Perilaku Penjualan Antibiotika oleh Petugas Apotek di Kota Denpasar.

LAPORAN PENELITIAN

PERILAKU PENJUALAN ANTIBIOTIKA
OLEH PETUGAS APOTEK
DI KOTA DENPASAR

TIM PENELITI
dr. I.G.M.Gde Surya Chandra Trapika, M.Sc
dr. Putu Ayu Swandewi Astuti., MPH
dr. Ni Wayan SucindraDewi, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas
rahmatnya Tim Peneliti bisa menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Perilaku Penjualan
Antibiotika Oleh Petugas Apotek di Kota Denpasar” tepat pada waktunya dan telah pula
berhasil menyusun laporan penelitian ini. Harapan dari kami agar hasil penelitian ini bisa

dipergunakan untuk menambah wawasan tentang perilaku penjualan antibiotika dan dapat
dijadikan sebagai bahan masukan untuk pemangku kepentingan terkait dalam upaya
meningkatkan rasionalitas penjualan dan penggunaan antibiotika di masyarakat.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini baik dari Unit Penelitian Fakultas Kedokteran Unud,
Program Studi Pendidikan Dokter, FK, Unud; Bagian Farmakologi, PSPD, FK, Unud; PS.
Kesehatan Masyarakat FK, Unud, apotek dan petugas apotek yang terlibat pelatihan serta
petugas pengumpul data.
Tidak lupa pula kami menyampaikan harapan untuk masukan dan saran dari pembaca
untuk penyempurnaan laporan dan permohonan maaf bila ada kekeliruan dalam penggunaan
tata bahasa dalam laporan ini.

Denpasar,
2015

Tim Peneliti

September

DAFTAR ISI


Lembar Pengesahan

...........................................................................................

i

Kata Pengantar

...........................................................................................

ii

Daftar Isi

..........................................................................................

iii

BAB I Pendahuluan


..........................................................................................

1

BAB II Tinjauan Pustaka

..........................................................................................

4

BAB III Metode Penelitian

..........................................................................................

8

BAB IV Hasil Penelitian

..........................................................................................


12

BAB V Pembahasan

..........................................................................................

17

BAB VI Simpulan dan Saran ..........................................................................................

20

BAB VII Daftar Pustaka

21

..........................................................................................

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sejalan dengan meningkat dan berkembangnya penyakit tidak menular dan degeneratif,
penyakit infeksi dan menular juga semakin berkembang dan memberikan tantangan dan
permasalahan serius bagi dunia kesehatan. Tantangan yang dihadapi tidak saja terhadap
perubahan pola transmisi penyebaran, munculnya strain-srain baru dan mutasi kuman
pathogen, juga mengenai penanganan dan pengobatannya. Masalah yang sering muncul
adalah ketepatan dan rasionalitas pemberian obat dalam menangani suatu kasus, salah
satunya adalah pemberian antibiotika (Centres for Disease Control and Prevention: 2013).
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat, tidak rasional dan cenderung tidak terkontrol
berimbas pada menurunnya efektifitas antibiotika akibat meningkatnya resistensi kuman
poatogen terhadap antibiotika. Permasalahan ini tidak saja dihadapi negara-negara
berkembang, juga terjadi di negara-negara maju (Kardas, P., et al: 2005). Resistensi
antibiotika akan menimbulkan permasalahan yang sangat serius dalam penanganan
penyakit infeksi. Kesulitan penanganan ini akan berakibat pada kegagalan terapi dan
berujung pada meningkatnya morbiditas dan mortalitas (Holloway, K. & Van Dijk, L.:
2011; Centres for Disease Control and Prevention: 2013).
Munculnya resistensi antibiotika kerap dikaitkan dengan perilaku penggunaan
antibiotika yang keliru di kalangan petugas medis di pusat-pusat pelayanan kesehatan.

