IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang 4.1.1 Sejarah Berdirinya Lokasi PKL

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang

4.1.1 Sejarah Berdirinya Lokasi PKL

  Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali awalnya merupakan Satker Pengembangan Kawasan Perikanan dan Kelautan Direktorat Jendral Perikanan Budidaya dibawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dibangun di Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Tahun 2009, Satker Pengembangan Kawasan Perikanan dan Kelautan ini berubah menjadi Broodstock Center Udang Vanname (BCUV) Karangasem, Bali sebagai instalasi dibawah pengelolaan dan pengawasan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yang berlokasi di Penarukan, Situbondo, Jawa Timur. Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara ini merupakan suatu instansi yang berada di bawah Balai Budidaya Laut Lombok. Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara ini dibangun bersadar Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No.

  325/DPR.0/HK.150S4/1/2007.

  Tahun 2011 Broodstock Udang Vanname (BCUV) Karangasem, Bali bergabung dengan satu wadah bersama Instalasi Balai Budidaya Laut Lombok yang berlokasi di Tigaron, Karangasem, Bali yang khusus menangani kekerangan (Abalon dan tiram mutiara) dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan Karangasem Bali sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dibawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan tugas pokok melaksanakan produksi induk udang unggul dan kekerangan dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Indonesia.

  Peresmian Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali dilaksanakan oleh Bapak Presiden RI ke 6 yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara bersama Bapak Menteri Kelautan dan Perikanan, Bapak Gubernur Bali, Bupati Karangasem dan para undangan dari berbagai instansi.

4.1.2 Letak dan Keadaan Lokasi

  Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) berlokasi di Bali dengan dua lokasi yang berbeda. Lokasi hatchery udang berada di Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali sedangkan Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara berlokasi di Dusun Tigaron, Desa Sukadana, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Lokasi Praktek Kerja Lapang ini dapat dilihat pada lampiran 1.

  Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara ini dibangun di atas tanah dengan luas sebesar 1,124 Ha. Batas-batas yang berbatasan langsung dengan lokasi hatchery ini yaitu :

  Utara : Laut Bali Selatan : SMAN 1 Kubu dan kantor polisi hutan Kubu. Timur : Lahan dan tambak udang milik warga Tigaron Barat : makam warga dusun Tigaron.

  4.1.3 Tugas dan Fungsi Berdasarkan Surat dan Keputusan Menteri kelautan dan Perikanan No.

  KEP.28/MEN/2010 tgl. 9 Desember 2010, BPIU2K Karangasem, Bali memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: Tugas Pokok yaitu melaksanakan Produksi Induk Udang Unggul dan

  Kekerangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BPIU2K Karangasem Bali menyelenggarakan fungsi antara lain pelaksanaan uji mutu, uji lingkungan dan uji penyakit, pengelolaan produksi calon induk, induk udang unggul dan kekerangan, pengelolaan data dan sistem informasi, pengelolaan sarana dan prasarana, pelayanan teknis, pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan, serta pelaksanaan urusan tata usaha BPIU2K.

  Visi yang dimiliki yaitu menjadi institusi pelayanan prima dalam pengembangan akuakultur yang berdaya saing, berkelanjutan dan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi andalan. Misi yang akan dijalankan yaitu menyediakan induk udang dan kekerangan yang unggul dan berkualitas bagi para pembudidaya di seluruh wilayah Indonesia dengan harga relatif murah serta mensukseskan pembenihan dalam budidaya abalon dan tiram mutiara dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

  4.1.4 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja

  Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Karangasem terdiri dari Kepala balai mempunyai tugas merumuskan kegiatan, mengkordinasikan dan mengarahkan tugas penerapan teknik pembenihan dan pembudidaya udang dan kekerangan serta pelestarian sumberdaya induk atau benih udang dan kekerangan dengan prosedur dan peraturan yang berlaku untuk kelancaran pelaksanaan tugas dengan dibantu oleh sub bagian tata usaha, seksi pengendalian mutu dan pengelolaan produksi, seksi sarana dan prasarana, seksi data dan informasi dan kelompok jabatan fungsional. Struktur organisasi Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali dapat dilihat pada Lampiran 2.

