Heteronomisasi medan sastra di bawah neoliberalisme : analisis modal kultural mengenai sastra dan fiksi populer.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK



Pascareformasi adalah era demokratisasi dan desentralisasi politik. Di saat
bersamaan, (neo)-liberalisasi, khususnya di bidang ekonomi, juga berlangsung lebih
massif. Kekuasaan dominan ekonomi ini tentu saja memengaruhi struktur
masyarakat yang ada, termasuk dalam bidang atau medan yang spesifik, seperti
sastra. Di masa inilah kategori hierarkis Sastra-fiksi populer dipertanyakan dan
digugat, pusat legitimasi Sastra dikritik tajam, dan perayaan atas yang-populer
berlangsung semarak. Masuk dan diterimanya berbagai pemikiran baru, seperti
kajian budaya dan multikulturalisme, ikut berkontribusi pada dinamika hubungan
Sastra-fiksi populer. Sebagian agen sastra mempromosikan pentingnya kajian atas
fiksi populer, sebagian lagi tidak mau memakai label Sastra-fiksi populer, sebagian

lain tidak peduli, dan beberapa berpendapat bahwa kategorisasi tetap diperlukan
demi menjaga otonomi sastra. Karena perbedaan pendapat semacam itulah muncul
beberapa karya yang dianggap sebagai Sastra sekaligus fiksi populer.
Ada tiga pengarang yang karyanya menempati posisi ambang dan diperiksa
dalam penelitian ini: Andrea Hirata, Dewi Lestari, dan Habiburrahman El Shirazy.
Penelusuran atas fenomena ‘novel-novel ambang’ itu membantu kita memahami apa
yang terjadi dalam dunia sastra Indonesia pascareformasi, terutama dalam
kaitannya dengan otonomi-heteronomi sastra dari kekuasaan neoliberal yang
dominan saat ini. Namun, untuk bisa mendapatkan gambaran yang lebih konkrit,
diperlukan perbandingan dengan masa sebelumnya, juga penyelidikan mengenai
bentuk modal kultural yang menopang fenomena itu. Karenanya, penelitian ini juga
menelisik sejarah Sastra-fiksi populer sejak masa kolonial hingga prareformasi dan
memeriksa perubahan bentuk modal yang yang terjadi di era pascareformasi.
Pemeriksaan atas hubungan Sastra dan fiksi populer serta hubungan sastra
dengan kekuasaan dominan dilakukan dengan meminjam kerangka teoretis dari
Pierre Bourdieu dan Ken Gelder. Bourdieu menteorikan medan, modal, habitus,
doksa, dan jenis-jenis legitimasi dalam produksi budaya; sedangkan Gelder
memakai teori Bourdieu untuk memeriksa Sastra dan fiksi populer di Barat sebagai
dua medan berbeda. Keduanya sama-sama melihat produksi budaya dalam
kaitannya dengan kekuasaan—baik internal dalam sebuah medan maupun eksternal

(kekuasaan politik dan ekonomi).
Melalui penyelidikan atas sejarah medan Sastra-fiksi populer, ditemukan
bahwa (a) proses kategorisasi Sastra-fiksi sebagai dua medan berbeda, dengan kata
kunci otonomi dan heteronomi, berlangsung lama dan hubungan kedua medan itu
tidak statis; dan (b) karena unsur pascakolonialitas, otonomi medan Sastra di
Indonesia juga tidak sama persis dengan di Barat seperti laporan Gelder. Melalui
penyelidikan terhadap modal kultural para novelis ambang, penerimaannya oleh
medan Sastra, dan modal kultural mengenai Sastra-fiksi populer pascareformasi,
ditemukan bahwa nilai-nilai neoliberalisme selalu hadir dan karenanya secara tidak
langsung mengubah struktur medan Sastra. Medan Sastra pascareformasi setelah
dioverdeterminasi neoliberalisme adalah medan Sastra yang cenderung lebih
heteronom dibandingkan masa sebelumnya, lebih ramah pasar, dan lebih
menghargai pengakuan massa. Akhirnya, neoliberalisasi adalah proses pengikisan
otonomi medan Sastra terhadap kekuasaan ekonomi.



vii

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI



ABSTRACT

The post-reform Indonesia is an era of political democratization and
decentralization. In the same time, (neo)-liberalization, especially in the economic
sector, is growing massively. This dominant economic power affects the prevailing
structure of society, including specific fields like literature. In this very era, the
hierarchical categories of Literature-popular fiction are questioned and interfered,
the centers of Literary legitimacy are criticized, and the popular is ubiquitously
celebrated. New views and ideas, such as derived from cultural studies and
multiculturalism, contribute to the dynamic relationship between Literature and
popular fiction. Some Literary agents promote the significance of studying popular
fiction, some others are unwilling to attach the labels of Literature and popular

fiction, some just do not care about the label, and some view the categorization as
necessary to guard the autonomy of literature. Due to the different views, some
works considered as Literature as well as popular fiction have emerged.
There are three authors whose works occupy this ‘floating position’ and are
examined in this research: Andrea Hirata, Dewi Lestari, and Habiburrahman El
Shirazy. The exploration of the ‘floating novels’ help us understand what is
occurring in the Indonesian post-reform literary world, especially in terms of its
autonomy-heteronomy relation to the dominant neoliberal power. However, to gain
the concrete picture of the relation, a comparison to the former era is necessary and
the forms of cultural capital sustaining the phenomenon need to be revealed. Hence,
this research traces the history of Literature-popular fiction from the colonial up to
the pre-reform era and investigates the changing forms of cultural capital in the
post-reform time.
The examinations of the relation between Literature and popular fiction as
well as their connection to the dominant power are conducted with the help from
Pierre Bourdieu’s and Ken Gelder’s theoretical frameworks. Bourdieu theorized
field, capital, habitus, doxa, and legitimacies in cultural production; while Gelder,
utilizing Bourdieu’s theories, analyzed the relation of Literature and popular fiction
in the West as two distinct fields. Both literary and cultural critics view cultural
production in its relation to the power—either internal power relation in a specific

field or external power relation (political and economic power).
Through the investigation of the history of Literature field and popular
fiction field, this thesis argues that (a) the categorization process of Literaturepopular fiction as two distinct fields, with autonomy and heteronomy as the
keywords, takes a long time and their relation is not a static one; and (b) due to its
postcolonial condition, the autonomy of Indonesian Literature field is not precisely
the same as that of the West reported by Gelder. Through the investigation of the
‘floating’ novelists’ cultural capitals, the reception of those novelists in the field of
Literature, and cultural capital on the post-reform Literature-popular fiction
relation, this thesis argues that neoliberal values are always present and hence
indirectly change the structure of the field of Literature. The post-reform field of
Literature, overdetermined by neoliberalism, is a much more heteronomized
compared to its previously relatively autonomous state, and it is more marketfriendly and gives more credit to mass legitimacy. This illustrates how much
neoliberalization causes the erosion of the autonomy of the field of Literature in the
face of economic power.

viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN

TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

HETERONOMISASI MEDAN SASTRA DI BAWAH NEOLIBERALISME:
ANALISIS MODAL KULTURAL MENGENAI SASTRA DAN FIKSI POPULER

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum.)
di Pr ogr am Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dhar ma Yogyakar ta

Oleh:
Wahmuji
116322004

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2015


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

HALAMAN JUDUL

HETERONOMISASI MEDAN SASTRA DI BAWAH NEOLIBERALISME:
ANALISIS MODAL KULTURAL MENGENAI SASTRA DAN FIKSI POPULER

Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum.)
di Pr ogr am Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dhar ma Yogyakar ta

Oleh:
Wahmuji
116322004


Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2015

i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


KATA PENGANTAR
Belajar di jurusan Kajian Budaya dengan latar belakang sastra adalah pengalaman

yang rumit. Di saat saya merasa belum punya cukup senjata untuk berani berbicara

mengenai sastra di depan khalayak umum dan belajar kembali sejarah kritik sastra

bersama beberapa teman yang punya kegelisahan serupa, saya disodori berbagai

perkembangan terbaru dalam ranah pemikiran yang sedikit banyak menentang dan
memfalsifikasi apa yang sudah dan sedang saya pelajari kembali. Dalam keadaan

seperti itu, tesis yang saya kerjakan ini, yang secara tidak langsung melihat kembali

hubungan kajian sastra dan kajian budaya, merupakan usaha untuk memahami

perbedaan dan kontradiksi dari keduanya yang sering tidak bisa saya damaikan di

kepala. Namun, meski membantu, selesainya tesis ini juga meninggalkan banyak


pertanyaan, baik terkait dengan pencapaian pribadi, pemahaman teoretis, maupun
persoalan yang lebih luas seperti bentuk kritik sastra yang mesti atau baiknya
dilakukan di tengah kuatnya kekuasaan ekonomi neoliberal saat ini.



Tesis yang pengerjaannya cukup lama ini mungkin tidak akan berwarna

seperti jadinya sekarang tanpa bimbingan yang rutin dan menyenangkan dari Mbak

Katrin dan masukan penting dari Pak Nardi. Karenanya, saya secara khusus

mengucapkan banyak terima kasih kepada keduanya. Saya juga berterima kasih
kepada semua dosen IRB karena telah memberi tahun-tahun yang penuh gairah

keilmuan. Ucapan terima kasih juga saya berikan pada Mbak Desy dan Romo Banar

atas segala bantuan administrasi yang memudahkan proses belajar saya, juga

kepada Mas Mul yang membantu menyediakan logistik dan membereskan banyak
hal teknis di tempat saya belajar.



Rasa terima kasih yang tak terkira juga saya sampaikan pada teman-teman

IRB dari berbagai angkatan, teman-teman Mediasastra.com, dan teman-teman

Warkop Lidahibu yang dengan cara dan porsinya masing-masing membantu saya
untuk bisa menyelesaikan tesis dan studi.



Terakhir, saya mengucapkan terima kasih dan mempersembahkan tesis ini

pada keluarga saya (Emak, adik, dan Alm. Bapak) yang telah membebaskan saya
untuk hidup di jalan berbeda, kepada Fafa yang setia dan sabar mendampingi hari-

hari yang penuh emosi, dan kepada orang yang telah menarik saya ke dunia sastra,

Andreas Teguh Sudjarwadi.



vi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK



Pascareformasi adalah era demokratisasi dan desentralisasi politik. Di saat
bersamaan, (neo)-liberalisasi, khususnya di bidang ekonomi, juga berlangsung lebih
massif. Kekuasaan dominan ekonomi ini tentu saja memengaruhi struktur
masyarakat yang ada, termasuk dalam bidang atau medan yang spesifik, seperti
sastra. Di masa inilah kategori hierarkis Sastra-fiksi populer dipertanyakan dan
digugat, pusat legitimasi Sastra dikritik tajam, dan perayaan atas yang-populer
berlangsung semarak. Masuk dan diterimanya berbagai pemikiran baru, seperti
kajian budaya dan multikulturalisme, ikut berkontribusi pada dinamika hubungan
Sastra-fiksi populer. Sebagian agen sastra mempromosikan pentingnya kajian atas
fiksi populer, sebagian lagi tidak mau memakai label Sastra-fiksi populer, sebagian
lain tidak peduli, dan beberapa berpendapat bahwa kategorisasi tetap diperlukan
demi menjaga otonomi sastra. Karena perbedaan pendapat semacam itulah muncul
beberapa karya yang dianggap sebagai Sastra sekaligus fiksi populer.
Ada tiga pengarang yang karyanya menempati posisi ambang dan diperiksa
dalam penelitian ini: Andrea Hirata, Dewi Lestari, dan Habiburrahman El Shirazy.
Penelusuran atas fenomena ‘novel-novel ambang’ itu membantu kita memahami apa
yang terjadi dalam dunia sastra Indonesia pascareformasi, terutama dalam
kaitannya dengan otonomi-heteronomi sastra dari kekuasaan neoliberal yang
dominan saat ini. Namun, untuk bisa mendapatkan gambaran yang lebih konkrit,
diperlukan perbandingan dengan masa sebelumnya, juga penyelidikan mengenai
bentuk modal kultural yang menopang fenomena itu. Karenanya, penelitian ini juga
menelisik sejarah Sastra-fiksi populer sejak masa kolonial hingga prareformasi dan
memeriksa perubahan bentuk modal yang yang terjadi di era pascareformasi.
Pemeriksaan atas hubungan Sastra dan fiksi populer serta hubungan sastra
dengan kekuasaan dominan dilakukan dengan meminjam kerangka teoretis dari
Pierre Bourdieu dan Ken Gelder. Bourdieu menteorikan medan, modal, habitus,
doksa, dan jenis-jenis legitimasi dalam produksi budaya; sedangkan Gelder
memakai teori Bourdieu untuk memeriksa Sastra dan fiksi populer di Barat sebagai
dua medan berbeda. Keduanya sama-sama melihat produksi budaya dalam
kaitannya dengan kekuasaan—baik internal dalam sebuah medan maupun eksternal
(kekuasaan politik dan ekonomi).
Melalui penyelidikan atas sejarah medan Sastra-fiksi populer, ditemukan
bahwa (a) proses kategorisasi Sastra-fiksi sebagai dua medan berbeda, dengan kata
kunci otonomi dan heteronomi, berlangsung lama dan hubungan kedua medan itu
tidak statis; dan (b) karena unsur pascakolonialitas, otonomi medan Sastra di
Indonesia juga tidak sama persis dengan di Barat seperti laporan Gelder. Melalui
penyelidikan terhadap modal kultural para novelis ambang, penerimaannya oleh
medan Sastra, dan modal kultural mengenai Sastra-fiksi populer pascareformasi,
ditemukan bahwa nilai-nilai neoliberalisme selalu hadir dan karenanya secara tidak
langsung mengubah struktur medan Sastra. Medan Sastra pascareformasi setelah
dioverdeterminasi neoliberalisme adalah medan Sastra yang cenderung lebih
heteronom dibandingkan masa sebelumnya, lebih ramah pasar, dan lebih
menghargai pengakuan massa. Akhirnya, neoliberalisasi adalah proses pengikisan
otonomi medan Sastra terhadap kekuasaan ekonomi.



vii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI



ABSTRACT

The post-reform Indonesia is an era of political democratization and
decentralization. In the same time, (neo)-liberalization, especially in the economic
sector, is growing massively. This dominant economic power affects the prevailing
structure of society, including specific fields like literature. In this very era, the
hierarchical categories of Literature-popular fiction are questioned and interfered,
the centers of Literary legitimacy are criticized, and the popular is ubiquitously
celebrated. New views and ideas, such as derived from cultural studies and
multiculturalism, contribute to the dynamic relationship between Literature and
popular fiction. Some Literary agents promote the significance of studying popular
fiction, some others are unwilling to attach the labels of Literature and popular
fiction, some just do not care about the label, and some view the categorization as
necessary to guard the autonomy of literature. Due to the different views, some
works considered as Literature as well as popular fiction have emerged.
There are three authors whose works occupy this ‘floating position’ and are
examined in this research: Andrea Hirata, Dewi Lestari, and Habiburrahman El
Shirazy. The exploration of the ‘floating novels’ help us understand what is
occurring in the Indonesian post-reform literary world, especially in terms of its
autonomy-heteronomy relation to the dominant neoliberal power. However, to gain
the concrete picture of the relation, a comparison to the former era is necessary and
the forms of cultural capital sustaining the phenomenon need to be revealed. Hence,
this research traces the history of Literature-popular fiction from the colonial up to
the pre-reform era and investigates the changing forms of cultural capital in the
post-reform time.
The examinations of the relation between Literature and popular fiction as
well as their connection to the dominant power are conducted with the help from
Pierre Bourdieu’s and Ken Gelder’s theoretical frameworks. Bourdieu theorized
field, capital, habitus, doxa, and legitimacies in cultural production; while Gelder,
utilizing Bourdieu’s theories, analyzed the relation of Literature and popular fiction
in the West as two distinct fields. Both literary and cultural critics view cultural
production in its relation to the power—either internal power relation in a specific
field or external power relation (political and economic power).
Through the investigation of the history of Literature field and popular
fiction field, this thesis argues that (a) the categorization process of Literaturepopular fiction as two distinct fields, with autonomy and heteronomy as the
keywords, takes a long time and their relation is not a static one; and (b) due to its
postcolonial condition, the autonomy of Indonesian Literature field is not precisely
the same as that of the West reported by Gelder. Through the investigation of the
‘floating’ novelists’ cultural capitals, the reception of those novelists in the field of
Literature, and cultural capital on the post-reform Literature-popular fiction
relation, this thesis argues that neoliberal values are always present and hence
indirectly change the structure of the field of Literature. The post-reform field of
Literature, overdetermined by neoliberalism, is a much more heteronomized
compared to its previously relatively autonomous state, and it is more marketfriendly and gives more credit to mass legitimacy. This illustrates how much
neoliberalization causes the erosion of the autonomy of the field of Literature in the
face of economic power.

viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i
PERSETUJUAN ..................................................................................................................... ii
PENGESAHAN ......................................................................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................................................................................iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................................................................. v
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................vi
ABSTRAK............................................................................................................................. vii
ABSTRACT.......................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A.

Latar Belakang......................................................................................................... 1

B.

Rumusan Masalah................................................................................................... 9

C.

Tujuan Penelitian .................................................................................................. 10

D.

Manfaat Penelitian ............................................................................................... 11

E.

Kajian Pustaka ....................................................................................................... 11
E.1. “Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia” ................... 12
E.2. Laskar Pemimpi; Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi Indonesia ...... 14
E.3. “Islam, Romance and Popular Taste in Indonesia” ............................................ 16
E.4. “Novel Sang Pemimpi: Trajektori Andrea Hirata…” ........................................... 18

F.

Kerangka Teoretis ................................................................................................. 24
F.1. Habitus ............................................................................................................... 24
F.2. Modal ................................................................................................................. 26
F.3. Medan ................................................................................................................ 28
F.4. Medan Sastra dan Fiksi Populer serta Jenis Legitimasinya ................................ 30
F.4. Mode Analisis Ken Gelder .................................................................................. 32
F.5. Homologi dan Doksa .......................................................................................... 33
F.6. Neoliberalisme dan Praktiknya di Indonesia...................................................... 35
F.7. Doksa Neoliberalisme dan Efeknya terhadap Medan Kultural .......................... 41
F.8. Penerapan Kerangka Teoretis dalam Penelitian ................................................ 44

G.

Metode Penelitian ................................................................................................ 45

H.

Sistematika Pembahasan Tesis ............................................................................. 47

BAB II PADA MULANYA HANYALAH TJERITA: SEJARAH PEMISAHAN
SASTRA-FIKSI POPULER DI INDONESIA ............................................................................ 49
A.

Medan Sastra dan Fiksi Populer di Barat .............................................................. 50

ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.

Awal Pemisahan Sastra dan Fiksi Populer di Indonesia ........................................ 54

C.

Pendefinisian Sastra dan Fiksi Populer ................................................................. 65

D.

Otonomi Medan Sastra ......................................................................................... 75

E.

Moral dan Fungsi Didaktis dalam Sastra dan Fiksi Populer .................................. 83

BAB III REFORMASI MEDAN SASTRA: CAIRNYA BATAS
MEDAN SASTRA—FIKSI POPULER.................................................................................... 91
A.

“Runtuhnya” Pusat Legitimasi Sastra: Dari “Kritikus” ke Pembaca ...................... 94

B.

Pascastrukturalisme, Kajian Budaya, dan Terangkatnya Fiksi Populer ............... 101

C.

Beberapa Praktik Affirmative Action .................................................................. 112

BAB IV PEMOSISIAN DAN PENGAMBILAN POSISI DEWI LESTARI, ANDREA HIRATA,
DAN HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY ............................................................................. 123
A. Pemosisian Dewi Lestari, Andrea Hirata, dan Habiburrahman El Shirazy oleh Agen
Sastra Terkonsekrasi ................................................................................................... 123
A.1. Pemosisian Dewi Lestari .................................................................................. 124
A.2. Pemosisian Andrea Hirata ............................................................................... 131
A.3. Pemosisian Habiburrahman El Shirazy ............................................................ 137
B.

Habitus dan Modal Kultural Para Novelis Ambang ............................................. 140
B.1. Dewi Lestari ..................................................................................................... 141
B.1.1. ‘Jenius’ Di Tengah Pasar............................................................................ 142
B.1.2 Spiritualitas New Age ................................................................................. 146
B.2. Andrea Hirata................................................................................................... 148
B.2.1. Sastrawan adalah seorang Avant Garde ................................................... 150
B.2.2. Narasi Kesuksesan .................................................................................... 153
B.3. Habiburrahman El Shirazy ............................................................................... 154
B.3.1. “Keindahan Batiniah” ............................................................................... 155
B.3.2. Dakwah Melodramatik ............................................................................. 158

BAB V DISEBABKAN OLEH NEOLIBERALISME: WAJAH BARU MEDAN SASTRA ............ 161
A.

Modal Kultural Bersama dari Para Penulis Ambang ........................................... 162
A.1. Demistifikasi Sastrawan, Perayaan Penulis ..................................................... 163
A.2. Didaktisme Baru: Inspirasi dan Motivasi ......................................................... 168
A.3. Manajerialisme Sastra: “Don’t be an Author – Be an Authorpreneur!” ......... 174

B.

Argumen Literer dan Nalar Penerimaan ............................................................. 179
B.1. Argumen Literer dalam Modal Kultural ........................................................... 180
B.2. Logika Penerimaan Novelis Ambang oleh Medan Sastra ................................ 186
x

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

C.

Wajah Baru Medan Sastra setelah Neoliberalisme ............................................ 192
C.1. Neoliberalisme dalam Pemrosesan Novel(is) Ambang .................................... 194
C.2. Neoliberalisme dalam Mode Promosi dan Penerimaan Agen Sastra .............. 201
C.3. Neoliberalisme dalam Perluasan Medan Sastra .............................................. 206
C.4. Medan Sastra setelah Neoliberalisme ............................................................. 210

BAB VI KESIMPULAN ...................................................................................................... 215
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 218

xi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang




"...dari pengalaman pendek saya terjun di dunia sastra, apabila kita percaya
pada paradigma lama di dalam menilai sebuah karya sastra yang baik, kita
akan tersesat sendiri... [k]arena paradigma lama percaya dengan penokohan,
percaya dengan plot, percaya dengan karakterisasi, percaya dengan
metafora, percaya dengan komposisi, dialog-narasi seimbang" (Hirata,
2008).

Begitulah pandangan Andrea Hirata tentang perubahan paradigma pembacaan

karya sastra. Karya sastra yang baik, menurut Andrea Hirata dalam wawancaranya

dengan Hernowo Hasim yang sebagian saya kutip di atas, adalah karya sastra yang

mengandung ‘kemungkinan’. Yakni, kemungkinan untuk mengganggu pembaca atau

kemungkinan untuk mengubah persepsi ilmu pengetahuan atau kemungkinankemungkinan lain yang sebelumnya belum terpikirkan.1

Kita bisa saja setuju atau menolak pandangan Andrea Hirata di atas. Akan

tetapi, sebelum itu, yang justru penting untuk dipahami adalah (1) bahwa laris-

manisnya karya Andrea Hirata telah menempatkannya dalam posisi yang dianggap

layak untuk ditanyai perihal mutu karya sastra, (2) bahwa jawaban dari pertanyaan

itu bisa dianggap sebagai upaya Andrea untuk mencipta kredo kesastraan, dan (3)

bahwa jawaban itu juga merupakan pembelaan atas karya-karyanya sebagai karya

sastra bermutu di tengah kesangsian banyak orang tentang kualitas karya-karyanya.

Bagaimanapun, saya rasa kata-kata Andrea Hirata itu ada benarnya, dalam

hal adanya sebuah paradigma yang percaya pada unsur-unsur intrinsik atau ‘bentuk’

sebagai sebuah jalan penilaian bagus-tidaknya sebuah karya sastra. Dari

pengalaman kuliah formal jurusan Sastra Inggris, saya mendapatkan keyakinan

bahwa pembacaan sebuah karya sastra memang musti berangkat dari ‘bentuk’, baru

kemudian bicara gagasan. Ada sebuah kesatuan antara bentuk dan gagasan; sebuah

gagasan tertentu hanya bisa hadir lewat bentuk tertentu pula. Gagasan mengenai

manusia modern, misalnya, tidak mampu lagi ditopang oleh puisi berbentuk pantun.

1

Wawancara dalam format audio bisa diakses di Youtube.com, khususnya laman berikut:
http://www.youtube.com/watch?v=gK0NSWRNtcs (diakses 2014 dan 2015)

1

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Keyakinan itu susah sekali saya buang, apalagi jika kemudian harus saya ganti
dengan penilaian berdasarkan ‘kemungkinan’ saja, seperti saran Andrea Hirata,

dengan sama sekali tidak bicara mengenai unsur-unsur intrinsik, penopang utama
sebuah karya sastra. Bahkan, saya masih percaya bahwa telaah atas bentuk saja bisa
dilakukan untuk menilai bagus-tidaknya sebuah karya sastra.



Keyakinan saya itu goncang setelah saya belajar secara formal di jurusan

Kajian Budaya. Kajian budaya, yang lahir dari tradisi Marxisme di Inggris tahun 50an

dan 60an, dalam melihat karya sastra, secara umum melandaskan diri pada

pemahaman bahwa karya sastra adalah salah satu produk budaya saja, tidak lebih

tinggi statusnya dari produk-produk budaya populer. Semangat anti-elitisme

budaya tinggi itu rasanya seperti “menyapu estetika ke tepi jalan,” meminjam kata-

kata Taufiq Ismail dalam konteks yang berbeda, karena fokus utama analisisnya

adalah ideologi. Di saat yang bersamaan, kajian budaya mencerahkan diri saya
sendiri lewat jalur kritik yang sama. Dalam periode hidup saya saat menjalani kuliah

S1, saya pernah merasa superior karena belajar Sastra dibandingkan kawan-kawan

di kampung halaman di Sragen sana yang mengkonsumsi sinetron dan lagu-lagu pop

yang liriknya sangat sentimentil. Bagi saya waktu itu, Sastra (dan bukan novel

populer) adalah sebuah simbol kebudayaan yang lebih tinggi daripada sinetron atau

produk populer lainnya. Hingga sekarang, perasaan itu masih ada meski tak sekuat

dulu, tak peduli upaya saya untuk yakin bahwa tak ada satu budaya yang lebih tinggi

daripada budaya lainnya, tak peduli bahwa sikap itu bersifat elitis dan cenderung
hierarkis dalam melihat realitas tekstual.

Perasaan campur-aduk itulah yang mendorong saya untuk melakukan

sebuah penelitian mengenai hubungan antara yang serius dan populer untuk

konteks yang lebih spesifik, yakni sastra—sebuah bidang yang memang saya geluti
dan minati.



Dalam Literary Into Cultural Studies (1991), Antony Easthope menyatakan

bahwa tumbuh-suburnya teori-teori pada dekade 70an dan 80an merupakan gejala
lahirnya sebuah paradigma baru sekaligus runtuhnya paradigma lama. Paradigma

yang sedang mengalami keruntuhan itu, sebut Easthope, adalah kajian sastra

(literary study). Kajian ini dibangun di sekitar lima fitur yang saling berkaitan, yakni

(1) epistomologi empiris, (2) pembacaan modernis, (3) bidang studi yang

membedakan kanon dari budaya populer, (4) objek studi teks kanon, dan (5) asumsi

bahwa teks kanon itu merupakan kesatuan (unified) [1991: 16]. Paradigma itu

dipertanyakan. Utamanya karena pembacaan itu elitis, pemaknaan berakhir pada
2

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Pengarang, cenderung mengabaikan realitas yang dihidupi masyarakat

kontemporer (karya sastra tahun 60an diajarkan seakan itu kontemporer!), dan

mengabaikan kontradiksi. Berangkat dari beragam teori yang marak pada dua

dekade sebelumnya, Easthope menawarkan pembacaan yang di satu sisi tetap
berangkat dari teks (melampaui materialisme historis) dan di sisi lain

menghubungkannya baik dengan sistem tanda, ideologi, gender, dan posisi subjek.

Objek kajiannya tidak melulu kanon, tapi dari apa yang disebutnya sebagai “praktik

pemaknaan” (signifying practice), entah itu sesuatu yang dipahami sebagai bagian
dari budaya tinggi atau budaya populer.


Perumusan yang dilakukan oleh Easthope bisa dianggap sebagai upaya

untuk meruntuhkan elitisme budaya tinggi, termasuk Sastra (dengan ‘S’ besar),

sehingga Sastra pun bisa dinilai ideologinya—menjadikannya sebagai objek yang tak
lagi tak tersentuh karena selubung estetika.2 Model pembacaannya memungkinkan

untuk dipakai baik pada tek-teks budaya tinggi maupun populer. Namun, apakah

dengan demikian, hasil-hasil ‘budaya tinggi,’ dalam hal ini Sastra, tak lagi memiliki

cirinya sendiri dan bergabung ke dalam kerumunan teks bersama iklan rokok dan
pasta gigi? Apakah tidak penting lagi membicarakan penokohan, setting, alur, atau

pemilihan diksi dalam karya Sastra? Apakah jalan kesenian dan motif pengarang

tidak lagi penting?


Tentu saja dalam kenyataan ciri-ciri sebuah produk budaya yang telah

memiliki tradisi panjang tak bisa begitu saja hilang. Di dalam sastra, misalnya,

kanonisasi tetap berjalan, lengkap dengan lembaga-lembaga yang melegitimasinya.

Bahkan di dalam dunia sastra sendiri, pelabelan ‘sastra serius’ vs ‘sastra populer’,

‘Sastra’ vs ‘fiksi populer’, ‘novel serius’ vs ‘novel populer’, ‘Sastra’ vs ‘fiksi genre’

tetap ada. Dikotomi semacam itu punya fungsi praktis di dalam proses kanonisasi

atau pemilihan karya-karya yang dianggap terbaik, yang kemudian diajarkan di

sekolah-sekolah. Di dalam konteks Barat, mengacu pada buku Ken Gelder Popular

Fiction: The Logics and Practices of a Literary Field (2004), dikotomi semacam itu

telah mengakar dan melahirkan perbedaan posisi kultural, melahirkan dua medan

yang saling mendefinisikan dengan sengit.
2

Selanjutnya, dalam tesis ini kata ‘Sastra’ (dengan ‘S’ besar) akan dipakai untuk mengacu pada
kumpulan karya yang dianggap kanon atau merupakan bagian dari ‘sastra serius’; untuk sastra
populer atau novel populer, dalam penelitian ini akan digunakan istilah dari Ken Gelder ‘fiksi
populer’; sedangkan untuk menyebut keduanya akan dipergunakan istilah ‘sastra’ (dengan ‘s’
kecil) atau ‘kesusastraan’.

3

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI



Dalam buku tersebut, dengan semangat yang mirip Antony Easthope, Gelder

berusaha melihat fiksi populer (lawan dari Sastra) secara simpatik. Ia

memperlakukan fiksi populer sebagai sebuah medan (field, diadopsi dari Pierre

Bourdieu). Sebagai sebuah medan, fiksi populer memiliki aturan-aturan tak tertulis
sendiri, memiliki modal kultural maupun simbolik yang berbeda dengan Sastra.

Misalnya, berkaitan dengan lingkup pembicaraan, di dalam Sastra yang dominan
adalah seni sedangkan di fiksi populer industri dan hiburan. Di Sastra, proses

penciptaan disebut sebagai kreativitas dan karya yang baik adalah yang orisinal,
sedangkan di fiksi populer kerajinan dan konvensi. Meski mengkritik argumen-

argumen dalam Sastra, Gelder tampaknya tetap melihat bahwa perbedaan posisi

kultural macam itu tetap ada, meski tak setajam yang direpresentasikan oleh orang-

orang di kedua medan itu. Apa yang dijabarkan Ken Gelder juga terjadi di Indonesia,
meski tidak sama persis karena konteksnya berbeda.



Dari semua fitur pembeda yang dijabarkan oleh Gelder, satu di antaranya

tampaknya merupakan yang terkuat, memayungi beragam fitur yang lain. Sastra

direpresentasikan sebagai sebuah medan yang relatif otonom dari kekuasaan

(ekonomi) sedangkan fiksi populer justru menghamba pada pasar. Otonomi relatif

yang dimiliki Sastra memungkinkannya untuk lebih kritis pada kekuasaan. Namun,

di sisi lain, fokus pembacaan pada estetika bentuk yang pada titik ekstrimnya umum

disebut "seni untuk seni" juga memungkinkan untuk menjadikannya sebuah medan

yang terpisah dari kondisi sosial, mengelak dari tanggungjawabnya terhadap
perubahan sosial, bahkan secara diam-diam mengafirmasi ideologi dominan.



Untuk konteks Indonesia, kedua kemungkinan yang bertentangan itu lebih

rumit lagi untuk dijabarkan karena pascakolonialitasnya. Sastra modern Indonesia

merupakan hasil apropriasi dari Barat, baik itu dari bentuk dan isi, bahkan aturan

medan yang menjadikannya terpisah dari medan kultural yang lain.



Sejarah sastra Indonesia umumnya dipahami sebagai sejarah angkatan,

dengan Angkatan Balai Pustaka sebagai angkatan perdananya. Angkatan Balai

Pustaka mengacu pada sekumpulan penulis dan karya sastra yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka, sebuah lembaga penerbitan dan percetakan milik Belanda yang

didirikan tahun 1908. Balai Pustaka adalah lembaga kolonial yang punya misi

kolonialis. Karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka telah diseleksi dan

disunting sedemikian rupa hingga memenuhi kriteria-kriteria tertentu, umumnya

yang mendukung superioritas Belanda di Nusantara dan melemahkan semangat

anti-penjajahan (Jedamski, 1992). Karya-karya sastra di luar Balai Pustaka dianggap
4

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

“bacaan liar”, karenanya tidak pantas dibaca dan tidak layak masuk menjadi bagian
dari Sastra.



Dalam perjalanan kanonisasi Sastra Indonesia, pemisahan yang dilakukan

oleh Balai Pustaka antara Sastra dan “bacaan liar” tetap hadir dengan beragam nama
berbeda—sastra serius vs sastra populer, novel serius vs roman picisan, dan lain-

lain. Upaya kritis dan evaluatif untuk melihat ulang kanonisasi Sastra Indonesia

yang berangkat dari narasi dan kepentingan kolonial itu, termasuk pemisahan

medan Sastra dan fiksi populer, dilakukan oleh beberapa orang di masa Sukarno,

tetapi tampaknya tidak berkembang dan justru mundur lagi di masa Suharto.

Beragam faktor memengaruhi minimnya upaya kritis macam itu, dan salah satunya
adalah tidak berkembangnya kajian pascakolonial di Indonesia.


Pada dekade 60an-80an sebuah gelombang perlawanan muncul dari para

penulis Afrika dan India dengan menggugat keabsahan “sastra dunia” sebagai eropa-

sentris dan mempertanyakan nilai-nilai universal yang dikandung di dalamnya,

menggugat representasi pribumi dan mengaitkannya dengan kekuasaan,
menteorikan kegagalan dominasi mutlak bekas penjajahnya, dan berupaya mencipta

narasi tandingan. Gelombang perlawanan dalam ranah pemikiran, yang kemudian

terbantu dengan penteorian orientalisme dari Edward Said, itulah yang menjadi

cikal bakal kajian pascakolonial yang terumuskan di awal tahun 1990an. Secara

umum, Indonesia tidak ikut ambil bagian dalam gelombang itu, meski berbagai isu

dan perdebatan yang muncul pada dekade-dekade sezaman punya potensi untuk
diarahkan kesana.



Dua di antaranya, sebagai contoh, adalah puisi “Sajak Sebatang Lisong”3 dari

WS Rendra dan Perdebatan Sastra Kontekstual.4 Puisi Rendra itu dengan sangat

jelas mempertanyakan representasi masyarakat, terutama kelas bawah, oleh

teknokrat dan pentingnya merumuskan sendiri permasalahan masyarakat (bukan

cuma mengimpor). Akan tetapi, sejauh pengetahuan saya, tidak ada yang menarik

lebih jauh isu itu ke dalam, misalnya, perumusan teoretis tentang perlawanan

terhadap (bekas-)penjajah atau mengkaitkan representasi kolonialis macam itu dan

kegilaan atas Barat dengan kondisi masyarakat bekas terjajah. Sedangkan “sastra
3

Puisi yang dipersembahkan kepada mahasiswa ITB ini dibuat pada tahun 1997 dan dibacakan
dalam salah satu adegan dalam film Yang Muda yang Bercinta (1977) dengan sutradara Sjuman
Djaya.
4
Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) susunan Ariel Heryanton adalah buku kumpulan tulisan
tentang universalisme dan partikularitas (kontekstual) dalam sastra Indonesia, tulisan-tulisan dari
debat publik yang berlangsung di awal dekade 1980an.

5

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kontekstual” hasil rumusan Ariel Heryanto dan Arief Budiman, meski mengkritik

kecenderungan universalisme dalam sastra, tidak berangkat dari penelitian karya

sastra yang jelas dan tidak mengenali fitur-fitur penting dalam perlawanan

pascakolonial, misalnya ambivalensi (perlawanan dan terdominasi) dan mimikri

(atas Barat). Hasilnya adalah generalisasi fenomena kesastraan sebagai melulu

ketertundukan pada universalisme Barat, luput membaca karya-karya yang punya

potensi demikian, dan dengan tidak disadari, bersifat ambivalen dalam dirinya

sendiri—mengkritik kecenderungan universalisme dan “kebarat-baratan” dalam

Sastra dengan model pembacaan “sosiologi” yang juga ‘universal’ dan diambil dari

Barat.5

Semangat pascakolonial penting diusung agar kita tidak begitu saja terbawa

arus gelombang teoretis terbaru yang dihasilkan dalam konteks yang berbeda.

Apakah budaya tinggi yang elitis dengan kajian sastra-nya sedang atau pernah

dominan dan mencapai stagnansi di Indonesia sehingga perlu diruntuhkan dengan

kajian budaya? Bagaimana sebaiknya kita mengkontekskan paradigma baru kajian
budaya dalam sastra Indonesia? Jalan masuk untuk melihat masalah yang besar itu

tampaknya bisa ditempuh melalui pembedaan genre dalam dunia sastra, yakni

Sastra dan fiksi populer, yang masing-masing dianggap sebagai perwakilan dari
budaya tinggi dan populer. Jika demikian, pertanyaan yang lebih konkrit dan

menggoda adalah: Kira-kira lebih baik mana, cairnya Sastra dan fiksi populer

menjadi satu medan saja atau tetap terpisah? (‘Lebih baik’ dalam pengertian punya

potensi yang lebih besar untuk kritis terhadap kekuasaan). Pun begitu, jawaban atas

pertanyaan itu akan menuntun pada jebakan untuk menerima dan memaklumi
pelabelan-pelabelan yang pasti politis.


Pergeseran paradigma dari kajian sastra ke kajian budaya, kenyataan bahwa

memang ada dua medan kultural yang terpisah dalam dunia sastra, dan

pascakolonialitas Indonesia berkelindan, membentuk sebuah jalinan wacana sastra

yang rumit di tengah penetrasi kapitalisme yang semakin kuat. Di masa

(pasca)reformasi, lebih dari masa-masa sebelumnya, neoliberalisme, yang

membawa kepercayaan tinggi pada kebebasan, yakni kebebasan individu dan pasar,

5

Poin yang serupa dibuat oleh Saut Situmorang dalam esainya “Sastra Kontekstual.” Dalam esai
itu, Saut Situmorang mengakhiri tulisannya dengan pertanyaan retoris, yakni tentang
keuniversalan dari populernya Shakespeare seperti populernya “sosiologi”, untuk menentang
klaim-klaim Ariel Heryanto dan Arief Budiman bahwa Sastra Indonesia sedang didominasi
ideologi universalisme dan bersifat kebarat-baratan. Lih. “Sastra Kontekstual” di buku Saut
Situmorang Politik Sastra (2009).

6

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

menguat dan tampak menjadi doksa baru yang dipromosikan terus-menerus oleh
baik negara maupun agen-agen yang mendapat keuntungan dari kepercayaan itu.

Komersialisasi dan privatisasi di segala bidang, lengkap dengan kata-kata
promosionalnya yang menggoda, menjadi bagian dari keseharian masyarakat

Indonesia. Dan dunia sastra tidak lepas dari semua itu. Banner iklan dari novel

terbaru seorang penulis terkenal dapat dengan mudah kita temukan di toko-toko
buku; blurb atau untaian kata-kata pujian hampir selalu hadir di sampul belakang

sebuah karya sastra; dan promosi workshop menulis cerita sering menghiasi dinding

Facebok dan linimassa Twitter kita. Pemasaran tampaknya disadari sebagai bagian
penting dari pemrosesan6 sebuah karya, sebuah prasyarat mutlak bagi eksistensi

karya sastra.


Dihadapkan dengan kekuasaan ekonomi yang dominan saat ini, saya kira

pemeriksaan atas pembedaan Sastra dan fiksi populer relevan untuk kembali

dilakukan. Namun, pemeriksaan itu bukan dilakukan untuk mengekalkan cap atau
label Sastra atau fiksi populer bagi sebuah karya, tetapi lebih untuk mendapatkan

gambaran mengenai kondisi aktual medan Sastra di hadapan kekuasaan dominan,

untuk melihat ketertundukan dan perlawanannya. Untuk itu, seperti nanti akan

dipaparkan, saya kira akan lebih produktif apabila kita pertama-tama melihat Sastra

dan fiksi populer sebagai dua medan berbeda, lengkap dengan logika internalnya

serta legitimasi-legitimasinya masing-masing, bukan sebagai cap bagi sebuah karya.

Sebenarnya, melihat Sastra dan fiksi populer sebagai sebuah medan bukanlah cara-

pandang yang benar-benar baru karena sejak awal, dari masa kolonial hingga Orde

Baru, pendefinisian Sastra dan fiksi populer sudah selalu bersifat politis, bukan
murni persoalan perbedaan intrinsik sebuah karya. Kenyataan ini perlu dijadikan

latar depan pembahasan dan akan terbantu dengan penteorian medan, habitus, dan

modal oleh Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog asal Perancis, dan
kontekstualisasinya oleh Ken Gelder, seorang kritikus sastra asal Australia.



Sastra dan fiksi populer di Indonesia, dalam sejarahnya, selalu digambarkan

sebagai oposisi-biner, tetapi di saat bersamaan selalu berhubungan dalam

pendefinisian. Hubungan keduanya bersifat relasional, tidak pernah statis. Dan fiksi

populer menjadi batas dari medan Sastra—batas yang sebetulnya tidak pernah jelas.

Penelusuran lebih jauh mengenai dinamika sejarah pendefinisian fiksi populer sejak

masa kolonial hingga Orde Baru perlu dilakukan justru untuk mendapatkan

6

Istilah ‘pemrosesan’ dipakai oleh Ken Gelder untuk menyebut aparatus dan proses produksi,
distribusi (termasuk pemasaran), dan konsumsi sebuah karya.

7

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

gambaran atas bagaimana orang memahami Sastra. Sedangkan untuk mendapatkan
gambaran yang lebih konkrit mengenai kondisi Sastra terkini, diperlukan

pembahasan mengenai wacana dominan mengenai Sastra dan fiksi populer di masa

pascareformasi dan sebuah fenomena yang representatif dan mengemuka. Untuk

yang kedua ini, saya akan memakai beberapa novel dan pengarang sebagai objek
analisis.



Novel-novel yang saya pilih adalah apa yang untuk sementara saya sebut

“novel ambang”, yakni berada di antara Sastra dan fiksi populer. Posisi antara itu

saya simpulkan