farchan bulkin negara masyarakat dan ekonomi

Negara, Masyarakat dan
Ekonomi *
Farchan Bulkin
Pengantar

Pem ah am an t er h ad ap f en om en n egar a d an m asy ar ak at
kont emporer Indonesia mungkin lebih baik kalau didasarkan pada
pem aham an ar us, kekuat an dan l i ngkungan sej ar ah yang
t erungkapkan dalam kekuat an-kekuat an masyarakat , polit ik dan
ekonomi masa kini yang pert umbuhan dan perkembangannya t idak
t erlepas dari kondisi-kondisi pada berbagai periode sebelumnya.
Pemahaman ahi st or i s dan ber dasar kan asumsi -asumsi kel i r u
mengenai masyarakat moderen–sepert i yang dilakukan st udist udi
d al am k er angk a f ungsi onal i sm e- st r uk t ur al –j ust er u t el ah
mengaburkan, dan bukannya memperj elas f enomen negara dan
m asyar akat . Tul i san i ni m encoba m el i hat secar a si ngkat
perkembangan t eori negara dan masyarakat sert a makna yang
bisa kit a t arik daripadanya, kemudian akan menawarkan suat u
car a unt uk mel i hat negar a dan masyar akat dal am ker angka
pendekat an hist oris dan st rukt ural.
Teori Klasik dan Beamtenstaat


Mungkin hanya ada sat u hal yang past i dan bisa diset uj ui bersama
dalam usaha memahami f enomen negara–yait u bahwa ia muncul
dalam sej arah sebagai j awaban at as krisis mendalam dan luas
yang menimpa beberapa ent it as sosial, polit ik dan ekonomi di
beberapa kawasan Eropa pada penggal t erakhir Abad-Tengah, yang
kemudian-berlanj ut sampai abad keenambelas, yang oleh Fernand
Braudel disebut sebagai abad “ panj ang” dalam sej arah Eropa.
Kompleksit as dan mist eri yang menyelubungi f enomen negara
*

Dimuat dalam Prisma, no. 8, 1984.

dengan j elas dicerminkan dalam pikiran-pikiran yang t erkandung
dalam beberapa konst ruksi t eori dan argument asi pada abad
kesembilan belas. Beberapa t eorit isi klasik sepert i Marx, Weber
dan Durkheim, t elah berusaha mencari j awaban pada hampir
seluruh kecenderungan sosial, ekonomi dan polit ik yang kuat yang
berkembang sej ak abad keenambelas di Eropa. Marx misalnya,
t elah mencari j awab pada st rukt ur ekonomi, arah dan lingkungan

sej ar ah, l at ar b el akang f eod al i sm e, ket er hub ungan d an
kebebasannya dengan masyarakat sipil, birokrasi, pembagian kerj a
dan evolusi masyarakat secara keseluruhan. Durkheim mencarinya
pada pembagian kerj a sosial, sent ralisasi, hukum administ rasi,
organ masyarakat dan rasionalit as, kebebasan individu, ot orit as
dan hirarki dan pada perkembangan pat ologis. Sedangkan Weber
mencarinya pada kekuasaan, dominasi dan penaklukan, birokrasi,
hukum, rasionalit as, ot orit as, penggunaan kekerasan secara syah
dan j enis-j enis perekonomian. 1
Ilmu sosial yang berkembang di abad keduapuluh, t elah gagal
unt uk mengembangkan perspekt if yang dit awarkan oleh para
t eorit isi klasik. Tradisi liberal-pluralis yang unt uk sekian lama t elah
mendominasi ilmu sosial Amerika malah mengabaikan f enomen
negara. Tokoh-t okoh aliran ini, dari Art hur Bent ly sampai David
Truman, t elah memusat kan analisa mereka pada individu, yang
di asumsi kan akan sel al u mengej ar kepent i ngan-kepent i ngan
ek onom i d an p ol i t i k m er ek a d an k em ud i an m em b ent uk
masyarakat . Dalam t eori-t eori kelompok ( gr oup-t heor y) yang
mereka kembangkan, negara hanyalah dipandang sebagai salah
sat u kelompok pelaku polit ik di ant ara kelompok-kelompok lain

sehingga t idak memiliki keist imewaan dan sej arah t ert ent u yang
harus diperhat ikan. Lebih pokok dalam pandangan mereka adalah
masyarakat yang t erdiri dari individu-individu yang memil iki
kemampuan mengat ur dirinya sendiri. Masyarakat , kebudayaan
1

Tinjauan singkat terhadap pandangan klasik diberikan dalam Bertrand Badic and
Pierre Birnhaum, The Sociology of the State (Chicago and London: The University of
Chicago Press, 1983), hal. 3-24. Lihat juga Alfred Stepan, The State and Society: Peru in
Comparative Perspective (Princeton: Princeton University Press, 1978), hal. 3-45.

| 2|

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
dan kepribadian dinilai sebagai subyek yang pat ut diberi t ingkat
analisa yang relat if ot onom. Perlakuan t erhadap f enomen negara
yang demikian j uga dit unj ukkan dalam t eori sit em dan pendekat an
sibernat ika ( cybernet ics) yang dikemukakan oleh David East on
dan Karl Deut sch–keduanya t idak menilai negara dan kekuasaan
sebagai f enomen yang menunt ut perhat ian serius. 2

Luasnya pengaruh f ungsionalisme-st rukt ural dalam pernikiranpernikiran ilmu sosial mendesak f enomen negara, lebih j auh ke
belakang. Negara dalam perspekt if ini dipandang hanya sebagai
konsekuensi t ak t erelakkan, at au set idak-t idaknya merupakan
bagian dari empat proses sent ral modernisasi: dif f erensiasi,
ot onomisasi, universalisasi dan inst it usionalisasi. Unt uk menyebut
beber apa cont oh, Shm uel Ei senst adt m enekankan pr oses
dif erensiasi dan menempat kan negara sebagai lembaga f ungsional
dan ot onom sif at nya dalam proses dif erensiasi dan pembagian
kerj a yang menimbulkan konf lik dan pert ent angan. Negara dengan
begit u dilihat sebagai lembaga yang t uj uan eksist ensinya adalah
mengurangi ket egangan-ket egangan sosial dan melembagakan
k onsensus yang b er k em b ang d an b er ub ah- ub ah. 3 Pr oses
ot onomisasi dit ekankan oleh Reinhard Bendix unt uk memahami
per t umbuhan negar a moder en. Di kemukakan bahwa negar a
t umbuh bersamaan dengan administ rasi publik yang dit unj ukkan
sebagai lembaga yang bebas dari persaingan-persaingan dan konflik
p ol i t i k se r t a k e p e n t i n gan - k e p e n t i n gan p r i b ad i . 4 Pr oses
universal isasi dipakai ol eh Robert Nisbet unt uk menj el askan
di si nt egr asi kel uar ga- kel uar ga Rom aw i yang di anggapnya
bersumber pada pert umbuhan kekuat an milit er yang kemudian

mengikis habis hak-hak ist imewa t radisional kepunyaan keluarga2

Bertrand Badic and Pierre Birnbaum, The Sociology of the State, hal. 25.