  Dalam Unit Kekerangan Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem-Bali terdapat dua divisi yaitu divisi kerang abalon dan divisi tiram mutiara. Dalam dua devisi ini terdapat 9 pekerja yaitu:

  Koordinator Unit Kekerangan : Ir. I Wayan Astawa Giri Teknisi Abalon : Ahmad Faisal Ramadhan, S.Pi Teknisi Abalon : I Kadek Suarjana Teknisi Mesin dan Listrik : I Gede Sridana Teknisi Pakan Alami : I Nyoman Sumerada Teknisi Tiram Mutiara : Gigih Tjatur Soelistyo, Amd.Pi Anggota devisi Tiram Mutiara : Haerati, Amd.Pi Anggota devisi Tiram Mutiara : I Ketut Sugiantika Seksi Kebersihan : I Komang Ariasa (Sumber : Tata Usaha BPIU2K Karangasem, Bali)

  Tabel 2. Jumlah pegawai berdasarkan tingkat pendidikan dan status pekerjaan di Unit Kekerangan (Sumber : Tata Usaha BPIU2K Karangasem, Bali). No. Tingkat Pendidikan Status Jumlah orang

  1. S1 PNS

  2

  2. D3 Kontrak

  2

  3. SLTA Kontrak

  5

4.2 Sarana dan Prasarana

4.2.1 Sarana

  Sarana merupakan segala sesuatu yang secara langsung menunjang berlangsungnya kegiatan pembenihan abalon. Pada Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara Karangasem Bali terdapat berbagai sarana yang digunakan adalah sebagai berikut:

A. Sistem Penyediaan Listrik

  Sistem penyediaan tenaga listrik yang digunakan di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali, berasal dari perusahaan listrik milik negara (PLN) Kabupaten Karangasem yang memiliki daya 41 kVol Ampere. Listrik dengan daya tersebut selain digunakan untuk kegiatan pembenihan tiram mutiara maupun abalon juga digunakan untuk kebutuhan di luar kegiatan pembenihan, seperti sebagai sumber listrik untuk kegiatan sehari-hari, berbagai peralatan, mesin dan sarana umum, juga sebagai penerangan pada beberapa tempat di sekitar balai yaitu jalan, kantor, hatchery, laboratorium, asrama dan aula. Gambar sistem penyediaan listrik dapat dilihat pada lampiran 4.

  B. Sistem Penyediaan Air Laut

  Sistem penyediaan air laut dilakukan dengan sistem sentral atau terpusat yang diambil dari dua titik dari Laut Bali dengan menggunakan pompa merk Ebara. Titik pertama sejauh 100 m dari garis pantai kemudian disalurkan menggunakan pipa dengan diameter 10 cm dan kedua sejauh 80 m dengan diameter pipa 15 cm. Air laut selanjutnya disalurkan ke tandon air volume 80 ton dan didalam tandon dilakukan filterisasi. Filter yang pertama menggunakan saringan dan kedua menggunakan dakron, selanjutnya air tersebut disalurkan ke devisi tiram mutiara dan divisi abalon. Gambar sumber penyediaan air laut dapat dilihat pada lampiran 4.

  C. Sistem Penyediaan Air Tawar

  Air tawar yang digunakan di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali berasal dari sumur bor belakang

  

hatchery abalon. Air tawar tersebut dialirkan dengan bantuan pompa air. Air tawar

  tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari misalnya untuk keperluan kantor, asrama, mencuci alat-alat budidaya, dan untuk keperluan hatchery. Gambar sistem penyediaan air tawar dapat dilihat dilampiran 4.

  D. Sistem Aerasi

  Sistem aerasi yang digunakan adalah blower berkekuatan 1.460 rpm, 7,5 HP yang dialirkan melalui pipa paralon ke bak pembenihan, bak induk, bak kultur pakan alami dan sebagai penunjang suplai aerasi digunakan juga blower 100 watt abalon dan ruang kultur pakan alami. Gambar sistem aerasi dapat dilihat di lampiran 4.

  E. Bak Pemeliharaan Induk

  Di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali induk abalon dipelihara pada hatchery menggunakan bak fiber

  3

  dengan ukuran 200x100x60 cm sebanyak 16 buah dan diisi air dengan volume 900 liter. Setiap bak pemeliharaan induk tersebut diberi keranjang berukuran

  3

  60x30x35 cm sebanyak empat buah dan didalam keranjang tersebut dilengkapi

  

shelter yang terbuat dari potongan pipa paralon PVC sebagai tempat berlindung

  dan menempel. Bak juga dilengkapi seding net sebagai penutup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susanto dkk. (2010) yang menyatakan bahwa pemberian

  

shelter dan keranjang merupakan fasilitas terkontrol dalam budidaya dan

  berfungsi sebagai tempat bersembunyi abalon. Gambar bak pemeliharaan induk dapat dilihat pada lampiran 4.

