Komparasi asas legalitas dalam hukum pidana islam dan kitab undang-undang hukum pidana (kuhp)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang dalam menjatuhkan hukuman. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan- perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.

Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775- 1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehbruch des penlichen rehct pada tahu 1801 (Andi Hamzah, 2008 : 40). Dimana sejarah asas legalitas pertama dikenal pada abad 18, yaitu sesudah revolusi perancis tahun (1789), sebelumnya hakim-hakim mempunyai kekuasaan besar dalam kewenangan memutuskan hukuman (Moelyatno, 2002 : 7). Asas legalitas dalam bahasa latin : Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya” (Andi Hamzah, 2008 : 39). jadi dapat diketahui asas legalitas tersebut untuk melindugi individu dari kesewenang-wenangan dalam hukuman yang dijatuhkan oleh hakim maupun dari penguasa, hal ini dapat dilihat juga dalam situasi dan kondisinya lahirnya asas legalitas tersebut karena aliran klasik.

Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang, Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penuntutan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan orang dipidana untuk tindak pidana karena kesalahan semata. Ketiga adalah alasan pembalasan dimana suatu perbuatan akan dibalas sama dengan perbuatannya (Eddy, 2009 : 11).

Asas legalitas lebih awal sudah dikenal karena adanya sama dengan diwahyukan agama Islam kepada Rasulullah SAW, pada hukum pidana Islam/Jinayat sejak Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya tersurat dalam beberapa surat dalam Al Quran salah satunya surat al-Isra’ ayat 15 artinya :

“ Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami (Allah) tidak akan meng’azab sebelum kami mengutus seorang Rasul” (Departemen Agama RI, 2002 : 386).

Menurut ayat tersebut di atas, sebelum Allah mengutus seorang Rasul yang menjelaskan tentang perintah dan larangan yaitu hukum dari Allah SWT, maka Allah tidak akan menghukum hamba-Nya yang melakukan suatu perbuatan. Dengan kata lain, sebelum ada ketentuan yang melarang suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak dipandang sebagai perbuatan pidana, dan dengan demikian pelakunya tidak mendapat hukuman. Hal tersebut sesuai dengan asas legalitas yang dianut hukum positif di Indonesia, tetapi dalam asas legalitas yang ditunjukkan, ayat tersebut berpegang dengan jelas pada Rasul dalam menentukan hukum dari Allah SWT untuk keselamatan dunia dan akhirat dan memiliki pengertian tertentu oleh para Fuqoha (ahli hukum Islam). Rasul sendiri yang menjelaskan dan memberi tahu Al Quran yang meliputi segala aspek yaitu agama Islam, Hukum Islam yang di dalamnya mencakup hukum pidana Islam, pada akhirnya Rasul meninggalkan Al Quran dan Al hadis.

Asas legalitas secara tertulis juga terdapat dapat KUHP Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan Asas legalitas secara tertulis juga terdapat dapat KUHP Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa asas legalitas dalam hukum pidana Islam lebih merujuk ke Rasul sebagai utusan Allah SWT yang memberikan keterangan mana perbuatan yang dilarang dan diperbolehkan, dimana perbuatan dilarang bila dilakukan yang melakukan akan memperoleh azab/hukuman, sedangkan asas legalitas di Pasal 1 Ayat (1) KUHP lebih menekankan undang-undang dalam mengatur perbuatan yang dapat dipidana jadi bila tidak dilarang oleh undang-undang perbuatan tesebut tidak bisa dipidana dan undang-undang sendiri dibuat oleh penguasa.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas, maka penulis ingin membandingkan antara asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan hukum pidana Indonesia. Oleh karena itu penulis merumuskan judul dalam pembahasan skripsi ini yakni : “KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP).

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini rumusan masalah yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengertian asas legalitas menurut hukum pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?