3

Lihat Shmuel Eisenstadt, Modernization: Protest and Change (Englewood Cliffs, NH:
Prentice-Hall, 1966); The Political System of Empires (New York: Free Press, 1963);
“Social Change, Differentiation, and Evolution”, American Sociological Review 29, no.
3, halaman 375- 386.
4

Lihat misalnya Reinhard Bendix, Nation Building and Citizenship (New York: W iley,
1964).

|3|

keluarga Romawi. Nisbet menegaskan bahwa ini adalah suat u
proses universal di mana pusat imperium dan individu mencipt akan
suat u hubungan polit ik secara langsung. Negara dengan demikian

dilihat sebagai t umbuhnya kolekt ivit as baru dalam masyarakat
yang akhirnya mendominasi kolekt ivit as-kolekt ivit as lain dengan
menekankan ci r i -ci r i uni ver sal dan menci pt akan hubunganh u b u n gan i n d i v i d u al . 5 Negar a sebagai cer m i nan pr oses
universalisasi ini berubah menj adi et nosent risme dalam analisa
Edward Shils, Gabriel Almond dan Lucien Pye. Shils dan Almond
dengan t eori pembangunan at au modernisasi polit ik, menegaskan
bahwa suat u sist em polit ik yang “ maj u” ( developed) adalah sepert i
yang di t ampi l kan ol eh si st em pol i t i k moder en Bar at . Pye
mengemukakan lebih t egas lagi bahwa negara moderen yang
berkernbang di Eropa dan kini t ersebar diikut i oleh seluruh bagian
duni a m er upakan sat u- sat unya pem ecahan at as m asal ah
pembangunan. Dalam pandangan Pye, krisis-krisis polit ik yang
t erj adi di negara-negara t erkebelakang adalah langkah-langkah
yang harus dilalui oleh negara-negara it u unt uk mencapai t ingkat
negara dan sist ern polit ik moderen. 6 Tak lepas dari “ paradigma”
f ungsionalisme-st rukt ural adalah analisa-analisa Hunt ingt on yang
memusat kan perhat iannya pada masalah pernbangunan inst it usi.
Hi pot esanya adal ah bahw a sem aki n t er def er ensi asi suat u
masyarakat , maka ia akan lebih t ergant ung pada berf ungsinya
i nst i t usi - i nst i t usi dal am m asyar akat i t u, kar ena t ak sat u

kekuat anpun dalam masyarakat it u yang mampu memaksakan
kehendaknya t erhadap kekuat an lain. 7
Perlu dikemukakan bahwa para pengemuka t eori negara dalam
5

Robert Nisbet, “Sate and Family”, dalam Amitai Etzioni and Eva Etzioni, eds., Social
Change (New York: Basic Books, 1973), hal. 190-210.
6

Lihat Edward Shils, Political Development in the New State (The Hague: Mouton,
1960); Center and Periphery (Chicago: University of Chicago Press, 1975); Gabriel
Almond and Bingham Powell, Comparative Politics(Boston: Little, Brown, 1966); Lucien
Pye, Aspects of PoliticalDevelopment (Boston: Little, Brown, 1967).
7

Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies (New Haven: Yale
University Press, 1968).

| 4|


Negara, Masyarakat dan Ekonomi
t radisi f ungsionalisme-st rukt ural ini di sana-sini t elah mengacu
pada but ir-but ir yang dikemukakan oleh para t eorit isi klasik,
t erut ama Max Weber. Pengacuan pada t eori klasik ini dilakukan
j uga oleh Ralph Miliband dan Nicos Poulant zas, yang berusaha
mengembangkan perspekt if yang dit awarkan oleh Marx. Mereka
j uga menyadari bet apa f enomen negara kurang memperol eh
perhat ian serius t erut ama dalam hubungannya dengan realit as
kongkrit sosial-ekonomi, polit ik dan kebudayaan dalam masyarakat
kapit alis kont emporer. 8 Dengan j elas nampak bahwa pengacuanpengacuan pada t eori klasik ini t idaklah menyeluruh, t et api hanya
parsial.
Mungkin sebagai reaksi t erhadap ket idak lengkapan dan t idak
memadainya ilmuwan sosial menangani f enomen negara, t imbul
suat u gerakan st udi yang menggunakan met odel makro sosiologi
dan sej arah unt uk memahami saat -saat krit is peralihan di Eropa,
yang dal am periode dan sej ak saat it u t el ah muncul negara
moderen. St udi-st udi Charles Tilly, Barringt on Moore, Richard
Brener, Immanuel Wallerst ein, Perry Anderson dan Theda Skocpol,
adalah cont oh gerakan st udi ini. Dengan penekanan dan st udi
wilayah yang berbeda-beda, mereka pada umumnya menunj ukkan

bet apa t umbuhnya negara moderen sangat erat hubungannya
dengan st r ukt ur masyar akat , per t umbuhan kapit al isme, dan
lingkungan int ernasional. Moore menekankan st rukt ur sosial dalam
negeri unt uk memahami j alan menuj u indust rialisasi dan peranan
negara. 9 Wallerst ein menekankan pent ingnya let ak wilayah dalam
st rukt ur ekonomi-dunia kapit alis Eropa dalam mencari j awab
mengenai kuat at au l emahnya negara-negara di Eropa abad
keenambel as. 10 Perry Anderson berargument asi bahwa dal am
8

Ralph Miliband, The State in Capitalist Societies (New York: Basic Books, 1969); Nicos
Poulantzas, Political Power and Social Classes(London: New Left Booksand Sheed and
W ard, 1973); “The Problem of the Capitalist State”, New Left Review, NovemberDecember 1969.
9

Barrington Moore, The Social Originsof Dictatorship and Democracy (Boston: Beacon
Press, 1966).
10

Immanuel W allerstein, The Modern W orld-System Capitalist Agriculture and the


|5|

memahami munculnya negara moderen di Eropa, st rukt ur dan
kekuat an f eodalisme pada masa sebelumnya harus t erlebih dahulu
dipahami. 11
Usaha unt uk memahami negara dan masyarakat di kawasan dunia
ket iga set idak-t idaknya t elah melahirkan t iga perspekt if t eorit is
yang pokok: t eori negara dalam masyarakat perif eral, konsep
dan model rezim birokrat ik dan ot orit er, dan st at isme-organik
sebagai suat u m odel per ner i nt ahan. Per spekt i f per t am a
melet akkan st rukt ur sosial sebagai landasan permulaan dalam
memahami negara di kawasan dunia ket iga. St rukt ur masyarakat
yang t umbuh sebagai akibat kolonisasi dalam wakt u yang umumnya
panj ang, dan t elah bert ahan pada masa pasca kolonial dengan
kecenderungan dan implikasi yang t idak j auh berbeda dari masa
kolonial t elah dij adikan subst ansi analisa dalam perspekt if ini.
St udi-st udi yang dikemukakan oleh Hamza Alavi, John S. Paul dan
Colin Leys, mengenai kawasan Pakist an, India dan Af rika yang
menggunakan perspekt if ini. 12 Kesulit an ideologis yang dihadapi

dunia ket iga dalam menempuh j alan pembangunan adalah t it ik
t olak model organic st at isme. Hampir seluruh negara dunia ket iga
dihadapkan pada pilihan: j alan kapit alis yang berart i pemaksimalan
kepent ingan pribadi, kebebasan dan persaingan unt uk mencapai
ef isiensi ekonomi dan keseimbangan polit ik yang maksimal; at au
Originsof the, European World-Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic
Press, 1974); “The Rise and Future Demise of the W orld Capitalist System: Concept for
Comparative Analysis”, dalam Politics and Society, 5,3 (1975); The Capitalist W orld
Economy (New York: Cambridge University Press, 1979); lihat juga Theda Skocpol,
“W allerstein’s W orld Capitalist System: A Theoretical and Historical Critique,” dalam
American Journal of Sociology 82, no. 5 (1977).
11

Perry Anderson, Passages from Antiquity to Feudalism (London: New Left Books,
1974); Lineages of the Absolutist State (London: New Left Books, 1974).