  F. Bak Pemijahan

  Bak pemijahan yang digunakan di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali adalah toples plastik berbentuk lingkaran dengan kapasitas 16 L sebanyak 5 buah. Setiap bak plastik yang telah tersedia dilengkapi pipa aerasi dan termometer. Induk jantan diletakkan pada bak pemijahan yang berbeda dengan induk betina dengan tujuan agar tidak terjadi

  

spawning yang tidak diinginkan. Gambar bak pemijahan abalon dapat dilihat pada

  G. Bak Pemeliharaan Larva dan Benih

  Bak pemeliharaan larva dan benih abalon dilengkapi dengan pemasangan

  

plate yang sudah disiapkan seminggu sebelum penebaran larva dan diawali

  dengan menumbuhkan diatom. Bak yang digunakan untuk menumbuhkan diatom

  3

  jenis Nitzscia sp. adalah bak beton dengan volume 8 m , sedangkan bak penebaran

  3 benih terdiri dari dua jenis yaitu bak fiber dan bak beton dengan volume 2 m .

  Masing-masing bak pemeliharaan diberi aerasi untuk suplay oksigen. Gambar bak pemeliharaan larva dan benih dapat dilihat pada lampiran 4.

  Hal ini sesuai dengan penelitian Susanto dkk. (2010) yang menyatakan bahwa pemeliharaan larva dilakukan pada bak bak beton yang dilengkapi dengan aerasi dan tempat tumbuhnya mikroalga (feeding plate) dari bahan atap plastik lengkung sebagai penydiaan pakan veliger sampai spat.

  H. Bak Penyimpanan Pakan

  Bak penyimpanan pakan abalon adalah bak fiber sama seperti bak yang digunakan untuk pemeliharaan induk dan benih abalon dengan ukuran

  3

  200x100x60 cm . Pakan abalon di BPIU2K Karangasem Bali berupa rumput laut jenis Gracillaria crassa, Ulva lactuca dan Ulva reticulata. Pakan yang baru diambil dari laut langsung dimasukkan dalam bak fiber beraerasi agar tidak busuk. Cara mencegah kebusukan rumput laut adalah dengan mengaduk bak dengan kayu minimal sehari satu kali.

4.2.2 Prasarana

  Prasarana yang dimiliki oleh Unit Kekerangan Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali antara lain : kantor, mess operator, guest house, aula, rumah jaga, rumah pompa, dan sarana ibadah.

  Prasarana penunjang untuk melaksanakan kegiatan produksi kekerangan abalon dan tiram mutiara seperti instalasi pemipaan laut dalam (Deep Sea Water) sejauh 16-18 m dari pantai dengan kedalaman 9 m, rumah genset, satu unit laboratorium abalon, satu unit laboratorium tiram mutiara, laboratorium lingkungan hidup, rumah pompa dengan 3 unit pompa dan tiga tandon air laut dengan kapasitas 27 ton dengan rincian dapat dilihat pada lampiran 3.

4.3 Proses Kegiatan Pembenihan

4.3.1 Pemeliharaan Induk

  Pemeliharaan induk abalon (H. squamata) di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali dimulai dari persiapan bak dengan cara menguras air dalam bak fiber kemudian dinding dan dasar bak disikat agar bersih dari kotoran, lumut dan hewan kecil yang menempel pada bak. Bak yang telah disikat dibilas dengan air hingga bersih, selanjutnya dikeringkan selama 2 hari agar kolam steril dari hama dan penyakit. Bak yang sudah dikeringkan, diisi dengan air laut dengan volume 900 liter disertai dengan sistem pergantian air mengalir (flow through) selama 24 jam yang dilengkapi dengan sistem aerasi dengan 4 titik yang tersebar.

  3

  menampung air hingga 1,5 m silengkapi saluran inlet dan outlet serta 4 titik aerasi selain itu pergantian air dilakukan selama 24 jam dengan jumlah 100% per hari.