2. Bagaimanakah komparasi asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui tentang pengertian asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana Islam dan hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Untuk mengetahui tentang persamaan dan perbedaan asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana Islam dan Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

a. Memberikan dasar pedoman dan dasar bagi penelitian lebih lanjut.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum terutama hukum pidana Islam.

c. Memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang hukum Islam.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi masyarakat mengenai asas legalitas dalam hukum pidana yang terdapat di Indonesia sebagai negara hukum, dimana kebanyakan masyarakat tidak atau kurang mengenai hal tersebut.

b. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi masyarakat umum terutama umat muslim mengenai asas legalitas dalam hukum pidana Islam.

c. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten (Soerjono Soekanto, 1986: 42). Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Metode suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu (Sutrisno Hadi, 1989: 4).

Dengan demikian metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk menganalisis secara sistematis suatu kebenaran maupun ketidakbenaran dari pengetahuan, gejala, atau hipotesis.

Penulis menggunakan metode penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitan ini dimana mengacu pada judul dan rumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian normatif atau penelitian doktrinal. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang perhubungan dengan judul yaitu Komparasi Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis.

2. Sifat Penelitian Penelitian normatif/doktrinal ini bersifat preskriptif yang

pengertiannya sebagai berikut : Sifat preskriptif adalah suatu ilmu yang mempelajari tujuan

hukum, nila–nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep – konsep hukum dan norma–norma hukum. Langkah awal dari penelitian ini adalah perbincangan mengenai makna hukum dalam hidup bermasyarakat, dimana ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang dipandang dari luar tetapi masuk ke dalam suatu yang essensial yaitu sisi intrinsik dari hukum (Peter Mahmud, 2006: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Nilai ilmiah suatu pembahasan dan suatu pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara Nilai ilmiah suatu pembahasan dan suatu pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara

a. pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2007 : 94)

b. pendekatan perundang-undangan yaitu menelaah materi undang- undang untuk menjawab masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

4. Jenis Data

Jenis data yang dipergunakan penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil- hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Ciri-ciri umum dari data sekunder, adalah (Soerjono Soekanto, 1986 : 12) :

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera,

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa maupun konstruksi data,

c. Tidak terbatas waktu maupun tempat.

5. Sumber data

Dalam penelitian ini sumber data sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain :

1) Al Quran

2) Al Hadist

3) KUHP

4) Undang-Undang Nomor 1/Drt/ Tahun 1951

5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan- pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi (Peter Mahmud Marzuki, 2007; 142). Selain buku teks yang meliputi buku-buku hukum dalam penelitian ini masih meliputi data dari internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab, ensiklopedia.

6. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini yang jenisnya adalah penelitian normatif, maka untuk memperoleh data yang mendukung kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan jalan membaca, mencatat, mengkaji, serta mempelajari sumber-sumber tertulis. Penulis mengumpulkan data dengan cara mempelajari perundang-undangan, buku-buku, jurnal, data dari internet yang erat dengan permasalahan yang diteliti.

7. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan langkah lanjutan untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang berisikan sejumlah penjelasan dan pemahaman mengenai isi dan kualitas isi dari gejala-gejala social yang menjadi sasaran atau obyek penelitian (Burhan Ashshofa, 2001: 69).

Dalam analisis kualitatif ini, penulis mempergunakan penalaran deduksi dimana penyajian data dari bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan bersifat khusus.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan yang baru dalam penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian dimaksudkan untuk mempermudah terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika dalam penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi tentang, tinjauan terhadap hukum pidana Islam, tinjauan terhadap hukum pidana Indonesia dan tinjauan terhadap asas legalitas.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah tertuang dalam rumusan masalah dalam penelitian ini : pertama pengertian asas legalitas menurut hukum pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kedua persamaan dan perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran dari penulis.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Hukum Pidana Islam

a. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam (Mohammad Daud Ali, 1990: 45), dari pendapat Mohammad Daud Ali tersebut pengertian hukum Islam masih sangat luas. Dalam kontek hukum Islam yang bermakna luas tersebut juga terwakili dalam istilah hukum syariat islam, oleh DR. Rifyal Ka’bah disebutkan bahwa syariat Islam mempunyai tiga pengertian. Pertama, sebagai keseluruhan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua, keseluruhan nushush (teks-teks) Quran dan Sunnah yang merupakan nilai-nilai hukum yang berasal dari wahyu Allah. Ketiga, pemahaman para ahli terhadap hukum yang berasal dari wahyu Allah dan hasil ijtihad yang berpedoman kepada wahyu Allah (Ka’bah, 2004: 4).

