Bab 1 Undang-undang Perlindungan Anak) Dari berbagai pengertian tentang anak, ada yang menyatakan batas umur kedewasaan seorang anak adalah 18 tahun atau 21 tahun. Walaupun demikian jika berpatokan dengan batasan umur tersebut dalam hal-hal tertentu masih mengandung permasalahan. Tetapi untuk hal perlindungan anak, hak anak dan kesejahteraannya


(42)

sudah cukup jelas dan nyata mengenai kedewasaan anak, yaitu sesuai dan sebagaimana tertera dalam Undang-undang Perlindungan Anak.

Batas usia 18 tahun ditetapkan berdasarkan dimana kematangan sosial, pribadi dan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Dalam hal ini digunakan sepanjang memiliki keterkaitan dengan anak secara umum, kecuali untuk kepentingan tertentu.

Ada 3 (tiga) proses perkembangan anak menurut Wagianti Soetedjo, yaitu: 28 1. Fase pertama adalah dimulai pada usia 0 sampai 7 tahun yang biasa disebut

sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh.

2. Fase kedua adalah dimulai dari 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan kedalam dua periode:

a) Masa anak sekolah dasar dimulai dari 7 sampai 12 tahun adalah periode intelektual, yaitu masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat diluar keluarga

b) Masa remaja atau pra pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniyah ditandai dengan berkembangnya tanda fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak menjadi kasar, brandal, kurang sopan, dan lain-lain.

28


(43)

3. Fase ketiga adalah 14 sampai 21 tahun yaitu dinamakan masa remaja dalam arti sebenarnya yaitu masa pubertas dan adolescent, dimana terdapat masa penghubung dan peralihan dari anak menjadi orang dewasa.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media masa, atau lembaga pendidikan.

Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas harus dipersiapkan sedini mungkin, bahkan semenjak masih berada dalam kandungan. Mereka sudah membutuhkan perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosialnya, sehingga kelak menjadi pewaris masa depan yang berkualitas. Hal ini dapat terwujud apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.

Setiap manusia berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Maka dari itu, upaya penyelenggaraan hukum bagi anak harus selalu ditegakkan dan dilaksanakan dengan seksama demi terwujudnya sebuah keadilan terhadap anak. Dalam Bab IX Undang-undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan hukum bagi anak meliputi: Agama, Kesehatan, Pendidikan, dan Sosial.


(44)

Dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 Bab XI Pasal 29 ayat (2) secara tegas Negara menjamin seseorang untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Termasuk seorang anak pun diberi kebebasan untuk memilih agama sesuai dengan keinginannya. Namun kebebasan yang diberikan tersebut bukan berarti memberikan kebebasan yang penuh sehingga anak memeluk agama yang dapat menyesatkan dirinya. Dalam hal ini Negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua pada khususnya wajib memberikan perlindungan bagi anak. Perlindungan yang dimaksud disini adalah upaya orang tua untuk memberikan pembinaan dan bimbingan sesuai dengan keinginan anak. Bahkan hal ini juga sudah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak, setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (Pasal 42 ayat (1))

Dalam pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya, sebagaimana yang dimaksud dengan perlindungan anak dalam memeluk agamanya meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

Dalam islam pun Allah SWT telah memberikan suatu bentuk kebebasan tanpa adanya paksaan dalam memeluk dan memilih agama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 256:


(45)



























(

ـق ا

/

2

:

256

)

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah

Maha mendengar lagi Maha mengetahui”(QS. Al-Baqarah /2: 256)

2. Kesehatan

Dalam upaya membentuk anak Indonesia yang berkualitas, sehat, berakhlak mulia, dan sejahtera maka penyelenggaraan perlindungan bagi anak dalam hal kesehatan sangat diperlukan, bukan saja menjadi tanggungjawab orang tua dan keluarga tetapi juga kepada pemerintah dan Negara. Dalam Undang-undang Perlindungan Anak pun sudah diatur mengenai perlindungan kesehatan bagi anak.

Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajad kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan (pasal 44 ayat (1)).

Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan kesehatan didukung oleh peran serta masyarakat (pasal 44 ayat (2)).