  Dalam bak pemeliharaan induk dilengkapi keranjang yang berfungsi tempat tinggal induk abalon. Setiap bak diisi minimal 2 keranjang ukuran

  3

  60x30x35 cm dengan menambahkan shelter yang terbuat dari pipa PVC diameter 8 cm dengan panjang ± 30 cm untuk menghindarkan abalon keluar dari bak pemeliharaan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Rusdi dkk. (2014), yang mengemukakan bahwa setiap keranjang ditambahkan pipa PVC diameter 12 cm dan panjang 45 cm yang berfungsi sebagai substrat abalon.

  Kegiatan selanjutnya adalah penebaran induk dalam keranjang. Abalon dapat menjadi induk dengan umur minimal 1,5 tahun serta berukuran 5 cm. Dalam satu keranjang diisi sebanyak 30-40 ekor abalon dan diberi 2 shelter. Keranjang pemeliharaan induk abalon jantan dibedakan dengan keranjang induk betina agar tidak terjadi spontanious spawning. Tabel 3. Jumlah Induk jantan dan Induk betina di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K).

  Tanggal Jumlah Jantan Jumlah Betina

  14 November 2014 156 ekor 375 ekor

  26 Desember 2014 135 ekor 304 ekor

  16 Januari 2015 135 ekor 296 ekor Tabel 4. Ukuran rata-rata berat induk jantan dan induk betina di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K).

  Jenis Kelamin Induk Berat Badan Panjang Cangkang

  Dari tabel tersebut terlihat bahwa induk jantan berukuran lebih kecil dibandingkan dengan induk betina. Hal ini sesuai pendapat Setyono (2009), yaitu abalon jantan lebih kecil dari betina karena abalon jantan menggunakan lebih banyak mengeluarkan energi untuk proses reproduksi dan setelah pemijahan abalon tidak nafsu makan sehingga menjadi kurus.

  Tingkat kelulushidupan dalam pemeliharaan induk abalon di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali tergolong tinggi yaitu sebesar 81,16% dengan rincian dapat dilihat pada lampiran

  12. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamzah dkk. (2012) bahwa kelulushidupan abalon mencapai 70-80%.

4.3.2 Pengadaan Induk

  Induk abalon yang ada di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali berasal dari tangkapan alam oleh nelayan di pantai Pekutatan, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Negara, Provinsi Bali. Induk diperoleh dari pengepul dengan harga satu induk berkisar Rp 5.000,- sedangkan untuk calon induk dipatok harga sekitar Rp 3.000,- per ekor. Induk dapat diperoleh melalui pemesanan karena nelayan hanya mengambil abalon apabila ada pesanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyono (2009) menyatakan bahwa induk abalon dapat diperoleh melalui hasil tangkapan di daerah Lombok, Bali, Sulawesi dan Papua.

4.3.3 Pakan Induk

  Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali menggunakan 3 jenis makroalga sebagai pakan induk yaitu

  

Gracilaria crassa, Ulva reticulata dan Ulva lactuca. Makroalga ditampung di bak

fiber volume 900 liter berbentuk oval dengan penyimpanan maksimal 2 minggu.

  Gambar 6. Ulva lactuca (a), Ulva reticulata (b) dan Gracillaria crassa (c) (Dokumentasi PKL, 2015)

  Jumlah pakan yang digunakan untuk abalon sekitar 1.000gram/hari. Dosis pemberian pakan induk abalon untuk setiap bak dapat dilihat pada lampiran 8.

  Perbandingan G. crassa dan U. reticulata untuk pakan induk abalon yaitu 2 : 1.

  Pemberian pakan dilakukan denan frekuensi tiga kali seminggu dengan jumlah pakan yang diberikan sekitar 1.000 gram per bak. Pakan yang akan diberikan pada induk abalon direndam dengan air tawar selama 15 menit agar hewan dan kotoran yang menempel pada pakan tersebut bisa hilang. Pemberian pakan G. crassa, U. reticulata dan U. lactuca untuk induk abalon sama dengan metode Setyono (2006) yaitu meletakkan makroalga di antara pipa–pipa shelter agar mempermudah abalon untuk makan di satu titik. Makroalga ini diambil dari alam di pantai Sangalangit di Desa Grogak, Gondol dengan kedalaman mencapai

4.3.4 Kematangan Gonad

  Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) menyeleksi induk abalon dengan cara membuka pada bagian posterior antara otot kaki dan cangkang dengan spatula dan mengukur panjang cangkang yang lebih dari 5 cm dan berat badan yang besar, kondisi cangkang yang tidak cacat dan warna gonad dalam organ pencernaan. Testis abalon yang matang gonad berwarna krem dan ovarium berwarna keabuabuan. Kematangan gonad induk dilakukan melalui pemberian pakan yaitu U. lactuca.

