PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA (Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur Perkawinan Di Bawah Umur Dan Akibatnya(Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar).

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA
(Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur
di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar)

NASKAH PUBLIKASI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat
Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh:
NOVITA KUSUMANINGRUM
C. 100.110.079

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA
(Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur
di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan

Agama Karanganyar)
NOVITA KUSUMANINGRUM
C. 100.110.079
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
ABSTRACT
This research aims to (1) determine the cause of underage marriage did divorce
within the territory of Religious Courts of Surakarta and Religious Courts of
Karanganyar (2) Finding a legal breakthrough in efforts to cope with underage
marriage that resulted in divorce within the territory of Religious Courts of
Surakarta and Religious Courts of Karanganyar. The research used a descriptive
by using an empirical approach. The data obtained through research on Religious
Courts of Surakarta and Religious Courts of Karanganyar. Data were collected
through the study of documents and interviews. Technical analysis of the data of
this research is the analysis of qualitative data using interactive methods.
Keywords: underage marriage, divorce
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui penyebab perkawinan di bawah
umur melakukan perceraian dalam wilayah Pengadilan Agama Surakarta dan

Pengadilan Agama Karanganyar (2) Menemukan terobosan hukum dalam upaya
menanggulangi perkawinan di bawah umur yang berakibat perceraian dalam
wilayah Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar.
Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan
empiris. Data yang diperoleh melalui penelitian pada Pengadilan Agama
Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar. Metode pengumpulan data
melalui studi dokumen dan wawancara. Teknis analisis data penelitian ini adalah
analisis data kualitatif dengan menggunakan metode interaktif.
Kata kunci: perkawinan di bawah umur, perceraian

1

PENDAHULUAN
Berdasarkan hukum perkawinan dicantumkan bahwa usia minimal yang
diperkenankan menikah adalah laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh
pasangan yang belum atau tidak memenuhi persyaratan umur yang telah
ditentukan peraturan perundang-undangan. Pernikahan di bawah umur juga
disebut Dispensasi Nikah, yaitu pernikahan yang terjadi pada pasangan atau salah

satu calon yang ingin menikah pada usia di bawah standar batas usia nikah yang
sudah ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan.1
Kasus pernikahan di bawah umur, telah terjadi di wilayah Kota Surakarta
dan Karanganyar. Berdasarkan data awal, perkawinan di bawah umur yang
tercatat dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Laweyan Kotamadya
Surakarta dari bulan Januari hingga Agustus 2014 sebanyak dua orang mempelai
laki-laki dan 49 orang mempelai perempuan. Artinya, pernikahan di bawah umur
di masyarakat masih saja terjadi. Kejadian ini terjadi, bukan karena pemerintah
kurang aktif dalam mensosialisasikan peraturan perundang-undangan, dan juga
bukan karena masyarakat tidak paham atas peraturan perundangan-undangan
tersebut. Sosialisasi ketentuan perkawinan telah berulangkali disampaikan oleh
pemerintah dalam hal ini KUA melalui kegiatan perkawinan itu sendiri,
diantaranya dicantumkan dalam buku nikah maupun acara tausiah dalam upacara
pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa, ketika peraturan jelas-jelas menentukan

1

Nurmilah Sari, 2011, Skripsi Hukum, “Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Kasus di
Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010)”, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.


2

pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus memenuhi umur yang
telah ditentukan, namun kenyataanya tidak berjalan sebagaimana ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Terjadinya perkawinan di bawah umur pada akhirnya membawa akibat dari
perkawinan itu sendiri, baik akibat baik maupun akibat buruk. Akibat baiknya adalah
terbinanya rumah tangga sebagaimana tujuan perkawinan, sedangkan akibat
buruknya adalah terjadinya perceraian. Hal ini disebabkan, perceraian terjadi karena
ada perkawinan. Perkawinan di bawah umur, melibatkan pasangan mempelai yang
secara fisik maupun psikologis belum siap. 2
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.3 Banyak sekali alasan atau
kendala yang menyebabkan terjadinya perceraian antara suami dan istri di dalam
rumah tangga. Alasan perceraian tersebut antara lain disebabkan karena
perselingkuhan, pengaruh keluarga, tidak menarik lagi, kesibukan, keturunan,
poligami, pernikahan dini, perbedaan keyakinan, penghasilan, dan pendidikan.4
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pertama, apakah
perkawinan di bawah umur menyebabkan pasangan suami istri melakukan

perceraian, kedua, bagaimanakah terobosan hukum dalam upaya menanggulangi
perkawinan di bawah umur yang berakibat perceraian?
Tujuan penelitian ini adalah untuk pertama, Mengetahui penyebab
perkawinan di bawah umur melakukan perceraian dalam wilayah Pengadilan
2

3

4

Moh Mukson, 2013, “Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang
(Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Bimas Islam, Vol.6. No.1 (2013),
hal. 4.
Wahjadi Darmabrata & Adhi Wibowo Nurhidayat, 2003, Psikiatri Forensik. Jakarta: EGC, hal.
98.
E.B Surbakti, 2008, Sudah Siapkah Menikah, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, hal. 325.

3

Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar; kedua, Menemukan

terobosan hukum dalam upaya menanggulangi perkawinan di bawah umur yang
berakibat perceraian dalam wilayah Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan
Agama Karanganyar.
Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan menggunakan
pendekatan empiris. Data yang diperoleh melalui penelitian pada Pengadilan
Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar. Metode pengumpulan
data melalui studi dokumen dan wawancara. Teknis analisis data penelitian ini
adalah analisis data kualitatif dengan menggunakan metode interaktif5.
Validitas atau keabsahan data dalam penelitian ini diperiksa dengan
metode triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk kepentingan pengecekan
data atau sebagai pembanding terhadap data itu. 6 Variasi teknik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah triangulasi model sumber. Hal ini dilakukan karena
pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara, dokumentasi
dan observasi.
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
Perkawinan di Bawah Umur Menyebabkan Pasangan Suami Istri
Melakukan Perceraian
Kasus-kasus perkawinan anak di bawah umur dapat dijadikan sebagai
contoh terbukanya peluang penyalahgunaan hukum. Realita tersebut secara tidak

langsung mengindikasikan bahwa keberadaan payung hukum tersebut, baik

5

6

Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), hal. 10.
Lexy Y. Moleong, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi)., Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, Hal. 178.

4

disadari atau tidak, telah disalahgunakan menjadi penguat faktor-faktor internal
perkawinan anak di bawah umur. Dalam persidangan dispensasi perkawinan
alasan-alasan dengan dalih faktor internal, terutama faktor pergaulan, menjadi
alasan yang banyak menjadikan legalitas dispensasi perkawinan di bawah umur.
Berdasarkan penetapan-penetapan dispensasi

perkawinan


yang diketahui,

keseluruhannya mendapatkan legalitas yang disebabkan adanya kekhawatiran
terhadap pergaulan bebas yang terjadi antar kedua calon mempelai7.
Majelis Hakim yang menyidangkan permohonan dispensasi perkawinan
tidak dapat disalahkan seluruhnya. Mereka hanya abdi hukum yang tunduk
terhadap hukum yang berlaku. Alasan yang diajukan oleh masyarakat yang
mengajukan permohonan dispensasi perkawinan juga menjadi pertimbangan
tersendiri oleh Majelis Hakim.
Fenomena pergaulan bebas calon pengantin (remaja) adalah keadaan yang
dapat menuju pada terciptanya perbuatan zina. Oleh sebab itulah Majelis Hakim
tidak dapat dipersalahkan secara sepenuhnya. Terlebih lagi Majelis Hakim telah
berusaha maksimal dengan melakukan pemeriksaan secara terpisah. Namun upaya
tersebut pun telah diketahui oleh masyarakat sehingga masyarakat kemudian
melakukan rekayasa sebelum adanya pemeriksaan sehingga dalam pemeriksaan
tersebut seakan-akan memang benar-benar terjadi pergaulan bebas yang
disebabkan oleh perbuatan anak (calon pengantin). Padahal pada beberapa kasus
pergaulan bebas tidak disebabkan oleh keinginan anak melainkan karena
keinginan orang tua. Maksudnya, terjadinya perkawinan dibawah umur, bukan


7

Ibid.

5

semata-mata keinginan anak melainkan ada motivasi lain dari orang tua, yaitu
menghindarkan anak dari perbuatan zina akibat pergaulan bebas.
Hukum perundang-undangan idealnya harus mampu menjadi alat untuk
menegakkan keadilan, menciptakan kenyamanan dan mampu mendukung
terciptanya kesejahteraan hidup masyarakat. Namun jika melihat realita yang
terjadi di masyarakat, adanya legalitas perkawinan di bawah umur telah
memberikan dampak yang kurang bagus dalam kehidupan masyarakatnya.
Pada saat melakukan pengumpulan data, penulis juga menemukan
beberapa pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur melakukan
perceraian padahal usia perkawinan masih singkat.
Keberadaan undang-undang yang memperbolehkan perkawinan anak di
bawah umur telah menjadi alasan bagi masyarakat untuk menentang anjuran yang
diberikan oleh Kepala Desa terkait rencana perkawinan anak mereka yang masih

di bawah umur. Hal ini sangat wajar karena kedudukan Kepala Desa maupun PPN
dalam perihal perkawinan masih kalah dengan legalitas yang diperoleh dari
perundang-undangan yang berlaku.
Masyarakat yang berkeinginan untuk mendapatkan dispensasi perkawinan
anak di bawah umur telah berani menyalahgunakan keberadaan peraturan
perundang-undangan

demi

memuluskan

keinginan

mereka.

Hal

ini

mengindikasikan perlu adanya perbaikan pada upaya pemahaman kepada

masyarakat tentang keberadaan dan fungsi hukum dalam kehidupan.
Faktor terpenting kedua adalah faktor pergaulan bebas remaja. Faktor ini
merupakan

faktor

pendukung

dari

perundang-undangan

yang

berlaku.

Maksudnya, keberadaan fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja menjadi

6

satu-satunya alasan yang dapat menjadi legalitas terjadinya perkawinan anak di
bawah umur. Sedangkan faktor-faktor yang lainnya tidak dapat diajukan sebagai
syarat kebolehan suatu perkawinan.
Faktor pergaulan bebas dapat dijadikan alasan karena secara tidak
langsung dapat mengarah pada terjadinya kawin hamil. Secara hukum, kawin
hamil memang dapat diselenggarakan secara legal formal berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 53 KHI yang menyebutkan
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya; (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya; dan (3) Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Namun hal ini tidak lantas menjadi sebab tidak diperbolehkannya
kekhawatiran pergaulan bebas menjadi syarat dibolehkannya perkawinan anak di
bawah umur. Islam sangat tidak menganjurkan adanya kemadlaratan sebagaimana
dalam pergaulan bebas terkandung aspek-aspek kemadlaratan timbulnya
perzinaan di kalangan remaja.
Kekhawatiran yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas bukan isapan
jempol semata. Salah satunya adalah kasus yang menimpa MAWAR. Realitarealita tersebut semakin menguatkan kekhawatiran terjadinya perzinaan yang
berakibat kehamilan di luar nikah pada anak-anak dan remaja. Selain dampak
tersebut, kehormatan keluarga juga menjadi aspek yang tidak kalah pentingnya
dalam mengupayakan perkawinan anak di bawah umur daripada terjadi kawin
hamil yang menimpa anak-anak mereka.

7

Keadaan tersebut memang dapat menjadi sebuah alasan yang tidak dapat
ditolak. Namun di sisi lain, kekhawatiran itu juga akan menjadi peluang semakin
maraknya perkawinan anak di bawah umur, meskipun calon mempelai tidak
terlibat dalam pergaulan bebas. Maksudnya, dengan adanya kebolehan karena
kepentingan menghindari madlarat, alasan pergaulan bebas dapat dijadikan alat
rekayasa untuk melangsungkan perkawinan anak di bawah umur yang sebenarnya
dilaksanakan atas dasar penyebab selain pergaulan bebas seperti faktor ekonomi
maupun faktor orang tua. Jika sudah demikian, akan sulit dibedakan lagi
perkawinan anak di bawah umur yang disebabkan adanya kekhawatiran pergaulan
bebas dengan sebab material maupun paksaan orang tua.
Sebagaimana dikemukakan oleh KUA Laweyan Surakarta, mempelai
pengantin yang masih di bawah umur rentan terhadap perceraian. Masalah
psikologis berupa kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai
korban berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang
diamanatkan UU Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan
kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.
Usia remaja merupakan usia kelabilan pada emosinya yang terkadang
berakibat kepada keputusan untuk menikah dengan tergesa-gesa tanpa melalui
pcrtimbangan yang matang. Remaja, selalu berkhayal tentang scsuatu yang enakcnak dan menyenangkan serta terkadang tidak realistis. Bayangan tersebut
biasanya berkaitan dengan kebutuhan seksual.
Khayalan yang berlebihan akan menjadikan mereka tidak berfikir panjang
bahwa kenyataannya pernikahan bukanlah sekedar pelampiasan dan pemenuhan
kebutuhan seksual. Tetapi lebih dari itu persoalan yang dihadapi begitu kompleks

8

menyangkut persoalan internal dan eksternal keluarga, sehingga pernikahan
membutuhkan persiapan fisik dan mental seseorang.
Psikologi memandang bahwa pernikahan dini tidaklah sekedar batasan
usia pada manusia. Karena pernikahan awal tersebut lebih tepat dikatakan sebagai
pernikahan belia. Alasan ini lebih mengkaitkan pada persoalan sisi perkembangan
non-fisik, baik perkembangan biologis maupun perkembangan psikologi (emosi,
kognisi dan sosial). Oleh karena itu akan dilakukan analisis terhadap pemikahan
dini dengan melihat sisi perkembangan biologis dan psikologis khususnya pada
aspek perkembangan emosi remaja.
Meskipun batas umur minimal telah ditentukan, namun Undang-Undang
Perkawinan memberi kelonggaran untuk menyimpang dari aturan syarat umur
tersebut. Melalui UU No 1 Tahun 1974, Pasal 7 ayat (2), yang berbunyi “Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun wanita”.
Keleluasaan pemberiaan dispensasi di atas dalam perkawinan di bawah
umur bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dinamakan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dari pengertian anak
tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun seharusnya memperoleh haknya yaitu berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Salah satu hak yang terpenting adalah hak untuk mendapatkan

9

pendidikan yang layak. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 23 Tahun
2002 bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya”.
Selain itu juga ditekankan lagi pada Pasal 49 Undang-Undang
Perlindungan Anak, bahwa negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan. Pada putusan perkara Nomor:0921/Pdt.G/2013/PA.Kra, hakim
memutuskan kepada pemohon untuk memberikan nafkah kepada anak sebesar Rp.
200.000,-. Hal ini merupakan bentuk pelaksanaan Pasal 49 Undang-Undang
Perlindungan Anak, agar dapat digunakan sebagai jaminan bagi anak untuk
memperoleh pendidikan.
Terobosan Hukum dalam Upaya Menanggulangi Perkawinan di Bawah
Umur yang Berakibat Perceraian
Pernikahan di bawah umur berdasarkan hasil penelitian International
Centre for Missing & Exploited Children (ICMEC) (2013), dipengaruhi oleh
tingginya tingkat kemiskinan, ketidakstabilan sosial dan politik, dan pengaruh
fundamentalisme praktik keagamaan secara luas. Berdasarkan temuan penelitian
dan pembahasan di atas, perkawinan pada usia dibawah umur dapat menyebabkan
perceraian. Hal ini memperkuat penelitian yang pernah dilakukan oleh Sarkar
yang menyebutkan bahwa pernikahan dini (perkawinan di bawah umur) memiliki
dampak yang signifikan terhadap perceraian dan pernikahan kembali. Sarkar juga
menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur juga memiliki dampak terhadap
rendahnya tingkat pendidikan bagi perempuan yang menikah dini.

10

Perkawinan merupakan ritual keagaamaan yang bertujuan membentuk
keluarga yang sakinah dan bukan untuk menimbulkan kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga, sehingga berakhir pada perceraian. Perkawinan di bawah umur
memiliki dampak lain yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kematian ibu
saat hamil atau melahirkan lantaran masih berusia belia. Oleh karena itu, untuk
mencegah semakin maraknya perkawinan di bawah umur, pemerintah harus
mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat pedesaan bahwa perkawinan
di bawah umur hanya akan merugikan anak-anak. Bahwa resiko yang terjadi
karena perkawinan di bawah umur akan berdampak besar kepada anak-anak
terutama perempuan
Berdasarkan paparan Surat Putusan Pengadilan Agama, Nomor 0135/
Pdt.G/ 2014/PA.Ska dan Nomor:0921/ Pdt.G/ 2013/ PA.Kra, diketahui pasangan
yang bercerai merupakan pasangan yang menikah dengan menggunakan
dispensasi nikah. Akibat yang terjadi dalam surat putusan tersebut, jelas yaitu
perceraian. Alasan yang muncul adalah adanya ketidakstabilan sikap baik dari
pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang perkawinan di
bawah umur menyebabkan pasangan suami istri melakukan perceraian, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, Perkawinan di bawah umur menyebabkan pasangan suami istri
melakukan perceraian. Kasus perceraian di bawah umur secara yuridis sebenarnya
tidak diperbolehkan, sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
11

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam proses pemeriksaan calon
mempelai yang belum memenuhi syarat usia. Proses pernikahan pasangan
dibawah umur, tidak akan diterima oleh KUA, sehingga kedua pasangan harus
melengkapi syaratnya dengan surat dispensasi. Pasangan menikah dibawah umur
secara psikologis belum memiliki kesiapan untuk membangun keluarga dengan
baik. Dalam sebuah keluarga ada banyak tantangan yang harus dihadapi baik dari
sisi ekonomi, psikologi maupun sosial.
Kedua, Terobosan hukum dalam upaya menanggulangi perkawinan di
bawah umur yang berakibat perceraian. Terobosan untuk menanggulangi
perkawinan di bawah umur yang berakibat perceraian adalah: (1) Memberikan
nasehat pada saat mengajukan dispensasi nikah; (2) Memberikan Nasehat pada
saat Pesta Perkawinan; (3) Melakukan Penyuluhan kepada pasangan baru yang
akan menikah; (4) Menegakkan peraturan perundang-undangan dengan sungguhsungguh.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, berikut beberapa
saran yang dapat dikemukakan.
Pertama, Pernikahan hanya dapat dicapai bila pernikahan direncanakan
secara matang dan dilaksanakan pada tingkat kedewasaan tertentu baik bagi
wanita maupun pria. Pada jiwa yang belum matang atau dewasa ditandai dengan
sikap yang selalu labil, gampang merubah pendiriannya, banyak permintaannya
dan mudah cemas. Sikap semacam ini banyak menuntut keinginan yang begitu
banyak, tetapi belum diimbangi dengan kemampuan yang ada, baik kemampuan
psikis maupun material, sehingga cepat atau lambat pasti akan menggoncangkan

12

kehidupan pernikahan. Hendaknya calon pasangan suami istri mempersiapkan
fisik dan mental sebelum memasuki kehidupan rumah tangga agar rumah tangga
sakinah yang diidam-idamkan dapat mereka wujudkan.
Kedua, Hendaknya orang tua memberikan bimbingan dan pendidikan
kepada anak mereka supaya dapat mempersiapkan diri dalam membina rumah
tangga sejahtera, hidup bahagia.
Ketiga, Hendaknya Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama dapat
menjalin kerjasama dalam rangka mensosialisasikan peraturan perundangundangan perkawinan. Hal ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan kepada
masyarakat agar masyarakat belajar tertib hukum.

13

DAFTAR PUSTAKA

Darmabrata, Wahjadi & Nurhidayat, Adhi Wibowo, 2003, Psikiatri Forensik,
Jakarta: EGC.
Moleong, Lexy Y, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi),
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sari, Nurmilah, 2011, Skripsi Hukum, “Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi
Kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010)”, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press),

Surbakti, E.B, 2008, Sudah Siapkah Menikah, Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Moh Mukson, 2013, “Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo
Kabupaten Rembang (Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan”,
Jurnal Bimas Islam, Vol.6. No.1 (2013), hal. 4.

14