(46)

Upaya kesehatan tersebut meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan dasar kesehatan maupun rujukan (pasal 44 ayat (3)).

Dan diselenggarakan secara Cuma-Cuma bagi keluarga yang tidak mampu (pasal 44 ayat (4)).

Orang tua dan keluarga bertanggungjawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan (pasal 45 ayat (1)).

Tetapi ketika orang tua dan keluarga tidak memenuhinya maka pemerintah wajib memenuhinya (pasal 45 ayat (2)).

Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. (pasal 46)

Penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan menimbulkan kecacatan misalnya HIV/AIDS, TBC, kusta, polio.

Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain seperti: (pasal 47 ayat (1) dan (2))

a. Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;


(1)

pertama yang paling dekat dan mengerti terhadap anak. Karena walau bagaimanapun anak-anak memerlukan kasih sayang dan perhatian sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dan harmonis, sedapat mungkin mereka diasuh oleh orang tuanya sendiri dan berada dalam suasana penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani. 3. Persamaan perlindungan hukum anak terhadap tindak kekerasan dalam

rumah tangga menurut hukum islam dan hukum positif adalah sebuah kewajiban dan tanggung jawab bagi seluruh umat manusia, bukan hanya peran orang tua, keluarga, dan masyarakat, karena hal ini merupakan permasalahan hukum yang pelaksanaannya perlu didasarkan atas peraturan. Sedangkan perbedaannya adalah dalam hukum islam perlindungan hukum anak terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah berpijak kepada sumber-sumber hukum islam yaitu Al-Qur‟an, hadist, serta ijtihad para mujtahid dan imam-imam madzhab. Sedangkan dalam hukum positif yaitu berpijak kepada peraturan-peratuarn yang dibuat oleh lembaga yudikatif yang memang mengurusi hal tersebut, tanpa mengurangi rasa keadilan dan penyimpangan hak asasi manusia (HAM)

B. Saran-Saran

Setelah penulis membaca, meneliti, menganalisa dan menyimpulkan maka dengan ini penulis memberikan saran-saran sebagai berikut;


(2)

1. Perlindungan anak tidak dapat dilepaskan dari usaha peningkatan kesadaran hukum dari diri pribadi, para orang tua serta masyarakat pada umumnya agar terbentuk masyarakat yang sadar hukum, mengerti peraturan dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

2. Adanya upaya pelaksanaan kewajiban perlindungan hak anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi anak terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga maka sudah menjadi kewajiban yang mendasar untuk melaksanakannya, membantu merealisasikan undang-undang dan peraturan yang mengatur hal tersebut. Masyarakat tidak harus diam ketika mendengar, melihat bahkan meyaksikan suatu bentuk kekerasan terhadap anak.

3. Selain dari pihak orang tua, keluarga dan masyarakat, perlu juga adanya peran aparat penegak hukum dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga khususnya masalah kekerasan terhadap anak. Aparat penegak hukum harus benar-benar menindak tegas masalah kekerasan yang terjadi pada anak.

4. Melakukan progam penghapusan kekerasan terhadap anak. Seperti melakukan kebijakan pencegahan dengan cara penyadaran orang tua atau keluarga terhadap hak anak dengan melakukan pola pembinaan kesejahteraan anak serta memberdayakan komnas perlindungan anak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Al-Karim

Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’, Al-Jina’iy, Al-Islami. Terj. Tim Tsalisah, T.tp: PT. Kharisma Ilmu, t.th, Jilid I

Al-Barry, Zakaria Ahmad, Ahkamul Auladi Fil Islami. Terj. Dra. Chadidjah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, Cet. Ke-1

Al-Amili, Ali Husain Muhammad Makki, Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga. Bandung: PT. Triganda Karya,1994

Al-Imam Abdurrahman Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Jami’ ash-Shagir fi Ahadits al-Basyir an-Nadzir, Beirut: Dar al-Fikr,1981

Al-Imam Taqyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Surabaya, Bina Ilmu, 1997, Jilid.3 Cet.I