  Hal ini sesuai dengan pendapat Rusdi dkk. (2010) bahwa kandungan protein dan lemak pada U. lactuca sebesar 17,74% dan 2,73% lebih tinggi dibandingkan dengan G. crassa yaitu 9,48% dan 1,52%. Protein merupakan salah satu sumber asam amino untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan gonad sedangkan lemak selain berfungsi sebagai sumber energi juga mengandung vitamin larut lemak dan asam lemak essensial yang sangat dibutuhkan untuk perkembangn gonad abalon. Gambar induk abalon matang gonad dapat dilihat pada lampiran 6.

  Tabel 5. Hasil data jumlah induk matang gonad di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali.

  

Jenis Tingkat Kematangan Gonad

Kelamin

  

I

II

  III

  Jantan 5 ekor - 17 ekor 82 ekor

  • Betina 12 ekor 63 ekor 257 ekor

4.4 Pemijahan Abalon

  A. Persiapan Bak

  Bak yang digunakan untuk pemijahan adalah bak dari toples dengan diameter 20 cm dan volume 16 L sebanyak 5 buah dan toples persegi empat sebanyak 3 buah. Bak tersebut dialiri dengan air laut dan diberi aerasi. Hal ini dipertegas oleh Litaay (2005), menyatakan bahwa induk dipijahkan dalam bak pemijahan dan dilengkapi sengan sistem air mengalir.

  Bak penampungan telur dilengkapi dengan egg collector berupa wadah plastik dilengkapi dengan plankton net dengan mesh size 60 atau 80 μm pada

  

outlet. Ruangan pemijahan dikondisikan dalam keadaan gelap. Hal ini sesuai

  dengan pendapat Setyono (2009), bahwa pemijahan abalon dapat terjadi pada bulan gelap sehingga membuat kondisi ruangan gelap merupakan salah satu alternatif pemijahan abalon.

  B. Seleksi Induk

  Induk abalon jantan dan betina yang dipijahkan berukuran 6-7 cm dengan berat antara 43,53-65,15 gram. Semakin besar ukuran induk yang digunakan akan semakin baik karena fekunditasnya juga semakin tinggi. Setyono (2003), menyatakan bahwa kriteria induk abalon yang baik yaitu organ tubuh tidak terluka dan utuh, ukuran panjang cangkang ± 5 cm. Proses satu kali pemijahan abalon di BPIU2K Karangasem hanya menggunakan 8-10 ekor induk karena apabila dalam satu siklus pemijahan menggunakan induk dengan jumlah banyak akan

  Proses seleksi induk dilakukan dengan membuka cangkang induk kemudian melihat kematangan gonad induk yaitu warna kuning untuk induk jantan dan warna hijau kebiruan untuk induk betina. Perbandingan yang digunakan untuk pemijahan induk jantan dan betina adalah 1:2, hal ini sesuai dengan pendapat Sofyan dkk. (2006), bahwa jumlah induk betina harus lebih banyak dibandingkan dengan jumlah induk jantan karena induk jantan dapat mengeuarkan sperma berulang-ulang kali sedangkan induk betina hanya mengeluarkan telur sekali dalam satu siklus pemijahan.

C. Pemijahan dengan Rangsangan Suhu

  Proses pemijahan abalon di (BPIU2K) Karangasem yaitu dengan metode rangsangan suhu menggunakan pure oksigen. Rangsangan suhu dilakukan karena suhu dapat mempengaruhi sistem metabolisme tubuh yaitu berperan dalam merangsang kematangan gonad sehingga terjadi pemijahan (Andriyono, 2013).

