Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak Di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mano. 23/Pdt.G/2013/Pa.Bik )

(1)

PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN MA No. 23/Pdt.G/2013/PA.Bik )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

YULIANA SIREGAR NIM: 110200550

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANAK DI BAWAH UMUR SEBAGAI AKIBAT PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN MA No. 23/Pdt.G/2013/PA.Bik )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

YULIANA SIREGAR NIM: 110200550

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui/Diketehui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Dr. Hasim Purba S.H. M.Hum. NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Rabiatul Syahriah S.H. M.Hum. Dra. Zakiah, M.Pd NIP. 195902051986012001 NIP. 195803081989032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Dengan ini saya :

Nama : YULIANA SIREGAR

NIM : 110220550

JuduL : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SENGKETA

PEMELIHARAAN ANAK DI BAWAH UMUR SEBAGAI AKIBAT PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN MANo. 23/Pdt.G/2013/PA.Bik )

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggunjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, Oktober 2015

YULIANA SIREGAR NIM. 110200550


(4)

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN………... ii

ABSTRAKSI……….. iii

LEMBAR PERNYATAAN……….…... iv

KATA PENGANTAR………... vi

DAFTAR ISI ……….. x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Perumusan Masalah………... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 8

1.4 Manfaat Penelitian………... 9

1.5 Metode Penelitian …..………...10

1.6 Keaslian Penulisan ………..……. 13

1.7 Sistematika Penulisan………14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian Perkawinan ……….……….……… 17

2.1.2 Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia ………...… 18


(5)

2.1.5 Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan ……… 24

2.1.6 Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan ………….. 28

2.2 Perceraian 2.2.1 Pengertian Perceraian ………..…. 29

2.2.2 Alasan-Alasan Perceraian ………...……….. 31

2.2.3 Tata cara Perceraian …….………. 34

2.2.4 Akibat Hukum Perceraian ...……….. 38

BAB III PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS PEMELIHARAAN ANAK SETELAH PERCERAIAN 3.1 Pengertian Pemeliharaan Anak ….………... 40

3.2 Perbedaan Pemeliharaan dan Pengasuhan Anak ………..45

3.3 Penyelesaian Sengketa Terhadap Hak Asuh Anak dan Tanggug Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Terjadinya Perceraian .…. 47 3.4 Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya …...50

3.5 Kewajiban Orang Tua Setelah Perceraian ………... 52

3.5.1Kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ……….………. 54

3.5.2Kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam ……… 57

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SENGKETA HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN


(6)

Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam

4.1.1 Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan ………….…..…… 60 4.1.2 Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak ...………… 63 4.1.3 Hak Asuh Anak Dibawah Umur setelah perceraian Berdasarkan

Kompilasi Hukum Islam ……….…………. 64

4.2 Dasar Pengajuan Perceraian oleh Mantan Isteri Selaku Penggugat dalam Perkara Perdata Putusan Nomor : 23/Pdt.G/2013/PA.Bik

4.2.1 Kasus Posisi Putusan Nomor 23/Pdt.G/2013/PA.Bik ……..… 67 4.2.2 Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor

23/Pdt.G/2013/PA.Bik ………. 70 4.3 Implementasi Perjanjian Internasional terkait Pengelolaan dan

Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh di Indonesia ……….... 70

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan……….. 78

5.2 Saran……….... 78


(7)

Yuliana Siregar* Rabiatul Syariah**

Zakiah***

Salah satu bentuk keaktifan dan turut sertanya dalam mengisi kehidupannya adalah berumah tangga sebagai pasangan dari kehidupan manusia itu sendiri. Tujuan perkawinan bagi manusia bukan hanya sekedar untuk mendapatkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah untuk mendapatkan kebahagian lahir dan batin dalam rangka melaksanakan perintah agama. Setiap perkawinan dapat di pastikan bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia dan kekal dengan tetap di ridhoi oleh Allah SWT., kebahagiaan dan kekekalan perkawinan ini kadang kala tidak dapat berlangsung lama atau dengan kata lain ada perkawinan yang akhirnya tidak mengalami kebahagiaan dan berakhir dengan perceraian. Bila perceraian terjadi biasanya yang jadi permasalahan ialah menyangkut tentang anak setelah terjadi perceraian, baik berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah Bagaimana pengaturan tentang hak asuh anak di bawah umur setelah perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bagaimanakah hak dan kedudukan anak setelah perceraian, Apakah seorang ibu mendapatkan hak asuh anaknya yang masih di bawah umur atau tidak menurut UUP No. 1 Tahun 1974.

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemberian hak pemeliharaan anak kepada bapak berdasarkan pertimbangan hak asuh diberikan kepada bapak karena ibu dalam persidangan ditemukan fakta hukum tidak memiliki kemampuan untuk mengasuh anak dikarenakan bahwa ibu terlalu pokus dalam hal karir sehingga, tidak ada waktu untuk mengurus anak dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya.

Kata kunci : Sengketa, Pemeliharaan Anak, Perceraian

 Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I


(8)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP No. 1 Tahun 1974), berbunyi bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbulah hak dan kewajiban antara suami-istri secara timbal balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.1

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka UUP No. 1 Tahun 1974 mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan manusia.2

Dengan lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai

1

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang,Universitas Diponegoro, 2008), hal 6.