Antibiotika kerap diberikan pada kasus-kasus infeksi yang tidak memerlukan antibiotika,
seperti infeksi pernafasan atas dan infeksi saluran cerna yang diakibatkan oleh virus akibat
dari penggunaan antibiotilka yang tidak tepat dan berlebihan (Muras, M., et al: 2013; Bin
Abdulhak, A.A., et al: 2011). Perilaku ini jelas akan berpotensi menimbulkan resistensi
antibiotika, tetapi penggunaan antibiotika secara sembarangan jauh lebih besar (80%)
terjadi di populasi. Perilaku mengobati diri sendiri sangat jamak dilakukan dengan
antibiotika yang diperoleh tanpa resep dokter (Mitsi, G., et al: 2005; Bin Abdulhak, A.A.,
et al: 2011).
Perilaku masayarakat dalam penggunaan antibiotika secara luas ini sangat
dimungkinkan akibat mudahnya akses masyarakat dalam memperoleh antibiotika.
Antibiotika yang seyogyanya hanya bisa diperoleh dengan resep dokter, dengan sangat
mudah dapat diperoleh tidak saja di apotek dan toko obat juga dapat diperoleh di warung
dan kios kaki lima. Permintaan antibiotika tanpa resep dokter ini akan dilayani dengan

terbuka oleh petugas apotek dengan tidak mengindahkan tujuan pembelian dan penggunaan
antibiotika itu sendiri. Pembelian antibiotika ini juga tanpa disertai pemberian informasi
yang cukup mengenai indikasi dan cara penggunaannya oleh petugas apotek. Jikapun ada,
informasi yang disampaikan sangat minim dan tidak jarang informasi yang disampaikan
kurang tepat (Bin Abdulhak, A.A., et al: 2011; Puspitasari, H.P., et al : 2011)
Seringkali pembelian obat yang seyogyanya baru bisa dikeluarkan oleh apotek

dengan resep dokter ini diberikan kepada masyarakat tanpa resep dokter. Petugas yang
bekerja di apotek dan kebijakan pemilik apotik memegang peranan penting dalam situasi
ini. Oleh karena itu dalam upaya untuk mencegah penggunaan obat antibiotika secara bebas
di masyarakat, eksplorasi tentang pemahaman petugas apotek tentang antibiotika,
penggunaannya dan juga pembelian antibiotika secara bebas. Disamping itu untuk
mendapatkan informasi yang lebih komprehensif, pemahaman dan kebijakan pemilik
apotek dan apoteker juga perlu digali. Informan lain yang juga terkait dengan penggunaan
dan pengawasan antibiotika perlu juga dieksplorasi meliputi balai pengawasan obat dan
minuman (BPOM), Dinas Kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya.
1.2.Perumusan Masalah
Bagaimanakah pemahaman, persepsi dan perilaku penjualan antibiotika oleh petugas
apotek di Denpasar serta bagaimanakah kebijakan pemilik apotek serta stakeholder
terkait tentang penjualan antibiotika secara bebas?
1.3.Tujuan
a. Mengeksplorasi pemahaman petugas apotek tentang antibiotika dan penjualannya
b. Mengekplorasi persepsi petugas apotek tentang penjualan antibiotika secara bebas
kepada masyarakat
c. Mengeksplorasi perilaku penjualan antibiotika secara bebas oleh petugas apotek
1.4.Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Penggunaan antibiotika secara tidak rasional oleh masyarakat sangat berisiko

menimbulkan resistensi dari mikroorganisme yang sebelumnya masih bisa diatasi oleh satu
antibiotika tertentu. Kondisi ini tentu akan memberikan dampak kembali kepada masyarakat
baik terhadap kesehatannya karena akan membutuhkan proses penyembuhan yang lebih lama
dan juga secara ekonomi karena masyarakat harus diberikan obat antibiotika lain yang
kemungkinan besar harganya lebih mahal dari obat sebelumnya.