12

Lihat Hamza Alavi, “The State in Post-Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh,”
New Left Review, 74 (July-August, 1972), John S. Paul, “The State in Post Colonial
Societies: Tanzania,” The Socialist Register (1974) dan “The Unsteady State: Uganda,
Obote and General Amin.” Review of African Political Economy, 5 (January-April,
1976), dan Colin Leys, “The Overdeveloped Post Colonial State: A Reevaluation”, Review
of Affican Political Economy, 5 (January-April, 1976).

|6|

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
j al an sosi al i s–komando yang ber ar t i memaksi mal kan kont r ol
ekonomi dengan perencanaan negara unt uk mencapai masyarakat
polit ik monist ik dan t erint egrasi dengan menghilangkan ot onomi
kelompok-kelompok yang ada dan pembangunan st rukt ur dan nilai
kolekt if . Beberapa negara dunia ket iga dengan t egas menolak
kedua pilihan ini dan menempuh pemecahan korporat isme. Negara
ber t i ndak sebagai “ kepal a kel uar ga” yang ber usaha unt uk
mengat ur dan mengharmoniskan seluruh kepent ingan ekonomi dan
pr of esi . Pemecahan i ni di t andai ol eh negar a yang kuat dan
kecenderungan campur t angan yang kuat di hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat . 13
Tekanan kepada negara dunia ket iga unt uk segera melaksanakan
indust rialisasi adalah t it ik t olak bagi perspekt if -t eorit is negarabirokrat is-ot orit er. Proses dan t ahap indust rialisasi yang dit empuh
negara dunia ket iga past i akan menimbulkan perubahan-perubahan
baik dalam aliansi polit ik t ingkat elit dan masyarakat , maupun
kondisi dan kecenderungan kelompok polit ik dan ekonomi dalam
m asyar ak at . O’ Donnel l m i sal nya m engem uk ak an b et ap a
peningkat an dan deepening (pendalaman) indust rialisasi akan
menimbulkan ket egangan yang t idak bisa dihinkan ant ara negara
dan masyarakat . Dalam perspekt if O’ Donnell sit uasi ini t imbul
karena kerunt uhan yang t ak bisa dielakkan dalam mediasi ant ara
negara dan masyarakat , yang akhirnya menuj u kepada krisis
l egit imasi suat u negara. 14 Peranan negara yang besar dengan
kecenderungan birokrat ik dan ot orit er yang dihubungkan dengan
indust rialisasi yang t erlambat sudah dikemukakan oleh Moore dan
Al exander Ger schenkr on. Moor e m enggam bar kan t ekanan
indust rialisasi sebagai sumber bagi t erj adinya milit erisasi dan
birokrat isasi elit polit ik yang kemudian melancarkan revolusi dari
13
Lihat Phillipe Schmitter, “Still the Century of Corporatism?”, dalam Frederick B. Pike
and ThomasStritch, eds., The New Corporatism: Social-Political Structure in the Iberian
W orld (Notre Dame-London: University of Notre-Dame Press, 1970).
14

Guillermo O’Donnell, “Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and the
Question of Democracy,” dalam David Collier, ed., The New Authoritarianism in Latin
America (New Jersey: Princeton University Press, 1978).

| 7|

at as. Sedangkan Gerschenkron menekankan ket idakmungkinan
negara-negara yang t erlambat melaksanakan indust rialisasi unt uk
melakukan akumulasi modal secara primit if sepert i indust rialisasi
di Inggeris. Unt uk negara-negara ini maka t ekanan bagi akumulasi
modal t elah mengubah negara menj adi agen pembangunan yang
berakibat luasnya pengaruh negara dalam semua aspek kegiat an
ekonomi. 15
Di Indonesia, st udi mengenai negara dan hubungan dinamikanya
dengan masyarakat belumlah berkembang. Tet api t ampaknya
kesadaran akan perlunya melakukan ini sudah ada. Misalnya ini
d i cer m i nk an ol eh t ul i san- t ul i san p end ek yang m encob a
memberikan spekulasi-spekulasi t eorit is pada perkembangan dan
esensi rezim yang muncul set elah 1966, sepert i diaj ukan oleh Rex
Mort imer, Wil l iam Liddl e, Herbert Feit h, Harol d Crouch dan
Dwight King. Spekulasi-spekulasi t eorit is ini masih merupakan
suat u reaksi cepat t erhadap perkembangan polit ik set elah 1966,
dan bukan merupakan suat u usaha unt uk memahami f enomen
negara dalam kait annya dengan kecenderungan polit ik, ekonomi
dan sosial yang kuat dan mendalam yang berkembang dalam
masyarakat pasca kolonial Indonesia. Bent uk spekulasi-spekulasi
t eorit is ini dengan begit u masih merupakan suat u pot ret seket ika
( snap-shot ) dari rezim dan polit ik Orde Baru. Sekalipun demikian
det eksi-det eksi yang mereka lakukan cukup menarik dan memiliki
p ot e n si u n t u k d i k e m b an gk an l e b i h j au h . Bi r ok r at i sasi ,
kompl ikasikompl ikasi pol it ik yang dit imbul kan ol eh t ekanant ekanan pembangunan, kapit alisme, repat rimonialisme, t elah
disinggung sebagai peralat an analisa unt uk memahami rezim Orde
Baru.
Usaha yang secara sadar memusat kan perhat ian pada f enomen
negara di Indonesia dit unj ukkan oleh analisa Richard Robison.
Kegagalan t eori dependensia sebagai peralat an analisa unt uk
memahami ekonomi dan masyarakat dunia ket iga dan gerakan15

Alexander Gerschenkron, Economic Backwardness in HistoricalPerspective
(Cambridge: Harvard University Press, 1962).

|8|

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
ger akan menuj u pendekat an yang mendasar kan di r i pada
konsepkonsep cara produksi dan f ormasi sosial, t elah membawa
Robison unt uk melihat masyarakat dunia ket iga bukan sebagai
p r oses t unggal yang ser i ng d i kem ukakan seb agai p r oses
ket erbelakangan, t et api sebagai bermacam-macam variasi dari
bent uk-bent uk ekonomi dan sosial yang berkembang sesuai dengan
berbagai konf igurasi dari pembent ukan kelas dan pert ent anganpert ent angannya dalam masyarakat . Pikiran-pikiran Robison, yang
j el as diil hami ol eh t eori negara dal am masyarakat perif eral ,
memandang negara sebagai kornponen int egral kasus-kasus khusus
dari f ormasi kelas sosial dan kemungkinan-kemungkinan konf lik
di dalamnya. Dengan keyakinan ini Robison kemudian menunj ukkan
bagaimana negara kapit alis yang t erbent uk di Indonesia–dengan
ci r i - ci r i m em ber i kan kondi si - kondi si bagi ber l angsungnya
akumul asi kapi t al dan member i kan j ami nan keamanan bagi
dominasi sosial kelompok borj uis–t elah melewat i t ahap-t ahap yang
berbeda-beda sesuai dengan t ransf ormasi dalam st rukt ur kelas,
t ingkat -t ingkat produksi kapit alis dan konf lik-konf lik polit ik sej ak
t ahun 1870 sampai 1981. 16
Usaha unt uk memahami negara dengan menggunakan met ode
sej arah konvensional art inya t idak sepert i yang dilakukan oleh
Moore, Perry Anderson, Wallerst ein at au Skocpol–j uga muncul.
Harry J. Benda memperkenalkan pengert ian Beamt enst aat –negara
sebagai mesin birokrasi yang ef isien, dengan penekanan kuat pada
administ rasi, keahlian t eknis dan pembangunan ekonomi; dan
apolit ik sif at nya–unt uk menggambarkan negara-kolonial Belanda
pada periode akhir kekuasaannya di Indonesia. 17 Dalam suat u
art ikel yang lebih merupakan pert anyaan daripada suat u st rukt ur
argument asi, Rut h T. McVey mempersoalkan munculnya kembali
beamt enst aat di masa Or de Bar u. Di per soal kan apakah ada
hubungan yang nyat a ant ara Orde Baru dan masa akhir kekuasaan
16

Richard Robison, “The Transformation of the State in Indonesia,” Bulletin of Concerned
Asian Scholars, 14, 1 (January-Maret 1982).

17

Harry J. Benda, “The Pattern of Reforms in the Closing Years of Dutch Rule in
Indonesia,” Journal of Asian Studies 25, 4 (1966).

|9|

kolonial at au hanya kebet ulan yang superf isial dalam gaya. Kalau
memang ada hubungan yang berart i, apakah it u t erlet ak pada
masalah ekonomi dan masyarakat abad keduapuluh, at aukah it u
t er l et ak pada t unt ut an- t unt ut an i deol ogi s dan or gani sasi
masyarakat yang lebih besar di mana keduanya berada. Kalau
keduanya menekankan hal-hal yang sama sepert i ef isiensi dan
keahlian, apakah it u suat u komit men yang sungguh-sungguh at au
hanya sebagai t openg–kalau sebagai t openg, dimaksudkan unt uk
menut upi apa. Kedua-duanya menekankan legalit as dan demokrasi
konst i t usi onal , sehi ngga per soal annya sampai sej auh mana
beamt enst aat Indonesia bisa dipandang sebagai t ahap menuj u
suat u sist em kekuasaan yang t erbuka. 18
Konsep beamt enst aat ini dikembangkan dalam suat u argument asi
oleh Benedict R. O’ G. Anderson. Dengan menggunakan dikot omi
ant ara di sat u pihak komunit as-bangsa yang dibayangkan ( t he
imagined communit y of nat ion) yang hak dan keabsyahannya
unt uk mandiri t elah dit erima sebagai norma dalam kehidupan
moderen, t elah menemukan keamanan kemandiriannya dalam suat u
negara-unt uk-negara-sendiri (a st at e “ of it s own” ). Tet api di pihak
l ain, negara yang t idak bisa menemukan pengesyahan unt uk
t unt ut an pada wakt u, kerj a dan kekayaan masyarakat hanya dengan
eksi st ensi nya, m enem ukan l egi t i m asi m oder ennya dal am
kebangsaan. Ander son ber ar gum ent asi bahw a hasi l - hasi l
kebij aksanaan Orde Baru paling baik dimengert i sebagai ekspresi
maksimal kepent ingan negara-unt uk-negara-sendiri. Dikemukakan
bet apa kepent ingan negara-unt uk-negara-sendiri t elah berkembang
sej ak kehadiran VOC, kernudian memanif est asikan diri dalam
beamt enst aat di zarnan kolonial dan akhirnya di masa pasca
kolonial dalam negara Orde Baru. Pemimpin-pemimpin nasionalis
yang m ew aki l i kom uni t as bangsa yang di bayangkan at au
k ep ent i ngan r ep r esent at i f d an p ar t i si p at or i t el ah gagal
menggabungkan peranan mereka dengan kepemimpinan negara18

Ruth T. McVey, “The Beamstenstaat in Indonesia,” dalam Benedict Anderson and
Audrey Kahin, eds., Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the
Debate (Ithaca, New York: Comell Modern Indonesian Project, 1982).

| 10 |

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
unt uk-negara-sendiri.

19

Pelaj aran yang mungkin paling pent ing yang bisa kit a t arik dari
t eorit isi-t eorit isi klasik adalah bahwa f enomen negara hanya bisa
kit a pahami kalau f enomen ini kit a hubungkan dengan arus dan
kekuat an sej arah yang mendal am, yang t erungkapkan dal arn
dinarnika polit ik, ekonomi dan sosial dalam suat u periode, arah
dan l i ngkungan sej ar ah t er t ent u m asyar akat yang t el ah
memunculkan negara. Kegagalan f at al t radisi f ungsionalismest rukt ural unt uk menangkap makna pelaj aran ini t elah menyebabkan
bahwa t radisi ini j ust eru t el ah mengaburkan dan membawa
f enomen negara ini ke lat ar-belakang yang t idak t erang. Lebihl ebih et nosent risme kuat t el ah menghal angi t radisi ini unt uk
memahami negara, bukan hanya yang t umbuh di Eropa dan
Amerika, t et api j uga yang t umbuh di kawasan Dunia Ket iga.
Met ode sej arah dan makro sosiologi sekali lagi t elah memperkuat
but ir-but ir yang t elah dit awarkan oleh para t eorit isi klasik. St udist udi negara di kawasan Dunia Ket iga, t erut ama konsep negarabirokrat ik-ot orit er dan t eori negara di masyarakat perif eral, j uga
menunj ukkan bet apa kit a perlu memahami arus dan kekuat an
sej arah yang t elah mencekam masyarakat di kawasan Dunia Ket iga.
Ini t idak lain berart i kit a perlu memahami makna int egrasi kawasan
ini dengan perekonomian dunia dalam wakt u yang cukup panj ang,
yang dengan sendirinya t elah menumbuhkan st rukt ur ekonomi dan
so si al t e r t e n t u y an g m e m b e r i k an c o r ak , b at asan d an
mengkondisikan t umbuhnya negara di kawasan ini.
Jika perspekt if ini dihubungkan dengan st udi mengenai negara di
Indonesi a yang secar a spor adi s t el ah t umbuh, maka konsep
beamt enst aat yang t el ah di per kenal kan ol eh Benda dan
dikedepankan kernbali oleh McVey mungkin akan lebih berart i
lagi kalau dihubungkan dengan st rukt ur perekonornian dan sosial
yang t umbuh sej ak zaman kolonial. Pert anyaan McVey: apakah
19

Benedict R.O’G. Anderson, “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in
Comparative Historical Perspective,” Journal of Asian Studies62, 3 (May 1983); Imagined
Communities: Reflectionson the Originsand Growth of Nationalism (London: New Left
Books, 1983).

| 11 |

daya t ahan beamt enst aat t erlet ak pada masalah ekonomi dan
masyarakat abad keduapuluh, at aukah pada t unt ut an-t unt ut an
ideologis dan organisasi masyarakat yang lebih besar di mana
keduanya berada, nampak sangat relevan sekali. j ika dihubungkan
dengan skema pendekat an Anderson, maka masalah yang perlu
dipersoalkan t ent unya adalah: kepent ingan negara-unt uk-negarase n d i r i t e n t u n y a m e m i l i k i l ogi k a y an g b i sa m e m ah am i
ket ergant ungannya pada suat u pengat uran ekonomi, memahami
bahaya dan kemungkinan yang t erkandung dalam suat u sist em
perekonomian, at au dengan kat a lain kepent ingan negara-negaraunt uk-negara it u j uga berart i kepent ingan unt uk memilih j enis
at au sist em perekonomian. Dikembangkan lebih j auh, maka soalnya
adalah bahwa ada j enis-j enis perekonomian dan sosial t ert ent u
yang memungkinkan bisa dikej arnya kepent ingan negaraunt uknegar a-i t u-sendi r i . Di si si l ai n dar i skema Ander son, yai t u
kepent i ngan kebangsaan- yang- di bayangkan, t ent unya bi sa
dipersoalkan bahwa kekalahan kepent ingan ini t idak bisa hanya
dilihat dalam t ingkat manuver polit ik saj a, t et api harus didudukkan
dalam kerangka yang lebih luas: kekuat an sosial dan ekonomi
m asy ar ak at y an g m e n d u k u n g k e p e n t i n gan k e b an gsaan yangdi bayangkan, yang dal am anal i sa l ebi h j auh t ent unya
merupakan akibat dan hasil proses perekonomian dan sosial yang
mendalam dan berj angka panj ang.
Dari VOC sampai Beamtenstaat

Jika kit a menerima argument asi bahwa VOC secara inst it usional–
yait u lembaga yang membangun dan memelihara t ent ara, membuat
perj anj ian, menarik paj ak, menghukum pelanggar hukum dan
sebagainya merupakan cikal-bakal negara moderen di Indonesia,
m aka m enar i kl ah unt uk m enyadar i bahw a ci kal - bakal i ni
merupakan suat u compagnie (company; perusahaan). 20 Jika kit a
melihat perubahan kebij aksanaan dan kelembagaan yang silih
20

Mengenai sumber dan tinjauan yang agak terperinci mengenai periode kolonial
diberikan dalam Farchan Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah
Catatan Penelitian,” Prisma XIII, 2 (Februari 1984).

| 12 |

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
bergant i dari “ negara” yang dipimpin ol eh J. P. Coen sampai
“ negara” Hindia Belanda yang dit aklukkan oleh t ent ara “ negara”
Jepang pada 1942, maka nampaklah bahwa ciri dan wat ak negaranegar a i t u t et apl ah m enam pi l kan di r i ada m ul a sebagai
compagnie. VOC lahir pada mulanya dan dasamya adalah unt uk
kepent ingan ekonomi. Hukum ekonomi VOC mengat akan bahwa
dengan modal t erbat as, unt uk memperoleh keunt ungan sebesarbesarnya adalah dengan menggunakan sist em penyerahan-paksa
( f orced del ivery) dan monopoli kekuasaan dalam perdagangan
l uar neger i . Penakl ukan kekuasaan, per l uasan daer ah dan
pemeliharaan t ent ara, bukanlah demi perluasan negara qua negara,
t et api unt uk memenuhi l ogika VOC, at au l ebih umum l ogika
ekonomi kolonialisme pada permulaan abad ket uj uhbelas. Pent ing
unt uk dicat at , bahwa VOC bangkrut dah hancur bukanlah karena
perang unt uk perluasan kekuasaan at au penaklukan, t et api karena
korupsi dan ket eledoran. Ini bisa digunakan unt uk menunj ukkan
bahwa “ st af -negara” VOC t elah memiliki kepent ingan-kepent ingan
ekonomi yang dikej ar melalui korupsi dan pembukuan yang kacau
di dal am “ negara” VOC.
Ket ika revolusi Perancis t elah menimbulkan banyak perubahan di
Eropa, Daendels, seorang pemuj a Napoleon, memperkenalkan
“ negara” Eropa ke pulau Jawa, dari 1808 sampai 1811. Set elah
invasi Inggeris dengan prinsip-prinsip yang hampir sama, Raf f les,
seorang pegawai kolonial Inggeris yang banyak pengalaman, j uga
memperkenalkan “ negara” Eropa. Prinsip-prinsip hukum yang di
Eropa merupakan bagian pokok dalam t ransf ormasi kapit alisme
t el ah dipindahal ihkan ol eh kedua t okoh negara kol onial ini.
Sekal i pun benar bahw a pol a-pol a yang di kembangkan ol eh
Daendels dan Raf f les ini kemudian dit eruskan oleh “ negara” Hindia
Bel anda, namun per l uasan “ negar a” Er opa i ni masi h bel um
ber kembang dengan pesat . Lest ar i nya kekuasaan-kekuasaan
t radisional dan bel um t erart ikul asinya kepent ingan ekonomi
kolonial mungkin merupakan sebab-sebab pokok sit uasi ini. Hal
kedua bisa dit unj ukkan oleh def isit “ negara” Hindia Belanda yang
kronis sej ak permulaan 1820-an.

| 13 |

Berdasarkan perkiraan j ika negara menggunakan model yang
diperkenalkan Raf f les, maka pendapat an negara akan t erus t urun;
pert imbangan akan t imbulnya ancaman persaingan dengan Inggeris
t erut ama dalam perdagangan dan pengangkut an kapal, sert a
kenyat aan masih lemahnya modal swast a di negeri Belanda, maka
t radisi l ama st aat bedr i j f dibangkit kan kembal i. Tradisi yang
memperlakukan daerah koloni sebagai perusahaan negara ini
diwuj udkan, dengan pernbent ukan NHM ( Nederl andsche Handel
Maat schappi j ) pada 1825, Javasche Bank pada 1825 dan
dilaksanakannya sist em t anam paksa (cul t uur-st el sel ) pada t ahun
1830. NHM bert indak sebagai agen t unggal negara dalam impor
dan ekspor; Javasche Bank unt uk menangani masalah-masalah
f inansial ; sedangkan sist em t anam paksa unt uk memberikan
kerangka inst it usional, organisasi dan polit ik. Perubahan mendalam
pelaksanaan st aat bedrij f t erhadap hubungan ant ara negara dan
sekt or non-negara, kapit alisme dan t erhadap negara it u sendiri,
menunj ukkan bahwa dalam wakt u lebih dari empat puluh t ahun,
“ negara” Hindia Belanda t elah berkembang berkait -berkelindan
dengan pert umbuhan modal, kapit alisme di Jawa dan t idak kalah
pent ingnya pasar yang luas di Eropa unt uk barang-barang ekspor
dari Jawa.
Perubahan pent ing dalam periode yang secara langsung mendukung
per t umbuhan “ negar a” Hi ndi a Bel anda adal ah t er ci pt anya
kapit alisme perif eral. Berkat perlindungan NHM, Javasche Bank
dan sist em t anam paksa, maka t umbuhlah sedikit demi sedikit
sekt or swast a. Kemenangan kelas menengah dan kaum liberal di
negeri Belanda t elah memperkuat sekt or swast a yang nampak
t erasa pada 1860-an. Pada saat inilah “ negara” Hindia Belanda
mulai menyadari kepent ingan dan bidang-bidang usahanya dan
t ent unya t idak t erlepas dari logika kapit alisme perif eral, yait u
memperlancar dan mengembangkan usaha swast a. Tindakan hukum
yang pent ing dalam periode ini adalah pengesahan Undang-undang
Agraria pada 1870 dan Perat uran Persewaan pada 1871. Kebebasan
memperoleh t anah dan arus kuat permodalan kelas menengah
Belanda yang berkepent ingan unt uk ikut dalam perekonomian

| 14 |

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
Hindia Belanda t elah memungkinkan perusahaan swast a unt uk
mengi mpor mesi n- mesi n dan dengan demi ki an menambah
pr oduksi secar a subst ansi al i ni t ent unya di per kuat dengan
gelombang kemaj uan perbankan pada t ahun 1850-an dan 1880an.
Pada saat inilah “ negara” Hindia Belanda bisa mengonsent rasikan
diri unt uk mengembangkan elemen-elemen pent ing dari sosok
kehadirannya: birokrasi dan administ rasi hukum. Dalam periode
ini negar a Hindia Bel anda mengal ami suat u modif ikasi yang
ekst ensi f secar a ver t i kal maupun hor i zont al dal am apar at
bi r okr asi nya. Hukum dan per undang- undangan pun m ul ai
dikeluarkan sebagai akibat pengaruh liberalisme yang menekankan
hukum dan orde, persamaan di depan hukum, pendidikan dan
kesej aht eraan umum. Perangkat perundang-undangan dan hukum
ini bukan saj a unt uk memberikan perlindungan kepada pegawaipegawai Eropa dan pribumi, t et api unt uk kaum pribumi di t ingkat
desa.
Krisis ekonomi Hindia Belanda pada pert engahan 1880-an–suat u
krisis yang bersebab di pasaran Eropa–t elah mengundang kembali
peranan negara dalam perekonomian. Pada periode it u negara
bert anggung j awab bukan hanya pada masal ah administ rat if
mempert ahankan hukum dan ket erat uran, memberikan f asilit as
dan kesej aht er aan um um - t et api j uga m engam bi l kem bal i
pcranannya yang pent ing dalam ekonomi. Ini diwuj udkan dalam
part isipasi langsung usaha perkebunan melalui perusahaan negara
NHM, eksplorasi dan penanaman modal dalam usaha yang prospek
keunt ungannya t idak cukup unt uk menarik modal swast a sepert i
pert ambangan, kehut anan dan pembangunan prasarana sepert i
pengangkut an keret a api, j alan dan sist em irigasi. Nampaklah di
sini bet apa peranan “ negara” Hindia Belanda berurusan langsung
dengan penyelamat an dan pengembangan perekonomian Hindia
Belanda.
Di bawah ideologi kolonial “ Polit ik Et is” negara mulai berkembang
ke arah konsepsi yang luas dalam f ungsinya. Pembaruan polit ik

| 15 |

dan administ rasi cara pemerint ahan mulai diperkenalkan. Di bawah
t em a- t em a um um ef i si ensi , kesej aht er aan dan ot onom i ,
pembaruan it u mel iput i masal ah desent ral isasi, administ rasi
depart emen dan t erit orial, dan pengikut sert aan pribumi dalam
birokrasi dan pengambilan keput usan. Pada saat inilah perluasan
aparat ur negara mulai t erasa benar dalam masyarakat . Pendidikan,
agama, i r i gasi , per bai kan per t ani an, kesehat an, ekspl oi t asi
mineral, dan penanggulangan masalah-masalah polit ik–semua ini
dit angani oleh aparat negara dengan logika mempert ahankan suat u
perekonomian yang mendukung t umbuhnya kapit alisme perif eral.
Hanya dengan mempert ahankan sist em ini–suat u sist ern di mana
modal swast a bisa berkembang dengan pesat dan hubungan dengan
pasar di Eropa t erj amin–maka negara bisa memperoleh pendapat an
unt uk m em bi ayai kegi at an- kegai t annya. Di l i hat dar i segi
pendapat an dan pol a pembel anj aannya, memang nampaknya
negara sepert i berdiri unt uk dirinya sendiri; t et api dilihat dari
keberadaan negara dalam suat u t at a perekonomian makro, maka
nampaklah bahwa negara Hindia Belanda bukanlah berada unt uk
dirinya sendiri. Malahan bisa dikat akan bahwa negara Hindia
Belanda bisa bert ahan secara f inansial, j ust eru karena sist em
perekonomian makro yang dipert ahankan it u. Lebih-lebih lagi
kalau kit a ingat perspekt if ideologis Eropa yang dominan pada
wakt u it u, maka memang demikianlah peranan negara dalam suat u
sist em kapit alisme yang sedang t umbuh. Perlu j uga dicat at di sini
bahwa perkembangan aparat dan birokrasi negara Hindia Belanda
j uga dit ekan perkembangannya unt uk menanggulangi akibat negat if
yang dit imbulkan oleh perkembangan kapit alisme perif eral sej ak
t ahun 1830-an, yang set elah t ahun 1910 t ak bisa dit erima lagi
oleh ideologi kolonial mut akhir: Polit ik Et is. Dengan mengat akan
ini bukanlah berart i kit a melet akkan negara Hindia Belanda semat amat a sebagai pelayan kapit alisme perif eral. Negara j uga bisa dan
mungkin mengembangkan kepent ingan-kepent ingannya sendiri;
t et api kepent ingan-kepent ingan ini t idak bisa t idak harus dikej ar
di dalam suat u sist em sosial dan ekonomi t ert ent u yang mendukung
pengej aran-pengej aran kepent ingan-kepent ingan it u. Ini bisa kit a
lihat nant i dalam perkembangan negara pada masa pasca-kolonial.

| 16 |

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
Nasionalisme dan Masyarakat

Dalam periode sej ak sekit ar t ahun 1910 sampai 1965 masyarakat
at au sekt or nonnegara di Jawa, kemudian j uga di luar Jawa dan
akhirnya seluruh Indonesia, mengalami polit isasi dan ideologisasi
yang mendalam. Gerakan polit isasi dan ideologisasi ini berasal
dari kelompok at as golongan pribumi yang merupakan campuran
dari kaum bangsawan, int elekt ual pendidikan Barat , pemimpin
agama dan anggot a kelompok pedagang dan komersial yang t elah
mewakili kelahiran borj uis pribumi. Mereka kemudian menemukan
d i r i m e r e k a se b agai p e m i m p i n sosi al d an p ol i t i k y an g
m em per kenal kan m et ode bar u dal am m engor gani sasi kan
penget ahuan dan pemikiran dalam hubungannya dengan dunia
moderen, t erlepas dari kerangka “ negara” Hindia Belanda. Hal
pent ing yang t erj adi dal am proses pol it isasi dan ideol ogisasi
pr ibumi ini adal ah bahwa kepada masyar akat pr ibumi t el ah
diperkenalkan art i prakt ek diskriminasi dan eksploit asi dalam
pendidikan, kesempat an ekonomi, prof esi, administ rasi hukum
dan perundangundangan, dalam perspekt if luas, yait u kolonialisme.
Kenyat aan bahwa mobilisasi ke at as kelompok-kelompok yang
akt if dalam masyarakat pribumi pada periode 1910-an t idak bisa
dikej ar melalui bidang ekonomi–t ent unya karena sekt or moderen
dikuasai oleh perusahaan negara dan asing, dan sekt or perant ara
oleh golongan Cina–dan pula t idak bisa melalui birokrasi perusahaan
asing dan negara, maka kelompok-kelompok ini dengan sendirinya
menyadari perlunya peduangan polit ik dengan mempersoalkan
legit imasi negara Hindia Belanda sert a orde sosial ekonomi kolonial
yang mendukungnya. Kurang lebih inilah wat ak nasionalisme yang
t umbuh pada periode it u. Sarekat Dagang Islam (SDI) dan t okoh
pendirinya, Raden Mas Tirt o Adisoerj o, adalah represent asi t ipikal
gerakan nasionalisme ini. SDI yang- pada mulanya merupakan
asosi asi koper asi dar i pedagang-pedagang bat i k Jaw a yang
dibent uk demi menghadapi persaingan dengan golongan Cina dan
kemudian muncul kembali sebagai organisasi polit ik, Sarekat Islam,
j uga menunj ukkan bet apa kesul i t an-kesul i t an ekonomi yang
dihadapi gol ongan pribumi t el ah menj el ma menj adi gerakan

| 17 |

polit ik.
Konsekuensi penolakan pada legit imasi negara dan orde sosial
ekonomi kolonial adalah bahwa kelompok-kelompok yang akt if
dal am ger akan-ger akan kemasyar akat an i ni di t ekan unt uk
memberikan suat u alt ernat if kehidupan kemasyarakat an t anpa
negara Hindia Belanda at au t at a susunan kemasyarakat an t anpa
kolonialisme. Pada saat inilah pemikiran-pemikiran Islam moderen,
demokrasi liberal dan sosialisme mulai mengakar dalam masyarakat
sebagai prospek masa depan kemerdekaan polit ik dan ekonomi.
Inilah peranan pent ing yang dilakukan kelompok int elekt ual didikan
Barat dan prof esi, yait u memberikan wawasan spekt rum ideologi
dan polit ik yang luas.
Ket egangan ant ara masyarakat pribumi dan negara Hindia Belanda
t erj adi ket ika keduanya mengerahkan kekuat an mereka masingmasing. pemimpin-pemimpin sosial dan polit ik t elah memperkuat
diri dengan pembent ukan part ai polit ik dan organisasi sosial unt uk
memobilisasi massa dalam berbagai sekt or masyarakat kot a dan
pedesaan. Inilah pula yang mewarnai gerakan nasionalisme pada
periode dasawarsa kedua sampai keempat abad keduapul uh:
munculnya bermacam-macam organisasi sosial dan polit ik dengan
orient asi polit ik dan ideologi yang kuat . Ket iadaan kebij aksanaan
yang menyeluruh dan dalam usahanya unt uk mempert ahankan diri,
keamanan dan ket erat uran orde kolonial, negara Hindia Belanda
mendasarkan diri pada kebij aksanaan-kebij aksanaan individual,
ad hoc dan j angka pendek, yang pada dasarnya bersif at pelarangan
dan represi, penekanan-penekanan langsung, pengasingan dan
penangkapan. Gubernur Jendral memiliki suat u ot orit as unt uk
mengasingkan, menangkap t anpa ot orisasi pengadilan dan melarang
penerbit an yang dipandang bert ent angan dengan kepent ingan
umum. Perkumpulan bebas dan pert emuan–yang merupakan media
pent ing bagi unsur-unsur kemasyarakat an unt uk memperkuat diri
secara polit ik dan ideologis–secara ket at dikont rol dengan ancaman
penahanan dan pemenj araan. PID ( Pol it ieke Inl icht ingen Dienst )
dan KNIL ( Koni nkl i j k Neder l andsch-Indi sch Leger ) merupakan
bagian pent ing bagi negara Hindia Belanda unt uk mengusahakan

| 18 |

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
keamanan dan ket erat uran ( rust en orde).
Negara Hindia Belanda yang secara st rukt ural t elah t erasing dari
masyarakat pribumi kini dipersoalkan legit imasinya dan menj adi
def ensif dan dengan t erpaksa memperkembangkan dan akhirnya
mendasarkan diri pada birokrasi dan aparat polit ik. Kegagalan
Vol ksr aad unt uk ber f ungsi secar a ef ekt if sebenar nya adal ah
kegagalan negara dalam mencipt akan mediasi dengan masyarakat
pribumi dan dengan begit u mengat asi ket erasingannya. Sement ara
it u masyarakat yang t erasing dari peranan-peranan yang berart i
dalam ekonomi t erus memperkuat dirinya dengan polit ik dan
ideologi. Nampaklah di sini bet apa birokrasi dan aparat polit ik
negara t elah berkembang bukan sebagai akibat rangsangan int ernal
negara di ruang kosong; t et api dari polit isasi dan ideologisasi
unsur-unsur masyarakat .
Unsur-unsur kemasyarakat an ini t erus bergerak dan berkembang
dal am r uang l i ngkup pol i t i k dan i deol ogi . Dal am pr oses i ni
pemimpin-pemimpin mereka yang muncul t el ah menghadapi
penahanan, pengadilan dan pengasingan yang dilakukan oleh
negara Hindia Belanda. Depresi t ahun 1921 t elah memaksa negara–
demi kel angsungan perekonomian kol onial , dan bukan unt uk
kepent ingan masyarakat pribumi–unt uk memberikan kesempat an
k e p ad a p r i b u m i b e r p e r an an d al am e k o n o m i , d e n gan
kebij aksanaan-kebij aksanaan yang berorient asi ke dalam dan
kemandi r i an ekonomi . Namun t i dak l ama set el ah i t u dan
kebij aksanaan baru negara ini belum secara nyat a memberikan
hasil, negara it u sendiri t elah dihancurkan oleh kekuat an negara
Jepang t ahun 1942. Sej ak saat ini sampai t ahun 1965 masyarakat
t elah mengalami proses polit isasi dan ideologisasi maksimal. Ini
t el ah d i t u n j u k k an ol eh k eb er h asi l an m asyar ak at u n t u k
menempat kan wakil mereka dal am l embaga-l embaga negara
pribumi yang, secara f ormal memperoleh kedaulat annya pada
t ahun 1949.
Nam u n k e m e n an gan p o l i t i k d an i d e o l o gi u n su r - u n su r
kemasyarakat an ini t et ap berada dalam landasan perekonomian

| 19 |

kolonial yang belum berubah, malahan lebih j elek. Dist ribusi
kekuat an ekonomi, pola pemilikan aset -aset produkt if , alokasi
f akt or-f akt or produksi dan kesent ralan peranan impor dan ekspor
t elah menunj ukkan bet apa st rukt ur kapit alisme perif eral yang
t el ah ber kembang sej ak abad kesembi l anbel as masi h t et ap
bert ahan dan t ent unya dalam keadaan rusak. Kerusakan ini pert ama
disebabkan oleh dislokasi dan st agnasi yang diderit a oleh pasaran
dunia akibat Perang Dunia Kedua; dan pada t ingkat domest ik,
disebabkan oleh kehancuran prasarana, organisasi perekonomian
dan keuangan akibat gej olak polit ik dari 1942 sampai 1949.
Landasan perekonomian yang sama t ent unya menimbulkan akibat
yang sama bagi unsur-unsur masyarakat : ket erasingan mereka dari
peranan-peranan yang berart i dalam perekonomian, t erlepas dari
kenyat aan bahwa secara polit ik dan ideologi mereka t elah menang.
Dalam periode t ahun 1950-1965 ket erasingan ini t elah dicoba unt uk
diat asi dengan dua cara: pert ama, dengan t et ap mempert ahankan
berlangsungnya kapit alisme perif eral, t et api dengan pengusahaan–
melalui kebij aksanan negara, bant uan kredit dan f asilit as–agar
unsur-unsur masyarakat pribumi berperanan di dalamnya dan
dengan begit u mengubah dist ribusi kekuat an ekonmi dan pola
pemilikan aset -aset produkt if ke t angan masyarakat pribumi.
Kedua, dengan cara menghancurkan kapit alisme perif eral, melalui
pemut usan hubungan dengan pasar int ernasional, dan secara polit ik
mengubah pemilikan aset -aset produkt if dan dist ribusi kekuat an
ekonomi , ser t a menggant i kan pasar dengan si st em ekonomi
komando. Namun kekukuhan dan ket egaran st rukt ur kapit alisme
perif eral t elah menghalangi kedua usaha t ersebut .
Halangan st rukt ural kapit alisme perif eral t erhadap kedua usaha
t ersebut pada prinsipnya t erwuj ud dalam bent uk st agnasi dan
dislokasi perekonomian secara keseluruhan bila hubungan dengan
pasaran int ernasional mengalami kesulit an at au diput uskan sama
sekal i. Ini nampak j el as sekal i dal am perkembangan set el ah
selesainya boom Perang Korea pada 1952 sampai 1966. Usaha
unt uk m engat asi k et er asi ngan m asyar ak at p r i b um i d ar i
perananperanan pent ing dalam perekonomian melalui cara yang

| 20 |

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
pert ama bukan hanya t elah gagal, t et api malahan t elah mengikis
habis dasardasar dan kekuat an unsur-uhsur masyarakat unt uk
m em per t ahankan supr em asi pol i t i k dan i deol ogi m er eka.
Sedangkan cara kedua yang mulai dilancarkan pada akhir t ahun
1957 pada nyat anya bukan memperkuat unsur-unsur masyarakat
dalam peranan-peranan ekonomi, t et api t elah membuka j alan
bagi peranan luas sekt or negara.
Negara dan Ekonomi

Ket ika akhirnya pada bulan Agust us 1950 Negara Kesat uan Republik
Indonesia lahir secara de f act o “ negara” boleh dikat akan belumlah
lahir, at au set idak-t idaknya masih t eramat lemah: birokrasi sipil
yang koheren belum t egak, sement ar it u t ent ara masih t erpecahpecah dal am ber macam-macam kel ompok yang ser ing t el ah
mel et us dal am keker asan. Sosok “ negar a” masi h kabur dan
t enggel am dal am kegaduhan “ masyar akat ” yang bar u saj a
mengalami revolusi, polit isasi dan ideologisasi yang maksimal.
Dalam wakt u kurang lebih delapan t ahun menj elang t ahun 1950 di
Indonesia, khususnya di Jawa, t elah bert arung t iga “ negara” :
Hindia Belanda, Jepang dan t ent unya “ negara” Republik Indonesia.
Negara yang t erakhir ini t ent unya sangat lah lemah mengingat
kekuat an dirinya lebih t ergant ung pada unsur-unsur masyarakat
yang t erwakili dalam diri pemimpin-pemimpin nasionalis daripada
kepada unsur-unsur negara moderen. Dalam revolusi sej ak 1945
sampai 1950 malahan j ust eru unsur-unsur masyarakat yang t elah
mempert ahankan “ negara” Republik melalui organisasi perj uangan
non-negar a. 21 Suasana sepert i ini masih nampak j el as ket ika
Indonesia memasuki t ahun pert ama masa pasca-kolonial. Hanya
set elah periode dari 1952 sampai 1959, dalam periode mana unsurunsur negara, t erpent ing di ant aranya adal ah t ent ara, t el ah
mengalami suat u proses krist alisasi polit ik, sosial dan ekonomi,
suasana “ negara” di bawah “ masyarakat ” it u berubah secara
dramat is.
21

Lihat Benedict R.O’G. Anderson, “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in
Comparative Historical Perspective,” halaman 480-481.

| 21 |

Negara moderen pasca-kolonial Indonesia pert ama-t ama mulai
mengenal sosok kehadiran dirinya secara l ebih t erang dal am
Angkat an Darat yang bersat u. Proses penyat uan Angkat an Darat
dimulai secara nyat a kurang lebih pada pert engahan 1958, secara
se t e l ah Nasu t i o n b e r h asi l m e n gat asi p e m b e r o n t ak an pemberont akan daerah secara milit er. Perkembangan negara yang
menyandarkan diri pada Angkat an Darat yang bersat u ini kemudian
berlanj ut lebih j auh lagi ket ika t ernyat a Angkat an Darat yang
ber sat u i ni j uga ber keyaki nan bahw a i a har us mel akukan
peranannya sendiri dalam bidang polit ik, sosial, ekonomi sert a
bidang-bidang non-milit er lainnya. Pelaksana keyakinan ini dimulai
mendasarkan diri pada Undang-undang Darurat Perang pada bulan
Maret 1957. Periode dari Maret 1957 sampai j uli 1959 adalah
periode yang amat pent ing yang menj elaskan bagaimana negara
pasca-kolonial Indonesia t elah membent uk dan mengembangkan
diri.
Segera set el ah pengel uaran Undang-undang Darurat Perang,
Angkat an Darat sebagai unsur “ negara” masuk ke dalam wilayah
“ masyarakat ” dengan pembent ukan Badan Kerj a Sama ant ara
unsur-unsur Angkat an Darat dengan organisasi-organisasi pemuda
yang berafiliasi pada part ai, kemudian dengan organisasi-organisasi
buruh, t ani dan wanit a, pada bulan j uni 1957. Kemudian Nasut ion
j uga berhasil menyat ukan berbagai-bagai organisasi vet eran ke
dal am organisasi t unggal Legium Vet eran di bawah supervisi
Angkat an Darat . Dalam pesaingan dengan Sukarno, Angkat an Darat
j uga berhasil mendirikan Front Nasional Pembebasan Irian Barat
sebagai organisasi mobilisasi unt uk menggalang unsur dan kekuat an
Angkat an Darat dan masyarakat . Paling pent ing unt uk dicat at di
sini, bahwa dengan Undang-undang Darurat Perang, Angkat an Darat
bisa bert emu, bersat u, dengan dan menghidupkan kembali unsurunsur negara modern yang t ak kalah pent ingnya dengan Angkat an
Darat , yait u birokrasi dan administ rasi sipil. Berdasarkan Undangundang ini Angkat an Darat masuk dan mengawasi aparat ur dan
birokrasi sipil, dan di daerah-daerah komandan-komandan regional
diinst ruksikan unt uk membawa aparat ur dan birokrasi sipil ini

| 22 |

Negara, Masyarakat dan Ekonomi
unt uk mengident if ikasikan diri dengan kepent ingan masyarakat
set empat . Dengan undang-undang ini pula kini Angkat an Darat
bisa mengawasi dan mengont rol unsur-unsur masyarakat yang
t erwakili dalam part ai polit ik, organisasi-organisasi sosial dan
t ent unya pers.
Kehadiran negara yang mulai dirasakan di mana-mana ini kemudian
diikut i oleh suat u perist iwa pent ing yang secara st rat egis membuka
peluang bagi perluasan negara dalam bidang ekonomi. Pada bulan
Desember 1957 t erj adi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing
dan segera set elah it u Nasut ion menginst ruksikan agar perusahaanperusahaan yang dinasionalisasi berada di bawah pengawasan dan
penguasaan Angkat an Darat . Pada bul an Agust us 1958 ket ika
perusahaan-perusahaan asing akan diint egrasikan ke depart emendepart emen pemerint ah Nasut ion memint a persyarat an agar para
perwira senior at au yang t idak memiliki t ugas supaya disalurkan
ke dalam kedudukan manaj emen perusahaan-per