  Dalam proses pemijahan ini terdapat beberapa tahapan. Tahapan yang pertama adalah rangsangan suhu induk abalon dengan cara mengeluarkan induk ke udara terbuka selama 30 menit. Hal ini bertujuan agar induk abalon stress sehingga merangsang abalon untuk memijah. Tahap kedua adalah memasukkan induk ke dalam bak pemijahan volume 16 L yang telah berisi air laut baru dengan sistem

  o

  sirkulasi air dengan suhu 29 C. Proses pemijahan dimulai dari pukul 17.00 WITA. Induk jantan berjumlah 4 ekor dan betina berjumlah 8 ekor ditempatkan pada bak pemijahan berbeda. o o o

  untuk menurunkan suhu sebesar 3 C yaitu suhu awal 29 C menjadi 26

  C. selama

  o

  2 jam kemudian dinaikkan lagi seperti suhu awal menjadi 29 C.Hal ini sesuai dengan pendapat Rusdi dkk (2010), yang menyebutkan bahwa metode rangsangan pemijahan induk abalon dengan pemberian oksigen murni melalui aerasi selama 3 jam lebih efektif untuk merangsang pemijahan H. squamata. Pemijahan tersebut dilakukan dalam ruang gelap dan tenang yang didasarkan pada pola tingkah laku pemijahan induk di alam yaitu mencari celah karang sera bebatuan berwarna gelap untuk mengeluarkan telurnya (Priyambodo dkk., 2005). Berdasarkan hasil pengamatan, sel telur induk abalon berwarna hijau kebiruan dan mengendap di dasar serta di dinding bak sedangkan sperma induk abalon berwarna putih.

  Fertilisasi telur abalon dilakukan dengan cara mengambil sperma dari bak kemudian mencampurkannya dengan sel telur di dalam bak berkapasitas 20 L.

  Telur yang telah terbuahi akan mengendap, kemudian telur yang mengendap tersebut disifon dan pindahkan dalam bak plastik lainnya. Telur yang telah dipindahkan, dicuci hingga lima kali dengan air laut agar sperma yang tersisa dapat terbuang habis.

D. Embriogenesis Telur yang sudah terfertilisasi akan mengalami proses embriogenesis.

  Pembelahan sel telur tahap I (dua sel) terjadi pada 20-30 menit setelah pembuahan. Pembelahan sel tahap II (empat sel) terjadi pada 60 menit setelah pembuahan, kemudian berkembang menjadi fase morula awal pada menit ke 90. Fase morula jam setelah pembuahan. Telur menetas menjadi veliger 5-6 jam setelah pembuahan (Setyono, 2009). Stadia larva melayang berlangsung sejak trochophore menetas hingga tiga hari. Larva akan menempel dan bermetamorfosa, memulai hidupnya sebagai hewan bentik. Untuk data embriogenesis dapat dilihat pada lampiran ke 10.

  Dalam sekali siklus pemijahan, tidak semua telur dapat menetas dengan sempurna dan terdapat telur yang mengalami abnormalitas. Abnornalitas dapat terjadi karena adanya tekanan dari lingkungan, oleh karena itu segala fasilitas dan teknik yang digunakan dalam pemijahan harus diperhatikan (Sarida, 2008).

4.5 Pemanenan Telur

  Pemanenan telur dilakukan pada pukul 07.00-08.00 WITA. Diameter telur berbeda-beda. Perbedaan ini diduga karena ukuran tubuh induk (panjang cangkang) yang dipijahkan lebih kecil yaitu berkisar antara 3-4 cm untuk induk jantan dan 3,6-5 cm untuk induk betina, sehingga berpengaruh pada diameter telur.

  Diameter telur berkisar 100-120 μm. Alat yang digunakan untuk pemanenan telur adalah saringan dengan ukuran mata jaring 80µm dan 200µm. Penyiponan dilakukan untuk mengambil telur yang melayang. Telur yang dihasilkan dalam satu kali proses pemijahan adalah 1.050.000 telur dan perhitungannya dapat dilihat pada lampiran ke 12. Menurut Setyono (2004), induk abalon dapat menghasilkan puluhan ribu hingga jutaan telur dalam sekali siklus pemijahan.

4.5.1 Hatching Rate (HR) dan Survival Rate (SR)

  Hatching rate merupakan daya tetas telur yang dihasilkan dalam satu kali

  pemijahan. Jumlah telur yang dihasilkan oleh induk abalon dalam sekali memijah jumlahnya sangat besar tetapi tidak seluruhnya bisa bertahan hidup hingga stadia larva. Dalam Praktek Kerja Lapang didapatkan jumlah telur menetas sebesar 1.050.000 telur dari 4 induk betina dan 8 induk jantan dengan HR sebesar 71, 19%.

  Hasil perhitungan Hatching Rate dapat digunakan untuk menghitung

  

Survival Rate benih. Survival Rate benih yang dihasilkan dalam sekali siklus

  pemijahan adalah 85,65%. Hal ini sesuai dengan pendapat Soleh dan Suwono (2008), menyatakan bahwa Survival Rate rata-rata abalon yang dipijahkan dengan metode rangsangan suhu berkisar antara 80-86%.

4.6 Pemeliharaan Larva

  Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali menggunakan bak beton untuk media pemeliharaan larva. Hal ini bertujuan agar suhu tetap konstan dan abalon cepat tumbuh karena sinar matahari yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan bak fiber. Bak beton diberi plate yang sudah tertata rapi kemudian masukkan Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. dengan perbandingan pemberian 1:1 yang sudah dikultur selama seminggu untuk menumbuhkan diatom. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyono (2004), bahwa sebelum penebaran larva dibutuhkan waktu seminggu

  Larva abalon yang sudah di tebar di bak, sistem aerasinya diperkecil agar kandungan oksigen terlarutnya tidak berlebihan. Selain itu debit airnya dikurangi agar larva yang masih mengapung tidak terbawa air. Beberapa hari setelah ditebar

  

trochophore masih memanfaatkan cadangan makanan (yolk sack) dan setelah 4

  hari, trochophore akan memakan diatom yang menempel pada plate-plate yang telah disediakan.

  Seleksi atau greeding pertama dilakukan pada benih berumur 1,5 bulan untuk memisahkan benih yang berukuran 0,5 mm dengan benih yang tumbuh kerdil. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiyono (2011), yang menyatakan bahwa seleksi benih pertama dilakukan pada umur 1,5 bulan. Seleksi bertujuan untuk memisahkan ukuran abalon. Juvenil berukuran lebih dari 5 mm diambil dan ditempatkan dalam bak pemeliharaan lain yang telah ditumbuhi diatom dan diberi tambahan Gracillaria sp. dan Ulva sp. dengan kepadatan rendah.

4.6.1 Pemberian Pakan Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp.

  Abalon merupakan organisme herbivora yang mengkonsumsi mikroalga (diatom) pada fase larva (Dwiyono dan Setyono, 2011). Pada fase trochophore sampai mencapai spat saat larva mulai menempel pada substrat dan plate masih memanfaatkan pakan alami yang menempel pada tempat tersebut. Pakan alami lain yang diberikan untuk larva abalon adalah Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. yang dihasilkan dari kultur pakan skala laboratorium. Jumlah pakan yang diperlukan larva sebesar 2,5 liter Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. per hari untuk

  Pakan alami yang dikultur di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan Karangasem, Bali adalah jenis Chaetoceros sp. dan Nitzschia sp.

  Kultur yang dilakukan di balai ini merupakan kultur skala laboratorium. Dalam sekali kultur diperlukan Chaetoceros sp. dan Nitzschia sp. masing-masing sebanyak 1 liter dengan kepadatan 50 juta sel/ml. Bibit Chaetoceros sp. dan

  

Nitzschia sp. berasal dari hasil isolasi yang dilakukan di Laboratorium

Bioteknologi, Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali.

  Tahapan yang dilakukan dalam kultur Chaetoceros sp. dan Nitzschia sp. adalah inokulum dimasukkan ke dalam toples volume 15 L yang sudah disemprot dengan alkohol dengan perbandingan air media dengan bibit plankton adalah 50:50 atau 30:70. Tahap selanjutnya dilakukan pemupukan menggunakan pupuk KW21 dan silikat dengan dosis masing-masing 0,5 ml/L. Aerasi dinyalakan secukupnya dan diinkubasi dengan suhu ruangan mencapai 18-20˚C. Kira-kira setelah 4-5 hari kemudian mencapai populasi optimum, kultur tersebut siap dipanen dan untuk pakan larva abalon.

  Penebaran Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. di BPIU2K Karangasem Bali dilakukan dengan cara menuangkan Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. yang telah dikultur dalam laboratorium kemudian didiamkan beberapa jam. Pendiaman ini bertujuan untuk menyamakan suhu antara Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. dengan suhu bak pemeliharaan. Jika volume maksimal air 1500 liter maka bibit yang akan ditebar sebanyak 20-50 liter.