2

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum


(9)

berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 1975) sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya, melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan atau alasan-alasan yang dapat dibenarkan.3

Menurut Pasal 38 UUP No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu : a. Kematian b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan. 1Terjadinya peristiwa-peristiwa dalam rumah tangga, yaitu perselisihan, pertengkaran atau percekcokkan antara suami istri akan mengakibatkan terjadinya perceraian, jika tidak diselesaikan dengan baik.

Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, dan diulang lagi dengan bunyi yang sama dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 adalah 4:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya serta sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

3

Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama, (Jakarta, Media Sarana Press, 1986), hal 50.

4

Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang 1Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


(10)

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan-alasan perceraian tersebut menurut R.Sardjono, sifatnya limitatif artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang disebut Undang-Undang.5

Pembuat Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan apa-apa kecuali disebutkan “cukup jelas” terhadap alasan-alasan itu. Padahal dalam perumusan alasan-alasan perceraian tersebut sifatnya masih terlalu umum, karenanya perlu penafsiran yang sesuai dengan jiwanya, agar kesalahan pengertian dari masyarakat dapat dihindarkan. Sehubungan dengan ini maka peranan yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung sangat besar sekali dalam menginterpretasi dan memberi arti alasan-alasan perceraian tersebut.6

Adapun alasan-alasan perceraian dalam UUP No. 1 Tahun 1974 tersebut apabila dari segi tujuan perkawinan yaitu :

“Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”7

.

Maka dari uraian diatas dapat dilihat bahwa apabila tujuan perkawinan tersebut tidak mungkin lagi akan tercapai, maka sudah sewajarnya rumah tangga tersebut tidak perlu lagi dipertahankan.

5

R.Sardjono, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek Belanda Baru, (Jakarta, Academica, 1979), hal 26.

6

Ibid.

7


(11)

Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat.8 Cerai talak adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan Sipil. Pentingnya penetapan saat terjadi perceraian adalah untuk menghitung lamanya masa tunggu (masa idah).

Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap orang tua/ anak dan harta benda perkawinan.9

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 ialah :

8

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980), hal 38.

9


(12)

a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan Tentang pemeliharaan, dan pendidikan anak.

Mengenai status suami istri yang telah bercerai menjadi duda atau janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan orang lain, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUP No. 1 Tahun 1974.

Undang-Undang Perkawinan dan KHI menentukan perceraian hanya dapat dilaksanakan bila dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah melalui proses dan tahapan tertentu. Hal ini dapat ditemukan pada Bab VII Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41 UU Perkawinan ,10 Pasal 115 KHI.11 Diadakannya ketentuan hukum yang berkaitan dengan perceraian tentunya untuk meghilangkan kesan bahwa

10

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1997,hal.222

11


(13)

proses perceraian dapat dilakukan dengan teramat mudah, disamping juga untuk melindungi hak bekas iistri dan hak anak setelah terjadinya perceraian.

Dalam mengajukan permohonan atau gugatan perceraian, para pihak dapat sekaligus mengajukan permohonan pembagian harta dan pemeliharaan anak atau dapat pula mengajukan permohonan sendiri-sendiri secara terpisah.12 Terhadap permohonan ini, Hakim akan membuka sidang untuk memeriksa apakah permohonan tersebut layak dikabulkan atau tidak.

Seperti telah tersinggung di atas bahwa perceraian menimbulkan akibat bagi anak yang telah lahir dalam perkawinan tersebut. Akibat perceraian terhadap anak diatur daam Pasal 41 UU Perkawinan, yang menyatakan sebagai berikut : “ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anaak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Dan Pengadian dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.

12

Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3Tahun 2006 Tentang Perubahan Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama


(14)

Dengan ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan tersebut, dapat diambil kesimpulan walaupun orang tua sudah bercerai, mereka masih terikat pada kewajiban untuk memelihara anak-anak yang telah lahir dari perkawinan mereka, dan dari pasal tersebut juga dapat diketahui bahwa ibu ataupun bapak mempunyai hak yang sama terhadap pemeliharaan anak. Dalam hal ini dengan siapapun anak ikut, ayah sebagai bekas suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak untuk biaya hidup dan pendidikannya sampai anak menjadi dewasa atau anak tersebut telah kawin, namun dalam hal bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu memikul biaya pemeliharaan anak.

Bagi orang yang beragama Islam ketentuan tentang pemeliharaan anak dapat dilihat dalam Pasal 105 KHI, yang berbunyi sebagai berikut :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya ;

b. Pemeliharaan anak mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Jika dibandingkan antara ketentuan Pasal 41 UUP dengan Pasal 105 KHI, kedua ketentuan tersebut tetap mengatur hak anak pasca terjadinya perceraian, hanya saja dalam KHI ditetapkan batas umur pemeliharaan anak yang merupakan hak ibunya, yaitu sampai si anak berumur 12 (dua belas) tahun, dan jika telah lewat 12 (dua belas) tahun sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk


(15)

memilih apakah ikut ibunya atau ikut bapaknya. Sementara itu dalam Pasal 41 UU Perkawinan tidak ditentukan batas usia anak, namun tetap ditentukan adanya kewajiban orang tua untuk memelihara anak-anaknya.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengambil pokok pembahasan dan topik penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan MA No. 23/Pdt.G/2013/PA.Bik)

1.2 Rumusan Masalah

Ada beberapa masalah pokok yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan tentang hak asuh anak di bawah umur setelah perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimanakah hak dan kedudukan anak setelah perceraian ?

3. Apakah seorang ibu mendapatkan hak asuh anaknya yang masih di bawah umur atau tidak menurut UUP No. 1 Tahun 1974 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini berusaha memaparkan permasalahan berkaitan dengan tinjauan yuridis terhadap sengketa pemeliharaan anak di bawah umur sebagai akibat perceraian menurut UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan


(16)

dan Kompilasi Hukum Islam. Maka berdasarkan uraian latar belakang di atas secara rinci tujuan pokok dari pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian orangtuanya menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui kedudukan anak setelah perceraian.

3. Untuk mengetahui hak asuh anak di bawah umur seharusnya jatuh ketangan ibunya menurut perkara perdata nomor.23/Pdt.G/2013/PA.Bik Tentu saja salah satu dari tujuan dari pembuatan dan pembahasan materi dalam skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, adapun beberapa manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada.

Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan anak di bawah umur


(17)

khususnya, terutama Tentang aspek perceraian terhadap sengketa pemeliharaan anak dibawah umur sebagai akibat perceraian menurut UUP No. 1 Tahun 1974.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.

1.5 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum dapat dibagi dalam dua kelompok13 yaitu penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian hukum terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, penelitian perbandingan hukum. Sedangkan jenis penelitian hukum kedua adalah penelitian hukum sosiologis (empiris) yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektivitas hukum.

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang digunakan dalam penelitian normatif. Sedangkan bagi penelitian empiris (sosiologis), studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan

13

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007), hal 42.


(18)

sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan kuesioner14. Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu sebuah bentuk/ jenis penelitian yang mengandalkan data dan informasi Tentang hukum, baik bahan hukum pimer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.

2. Data dan Sumber Data

Penyusunan skripsi ini menggunakan data dan sumber data berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan Pengadilan, yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak 4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 5) Undang-Undang Republik Indoesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

6) KHI (Kompilasi Hukum Islam).

14

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 1996), hal 50.


(19)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, hasil-hasil penelitian hukum dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum mengenai pemeliharaan anak di bawah umur.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus, ensiklopedia atau majalah yang berkaitan dengan pemeliharaan anak di bawah umur.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, buku-buku, berbagai literatur, dan juga peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tinjauan yuridis terhadap sengketa pemeliharaan anak di bawah umur akibat perceraian . Metode Library Research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakikatnya merupakan


(20)

kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian. c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.

d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

1.6 Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi, sebelum melakukan penulisan “Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam”, penulis telah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan penelusuran dan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU antara lain :


(21)

1. Tinjauan Yuridis Tentang Pemeliharaan Anak Setelah Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991.( Studi Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kisaran )

2. Hak pemeliharaan dan kewajiban memberi nafkah terhadap anak di bawah umur akibat perceraian berdasarkan putusan Pengadilan Agama dieri Medan)

3. Analisis yuridis tentang perwalian anak di bawah umur akibat perceraian (studi kasus Putusan PA No. 01/Pdt.G/2010/PA/KIg)

Sekalipun penulisan skripsi ini memiliki sedikit kesamaan dengan beberapa skripsi yang telah disebutkan diatas, namun permasalahan dan pembahasan yang diangkat dalam penulisan ini merupakan hasil pemikirin penulis sendiri dan juga karena referensi dari buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian dalam perkawianan, pemeliharaan anak di bawah umur khususnya perceraian, serta informasi yang diperoleh dari media cetak dan elektronik.

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan dalam membaca, memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

BAB I Pendahuluan, membahas mengenai latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalahan, yang dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat


(22)

penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

BAB II Tinjauan Umum Tentang Perkawinan, membahas mengenai perkawinan, perceraian dalam hal ini terkait dengan pengertian, tujuan, alasan, tata cara perceraian, dan dasar hukum, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan perkawinan.

BAB III Membahas Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tentang Kewajiban Orang Tua atas Pemeliharaan Anak setelah perceraian, pada bab ini penulis khusus membahas pengertian pemeliharaan anak, perbedaan pemeliharaan dan pengasuhan anak, Penyelesaian sengketa terhadap hak asuh anak dan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah perceraian, Hak dan Kedudukan Anak setelah Perceraian Orang Tua serta kewajiban orang tua setelah perceraian ditinjau dari beberapa aspek hukum.

BAB IV Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Hak Asuh Anak di Bawah Umur dalam perkawinan Pada Putusan No. 23/Pdt.G/2013/PA. Bik, membahas tentang hak asuh anak di bawah umur setelah perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam.

BAB V Kesimpulan dan Saran, merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini dimana penulis akan membuat kesimpulan dari keseluruhan uraian skripsi sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan memberikan beberapa saran yang diajukan penulis sehubungan dengan tinjauan yuridis terhadap sengketa pemeliharaan anak di bawah umur sebagai akibat


(23)

perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

2.1 Perkawinan

2.1.1 Pengertian dan Tujuan Perkawinan

Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa :

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“.15

Sedangkan tujuan perkawinan, adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. yaitu :16

Berdasarkan pengertian diatas dapat dirumuskan unsur-unsur perkawinan, yaitu :

a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat (hubungan formal), yaitu mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Hal ini dapat dilihat karena dibentuk oleh undang-undang, hubungan mana mengikat bagi kedua belah pihak dan pihak lain atau masyarakat. Ikatan batin ialah ikatan yang tidak dapat dilihat (hubungan tidak formal), yang diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama, yang akan menimbulkan kerukunan dan mengikat kedua belah pihak. Terjalinnya ikatan lahir batin tersebut,

15

Pasal 1 UUP No.1 Tahun 1974.

16


(25)

merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

b. Adanya unsur ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri mengandung arti bahwa dalam waktu yang sama seorang suami tidak diperbolehkan untuk kawin lagi dengan wanita lain. Dalam hal ini mengandung asas monogami. Dalam keadaan tertentu asas monogami dapat dikesampingkan, akan tetapi dipferbolehkan bagi mereka yang yang diperkenankan oleh agama dan undang-undang untuk menikah lagi dengan alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.

c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini dapat diartikan, bahwa mereka itu haruslah berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan. Perceraian karena sebab-sebab lain daripada kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu pemutusan perkawinan karena perceraian (cerai hidup), merupakan jalan akhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.

d. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa perkawinan itu tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia, sebagai makhluk yang beradab.

2.1.2 Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia

Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :17

a. Buku I dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu Bab IV samapi dengan Bab XI.

b. Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. c. Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. d. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

17

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta, PB Gadjah Mada, 1999), hal 37.


(26)

e. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

f. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).

2.1.3 Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974

Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat-syarat tersebut antara lain :

1) Pasal 6 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2) Pasal 6 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Pasal 7 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

4) Pasal 8 UUP No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan karena hubungan keluarga yang dekat.

5) Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan.

6) Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan setelah yang kgedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang.


(27)

7) Pasal 11 UUP No. 1 Tahun 1974, mengatur tentang “waktu tunggu” . Pada ayat (1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dan pada ayat (2) tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975.

Pada Pasal 39 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, berbunyi :

“Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut : a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu

ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.” 8) Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974, tata cara pelaksanaan

perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Selanjutnya ketentuan tentang tata cara perkawinan ini diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP No. 9 Tahun 1975.18

b. Menurut KUHPerdata

Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), syarat sahnya perkawinan (syarat materil) adalah :

1) Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUHPerdata).

2) Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 KUHPerdata).

3) Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata).

4) Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata). 5) Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin

dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata). Mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini :

18

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Cet. 2, (Bandung, Nuansa Aulia, 2007), hal 82.


(28)

a) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasaannya, harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36 KUHPerdata).

b) Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUHPerdata).

c) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39 KUHPerdata).

d) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40 KUHPerdata).

e) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42 KUHPerdata).

f) Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUHPerdata).19 Sementara syarat formil perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 84 KUHPerdata), terdiri dari :

1) Tata cara/formalitas-formalitas yang harus mendahului perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 58 KUHPerdata). 2) Mencegah perkawinan (Pasal 59 sampai dengan 70

KUHPerdata).

3) Melangsungkan perkawinan (Pasal 71 sampai dengan 82 KUHPerdata).

4) Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri (Pasal 83 sampai dengan 84 KUHPerdata).20

19

P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal 41-42.

20


(29)

2.1.4 Larangan-larangan Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974

Perkawinan dilarang antara dua orang yang :21

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. Berhubungan darah dan garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagi bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Menurut Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali jika :

1) Mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974);

2) Dengan alasan bahwa istri, yaitu : (Pasal 4 UUP No. 1 Tahun 1974).

a) Tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; b) Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c) Tidak dapat melahirkan keturunan;

21


(30)

Menurut Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dapat dipikirkan matang-matang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai.

Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974 bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pada ayat (2) tenggang jangka waktu tunggu tersebut pada ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan Pemerintah lebih lanjut tersebut dalam hal ini adalah PP No. 9 Tahun 1975 yang dalam Pasal 39 ayat (1).

b. Menurut KUHPerdata

Di dalam KUHPerdata ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara:22

1) Mereka yang bertalian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping,

22


(31)

yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30 KUHPerdata).

2) Ipar laki-laki dan ipar perempuan, paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31 KUHPerdata).

3) Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah oleh putusan hakim (Pasal 32 KUHPerdata).

4) Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal 33 KUHPerdata).

2.1.5 Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan a. Menurut UUP No. 1 Tahun 1974

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2 UUP No. 1 Tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Dalam PP No. 9 Tahun 1975, dikatakan bahwa tahap-tahap pencatatan perkawinan itu adalah sebagai berikut :23

1) Pegawai pencatat perkawinan

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).

2) Pemberitahuan perkawinan

Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari kerja) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualikan terhadap

23


(32)

jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat, atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (Pasal 5).

3) Penelitian oleh pegawai pencatat

Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai berikut :

a) Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi.

b) Apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undnag-undang.

c) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.

d) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

e) Izin tertulis /izin Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

f) Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.

g) Dispensasi Pengadilan/ Pejabat.

h) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.

i) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.

j) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Hasil penelitian tersebut oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan tersebut diatas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7).


(33)

4) Pengumuman perkawinan

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman Tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menemperkenalkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Menurut Pasal 9, pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :

a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu.

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

5) Tata cara perkawinan

Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkwinan oleh pegawai pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11).

Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13).

b. Menurut KUHPerdata

Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah


(34)

satu dari kedua pihak (Pasal 50 KUHPerdata). Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup kepastian memperlihatkan kehendak kedua calon suami istri, dan Tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai Catatan Sipil harus dibuat sebuah akta (Pasal 51 KUHPerdata).

Menurut pasal 52 KUHPerdata, sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat pengumuman pada pintu utama dari pada gedung dalam mana register-register catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap tertempel selama 10 (sepuluh) hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada hari Minggu atau hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal, dan Hari Mikraj Nabi. Surat itu berisi :

- Nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-istri, pun jika yang akhir ini dulu pernah kawin, nama istri dan suami mereka dulu.

- Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung.

Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil. Jika kedua calon suami istri tak mempunyai tempat tinggal dalam daerah Pegawai Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman harus dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil tempatq tinggal masing-masing pihak (Pasal 53 KUHPerdata). Pengumuman hanya berlaku selama 1 (satu) bulan, dan apabila dalam waktu itu tidak


(35)

dilangsungkan perkawinan , maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, dan untuk itu pengumuman harus diulang sekali lagi (Pasal 57 KUHPerdata). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan adanya akta perkawinan (Pasal 100 KUHPerdata).

2.1.6 Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan

Menurut Pasal 31 UUP No. 1 Tahun 1974, berbunyi bahwa :

(1) hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat;

(2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum; (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Sedangkan kewajiban suami istri terdapat dalam Pasal 30 UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi susunan masyarakat. Didalam Pasal 32 UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa:

(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33 UUP No.1 Tahun 1974 dikatakan, bahwa suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi


(36)

bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa :

(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

(3) Jika suami istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

2.2 Perceraian

2.2.1 Pengertian Perceraian

Menurut ketentuan Pasal 38 UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. 24

a. Kematian;

Putusnya perkawinan karena kematian suami atau istri, disebut juga oleh masyarakat dengan ” cerai mati ”.

b. Perceraian;

Putusnya perkawinan karena perceraian, disebut oleh masyarakat dengan istilah ” cerai hidup ”.

Putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 (dua) jenis, yaitu :25 1) Cerai gugat, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan

perkawinan menurut agama dan kepercayaannya bukan Islam

24

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000), hal 117.

25


(37)

dan seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.

2) Cerai talak, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.

c. Putusan Pengadilan;

Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatunya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.26

Pasal 39 UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa :

(1)Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2)Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

(3)Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

26

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum


(38)

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa perceraian mempunyai arti, bahwa diputuskannya perkawinan tersebut oleh Hakim dikarenakan sebab tertentu atau putusnya perkawinan karena perceraian berarti pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab tertentu dengan keputusan Hakim. Perceraian juga dapat diartikan sebagai salah satu cara pembubaran perkawinan karena sebab tertentu, melalui keputusan Hakim yang didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengertian perceraian adalah putusnya perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan Hakim, yang dilakukan didepan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang serta telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.

2.2.2 Alasan-alasan Perceraian

Tujuan Perkawinan, adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa., Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk mencari kebahagiaan, meneruskan keturunan, dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat atau cerai mati, namun seringkali tujuan tersebut kandas ditengah jalan karena sebab-sebab tertentu.

Walaupun perceraian adalah perbuatan tercela dan dibenci oleh Tuhan (Allah), suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Namun, perceraian harus mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur undang-undang bahwa antara


(39)

suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 27 Alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan perceraian dapat diketahui dari penjelasan Pasal 39 (2) UUP No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, sebagai berikut : 28

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan. Pengertian zinah pada alasan perceraian ini, adalah zinah menurut konsep agama. Pengertian pemabok, pemadat, dan penjudi ditafsirkan oleh Hakim;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Waktu 2 (dua) tahun berturut-turut pada alasan perceraian ini, adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Kata ” berturut-turut” berarti kepergian salah satu pihak tersebut harus penuh 2 (dua) tahun lamanya dan selam waktu itu yang bersangkutan tidak pernah kembali. Rasio dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang ditinggalkan. Maksud ”hal lain diluar kemampuannya” pada alasan perceraian ini, maka Hakim yang menentukannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. ”Hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat” maksudnya adalah hukuman yang sudah mempunyai kekuatan tetap setelah Perkawinan berlangsung. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun haruslah dijatuhkan oleh Hakim Pidana setelah perkawinan dilangsungkan. Penentuan lima tahun dianggap cukup mentukan apakah perkawinan para pihak hendak diteruskan atau diakhiri;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. Kekejaman atau penganiayaan yang dikaitkan membahayakan terhadap pihak lain bukan jasmani namun juga jiwa para pihak. Sebaiknya ada visum dari dokter atau keterangan saksi ahli hukum kejiwaan untuk mengetahui bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman atau penganiayaan dan pihak lain yang diperlukan dengan kejam dan dianiaya. Selain itu juga perlu di dengar keterangan dari orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman dan penganiayaan itu dilakukan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan penjelasan Tentang apa yang dimaksud dengan kekejaman atau penganiayan berat itu sendiri, sehingga Hakimlah yang harus menafsirkan;

27

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op. Cit, hal 118.

28

Lili Rasjidi, Alasan Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung, Alumni, 1983), hal 5.


(40)

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Tujuan dari alasan perceraian ini adalah untuk menjaga dan melindungi jangan sampai segala kepentingan dari salah satu pihak dikorbankan karena suatu sebab yang menimpa pihak lain. Menurut Lili Rasjidi, ciri utama dari cacat badan atau penyakit berat ini adalah harus yang menyebabkan si penderita tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 29 Apabila dalam rumah tangga, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan perceraian. Gugatan perceraian diajukan

kepada Pengadilan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak

memberikanpenjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan cacat badan atau penyakit. Dalam hal ini Hakimlah yang menentukan secara pasti terhadap semua keadaan yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai, sebagaimana yang dimaksud dalam alasan perceraian tersebut; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang mengakibatkan suami istri tersebut tidak dapat diharapkan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Hal ini merupakan persoalan yang bersifat relatif karena Hakimlah yang menilai dan menetapkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tujuan perkawinan tersebut tidak dapat dicapai oleh suami istri maka sudah sewajarnya para pihak memutuskan jalan untuk bercerai berdasarkan alasan-alasan perceraian seperti tersebut diatas.

2.2.3 Tata Cara Perceraian

Ada dua macam perceraian, yaitu perceraian dengan talak dan perceraian dengan gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Bagi perceraian dengan gugatan biasa disebut cerai

29


(41)

gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan bukan beragama Islam.30

a. Tata Cara Cerai Talak

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat pemberitahuan kepada pengadilan agama di tempat tinggalnya bahwa dia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya, dengan permintaan agar pengadilan agama mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975).

Setelah pengadilan agama mempelajari isi surat pemberitahuan tersebut, selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan itu, pengadilan agama memanggil suami dan istri yang bersangkutan untuk meminta penjelasan mengenai perceraian itu (Pasal 15 PP No. 9 Tahun 1975).

30


(42)

Setelah memperoleh penjelasan dari suami dan istri yang bersangkutan dan ternyata terdapat alasan-alasan untuk bercerai, maka berdasarkan Pasal 7 PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Setelah dilakukan mediasi dan pengadilan agama berpendapat bahwa antara suami dan istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam rumah tangga, maka pengadilan agama memutuskan untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu (Pasal 16 PP No. 9 Tahun 1975).

Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian itu, Ketua Pengadilan Agama membuat surat keterangan Tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian (Pasal 17 PP No. 9 Tahun 1975). Perceraian itu terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan agama (Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975). Pentingnya penetapan saat terjadi perceraian adalah untuk menghitung lamanya masa tunggu (masa idah).31

b. Tata Cara Cerai Gugat

Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas, tidak

31

https://dreikazamasa14.wordpress.com/2012/04/28/tata-cara-perceraian diunduh pada


(43)

diketahui, tidak mempunyai tempat kediaman tetap, atau Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman Penggugat (Pasal 20 PP No. 9 Tahun 1975).

Setelah pengadilan menerima gugatan Penggugat, pengadilan memanggil pihak Penggugat dan Tergugat atau kuasa mereka di tempat kediamannya atau jika mereka tidak dijumpai di tempat kediamannya, panggilan disampaikan melalui lurah atau yang dipersamakan dengan itu secara patut dan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dibuka sudah diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penggilan kepada Tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan (Pasal 26 PP No. 9 Tahun 1975).

Pemerikasaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim paling lambat tiga puluh hari setelah diterima surat gugatan perceraian. Pada sidang pemerikasaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha perdamaian dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru dengan alasan yang sama (Pasal 29 ayat (1) dan pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975).

Apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugat dilakukan dalam sidang tertutup sampai pengadilan memberikan putusannya. Akan tetapi, putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang


(44)

terbuka. Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor catatan sipil oleh pegawai pencatat bagi yang bukan beragama Islam dan jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 33 dan 34 PP No. 9 Tahun 1975).

c. Pencatatan Perceraian

Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi dan pegawai pencatat mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.32 Jika perceraian dilakukan didaerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum pegawai pencacat di mana perkawianan dilangsungkan, satu helai salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan. Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan itu disampaikan kepada pegawai pencatat di Jakarta (Pasal 35 PP No. 9 Tahun 1975).

Selambat-lambatnya tujuh hari setelah perceraian diputuskan, panitera pengadilan agama menyampaikan putusan yang telah memperoleh

32


(45)

kekuatan hukum hukum tetap itu kepada pengadilan negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan tersebut dilakukan dengan membubuhkan kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim pengadilan negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut. Selambat-lambatnya, tujuh hari setelah diterima putusan dari pengadilan agama, panitera pengadilan negeri menyampaikan kembali putusan itu kepada pengadilan agama (Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975). .

2.2.4 Akibat Hukum Perceraian

Akibat dari perceraian akan menimbulkan akibat hukum, terhadap:33

Orang tua/anak

Menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan akan memberikan keputusan;

2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan tidak dapat memberikan kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

33


(46)

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.


(47)

BAB III

PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS PEMELIHARAAN ANAK SETELAH PERCERAIAN

3.1 Pengertian Pemeliharaan Anak

Pemeliharaan menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan, perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.34

Menurut Ash-sha‟ani bahwa dalam buku islam pemeliharaan anak disebut dengan al Hadinah yang merupakan masdar dari kata Al Hadhanah yang berarti mengasuh atau memelihara bayi (hadhanah ash syabiyya). Pengertian dari istilah

hadhanah adalah “pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya” 35

Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan pemeliharaan anak adalah: 36

1. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak.

2. Pemeliharaan yang berupa pengawasan, pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut adalah bersifat kontinyu (terus menerus) sampai anak itu dewasa.

Menurut Abdul Azis Dahlan, “Hadhanah berarti di samping atau berada di bawah ketiak. Sedangkan secara terminologinya, merawat dan mendidik

34

Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, 846.

35 Ash Sha‟ani,

Subulus Salam, Terjemahan Abubakar Muhammad Jiid 3, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, hal 81.

36


(48)

seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak bisa memenuhi keperluan sendiri. 37

Hadhanah berarti melakukan emeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki mauun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti, dan merusaknya, mendidik jasmani, dan rohani dan akhlaknya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. 38

Landasan Hukum hadhannah dalam Islam, didasarkan pada beberapa ayat Al-Quran, antara lain QS. At-Tahrim ayat 6, dan Al-Baqarah ayat 233, yang artinya: 39

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim ayat 6)

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyesuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan pemusyawaratan, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al- Baqarah 233)

Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal Ulama mazhab Hanafi dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hadhanah itu menjadi hak ibu

37

Abu Azis Dahlan, Op. Cit,hal 415.

38

Zakiah Darajat, Ilmu Figh, Dhana Bakti Wakaf, Yogayakarta, 1995, hal 157.

39

Abdul Rahman Ghazali, Figh Munakahat, Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hal 176.


(49)

sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan meurut Wahbah al-Zuhaily, “hak hadhanah adalah hak yang bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak”.40

Menurut Ahmad Rafiq, “hadhanah” yang di maksud dalam hal ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak”.41

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa :42

Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan anatara buruk dan baik) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, dan rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawabnya.

Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang beluum mumayyiz atau orang yang belum dewasa tetapi kehilangan akal dan kecerdasan berpikirnya. Ulama Fiqih sepakat menyatakan bahwa pengasuhan itu di mulai semenjak anak lahir sampai ia mumayyiz.

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya di perlukan syarat-syarat bagi anak yang di asuh dan pengasuh, yaitu : 43

1. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan

hadhanah dengan baik, seperti pengasuh terikat dengan pekerjaan yang

40

Abdul AAzis Dahlan, Op. Cit, 415.

41

Ahmad Rafiq, Op. Cit, hal 117.

42

Sayid Sabiq, Op. Cit, hal 160.

43


(50)

berjauhan tempatnya dengan tempat si anak, atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.

2. Hendaklah pengasuh orang yang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal dan tidak terganggu ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab, sedangkan orang yang bukan mukallaf adalah orang yang tidak dapat di mintai pertanggug jawaban.

3. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.

4. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak, seperti pezina, pecuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah.

5. Hendaklah pengasuh bersuamikan laki-laki yang ada hubunngan mahram dengan si anak.

6. Pengasuh hendaklah orang yang tidak membenci si anak.

Mengenai masa waktu berlangsungnya hadhanah, tidak terdapat nas yang dengan tegas menerangkannya. Oleh karena itu para ulama berijtihad masing-masing untuk menerapkannya sebagai berikut : 44

1. Ulama mazhab Hanafi menetapkan bahwa hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari seperti makan, minum, mengatur pakaian, membersihkan tempatnya dan sebagainya. Sedangkan bagi anak perempuan, masa hadhanah berakhir apabbila telah baligh atau telah datang masa haid pertamanya. Ada juga ulama mazhab Hanafi yang menetapkan bahwa masa

hadhanah berakhir umur 19 tahun bagi laki-laki dan umur 11 tahun bagi perempuan.

2. Mazhab Syafii berpendapat bahwa masa hadhanah berakhir setelah anak

mumayyiz, yakni berumur antara lima dan enam tahun.

44

Ibid, hal 92.

45


(51)

Pada prinsipnya hak hadhanah baru muncul apabila istri dicerai dan sudah habis masa „iddahnya.45

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Thalaq ayat 6, yang artinya:

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Secara umum masa mulai berlakunya pemeliharaan anak adalah sejak anak itu berada dalam kandungan sampai anak itu dewasa atau berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melangsunkan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 98 KHI). Tetapi pengertian pemeliharaan di sini adalah dalam arti hadhanah sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayyid Sabiq. Jelasnya ukuran yang di pakai adalah tamyiz, misalnya sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya.

Pemeliharaan anak sangat utama sekali dalam kehidupan karena ia adalah generasi penerus bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang. Undang-Undang menentukan bahwa orang tua adalah yang pertama-tama bertaggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.46

46


(52)

Pemeliharaan anak mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencakupi kebutuhan hidup anak dari orang tuanya, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan terhadap anak bersifat tetap sampai si anak mampu berdiri sendiri.47 Beranjak dari Al-Qur‟an Surat Luqman Ayat 12-19, setidaknya ada (delapan) hal yang harus diajarkan orang tua kepada anak-anaknya, yaitu : 48

1. Senantiasa mensyukuri nikmat Allah S.W.T.

2. Tidak mensyarikatakan Allah dengan sesuatu yang lain. 3. Berbuat baik kepada orang tua sebagai bukti kesyukuran anak. 4. Mempergauli orang tua secara baik-baik (ma‟ruf)

5. Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatka balasan dari Allah S.W.T.

6. Menaati perintah Allah S.W.T. seperti shalat, amar ma’rruf dan nahi mungkar, serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.

7. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata.

3.2 Perbedaan Antara Pemeliharaan dan Pengasuhan Anak

Pada prinsipnya tidaklah terdapat perbedaan yang berarti antara pemeliharaan dan pengasuhan anak, karena pada dasarnya kedua kata memiliki arti yang sama namun penggunaan maupun kadangkala memiliki makna yang berbeda.

47

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan, 1975, hal 204.

48


(53)

Pada pemeliharaan anak biasanya lebih bersifat materialisme yaitu meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan (makanan, pakaian, dan lain-ain), sedangkan pengasuhan lebih bersifat psikis ataupun kebutuhan immaterial yaitu pemenuhan kebutuhan akan pengisian jiwa dan mental si anak.

Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami istri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik anatara orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orantg tua juga mempunyai hak yang harus di penuhi oleh anak. Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan yang layak, jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua baik berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus atau di batalkan oeh hukum.49 Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak memang tidak dapat dimarginal kan,

sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang berlaku, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 28 dan pasal 29 ayat (1) dan (2) huruf a berbunyi :

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Ayah kandungnya berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebtuhan-kebutuhan lainnya.

49


(54)

Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal anaknya sedang membutuhkan, dapat di paksa oleh hakim atau di penjarakan sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya.

3.3 Penyelesaian Sengketa Terhadap Hak Asuh Anak dan Tanggug Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Terjadinya Perceraian Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta putusan hakim bersifat meniadakan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak asuh sama sekali tidak meniadakan hubungan pihak yang kalah dengan yang di sengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah di putuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah, biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban memenuhi kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak


(55)

tetap bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.50

Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Sebagai ibu atau bapak mereka tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anak dan jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan semata-mata mendasarkan kepada keepentingan anak. Seorang bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaann dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika bapak ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya. 51

Apabila pemegang hadlanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, Pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah. Semua biaya

hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

Sehubungan dengan kewajiban nafkah dan hadlanah, pihak bapak atau ibu yang merasa dirugikan, sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban hadlanah, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya.52 Karena orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, Mencegah terjadinya

50

Ibid, hal 200

51

Pasal 41 UU. Perkawinan 40 Pasal 156 huruf (d) dan (e), intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam. 41 Pasal 45 UU. Perkawinan. 42 Pasal 156 KHI.

52

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet-3, Jakarta Kencana, 2005, hal 433


(1)

4. Memerintahkan kepaa Panitera Pengadilan Agama Biak untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada pegawai pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Biak Kota, kabupaten Biak Numhor dan kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Wamena, Kabupaten Puncak Jaya;

5. Membebankan Penggugat untuk memmbayar biaya perkara sebesar Rp. 5.276.000,- (Lima juta dua ratus tujuh puluh enam ribu rupiah)


(2)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Sekalipun telah terjadi perceraian antara suami istri, mereka tetap memiliki kewajiban untuk mengasuh anak-anaknya. Hak asuh anak untuk pertama sekali akan diserahkan kepada ibunya, namun apabila ibunya tidak memiliki kemampuan, maka bapak dapat diberikan kesempatan untuk melakukan pengasuhan terhadap anaknya.

2. Sekalipun telah terjadi perceraian antara suami istri, anak berhak mendapatkan kasih sayang, pemeliharaan dan kebutuhan jasmani dan rohani, walaupun tidak seperti biasa sebelum kedua orang tuanya bercerai. 3. Dalam putusan Pengadilan Agama Biak Nomor 23/Pdt.G/2013/PA.Bik,

hak asuh diberikan kepada bapak karena ibu dalam persidangn ditemukan fakta hukum tidak memiliki kemampuan untuk mengasuh anaknya.

5.2 Saran

Dari penjelasan-penjelasan yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan kesimpulan seperti disebut diatas, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Perlu diadakan penyuluhan hukum yang lebih intensif untuk lebih meningkatkan kesadaran hukum masyarakat atas tanggung jawab


(3)

pemeliharaa anak, serta untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai arti perkawinan.

2. Dalam membentuk suatu peraturan yang berlaku di masyarakat, Pemerintah di harapkan untuk membentuk peraturan khusus yang mempermudah wanita yang berkarir dalam hal waktu yang bekerja yang efisien.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmasasmita, Romli, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1997

Darajat, Zakiah, Ilmu Figh, Dhana Bakti Wakaf, Yogayakarta, 1995

Ghazali, Abdul Rahman Figh Munakahat, Kencana Media Group, Jakarta, 2003.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut

Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990

Harahap, M. Yahya Hukum Acara Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan, 1975

Manan, Abdul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama, cet-3, Jakarta Kencana, 2005

Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan

Hukum Keluarga, Cet. 2, Nuansa Aulia, Bandung, 2007

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2008

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980

Sardjono, R., Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama


(5)

Sha‟ani, Ash, Subulus Salam, Terjemahan Abubakar Muhammad Jiid 3, Al Ikhlas, Surabaya, 1995

Simanjuntak, P.N.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, PB Gadjah Mada, Jakarta, 1999

Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif; Suatu

Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1995

Syahrani, Riduan, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil,

Edisi Pertama, Media Sarana Press, Jakarta, 1986

Rafiq, Ahmad Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakrt, 1998. Rasjidi, Lili, Alasan Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Alumni, Bandung, 1983

Vollmar, H, F. A, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I, Penerjemah I.S. Adiwinarta, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1952

Waluyo, Bambang Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996

Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang 1Perkawinan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3Tahun 2006 Tentang Perubahan Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama


(6)

Jurnal

Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan dalam Perspektif Hukum

Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hkmah dan

DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun 1999),hal 166

Website


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Status Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1 64 125

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 140

Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuhperdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 63 163

Kajian Yuridis Hak Pemeliharaan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/Pn/Mdn)

0 38 141

Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 35 116

Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam

0 30 138

Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak Di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mano. 23/Pdt.G/2013/Pa.Bik )

1 55 89