Anshori, Ibnu, Perlindungan Anak Dalam Ajaran Islam, Jakarta: KPAI, 2006

Baqi, Muhammad fuad abdul, Al-Lu’lu’ wa al-marjan, Himpunan hadits-hadits shahih yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, Terjemahan Salim Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1996), juz.II, h. 1010

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Depag RI, Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemah. Jakarta: Depag RI, 1994

Fachruddin, Dr. Fuad Mohammad, Masalah Anak Dalam Hukum Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991, Cet. Ke-2

Fizee, Asaf, Outline of Muhammad Law. Terj. Arifia Bey, MA. Jakarta: Tinta Mas, 1985

Ginting, Lindawati, Anak Dalam Perlindungan Bidang Hukum Perdata: Kumpulan Karya Tulis Bidang Hukum Tahun 2000. Jakarta: BPHN, 2000

Gosita, Arif, Kumpulan Karangan Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Presindo, 1989


(4)

Haliman, SH., Hukum Pidana Syariat Islam MenurutAjaran Ahlussunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1970

Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, Cet. Ke-1

Ibnu Abdi As-Salam, Qawaid al-ahkam Fii Mashah al-Anam, Kairo: Al-Istiqomah, t.th, Jilid.I

Mazhahiri, Husain, Pintar Mendidik Anak: Panduan Lengkap Bagi Orang Tua, Guru dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam. Jakarta: Lentera, 1994, Cet. Ke-4 Muhammad bin Isa al-Tirmidzi al-Salimi, Al-Jami al-Shahih Sunan al-Tirmidzi,

Beirut: al-Ihya al-Turats al-Arabi, t.th, Juz.IV

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhoriy al-Ja‟fi, Shahih Bukhori, Juz.I Mulia, Siti Musdah, dkk, Merentas Jalan Kehidupan Manusia. Jakarta: Lembaga

Kajian Agama Dan Gender dan Ford Foundation, 2003, Cet. Ke-1

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet.I Naibaho,SH., Nathalina, Hak-Hak Anak. Depok: Sentra HAM Univ. Indonesia, 2003 Purnianti, dan Rita Serena Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan Dalam Rumah

Tangga. Jakarta: Mitra Perempuan, 2003

Rakhmat, Jalaluddin, Keluarga Muslimah Dalam Masyarakat Modern, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994, Cet.I

Ritonga, A. Rahman, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Ke-1, Jilid. I

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma‟arif 1987, Jilid.10, Cet.I

Soeady, Soleh, Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: CV. Novindo Mandiri, 2001

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara, 1990


(5)

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: UIN Press, 2007

Timiyah, Ibnu, Fiqh Siyasah, Surabaya: Risalah Gusti, 2005

Yahya bin Yahya bin Katsir al-Laitsi al-Andalusi, Al-Muwatha’ li al-Imam Malik bin Anas r.a., Beirut: Dar al-Fikr, 1989

Yanggo, Huzaemah Tahido, Fiqh Anak Metode Islam Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, Jakarta: Al-Mawarid, 2004, Cet.I

Yusuf bin Muhammad bin al-Atiq, Anak Bertanya Islam Menjawab, Jogyakarta: Al-Manar, 2004, Cet.I

Wiradi, Gunawan, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Adi Citra Pustaka, 1990

Muchsin, Prof, Makalah: Peranan Putusan Hakim Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Majalah Varia Peradilan No.260 Edisi Juli 2007

Mulyadi, Seto, dan Mudji Sutrisno, Runtuhnya Makna dan Nilai Luhur Keluarga, Media Indonesia 26 Januari 2006

Warta Kota, Rabu 22 Desember 201 Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak


(6)

http://www.komnaspa.or.id/pdf/Catatan Akhir Tahun 2009.pdf. diakses pada tanggal 11 Pebruari 2011

http://www.komnaspa.or.id/pdf/Jurnal Kecil F n D PERTENGAHAN 2010.pdf. diakses pada tanggal 11 Pebruari 2011

http://regional.kompas.com/read/2010/07/30/16463616/Walah.Bapak,Gigit.Anak.Sa mpai.Luka.Html. Diakse pada tanggal 11 Pebruari 2011