  4.7 Pengelolaan Kualitas Air

  Selama kegiatan praktek kerja lapang rata-rata salinitas sebesar 30-32 ppt, oksigen terlarut 4,87-5,24 ppm, pH 7 dan suhu 28-29°C. Dengan rincian dapat dilihat pada lampiran 9. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Hamzah (2012), kondisi lingkungan yang cocok untuk pemeliharaan abalon di dalam bak

  o o

  adalah antara 26 C-28,5

  C, salinitas antara 32-35 ppt, oksigen terlarut antara 4,6- 7,1 ppm dan pH antara 7,5-8,7.

  Pergantian air pada bak dilakukan agar bak yang digunakan bersih dan terjaga dari penyakit dan sesuatu yang dapat menyebabkan turunnya kualitas air pada bak pemeliharaan induk dan benih. Menurut Setyono (2011), air yang digunakan dalam proses pemeliharaan abalon adalah air yang telah melalui berbagai tahapan penyaringan. Air yang masuk melalui saluran inlet sebagai media yang sudah melalui proses filtrasi berasal dari tandon dan rumah pompa terlebih dahulu baru dialiri pada bak pemeliharaan induk maupun bak pemeliharaan larva.

  4.8 Pengendalian Hama dan Penyakit

  Hama dan penyakit yang menyerang abalon di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali adalah kompetitor seperti siput serta kepiting menjadi predator larva dan calon induk abalon yang masuk melalui pakan yang kurang bersih. Hal ini sesuai dengan pendapat Sofyan dkk. (2006) yang menyatakan bahwa predator seperti kepiting dan rajungan sering

  Menurut Setyono (2009), larva yang tidak normal terlihat dari kurangnya respon terhadap cahaya dan terjadi perubahan warna pada cangkang abalon.

  Untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan pengontrolan yang rutin dan menjaga kualitas air yang ada dalam bak pemeliharaan larva dan benih abalon.

  4.9 Hambatan pada budidaya abalon

  Hambatan yang sering dihadapi di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali adalah penyediaan pakan alami untuk larva abalon masih belum stabil. Pertumbuhan diatom masih sangat lambat dan terkadang terkalahkan oleh lumut yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan larva.

  4.10 Kelayakan Usaha Pembenihan Abalon (H. squamata)

  Analisis usaha perikanan merupakan cara untuk mengetahui tingkat kelayakan dari suatu jenis usaha yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan, pengembalian investasi maupun titik impas. Perhitungan analisis usaha pembenihan abalon di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali dilakukan dengan sistem perkiraan dikarenakan produksi benih abalon digunakan untuk desiminasi di daerah Buleleng dan belum dilakukan produksi penjualan secara rutin. Perkiraan analisis usaha abalon meliputi:

  Modal usaha pembenihan abalon terdiri dari modal investasi dan modal kerja. Modal investasi yang digunakan sebesar Rp 116.366.000,- dengan pembenihan ini meluputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang digunakan dalam waktu satu tahun sebesar Rp 107.685.000,- sedangkan biaya variabel sebesar Rp 7.000.000,- dengan demikian total biaya produksi yang digunakan adalah sebesar Rp 114.685.000,- .

  Besarnya nilai R/C atau Revenue Cost Ratio akan menunjukkan tingkat keuntungan yang dicapai. Apabila R/C ratio lebih dari 1,0 (satu), maka usaha yang dijalankan adalah layak untuk diusahakan atau dapat diteruskan dan dalam pembenihan abalon R/C yang dihasilkan adalah sebesar 1,61 ini berarti usaha pembenihan abalon layak untuk di jalankan.

  Break Even Point (BEP) merupakan suatu teknik analisa untuk

  mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan yang mendasarkan pada hubungan antara biaya (cost) dan penghasilan atau pendapatan (revenue). Break Even Point (BEP) produksi yang dihasilkan dalam pembenihan abalon adalah 327,67 kg dan Break Even Point (BEP) harga sebesar Rp 382.283/kg.

  Perhitungan Payback Period (PP) pada lampiran 13 memperlihatkan bahwa keseluruhan modal yang digunakan dalam pembenihan abalon dapat dikembalikan dalam jangka waktu 1,6 tahun atau 19,2 bulan.