Sastra Ali sastra Ali sastraAli sastra Ali sastra Ali sastra

ADAT BUDAYA SAPRAHAN Adisti Primi Wulan

IKIP PGRI Pontianak Abstrak

Budaya memiliki kekhasan di masing-masing daerah, sehingga keunikan tersebut menjadi daya tarik. Sebagian budaya diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, sehingga sangat disayangkan banyak penurunan esensi isi dari kandungan budaya tersebut. Tujuan penelitian ini selain bentuk dokuimentasi budaya yang ada di Kalimantan Barat, juga mendeskripsikan banyak hal seperti rincian kegiatan adat budaya Saprahan yang digunakan oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Saprahan merupakan salah satu adat budaya Melayu di Kabupaten Sambas yang masih berkembang dan dilestarikan sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Adat tradisi dalam kegiatan makan bersama-sama berkelompok baik di dalam rumah sehari-hari ataupun dalam acara mengundang tamu ataupun acara-acara pesta yang di adakan dirumah ataupun di desa. Saprahan membujur dengan alas saprah adalah saprahan dengan beralaskan kain saprah 1x1 meter.

Kata Kunci : Saprahan, Sambas, Budaya

A. Pendahuluan

Sebagai sebuah provinsi, Kalimantan Barat dibentuk dengan tingkat ragam budaya yang tinggi, baik dari segi keragaman suku, agama, dan adat istiadat. Keragaman tersebut semestinya menjadi modal dan kekuatan sosial bagi daerah dalam pelaksanaan hubungan kemasyarakatan. Kemasyarakatan biasa dikaitkan dengan pelaksanaan upacara atau tata cara pada peristiwa yang paling penting dalam daur kehidupan.

Daerah Kalimantan Barat terdapat dua etnis yang dominan yaitu etnis Dayak dan etnis Melayu. Di dalam melangsungkan kehidupan sosial budaya, tentu saja terdapat perbedaan antara suku yang satu dengan yang lainnya, meskipun dalam rumpun yang sama, misalnya dalam satu rumpun suku Melayu. Namun, perbedaannya tidak nampak mencolok karena suku Melayu pada dasarnya mempunyai keyakinan yang sama yaitu Islam.

Masyarakat tidak akan dapat mempertahankan hidup tanpa kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan tidak akan berkembang dengan sendirinya tanpa masyarakat. Perkembangan kebudayaan di Indonesia diarahkan oleh cita-cita bangsa persatuan antar etnik, yang diimplementasikan oleh pembentukan negara kesatuan dan berbagai program pembinaan. Teori kebudayaan yang lebih mewarnai program pembinaan kebudayaan masyarakat Indonesia adalah teori yang bersifat idealistik. Hal ini terlihat dari diutamakannya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang selanjutnya diharapkan menjadi pengaruh dari seluruh tindakan orang Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

B. Tradisi Saprahan Melayu Sambas

Saprahan merupakan salah satu adat budaya Melayu di Kabupaten Sambas yang masih berkembang dan dilestarikan sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Adat tradisi dalam kegiatan makan bersama-sama berkelompok baik di dalam rumah sehari-hari ataupun dalam acara mengundang tamu ataupun acara-acara pesta yang di adakan dirumah ataupun di desa. Hidangan lauk pauk disajikan pada tempat dinamakan baki ataupun dihamparan kain untuk disantap bersama-sama berkelompok sejumlah 6 orang setiap saprah dengan duduk bersila di atas hamparan tikar ataupun permadani untuk undangan laki-laki dan duduk pipih untuk undangan wanita.

Manfaat saprahan adalah untuk mempererat hubungan silaturahmi antar sesama masyarakat, sekaligus melestarikan kebudayaan nenek moyang yang telah diturunkan secara turun temurun. Makna dari saprahan melambangkan rasa kebersamaan dan rasa kegotong royongan dengan falsafat bersama dipikul, ringan sama dijinjing, berdiri sama tinggi, duduk

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

C. Bentuk Saprahan Melayu Sambas

Bentuk saprahan ada dua macam yaitu saprahan memanjang dan saprahan pendek. Saprahan memanjang yaitu sajian makanan disajikan di atas kain yang memanjang sepanjang ruangan yang disiapkan tempat acara jamuan. Tamu duduk berhadapan diruangan yang disiapkan. Saprahan bentuk memanjang ini sudah tidak di adakan dan tidak ada lagi di Kabupaten Sambas. Inilah perbedaan saprahan yang ada di Kabupaten Sambas dengan kabupaten lainnya. Saprahan pendek yaitu membentangkan kain saprahan ( alas ) ukuran pendek 1 x 1 meter saja dan di atasnya hamparan tersebut diletakkan sajian makanan yang akan disantap oleh para tamu undangan. Tiap saprahan pendek ini dihadapi oleh 6 orang setiap saprahan dengan cara duduk melingkari saprahan. Saprahan bentuk pendek inilah yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Sambas hingga sekarang ini.

D. Jenis-jenis Saprahan Melayu Sambas

Dari bentuk saprahan pendek, pengaturan penyajian saprahan sampai sekarang ada tiga jenis yaitu saprahan bulat, saprahan membujur dengan alas saprah, dan saprahan membujur dengan alas baki. Saprahan bulat adalah saprahan diatas hamparan kain saprah 1x1 meter. Ditengah kain saprahan itu diletakkan pinggan saprah tempat nasi dan dikelilingi oleh lauk pauk dan diteruskan dengan pinggan nasi. Di ujung sebelah depan diletakkan batil dan gelas tempat mencuci tangan sebelum makan. Dan disebelah belakang diletakkan air minum.

Saprahan membujur dengan alas saprah adalah saprahan dengan beralaskan kain saprah 1x1 meter. Ditengah alas kain ini diletakkan lauk pauk dalam piring lauk. Di ujung saprahan atau pada ujung saprahan diletakkan pinggan saprah dan bergandengan dengan air cuci tangan didalam batel atau tempat air. Disamping piring lauk diletakkan pinggan- pinggan tempat nasi yang akan diisi nasi dan lauk-lauk sesuai dengan selera dan keinginan dari para tamu yang sedang menyantap masakan yang disajikan dihadapannya. Pada ujung sekali diletakkan dan disusun cawan atau gelas air minum sebanyak 6 buah.

Saprahan membujur dengan alas baki dilaksanakan dengan pinggan saprah tempat nasi diletakkan di atas sekali bergandengan dengan batel air cuci tangan diikuti dengan baki besar yang berisi lauk pauk sajian yang diletakkan pinggan tempat mengambil nasi dan lauk- pauk di tengah-tengah. Dikiri kanan baki lauk diletakkan,lauk pauk sebanyak 6 macam, dan diujung diletakkan baki cawan atau gelas air minum.

E. Macam-macam Saprahan dan Menunya dalam Masyarakat Melayu Sambas

Macam-macam hidangan saprahan ada tiga yaitu saprahan sehari-hari, saprahan hari kaccik (hari turun naik), dan saprahan hari besar. Saprahan sehari-hari berupa masakan biasa- biasa saja yang ada sehari-hari. Saprahan hari kaccik (hari turun naik) berupa sayur kampung, umbut kelapa, ikan asin, pedak caluk, sambal, dan tulang-belulang. Saprahan hari besar berupa masak putih ayam atau daging sapi, semur daging ayam atau daging sapi, sambal goreng hati dan kentang, goreng ayam, pacri nenas atau terung, telur asin, dan acar.

F. Peralatan Saprahan Melayu Sambas

Nama peralatan yang biasa digunakan dalam acara saprahan. Tarup yaitu tempat menampung tamu yang datang diundang. Emper-emper yaitu tempat menyusun piring lauk yang telah diisi masakan dan pinggan saprah yang diisi dengan nasi. Pitadang yaitu tempat

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

G. Simpulan

Saprahan adalah salah satu adat budaya Melayu Sambas dalam acara pesta. Makna dari saprahan melambangkan rasa kebersamaan dan rasa kegotong royongan dengan falsafat berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.hidangan sajian yang terhidang dihadapan disantap bersama-sama berkelompo, membentuk lingkaran. Kelengkapan dalam saprahan terdiri dari kain saprah berukuran 1x1 meter, batil, dan gelas air minum, sebuah pinggan saprah atau tempat nasi, piring tempat lauk atau menu, cawan bertudung, sendok nasi, sendok lauk,baki besar untuk mengangkat lauk, baki kecil untuk mengangkat cawan air minum, sarbet 1 buah untuk lap tangan ketika selesai menyantap sajian.

Adapun jenis saprahan ada 3 yaitu saprahan bulat, saprahan membujur dengan alas saprah, saprahan membujur dengan alas baki. Dalam saprahan ada juga terdapat macam- macam saprahan yaitu saprahan sehari-hari, saprahan hari kaccik, sajian hidangan hari besar. Dalam sebuah pesta banyak hal yang perlu dipersiapkan yaitu bepinjam, beramu, begilling, merancap, bekaut menyiapkan sajian, bebasuk, mulangkan barang. Hal ini tidak lepas dari terbentuknya kepanitiaan. Selain itu ada juga terdapat tingkat kelompok saprahan yang terdiri dari saprahan sangat sederhana,saprahan sederhana, saprahan acara pesta.

H. Saran

Kebudayaan dan adat istiadat setiap daerah berbeda-beda dan mempunyai ciri khas yang bermacam-macam. Dalam adat kebudayaan Melayu Sambas ini sangat membawa pengaruh besar bagi masyarakat apabila tidak dilestarikan dan dijaga dengan baik. Kebudayaan daerah sangat mengandung nilai-nilai luhur yang sangat wajib dipertahankan, dikembangkan, dan dilestarikan dengan mengenalkannya pada generasi penerus dan pada masyarakat untuk mengetahui sistem budaya daerah yang sangat banyak dan beraneka ragam.

I. Daftar Pustaka

S, Arpan. 2009. Saprahan Adat Budaya Melayu Sambas. Sambas: Arpan. Depdikbud. RI. 1994. Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Depdikbud.

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

WACANA KARAKTERISTIK PEMUDA BANGSA DALAM PUISI “UCAPKAN KATA-KATAMU” KARYA WIJI THUKUL

Alfian Setya Nugraha Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Hasyim Asyari Jombang alfian.setyanugraha@yahoo.com

Abstract

The character is a way of thinking and behaving that characterizes each individual to live and work, both in the scope of the family, community, nation and state. Individuals of good character is an individual who can make decisions and be ready to account for any consequences of decisions he made (According to DG Mandikdasmen- Ministry of National Education). Character is needed to build and establish a state. The character also is the basis for a nation’s life, to shape the lives of young souls need the requirement of morals and good behavior so that life in a state will be realized. Strengthening moral education (moral education) or character education (character education) is very relevant in the present context to address the moral crisis that has engulfed our country. Such crisis in the form of increased promiscuity, rampant violence numbers of children and adolescents, crimes against friend, teen theft, cheating habits, drug abuse, pornography, and the destruction of property of others has become

a social problem that until now has not been able to completely resolved, therefore, the importance of character education. In the poem “Ucapkan Kata-katamu” works Wiji Thukul is one of the means to realize the character of the youth for the betterment of the nation and state of Indonesia in particular, and other countries in general.

A. Pendahuluan

Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di dalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma- norma agama, hukum, tata krama,budaya,dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana, prasarana, dan, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Negara Indonesia yang besar dan dengan sumber daya alamnya yang melimpah pada dasarnya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu Bangsa yang maju, bermartabat dan lebih baik dari saat ini, dan itu semua dapat terwujud tentunya dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, kreatif dan memiliki visi yang jelas dan terarah untuk kemajuan Bangsa. Untuk memenuhi tujuan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas tentunya pendidikan adalah faktor terpenting yang tidak dapat dipisahkan.

Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3 (tiga) yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Tujuan dari pendidikan nasional tidak saja hanya mencetak sumber daya manusia yang cerdas akan tetapi juga mampu mencetak kepribadian yang berkarakter, berakhlak, kreatif, memiliki misi visi dan bertanggung jawab serta sebagai warga negara yang baik. Kesuksesan seseorang tidak pernah lepas dari potensi yang dimiliki oleh orang tersebut, potensi dalam arti tidak saja berbicara tentang skil akan tetapi meliputi kemampuan seseorang mengimplementasikan potensi yang dimiliki untuk orang banyak, kemampuan mengelola diri dan orang lain.

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000) mengungkapkan bahwa kemampuan teknis (Hard Skill) hanya memberikan kontribusi sekitar 20% terhadap kesuksesan seseorang, selebihnya sekitar 80% kesuksesan seseorang ditentukan oleh soft skill dan itu artinya karakteristik seseorang memiliki porsi yang lebih besar sebagai penentu sukses tidaknya seseorang dimana karakteristik seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan karakter yang ia serap.

B. Landasan Teori

1. Teori Wacana Micheal Foucault

Wacana mengacu pada aspek-aspek evaluatif, persuasif, atau retoris dari suatu teks, yang dipertentangkan dengan aspek-aspek seperti menamakan, melokasikan, atau mengisahkan karena terkait dengan produksi sosial (Kris Budiman 1999: 121). Dalam hal ini, Eriyanto juga mengatakan hal yang serupa. Dalam pandangan Eriyanto (2008:65), wacana dapat dideteksi secara sistematis karena ada ide, opini, konsep, dan pandangan hidup yang ditransformasikan untuk mengarahkan cara berpikir dan bertindak. Wacana ini mendistribusikan suatu konsep untuk memasukkan arahan dengan tujuan terjadi pola-pola tertentu yang terpengaruh. Wacana mengkonstruksi seseorang ke dalam suatu keadaan untuk menjalin relasi sehingga pemikirannya sesuai dengan konsep yang ada di dalam wacana itu sendiri. Pada akhirnya, wacana membentuk “kuasa” karena adanya kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh seseorang secara individu maupun dalam lingkup komunal.

Kata wacana ini memiliki perspektif yang sangat beragam, terkait dengan disiplin tertentu. Dalam pandangan ini, diarahkan mengenai adanya wacana yang membentuk kekuasaan. Penggunaan wacana di sini, lebih untuk menitikberatkan perhatian pada pandangan kritis. Wacana adalah pengetahuan yang memberikan definisi-definisi melalui normalisasi sehingga ketika ditransformasikan akan diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat. Menurut Chris Barker (2008:83), bahwa Micheal Foucault telah menyatukan wacana bahasa dan praktik yang mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan makna kepada objek matrial dan praktik sosial. Wacana melibatkan adanya konteks untuk diteliti, bukan persoalan bahasa semata. Konteks dalam hal ini sebagai struktur dan sistem yang bergerak dalam praktik sosial. Wacana mengarah pada kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial yang ada. Hal tersebut disebabkan adanya kebenaran di dalam wacana yang diyakini sehingga individu-individu tersebut bergerak berdasarkan arahan wacana.

2. Teori Psikoanalisa Sigmund Freud

Psikoanalisa menurut sejarahnya memiliki tiga makna yang berbeda. Pertama, merupakan suatu sistem psikologi Sigmund Freud yang secara khusus menekankan peran alam bawah sadar serta kekuatan-kekuatan dinamis dalam pengaturan fungsipsikis.Kedua, merupakan bentuk terapi terutama sekali yang menggunakan asosiasi bebas serta berpijak pada analisa transferensi dan resistensi, sering kali di pergunakan untuk membedakan antara pendekatan Freudian dari pendekatan Neo-Freudian dalam bidang psikoanalisa yang sesuai (Corsini, 2003:1).

Psikoloanalisa dibedakan menjadi tiga arti yang terdapat pada artikel Freud. Pertama, istilah psikoanalisa dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti misalnya mimpi) yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah ini menunjukkan juga suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami pasien-pasien neurotis. Teknik pengobatan ini bertumpu pada metode penelitian tadi. Ketiga, istilah yang sama dipakai pula dalam arti lebih luas lagi untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut. Dalam arti terakhir ini kata “psikoanalisa” mengacu pada suatu ilmu pengetahuan yang di mata Freud betul-betul baru (Freud, 1984:13).

Dua hal yang mendasari teori psikoanalisa Freud adalah asumsi determinisme psikis dan asumsi motivasi tak sadar. Asumsi determinisme psikis (psychic determinism) meyakini

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

C. Pembahasan Ucapkan Kata-Katamu

jika kau tak sanggup lagi bertanya kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan jika kau tahan kata-katamu mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu terampas kau akan diperlakukan seperti batu dibuang dipungut atau dicabut seperti rumput atau menganga diisi apa saja menerima tak bisa ambil bagian jika kau tak berani lagi bertanya kita akan jadi korban keputusan-keputusan jangan kau penjarakan ucapanmu jika kau menghamba kepada ketakutan kita memperpanjang barisan perbudakan

kemasan-kentingan-sorogenen

(wiji thukul, 2004:8)

Setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya. Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan perlu di bina, sejak usia dini (idealnya).

Puisi “Ucapkan Kata-katamu’ karya Wiji Thukul memberikan wacana kepada para generasi muda untuk membentuk atau memiliki karakter yang akan menjadikan mereka dipandang di masyarakat ataupun di dunia. Puisi ini memberikan sebuah inspirasi para pemuda untuk menyuarakan segala pemikiran dan ide-ide untuk kepentingan bersama. Suara yang keluar dari mulut kita secara tidak langsung akan memberikan gambaran tentang diri kita. Kata-kata yang kita ucapkan menandakanbahwa pemuda Indonesia mempunyai karakter yang berani, tegas, dalam konteks kebenaran.

Karakter yang dimiliki oleh pemuda bangsa perlu untuk memberikan warna dalam kehidupan berbangsa. Kita sebagai pemuda dan sekaligus warga masyarakat yang berkarakter diharapkan dapat menjadi penyeimbang terhadap kondisi yang ada di negara Indonesia khususnya dan dunia pada umunya. Pemuda-pemuda atau masyarakat yang memiliki karakter diharapkan dapat memberikan perlawanan terhadap peraturan atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam berbagai hal. Perlawanan tersebut sebagai penyeimbang

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Pembentukan karakter juga terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga generasi bangsa mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. “Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap- sikap: kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian. Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Wiji Thukul berkata dalam baris puisinya “kau akan diperlakukan seperti batudibuang dipungutatau dicabut seperti rumputatau mengangadiisi apa saja menerimatak bisa ambil bagian” (Thukul, 2004:8). Kalimat puisi ini mengingatkan kepada sistem kurikulum yang berada di Indonesia. Dalam hal ini kurikulum tahun 2013. Banyak terjadi pro dan kontra terhadap kurikulum tersebut. Banyak yang menilai bahwa kurikulum itu merupakan proses pembodohan dalam bidang pendidikan. Pembodohan tersebut diakibatkan kurikulum yang diterapkan saat ini menyamaratakan proses pendidikan dengan standar nilai. Apabila kita melihat semboyan negara kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika” seharusnya kita sebagai bangsa yang mempunyai berbagai macam keahlian dapat disatukan untuk membentuk negara yang sejahtera. Akan tetapi falsafah itu telah dilupakan oleh para pemimpin kita, dengan sistem yang berlaku sekarang akan mempermudah pengendalian sistem dari pusat, akan tetapi kemudahan tersebut telah mengabaikan hakekat keilmuan itu sendiri.

Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. Perbedaan tersebut sebagai modal dasar sehingga akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia. Nilai-nilai karakter bangsa dimulai dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan,budayabangsa.

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

“Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka.

D. Simpulan

Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.Banyak kita perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk cenderung mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali kita, namun karakter anda tidaklah demikian. Karakter anda selalu merupakan hasil pilihan diri sendiri.Ketahuilah bahwa anda mempunyai potensi untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter, upayakanlah itu. Karakter, lebih dari apapun dan akan menjadikan anda seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Karakter akan melindungi segala sesuatu yang anda hargai dalam kehidupan ini. Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya. Anda memiliki kontrol penuh atas karakter anda, artinya anda tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakter anda yang buruk karena anda yang bertanggung jawab penuh. Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab pribadi anda.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.“jika kau menghamba kepada ketakutankita memperpanjang barisan perbudakan”(Thukul, 2004:8) menurut Wiji Thukul pendidikan karakter yang ditanamkan terhadap para generasi muda tersebut apabila telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Namun,apabila pendidikan karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat besar bagi bangsa ini, negara kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain.

E. Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS Corsini,Raymond. 2003.Psikoterapi Dewasa Ini. Surabaya: Ikon Teralitera. Corey, Gerald. 1997. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi . Bandung: Refika Aditama. Eriyanto. 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Freud,Sigmund. 1984.Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah.Jakarta: PT. Gramedia. Mulyadi, Seto dkk. 2008. Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter. cetakan I.

Yogyakarta: Tiara Wacana. Syamsu Yusuf, dkk. 2008. Teori Kepribadian. Jakarta: Upi dan Remaja Rosdakarya. Wiji Thukul. 2004. Aku Ingin Jadi Peluru. Tangerang: Agro Media Pustaka.

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

MEMAHAMI PSIKOLOGI MANUSIA INDONESIA DALAM SASTRA MELALUI PSIKOANALISIS ERICH FROMM

Anas Ahmadi Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya anas_ahmadieni@yahoo.com

Abstrak

Dalam penelitian ini dipaparkan psikologi manusia Indonesia dalam sastra yang dikaji melalui Psikoanalisis Erich Fromm. Data yang digunakan adalah Cerpen Pilihan Kompas 2013. Berdasarkan analisis diperoleh penemuan bahwa (1) manusia Indonesia memunculkan orientasi nekrofilia ke dalam yang tampak dalam cerpen “Alesia” dan (2) manusia Indonesia memunculkan orientasi nekrofilia ke luar yang tampak dalam cerpen “Aku, membunuh Munir.”

Kata kunci: psikologi manusia, psikoanalisis, Erich Fromm

A. Pendahuluan

Sastra sebagai creatio dari sang homo scriptor di dalamnya --baik dalam konteks ketidaksadaran (unconsciousness) maupun kesadaran (counsciousness)-- terkandung dunia filosofispsikologis, sosiologis dan antropologis. Dunia-dunia tersebut merupakan dunia mikroskopis yang sebenarnya wujud dari dunia makroskopis. Pemunculan dunia tersebut terepresentasikan bentuk laten maupun manifest.

Salah satu kajian yang dibahas dalam tulisan ini adalah sastra dalam kaitan nya dengan dunia psikologi. Sastra yang didalamnya terkandung unsur psikologis membuat sastra tersebut tidak kaku dan menjadikannya lebih estetis asal tidak melampaui wilayah kesastraannya (Ahmadi, 2011;2012). Sastra sebagai karya kreatif tidak lepas dari unsur psikologi. Karena itu, jika merujuk konseptualisasi Freud (2001); Jung (1955); Wellek & Warren (1990) Darma (2004;2007);Minderop (2010); Endraswara (2008) sastra dan psikologi memiliki hubungan timbal-balik. Keduanya, saling mengisi dan mencocokkan sehingga muncullah dunia keseimbangan antarkeduanya. Psikologi memberikan kontribusi pada sastra, misalnya kajian psikologi yang masuk dalam ranah sastra (psikologi kepribadian [psikoanalisis, eksistensialis, behavioris, dan humanis], psikologi agama, psikologi antropologi, psikologi perempuan, psikologi seksual, dan psikologi deviasi). Sebaliknya, sastra memberikan kontribusi pada psikologi, misal legenda Oedipus Rex yang dijadikan oleh Sigmund Freud [Sigi] sebagai teori Oedipus Kompleks, Legenda Electra yang dijadikan oleh Carl Gustav Jung sebagai teori Elektra Kompleks, Legenda Narcissus yang dijadikan psike seseorang yang mengganggap dirinya paling tampan (cantik).

Cerpen Indonesia sebagai salah satu genre sastra di dalamnya juga memunculkan dunia psikologi, baik konteks pengarang, karya, dan pembaca. Dalam hal ini, cerpen yang dijadikan kajian adalah cerpen Indonesia yang terkumpul dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013) terbitan Kompas-Gramedia. Mengapa Cerpen Pilihan Kompas? Ada dua alasan dasar mengapa dipilih Cerpen Pilihan Kompas. Pertama, Cerpen Pilihan Kompas merupakan barometer sastra Indonesia (meski tidak menafikkan Horison [yang konon lebih kanonis], Jawa Pos, Republika) dan Cerpen Pilihan Kompas merupakan cerpen yang dipilih oleh tim juri (Kompas) dalam setiap tahunnya. Dalam satu Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas terdapat 20-an cerpen. Jadi, di antara

48 cerpen yang terkumpul setahun diperas menjadi 20-an. Kedua, cerpen yang termuat dalam Kumpulan Cerpen Kompas memuat sastrawan-sastrawan Indonesia yang begawan, misal Budi Darma, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti, dan Senogumira Ajidarma.

Jika ditautkan ke judul, “Memahami Psikologi Manusia Indonesia dalam Sastra melalui Psikoanalisis Erich Fromm”, sepanjang pengamatan belum pernah ada yang membuat kajian jenis ini. Salah satu yang agak dekat dengan kajian ini, misal Manusia Indonesia yang ditulis oleh Mochtar Lubis (2001 [cetak ulang 2008]). Melalui kajian konseptualnya, Lubis memaparkan

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Sumber data yang digunakan, yakni (1) Kumpulan Cerpen Kompas 2010; (2) Kumpulan Cerpen Kompas 2012 ; dan (3) Kumpulan Cerpen Kompas 2013 . Untuk lebih spesifik, cerpen yang digunakan adalah cerpen yang dijadikan judul buku Kumpulan Cerpen Kompas, yakni “Dodolitdodolibret (2010)”, Dari Selawat Dedaunan sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta (2012)”, dan “Klub Solidaritas Suami Hilang (2013)”. Psikologi yang digunakan dalam penelitian ini, yakni Psikoanalisis Erich Fromm. Pumpunannya ditukikkan pada teori [konsep] nekrofilia. Dipilihnya psikoanalisis Erich Fromm sebab Fromm lebih filosofis dalam memandang psikologis atau dikenal dengan julukan filsuf-psikoanalisis, (Fromm, 1996). Dengan demikian, analisis psikologisnya lebih soft sebab dihubungkaitkan dengan filsafat. Berbeda halnya dengan teman semarganya, Carl G. Jung yang lebih pada psikoanalisis-mistis, Freud yang lebih pada pan-seksis, Erikson yang mengarah pada psikososial, Karen Horney yang lebih mengarah pada neurotika, dan Adler yang mengarah pada individualism.

Nekrofilia berasal dari bahasa Yunani, nekros yang artinya jasad, mayat, ataupun penghuni kubur. Dalam konteks mikroskopis, nekrofilia adalah pecinta mayat (real ataupun imajiner). Dalam konteks makro, nekrofilia bercirikan ketertarikan tertentu pada bau-bau yang tidak sedap, kebusukan, kegelapan, kemuraman, kekumuhan, kekurangmenyenangkan, kedengkian, kejorokan, dan kedestruktifan (Fromm, 1955; 1996; 2000; 2002; Hall & Linzey, 1990Maramis, 2008;Caplin, 2009;Reber & Reber, 2010). Pemikiran Fromm tentang nekrofilia ini tidak jauh beda dengan insting kematiannya Sigmund Freud. Bedanya, Fromm mengaji dalam konteks yang lebih berorientasi holistis, sedangkan Freud lebih berorientasi pada ranah yang individual.

B. Pembahasan

Pada cerpen “Alesia” karya Sungging Raga dikisahkan seorang anak yang memunculkan riak nekrofilia. Ia sudah sedih dengan segala tetek-bengek kehidupannya. Karena itu, ketika sang malaikat akan mengambil nyawa sang ibu, ia ingin nyawanya terlebih dahulu diambil oleh malaikat.

Lantas ia menusukkannya, ke arah perutnya sendiri. Sang malaikat menoleh ke arah gadis itu. “Apa yang kamu lakukan?” (Raga, 2013).

Kegelisahan, ketakutan, dan kesedihan yang dipikirkan oleh si Alesia, membuat dirinya melirik dunia kematian. Hasrat (desire) muncul dalam dirinya secara perlahan, tapi pasti dan menuntun dirinya menunju sang malaikat kematian. Kecintaannya pada kematian benar-benar dibuktikan oleh Alesia ketika ia menusuk perutnya dan ia mengatakan pada si Malaikat bahwa dia memang ingin mati.

Dalam pandangan Fromm, seseorang yang merindukan kematian memiliki orientasi destruktif daripada konstruktif sebab dia lebih memilih hasrat kematian. Jika seseorang memiliki orientasi pada konstruktif, ia akan mengarah pada tipe biofilia, manusia yang mencintai kehidupan. Hawa biofilia adalah hawa positif, sedangkan hawa nekrofilia adalah hawa yang negatif. Dalam hal ini, Alesia sebagai sosok yang berorientasi pada nekrofilia mengarahkan kenekrofiliaannya itu ke dalam, bukan ke luar. Karena itu, dia mendestruksi dirinya sendiri, bukan orang lain.

Pada cerpen berjudul “Aku, Membunuh Munir” karya Senogumira Ajidarma dikisahkan (fakta plus fiksi) tentang peristiwa pembunuhan Munir. Sosok Munir dalam dunia nyata adalah sosok wartawan Bernas yang meninggal dunia dan konon ia mati diracuni

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Tentu, tentu aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya melalui tangan orang lain, sama seperti yang biasa kulakukan kepada orang-orang lain bilamana perlu

(Ajidarma, 2013). Sang pencerita dalam cerpen ini adalah sang pembunuh Munir. Ia mengakui bahwa ia

membunuhnya. Dengan demikian, tampak eksplisit bahwa ia adalah orang yang berorientasi pada nekrofilia. Terlepas dari dia menyukai pembunuhan itu, terpaksa melakukan pembunuhan itu, ataupun tidak menyukai pembunuhan itu. Yang jelas, ia telah membunuh Munir, meski tidak melalui tangannya sendiri. kedestruktifismeannya dimunculkan tatkala hasrat untuk membunuh itu muncul. Dalam konteks ini, pikiran-pikiran yang berkelijatan dalam diri seseorang terkait dengan pembunuhan secara implisit mengarah pada nekrofilia.

Ya, sejak tahun 1998 itulah kamu telah menantangku. Kamu bongkar kenyataan adanya orang hilang, kamu dorong mereka yang telah dilepaskan untuk bicara, setelah susah dan payah dilakukan intimidasi terhadap para aktivis ingusan itu. Huh! Tapi, ya tidak usah dibongkar-bongkar dong! Eh, nyap-nyap! Asal tahu saja Munir, bukan aku, tapi kamulah yang memutuskan agar sisanya hilang selamanya

(Ajidarma, 2013). Bahasa-bahasa yang sarkastis yang dimunculkan oleh sang pembunuh Munir semakin

menunjukkan bahwa dia adalah sosok nekrofil. Tidak hanya pikiran tentang kenekrofiliaan, tetapi ia juga memunculkan tindakan (action) sebagai pembunuh meski bukan tangan pertama, dan bahasa memunculkan bahasa yang bergaya nekrofil. Orientasi nekrofilia yang muncul dalam cerpen ini adalah nekrofilia ke luar sebab ia (sang pembunuh) membunuh sosok Munir

Melalui sebuah sastra kita bisa melihat masyarakat, baik filosofi, psikologi, sosiologi, ataupun antropologinya. Hal ini memang tidak lepas dari ungkapan bahwa sastra adalah dunia ‘kecil’ masyarakat dunia nyata. Karena itu, kita juga bisa melihat psikologi manusia Indonesia melalui sastra (cerpen) Indonesia.

Jika merujuk pada dua cerpen yang sangat kuat memunculkan dominasi nekrofilia tampak bahwa sebenarnya manusia Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran tersebut.

Percaya atau tidak, diakui atau tidak, kisah Alesia dalam cerpen “Alesia” sebenarnya menggambarkan kehidupan sosok anak kecil Indonesia yang hidup tanpa asuhan sang ayah (sebab ayahnya kerja di luar negeri), sedangkan ibunya sakit-sakitan. Untuk biaya pengobatan sang ibu, uang keluarga tidak mencukupi. Yang bisa dilakukan oleh keluarga ini adalah menunggu kematian sang ibu (meski menunggu kematian bukan sebuah keinginan sebab semua pasti mati). Akhirnya, yang terjadi adalah kehidupan yang muram, petang, gelap, dan dalam ke-absurd-an yang berderetan dengan ke-absurd-an yang lain. Karena itu, sosok Alesia ingin bunuh diri. Bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan kecenderungan tidak lepas opresi sebab perempuan lebih mengarah pada orientasi opresi (oppressive) daripada agresi (aggresion) (Ahmadi, 2013). Keinginannya itu, tampaknya tak sebatas esensi, tapi juga eksistensi. Ia pun bunuh diri fisik. Itulah nekrofilia ke dalam yang dilakukan oleh manusia Indonesia.

Adapun cerpen “Aku, Pembunuh Munir” menunjukkan bahwa manusia Indonesia itu tak suka dengan ketransparasian. Karena itu, ketika ada sosok Munir yang berusaha memperjuangkan demokrasi dan transparansi. Ia digilas, ditumbangkan, dan dibunuh. Untuk membunuhpun sang pembunuh tidak menggunakan tangannya sendiri. Istilah jawanya, nabok nyilih tangan . Logikanya, apakah sang pembunuh ini penguasa/pejabat. Entahlah! Sebab orang ini tangannya tidak mau kotor oleh darah dari orang yang dibunuh. Fenomena ini kental

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

setelah sebelumnya memperjuangkan HAM atau lidahnya agak tajam mengritik? Inilah sisi lain manusia Indonesia, nekrofilia.

C. Simpulan

Bertolak dari paparan di muka dapat disimpulkan bahwa Cerpen Pilihan Kompas 2013 yang dominan memunculkan orientasi nekrofilia, yakni cerpen “Alesia” dan “Aku, Pembunuh Munir”. Pemunculan nekrofilia dalam cerpen-cerpen tersebut, dalam konteks psikologis, bisa secara sadar ataupun nirsadar. Namun, sadar ataupun nirsadar sang pengarang tetap memunculkan bahwa manusia Indonesia memiliki jiwa-jiwa nekrofilia. Jiwa- jiwa kenekrofiliaan tersebut jika tidak diberangus, kata Erich Fromm akan menghancurkan sebuah bangsa.

D. Daftar Pustaka

Ahmadi, Anas. 2011. Sastra dan Filsafat. Surabaya: Unesapress. __________. 2012. Sastra Lisan dan Psikologi. Surabaya: Unesapress. __________. 2013. “Perempuan Agresif dan Opresif dalam Antologi Cerpen Kompas 2013:

Tinjauan Psikologi-Jender”. Dalam Jurnal Lentera 10/1, hlm. 67—74. Caplin, J. 2009. Kamus Psikologi. Terj. Jakarta: Grafiti. Darma, B. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. _________. 2007. Sastra, Moral, dan Kreativitas. Surabaya: Unesapress. Davison,G.C. dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: Grafiti. Endraswara, E. 2008. Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Fromm, Erich. 1955. The Sane Society. New York: Printing History. __________. 1996. Revolusi dan Harapan. Terj. oleh Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar __________. Akar Kekerasan: Analisisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia. Terj. oleh Imam

Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. __________. Cinta, Seksualitas, Matriarkhi, dan Gender. Ter. Yogyakarta: Jalasutra. Hall, CS & Linzey, G. 1990. Teori-teori Psikodinamik Klinis. Terj. Yogyakarta: Kanisius. Jung C. Gustav. 1955. The Archetypes and the Collective Unconscious. London: Routledge. Maramis, J. 2008. Ilmu Kedokteran Jiwa.Jakarta: Erlangga. Minderop, A. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: YOI. Reber, A.S. & Reber, E. 2010. Kamus Psikologi. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lubis, M. 2008. Manusia Indonesia. Jakarta: YOI. Wellek, R. & Warren, A. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Jakarta: Gramedia.

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

AKU BERHUMOR MAKA AKU ADA: IDENTIFIKASI DIRI TOKOH LUPUS DALAM CERITA SERIAL LUPUS KECIL

Ari Ambarwati Universitas Islam Malang a.arianya@gmail.com

Abstrak

Artikel ini memaparkan humor sebagai alat identifikasi diri. Humor membangkitkan kesenangan pada partisipannya. Tidak ada yang lucu secara natural. Humor memicu senyum dan tawa melalui proses penerimaan dan negosiasi antarpartisipan. Negosiasi juga muncul dalam cerita anak yang bermuatan humor. Wacana humor dalam Cerita Lupus Kecil digunakan sebagai arena mengonstruksi identitas diri sang tokoh. Tokoh Lupus memanipulasi dan menggunakan beberapa modus humor untuk mengukuhkan identitas dirinya sebagai anak yang cerdas dan disukai banyak orang.

Kata Kunci: identifikasi diri, wacana humor

A. Pendahuluan

Humor adalah salah satu bentuk permainan (Wijana, 1994:2). Sebagai homo ludens (manusia bermain), manusia adalah mahluk yang suka bermain-main. Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak, juga orang dewasa. Bahkan, bermain adalah sebagian dari proses belajar. Melalui permainan, kreativitas anak dibangkitkan, dirangsang dan dikembangkan. Melalui permainan juga seorang anak dipersiapkan menjadi bagian dari anggota masyarakat. Humor disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, tembang dolanan, julukan, karikatur, kartun, nama tempat dan bahkan nama makanan yang mengundang tawa.

Anandjaja (1989:498) menyatakan bahwa humor dalam masyarakat, baik yang bersifat erotis, maupun protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara. Hal ini disebabkan karena humor dapat melepaskan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui canda dan tawa. Lebih jauh, Danandjaja menyatakan bahwa dalam situasi masyarakat yang sedang terpuruk, humor berperan besar melepaskan ketegangan yang dialami oleh suatu masyarakat (1989:16). Humor dapat membebaskan manusia dari kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan., sehingga manusia dapat mengambil tindakan atau keputusan yang lebih bijaksana.

Sebagai wacana kritik sosial, humor dapat ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dalam bentuk kartun, artikel ringan, atau juga cerita-cerita humor. Humor tidak saja dikonsumsi oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Salah satu karya cerita anak-anak bermuatan humor dapat dijumpai dalam serial cerita anak-anak yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya dan Boim, berlabel Lupus Kecil. Serial Lupus merupakan novel remaja yang diangkat dari cerpen-cerpen Lupus di majalah Hai pada tahun 1986 (Kejarlah Daku, Kau Kujitak ) yang kemudian menjadi best sellers. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1989, terbit serial Lupus kecil pertama, yang berjudul Lupus Kecil. Serial Lupus kecil terdiri dari 13 judul, yang terbit dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni antara 1989-2003. Pada Juni 2013 penerbit Gramedia kembali menerbitkan serial Cerita Lupus Kecil.

Objek yang akan dikaji pada makalah ini adalah wacana humor dalam teks cerita-cerita serial Lupus Kecil. Tujuan penelitian ini adalah memahami serta mengeksplorasi pengetahuan tentang aspek dan fungsi humor yang digunakan oleh tokoh dalam serial Lupus Kecil melalui ancangan studi wacana kritis, khususnya pendekatan SWK milik James Paul Gee, yakni Wacana (dengan huruf kapital W).

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

B. Topik Bahasan

Topik bahasan dalam makalah ini adalah identifikasi diri tokoh Lupus melalui humor. Tokoh Lupus dalam serial Lupus Kecil adalah seorang anak berusia tujuh tahun, duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Ia digambarkan cerdas dan humoris. Lupus seorang anak periang,

mempunyai seorang adik perempuan bernama Lulu. Karakternya yang periang dan suka bercanda membuat Lupus banyak mendapatkan pengalaman menyenangkan maupun sebaliknya. Humor, baik verbal maupun nonverbal, pada dasarnya merupakan rangsangan spontan untuk memancing tawa penikmatnya. Menurut Apte (1985:15), tertawa dan tersenyum adalah merupakan indikator yang paling jelas bagi pengalaman atau penikmatan humor (humor experience). Ada tiga teori yang berusaha menyingkap esensi humor, di antaranya adalah teori pembebasan (relief theory), teori pertentangan ( theory of conflict), dan teori ketidaksejajaran (incongruity theory).

Teori pembebasan memandang humor sebagai alat pembebasan dari sesuatu yang menyakitkan atau menakutkan (Wijana: 1994:22). Ekspresi terbebas dari sesuatu yang menyakitkan tersebut bisa berupa tawa. Ekspresi tawa muncul bila sesuatu yang diharap- harapkan secara tiba-tiba tidak menjadi kenyataan. Adapun yang muncul adalah hal-hal sepele yang tidak diduga-duga (unexpectedly trivial).

Teori humor kedua adalah teori pertentangan. Teori ini berpandangan bahwa humor merupakan pertentangan antara dua kekuatan, yakni kekuatan untuk maju dan kekuatan untuk mundur (Wijana: 1994:24). Pertentangan dalam humor sebagai sesuatu yang mengandung ambivalensi yang mengacu pada dua konflik yang berbeda. Teori ketiga yang berusaha menyingkap esensi humor adalah teori ketidaksejajaran. Teori ketidaksejajaran mengacu pada pengaruh humor terhadap persepsi pikiran pembaca atau pendengarnya (Wijana, 1994:27). Dikatakan bahwa humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks. Secara verbal, dua hal atau konsep yang tidak kongruen itu dihubungkan dengan bentuk lingual yang sama.

Tiga teori tersebut akan digunakan untuk mengetahui aspek humor yang muncul dalam cerita serial Lupus Kecil. Selanjutnya, temuan tersebut akan ditelaah melalui satu piranti teoritis SWK (Studi Wacana Kritis) Gee yaitu Wacana. Penelitian ini mengaji wacana humor yang terdapat dalam cerita-cerita Lupus Kecil. Berdasarkan fokus yang dipilih, jenis penelitian ini merupakan penelitian analisis teks. Penelitian ini akan menganalisis teks yang terkandung dalam sebuah karya sastra dalam hal kumpulan cerita pendek dan novelet serial Lupus Kecil dengan menggunakan sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan fokus yang akan dianalisis.

Wacana tampak dalam cara berbicara, cara membaca/menulis, bersikap, berinteraksi, memberi penilaian, berpikir, merasakan sesuatu, berpakaian, dalam relasinya dengan orang lain, melalui beragam objek, piranti, maupun teknologi sehingga menghasilkan sikap khusus yang dapat diidentifikasi sebagai identitas sosial. Misalnya seperti identitas “siswa yang baik”, “dokter yang berkompeten”, “polisi yang tangguh”. Dalam kajian ini, humor yang dilontarkan oleh tokoh Lupus dikaji untuk mengetahui konstruksi serta identifikasi dirinya. Bagaimana ia menempatkan dirinya sebagai anak dari ibu dan ayahnya, kakak dari adiknya (Lulu), serta anggota dari komunitas publik yang lebih besar (sahabat, murid SD, anggota masyarakat). Kajian tersebut dibangun melalui tujuh pertanyaan tentang beberapa potongan bahasa dalam penggunaan (language in use)—baca: cuplikan narasi, dialog atau monolog dalam teks serial Lupus Kecil . Tujuh pertanyaan tersebut menurut Gee dalam Rogers adalah seven building tasks, yaitu: signifikansi, aktivitas (praktik), identitas, keterhubungan, politik, koneksi, dan sistem tanda dan pengetahuan (2011:30).

Signifikansi adalah penggunaan bahasa dengan cara tertentu. Tidak ada hal yang istimewa sampai manusia membuat hal tersebut menjadi istimewa, demikian pula dengan

bahasa. Bahasa bisa menjadi penanda siapa yang menuturkan dan memproduksi. Bahasa dapat menunjukkan aktivitas atau praktik yang tengah dikerjakan seseorang. Apakah ia sedang memohon, menyuruh orang lain melakukan tindakan untuknya, melarang, dan sebagainya.

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI