PERBANDINGAN SISTEM HUKUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DENGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI CHINA

  

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DENGAN

PEMBERANTASAN KORUPSI DI CHINA

A. Latar Belakang

  Bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebagai Negara hukum yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya dan di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk mencegah dan memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi yang dapat mengakibatkan kerugian Negara dan berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang.

  Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin

  

corruption atau corroptus. Eropa seperti Inggris corruption, corrupt, Perancis

corruption, Belanda corruptive dan Indonesia korupsi yang secara harafiah adalah

  kebusukan, kebutrukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dan kesucian. Sedangkan istilah korupsi oleh Poerwadarminta korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

  

  Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas oleh manusia secara maksimal. Pengertian korupsi berdasarkan ketentuan Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (pasal 2 ayat 1), adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam hal tentang pengertian yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka secara implicit, maupun eskplisit, terkandung pengertian tentang keuangan atau kekayaan milik ‘pemerintah’, atau ‘swasta’, maupun ‘masyarakat’, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sebagai unsur pokok atau elemen yang tidak terpisahkan dari pengertian negara (state).

  Korupsi tumbuh seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan berada di berbagai belahan dunia, bahkan di negara maju sekali pun, seperti halnya China. Korupsi ada di berbagai tingkatan dan tidak ada cara yang mudah untuk memberantasnya. Korupsi, tidak saja mengancam sistem kenegaraan kita, tetapi juga menghambat pembangunan dan menurunkan tingkat kesejahteraan jutaan orang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Korupsi telah menciptakan pemerintahan irasional, pemerintahan yang didorong oleh keserakahan, bukan oleh tekad untuk mensejahterakan masyarakat. Mengutip Muhammad Zein,

  1 Jur. Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal: 4-5. korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai akibat dari korupsi ketimpangan antara si miskin dan si kaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan politisi korup bisa masuk kedalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga memiliki status sosial yang tinggi. Tindak pidana korupsi dapat terjadi bila terdapat kesempatan serta kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang yang memungkinkannya melakukan korupsi.

  Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak tahun 1950-an Adapun sejarah awal lahirnya Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu pada awalnya yang mengatur masalah Tindak Pidana Korupsi dituangkan dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor : Prt/Peperpu/ 013/1958 serta peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat/ Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z/I/7.

  Kemudian peraturan tersebut diganti dengan peraturan perundang- undangan yang berbentuk Undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor : 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1960, Perppu tersebut menjadi Undang-undang Nomor

  24 Prp Tahun 1960. Dalam perjalanannya kemudian UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tersebut masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

  

  Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku, ternyata Undang-undang Nomor

  3 Tahun 1971 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, apalagi dengan terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha, sehingga MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengeluarkan TAP MPR Nomor

  XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan Undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakan secara konsisten Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar TAP MPR tersebutlah maka dibuatlah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa UU Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 2001 diadakanlah perubahan dan penambahan Pasal-Pasal dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

  

2 R. Wiryono, 2009. Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta,Sinar Grafika, halaman .3.

  3 www. Antikorupsi_org.htm, Tahap Perkembangan Korupsi, diakses tanggal 13 April 2013.

  Alasan yang terdapat di dalam konsiderans UU Nomor 20 Tahun 2001 sehingga diadakannya penambahan dan perubahan terhadap Pasal-Pasal dalam UU nomor 31 Tahun 1999, sebagai berikut:

  1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum;

  2. Menghindari keragaman penafsiran,

  3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masayarakat,

  

  Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan

  

  pemerintahan negaraPenanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya perubahan politik yang sistemik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga hukum.

  Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah dengan 4 R. Wiryono, Op. Cit.

  5 Chaerudin et al, Strategi pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi, halaman 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang

  Meskipun

  penanggulangan korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan yang ada tetap masih banyak menemukan kegagalan disebabkan berbagai institusi yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsingya dengan efektif, perangkat hukum yang lemah, ditambah aparat penegak hukum yang tidak

  

  Keadaan demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum sehingga semakin jauh terciptanya masyarakat yang sejahtera seperti diketahui bahwa penyebab Negara menjadi terpuruk adalah karena praktik korupsi secara berlebihan yang dapat merugikan Negara.

  Apabila di bandingkan dengan negara maju seperti china, Indonesia perlu mempelajari sistem pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan China mengingat negara itu mengalami kemajuan pesat dalam menciptakan pemerintahan bersih. Pemerintah China sangat serius dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, sehingga upaya menciptakan pemerintahan bersih mampu tercapai, yang sangat mendapat perhatian adalah China memiliki setidaknya 5.000 tempat pengaduan masyarakat, suatu tempat masyarakat dapat melaporkan segala bentuk tindak korupsi dan penyelewengan. Perang melawan korupsi di negara China merupakan perjuangan panjang, rumit, dan susah. Praktek korupsi hampir

6 Drs. Ermansyah Djaja, SH., Msi, Memberantas Korupsi bersama KPK, halaman.26 7 Ibid halaman 5.

  terjadi di seluruh tingkatan birokrasi China. Namun pemerintah China tidak main- main dalam hal pemberantasan korupsi di negaranya. Sehingga terbukti dalam hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh lembaga

  

Transparency Internasional yang menyebutkan semakin besar angka indeksnya

  artinya semakin sedikit korupsi. Berdasarkan IPK tersebut, China memiliki IPK sebesar 3,3 pada tahun 2006 dan menduduki peringkat 8 untuk wilayah Asia.