Penggunaan antibiotika yang tidak rasional ini sangat terkait dengan kemudahan
masyarakat untuk mendapatkan antibiotika secara bebas yang sangat mendesak sekali untuk
dikendalikan. Dalam upaya pengendalian dan pengawasan penjualan antibiotika secara bebas
ini, kami telah melakukan eksplorasi pemahaman masyarakat tentang antibiotika, saat ini
masih dalam tahapan analisis data. Hasil eksplorasi ini sangat perlu dilengkapi dengan
pandangan dari sisi penyedia layanan dalam hal ini petugas apotek dan pemangku
kepentingan terkait untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang pola
penggunaan dan penjualan antibiotika di masyarakat.
Petugas apotek memegang peranan penting dalam akses antibiotika oleh masyarakat.
Pemahaman petugas apotek tentang antibiotika dan penjualannya sangat penting untuk
menjadi kajian. Tentu saja peranan pemilik apotek yang mempunyai kebijakan tentang
penjualan obat di apoteknya sangat erat kaitannya dengan perilaku penjualan antibiotika di
apotek sehingga pandangan dan kebijakan dari pemilik apotek perlu digali. Disamping itu
pemangku kepentingan lainnya seperti Dinas Kesehatan, Asosiasi Apoteker, BPOM juga

mempunyai peranan dalam penjualan dan pengawasan penjualan antibiotika di lapangan.
Dengan mendapatkan pandangan dari semua responden diatas diharapkan akan
memberikan gambaran yang cukup komprehensif tentang perilaku penggunaan dan
penjualan antibiotika di masyarakat. Hal ini akan menjadi bahan kajian dalam meninjau
pengawasan penjualan obat antibiotika, menyusun kebijakan penjualan antibiotika serta
bahan promosi kesehatan kepada masyarakat tentang penggunaan antibiotika secara rasional
guna mencegah terjadinya resistensi.
1.5.Luaran
Hasil penelitian ini akan menjadi bahan kajian akademis dalam upaya
mengembangkan kebijakan penjualan obat antibiotika dan pengawasannya. Pada akhir
penelitian akan dilakukan diseminasi kepada pemangku kepentingan meliputi Dinas
Kesehatan, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), asosiasi apoteker, pemilik
apotek, perwakilan petugas apotek dan stakeholder lainnya untuk membahas upaya dan
kebijakan yang dapat diambil dalam mengurangi penjualan antibiotika secara bebas.
Hasil penelitian ini juga akan dipublikasi dalam pertemuan ilmiah dan jurnal
ilmiah sehingga bisa menjadi bahan pustaka buat praktisi dan peneliti lainnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Antibiotika
Antibiotika merupakan obat yang ditujukan dalam penanganan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. Secara garis besarnya antibiotika dibedakan berdasarkan spectrum
yang dimilikinya dalam mengatasi bakteri. Antibiotika spectrum luas memiliki kemampuan
dalam membunuh bakteri gram positif maupun bakteri gram negative. Sedangkan antibiotika
spectrum sempit memiliki kemampuan yang spesifik terhadap satu jenis golongan bakteri saja.
Penggolongan umum lainnya adalah berdasarkan kemampuan antibiotika dalam menangani
bakteri. Dikenal istilah bakterisidal, yang merupakan kemampuan kerja antibiotika hingga
dapat membunuh bakteri. Bakteristatis dalah kemampuan antibiotika yang menjadikan baketri
kehilangan kemampuannya dalam melakukan infeksi. Penggolongan lain yang lebih spesifik
adalah klasifikasi antibiotika pada tempat dan cara kerjanya dalam mengatasi infeksi yang
disebabkan oleh bakteri.
Golongan β-laktam memiliki 4 gugus cincin laktam dengan membawa amino sekunder.
Mekanisme kerja dari golongan β-laktam ini adalah dengan menghambat pembentukan dinding
sel bakteri melalui penghambatan reaksi transpeptidasi. Efektifitas golongan β-laktam dalam
membunuh bakteri terjadi bila bakteri dalam fase aktif tumbuh dan membentuk dinding sel.
Antibiotika yang termasuk ke dalam golonagan ini antara lain: penisilin, aminopenisilin,
ampisilin, amoksisilin, sefalosporin, β-laktamase inhibitor (asam klavulanik, sulbaktam), dan
carbapenem. Resistensi terhadap penisilin dan β-laktam yang lain melalui beberapa
mekanisme, yaitu: (i) hidrolisis gugus β-laktam oleh enzim β-laktamase yang menyebabkan