Secara umum, maka pengertian hukum Islam adalah segala hukum yang berasal dan bersumber dari sang pembuat hukum atau syari (pembuat aturan) yaitu Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan dalam pengertian syariat islam yang ketiga, dapat disimpulkan bahwa pengertian tersebut adalah pengertian syariat Islam secara sempit yang berarti pemahaman fiqh oleh para ulama fiqh (Ka’bah, 2004: 4). Syariat Islam merupakan aturan yang berasal dari Al Quran Al hadis atau As Sunnah, sedangkan fiqh adalah pemahaman ulama terhadap syariat Islam. Sehingga dalam

b. Aspek-aspek Hukum Islam

Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan hukum lainnya. Hukum dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat (Hukum Muamalat), seperti yang diatur dalam Hukum Barat. Namun, hukum dalam Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT (Hukum Ibadat) yang tidak diatur dalam hukum lainnya.

Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, membagi aspek-aspek hukum Islam dalam tujuh kelompok, yaitu:

1) Hukum Ibadat. Hukum-hukum yang berhubungan dengan peribadatan kepada Allah, seperti: shalat, puasa, haji, bersuci dari hadas, dan sebagainya.

2) Hukum Keluarga (Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah). Hukum- hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan keluarga, seperti: perkawinan, perceraian, hubungan keturunan, nafkah keluarga, kewajiban anak terhadap orang tua, dan sebagainya.

3) Hukum Muamalat (dalam arti sempit, pen.). Hukum- hukum yang berhubungan dengan pergaulan hidup 3) Hukum Muamalat (dalam arti sempit, pen.). Hukum- hukum yang berhubungan dengan pergaulan hidup

4) Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan (Al-Ahkam As-Sulthaniyah atau As-Siyasah Asy-Syar’iyah). Hukum- hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan bernegara, seperti: hubungan penguasa dengan rakyat, pengangkatan kepala negara, hak dan kewajiban penguasa dan rakyat timbal balik, dan sebagainya.

5) Hukum Pidana (Al-Jinayat). Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti: macam-macam perbuatan pidana dan ancaman pidana.

6) Hukum Antarnegara (As-Siyar). Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara- negara lain, yang terdiri dari aturan-aturan hubungan pada waktu damai dan pada waktu perang.

7) Hukum Sopan Santun (Al-Adab). Hukum-hukum yang berhubungan dengan budi pekerti, kepatutan, nilai baik, dan buruk, seperti: mengeratkan hubungan persaudaraan, makan minum dengan tangan kanan, mendamaikan orang yang berselisih, dan sebagainya (Gemala Dewi dkk, 2006 : 27).

c. Ciri-ciri Hukum Islam

Ciri-ciri hukum Islam menurut Zainuddin dalam bukunya Hukum Pidana Islam meliputi :

1) Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam.

2) Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai-pisahkan dengan iman dan kesusilaan atau akhlak Islam.

3) Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu (a) syariah, dan (b) fikih. Syariah bersumber dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad saw. Dan fikih adalah hasil pemahaman manusia bersumber nash-nash yang bersifat umum.

4) Hukum Islam terdiri atas dua bidang utama, yaitu (1) hukum ibadah, dan (2) hukum muamalah dalam arti yang luas. Hukum ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan hukum muamalah dalam arti luas telah terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat untuk itu dari masa ke masa.

5) Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis seperti dalam bentuk bagan tangga bertingkat. Dalil Alquran yang menjadi hukum dasar dan mendasari sunnah Nabi Muhammad SAW, dan lapisan-lapisan seterusnya ke bawah.

6) Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala.

7) Hukum Islam dapat dibagi menjadi: (1) hukum taklifi atau hukum taklif, yaitu Al-Ahkam Al-Khamsah yang 7) Hukum Islam dapat dibagi menjadi: (1) hukum taklifi atau hukum taklif, yaitu Al-Ahkam Al-Khamsah yang

Dari ciri-ciri hukum Islam diatas dapat ditarik satu pengertian bahwa hukum Islam tidak lepas hubungan antara Allah SWT dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

d. Pengertian Hukum Pidana Islam

Dalam Islam, hukum pidana disebut “jinayat” sedangkan dalam perbuatan-perbuatan pidana disebut “jarimah”. Jinayat menurut bahasa Arab adalah bentuk kata jamak jinayah, yang artinya kesalahan, dosa, kriminil atau perbuatan dosa, dan yang memperbuat disebut Jani (Mahmud Yunus, 1973: 92).

Sedangkan kata jarimah adalah bentuk kata jamak, yang mufrad -nya adalah Jurmun dari kalimat isim, jarama dari kalimat fi’il , yang artinya, berbuat dosa, durhaka (Mahmud Yunus, 1973: 87). Untuk lebih jelas Zainudin Ali mendefinisikan hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban dalam hukum), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al- Qur’an dan hadis. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan- tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta Sedangkan kata jarimah adalah bentuk kata jamak, yang mufrad -nya adalah Jurmun dari kalimat isim, jarama dari kalimat fi’il , yang artinya, berbuat dosa, durhaka (Mahmud Yunus, 1973: 87). Untuk lebih jelas Zainudin Ali mendefinisikan hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban dalam hukum), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al- Qur’an dan hadis. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan- tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta

Jadi hukum pidana Islam adalah peraturan hukum mengenai perbuatan pidana yang melawan peraturan yang terdapat dalam nash-nash Al Quran dan hadis. Dalam hukum pidana Islam hukuman ada dua yaitu dunia dan akhirat salah satunya di dalam Al Quran dan al hadis hukuman zina adalah cambuk atau rajam hal tersebut dapat dijatuhkan di dunia sedangkan di akhirat melalui perhitungan dosa karena zina dapat menyebabkan dosa.

Dalam penerapan hukum pidana Islam harus memenuhi unsur-unsurnya agar dapat diterapkan meliputi :

1) Unsur formil adalah setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali ada undang-undang mengaturnya.

2) Unsur materiel adalah adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap perbuatan maupun sikap tidak berbuat.

3) Unsur moril adalah pelaku jarimah adalah orang yang dimintai pertanggung jawaban pidana terhadap yang dilakukannya. Dimana orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban harus memenuhi syarat sebagai mukallaf (Amad Wardi Muslich, 2006 : 28).

e. Asas-asas Hukum Pidana Islam

Dalam hukum pidana Islam terdapat asas-asasnya yang merupakan prinsip untuk menguatkan suatu keterangan. Asas hukum pidana, misalnya, adalah tolok ukur dalam pelaksanaan Dalam hukum pidana Islam terdapat asas-asasnya yang merupakan prinsip untuk menguatkan suatu keterangan. Asas hukum pidana, misalnya, adalah tolok ukur dalam pelaksanaan

1) Asas Legalitas

Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Al- Qur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat 15 dan Surah Al-An’aam (6) ayat 19. hal itu diungkapkan sebagai berikut, yang artinya:

Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (Departemen Agama RI, 2002 : 386).

Katakanlah: (Muhammad) “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” katakanlah: “Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al- Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain disamping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui”. Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)” (Departemen Agama RI, 2002 : 174).

Kedua ayat yang diungkapkan dia atas, mengandung makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas legalitas ini telah ada Kedua ayat yang diungkapkan dia atas, mengandung makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas legalitas ini telah ada

Dalam Hukum Pidana Islam terdapat dua ayat yang menunjukkan asas legalitas, dalam surat Al Israa’. ayat 15 yang menunjukkan asas legalitas dapat diambil intinya yaitu : “Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

Dari ayat-ayat Al Quran yang menunjukkan asas legalitas di atas para Fuqoha yaitu para ahli hukum Islam, menjabarkan beberapa kaidah-kaidah fiqhiyyah yang diantaranya :

a) Hukum asal dari segala perbuatan adalah diperbolehkan hingga ada suatu dalil yang membedakannya. Maksud kaidah diatas ialah, bahwa pada dasarnya setiap perbuatan itu boleh atau bebas untuk dilakukan dan pelakunya tidak dimintai pertanggungjawaban, sehingga ada atau lahir suatu aturan

menentukan lain (larangan/mengharuskan).

hukum

yang

b) Perbuatan orang berakal tidak ada hukum apapun terhadapnya sebelum ada nash (aturan) yang menentukan terhadapnya ini mengandung arti, bahwa setiap perbuatan mukallaf (yaitu orang yang dapat dibebani suatu tanggung jawab hukum), tidak dapat dituntut sebagai perbuatan pidana kecuali sebelumnya sudah ada nash (aturan hukum) yang b) Perbuatan orang berakal tidak ada hukum apapun terhadapnya sebelum ada nash (aturan) yang menentukan terhadapnya ini mengandung arti, bahwa setiap perbuatan mukallaf (yaitu orang yang dapat dibebani suatu tanggung jawab hukum), tidak dapat dituntut sebagai perbuatan pidana kecuali sebelumnya sudah ada nash (aturan hukum) yang

c) Tidak ada suatu perbuatan boleh dianggap sebagai jarimah (tindak pidana), dan tidak pula suatu hukuman (pidana) yang boleh dijatuhkan kepada pelakunya kecuali sebelum ada nash (aturan hukum) yang menentukan demikian (Tongat, 2009 : 61).

Hukun pidana Islam, ketentuan hukum biasa disebut dengan nash, yang mencakup hukum tertulis yaitu Al Quran, Al Hadis, Al Qonun/perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa, dan termasuk hukum tidak tertulisyaitu prinsip pokok yang disyariatkan yang bertujuan mencegah kerusakan (Tongat, 2009 : 62).

2) Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain

Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di dalam berbagai surah dan ayat di dalam Al-Qur’an: Aurat Al-An’aam ayat 165. Surah Al Faathir ayat 18 Surah Az-Zumar ayat 7, Surat An-Najm ayat 38, Surah Al-Muddatstsir ayat 38. sebagai contoh pada ayat 38 Surah Al-Muddatstsir Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain (Zainuddin Ali, 2007 : 6).

3) Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim

f. Sumber Hukum Pidana Islam

Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata (C.S.T. Kansil, 1989: 46). Zainuddin Ali menyebutkan membicarakan sumber hukum pidana Islam bertujuan untuk memahami ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaatinya (Zainuddin Ali, 2007: 15). Jadi sumber hukum pidana Islam sama dengan sumber hukum Islam yang meliputi :

1) Al Quran

Al Quran adalah wahyu dari Allah SW'I', yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril AS. Secara garis besar hukum dalam Al Quran dibagi menjadi dua macam, yaitu pertama mengenai hukum- hukum yang berhubungan dengan kepercayaan dan peribadatan kepada Allah SWT (Ibadah). Kedua mengenai hukum yang berhubungan, masyarakat dan hubungan antar sesama masyarakat/perdata (muamalah) (70 ayat), seperti pidana (jinayat) (30 ayat), tata negara (10 ayat), hubungan kekeluargaan (Muhammad Daud Ali, 1999 : 80) .

Segala sesuatu baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi sudah ada hukumnya dalam Al Quran, sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat Al-An ‘am ayat 38 yang artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab…” (Departemen Agama RI, 2002 : 177)

Dalam surat An Nahl ayat 89 juga dijelaskan, yang artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim)” (Departemen Agama RI, 2002 : 377)

2) Hadist

Sunnah atau hadist ialah ucapan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) atau penetapan (sunnah taqririyah) dari Nabi Muhammad SAW (Ahmad Hanafi, 1970: 58). Hadist merupakan sumber hukum Islam kedua setelah A1 Quran. Adapun fungsinya adalah sebagai berikut :

a) Menguatkan hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran.

b) Menafsirkan ketentuan-ketentuan Al Quran yang belum jelas.

c) Menetapkan hukum yang belum ada dalam Al Quran.

Kedudukan Sunnah atau Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Quran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat, yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti Hadist, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau meninggal (Abuddin Nata, 2001 : 72).

Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah penguasa dari kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” (Departemen Agama RI, 2002 : 114)

3) Ar-Ra’yu

Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran dan sunnah/hadis yang bersifat umum (Zainuddin Ali, 2007 : 16), dimana akal pikir tersebut harus memenuhi syarat untuk berijtihad, dimana metode ijtihad meliputi ijmak, qiyas, istidal, al-masalih al mursalah , istihsan, istihab, dan urf (Mohammad Daud Ali, 1999 : 72), keterangannya sebagai berikut : Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran dan sunnah/hadis yang bersifat umum (Zainuddin Ali, 2007 : 16), dimana akal pikir tersebut harus memenuhi syarat untuk berijtihad, dimana metode ijtihad meliputi ijmak, qiyas, istidal, al-masalih al mursalah , istihsan, istihab, dan urf (Mohammad Daud Ali, 1999 : 72), keterangannya sebagai berikut :

b) Qiyas Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.

c) Istihsan Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya. Pengecualian dimaksud dilakukan karena ada dasar yang kuat. Sebagai contoh, wanita itu sejak dari kepalanya sampai kakinya aurat. Kemudian diberikan oleh Allah dan Rasul keizinan kepada manusia melihat beberapa bagian badannya bila dianggap perlu.

d) Mashlahat Mursalah Mashlahat Mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun ketentuan khusus. Sebagai contoh mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan golongan.

e) Urf

Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-temurun tetapi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh jual beli dengan jalan serah terima, tanpa mengucapkan ijab-qabul (Zainuddin Ali, 2007 : 16-17).

f) Istishab

Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya

g) Istidal (baca:istidal)

Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam (Muhammad Daud Ali, 1999 : 110)

g. Jenis Hukuman Pidana Islam

Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukum yang pasti mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis. Hal dimaksud disebut hudud, (b) ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta’zir. Hukum public dalam ajaran Islam adalah jinayah yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya (Zainuddin Ali, 2007: 11).

2. Tinjauan Terhadap Hukum Pidana Indonesia

a. Pengertian Hukum Pidana

Dalam hukum pidana di Indonesia tidak terlepas dari pemikiran barat sesuai sejarahnya yang pernah dijajah oleh bangsa barat seperti Belanda. Hukum pidana (pidana = hukuman), yaitu hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan (C.S.T. Kansil, 1989 : 76).

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan (www.studihukum.com).

Selanjutnya pengertian hukum pidana dari para sarjana dimana berbeda-beda. Berikut ini beberapa pendapat para sarjana mengenai hukum pidana :

1) Lemaire Hukum Pidana adalah bahwa hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni penderitaan yang bersifat khusus (Lamintang, 1997 : 2).

2) Moljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut (Moeljatno, 2000 : 1).

Jadi pengertian hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang mengatur tindak pidana yang diancam sanksi pidana bagi yang melakukannya dan mengatur tata cara seseorang dapat dijatuhi pidana.

b. Sumber-sumber Hukum Pidana di Indonesia

Sumber hukum pidana di Indonesia terdiri dua macam bentuknya, dimana dalam sumber hukum tersebut ditemukan aturan hukum pidana yaitu :

1) Hukum pidana tertulis, hukum pidana tertulis ini adalah :

a) KUHP yang merupakan induk peraturan hukum pidana

positif yang dikodifikasi,

b) Undang-undang diluar KUHP yang memuat sanksi pidana, antara lain Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana

Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

2) hukum pidana tidak tertulis, yang dimaksud hukum pidana tidak tertulis ini adalah hukum pidana adat yang merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Bahwa dalam masyarakat tidak dapat dipungkiri adanya suatu aturan yang ditaati oleh masyarakat tertentu dalam bentuk aturan yang tidak tertulis. Hukum tidak tertulis itu juga harus dijadikan dasar patut tidaknya suatu perbuatan patut dipidana atau tidak, hal ini dikuatkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 1/Drt/ Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b, yang pada pokoknya hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dijadikan hakim untuk mengambil putusan, selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1) juga menyatakan : hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

3. Tinjauan Terhadap Asas Legalitas

a. Pengertian asas legalitas Dalam asas legalitas terdapat hal-hal penting yang tidak lepas dari pengertian asas legalitas yang dapat diuraikan secara garis besar sebagai berikut :

In countries that adopt the principle of individualistic schools oflegality ismaintained, whereas in the socialist principle of stateThis lot is no longer the Soviet adopted a clearsince 1926.This is in accordance with the tradition of civil law systems, thatThere are four aspects of the legality principle is strictly applied, namelylegislation (law), retroaktivitas (retroactivity),lex chert, and analogies. Regarding this fourth aspect, Roelof HHaveman said that In countries that adopt the principle of individualistic schools oflegality ismaintained, whereas in the socialist principle of stateThis lot is no longer the Soviet adopted a clearsince 1926.This is in accordance with the tradition of civil law systems, thatThere are four aspects of the legality principle is strictly applied, namelylegislation (law), retroaktivitas (retroactivity),lex chert, and analogies. Regarding this fourth aspect, Roelof HHaveman said that

menganut faham individualistis asas legalitas ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926. Hal demikian sesuai dengan tradisi sistem civil law, bahwa ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, Roelof HHaveman menyatakan bahwa meskipun bisa dikatakan bahwa tidak setiap Aspek ini yang kuat dengan sendirinya, kombinasi dari empat aspek memberikan makna lebih benar prinsip legalitas.

Asas legalitas secara jelas dapat diketahui di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang- undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.

Dari bunyi di atas dapat diketahui isi utama dalam asas legalitas yaitu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang- undang, dan undang-undang tersebut harus ada sebelum tindak pidana dilakukan.

Dari isi di atas dapat diuraikan lagi bahwa makna asas legalitas adalah perbuatan yang dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana dan undang-undang yang dirumuskan secara terperinci dan cermat atau lex certa (Eddy, 2009 : 24-25).

b. Sejarah asas legalitas Kemunculan asas legalitas dilatarbelakangi sejarah yang sangat panjang di mulai dari zaman Romawi kuno yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

In ancient Roman law that uses the Latin, is not known what thecalled the principle of legality. At the time the crime known criminal called extra ordinaria, which means 'the crimes that are not mentioned in the law'. In between criminal extra ordinaria this is the famous crimina stellionatus(deed wicked / evil).Historically, this criminal extra ordinaria kings adopted the ruling. Soopen a very wide opportunity to apply it arbitrarily. Bytherefore, the thought of must be specified in regulationsfirst invitation deeds what could be nvicted. From hereconstraints arise for states to apply criminal law (Elsam, 2005 : 2).

Secara garis besar artinya adalah dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatusn (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.

Sehingga pada Tahun 1791 yaitu setelah adanya revolusi Perancis dibentuklah suatu Code Penal yang dalam Code Penal inilah yang menurut para ahli hukum pidana dianggap sebagai embrio dari asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, kemudian pada tahun 1810 seorang penulis berkebangsaan Inggris yang bernama Bentham dengan pemikirannya yang dituangkan dalam suatu tulisan sangat mempengaruhi pembentuk Code Penal sehingga terbentuk suatu Code Penal baru, dan karena sejarahnya bangsa Perancis pernah menjajah bangsa Belanda maka pada tahun 1881 Wetboek van Strafrecht Belanda terbentuk tanpa sesuatu komentar apapun Pasal 4 Code Penal telah dijadikan suatu ketentuan dalam Wetboek van Strafrecht dikarenakan Belanda pernah menjajah Indonesia secara otomatis ketentuan dari Belanda diberlakukan di Indonesia, maka Pasal 4 Code Penal dikenal di Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.

Ditinjau dari sejarah kelahirannya ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP mempunyai hubungan yang erat dengan usaha manusia untuk mendapatkan suatu kepastian hukum dengan kata lain pencantuman asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP bertujuan mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang dapat merugikan individu maupun masyarakat.

Menurut Lamintang asas legalitas ini yang dalam rumusan bahasa latin yaitu nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali yang diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach (Lamintang, 1997 : 132). Rumusan asas legalitas yang dibuat oleh von Feuerbach dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dalam Menurut Lamintang asas legalitas ini yang dalam rumusan bahasa latin yaitu nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali yang diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach (Lamintang, 1997 : 132). Rumusan asas legalitas yang dibuat oleh von Feuerbach dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dalam

a. Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa penjatuhan hukuman harus didasarkan pada undang-undang.

b. Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang.

c. Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbutan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang- undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan undang-undang terhadap pelanggarnya (Lamintang, 1997 : 133-134).

Dengan demikian pendapat von Feuerbach mengenai asas legalitas dapat disimpulkan yaitu seseorang tidak dapat dihukum karena suatu perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.

c. Pembagian asas legalitas

Ada dua macam prinsip/asas untuk patut tidaknya seseorang dipidana hal ini terkait dengan adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, prinsip/asas tersebut adalah :

1) Asas legalitas formal yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan, bahwa dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat 1) Asas legalitas formal yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan, bahwa dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat

2) Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat. Asas legalitas ini menggariskan bahwa untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan bersifat melawan hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam bermasyarakat (Tongat, 2009 : 51).

B. Kerangka Pemikiran

Komparasi Asas Legalitas

Hukum Pidana Islam

KUHP Pasal 1 Ayat (1)

Tersurat dalam Al Quran :

Undang-undang Al Isra’ ayat 15,

t.p harus

harus ada sebelum Al An’aam ayat 19

dirumuskan dalam

UU

t.p dilakukan

Al Quran

UU tidak boleh Al hadits

berlaku surut

Ar ra’yu

Hukum adat tidak Tidak boleh

berlaku

menggunakan analogi

Ps. 5 Ayat (3) sub b UU No. 1/Drt/1951

Keterangan :

Dalam mengkomparasikan asas legalitas antara hukum pidana Islam dan KUHP, diuraikan dulu mengenai pengertiannya sehingga dapat diketahui kesamaan, perbedaan, yang di mana keduanya ada didalamnya, dalam asas legalitas dalam hukum pidana Islam tersurat dari beberapa ayat dalam Al Quran, di mana dalam pembahasannya tidak lepas dengan pengertian para ahli hukum Islam, yang mana asas legalitas tersebut mendasari berbagai hukum pidana Islam seperti Al Quran, Al hadist, Ar ra’yu karena dalam salah satu surat Al Isra ayat 15 dapat disebutkan intinya yaitu Kami tidak menghazab seseorang tanpa diutus seorang Rasul, dimana Rasul menjelaskan mengenai sumber hukum Islam khususnya hukum pidana Islam, dimana dalam Ar ra’yu sendiri ada hukum tidak tertulis yaitu adat istiadat/urf’, sedangkan asas legalitas dalam KUHP terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) yang isinya terdapat dua hal pokok yaitu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang, dimana undang-undang merupakan sumber hukum tertulis, dan undang-undang harus ada sebelum tindak pidana dilakukan. Dalam hal tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang memiliki konsekuensi yaitu hukum adat tidak berlaku tetapi penyimpangan terjadi dengan pengakuan hukum adat oleh UU No. 1/Drt/ Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b, konsekuensi selanjutnya adalah penafsiran secara analogi tidak boleh digunakan dalam menentukan suatu tindak pidana yang tidak dirumuskan undang-undang dapat dipidana atau tidak, dan mengenai undang-undang harus ada sebelum tindak pidana dilakukan konsekuensinya undang-undang tidak boleh berlaku surut.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP)

1. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana Islam

Hukum pidana Islam mempunyai istilah yaitu jinayah, yang mempunyai pengertian adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ , baik perbuatan tersebut mengenai agama, jiwa, harta, pikiran, dan keturunan. Dalam hukum pidana Islam tersebut memiliki asas yang sangat penting, karena menunjukkan suatu keadilan dan ketidak sewenang-wenangan dalam menghukum seseorang yang melakukan jarimah yaitu asas legalitas, dimana dalam hukum pidana Islam asas legalitas tersebut sudah dikenal walaupun secara tersirat dibanding dengan hukum pidana positif yang baru mengenalnya pada akhir abad delapan belas Masehi, ketika pertama kali dimuat dalam hukum Perancis sebagai hasil revolusi Perancis.

Asas legalitas dalam hukum pidana Islam tersurat dalam ayat dan surat dalam Al Quran, yaitu berdasarkan Al Quran surat Al-Isra’ (17) ayat 15 dan surat Al- An’aam (6) ayat 19. hal itu diungkapkan sebagai berikut, yang artinya: