ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI HUKUM TENTANG KEJAHATAN TERHADAP ASAL-USUL PERNIKAHAN MENURUT PASAL 279 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP).

(1)

UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Oleh:

Salamul Huda

NIM: C03211025

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari

ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Program Studi Hukum Pidana Islam

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TRANSLITERASI ... ix

MOTTO ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 11

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II HUKUMAN TAKZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Takzir ... 20

B. Dasar Hukum Takzir ... 23

C. Tujuan Hukum Takzir ... 26

D. Ruang Lingkup dan Pembagian jarimah Takzir ... 27

E. Hukum Sanksi Takzir ... 32


(6)

viii

BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL-USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

A. Poligami di Indonesia ... 50

1. Poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ... 50

2. Poligami menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ... 52

3. Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam ... 53

4. Hukum acara poligami ... 55

B. Tindak Kejahatan Poligami ... 59

1. Pasal 279 ayat 1... 59

2. Pasal 279 ayat 2... 63

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI HUKUM PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN TERHADAP ASAL-USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) A. Analisis Ketentuan Hukum Pasal 279 tentang kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... 66

B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi Hukum Kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan dalam Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA


(7)

v ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil dari penelitian literatur tentang Analisis Hukum Pidana terhadap Sanksi Hukum tentang Kejahatan terhadap asal-Usul Pernikahan menurut Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan menjawab pertanyaan bagaimana ketentuan hukum KUHP pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan serta analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan KUHP.

Penilitian ini adalah kajian pustaka merupakan analisis hukum tentang tidak pidana perkawinan dalam pasal 279 tentang kejahatan terhdapa asal-usul pernikhan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dianalisis dengan hukum pidana Islam dengan menggunakan metode hukuman takzir yaitu memberikan hukuman pidana dengan sanksi takzir yang dalil sanksi pidana tidak ditentukan dalam Alquran dan Hadis tetapi dentukan oleh penguasa terkait dengan hukuman sesuai dengan syarat-syarat didalamnya.

Hasil penelitian menyimpulkan terkait pertanyaan dalam rumusan masalah pertama, ketentuan hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan menyebutkan bahwa pelaku yang memenuhi unsur mengadakan perkawinan, mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada, mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain, adanya penghalang yang sah. Kejahatan tersebut sesuai dengan pasal 279 diancam pidana penajara 5 tahun melakukan pernikahan mengetahui adanya penghalang yang sah dan 7 tahun melakukan pernikahan menyembunyikan penghalang yang sah. Kedua, penulis menyatakan bahwa melakukan pernikahan tanpa ijin istri pertama merupakan tindak pidana dengan metode yang mengakibatkan mendapatkan hukuman takzir bahwa dalam analisis pidana islam ini merupakan jarim@ah yang menyinggung hak perorangan (individu). Sanksi takzir yang diberikan dalam pelaku tindak pidana tersebut ialah penjara yang ditentukan oleh penguasa yang disebut hukuman takzir.

Kepada pihak pemerintah mampu mensosialisasikan dan tegas dalam aturan berkaitan dengan perkawinan serta masyarakat melakukan perkawinan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesi agar mendapatkan perlindungan hukum.


(8)

BAB III

POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN

ASAL-USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM

PIDANA

A. Poligami di Indonesia

1. Poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein atau gamos artinya kawin atau perkawinan. Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang. Atau Perkawinan Poligami merupakan sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama.

Tunisia adalah satu-satunya negara Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Fatwa dan tafsir Abduh yang dipegang Presiden Tunisia Bourguiba pada tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang (UU) yang melarang poligami. Namun, Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga melarang poligami.

UU Tunisia yang tegas dan sangat berani melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua negara Muslim di dunia melegalisasi


(9)

poligami, seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929), Maroko (1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim lain.1

Poligami di Indonesia juga disahkan Sesuai Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :

· Ayat 1 Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.2

Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin pengadilan.

· Ayat 2a Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan

· Ayat 2b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.3

Ketentuan diatas merupakan dasar untuk melakukan poligami di Indonesia walapun menggunakan asas monogami dibuka juga melakukan poligami dengan syarat yang sudah diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia adapun koondisi yang dapat dijadikan alasan pengajuan poligami ;(a). Sakitnya istri yang tidak bisa disembuhkan, (b). Tidak mampunya istri memberikan keturunan, dan, (c). Tidak mampunya istri melakukan tugasnya sebagai istri.

1Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum keluarga, Pidana & Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013), 30. 2

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 3


(10)

Sementara syarat syarat yang harus dipenuhi suami ketika melakukan poligami menangkup ; (a). Kemampuan suami untuk berlakuk adil, (b). Kemampuan finansial suami, dan (c). Adanya ijin istri. Dalam pasal berikutnya ketika istri tidak ada kabar dalam jangka waktu dua tahun maka tidak perlu melakukan ijin pada istri.

2. Pelaksanaan poligami menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.

Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang Pelaksanaan poligami Atas UUP Nomor 1 tahun 1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu :

Pasal 40

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

· bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

· bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

· bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

2. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.

3. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja atau.

ii. surat keterangan pajak penghasilan atau.

iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

4. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan ntuk itu.


(11)

Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43

Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

3. Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam.

Dalam KHI ketentuan beristri lebih dari satu orang tertera dalam Bab IX mulai pasal 55 sampai 59. Dalam KHI. Disebutkan bahwa batasan seorang suami yang hanya boleh menikah sampai empat orang istri saja. Hal itu pun juga dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 55, berisi:

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Seorang suami yang hendak beristri lagi harus mendapat izin dari Pengadilan Agama untuk mendapatkan kekuatan hokum yang sah. Hal ini diatur dalam pasal 56, yaitu:

1. Suami yang hendak beristri lebh dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadila Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan No. 9 Tahun 1975.


(12)

3. Perkawinanyang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memunyai kekuatan hukum.

Dalam hal perizinan, seorang suami akan mendapatkan izin dari

Pengadilan Agama jika terdapat suatu keadaan yang sesuai dengan ketentuan. Hal ini diatur daam pasal 57, yaitu:

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2. Istri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sebelum Pengadilan Agama memberikan izinnya, juga harus dipenuhinya suatu persyaratan yang sudah ditentukan. Hal ini diatur daam pasal 58, yaitu:

1. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pegadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 UU No. 1/ 1974, yaitu:

a. Adanya persetujuan istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No 9/1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding Pengadilan Agama.

3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Dalam hal tidak diberikannya izin suami oleh pihak istri diatur dalam pasal 59, yaitu:

Dalam hal istri tidak mau mamberikan peretujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur


(13)

dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

4. Hukum Acara Poligami.

Permohonan ijin beristri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5 UU Nomor 1 tahun 1974, pasal-pasal 40 – 44 PP Nomor 9 tahun 1975, pasal 55-59 Kompilasi hukum islam.

Tata cara permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut;4

A. Poligami harus ada ijin dari Pengadilan Agama.

a. Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang (poligami) harus mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan Agama (Pasal 56 ayat (1) KHI).

B. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama.

a. Permohonan ijin untuk beristri lebih dari seorang diajukan kepada

Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1)UU No.1/1974). C. Surat Permohonan.

a. Surat permohonan ijin beristri lebih dari seorang harus memuat: i. Nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan

termohon, yaitu yaitu istri/istri-istri;

ii. Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang;

4Arta Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,


(14)

iii. Petitum.

b. Permohonan ijin Poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada (diperlukan) persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di Kepanitraan Gugatan dan didaftarkan dalam Register induk Perkara Gugatan.