antibiotika kehilangan kemampuan antibakterinya, (ii) modifikasi enzim penicillin binding
protein (PBP) sebagai tempat ikatan penisilin), (iii) menghalangi penetrasi antibiotika menuju
target ikatannya (PBP), (iv) mengeluarkan antibiotika dari dinding sel (Deck, D.H. & Winston,
L.G.: 2012)
Golongan

aminoglikosida

memiliki

cincin

heksosa,

streptidin

ataupun

2-

deoksistreptamin. Golongan ini larut dalam air dan lebih aktif dalam suasana pH yang alkalis.
Mekanisme kerja dari golongan aminoglikosida dengan menghambat sintesis protein bakteri.
Aminoglikosida akan berikatan dengan sub unit 30S ribosom yang mengakibatkan adanya: (i)
gangguan pembentukan komplek peptida, kesalahan pembacaan mRNA dan pemecahan
gugusan polisomal menjadi non fungsional monosomal. Antibiotika yang termasuk ke dalam
golongan ini yaitu: streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin,
sisomisin dan netilmisin. Resistensi terhadap golongan aminoglikosida ini terjadi melalui
beberapa mekanisme yaitu: (i) inaktivasi aminoglikosida melalui proses adenililasi, asetilasi

ataupun fosforilasi oleh enzim transferase yang diproduksi oleh bakteri, (ii) mutasi maupun
delesi dari protein yang membawa aminoglikosida ke dalam sitoplasma bakteri, (iii) mutasi
reseptor pada protein sub unit 30S ribosom sebagai tempat ikatan aminoglikosida (Deck, D.H.
& Winston, L.G.: 2012).
Golongan antifolat, sulfonamide memiliki struktur yang menyerupai p-aminobenzoic
acid (PABA). Keunikan dari bakteri adalah mereka tidak dapat menggunakan folat yang
bersumber dari luar. Folat harus diproduksi sendiri melalui PABA. Folat sangat esensial bagi
bakteri dalam pembentukan purin dan sintesis asam nukleat. Dengan adanya struktur yang
sama dengan PABA, sulfonamide menghambat pembentukan folat dengan cara menghambat
kerja enzim dihydropteroate synthase. Kemampuan penghambatan ini akan lebih baik jika
sulfonamide dikombinasi dengan trimethoprim atau pyrimetthamine yang memiliki
kemampuan dalam menghambat pembentukan folat melalui penghmbatan kerja dari enzim
dihydrofolate reductase. Resistensi terhadap golongan ini dapat terjadi melelui beberapa cara,
yaitu: (i) mutasi yang menyebabkan produksi PABA yang berlebih, (ii) mutasi dengan
memproduksi enzim folic acid-synthesizing yang memilki afinitas yang rendah terhadap
sulfonamide, (iii) mutasi yang menurunkan permeabilitas terhadap sulfonamide (Deck, D.H.
& Winston, L.G.: 2012).
Golongan fluoroquinolon memiliki kemampuan dalam menghambat sintesis DNA
dengan cara menghambat kerja enzim topoisomerase II (DNA gyrase) and topoisomerase IV
bakteri. Resistensi terhadap golongan ini terjadi melalui mekanisme mutasi bakteri. Mutasi
pada enzim sebagai tempat ikatan quinolon menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas
quinolon. Mekanisme lain yaitu dengan pembentukan protein Qnr yang dapat melindungi DNA
gyrase dari quinolon(Deck, D.H. & Winston, L.G.: 2012).
Golongan macrolide dengan gugusan cincin macrocyclic lactone memiliki kemampuan
menghambat sintesis protein bakteri melalui ikatan dengan sub unit 50S ribosom RNA. Yang
termasuk dalam golongan ini yaitu eritromisin dengan derivatnya clarithromycin and
azithromycin. Setidaknya terdapat tiga mekanisme terjadinya resistensi terhadap golongan
macrolide, yaitu: (i) penurunan permeabilitas membrane sel terhadap macrolide dan
pengeluaran mcrolde dari sitoplasma, (ii) pembentukan enzim esterase yang memiliki
kemampuan hidrolisis terhadap macrolide, (iii) mutasi terhadap tempat ikatan macrolide pada
ribosom. Golongan lain yang memiliki kemampuan dalam menghambat sintesis protein bakteri
melalui ikatan dengan sub unit 50S ribosom serta menghambat pembentukan ikatan peptide
adalah kloramfenikol. Resistensi terhadap kloramfenikol terjadi akibat inaktifasinya oleh
enzim chloramphenicol acetyltransferase (Deck, D.H. & Winston, L.G.: 2012).

Golongan tetrasiklin memiliki kemampuan dalam sintesis protein bakteri melalui ikatan
dengan sub unit 30S ribosom. Resistensi terhadap golongan ini terjadi melalui mekanisme
sebagai berikut: (i) penghambatan masuknya tertrasiklin ke dalam sitoplasma ataupun
peningkatan kemampuan pengeluaran tetrasiklin dari sitoplasma melalui pompa transport aktif
protein, (ii) produksi protein yang dapat menghambat ikatan tetrasiklin dengan ribosom, (iii)
inaktivasi tetrasiklin oleh enzim (Deck, D.H. & Winston, L.G.: 2012).
2.2. Penggunaan Antibiotika
Sejak diperkenalkannya antibiotika yang memiliki kemampuan dalam mengatasi
berbagai infeksi, kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan antibiotika telah membentuk
anggapan bahwa antibiotika mampu menangani segala infeksi yang tidak bisa diatasi dengan
obat lain. Persepsi ini telah membawa penggunaan antibiotika yang meluas dan cenderung
tidak rasional (Holloway, K. & Van Dijk, L.: 2011; Centres for Disease Control and
Prevention: 2013).
Penggunaan antibiotika yang rasional adalah penggunaan antibiotika yang tepat
indikasi, tepat dosis sesuai dengan kebutuhan individu, tepat waktu / periode pemberian serta
ekonomis dengan harga yang terjangkau bagi individu dan masyarakat. Penggunaan antibiotika
yang tidak rasional adalah penggunaan antibiotika yang tidak memenuhi kaidah-kaidah
tersebut

di

atas.

Bentuk

penggunaan

antibiotika

yang

irasional

dapat

berupa

penggunaan/peresepan antibiotika yang berlebihan pada kasus-kasus yang tidak memerlukan
antibiotika, peresepan yang tidak sesuai dengan guidelines yang berlaku, polifarmasi,
pengobatan diri sendiri dengan antibiotika. Diperkirakan di seluruh dunia lebih dari duapertiga
antibiotika dijual tanpa menggunakan resep dokter. Kepatuhan dalam menggunakan antibiotika
sesuai anjuran juga masih rendah (Holloway, K. & Van Dijk, L.: 2011; Centres for Disease
Control and Prevention: 2013).
Penggunaan antibiotika yang irasional merupakan ancaman yang sangat serius bagi
kesehatan masyarakat. Penggunaan yang tidak tepat akan membawa implikasi pada penurunan
efektifitas antibiotika dalam mengatasi infeksi dan berakhir pada resistensi. Kenyataan ini akan
mengakibatkan semakin sulitnya penanganan penyakit infeksi yang dapat berakibat
meningkatnya angka kematian akibat penyakit infeksi. Kondisi ini diperparah dengan
perkembangan dan penemuan antibiotika generasi baru yang sangat lambat bahkan cenderung
stagnan dalam beberapa dekade terakhir (Holloway, K. & Van Dijk, L.: 2011).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Denpasar antara Bulan Mei-September 2015
3.3. Bagan Alir (Roadmap Penelitian)
Tabel 3.1. Bagan alir penelitian
Tema Riset

Sudah
dilakukan

Eksplorasi dalam Usulan Penelitian ini Rencana Selanjutnya
(Petugas Apotek dan Pemangku Kepentingan
1

Rasionalisasi
Penggunaan
Antibiotika
di
Masyarakat

2

Bulan
3
4

5

6

Dilakukannya Dilakukannya: Dilakukan
Eksplorasi
nya
pemahaman -Pengembang - Survei
terhadap
an alat
,sikap dan
- Penulisan
petugas
pengumpul
perilaku
laporan
apotek
penggunaan data
- Seminar
- Analisis data diseminasi
(kuesioner
antibiotika
kuantitatif dan hasil
-Pengembang
oleh
an sampling
kualitatif
masyarakat
- Penulisan
frame dan
di Bali
dan
pemilihan
pengajuan
sampel
artikel ke
-Didapatkan
jurnal
ijin penelitian
dan
persetujuan
etik dari
komisi etik
Litbang FKRSUP
Sanglah
-Pelatihan
pewawancara

Dilakukannya:
- Eksplorasi
rasionalisasi
pemberian
antibiotika oleh
dokter praktek
- Pengembangan
kebijakan penjualan
antibiotika di
apotek
- Eksplorasi faktor
penghambat
implementasi dan
pengawasan
penjualan
antibiotika di
apotek
- Promosi kesehatan
tentang penggunaan
antibiotika yang
rasional

3.4. Populasi dan Sampel:
Populasi target dan populasi terjangkau dari penelitian ini adalah semua petugas apotek
yang berada di Kota Denpasar. Jumlah apotek di Kota Denpasar sebanyak 194 buah (Pemkot
Denpasar, 2015)
Besar Sampel ditentukan dengan menggunakan rumus besar sampel estimasi 1 proporsi
(Lwanga & Lemeshow), dengan proporsi pemahaman tentang alergi terhadap antibiotika di
daerah urban sebesar 70% (P) tingkat kemaknaan 95%(1-α) dan presisi absolut 10%.
Didapatkan besar sampel minimal sebesar 81 orang, yang dibulatkan menjadi 100 orang.
Rumus Perhitungan besar sampel sebagai berikut:
2

Z
P(1  P)
n  1 / 2 2
d

2

Keterangan:
n
P
d

: Besar sampel
: Proporsi pemahaman tentang alergi terhadap antibiotika di daerah urban =70%
(Widayati, A., et al; 2012)
: presisi absolut

Cara pengambilan Sampel
Sampel diambil dengan cara multistage cluster sampling dengan unit sampling adalah
apotek. Dari daftar apotek di Kota Denpasar akan dipilih 50 apotek secara systematic random
sampling; dari masing-masing apotek akan dipilih 2 orang petugas apotek
3.4. Variabel dan Definisi Operasional Variabel:
Tabel 3.2 Variabel dan definis operasional variabel
No Variabel

Definisi Operasional

1

Pemahaman
tentang
Antibiotika
dan
penjualan
antibiotika

2

Persepsi
tentang
penjualan
antibiotika
secara bebas

Pemahaman responden tentang
antibiotika meliputi:
Ordinal
- Kegunaan antibiotika
- Indikasi penggunaan antibiotika
- Cara penggunaan antibiotika
- Potensi terjadinya alergi dan
resisitensi
- Penjualan antibiotika
Ordinal
- Perceived
Risk/susceptibility
- Perceived Severity
- Perceived Benefit
- Perceived Barrier

Skala
Pengukuran

Pengelompokan
Baik: skor ≥
75%
Sedang:
skor
55% - 74%
Kurang : < 55%

Baik : respon
positif ≥ 65%
Kurang< 65%

3

Perilaku
Penjualan
antibiotika
secara bebas

4

Umur

5

Jenis
Kelamin
Pendidikan

6

Riwayat penjualan antibiotika Nominal
dalam 1 minggu terakhir
- Jenis yang dijual
- Jumlah
- Pakai resep atau dijual bebas
Usia
dari
responden
yang Kontinyu
didapatkan dari wawancara
Jenis kelamin
Nominal
Tingkat pendidikan formal terakhir

Ordinal

1=Laki-laki
2=Perempuan
1=Tidak pernah
sekolah;
2=Tidak Tamat
SD; 3= SD;
4=SMP;5=SMA
6=PT

3.5. Cara Pengumpulan Data
a. Data tentang pemahaman dan perilaku petugas apotek
Data tentang pemahaman petugas apotek tentang antibiotika dan penjualannya dikumpulkan
dengan metode wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Kuesioner telah diuji coba
terlebih dahulu untuk mendapatkan persamaan persepsi sesuai dengan tujuan penelitian.
Sebelum turun ke lapangan, pewawancara telah diberikan pelatihan untuk penyamaan persepsi
dan cara penggalian informasi.
3.6. Analisis Data
Data dari survey terhadap petugas apotik
Data kuantitatif yang didapatkan dari wawancara terhadap petugas apotek akan diolah dan
dimasukkan kedalam perangkat statistik. Analisis data akan meliputi analisis deskriptif untuk
menggambarkan karakteristik demografi, pemahaman, persepsi dan perilaku penjualan
antibiotika. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel, angka dan narasi.
3.7. Pertimbangan Etik
Dalam penelitian ini, pertimbangan etik mencakup kerahasiaan dari responden dan
apotek yang terpilih sebagai sampel penelitian. Informed consent diberikan kepada responden
sebelum dilakukan wawancara. Data hasil penelitian disimpan dalam tempat yang aman, serta
hasil dari penelitian ini akan didiseminasikan kepada pemangku kepentingan melalui
pertemuan diseminasi dan juga melalui publikasi ilmiah dalam seminar maupun jurnal ilmiah.
Usulan penelitian ini diusulkan untuk mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Fakultas
Kedokteran-RSUP Sanglah Denpasar.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Sebanyak 100 orang petugas apotek telah diwawancarai dengan distribusi sampel yang diambil
dari apotek di Kec Denpasar utara 32%, Denpasar Timur 14%, Denpasar Barat 26% dan
Denpasar Selatan 28%. Apotek yang terpilih sebagai sampel sebagian besar (72%) dengan
praktek dokter.
3.1 Karakteristik Responden
Petugas apotek yang diwawancarai rata-rata berumur 32,9 tahun dan sebanyak ¾ adalah
perempuan. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA/SMK (70%), namun masih ada
sebanyak 3% dengan pendidikan SMP kebawah.
Tabel 3.1 Karakteristik Responden Petugas Apotek di Kota Denpasar
Frekuensi
Karakteristik
Umur (Mean±SD)

Persentase (%)

32,9±12,5 tahun

Jenis Kelamin
-

Laki-laki
Perempuan

26

26

74

74

1

1

2

2

70

70

15

15

12

12

56

56

44

44

3

6,8

41

93,2

Tingkat Pendidikan
-

SD
SMP
SMA/SMK
Diploma
S1 Keatas

Pendidikan Farmasi
-

Ya
Tidak

Riwayat Pelatihan *
-

Ya
Tidak

Lama Kerja (Median; IQR)

5; 2-11 tahun

Lama Kerja/hari (Median; IQR)

7; 7-8 jam

*) n=44 Khusus yang tidak berlatar belakang pendidikan farmasi

Dari tabel 1 dapat dilihat sebanyak 56 orang mempunyai pendidikan khusus farmasi dan dari
mereka yang tidak memiliki pendidikan farmasi hanya 3 orang (6.8%)yang pernah
mendapatkan pelatihan tentang obat. Untuk lama kerja, sebanyak 50% mempunyai masa kerja
5 tahun atau kurang, namun ada 1 orang yang bekerja baru 1 bulan, sedangkan lama kerja per
hari berkisar 7-8 jam.

3.2 Perilaku Penjualan Antibiotika
Untuk penjualan antibiotika dieksplorasi penjualan antibiotika dengan resep, dan perilaku
petugas apotek dalam penjualan antibiotika
Tabel 3.2 Perilaku Penjualan Antibiotika oleh Petugas Apotek di Kota Denpasar
Perilaku

Frekuensi

Persentase (%)

20

20.2

29

29.3

22

22,2

25

25,3

3

3,0

43

43

32

32

25

25

16

16

81

81

3

3

Penjualan dengan resep*
-

Semua dengan resep
3/4
1/2