Nafkah Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU)

(1)

NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA

(Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

RACHMATULLAH TIFLEN NIM. 1111044100035

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v ABSTRAK

Rachmatullah Tiflen. NIM 1111044100035. Judul skripsi ini adalah “Nafkah Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU).” Fokus utama studi ini adalah bagaimana nafkah anak pasca perceraian dalam perspektif fikih dan ijtihad hakim di Pengadilan Agama Jakarta Utara serta pelaksanaan putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU. Program Studi Hukum Keluarga Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. xii + 77 halaman + 50 halaman lampiran.

Pertanyaan ini penting diajukan karena untuk mengetahui lebih mendalam mengenai: pertama, bagaimana perspektif fikih dan hukum positif tentang nafkah anak pasca perceraian; kedua, mengetahui ijtihad hakim dalam putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU mengenai pertimbangan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian; ketiga, bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan agama tentang nafkah anak pasca perceraian.

Metode pendekatan yang dilakukan dalam studi ini ialah melalui pendekatan empirik. Pendekatan empirik merupakan istilah lain yang digunakan dalam hukum sosiologis yang berdasarkan pada penelitian lapangan. Metode penelitian hukum

empiric sosiologis memiliki asumsi dasar yaitu membangun antara hukum positif tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat.

Studi ini menyimpulkan bahwa fikih maupun hukum positif mewajibkan pemberian nafkah anak oleh orang tua khususnya ayah demi mendorong proses pengembangan anak, baik berupa pakaian, makanan maupun kebutuhan lainnya sampai anak dapat berdiri sendiri. Perihal majelis hakim saat memberikan landasan yuridis yang terdapat di dalam isi putusan, kurang memperhatikan pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberian nafkah anak yang dijadikan sebagai pertimbangan bahwa majelis hakim tidak hanya fokus kepada para pihak yang bercerai saja, akan tetapi akibat hukum pasca perceraian. Kemudian terkait pelaksanaan putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU bahwa pemberian nafkah anak telah terlaksana setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, walaupun tidak sesuai dengan isi putusan majelis hakim sehingga dari pelaksanaan putusan ini kurang adanya controlling bagi para pencari keadilan untuk mendapatkan haknya sesuai dengan isi putusan pengadilan.

Kata kunci : Perceraian, Nafkah Anak Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Daftar Pustaka : 1959 s/d 2015


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum wr. wb

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir zaman.

Alhamdulillah atas karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Nafkah Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU)”

sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah di Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perihal penyelesaian studi ini, banyak pelajaran serta manfaat yang didapatkan dan kesan yang bermakna. Oleh karena itu, atas tersusunnya skripsi ini saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik dalam membimbing, petunjuk, do‟a serta dukungan terutama kepada kedua orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayangnya yang terus-menerus tiada hentinya, semoga Allah Swt. selalu memberikan keberkahan serta pahala disisi Allah Swt. Amin.

Pada kesempatan ini patut mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum berserta segenap pimpinan, karyawan, dan staf yang telah berperan terhadap


(7)

vii

kemajuan kualitas spiritual dan intelektual Mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah sekaligus sebagai dosen Pembimbing, sekertaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Arip Purkon, M.A., serta dosen Penasehat Akademik Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., yang tiada henti memberikan dukungan, motivasi, serta bimbingan demi kelancaran penulisan skripsi ini.

3. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara Drs. H. Achmad Zainullah, SH.,M.H.,

dan para hakim khususnya Dra. Harmala Harahap, S.H.,M.H., Dra. Hj. Nurwathon, S.H.,M.H dan Dra. Hj. Rogayah selaku hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara kemudian Ahmad selaku Jurusita Pengganti serta staf-staf yang telah membantu untuk memperoleh data-data dalam penyelesaian studi ini. 4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya

dan terutama kepada H. Kamarusdiana, S.Ag.,M.H., Sri Hidayati, M.Ag., Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., Hotnidah Nasution, MA., Mara Sutan Rambe, S.HI, M.H., yang telah memberikan cakrawala dalam berpikir kepada saya semoga menjadi ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.

5. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanannya yang sangat membantu dalam penulisan skripsi ini.


(8)

viii

6. Untuk orang tua saya yang tercinta, ayahanda H. Imanudin Tiflen, S.H., M.H., serta ibunda tercinta Hj. Hadijah, paman saya bapak Albab Tiflen beserta keluarga kemudian kakanda Muhammad Arief Tiflen, S.Kom., serta adik-adik tersayang yang telah memberikan dukungan yang tak terhingga, nasehat, serta

do‟a kepada saya.

7. Seluruh sahabat-sahabat di pondok Pesantren Luhur Sabilussalam khususnya S-11, Mahasiswa Kahfi Motivator School terutama angkatan 15 C, Mahasiswa Double Degree Ilmu Hukum angkatan 2014, L-Drom Institut Latanza 2014; Tika Yulianti, Ila, Fikri I, Fikri II, Rahmat I, Rahmat II, Khairul Anwar, S.Pd., Baihaqi, Ibas, Ibad, Zaki, Yanto, Dadan. Sahabat-sahabat; Fitria Pelangi, Nurlela, Annis Fitriana, S.Pd., Zusna Munfaricha, Gita Ramadhani, Hendra Laksono serta khususnya teman-teman seperjuangan; Badru Tamam, Andi Asyraf Rahman, A. Robian, M. Syaikhoni, Daniel Alfaruqi, S.Sy., Syams Elias Bahri, S.Sy., Hendrawan, S.Sy., Triana Apriyanita, S.Sy., Safira Maharani, S.Sy., Lilis Sumiyati, S.Sy., Denis Silvia, S.Sy., Zahrotul Kamilah, S.Sy., Kamelia Sari, Nadia Nursyaida, Epi Yulianti, dan teman-teman lainnya di Jurusan Peradilan Agama- A dan B serta AKI Fakultas Syariah dan Hukum angkatan 2011 yang telah mewarnai hari-hari penulis dengan hal-hal positif serta memberikan kesan tersendiri selama mendalami ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

ix

Oleh karenanya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang telah berjasa dan memberikan kontribusinya. Penulis tidak bisa membalas kebaikan mereka kecuali do‟a semoga Allah Swt membalas amal perbuatan semuanya. Amin.

Jakarta, 1 Juli 2015


(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL . . . i

PERSETUJUAN PEMBIMBING . . . ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI . . . iii

LEMBAR PERNYATAAN . . . iv

ABSTRAK . . . v

KATA PENGANTAR . . . vi

DAFTAR ISI . . . x

BAB I PENDAHULUAN . . . 1

A. Latar Belakang Masalah . . . 1

B. Rumusan Masalah . . . 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . 6

D. Review Studi Terdahulu . . . 7

E. Metode Penelitian . . . 9

F. Sistematika Penulisan . . . 14

BAB II NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN . . . 15

A. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Fikih . . . 15

1. Akibat Hukum Pasca Perceraian . . . 15

2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua terhadap Nafkah Anak . . . 20

B. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Perundang-undangan . . . 24

1. Akibat Hukum Pasca Perceraian . . . 24

2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua terhadap Nafkah Anak . . . 32

C. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Praktek di Pengadilan Agama . . . 35


(11)

xi

BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG NAFKAH

ANAK PASCA PERCERAIAN . . . 41

A. Deskripsi Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara . . . 41

B. Analisis Putusan Nomor: 0386/Pdt.G/2014/PA.JU . . . 43

C. Metode Ijtihad Hakim . . . 50

BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA TENTANG NAFKAH ANAK . . . 58

A. Pelaksanaan Putusan Nafkah Anak Nomor 0386/Pdt.G/2014/ PA.JU . . . 58

B. Upaya Hukum Ibu dalam Mendapatkan Nafkah Anak . . . 63

BAB V PENUTUP . . . 68

A. Kesimpulan . . . 68

B. Saran . . . 69

DAFTAR PUSTAKA . . . 70


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Permohonan Proposal 2. Lembar Pengesahan Proposal

3. Surat Permohonan Pembimbing Skripsi 4. Surat Permohonan Data Wawancara

5. Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Utara 6. Lembar Hasil Wawancara

7. Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU 8. Lembar Permohonan Cerai Talak

9. Lembar Jawaban Permohonan Cerai 10.Grafis Perkara Tahun 2012-2014


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Peradilan Agama merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, bersama lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.1 Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.2 Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata bagi yang beragama Islam3 sesuai dengan kewenangan relatif dan absolutnya.4 Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia meliputi: perkara-perkara perdata perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah serta ekonomi syariah.5 Namun, kompetensi absolutnya secara umum didominasi oleh persoalan-persoalan hukum keluarga (family law)6, dan lebih spesifik lagi adalah perkara-perkara di bidang perkawinan, seperti kasus

1

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 136.

2

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 2.

3

Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada

Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 117.

4

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang sejenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatannya. Adapun kekuasaan absolut, yakni pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya. Lihat A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama

Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, h. 146.

5

Lihat UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan lihat UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49.

6

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 94.


(14)

perceraian. Bahkan perkara yang diterima pengadilan agama 80 persen adalah masalah perceraian.7

Berdasarkan data perceraian pada tahun 2012 terdapat 403.545 kasus menjadi 432.253 kasus perceraian pada 2013 dan terakhir meningkat menjadi 459.758 kasus perceraian pada tahun 2014 diseluruh Peradilan Agama yang berada di Indonesia.8 Pada tahun 2012 angka perceraian yang masuk ke Pangadilan Agama Jakarta Utara hanya sampai 1.631 perkara yang masuk. Adapun pada tahun berikutnya yaitu 2013 perkara yang masuk mengalami peningkatan mencapai 1.720 perkara yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Utara kemudian jumlah perkara pada tahun 2014 yang masuk sampai sekisar angka 2.073 perkara.9

Mencermati tingginya angka perceraian di atas, telah tergambar perbedaan disetiap tahunnya, maka hal yang patut untuk diperhatikan ialah masalah kesadaran masyarakat tentang perceraian mengalami peningkatan khususnya pada masyarakat Jakarta Utara sehingga peran hakim yang diperlukan. Apakah meningkatnya angka perceraian di atas disebabkan karena kegagalan hakim mediasi dalam mendamaikan suami dan istri yang ingin bercerai, atau kah para hakim yang terlalu mudah mengabulkan gugatan cerai tersebut sehingga aspek-aspek yang memungkinkan kedua belah pihak untuk dapat memperbaiki perkawinannya menjadi kurang diperhatikan.

7

Syalaby Ichsan, “354 pasutri bercerai”, artikel diakses pada 27 Januari 2015 dari http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/14/08/22/naoz8815-354-ribupasutri-bercerai.

8

Diakses pada 1 Maret 2015 dari www.Infoperkara.badilag.net

9

Diakses pada 1 Maret 2015 dari http://www.pa-jakartautara.go.id/yoo/index.php/info perkara/statistik-perkara-pengadilan/diterima-dan-diputus-pengadilan


(15)

3

Tidak dapat dipungkiri bahwa perceraian akan mendatangkan dampak negatif bagi perkembangan anak-anak mereka, bukan saja secara psikis tetapi juga terhadap kebutuhan material mereka meskipun dalam setiap putusan hakim telah memerlukan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab pihak suami pasca perceraian, namun akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak juga perlu diperhatikan sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 41 huruf a ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.10 Bagi anak yang belum mumayyiz pemeliharaan menjadi prioritas ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dibebankan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka telah bercerai sebagaimana Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 ayat (1); “suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya.”11

Kekuasaan bagi orang tua terhadap anak perlu ditetapkan agar mereka dapat menjalankan dan memenuhi kewajibannya terhadap anak-anak, yaitu kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Jadi, pemberian kekuasaan orang tua ini tidak diberikan untuk kepentingan orang tua semata,

10

Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 371.

11Abdul Manan, “Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktek Hukum Acara

di Pengadilan Agama”. Jurnal Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam. No. 49 Thn XI 2000 Juli-Agustus, h. 70.


(16)

melainkan untuk kepentingan anak.12 Terlebih lagi mengenai hak hadhanah, menunjukkan bahwa anak yang sekaligus kewajiban untuk memelihara serta mendidik anak-anak pada hakikatnya mengantarkan mereka pada masa depan yang cemerlang.13 Oleh karenanya, keberanjakan (point of departure) hukum keluarga Islam dari fikih konvensional kepada peraturan perundang-undangan pun memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan hukum Islam, terutama dalam kasus perceraian.14 Akan tetapi adanya kelalaian untuk memberikan nafkah sehingga pihak yang wajib dinafkahi menjadi terlantar, merupakan permasalahan yang sering terjadi dikalangan masyarakat Islam. Kenyataan seperti itu sering terjadi terutama dalam masyarakat yang kurang pengetahuannya tentang bagaimana cara memperoleh suatu hak.15

Berbagai persoalan yang terjadi di atas, kasus yang sangat menarik untuk dilihat adalah apa yang terjadi dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Utara mengenai nafkah anak yang terdapat dalam putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU. Landasan hukum majelis dalam memberikan pembebanan nafkah anak kepada seorang suami tidak sesuai dengan metode ijtihad yang dilakukan. Hakim sebagaimana hukum acara Peradilan Agama memiliki sifat pasif, dalam perkara ini tidak memuat dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan pembebanan nafkah anak

12

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Kompilasi Bidang

Hukum Kekeluargaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia RI, 2007), h. 31.

13

Mushlihatul Umami, Ilmu Hukum (Yogyakarta: Genta, 2007), h. 64.

14

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 230.

15

Satria Effendi M. Zein Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer: Analisis


(17)

5

sebagai ijtihad yang dilakukannya. Padahal majelis sebelum membebankan nafkah anak kepada suami sebesar Rp. 1.500.000,- perbulan, majelis hakim telah menolak jumlah nafkah anak yang diminta oleh istri sebesar Rp. 2.140.000,- perbulan.

Oleh karenanya penulis merasa pentingnya studi ini diteliti, untuk menganalisa dasar-dasar hukum yang digunakan hakim dalam memberikan pembebanan nafkah anak pasca perceraian, pelaksanaan putusan nafkah anak serta upaya istri dalam mendapatkan hak nafkah anak pasca perceraian demi terciptanya keadilan, kepastian hukum dan manfaat bagi istri khususnya bagi anak. Hal ini terangkai dalam judul yang penulis angkat yaitu Nafkah Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU).

B. Perumusan Masalah

Fokus utama untuk mempermudah penelitian ini, terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu:

1. Bagaimana perspektif fikih dan hukum positif tentang kewajiban nafkah anak pasca perceraian?

2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU mengenai pembebanan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian?

3. Bagaimanakah pelaksanaan putusan pengadilan agama tentang nafkah anak pasca perceraian?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui pandangan fikih dan hukum positif tentang kewajiban nafkah anak pasca perceraian.

b. Mengetahui pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara dalam membebankan nafkah anak kepada orang tua (ayah) pasca perceraian.

c. Mengetahui pelaksanaan putusan pengadilan agama tentang nafkah anak pasca perceraian.

2. Manfaat Penelitian

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

a. Dapat memberikan wawasan mengenai kewajiban hukum pihak suami dan istri pasca perceraian dalam memberikan hak nafkah kepada anak. b. Dapat menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana pelaksanaan

nafkah anak itu dilakukan.

c. Diharapkan sebagai perbaikan dalam sistem pelaksanaan putusan bagi Peradilan Agama.

d. Diharapkan memupuknya khazanah keilmuan bidang hukum keluarga secara teoritis maupun praktis.


(19)

7

D. Review Studi Terdahulu

Studi ini bukan merupakan kajian yang baru di hukum keluarga di Indonesia, telah banyak peneliti-peneliti yang membahas ini sebelumnya dan mengangkat sebagai fokus kajian, diantaranya:

Mohamad Khotib, menjelaskan mengenai pelaksanaan eksekusi riil di pengadilan agama yang sering menghadapi kendala dan hambatan baik teknis maupun non-teknis karena dalam ketentuan Hukum Acara Perdata (HIR, RBg, dan RV) tidak menjelaskan secara mendetail sehingga dalam pelaksanaan putusan pengadilan perlu dibuatkannya peraturan atau ketentuan hak untuk menjual harta milik pihak yang dibebankan untuk menyerahkan kepada salah satu pihak baik penggugat atau tergugat.16 Perbedaan studi ini, fokus kepada pelaksanaan putusan nafkah anak di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terlaksana karena i’tikad baik suami walaupun tidak sesuai dengan jumlah isi putusan sehingga dibutuhkan

controlling atas jumlah nafkah anak. Kemudian analisis dasar-dasar hukum yang dilakukan hakim sehingga terdapat kelalaian dalam pemberian pasal yang berkaitan dengan pembebanan nafkah anak

Aziz Angga Riana, menjelaskan mengenai masalah hadhanah dan mengkritisi pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam mengenai kewajiban pembiayaan pemeliharaan anak pasca perceraian, kemudian menjelaskan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) seyogyanya memberikan pengecualian terhadap ayah

16Mohamad Khotib, “Eksekusi Putusan di Pengadilan Ag

ama Jakarta Selatan dalam Teori

dan Praktek.” (Tesis S2 Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi‟iyah Jakarta, 2008).


(20)

mengenai kewajiban hadhanah anak, agar tidak menghadapi kasus yang bersifat kasuistik seperti penyelesaian kewajiban hadhanah akibat perceraian karena ayah tidak memiliki kemampuan dan tidak mau bertanggung jawab mengenai masalah tersebut sehingga hakim saat berpedoman kepada KHI tidak melewatkan pasal itu serta agar hakim dapat mengambil pertimbangan hukum dengan mempertimbangkan anak.17 Perbedaan dalam studi ini yaitu hakim dalam ijtihadnya menggunakan metode pendekatan interpretasi teologis atau sosiologis dalam memberikan pembebanan jumlah nafkah anak kepada pemohon (suami). Akan tetapi landasan hukum majelis dalam memberikan pembebanan nafkah anak kepada seorang suami tidak lah sesuai dengan metode ijtihad yang dilakukan.

Nova Andriani, menjelaskan apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga hendaknya diselesaikan dengan jalan damai dan musyawarah terlebih dahulu. Cara terbaik dalam menyelesaikan sebuah permasalahan adalah dengan kepala dingin dan tidak bersikap emosional sehingga perselisihan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga tidak langsung diselesaikan dengan jalan pengadilan. Kemudian perlu diperhatikan anak sebagai dampak yang akan ditimbulkan dari perceraian tersebut.18 Perbedaan dalam studi ini ialah saat memberikan landasan hukum dalam

17Aziz Angga Riana, “Kewajiban Pembiayaan

Hadhanah Anak yang Masih di Bawah Umur

Akibat Perceraian (studi kritis terhadap pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum

Islam),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2010).

18 Nova Andriani, “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum

Mumayyiz

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).


(21)

9

pertimbangan majelis hakim sebaiknya juga memperhatikan akibat hukum pasca perceraian, khususnya pada anak baik dalam bentuk materil maupun non materil.

Ra Didin Dliyauddin, menjelaskan bagaimana pelaksanaan putusan mengenai

hadhanah di wilayah Pengadilan Agama Cikarang dan menjelaskan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah

serta memberikan langkah dalam mencegah kemungkinan-kemungkinan hampanya putusan hadhanah salah satu langkahnya yaitu dengan melakukan mediasi sebagai penyelesaian alternatif dan lain sebagainya.19 Perbedaan dengan penulis yaitu, analisis putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU tentang dasar-dasar hukum yang dilakukan hakim sehingga terdapat kelalaian dalam pemberian pasal yang berkaitan dengan pembebanan nafkah anak dan pelaksanaan putusan nafkah yang dilakukan karena i’tikad baik suami, namun kurang adanya controlling atas jumlah nafkah anak yang tidak sesuai dengan isi putusan pengadilan. Kemudian upaya hukum dalam menafsirkan ketentuan/aturan mengenai nafkah anak pasca perceraian bagi Non-PNS, ditinjau berdasarkan PP Nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

E. Metode Penelitian

Penelitian sebagai metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisa dan mengadakan pemeriksaan yang

19

Ra Didin Dliyauddin, “Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengedilan Agama Cikarang.” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).


(22)

mendalam terhadap fakta-fakta untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan berdasarkan fakta-fakta.20 Oleh karena itu, diperlukan beberapa metode, diantaranya:

1. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang dilakukan dalam studi ini ialah melalui pendekatan empirik. Pendekatan empirik merupakan istilah lain yang digunakan dalam hukum sosiologis yang berdasarkan pada penelitian lapangan.21 Metode penelitian hukum

empiric sosiologis ini, asumsi dasarnya yaitu yang membangun antara hukum positif tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat.22

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk kedalam penelitian secara kualitatif yang menitikberatkan kepada kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif.23 Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, karena data yang dianalisis tidak untuk menerima atau untuk menolak hipotesis (jika ada), melainkan hasil analisis itu berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu berbentuk angka-angka atau bilangan.24 Adapun selain dari pendekatan melalui kualitatif, penelitian ini tidak pula terlepas

20

Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010), h. 54. Lihat Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: PT: Gramedia, 1985), h. 12.

21

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 15-16.

22

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Lembaga penelitian, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 48.

23

Penelitian deskripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan aktual terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. Lihat Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 36.

24

M.Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: Pustaka Setia, 2005), cet.II, h. 17.


(23)

11

juga dari pendekatan secara kuantitatif. Adanya data kuantitatif dalam penulisan ini adalah sebagai pelengkap.25

3. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan terdiri dari sumber primer dan sekunder.26 Diantara data tersebut yaitu:

a. Data Primer

 Putusan Peradilan Agama tentang kewajiban nafkah terhadap anak pasca perceraian dalam Perkara Nomor: 0386/Pdt.G/2014/PA.JU.

 Wawancara mendalam (Indept Interview) kepada; Majelis Hakim, yaitu Dra. Harmala Harahap, S.H., M.H, Dra. Hj. Nurwathon, S.H., M.H dan Dra. Hj. Rogayah. Kemudian wawancara langsung yang dilakukan dengan responden berinisial MNCH sebagai istri berkaitan dengan putusan perceraian yang di dalamnya terkandung nafkah anak untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara serta upaya hukumnya.

b. Data Sekunder:

Sumber data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.27 Adapun dokumen dalam studi ini terdiri dari:

25

Abdullah Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum (Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM), 2012), h. 26. Lihat I. A. Suparman Statistik Sosial (Jakarta: Rajawali 1988), h. 1.

26

Soerjono Soekanto dan Srimudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 14-15.


(24)

1) Kitab-kitab fikih seperti Al-Fiqhu ‘Ala al-madzaahibi al-Arba’ah, Rawa’i al-Bayan dan Fiqih Islam Wa Adillatuhu.

2) Jurnal-jurnal yang berkenaan dengan nafkah anak.

3) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Impres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan studi ini.

4) Internet sebagai data tambahan. 4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumen (library research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Adapun dokumen yang akan diteliti dalam studi ini, yaitu putusan dan berita acara dalam perkara Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU serta grafik perkara SIADPA tahun 2012-2014.

b. Studi lapangan (field research) yang dilakukan untuk mendukung studi dokumen dalam memperoleh data primer.28 Penelitian lapangan baik kepada hakim, maupun kepada pihak yang berperkara.

27

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 30

28


(25)

13

5. Analisis Data

a. Induktif, analisis data yang berawal pada data yang bersifat khusus ke umum berdasarkan hubungan dan permasalahan. Kemudian deduktif yaitu berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum kemudian diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.29

b. Deskriptif, digunakan untuk menjelaskan bunyi suatu perundang-undangan, pengutipan data dan menganalisis data agar tidak keluar dari

sample.

c. Komparatif, menguraikan beberapa pendapat kemudian membandingkannya untuk mencapai keabsahan dari sebuah data.

6. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam studi ini, merujuk pada pedoman penulisan skripsi, tesis, disertasi, disertai dengan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakutas Syariah dan Hukum Jakarta 2012 dengan sedikit pengecualian dalam penulisan yaitu:

a. Terjemahan Alquran dan hadis diketik satu spasi sekalipun kurang dari enam baris, dengan diberi tanda petik di awal dan di akhir kalimat.

29

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 38.


(26)

b. Kutipan yang berasal dari bahasa asing (kecuali Alquran dan hadis) diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

c. Istilah-istilah asing dan catatan-catatan yang terdapat di dalam penulisan, ditulis dengan cetakan miring.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, penulis membagi sistematika penulisan skripsi kedalam lima bab, diantaranya sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab kedua, menjelaskan tentang nafkah anak pasca perceraian yang terdiri dari: perceraian dan nafkah anak dalam fikih, perceraian dan nafkah anak dalam perundang-undangan, perceraian dan nafkah anak dalam praktek di pengadilan agama, dan sanksi pidana dalam hukum keluarga. Bab ketiga, menguraikan dan menggambarkan tentang putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara tentang nafkah anak pasca perceraian: deskripssi perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara, analisis putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU, dan metode ijtihad hakim. Bab keempat, berisikan hasil penelitian mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara tentang nafkah anak dan upaya hukum ibu dalam mendapatkan nafkah anak. Bab

kelima yaitu penutup yang berisikan: kesimpulan dan saran-saran yang konstruktif dalam penulisan skripsi ini.


(27)

15

BAB II

HUKUM PERCERAIAN DAN NAFKAH ANAK

A.

Perceraian dan Nafkah Anak dalam Fikih

1.

Akibat Hukum Pasca Perceraian a. Pengertian Perceraian

Perceraian atau talak berasal dari bahasa arab yaitu kata ُ ُل ْطَي ـ َ َل َط ( thalaqa-yathluqu) yang artinya lepas dari ikatannya, berpisah, bercerai.1 Sedangkan menurut istilah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.2 Al-Jaziri menafsirkan mengenai thalak yaitu kata thalaq secara bahasa:

دي و ، ر ا دي ك ، ًاي سح نا ءاوس ، دي ا ح ةغلا ِِ ُهاَنْعَم

انا دي ك ، ًاونعم وأأ . رسألا

.

3

Artinya: “Makna thalak secara bahasa ialah melepaskan ikatan baik secara hissi (eksplisit) seperti melepaskan ikatan kuda, dan ikatan tawanan; atau secara ma’nawi (implisit) seperti melepaskan ikatan pernikahan”.

Wahbah Az-Zuhaili mengatakan talak menurut istilah adalah terlepasnya ikatan perkawinan, dan terputusnya hubungan di antara suami-istri akibat salah satu dari beberapa sebab4 yang mengakibatkan timbulnya perceraian. Keutuhan dan kelanggengan kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang digariskan Islam. Akad nikah merupakan suatu perjanjian untuk selamanya agar suami istri bisa hidup bersama dalam mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, memberikan

1

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet.XV, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 861.

2

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Bandung: PT Al-Ma‟rif, 1980) h. 7.

3Abdurrahman bin Muhammad „awad al

-Jaziry, Al-Fiqhu ‘ala al-Madzaahibi al-Arba’ah, juz 1-5 (Kairo: Dar Ibn al-Haitsami, t.t), h. 964.

4

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 311.


(28)

kasih sayang, dan untuk memelihara serta mendidik anak hingga menjadi anak yang saleh/salehah. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara suami istri dengan ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Istilah ikatan suci dan kokohantara suami istri oleh Alquran disebut dengan mitsaqan galidzan.5

Al-Jaziry mendefinisikan:

كِنلا ةلازا ََطلا

ا

صْوصْخم ظْ لب هِلح ناصْقن ْوا ح

.

6

Artinya; “Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.

Perceraian dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah Swt. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut.

ََِإ ِل َََْْا ُضَغْ بَا

هّللا

َلَج َو َزَع

ُق َََطلا

وادوبا هاور(

2178

:

)

. 7

Artinya: “Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian. (Riwayat Abu Dawud: 2178)”.

Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) bagi suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan lagi.8 Beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian sebagaimana digambarkan di dalam Alquran. Keretakan dan kemelut rumah tangga bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami dan istri dalam bentuk hak dan

5

Abdul Qadir Djaelani, KeluargaSakinah (PT. Bina Ilmu, 1995), h. 316.

6Abdurrahman bin Muhammad „Awad al

-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzaahibi al-Arba’ah, h. 964.

7

Abi Thoyyib Muhammad Syamsi, ‘Aunul Ma’bud: Syarah Sunan Abi Daud (Libanon: Dar al-Fikr, 2003), h. 180.

8

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 73.


(29)

17

kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak.9 Oleh karena itu, Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian agar dapat ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak.10

b. Akibat Hukum pasca Perceraian

Putusnya perkawinan menimbulkan dampak hukum bagi kehidupan keluarga11 dari adanya perceraian adalah masalah pemeliharaan anak. Pemeliharaan anak menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh orang tua yang telah terpisah, agar nantinya masa depan anak dapat terjamin dengan baik, terutama yang menyangkut pendidikan akhlaknya dan bukan sekedar kebutuhan lahiriahnya.12 Akibat hukum setelah perceraian diantaranya yaitu:13

a. Memberi Mut’ah

Mut’ah ialah sesuatu (uang, barang, dsb) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) kepada bekas istrinya.14 Nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat dalam kitab tafsir ash-Sabuni, bahwa nafkah diartikan pemberian seorang suami kepada istrinya yang diceraikan, baik berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan

9

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 190.

10

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.IV, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), h. 269.

11

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 282.

12

Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia (Bandung: Bani Quraisy, 2004), h. 193.

13

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 th. 1974 dari Segi

Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Ind-Hillco, 1990), h. 84-85.

14

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ed, ke-4 (PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 945.


(30)

kepada istrinya serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkannya.15 Pemberian nafkah mut’ah ini sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah Swt. QS. Al-Baqarah [2]: 241.

         

ر با(

/

241: 2

)

Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.

Ayat-ayat ini memerintahkan untuk perempuan-perempuan yang ditalak harus berikanlah mut’ah itu maka boleh meminta kepada hakim untuk menetapkan kadarnya mengingat keadaan dan kedudukan suami. Sayyid Sabiq mengatakan apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan badan dan dia belum menentukan mahar baginya, maka dia harus memberikan mut’ah sebagai imbalan baginya.16 Pemberian mut’ah ini dengan tujuan untuk menyenangan hati istri karena telah diceraikan.17 Oleh karena itu pemberian mut’ah oleh suami menjadi hal yang diwajibkan sebagai pemberian kenang-kenangan untuk seorang istri.

b. Memberi Nafkah

Memberi nafkah, pakaian dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak selama ia masih dalam keadaan iddah. Apabila habis pula masa iddahnya maka habislah memberi kewajiban memberi nafkahnya, pakaian dan tempat kediaman. Sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS. Ath-Thalaq [65] : 6 yang menyatakan:

15

M. Ali ash-Sabuni, Rawa’i al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam (Makkah: Tnp,t.t.,) h. 610.

16

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, cet.II, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 423.

17

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1974), h. 147.


(31)

19                                                         

قاطا(

/

6 : 65

)

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal

menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.

Ayat di atas menerangkan bahwa berikanlah mereka itu (perempuan yang ditalak) tempat kediaman seperti tempat kediaman kamu dari kekayaanmu. Suami wajib memberi tempat kediaman untuk istri yang telah di talak, sedangkan memberi makanan dan pakaian sebagaimana dikiaskan kepadanya.

c. Membayar atau Melunaskan Mas Kawin

Membayar atau melunaskan mas kawin, apabila suami menjatuhkan talaq kepada istrinya, maka wajiblah membayarkan atau melunaskan mas kawin itu sekali.18

d. Membayar Nafkah untuk Anak-Anaknya

Membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sekedar yang patut menurut kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus dilakukan secara terus-menerus

18

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), h. 147.


(32)

sampai anak baliq lagi berakal serta mempunyai penghasilan sebagaimana yang terdapat di dalam QS. Ath-Thalaq [65] : 6 yang menjelaskan bahwa suami wajib membayar upah kepada mantan istrinya untuk menjaga anak-anaknya baik berupa memberikan belanja untuk keperluan anak-anaknya dan keperluan lainnya. Dengan demikian jelaslah bahwa pemberian nafkah untuk istri dan anak menjadi kewajiban suami yang tetap berlaku meskipun istri telah diceraikan oleh suaminya. Bahkan bekas istri berhak meminta upah kepada bekas suaminya untuk menyusukan anaknya.19 Karena pada dasarnya pemberian nafkah anak menjadi kewajiban khusus bagi seorang suami kepada anaknya demi terciptanya kesejahteraan anak.

2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak a. Pengertian Nafkah Anak

Nafkah berasal dari bahasa arab ( ةق ن ـ ْني ـ ن) nafaqa-yanfuqu-nafaqatan

yang artinya biaya, belanja, pengeluaran uang.20 Sedangkan menurut istilah lain nafkah diartikan sebagai belanja untuk hidup berupa; uang pendapatan.21

Wahbah Az-Zuhaili menafsirkan bahwa nafkah ( ن ) nafaqa berasal dari kata ( ا ا ْن ) infaq yang artinya mengeluarkan dan kata ini tidak digunakan selain untuk hal-hal kebaikan. Bentuk jamak dari kata nafkah adalah nafaqaat yang secara bahasa

19

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), h. 147.

20

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 1449.

21


(33)

21

artinya sesuatu yang diinfakkan atau dikeluarkan oleh seseorang untuk keperluan keluarganya.22

Dalam terminologi fikih, fuqaha memberikan definisi nafkah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan seseorang, terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabotan rumah tangga.23 Adapun pengertian lain dari nafkah ialah yang dikeluarkan kepada wanita, seperti makanan, pakaian, harta dan lain sebagainya.24 Dengan demikian, pemberian nafkah oleh seorang suami merupakan tanggung jawab yang terus melekat walaupun telah bercerai, dan diberikan untuk pertumbuhan anak sampai ia dewasa atau sudah bisa hidup mandiri.

Nafkah ialah harta yang diwajibkan Allah bagi para suami agar diberikan kepada para istri mereka yang ditalak sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 241.

Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.

Meskipun telah putusnya hubungan suami dan istri maka tetaplah memiliki kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada para istri-istrinya sebagai kewajiban serta memiliki hikmah dibalik semua kejadian. Karena itu, Allah ta‟ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 242:

22

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011),h. 94.

23Abdurrahman bin Muhammad „

Awad al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala al-madzaahibi al-Arba’ah, h. 1113.

24

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah (Jakarta, PT Multi Kreasi Singgasana, 1991), h. 115.


(34)















(

ر با

/

2 : 242

)

Artinya: “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya”.

b. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak

Anak bagi orang tua (ibu dan ayah) merupakan amanat Allah dan menjadi tanggung jawab untuk mendidiknya, menguatkan iman, akhlak mulia dan amal saleh kepada seorang anak karena pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan adalah memiliki fitrah (suci), maka ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikan anaknya.25 Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu, walaupun secara teori, yang paling dekat kepada anak adalah ibunya. Kewajiban mendidik anak adalah sebagai tanggung jawab ayah dan ibu. Oleh karena itu, seorang anak berkewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya dan senantiasa mendoakan ibu-ayahnya sebagai manifestasi dari kewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Israa‟ [17] : 24.



























ءارا(

24:17 /

)

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Sebagaimana firman Allah Swt di atas, ayah berkewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya.26 Anak ditinjau di dalam konsep Islam merupakan amanat dari

25

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Ghalia Indonesia, 2010), h. 79.

26


(35)

23

Allah Swt. ia harus dipelihara, diberi bekal hidup dan dididik agar kelak menjadi manusia yang dewasa secara fisik dan mental.27 Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw:

ِّيَط اَِا ُهَ ُ ْرَي ََ ْنَا َو َةَياَمِّراَو َةَح اَب ِّ سا َو َةَباَتِ ْا ُهَمِّلَعُي ْنَا ِ َِاَو َََع ِ َََوْا ُ َح

)ي ـهبا هاو ( اًب

Artinya: “Hak seorang anak kepada orang tuanya adalah mendapatkan pendidikan

menulis, renang, memanah, dan mendapatkan rezeki yang halal. (Riwayat Baihaqi)”.

Kemudian mengenai hukum pemberian nafkah anak ulama fuqaha mengatakan bahwa:

هب فصوت يا اهمح اما

دي سا وأأ , ألا وأأ , وزا َع ةبجاو ة ن : لو تف , بجاو ا وهف ,

.

28

Artinya: “Adapun hukumnya berkaitan dengan hal itu (nafkah) adalah wajib, maka dapat dikatakan nafkah itu wajib bagi suami, atau bapak, atau majikan”.

Beberapa hal yang menjadi ketentuan di atas maka kewajiban ayah dalam memberikan nafkah anak memiliki ketentuan yang harus diperhatikan sebagai syarat dalam pemenuhan kewajiban ayah. Diantara syarat-syarat tersebut yaitu: pertama,

anak yang membutuhkan nafkah dan tidak mampu bekerja; baik anak yang belum dewasa atau pun telah dewasa akan tetapi tidak mendapatkan pekerjaan; kedua, anak yang menjadi tulang punggung kehidupannya.29 Dengan demikian, pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab yang sama bagi kedua orang tua, akan tetapi khususnya pemberian nafkah anak menjadi kewajiban suami demi masa depan anak serta terpenuhinya hak-hak anak.

27Zuffan Sabrie, “Khazanah: Anak”,

Jurnal Mimbar Hukum; Aktualisasi Hukum Islam IX, no.

38 (Juli-Agustus 1998): h. 79.

28

Abdurrahman bin Muhammad „Awad al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala al-madzaahibi al-Arba’ah, h. 1113.

29


(36)

B. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Perundang-Undangan 1. Akibat Hukum Perceraian

a. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah istilah yang digunakan untuk menegaskan terjadinya peristiwa hukum berupa putusnya perkawinan antara suami dan istri dengan alasan-alasan hukum, proses hukum dan akibat-akibat hukum tertentu yang harus dinyatakan secara tegas di depan sidang pengadilan.30 Perceraian merupakan bagian dari hukum perkawinan, tidak ada perkawinan tentu tidak ada perceraian. Oleh karena itu, perkawinan ialah awal hidup bersama sebagai suami istri dan perceraian akhir hidup bersama suami istri, atau dengan kata lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way out pintu darurat bagi suami dan istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian.31

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain.32 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak yang diucapkan suami di depan pengadilan setelah pengadilan mengizinkan suami mengikrarkannya melalui penetapan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap

30

Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 18.

31

Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 27.

32


(37)

25

(in cracht). Perceraian dapat pula terjadi karena putusan pengadilan yang sudah in cracht terhadap gugatan perceraian dari pihak istri.

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hukum atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.33 Di sisi lain, ahli hukum Sarwono di dalam bukunya Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik menerangkan bahwa perceraian ialah apabila suatu perkawinan antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian kepersidangan pengadilan sebagaimana terdapat dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.34

Adapun pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum, yaitu perceraian dalam hukum positif sebagaimana tercangkup sebagai berikut: pertama perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada pengadilan agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan pengadilan agama. Kedua perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatannya oleh dan atas inisiatif istri kepada pengadilan agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah

33

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003), h. 42.

34


(38)

mempunyai kekuatan hukum tetap.35 Ketentuan di atas, menjadi unsur pengajuan gugatan yang dapat dilakukan dengan mengajukan ke depan pengadilan agama sebagai dasar tidak dapat lagi hidup bersama dalam satu keluarga.

b. Akibat Hukum Perceraian dalam Perundang-undangan

Akibat dari perceraian ini terbagi atas dua macam: pertama ialah akibat bagi istri dan harta kekayaan dan; kedua ialah akibat bagi anak-anak yang belum dewasa.36

1. Akibat hukum Perceraian bagi Istri dan Harta Bersama

Akibat hukum perceraian terhadap bekas suami/istri menurut pasal 41 huruf c Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Ketentuan dalam pasal 41 huruf c UU No. 1 tahun 1974 ini mempunyai kaitan dengan pasal 11 UU No. 1 tahun 1974 yang memuat ketentuan normatif bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, yang kemudian dijelaskan berdasarkan ketentuan imperatif bahwa bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi janda yang masih datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 bulan

35

Lihat Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38 dan pasal 39 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

36

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian (PT Bina Aksara, 1984), h. 132.


(39)

27

(sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus, janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.37

Adanya iddah bagi suami yang mentalak istrinya memiliki ketentuan sebagaimana yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 151 yang menyatakan bahwa bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya dengan tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Adanya iddah antara lain dimaksud untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk rukun kembali.38

UU No. 1 tahun 1974 pasal 37 dan penjelasan pasalnya dikatakan mengenai akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yang mencangkup hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain. Harta bersama dalam perkawinan adalah harta suami istri yang diperoleh selama dalam ikatan perkawianan, baik dengan cara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta itu terdaftar.39

Harta bersama baru dapat dibagi bila putusnya hubungan perkawinan karena kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi. Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka harta bersama antara suami belum dapat dibagi. Akan tetapi

37

Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 400. Lihat UU No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39.

38

Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 32.

39

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu) (Jakarta: Grahacipta, 2005), h. 66.


(40)

dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 ditentukan bahwa akibat hukumnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 97 yang memuat ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.40 Dengan demikian maka, akibat hukum pasca perceraian memiliki ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Istri memiliki masa iddah untuk diberikan nafkah sebagai tanggung jawab seorang suami yang telah bercerai. Kemudian harta yang dimiliki oleh suami selagi tidak memiliki perjanjian perkawinan maka harta yang dimilikinya dapat dibagi rata kepada istri.

2. Akibat Hukum terhadap Anak

Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-Undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI.41 Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak menurut pasal 41 huruf a UU No. 1 tahun 1974 ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, maka pengadilan yang memberikan keputusannya.

Akibat hukum perceraian terhadap anak ini tentu saja hanya berlaku terhadap suami dan istri yang mempunyai anak dalam perkawinan, tetapi tidak berlaku

40

Muhammad Syaifuddin, dkk, HukumPerceraian, h. 428-429.

41


(41)

29

terhadap suami dan istri yang tidak mempunyai anak dalam perkawinan mereka.42 Anak merupakan titipan yang diberikan oleh Allah Swt kepada setiap pasangan suami istri yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu seharusnya orang tua yang diberikan anak haruslah memberikan kesejahteraan bagi anak serta sebagai orang tua melaksanakan kewajibannya.

Kewajiban dan tanggung jawab orang tua, sesuai ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 26, adalah untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindunginya. Pemeliharaan anak memiliki tujuan untuk menumbuh kembangkan sesuai kemampuan, bakat, dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan usia dini. Apabila orang tua tidak ada atau karena sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dapat dialihkan kepada keluarga.43

Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pasal 105 yang menyebutkan bahwa dalam hal terjadinya perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu. Adapun pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.44 Kemudian mengenai pembiayaan pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam pasal 149 KHI Jo. pasal 156, menyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena

42

Muhammad Syaifuddin, dkk, HukumPerceraian, h. 371.

43

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 209.

44


(42)

perceraian maka biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi kewajiban ayah sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri (umur 21 tahun). Hadhanah

yang dimaksud sebagaimana dalam pasal 1 huruf g Kompilasi Hukum Islam adalah pemeliharaan anak, yaitu kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.45

Akan tetapi, apabila terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, maka pengadilan agama memberikan keputusan berdasarkan aturan-aturan di atas, bahkan pengadilan dapat pula menetapkan nominal biaya pemeliharaan dan pendidikan anak dengan mengingat kemampuan ayah meskipun anak-anak itu tidak turut tinggal bersamanya.46

Adapun akibat lain yang akan timbul bagi seorang anak dari perceraian kedua orang tuanya yaitu kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) karena hal ini akan

45

Muhammad Syaifuddin, dkk, HukumPerceraian, h. 381.

46

Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf a, b, c, d, e, f.

a.Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh;

1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah;

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b.Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

c.Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d.Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

e.Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.


(43)

31

berakhir dan berubah menjadi perwalian (voogdij). Karena itu, perwalian yang dilakukan terhadap anak-anak yang masih di bawah umur maka dilakukan dengan wali hakim. Penetapan wali oleh hakim dapat dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim bebas menetapkan ayah atau ibu menjadi wali dari anak-anaknya dan penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah dan ibu berdasarkan keadaan.47

Namun bila orang tua justru melalaikan kewajibannya, dapat dilakukan tindakan pengawasan bahkan kuasa orang tua dapat dicabut melalui penetapan pengadilan.48 Permohonan penetapan pengadilan ini dapat dimintakan oleh salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga. Pencabutan kuasa orang tua dapat juga diajukan oleh pejabat atau lembaga yang berwewenang, selanjutnya pengadilan dapat menunjuk orang, yang harus seagama, atau lembaga pemerintah/masyarakat sebagai walinya. Penetapan itu juga harus memuat pernyataan bahwa perwalian tidak memutus hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya atau menghilangkan kewajiban orang tua untuk membiayai anaknya dan adanya penyebutan batas waktu pencabutan.49 Dengan demikian, kewajiban orang tua kepada anak merupakan tanggung jawab yang terus melekat walaupun pasangan

47

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 44.

48

UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 30 yang telah di amandemen menjadi UU No. 35 tahun 2014.

49


(44)

suami istri telah bercerai. Hal ini menjadi akibat hukum demi terwujudnya kesejehteraan anak.

2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua Kepada Anak Pasca Perceraian

a. Pengertian Nafkah Anak

Nafkah ialah yang dikeluarkan kepada wanita, seperti makanan, pakaian, harta dan lain sebagainya.50 Sedangkan menurut istilah, nafkah berarti: sesuatu kewajiban sang suami memberikan suatu penghasilan pekerjaan (nafkah) kepada dirinya, istrinya, dan anak-anaknya.51 Anak diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.52

Pada pasal 1 ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang dikatakan sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.53 Dilihat dari pengertian anak menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dapat dilihat bahwa seorang anak memerlukan perlindungan dan pengawasan, agar dapat tumbuh dan berkembang

50

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhu Al-Mar’ah al-Muslimah, h. 115.

51

Ash-Shabuni, (Hadiyatul Afraa Lil’aruusain) Hadiah untuk Pengantin (Jakarta: Mustaqim), h. 229.

52

Anto M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 30.

53

Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


(45)

33

secara optimal untuk masa yang akan datang. Anak dalam UU No. 3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:54 “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18

tahun dan belum pernah menikah”.

Hal ini terdapat persyaratan yang dikatakan sebagai anak yaitu: pertama anak dibatasi dengan usia 8 tahun sampai 18 tahun. Kedua anak tersebut belum pernah melangsungkan pernikahan artinya dalam hal ini anak tersebut belum pernah terikat dalam suatu perkawinan dan bercerai. Apabila anak tersebut sedang dalam ikatan perkawinan atau perkawinan tersebut putus karena perceraian, maka anak tersebut dikatakan sudah dewasa walaupun anak tersebut belum berusia 18 tahun. Adapun pengertian anak menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 tidak mengatur secara langsung pengertian tentang kapan seseorang dikatakan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat tentang syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya. Hal ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini memuat batas minumim usia untuk dapat menikah, bagi pria berumur 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita berumur 16 (enam belas) tahun.

Sejalan dengan hal di atas maka yang dimaksud nafkah anak ialah pemberian dari seorang suami sebagai bentuk kewajiban kepada seorang anak, berupa materi maupun non materi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 149 Jo. pasal 156 KHI, menyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka

54


(46)

biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi kewajiban ayah sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri (umur 21 tahun).

b. Kewajiban Orang Tua kepada Anak Pasca Perceraian

Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafaqah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak termasuk dalam artian

nafaqah, meskipun dilakukan suami terhadap istri.55

Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Bab VI pasal 30 sampai dengan pasal 34, sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan pasal 84. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 30 menyatakan suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Selanjutnya hak dan kedudukan pasangan suami dan istri adalah seimbang, suami berperan sebagai kepala keluarga sedangkan istri berperan sebagai ibu rumah tangga dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, hal ini berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 31 sebagai berikut: pertama, Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

55

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan


(47)

35

dalam masyarakat; kedua, Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum; ketiga, Suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.

Disamping yang telah disebutkan di atas suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, suami yang berkewajiban memberikan nafkah itu adakalanya dia seorang yang tidak mampu.56 Oleh karena itu, dalam hal ini pertimbangan-pertimbangan batas kemampuan seseorang sangat penting sebagai barometer dalam memberikan nafkah kepada anaknya.

C. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Praktek di Pengadilan Agama Putusnya perceraian di pengadilan agama terdapat tiga hal sebagaimana Undang-Undang Perkawinan pasal 38 yaitu; kematian, perceraian dan berdasarkan putusan pengadilan. Adapun mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan karena kematian ialah apabila salah satu orang tua meninggal dunia karena suatu kejadian yang tidak satu pun manusia mengetahuinya.

Putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi baik fisik, yakni kematiannya diketahui jenazahnya sebagaimana mati disini kematian secara biologis. Maupun kematian secara yuridis, yakni dalam kasus mafqud (hilang tidak diketahui apakah masih hidup ataupun sudah meninggal dunia), lalu melalui proses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami tersebut.57

56

Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h. 61.

57


(48)

Kemudian Kompilasi Hukum Islam pasal 114 mengatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugat perceraian. Kemudian KHI pasal 115 yang menegaskan bunyi pasal 39 ayat (1) sesuai dengan consern KHI yaitu perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil didamaikan kedua belah pihak.”58

Mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian majelis hakim dalam memberikan pertimbangannya berlandaskan pada ketentuan yang terdapat dalam PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 19 Jo. pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

58

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2007), h. 141.


(49)

37

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.59

Adapun di dalam KHI terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian yang khusus berlaku bagi pasangan perkawinan yang memeluk agama Islam, yaitu:

a. Suami melanggar taklik talak;

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.60

Perceraian menjadi fokus perhatian penting terlebih lagi dengan meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya dibandingkan dengan pasangan yang melakukan pernikahan. Asas-asas hukum perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dapat dikemukakan dan dikembangkan dalam beberapa asas hukum perceraian, yang mengatakan bahwa terdapat asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian sebagaimana terkandung arti asas hukum dalam UU No. 1 tahun 1974 yang meletakkan peraturan perundang-undangan sebagai peranata hukum dan pengadilan sebagai lembaga hukum yang melibatkan dalam proses hukum perceraian.61 Peraturan perundang-undangan penting untuk menciptakan kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan dapat dibaca, dapat dimengerti dengan cara lebih mudah, sehingga sekurang-kurangnya dapat menghindarkan spekulasi di

59

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 141.

60

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 141.

61


(50)

antara subjek hukum tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, tentang apa yang boleh dilakukan, dan tentang apa yang merupakan hak dan kewajiban.62

Perihal pasca putusnya perkawinan terdapat beberapa akibat hukum yang terjadi, baik kepada istri maupun terlebih lagi kepada anak. Anak menjadi korban atas perceraian yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Terkait akibat hukum yang kini menjadi perhatian dikalangan praktisi hukum yaitu mengenai akibat hukum kepada seorang anak. Pemberian hadhanah sebagaimana ketentuan di dalam pasal 105 huruf a bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum umur 12 tahun adalah hak ibunya.

Kendati pun saat memutuskan perkara yang berkaitan dengan pemeliharaan anak maka hakim mempertimbangkan dengan memperhatikan kepentingan anak, berupa umur anak, pendidikan, kesejahteraan anak yang masuk kedalam Undang-Undang perlindungan anak sebagaimana UU No. 23 tahun 2002 untuk kepentingan anak dan dalam hal ini bukan untuk kepentingan orang tua, dan intinya demi kepentingan anak dan demi kesejahteraan anak. Oleh karena itu, pemeliharaan anak tidak hanya diposisikan kepada ayah atau pun ibu sebagaimana Kompilasi Hukum Islam.63 Akan tetapi mengenai kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak sebagaimana terdapat dalam pasal 14:

1. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu

62

Titon Slamet kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia (Bandung: PT. Alumni, 2009), 49.

63


(51)

39

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

2. Perihal terjadinya pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak: (a) Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya; (b) Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; (c) Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan (d) Memperoleh hak anak lainnya”.64 Kewajiban orang tua dalam memenuhi hak-hak anak, berkaitan pula dengan nafkah anak yang dibebankan kepada orang tua (suami) dalam memberikan nafkah anak demi terciptanya kesejahteraan bagi anak. Pembebanan nafkah anak berdasarkan hal-hal yang dituangkan dalam isi gugatan maka hakim mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lain suami.

Pembebanan nafkah anak yang dicantumkan di dalam putusan Pengadilan Agama tentang perceraian menandakan bahwa adanya nafkah anak di dalam putusan memberikan perlindungan kepada anak agar ayahnya yang telah bercerai dapat memberikan haknya demi terpenuhinya kesejahteraan anak sampai anak itu dapat berdiri sendiri atau dewasa (12 tahun). Adapun mengenai kewajiban memberikan nafkah anak juga sebagaimana diatur di dalam pasal 105 huruf c yaitu biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya serta pasal 156 sebagai pertimbangan hukum

64

Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


(52)

oleh majelis hakim bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).65 Oleh karena itu, orang tua memiliki kewajiban yang sama demi terciptanya kesejahteraan anak. Namun, peraturan perundang-undangan dalam hal ini, memberikan ketentuan secara khusus mengenai pemeliharaan anak (hadhanah) sebagai kekhususan bagi ibu yang memiliki ikatan batin yang kuat kepada anak. Adapun mengenai pemberian nafkah anak menjadi kewajiban yang melekat kepada seorang ayah untuk mendorong terwujudnya masa depan anak yang lebih baik.

65

Lihat Impres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf c Jo. pasal 156.


(53)

41

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN

A. Deskriptif Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama memiliki tugas dan fungsi dalam menerima, memeriksa, dan memutuskan setiap permohonan atau gugatan pada tahap awal dan paling bawah.1 Pengadilan agama juga dapat diartikan sebagaimana UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 1 angka 2 bahwa Pengadilan ialah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dilingkungan Peradilan Agama.2 Hal ini sejalan dengan pasal 6 bahwa lingkungan Peradilan Agama terdiri dari Peradilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.

Adapun diantara Peradilan Agama yang berada di wilayah Pengadilan Tingkat Banding, dalam hal ini difokuskan di wilayah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ialah Pengadilan Agama Jakarta Utara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam wilayah yuridisnya. Berdasarkan perkara-perkara yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Utara, mulai dari perkara yang diterima tahun 2012 sampai pada tahun 2014 mengalami peningkatan dari pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2012 angka perceraian yang masuk ke Pangadilan Agama Jakarta Utara sebanyak 1.631 perkara. Tahun 2013 jumlah perkara meningkat menjadi 1.720 perkara di Pengadilan Agama

1

Sulaikin Lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 88.

2


(54)

Jakarta Utara. Adapun jumlah perkara pada tahun 2014 yang masuk sampai berkisar 2.073 perkara.3

Perkara perdata yang banyak ditangani adalah masalah perceraian dibandingkan dengan perkara perdata lainnya. Masalah perceraian dalam hal ini bukan lagi pihak suami sebagai kepala rumah tangga untuk mengakhiri pernikahannya di pengadilan. Akan tetapi, dewasa ini permasalahan menganai perceraian juga banyak dilakukan oleh perempuan yang tidak ingin melanjutkan hubungan dengan pasangannya. Dengan demikian, keberadaan akan kesadaran hukum mengenai perceraian yang terjadi di wilayah yuridis Pengadilan Agama Jakarta Utara termasuk menjadi pokok perhatian dikalangan para pengegak hukum. Fenomena yang terjadi dewasa ini, dapat dikaji berdasarkan faktor yang mengakibatkan peningkatan angka perceraian menjadi tinggi. Oleh karena itu, beberapa faktor yang mengakibatkan tingginya angka perceraian pada tahun 2014 ini yaitu sebagai berikut:4

Berkisar sampai 663 perkara yang menjadi faktor perceraian yang diakibatkan karena poligami tidak sehat, tingkat ke dua disebabkan karena tidak ada tanggung jawab dari salah satu pasangan suami/istri mencapai 58 perkara, kemudian ketidak harmonisan antara suami dan istri mencapai 54 jenis perkara, krisis akhlak mencapai 49 perkara, kemudian 47 perkara karena faktor ekonomi, 40 perkara yang disebabkan

3

Diakses pada 1 Maret 2015 dari http://www.pa-jakartautara.go.id/yoo/index.php/info perkara/statistik-perkara-pengadilan/ diterima-dan-diputus-pengadilan.

4

Diakses pada 16 Mei 2015 dari http://www.pa-jakartautara.go.id/yoo/index.php/info perkara/rekapitulasi-perkara-pengadilan/faktor-penyebab-perceraian-pengadilan.


(55)

43

karena faktor politis dan faktor yang lain sehingga mencapai 303 perkara. Beberapa faktor ini lah yang terjadi karena mental para suami/istri yang dapat menghalangi para pasangan tidak mencapai keluarga yang diterangkan di dalam Alquran sebagai

mitsaqan galidzan yaitu sebagai ikatan yang paling suci dan paling kokoh5 sehingga tidak memperhatikan akibat-akibat hukum yang akan terjadi khususnya akibat hukum bagi seorang anak.

B. Analisis Putusan Nomor: 0386/Pdt.G/2014/PAJU

Para hakim Peradilan Agama harus menyadari bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit), dan kepastian (rechtsecherheit). Ketiga hal ini harus mendapatkan perhatian yang seimbang secara profesional, meskipun dalam praktik sangat sulit untuk mewujudkannya. Hakim harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas tersebut di atas.6

Adapun putusan yang penulis analisis, terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Utara yaitu perkara Nomor:0386/Pdt.G/2013/PAJU. Hal ini telah mengajukan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut: Pada tanggal 15 September 2006, MSR melangsungkan pernikahan dengan MNCH sebagai seorang istri setelah pernikahan

5

Abdul Qadir Djaelani, KeluargaSakinah (PT. Bina Ilmu, 1995), h. 316.

6

Abdul Manan, Penerapa Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2008), h. 291


(56)

ini mereka telah dikaruniai 1 orang anak. Namun sejak Mei tahun 2013 sampai perkara ini diajukan ke pengadilan pada tanggal Rabu 19 Maret 2014, Pemohon dengan Termohon mulai terjadi perselisihan dan percecokan yang terus-menerus dan sulit untuk didamaikan sehingga atas percekcokan tersebut, MSR sebagai suami dari satu anak untuk mengajukan gugatan cerai talak ke Pengadilan Agama Jakarta Utara yaitu dengan Nomor Perkara 0386/Pdt.G/2014 di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

MSR sudah berusaha mempertahankan rumah tangga dengan memberi nasehat serta saran kepada Termohon agar ia dapat merubah sikapnya namun Termohon tetap tidak dapat berubah. Pihak keluarga pun sudah berusaha mendamaikan namun tidak dapat dirukunkan. Oleh karena itu Pemohon telah berketetapan hati untuk menceraikan Termohon sebagaimana alasan berikut: 1) Bahwa MNCH mengaku telah melakukan perselingkuhannya dengan laki-laki lain yang berinisial YY; 2) Termohon sering bersikap kasar kepada Pemohon bahkan karena orang tua Termohon juga pernah bersikap kasar seperti itu; 3) Termohon sering melawan ketika dinasehati oleh Pemohon.7 Berdasarkan alasan-alasan di atas dan alasan-alasan lain yang tidak sempat dipaparkan, gugatan Pemohon ini. Pada intinya memohon agar Pemohon dan Termohon dipanggil ke pengadilan untuk didengar, diperiksa dan diadili perkaranya dan pemohon memohon kepada pengadilan agar memberikan putusan yang pada pokoknya adalah memberikan ijin

7


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

1 42 105

Realisasi Pelaksanaan Nafkah Iddah Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012

0 13 113

Cerai Gugat Karena Suami Pengguna Narkoba (Analisis Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0154/Pdt.G/2013/Pa)

4 71 86

Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/Pa.Bks.)

1 27 73

Perceraian akibat suami riddah: analisis koperatif putusan penagdilan agama bogor perkara Nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 378/Pdt.G/2009/PA.JP

0 3 62

Nafkah Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU)

0 15 0

Hak Waris Anak Murtad (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU)

1 18 0

Penyelesaian Harta Bersama Dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)

2 18 0

Perceraian Anggota Polri (Studi atas Peraturan kapolri Nomor 9 Tahun 2010 dan Implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan )

13 168 137

Hak-Hak Isteri Pasca Cerai Talak Raj'i (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

0 32 143