  Sedangkan Indonesia, berada pada posisi yang cukup memperihatinkan di mana

  IPK 2,4 dan menduduki peringkat 111 di dunia. Sedangkan dari survey yang dilakukan oleh Transparency International, mengenai peringkat kebersihan korupsi negara-negara di Asia Cina pada tahun 2006 menempati peringkat 8 dan

  Bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut diatas ada beberapa masalah yang perlu dikaji antara lain: Bagaimana peran dan problematika Komisi

  8 Transparasi Internasional: Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup, diakses pada tanggal 13 Maret 2013. Pemberantasan Korupsi dalam memberantas korupsi di Indonesia, serta perbandingan dan pengaturannya dengan pemberantasan korupsi di China.

C. Pembahasan

   Peran dan Problematika Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

  Memberantas Korupsi di Indonesia, serta Perbandingan dan Pengaturannya dengan Pemberantasan Korupsi di China.

  Pemberantasan korupsi di Indonesia memiliki perjalanan yang pajang, sejak dibentuknya Lembaga Pemberantasan Korupsi di Era Soekarno (PARAN - Panitia Retooling Aparatur Negara) di awal tahun 1960-an hingga kini dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak cerita kegagalan disamping keberhasilannya. PARAN di tahap awal memiliki tugas mencatat kekayaan pejabat, akan tetapi kandas ditengah jalan akibat perilaku birokrat yang sembunyi dibalik presiden. Tahun 1963 PARAN diaktifkan kembali dengan Operasi Budhi yang dipimpin AH Nasution dan Wirjono Prodjodikusumo misalnya berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 11 milyar rupiah. Banyak kendala yang dialami lembaga pemberantasan korupsi di samping lemahnya komitmen politik Indonesia. PARAN mengalami kegagalan karena berlindung dibawah kekuasaan Presiden, sementara Operasi Budhi dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena mengganggu kewibawaan presiden. Sedangkan di era Soeharto lembaga pemberantasan korupsi bernama OPSTIB. Namun OPSTIB mengalami kegagalan yang disebabkan oleh banyaknya campur tangan militer. Banyak kalangan militer

  

  Pada UU Nomor 28 Tahun 1999, yang dikeluarkan oleh BJ Habiebie, tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Sedangkan di masa pemerintahan Gus Dur, lembaga pemberantasan korupsi dibentuk dengan nama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo.

  Sayangnya di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.

  Kemudian di era Megawati, lahir sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang bernama Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atau lebih sering disebut Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Komisi ini dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas Komisi ini didirikan berdasarkan padaNomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilengkapi dengan berbagai tugas dan wewenang yang sangat luas dan kuat. Pada tahun 2002 Pemerintah dan DPR memberi tugas dan wewenang KPK luas sekali. Pada pasal 43 UU No. 31 tahun

  9 www. Antikorupsi_org.htm, Tahap Perkembangan Korupsi, diakses tanggal 13 Maret 2013.

  1999 menyebutkan bahwa tugas dan wewenang KPK adalah melakukan koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa selama ini pemberantasan korupsi memang dirasakan kurang efektif dan memiliki dampak yang cukup signifikan. Oleh karena itu kehadiran KPK amat dibutuhkan.

  Tugas KPK secara rinci dicantumkan dalam pasal 6 Undang-Undang No.

  30 Tahun 2002, yaitu:

  a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

  b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

  c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

  e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah.

  Sedangkan wewenang yang diberikan kepada KPK adalah:

  a. Dalam melaksanakan tugas suoervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang melaksanakan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan public. b. Dalam melaksanakan wewenang tersebut maka KPK juga berwenng mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

  c. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan dan penuntunan, kepolisisn atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

  d. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan dan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

  Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia bersifat

  

independent, tetapi bukan berarti tidak ada campur tangan pemerintah dalam

  menjalankan tugas dan wewenangnya. Campur tangan pemerintah tersebut adalah mengawasi berjalannya segala aktifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

  Peran pemerintah bisa kita lihat dalam kasus perseteruan antara KPK dan kepolisisan yang terjadi. KPK dan kepolisian merupakan lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang masing-masing yang sudah tercantum dalam Undang-Undang. Walaupun memang KPK dan kepolisisan berjalan dalam koridor masing-masing, tetapi, masyarakat tentu saja mencium adanya perseteruan dari kedua lembaga tersebut. Mereka sibuk untuk menjatuhkan nama baik satu sama lain dan saling menunjukan siapa yang paling berkuasa. Sehingga kepentingan negara maju dinomorduakan. Oleh karena itu, perlu adanya peran pemerintah sebagai penengah dalam masalah tersebut sehingga perselisihan yang dianggap saling menjatuhkan lembaga bisa terselesaikan dengan kekuasaan pemerintah tersebut.

  Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi melalui pembentukan perundang-undangan dengan tiga kali perubahannya sampai saat ini masih belum menunjukkan tingkat keberhasilan memadai. Ketidakberhasilan dimaksud dapat dilihat dari empat aspek: hukum, ekonomi, sosial, dan aspek politik. Aspek keberhasilan hukum bukan diukur dari jumlah perkara korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung setiap tahun, melainkan harus dilihat dari kualitas prosedur yang digunakan dalam menuntut dan menetapkan seseorang sebagai tersangka/terdakwa dan kualitas putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Kualitas prosedur saat ini masih belum mencerminkan kepastian hukum dan keadilan, terbukti masih adanya diskriminasi dan arogansi penyidik yang mencemari institusi.

  Pola pemberantasan korupsi yang diterapkan Presiden China Hu Jintao. Presiden China saat itu bertekad memberantas korupsi di negaranya dengan mengumumkan akan mempersiapkan 1.000 peti mati untuk pelaku pencurian uang negara tersebut. Ia membuktikan tekadnya itu sehingga berhasil meraih tiga pilar kekuasaan di China yakni sebagai presiden, Ketua Partai Komunis China (PKC)

  

  10 perbandingan-cina-indonesia, diakses pada tanggal 13 Maret 2013.

  Dalam buku "The China Business Handbook" dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang sebagiannya divonis hukuman mati. Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi.

  Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama yang membawa uang dalam jumlah besar.

  Kebijakan itu membuat China mengalami kemajuan dan perkembangan ekonomi yang pesat serta diperkirakan akan menjadi negara adidaya di dunia internasional.

  Jika pola China itu diterapkan di Indonesia maka akan ada perubahan konstitusi terutama aturan yang mengatur tentang ilustrasi atau pemutihan.

  Koruptor skala gurem (merugikan negara/ perekonomian negara kurang dari Rp 10 juta) dan skala kecil (antara Rp 10 juta dan kurang dari Rp 100 juta) mendapat hukuman lebih berat daripada koruptor skala menengah, besar, dan kakap. Hal tersebut menjadi bukti bahwa sistem hukum yang timpang membuat celah terbuka lebar. Disanalah akar permasalahannya terletak, sistem hukum yang perlu dirubah bukan sekedar tambal sulam.

  Keberhasilan pemberantasan korupsi di RRC dengan membuat Undang- Undang Pemaafan Nasional, dimana seluruh pejabat masa lalu dimaafkan. Tetapi bila sejak Undang-Undang itu keluar ada pejabat yang melakukan korupsi, maka pejabat tersebut akan dihukum mati. Hal tersebut telah dibuktikan di RRC, karena sudah ada walikota yang dihukum mati karena terbukti melakukan korupsi setelah Undang-Undang Pemaafan Nasional diberlakukan.

  Selain itu, mantan Direktur Administrasi Negara untuk Makanan dan Obat-Obatan, Zheng Xiaoyu yang terbukti menerima suap 6,5 juta Yuan (sekitar Rp 75 miliar) telah dieksekusi mati. Para elit politik di RRC banyak juga yang dihukum. Chen Liangyu, mantan sekretaris partai di Shanghai yang dekat dengan Jiang Zemin telah diajukan ke pengadilan. Dia diduga terlibat skandal korupsi senilai 1,25 miliar dollar AS. Begitu juga kasus pemecatan Menteri Keuangan Jin Renqing pada akhir Agustus 2007. Setelah dikabarkan terlibat skandal wanita, belakangan diketahui dia berperan dalam penggalangan dana untuk menindas Falun Gong. Setelah Undang-Undang Pemaafan Nasional diterapkan, sekarang RRC tidak lagi termasuk dalam negara-negara koruptor di dunia. Dengan demikian untuk memberantas harus dibutuhkan niat kuat dan keteguhan hati.

DAFTAR PUSTAKA

  Jur. Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. R. Wiryono, 2009. Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta,Sinar Grafika. Chaerudin et al, Strategi pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Drs. Ermansyah Djaja, SH., Msi, Memberantas Korupsi bersama KPK. www. Antikorupsi_org.htm, Tahap Perkembangan Korupsi, diakses tanggal 13 April 2013.

  

Transparasi Internasional: Indonesia masih menjadi

salah satu negara terkorup, diakses pada tanggal 13 Maret 2013.

perbandingan-cina-indonesia, diakses pada tanggal 13

Maret 2013.

  Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang

  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.