D. Pemanggilan pihak-pihak.

a. Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan istri ke persidangan.

b. Pemanggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.

E. Pemeriksaan.

a. Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat

permohonan beserta lampiran-lampirannya (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/1975).

b. Pada dasarnya , pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, Pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 ayat (1) UU No. 14/1970).


(15)

F. Upaya damai.

a. Pada sidang pertama pemeriksaan ijin poligami, Hakim berusaha mendamaikan (pasal 30 ayat (1) HIR).

b. Jika mencapai perdamaian, perkara di cabut kembali oleh pemohon.5 G. Pembuktian.

a. Pengadilan agama kemudian memeriksa mengenai :

i. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu;

(1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. (2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

(3) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

ii. Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri , baik persetujuan lisan maupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang.

iii. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:

(1)Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tanda tangani oleh bendahara tempat bekerja, atau

(2)Surat keterangan pajak penghasilan; atau

(3)Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

5


(16)

i. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. 2. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini

harus dipertegaskan dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.

3. Persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:

a.Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian;atau

b.Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun;atau

c.Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan Agama.

H. Putusan

a. Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwacukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seseorang , maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.

b. Terhadap putusan ini , baik istri maupun suami dapat mengajukan banding atau kasasi.6

6


(17)

I. Biaya perkara

a. Biaya dalam perkara ini dibebankan kepada pemohon (pasal 89 ayat (1) UU No.7/1989)

J. Pelaksanaan poligami

a. Pegawai pencatatan nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum ada ijin dari Pengadilan Agama yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap.

B. Tindak Kejahatan Perkawinan

1. Pasal 279 Ayat 1.

Pada dasarnya, KUHP tidak terlepas dengan aturan aturan yang lain perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan hukum masing-masing agamanya adalah sah. Demikian ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Ini berarti walaupun pernikahan pria dan wanita tersebut hanya dengan sesuai dengan agamanya, pernikahan tersebut tetap sah. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam KUHP BAB XII Kejahatan Asal Usul Pernikahan kita dapat mencermati Pasal 279 ;


(18)

Ke- 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.

Ke-2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1

menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3. Pencabutan hak berdasakan Pasal No. 1- 5 dapat dinyatakan.7

Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (1) KUHP yaitu:

1. Unsur Subyektif yaitu “barang siapa”. Barangsiapa ini menyebutkan

orang sebagai subyek hukum yanng dapat dimintai pertanggungjawaban didepan

hukum. Unsur “barangsiapa” harus memenuhi kecakapan hukum baik secara

hukum pidana maupun secara perdata.

2. Unsur Obyektif yaitu;

a. Mengadakan perkawinan.Unsur ini menyebutkan seorang suami yang menikah lagi dengan wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (1) UUP).

b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini menyebutkan seorang suami yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan pada hurup (a), tapi ia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang dalam ikatan perkawinan sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (2) UUP.


(19)

c. Mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain.Unsur ini menyebutkan calon mempelai pasangannya mengetahui bahwa calon pasangannya masih dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai maksud Pasal 2 ayat (2) UUP.

d. Adanya penghalang yang sah. Unsur ini menyebutkan bahwa kedua calon mempelai memang sudah mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka langsungkan memiliki halangan yang sah, karena calon suaminya masih dalam ikatan perkawinan yang sah.

Unsur utama dalam pasal 279 ayat (1) ialah:

1. Perkawinan-perkawinan yang menjadi penghalang.

Dalam point ini membahas pasal 279 ayat 1 butir Ke-1 KUHP tentang kejahatan asal usul pernikahan;

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:

Ke- 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah

ada menjadi penghalang yang sah untuk itu8.

Penjelasan pasal diatas menerangkan dikenakan pasal tersebut ketika sesorang melakukan perkawinan dengan sengaja mengetahui ada penghalang dalam melakukan perkawinan. Dari sini dapat dipahami pasal ini lebih membahas terkait pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan UU No 1/1974. Walaupun dalam hukum Islam diperbolehkan poligami tetapi pelaksanaanya harus


(20)

sesuai dengan Undang Undang tersebut. Ketika tidak sesuai maka akan menjadi penghalang yang sah sehingga bisa dikenakan pasal dan ayat tersebut.

2. Perkawinan yang diadakan.

Ketika unsur perkawinan yang dimaksud dalam pasal 279 ayat 1 butir Ke- 2 maka dikenakan sanksi pidana yang isi ayat tersebut;

Ke-2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui

bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi

penghalang untuk itu9.

Dari point ini yang dimaksud ialah perkawinan yang diadakan yang sah sesuai dengan UU Nomor 1 tahun 1974 jadi pasal ini bisa menjerat seorang ketika melakukan perkawinan yang sah dan ada status perkawinan sah yang lain yang menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan. Tidak termasuk dalam ayat ini menjadi penghalang ketika pernikahan yang pertama tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku karena perkawinan yang sah yang sesuai dengan undang-undang.

Melihat pasal pada ayat 1 menjelaskan tentang tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja melkukan perkawinan yang kedua. Pada pasal tersebut dimaksudkan tidak memberitahukan perkawinan yang kedua pada perkawinan yang pertama yang sah. Dalam ayat pertama mendapatkan ancaman penjara


(21)

maksimal 5 tahun. Coba bandingkan Pasal 279 ayat (2), maka hukuman yang dijatuhkan lebih berat.

2. Pasal 279 ayat 2.

pasal 279 ayat 2 pasangan yang telah menikah tidak memberitahukan statusnya, artinya terdapat kebohongan terhadap pasangan dalam perkawinan kedua. Dalam ayat tersebut mempunyai maksud melakukan kebohongan terhadap perkaawinan keduanya dengan menyembunyikan status penghalang yang sah terhadap orang lain. Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (2) KUHP yaitu:

1. Unsur Subyektif yaitu “barang siapa”. Barangsiapa ini menyebutkan

orang sebagai subyek hukum yanng dapat dimintai pertanggungjawaban didepan

hukum. Unsur “barangsiapa” harus memenuhi kecakapan hukum baik secara

hukum pidana maupun secara perdata.

2. Unsur Obyektif yaitu;

a. Mengadakan perkawinan.Unsur ini menyebutkan seorang suami yang menikah lagi dengan wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (1) UUP).

b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini menyebutkan seorang suami yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan


(22)

pada hurup (a), tapi ia secara sadar menyembunyikan bahwa ia sedang dalam ikatan perkawinan sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (2) UUP.

d. Adanya penghalang yang sah. Unsur ini menyebutkan bahwa kedua calon mempelai memang sudah mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka langsungkan memiliki halangan yang sah, karena calon suaminya masih dalam ikatan perkawinan yang sah.

Seseorang bisa dikenakan sanksi pidana pidana dengan pasal ini ketika terdapat unsur yang ada dalam pasal tersebut. Beberapa unsur utama seorang dikenakan pasal 279 ayat 2;

3. Permasalahan prosedur

Penekanan pada unsur ini dibahas di ayat dua yang ancaman penjaranya lebih tinggi yaitu tujuh tahun. Karena dalam ayat ini terdapat masalah proseduran dan adminitrasi. Ayatnya yang berbunyi;

4. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1

menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun10.

Dalam ayat ini ada unsur kesengajaan dalam melakukan tindak pidana perkawinan. Maksud pasal tersebut sama dengan ayat 1 butir ke-1 tapi penekanan disini perkawinan yang telah ada disembunyikan. Dalam pelaksanaan poligami bisa dilaksanakan ketika mendapatkan ijin dari pengadilan. Maka saat


(23)

pelaksanaan perkawinan ada penghalang yang sah tapi disembunyikan maka bisa diancam dengan penjara 7 tahun. Dalam ayat satu melakukan perkawinan yang sah dan mengetahui adanya penghalang dari perkawinan tersebut. Beda dengan ayat ini yang lebih mempermasalahkan terkait menyembunyikan status penghalang yang sah dan melakukan perkawinan yang kedua.

Tujuan dari pasal ini yang pertama melarang seseorang menyembunyikan status perkawinanya ketika melakukan perkawinan yang kedua padahal perkawinan sebelumnya akan merintanginya. Karena pluralisme hukum yang ada di Indonesia mengatisipasi terjadinya perkawinan yang dilakukanya tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kemudian, kedua aturan itu awalnya ditujukan untuk mencegah hubungan seksual yang tidak diinginkan. Meskipun, seperti kita ketahui juga, dalam prakteknya ada juga pihak-pihak yang terus membela bahwa dengan adanya perkawinan – bagaimanapun caranya, dianggap telah menghapuskan sifat jahat perzinahan. Padahal, kalau dilihat efeknya pada pasangan sebelumnya yang tidak mengetahui perkawinan tersebut, tentu dampaknya sama saja, yaitu terjadi perselingkuhan – dalam arti perbuatan tak diinginkan terhadap pasangan sebelumnya yang dilakukan secara diam-diam/dengan kebohongan.


(24)

1

B BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah hak perempuan merupakan topik yang selalu menarik di setiap waktu sejak zaman dulu hingga sekarang, dan bahkan mungkin hingga di masa depan. Diskursus ini semakin berkembang dengan beriring dengan perkembangan Hak Asasi Manusia yang menjalar di setiap sisi dalam kehidupan, termasuk dalam agama dan keluarga. Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang menempatkan perempuan dalam derajat yang sangat rendah hingga seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dapat diwariskan oleh anak dari

suaminya hanya dengan melemparkan pakaian anak tersebut pada ibu tirinya itu.1

Pada zaman Jahiliyyah, kedudukan perempuan Quraisy ibarat barang yang hanya berfungsi untuk menjadi kesenangan bagi laki-laki. Perempuan yang menjadi barang kesenangan bagi para laki-laki adalah mereka yang memiliki kedudukan terhormat atau berasal dari keluarga yang terhormat. Sedangkan perempuan yang kurang beruntung status hidupnya, ia akan mengalami siksaan serta menjadi budak belian. Hal ini terus berlangsung dari tahun ke tahun hingga sampai akhirnya Rasulullah datang membawa cahaya kehidupan, yakni agama

Islam.2

1Ab@@@@@@@u Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ans}@ariy al-Qurt}ubi, Al-Ja@mi’ al-Ahka@m al-Qur’@an Juz

5, (Riy@adh: D@@ar ‘Alim al-Kutb, 2003), 94.

2Abdurrahman, Aisyah, Ibunda para Nabi, (Solo: Pustaka Mantq, 1990), 9.


(25)

Kedudukan perempuan dalam zaman itu digambarkan oleh hadis

Rasulullah saw.dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dishahihkan oleh

Syaikh Al-Albani: Rasulullah saw bersabda,

ٌ ِﺋﺎَ

ُﻪﱡﻘِﺷَو

ِﺔَﺎَِﻘْا

َمْﻮَـ

َءﺎَﺟ

ﺎَُﳘاَﺪْﺣِإ

َﱃإ

َلﺎََﻓ

ِنََأَﺮْا

ُﻪَ

ْﺖَﺎَﻛ

ْ َ

“Barangsiapa yang memiliki dua istri kemudian ia condong kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya miring”3

Di dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa, seorang laki-laki

diperbolehkan berpoligami. Dengan syarat agar berlaku adil yang bisa diartikan

menjauhkan dari perbuatan jahat. Rasul sangat menghargai derajat wanita

sehingga memberikan persyaratan dalam melakukan poligami, agar terhindar dari perbuatan yang buruk.

Memang benar hukum Islam memperbolehkan poligami, namun pembolehan itu diberikan dengan pembatasan dan syarat-syarat yang berat.

Pembatasan-pembatasan itu antara lain adalah :

1. Poligami diperbolehkan apabila bertujuan untuk mengurus anak yatim dengan adil. Jadi beristri baru itu di sini hanya boleh dengan janda, ibu anak yang mana anak yatim yang bersangkutan di bawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami itu. Hal itu diatur dalam alquran. 2. Jumlah wanita yang dikawini tidak boleh lebih dari empat orang seperti

yang terbuat dalam alquran.


(26)

3. Akan sanggup adil diantara istri-istinya itu.

4. Wanita-wanita yang hendak dikawini itu tidak boleh ada hubungan

saudara baik sedarah maupun sesusuan. Hal itu disebut dengan jelas dalam alquran.

Pada awalnya Islam membolehkan seorang suami atau laki-laki berpoligami dengan alasan:

1. Menopang ekonomi para janda dan anak yatim yan telah kehilangan suami dan ayah mereka pasca Perang Uhud.

2. Pemerataan distribusi ekonomi secara adil.

3. Kuatnya kelompok masyarakat tidak memberhalakan sesuatu selain mengabdi kepada Allah (tauhid).

Namun, pada kenyataan yang banyak terjadi pada masa sekarang tujuan poligami tidak kembali lagi pada tujuan awal tetapi hanya untuk memuaskan nafsu duniawi. dijelaskan juga dalam surah an Nisa’ ayat 129 yakni ;

                              

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al- Nisa’ : 129)

Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan, cinta atau suka pun dapat dibagi. Suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat yang pahit tidak


(27)

disukai oleh siapa pun. Ini berdasarkan perasaan setiap orang, tetapi obat yang sama akan disukai, dicari, dan diminum karena akal si sakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian suka atau cinta dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan, sedang suka yang berdasarkan akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri dengan kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cenderung (kepada vang kamu cintai) dan jangan juga terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai.4

Untuk melakukan perkawinan juga sangat penting mengetahui asal usul agar tidak ada penghalang dalam melakukan perkawinan. Untuk melakukan poligami harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Adapun ayat yang membahas tentang mengetahui asal usul adalah ayat 22-23 surah an-nisa’ yakni :

                                                                 


(28)

                      

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Nisa’ : 22 – 23)

Melihat ayat di atas, nampaknya ulama Indonesia dan lebih khususnya peraturan perundang-undangan di Indonesia berada. Yakni membolehkan praktek poligami, namun dibatasi dengan syarat-syarat tertentu dan dalam kondisi tertentu untuk menghindari niat buruk dalam melakukan perkawinan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan peraturan hukum pidana yang saat ini tetap berlaku di Indonesia (hukum positif) yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil atau disebut KUHP5 juga memuat

5 KUHP yang sekarang diberlakukan bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van

Strafrecht voor Nederlandsch Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II UUD 1945 disertai penyelarasan dengan pencabutan pasal-pasal yang tidak relevan. Pada tanggal 26 Februari 1946, Pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menjadi dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), kemudian dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat itu berlaku untuk wilayah Jawa


(29)

ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam Pasal 279:

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:

Ke- 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui

bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.

Ke-2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1

menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3. Pencabutan hak berdasakan Pasal No. 1- 5 dapat dinyatakan6.

Tindak pidana perkawinan yang diatur dalam Pasal 279 KUHP termasuk tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan perdata.7 KUHP Belanda menyebut tindak pidana tersebut dengan dubble huwalijke atau bigami, karena di Belanda

dianut prinsip monogami, sehingga tindak pidana semacam itu mengakibatkan adanya 2 (dua) perkawinan. Hasil penulusuran yurisprudensi menunjukkan perkawinan model ini pernah dijatuhi sanksi pidana oleh Pengadilan. Perkawinan model ini pernah dilakukan seorang laki-laki yang secara hukum masih berstatus suami istri, akan tetapi ia melakukan perkawinan. Yurisprudensi atau Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 596 K/Pid/2013 Oktober 2002 menjatuhkan putusan menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan

dan Madura. Pada tanggal 20 September 1958, berdasarkan UU No. 7 Tahun 1958, KUHP tersebut berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

6

Moeljatno, KUHP:Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), 101.

7 Ada 4 (empat) pasal yang berhubungan dengan tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan

perdata, yaitu Pasal 277, Pasal 278, Pasal 279, dan Pasal 280 KUHP. Terdapat dalam Buku Kedua KUHP tentang Kejahatan (Rechdelictien), secara spesifik diatur dalam Bab XIII tentang Kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan.


(30)

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan perkawinan, sedangkan perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi” dan menghukum terdakwa ditahan selama 6 bulan.8

Tindak pidana perkawinan dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 juncto

Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk adalah tindak pidana pelanggaran. Penelurusan putusan pengadilan masih belum ditemukan perkara berkaitan tindak pidana berupa pelanggaran perkawinan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

Ketentuan-ketentuan pasal dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan menunjukkan bahwa tindak pidana yang diancam sanksi pidana dalam hukum positif di Indoensia antara lain kejahatan melakukan perkawinan sedangkan perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi, pelanggaran terhadap kewajiban

8 Mahkama Agung menjatuhkan Putusan Nomor 596 K/Pid/2013. tanggal 18 November 2013

yang amarnya sebagai berikut:

1 Menyatakan Terdakwa LENNY RAHAYU HARTATI alias LENY terbukti ber-salah melakukan tindak pidana ”barang siapa kawin (menikah) sedang ia mengetahui bahwa perkawinannya menjadi halanganyang sah bagi jodohnya itu akan kawin lagi”, sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan kesatu Pasal 279 ayat (1) ke-2 KUHP.

2 Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 6 (enam) bulan penjara dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa, dengan perintah Terdakwa ditahan.

3 Menyatakan barang bukti berupa ;

- 1 (satu) lembar kutipan Akta Perkawinan Nomor : 296/T/2008 tanggal 22

September 2008 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan Keluarga Berencana dan Catatan Sipil Labuhan Batu an. Marlon Brando Sibarani dengan Ledya Roselly. Dipergunakan dalam perkara an. Marlon Brando Sibarani;


(31)

untuk mencatatkan perkawinan, dan pelanggaran memutuskan perkawinan tanpa melalui putusan pengadilan.

Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut terwujudnya suasana tertib, termasuk tertib hukum. Salah satu upaya pemaksaan hukum (law enforcement) itu

adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar, mengingat sanksi pidana membawa akibat hukum yang berkaitan dengan kemerdekaan pribadi (berupa pidana penjara, kurungan) dan harta benda (antara lain berupa pengenaan denda) dari pelanggar yang bersangkutan. Oleh sebab itu, hampir pada berbagai ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan selalu disertai dengan pemberlakuan sanksi pidana, berupa pidana penjara, kurungan, denda, dan semacamnya,9 termasuk bidang hukum perkawinan.

Istilah pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat

diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Sudarto yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya

Teori-teori dan Kebijakan Pidana, pidana adalah penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.10 Alf Ross yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam

9Akibat hukum yang berkaitan dengan kemerdekaan pribadi berupa pidana penjara atau kurungan,

sedangkan yang berkaitan harta benda antara lain berupa pengenaan denda. A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara Lanjut, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), 2.

10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandun:, Alumni, 1998),


(32)

bukunya Teori-teori dan Kebijakan Pidana mengemukakan bahwa pidana adalah

adalah tanggung jawab sosial yang:11

a. terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum.

b. dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum.

c. merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; d. perwujudan pencelaan terhadap pelanggar.

Menurut Apeldoorn yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro dalam buku

Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, unsur tindak pidana terdiri dari unsur

objektif yang berupa adanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechmatig/wederrechtelijke) dan unsur subjektif berupa adanya pembuat

(toerekeningsvatbaarheid) terhadap perbuatan yang bertentangan dengan

hukum.12 Berkaitan dengan unsur-unsur tersebut, unsur atau elemen tindak pidana yang terkadung dalam Pasal 279 KUHP, misalnya untuk ketentuan dalam ayat (1) butir a adalah: (a) barang siapa, (b) yang kawin (mengadakan perkawinan),(c). Sedang diketahuinya bahwa perkawinan yang telah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi.

Mahkamah Agung RI telah memberikan petunjuk berkaitan dengan seorang suami melakukan perkawinan lagi tanpa izin pengadilan, maka dikenakan ketentuan Pasal 45 ayat (1) huruf a juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, apabila suami pernah mengajukan permohonan izin, tetapi

11 Ibid., 3.

12 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,


(33)

ditolak oleh Pengadilan dan suami tersebut tetap melakukan perkawinan, maka dikenakan ancaman Pasal 279 ayat (1) KUHP.13

Berdasarkan eksplanasi tersebut, perlu dilakukan upaya agar tindak pidana perkawinan tersebut tidak berlanjut yang implikasinya akan semakin meluas. Upaya yang dapat dilakukan untuk memutus tradisi perkawinan yang sarat dengan indikasi tindak pidana perkawinan tersebut adalah melakukan rekonstruksi kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam hukum positif di Indonesia karena belum mampu diimplementasikan secara optimal serta belum mampu mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam hukum perkawinan di Indonesia

Kebijakan sanksi pidana terutama untuk tindak pidana perkawinan

selama ini berdasar pemikiran bahwa sanksi pidana sebagai ultimum remedium,

yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia. Menurut Van Bemmelen, sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan penerapannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak

memadai lagi.14 Proses tindak pidana perkawinan termasuk jenis delik aduan,

artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari

orang yang menjadi korban tindak pidana.15

13 Petunjuk Ketua Mahkamah Agung RI No. MA/Pemb/0156/77, tanggal 25 Februari 1997,

tentang Penetapan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, 10.

14 Andi Zainal Abidin, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), 16.

15Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis

deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.


(34)

Pembaruan kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana merupakan hal yang urgen karena sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian sehingga tidak kontekstual. Pemerintah sebagai penyelenggara negara mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya bidang perkawinan sebagaimana amanat Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun

1945. Politik hukum (rechtspolitiek) dalam arti kebijakan hukum terhadap

pengaturan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam hukum positif di Indonesia diharapkan akan dapat mengubah perilaku para pelaku perkawinan yang sesuai dengan perkembangan hukum dan masyarakat Indonesia menuju terwujudnya kebijakan atau politik pemidanaan dalam arti keseluruhan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

Dengan diketahui sebuah penjelasan di atas maka hal-hal tersebut menjadi alasan untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Hukum Pidana tentang Sanksi Hukum Kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan menurut Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :

1. Hikmah pernikahan dalam Islam.


(35)

2. Pandangan hukum Islam tentang sanksi hukum kejahatan terhadap asal usul pernikahan.

3. Poligami menurut hukum positif. 4. Poligami menurut hukum islam.

5. Kejahatan terhadap tindak pidana perkawinan.

6. Ketentuan hukum dalam tindak pidana perkawinan dalam KUHP pasal 279.

7. Pandangan hukum positif terhadap sanksi hukum tindak pidana perkawinan di Indonesia.

C. Batasan Masalah

Melihat luasnya permasalahan yang muncul dari latar belakang di atas, penulis membatasi penelitian ini dengan hanya memfokuskan pembahasan pada masalah-masalah berikut ini :

1. Ketentuan hukum pasal 279 tentang kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

2. Sanksi hukum pidana Islam terhadap ketentuan hukum postif tentang sanksi hukum kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, identifikasi dan batasan masalah, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :


(36)

1. Bagaimana ketentuan hukum pasal 279 tentang kejahatan terhadap Asal-usul pernikhan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?

2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum tentang kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?

E. Kajian Pustaka

Dalam karya ini, penulis akan membahas “study komparasi tentang kejahatan Asal-usul pernikahan dalam pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dianalisis dengan hukum pidana Islam”.

Adapun dalam kajian pustaka ini mendapatkan gambaran tentang hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis sebelumnya agar tidak terdapat pengulangan dalam penelitian ini.

Masalah tindak pidana perkawinan dalam analisis hukum pidana Islam belum pernah dibahas sama sekali di UIN Sunan Ampel. Dalam hal ini ditemukan beberapa tulisan yang membahas tentang tinjauan yuridis dan tinjauan hukum Islam:

1. Skripsi di IAIN Sunan Ampel pada tahun 2002 dengan judul “Poloigami Tanpa Ijin Istri sebagai Tindak Pidana Perkawinan Tinjauan Hukum Islam terhadap Pasal 45 PP. 9 Tahun 1975” yang ditulis Ahmad Izzuddin.16

2. Skripsi di IAIN Sunan Ampel fakultas Syariah tahun 2004 dengan judul,

“Tinjauan Yuridis Penerapan Pasal 279 KUHP tentang Tindak Pidana

16 Ahmad izzuddin, “Poloigami tanpa ijin istri sebagai tindak pidana perkawinan tinjauan hukum


(37)

Perkawinan; Studi Kasus di Pengadilan Gresik” ditulis oleh Maslachatul Ummah17.

Dari skripsi-skripsi diatas memiliki perbedaan dengan skripsi penulis karena mentitik beratkan terhadap pandangan pidana Islam terkait tindak pidana dalam hukum positif. Dengan demikian pembahasan “analisis hukum pidana Islam terhadap kejahatan asal-usul pernikahan menurut pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)” tidak ditemukan atau belum

dikaji, baik berupa buku maupun karya – karya ilmiah yang lain. Oleh karena itu penulis berusaha untuk mengangkat persoalan diatas dengan melakukan telaah literatur yang menunjang penelitian ini.

F. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui ketentuan hukum tentang kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

2. Mengetahui analisis hukum pidana Islam tentang sanksi hukum kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

G. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan, setidaknya dalam 2 (dua) hal berikut ini :

17 Maslachatul Ummah,”Tinjauan yuridis penerapan pasal 279 KUHP tentang tindak pidana


(38)

1. Aspek teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas pengetahuan tentang pemahaman hukum pidana Islam dalam hukum positif serta diharapkan hasil penelitian ini menjadi dasar penyusunan penelitian lanjutan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Aspek praktis

Dari sisi praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau pertimbangan bagi mahasiswa Fakultas Syariah apabila ada masalah yang berkaitan khusus dengan masalah tindak pidana pernikahan yang sesuai dengan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

H. Definisi Operasional

Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah dan tujuannya. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung

Adapun judul skripsi “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan menurut Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana” untuk memperoleh gambaran yang luas dan pemahaman yang utuh tentang judul penelitian ini, maka akan dijelaskan sub-sub bagian dari judul penelitian ini sebagai berikut :


(39)

1. Hukum pidana Islam

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum pidana Islam dalam hadits dengan istilah jinayat atau jarimah. Dalam pidana Islam ini menggunakan jarimah takziryang berkaitan dengan kemaslahatan individu atau perseorangan.

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Adalah kitab Undang-undang hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana.

3. Pasal 279 tentang Kejahatan Terhadap Asal usul Pernikahan

Pasal ini membahas kejahatan perkawinan yang dijelaskan dalam pasal akan dikenakan sanksi pidana apabila melakukan pernikahan dengan sengaja tetapi ada penghalang yang sah pasal ini masuk dalam BAB Kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan.

I. Metode Penelitian

1. Jenis dan pendekatan penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.


(40)

2. Data yang dikumpulkan.

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, untuk dapat menjawab rumusan masalah tersebut, data yang perlu untuk dikumpulkan adalah sebagai berikut :

a. Ketentuan hukum KUHP terhadap tindak pidana pernikahan. b. Syarat – syarat melakukan poligami menurut hukum positif.

c. Analisis hukum pidana islam terhadap pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

3. Sumber data.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, semuanya berupa data tertulis, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Adapun sumber-sumber data tersebut adalah sebagai berikut :

a. Sumber data primer :

i. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

ii. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan iii. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975

b. Sumber data sekunder: i. Alquran dan hadis

ii. Asas – asas Hukum Pidana, karya Moeljatno iii. Asas – asas Hukum Pidana Islam, A. Hanafi

iv. Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam, H. Ahmad Wardi Muslich v. Hukum Pidana Islam, H. Zainuddin


(41)

4. Teknik pengumpulan data.

Dalam penelitian kepustakaan ini, pengumpulan data dilakukan penulis melalui teknik dokumentasi. Dengan teknik ini, penulis melakukan penelaahan bacaan yang sesuai dengan objek penelitian yakni hukum poligami tanpa ijin dalam pasal 279 KUHP.

5. Metode analisis data.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggunakan pola pikir deduktif yakni dengan mengungkapkan ketentuan dalam hukum positif, kemudian menjelaskan hukum poligami tanpa ijin istri, serta kemudian analisis hukum pidana

Islam terhadap pasal 279 KUHP (tindak pidana pernikahan).

J. Sistematika Penulisan

Penelitian ini membutuhkan pembahasan yang sistematis agar lebih mudah dalam memahami dan penulisan skripsi. Oleh karena itu, penulis akan menyusun penelitian ini ke dalam 5 (lima) bab pembahasan. Adapun sistematika pembahasan tersebut secara umum adalah sebagai berikut :

Bab pertama,merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Dalam bab ini, deskripsi awal yang menjadi titik tolak penelitian akan dijelaskan. Selain itu, yang paling penting


(42)

adalah rumusan masalah yang akan menjadi objek penelitian ini setelah melihat latar belakangnya.

Bab kedua kajian teori tentang hukuman takzir dalam hukum pidana Islam. Selanjutnya menjabarkan tentang pengertian jarimah takzir

dilanjutkan dengan dasar hukum takzir, tujuan sanksi takzir, ruang lingkum dan pembagian takzir, hukum sanksi takzir dan macam macam sanksi takzir. Bab ini sebagai landasan teori dalam menganalisis objek permasalan dalam tulisan ini.

Bab ketiga, data yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri atas penjelasan secara umum poligami di Indonesia beserta pengertian dan syarat-syarat poligami di Indonesia menurut hukum positif sekaligus membahas tentang penjelasan pasal 279 kitab Undang-undang hukum pidana.

Bab keempat, berupa pembahasan ketentuan hukum kitab

Undang-undang hukum pidana pasal 279 tentang kejahatan terhadap asal-usul pernikahan. Bab ini merupakan analisis analisis sanksi hukum pidana Islam dalam pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan,.

Bab kelima, berupa penutup yang berisi tentang kesimpulan dari


(43)

BAB II

HUKUMAN TAKZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Takzir

Dalam bahasa arab Ta’z@ir adalah bentuk mashdar dari kata

َ ر

َ زْعَ ي

-

ََر

َ زَع

yang

secara etimologis berarti

َ عَْماَو

َ د رلا

, yaitu menolak dan mencegah. Kata kata ini

memiliki arti

َ َرَصَن

menolong atau menguatkan.Hal ini seperti firman Allah berikut.



ْ

ْ



ْ





ْ





ْ





ْ

ْ





“supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. AL-Fath (48):9)

Kata ta’z@ir dalam ayat ini juga berarti

ُْاَوَ قَو

ْ َُناَعَاَوْ َُرَ قَوَوْ َُم ظَع

,

yaitu

membesarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan (agama Allah). Sementara itu Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir yang dikutip M. Nurul Irfan

dan Masyarofah dalam buku Fiqh Jina@yah mengatakan bahwa takzir adalah

pengajaran dan tidak termasuk dalam kelompok had. Begitu pula dengan beberapa definisi takzir dibawah ini:


(44)

Takzir ialah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had syar’i, seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki (pihak lain) tetapi bukan menuduh ( orang lain berbuat zina).

Dalam definisi ini terdapat kalimat tidak sampai pada ketentuan had syar’i. Hal ini sesuai dengan pernyataan Al-Fayyumi dalam definisi di atas, yaitu takzir adalah pengajaran dan tidak termasuk dalam kelompok had. Dengan demikian takzir tidak termasuk dalam katagori hukuman hudud. Namun, bukan berarti tidak lebih

keras dari hudud, bahkan sangat mungkin berupa hukuman mati1

Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa takzir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penetapannya maupun pelaksanaannya.

Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’

dinamakan dengan jarimah takzir. Jadi, istilah takzirbisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).

Dalam menentukan hukuman takzir, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya, pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing takzir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dengan demikian, ciri khas dari jarimah takzir itu adalah sebagai berikut:


(45)

1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya, hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’, ada batas minimal dan ada batas maksimal.

2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.

Jarimah takzir di samping ada yang diserahkan penentuan sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan oleh syarak, seperti riba dan suap. Selain itu yang termasuk ke dalam kelompok ini, yaitu jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syarak (h}udu>d) akan tetapi syarat-syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian yang tidak sampai selesei atau barang yang dicuri kurang dari nishab pencurian, yaitu seperempat dinar.

Telah disepakati oleh ulama bahwa bentuk dan kualitas takzir tidak boleh menyamai hukuman diyat atau ukurannya berada dibawah hukuman hudud, atau dengan arti kata ukuran hukuman takzir untuk setiap bentuk kejahatan adalah dibawah hukuman hudud yang diberlakukan untuk kejahatan itu. Hal ini mengandung arti bahwa takzir untuk kejahatan seksual adalah dera yang jumlahnya kurang dari 100 kali, atau hukuman lain yang setimpal dengan itu. Takzir untuk fitnah bukan dalam bentuk tuduhan berbuat zina, misalnya tuduhan membunuh hukumannya dera yang jumlahnya dibawah 80 kali atau hukuman lain yang setimpal. Takzir untuk pencurian dalam jumlah yang kecil dikenai hukuman yang kadarnya dibawah potong tangan atau hukuman yang setimpal seperti tahanan.Takzir untuk


(46)

peminum yang tidak tergolong khamr adalah dibawah 40 kali dera atau hukuman yang setimpal2.

B. Dasar Hukum Takzir

Dasar hukum pelaksanaan hukuman takzir dalam Alquran dan hadis nabi Muhammad saw tidak diterapkan secara terperinci dalam segi jarimah atau hukumanya, karena dipertimbangkan atas prinsip keadilan dalam masyarakat.

Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat alquran yang dijadikan landasan adanya jarimah takzir adalah alquran surah al-Fath ayat 8-93:

ْ



ْ



ْ



ْ

ْ



ْ ْ ْ



ْ

ْ



ْ





ْ





ْ





ْ

ْ



ْ



ْْْ ْ

“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira

dan pemberi peringatan. supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”

Dari terjemahan tersebut di atas A. Hasan menerterjemahkan: watu’aziruhu

sebagaimana dikutip oleh Makhrus Munajat dalam bukunya Hukum Pidana Islam di

Indonesia dengan: dan supaya kamu teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai

tujuan ini, satu diantaranya ialah dengan mencegah musuh-musuh Allah.4

2 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 19. 3 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia,(Yogyakarta: Teras, 2009) , 182.


(47)

Adapun hadis yang dijadikan dasar adanya jarimah takzir, sebagai berikut; 1. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :

َْسَبَحَْم لَسَوِْْيَلَعُْ ّاْى لَصِْ ّاَْلوُسَرْ نَأِِّْدَجْْنَعِْيِبَأْْنَعْ ميِكَحِْنْبِْزْهَ بْْنَع

ْ ةَمْهُ تْ ِفْاًسََ

“Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan

seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).”5

2. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :

ْْنَع

ْ

ِْبَأ

ْ

َْةَدْرُ ب

ْ

ِّْيِراَصْنَْْا

ْ

ُْ نَأ

ْ

َْعََِ

ْ

َْلوُسَر

ْ

ِْ ّا

ْ

ى لَص

ْ

ُْ ّا

ْ

ِْْيَلَع

ْ

َْم لَسَو

ْ

ُْلوُقَ ي

ْ

َْلْ

ُْدَلُُْ

ْ

ٌْدَحَأ

ْ

َْقْوَ ف

ْ

ِْةَرَشَع

ْ

ْ طاَوْسَأ

ْ

ْ لِإ

ْ

ِْف

ْ

ْ ّدَح

ْ

ْْنِم

ْ

ِْدوُدُح

ْ

ِْ ّا

ْ

)ْملسمْ اور(

“Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda:“Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim)”.6

3. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :

ُْ ّاْى لَصِْ ّاُْلوُسَرَْلاَقْْتَلاَقْاَهْ َعُْ ّاَْيِضَرَْةَشِئاَعْْنَعَْةَرْمَعْْنَعْ رْكَبْ ِبَأِْنْبِْد مَُُْْنَع

ِْْيَلَعْ

َْدوُدُْحاْ لِإْْمِِِاَرَ ثَعِْتاَئْ يَْْاْيِوَذْاوُليِقَأَْم لَسَو

“Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran

orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud,

An-Nasai, dan Baihakki).7

5CD. Mausu’ah Hadis al-Syarif, Sunan al-Nasa’i, hadis nomer 4794. 6CD. Mausu’ah Hadis al-Syarif, S}ah}i@h} Muslim, hadis nomer 3222. 7CD. Mausu’ah Hadis al-Syarif, Sunan Abu@ Dawu@d, hadis nomer 3803.


(48)

Secara umum ketiga hadis di atas menjelaskan sebagai dasar pelaksanaan hukuman takzir, berikut penjelasan dari hadis tersebut;

1. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan tersangka

pelaku tindak pidana untuk memudahkan proses penyelidikan. Apabila tidak ditahan, dikhawatirkan orang tersebut melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan tindak pidana8

2. Hadis kedua menjelaskan untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan

batasan hukuman ini dapatlahdiketahui mana yang termasuk jarimah dan mana yang termasuk jarimah takzir. Menurut al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qadzaf, murtad dan pembunuhan. Selain dari jarimah-jarimah tersebut, termasuk jarimah takzir meskipun ada juga beberapa jarimah yang diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti homoseksual, lesbian,dan lain-lain.9 3. Hadis ketiga menjelaskan bahwa orang baik, orang besar,

orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.

Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman takzir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya. Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para

8M.Nurul Irfan, Fiqh Jinayah..., 14.


(49)

pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan takzir, sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman takziritu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh

pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.10

C. Tujuan Sanksi Takzir

Tujuan memberikan sanksi kepada pelaku takzir mengandung aspek kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, yakni:

1. Sebagai preventif yaitu bahwa sanksi takzir harus memberikan dampak positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman takzir), sehingga orang lain selain pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama.

2. Sebagai represif yaitu bahwa sanksi takzir harus memberikan dampak positif bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan yang menyebabkan pelaku dikenakan sanksi (jera). Oleh karena itu, sanksi takzir baik dalam tujuan sanksi preventif dan represif harus sesuai dengan keperluan, tidak lebih dan tidak kurang dengan menerapkan prinsip keadilan.

3. Sebagai kuratif (islah) yaitu sanksi takzir harus mampu membawa perbaikan sikap dan prilaku terhukum dikemudian hari.

Sebagai edukatif yaitu sanksi takzir harus mampu menumbuhkan hasrat pelaku ataupun orang lain untuk mengubah pola hidupnya sehingga pelaku akan


(50)

menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukuman melainkan karena tidak senang terhadap kejahatan. Dalam hal ini pendidikan agama sebagai sarana memperkuat keimanan dan ketakwaannya, sehingga ia menjauhi segala macam maksiat untuk mencari keridhaan Allah swt.11

D. Ruang Lingkup dan Pembagian Jarimah Takzir

Berikut ini ruang lingkup dalam takzir, yaitu sebagai berikut.

1. Jarimah hudud dan kisas -diyat yang terdapat syubha diahlikan ke sanksi takzir, seperti:

Orangtua yang membunuh anaknya. Dalilnya, yaitu

ْْنَع

ْ

َْرَمُع

ْ

ِْنْب

ْ

ِْبا طَْْا

ْ

َْلاَق

ْ

ُْتْعََِ

ْ

َْلوُسَر

ْ

ِْ ّا

ْ

ى لَص

ْ

ُْ ّا

ْ

ِْْيَلَع

ْ

َْم لَسَو

ْ

ُْلوُقَ ي

ْ

َْلْ

ُْداَقُ ي

ْ

ُْدِلاَوْلا

ْ

ِْدَلَوْلِِ

ْ

Orang tidak dapat dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya. (HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi)12

Hadis tersebut melarang pelaksanaan qishas terhadap seorang ayah yang membunuh anaknya. Begitu pula ayah yang mencuri harta tidak akan dikenakan hukuman had potong tangan. Dengan adanya kedua itu menimbulkan syubhat bagi pelaksanaan qisas dan had. Adapun mengenai syubhat, didasarkan atas hadis berikut.

11 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT Grafindo

Persada, 2000), 186.


(51)

ْْنَع

ْ

َْةَشِئاَع

ْ

ْْتَلاَق

ْ

َْلاَق

ْ

ُْلوُسَر

ْ

ِْ ّا

ْ

ى لَص

ْ

ُْ ّا

ْ

ِْْيَلَع

ْ

َْم لَسَو

ْ

اوُءَرْدا

ْ

َْدوُدُْحا

ْ

ْْنَع

ْ

َْيِمِلْسُمْلا

ْ

اَمْ

ْْمُتْعَطَتْسا

ْ

ْْنِإَف

ْ

َْناَك

ْْ

َُل

ْ

ٌْجَرََْ

ْ

اولَخَف

ْ

َُْليِبَس

ْ

ْ نِإَف

ْ

َْماَمِْْا

ْ

ْْنَأ

ْ

َْئِطُُْ

ْ

ِْف

ْ

ِْوْفَعْلا

ْ

ٌْرْ يَخ

ْ

ْْنِم

ْ

ْْنَأ

ْ

َْئِطُُْ

ْ

ِْف

ْ

ِْةَبوُقُعْلا

ْ

“Hindarkanlah had dari orang Muslim semampumu.Jika ada alternatif lain, maka gunakan jalan tersebut. Karena sesungguhnya imam yang salah dalam memberikan maaf itu lebih baik daripada salah dalam memberikan hukuman. (HR. Al-Tirmidzi)13

2. Jarimah hudud dan kisas -diyat yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi sanksi takzir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan percobaan zina.

3. Jarimah yang ditentukan alquran dan hadis, namun tidak ditentukan sanksinya. misalnya penghinaan, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.

4. Jarimah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti penipuan,

pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan, pembajakan, human

trafficking, dan money laundering.14

Jarimah takzir terdiri dari tiga macam, yaitu dilihat dari hak yang dilanggar, dari segi sifatnya, dari segi dasar hukum.Jarimahta’@zir yang dilihat dari hak yang dilanggar, dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu:

1. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah.

2. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu).

13CD. Mausu’ah Hadis al-Syarif, Sunan al-Turmuz}i, hadis nomer 1344. 14M.Nurul Irfan, Fiqh Jinayah..., 144.


(52)

Dari segi sifatnya, jarimahta’z@ir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu:

1. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat.

2. Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.

3. Takzir karena melakukan pelanggaran.

Disamping itu, dilihat dari dasar hukumnya, takzir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu:

1. Jarimah takzir yang berasal dari jarimah hudud dan kisas tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri.

2. Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam nas syarak tetapi hukumannya

belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi takaran dan timbangan. 3. Jarimah takzir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’

jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada Ulil Amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Adapun yang dimaksud dengan jarimah takzir yang menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuh.syarat, penyelundupan dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah takzir yang menyinggung hak perorangan adalah setiap perbuatan yang


(53)

mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu, bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan, dan lain-lain.15

Jarimah takzir secara rinci dibagi kepada beberapa bagian, yaitu:

1. Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan;

Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila hukuman mati dimaafkan maka hukumannya diganti dengan diat.Apabila hukuman dimaafkan juga maka Ulil Amri berhak menjatuhkan hukuman takzirapabila hal itu dipandang lebih maslahat.

2. Jarimah takzir yang berkaitan dengan pelukaan;

Menurut Imam Malik, hukuman takzir dapat digabungkan dengan kisas dalam jarimah pelukaan, karena kisasmerupakan hak adami, sedangkan takzir sebagai imbalan atas hak masyarakat. Di samping itu, takzir juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan apabila kisashnya dimaafkan.

Menurut mazhab Hanafi Syafi’i dan Hanbali, takzir juga dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarimah pelukaan dengan berulang-ulang (residivis), disamping dikenakan hukuman kisas.16

3. Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak

Jarimah takzir yang ketiga ini berkaitan dengan jarimah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Di antara kasus perzinaan yang diancam dengan takzir

15 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta; Kreana Pernada, 2003), 252 16 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta; Pustaka Setia, 2010), 256.


(1)

Dalam hukum positif dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP). Sering juga dikenal dengan sebutan asas legalitas. Karena dalam pidana Islam menggunakan hukuman takzir. Maka, penetapan hukum tergantung penguasa dalam negara tersebut. Jadi, dalam hal ini ketentuan hukuman ditentukan di KUHP.

2. Unsur mteril (sifat melawan hukum )

Dalam KUHP dalam pasal 279 dinyatakan ketika sesorang dengan sengaja atau menyembunyikan penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan maka dikenakan sanksi pidana penjara. Dalam hal ini sangat jelas pasal tersebut mengatur tindak pidana perkawinan. Hukum pidana Islam mengatakan sesorang membentuk jarimah baik sengaja maupun tidak sengaja dan bertentangan dengan aturan yang berlaku. Dalam hukum pidana Islam disebut Ar-Rukn Al-Ma>di>.

3. Unsur moril (Pelakunya mukallaf)

Dalam KUHP diatur seoarang anak dan orang gila tidak diberlakukan hukum terhadapnya. Dengan demikian berlakunyan pasal 279 terhadap orang yang dewasa sesuai dengan hukum positif . Dalam syariat Islam disebut Ar-Rukn Al-Ada>bi. Orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila, anak-anak dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan diri.

Pemberian hukuman takzir sesuai dengan konsep metode sadd ad-dzari’ah merupakan hukum yang awalnya diperbolehkan dan menjadi lerangan karena melihat kemudharatan yang terjadi adapun ada tiga kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dialarang, yakni :


(2)

76

1. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan. Dalam al-Qur’an dan Hadist tidak ada hukuman pidana bagi tindak pidana melakukan pernikahan mengetahui dan menyembunyikan penghalang yaitu ijin dari istri pertama. Perbuatan tersebut diperbolehkan dalam Islam karena mengandung kerusakan ketika tanpa melakukan ijin pada istri pertama maka sesuai dengan konsep sadd ad-dzari’ah.

2. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.

Unsur kemafsadatanya lebih kuat ketika pelaku pernikahan di Indonesia tanpa ijin istri pertama, kemafsadatanya ialah akan terjadi penipuan dalam rumah tangga dan menimbulkan kerusakan dalam rumah tangga. 3. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengadung lebih banyak unsur

kemafsadatan.

Diperbolekan poligami tanpa ijin dalam Islam sesuai dengan kondisi masyarakan arab pada zaman dahulu, melihat konteks di Indonesia masyarakat tabu akan poligami apalagi tidak ijin terhadap istri pertama akan menimbulkan kemafsadatanya lebih banyak dalam msyarakat.


(3)

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dari bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan bahwa seseorang:

 Mendapat hukuman ancaman 5 tahun ketika mengadakan perkawinan mengetahui adanya penghalang yang sah.

 Mendapat ancaman maksimal penjara 7 tahun ketika pelaku melakukan perkawinan dan menyembunyikan penghalang yang sah.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut mengadakan perkawinan, m engetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada, mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain, adanya penghalang yang sah.

2. Prespektif hukum pidana Islam pemberian hukuman 5 tahun dan 7 tahun bagi pelaku tindak pidana kejahatan asal-usul pernikahan sesuai dengan konsep takzir yang berupa hukuman diberikan sepenuhnya terhadap penguasa sesuai dengan konsep sadd ad-dzari’ah yaitu


(4)

79

menutup jalan terhadap sesuatu yang diperbolehkan menjadi tidak boleh untuk menghindari kemudharatan.

Pasal tersebut termasuk hukum takzir yang digunakan dalam sanksi pidana yaitu hukuman takzir. Dalam hal ini hukumannya tidak ditentukan oleh syarak dan penentuan hukumnya ditentukan oleh penguasa. Tindak pidana perkawinan dalam pasal 279 KUHP ini merupakan jarimah yang menyinggung hak perorangan (individu). Sanksi takzir yang tepat ketika seseorang melakukan tindak pidana kejahatan perkawinan yang diatur dalam pasal 279 KUHP. Maka pelaku mendapatkan sanksi sesuai yang ditetapkan penguasa. Dalam pasal ini ketika pelaku kejahatan perkawinan dikenakan hukuman penjara. Sesuai dengan anaman penjara dalam pasal tersebut.

B. SARAN

1. Pemerintah perlu menerapkan aturan dalam pasal 279 KUHP secara tegas dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana pernikahan dengan mensosialisasikan undang-undang perkawinan dalam masyarakat.

2. Pada penelitian ini masyarakat bisa memahami ketika melakukan perkawinan sesuai dengan aturan negara dan dicatatkan sesaui dengan aturan adminitrasi negara agar mendapatkan perlindungan hukum ketika terdapat tindak pidana.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

.

Abdurrahman. Aisyah, Ibunda para Nabi. Solo: Pustaka Mantq, 1990.

Mukti, Arta. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.2007, 241.

Abidin, Andi Zainal. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Universitas Indonesia, 1987.

Ahmad izzuddin, “Poloigami tanpa ijin istri sebagai tindak pidana perkawinan tinjauan hukum islam terhadap pasal 45 PP. 9 Tahun 1975”, Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002.

al-Maliki, Abdurrahman. Sistem Sanksi Dalam Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshariy. Al-Jami’ al -Ahkam al-Qur’an Juz 5. Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutb, 2003.

Ashadie, Zaeni,dkk. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali pers, 2015.

CD. Mausu’ah Hadits al-Syarif, Sunan al-Nasa’i.

Djamali, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Djazuli, A. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).

Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000.

Hakim. Rahmat. Hukum Pidana Islam. Jakarta; Akademika Pressindo Bandung, 2000.

HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: sinar grafika, 2006. Jahar, Asep Saepudin Dkk. Hukum keluarga, Pidana & Bisnis. Jakarta: Kencana,

2013.

M.Nurul Irfan dan Masyarofah. Fiqh Jinayah. Jakarta : Amzah, 2013.

Maslachatul Ummah,”Tinjauan yuridis penerapan pasal 279 KUHP tentang tindak pidana perkawinan”, Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004. Moeljatno. KUHP:Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta; Bumi Aksar,

1996.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998.

Munajat, Makhrus. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras, 2009. Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar

Grafika, 2004.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No 1 tahun 1974


(6)

Projodikoro, Wirjono Projodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2003.

Shan’Ani, Ash. Subulussalam. Terj.H.Abubakar Muhammad. Surabaya:

Al-Ikhlas, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Vol II, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Soetami, A. Siti. Hukum Administrasi Negara Lanjut. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta; Kreana Pernada, 2003. Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia . Jakarta: Prestasi

Pustaka Publisher, 2006.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

http://appehutauruk.blogspot.co.id/2012/11/pelaksanaan-pencatatan-perkawinan-di.html, diakses pada 13 Desember 2015.

https://nasima.wordpress.com/2012/12/18/meninjau-kembali-pasal-279-kuhp/, diakses pada 13 Desember 2015.