Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

(1)

HAK PEMELIHARAAN DAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DI KOTA BINJAI

(Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

ASTARI PRIARDHYNI 060200002

Jurusan Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HAK PEMELIHARAAN DAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DI KOTA BINJAI

(Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Nama : ASTARI PRIARDHYNI NIM : 060200002

Jurusan : Hukum Perdata

Program Kekhususan : Perdata BW

Disetujui, Ketua Jurusan

Prof. DR.H. Tan Kamello, S.H, M.S NIP. 196204211988031004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. DR. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum Dra. Zakiah NIP. 19511101985031022 NIP. 195803081989032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HAK PEMELIHARAAN DAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DI KOTA BINJAI

(Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

ASTARI PRIARDHYNI1

Prof. DR. RUNTUNG SITEPU, S.H,M.Hum2 Dra. ZAKIAH3

Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa prinsip hukum tentang kewajiban memberi nafkah anak setelah terjadinya perceraian baik itu dalam

ABSTRAKSI

Anak merupakan amanah dari Allah SWT dan penerus kehidupan manusia. Anak sangat membutuhkan dan berhak memperoleh pengasuhan, perlindungan, pemeliharaan, dan pendidikan dari orangtuanya sampai anak tersbeut dewasa/dapat berdiri sendiri. Di sisi lain orangtua dari anak berhak melakukan pemeliharaa terhadap anaknya dan bertanggung jawab atas biaya nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Bila perceraian terjadi biasanya yang menjadi permasalahan adalah menyangkut tentang anak, siapa yang memeliharanya dan siapa pula yang menanggung biaya nafkahnya.

Dengan latar belakang di atas, maka penulis membahas permasalahan tentang prinsip hukum tentang kewajiban orangtua atas pemeliharaan dan nafkah anak setelah terjadinya perceraian, bagaimana sikap hakim dalam putusan perkara tentang kewajiban pemeliharaan dan nafkah anak, serta bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan tentang pemeliharaan dan nafkah anak di wilayah hukum Kotamadya Binjai.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis menggunakan metode library research (Studi Kepustakaan), putusan-putusan Pengadilan Agama Binjai yang diteliti ditetapkan secara purposive jumlah 7 (tujuh) putusan, dan field research (penelitian lapangan) dengan melakukan wawancara dengan beberapa orang responden.

Hasil dari penelitian orangtua dari anak berhak untuk melaksanakan pemeliharaan terhadap anaknya. Pemeliharaan anak yang belum mummayiz (belum berumur 12 tahun) adalah hak ibunya dan biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya (Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam). Sebab ibu diutamakan dalam pemeliharaan anak karena dia lah yang berhak untuk melakukan hadhanah dan menyusui serta ia lebih mengetahui dan lebih mampu untuk mendidiknya, juga karena ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melakukan tugas ini yang tidak dipunyai oleh ayah serta ibu lebih punya waktu untuk mengasuh anaknya daripada ayah.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2006 2

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I 3


(4)

Peraturan Perundang-undangan Nasional, Hukum Islam, dan Hukum Perdata membebankan kewajiban itu kepada orangtua laki-laki. Namun walaupun telah dihukum untuk membayar nafkah setelah perceraian, banyak yang tidak mematuhinya. Penyebabnya adalah factor ekonomi, factor orangtua telah menikah lagi, faktor psikologis dan factor orangtua perempuan mampu untuk membiayai nafkah anak. Adapun yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orangtua untuk membiayai anaknya setelah perceraian adalah belum adanya peraturan yang menegaskan sanksi/hukuman bagi ayah yang melalaikan kewajibannya membiayai pemeliharaan anak pasca perceraian. Sedangkan upaya yang dapat ditempuh oleh ibu (bekas istri) jika suami tidak membayar biaya nafkah maka ia dapat memohonkan upaya eksekusi ke Pengadilan Agama.

Kata-kata Kunci : Perceraian

Pemeliharaan anak


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah AWT, hanya karena nikmat dan karuniaNya penulis dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari dan menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “HAK PEMELIHARAAN DAN KEWAJIBAN

MEMBERI NAFKAH TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DI KOTA BINJAI (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)” sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi

sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan memberikan masukan kepada penulis dalam menuyusun skripsi ini.

2. Bapak Prof.DR. Tan Kamello, S.H, M.S, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata.

3. Ibu Dra. Zakiah, sebagai Dosen Pembimbing II yang juga memberikan begitu banyak masukan dan bantuan terhadap penyusunan skripsi ini, serta rela meluangkan waktunya agar skripsi dapat diselesaikan dengan baik.


(6)

4. Bapak M. Husni, S.H, M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen wali penulis yang telah banyak membantu dari awal hingga akhir semester.

5. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis.

6. Ibu Dra. Rahdima, selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Binjai dan seluruh pejabat Pengadilan Agama Binjai yang telah memberikan ijin, bantuan, dan kemudahan selama penelitian berlangsung. 7. Teristimewa persembahan untuk kedua orangtua tercinta, Ayahanda Ir.

Supriyadi dan Ibunda Astuti Sucianingsih yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang tak ternilai serta doa yang tak pernah putus hingga dapat mengantarkan menjadi seperti ini. “Riri sayang Mamak + Bapak”.

8. Adik-adik ku tercinta, Astrini Primanita yang selalu menemani dan membantu mengetik skripsi ini di kos, dan Astirta Priyoga atas canda tawa yang menghibur tiap kali rasa bosan dan suntuk datang. “Mbak sayang kalian”.

9. Teman-teman seperjuangan stambuk 2006, Tiwi, Jessi, Meci, Fira, Icha, Nina dan Ani (yang udah SH duluan), “Kangen kalian selalu, gang 8”, Henny, Siska, Cecil, Jhon Hendrik dan temen-temen Grup A,B,C,D, anak-anak BW yang tidak bisa disebutkan satu persatu, “Sukses buat kita semua, guys”.


(7)

10. Tak lupa pula buat Keluarga Sumarsono 31/39, terimakasih buat doa dan rasa kekeluargaan, kenyamanan, dan keamanan selama tinggal di rumah ini. Khusus buat anak-anak MMG (Tini, Putri, Nova), teruskan kepengurusan dan semangat MMG,, hohohoho…

Medan, Maret 2010


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI………... KATA PENGANTAR………... DAFTAR ISI………...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………... B. Perumusan Masalah………... C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………... D. Keaslian Penulisan……… E. Tinjauan Kepustakaan……….. F. Metode Penulisan………... G. Sistematika Penulisan………...

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN

ORANGTUA ATAS PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN

A. Pengertian, Konsep dan Ketentuan tentang Anak, Pemeliharaan dan Nafkah……… B. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan………... C. Berdasarkan Hukum Islam………... D. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata………


(9)

BAB III SIKAP HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA TENTANG KEWAJIBAN PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK A. Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan

Nafkah Anak di Pengadilan Agama Binjai Jika Terjadi

Perceraian……….. B. Beberapa Putusan Pengadilan Agama Binjai………... C. Dasar Pertimbangan Putusan Pengadilan Agama Binjai………... D. Analisis Terhadap Eksekusi Putusan Pengadilan Agama

Tentang Pemeliharaan dan Nafkah Anak………..

BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK

A. Faktor-Faktor Penyebab Tidak Dilaksanakannya Putusan Pengadilan Agama Yang Mewajibkan Orangtua Untuk

Memelihara dan Membiayai Anaknya Setelah Perceraian ……... B. Hal-hal Yang Menyebabkan Kesulitan Dalam Melaksanakan

Putusan Pengadilan, Yang Telah Mewajibkan Orangtua Untuk Memelihara dan Membiayai Anaknya Setelah Perceraian………… C. Upaya Yang Dapat Dilakukan Apabila Orangtua Tidak

Memenuhi Kewajibannya Terhadap Anak Sesuai Putusan


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………..……

B. Saran………

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

HAK PEMELIHARAAN DAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DI KOTA BINJAI

(Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

ASTARI PRIARDHYNI1

Prof. DR. RUNTUNG SITEPU, S.H,M.Hum2 Dra. ZAKIAH3

Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa prinsip hukum tentang kewajiban memberi nafkah anak setelah terjadinya perceraian baik itu dalam

ABSTRAKSI

Anak merupakan amanah dari Allah SWT dan penerus kehidupan manusia. Anak sangat membutuhkan dan berhak memperoleh pengasuhan, perlindungan, pemeliharaan, dan pendidikan dari orangtuanya sampai anak tersbeut dewasa/dapat berdiri sendiri. Di sisi lain orangtua dari anak berhak melakukan pemeliharaa terhadap anaknya dan bertanggung jawab atas biaya nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Bila perceraian terjadi biasanya yang menjadi permasalahan adalah menyangkut tentang anak, siapa yang memeliharanya dan siapa pula yang menanggung biaya nafkahnya.

Dengan latar belakang di atas, maka penulis membahas permasalahan tentang prinsip hukum tentang kewajiban orangtua atas pemeliharaan dan nafkah anak setelah terjadinya perceraian, bagaimana sikap hakim dalam putusan perkara tentang kewajiban pemeliharaan dan nafkah anak, serta bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan tentang pemeliharaan dan nafkah anak di wilayah hukum Kotamadya Binjai.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis menggunakan metode library research (Studi Kepustakaan), putusan-putusan Pengadilan Agama Binjai yang diteliti ditetapkan secara purposive jumlah 7 (tujuh) putusan, dan field research (penelitian lapangan) dengan melakukan wawancara dengan beberapa orang responden.

Hasil dari penelitian orangtua dari anak berhak untuk melaksanakan pemeliharaan terhadap anaknya. Pemeliharaan anak yang belum mummayiz (belum berumur 12 tahun) adalah hak ibunya dan biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya (Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam). Sebab ibu diutamakan dalam pemeliharaan anak karena dia lah yang berhak untuk melakukan hadhanah dan menyusui serta ia lebih mengetahui dan lebih mampu untuk mendidiknya, juga karena ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melakukan tugas ini yang tidak dipunyai oleh ayah serta ibu lebih punya waktu untuk mengasuh anaknya daripada ayah.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2006 2

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I 3


(12)

Peraturan Perundang-undangan Nasional, Hukum Islam, dan Hukum Perdata membebankan kewajiban itu kepada orangtua laki-laki. Namun walaupun telah dihukum untuk membayar nafkah setelah perceraian, banyak yang tidak mematuhinya. Penyebabnya adalah factor ekonomi, factor orangtua telah menikah lagi, faktor psikologis dan factor orangtua perempuan mampu untuk membiayai nafkah anak. Adapun yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orangtua untuk membiayai anaknya setelah perceraian adalah belum adanya peraturan yang menegaskan sanksi/hukuman bagi ayah yang melalaikan kewajibannya membiayai pemeliharaan anak pasca perceraian. Sedangkan upaya yang dapat ditempuh oleh ibu (bekas istri) jika suami tidak membayar biaya nafkah maka ia dapat memohonkan upaya eksekusi ke Pengadilan Agama.

Kata-kata Kunci : Perceraian

Pemeliharaan anak


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara yang sedang berkembang dan membangun, Negara Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan dan melaksanakan pembangunan di segala bidang, upaya tersebut dilaksanakan dengan suatu pola pembangunan terarah, terpadu dan berkesinambungan. Hal ini dimaksud agar tujuan pembangunan nasional yang telah dicanangkan tercapai, yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan tersebut akan tercapai apabila ada partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, agama maupun tingkat kehidupan.

Untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan, sejahtera dari lingkungan terkecil yaitu lingkungan rumah tangga yang di awali dengan adanya suatu perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup bersama antara seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa dalam suatu rumah tangga (keluarga). Hidup bersama di sini lepas dari dari pengertian dalam ilmu hayat (biologi) yang ditandai dengan adanya kegiatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tersebut, “tetapi


(14)

lebih jauh lagi adalah bahwa hidup bersama itu harus memenuhi syarat-syarat dan peraturan-peraturan yang berlaku”.4

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyebutkan : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.5

Dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa perkawinan menurut Undang-undang ini adalah suatu “tujuan ideal yang tinggi dan mencakup pengertian jasmaniah dan rohaniah yang akan melahirkan keturunan”.6

4

R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1984), hlm. 7

5

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 6

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV.Rajawali, 1986), hlm. 3

Selanjutnya dari ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut diketahui bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membina rumah tangga (keluarga) yang bahagia. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kebahagiaan seseorang dalam perkawinannya barulah lengkap apabila telah dikaruniai anak atau keturunan.

Tujuan pernikahan adalah menciptakan keluarga yang aman, tentram, damai, sejahtera lahir dan batin. Dalam hal perkawinan dalam Hukum Islam di katakan bukan hanya sekedar pengabsahan dan kehalalan hubungan antara suami istri tetapi diharapkan juga mendapatkan keturunan.


(15)

Anak adalah salah satu tujuan dari adanya suatu pernikahan atau perkawinan, yaitu yang dikatakan dengan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari rahim seorang wanita, bila hanya dikaitkan dengan ibu. Bila dikaitkan dengan kedua orangtua atau ibu dan bapak maka anak adalah seseorang yang dilahirkan setelah adanya pernikahan yang sah antara kedua orangtuanya. Anak merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada hambaNya, tidak semua insan di dunia diberi kepercayaan untuk memiliki dan mengasuh anak. Oleh karena itu kehadiran anak dalam rumah tangga adalah suatu kenikmatan yang tiada tara, oleh karena itu harus dan wajib disyukuri dan tidak disangsikan bahwa putra dan putri merupakan cinderamata yang tidak diragukan lagi, belahan jiwa setiap jiwa. Mereka adalah sumber kebahagiaan dan kesejukan yang mampu membuat setiap insan menjadi lebih bahagia. Karena mereka jualah rezeki dicari dan lantarannya pula cita-cita dan harapan di gapai.

Kehadiran anak itu sendiri dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orangtua. Hubungan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak. Kewajiban orangtua ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan:7

1. kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. kewajiban orangtua dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orangtua putus.

7


(16)

Selanjutnya Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan:8

1. anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik

2. jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya orangtua dan keluarga garis lurus ka atas bila mereka memerlukan bantuannya.

Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat dilihat bahwa ada hubungan timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orang tau dan anaknya yang tidak akan berakhir walaupun orangtuanya bercerai.

Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 disebutkan:9

1. Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

2. Dalam hal orangtua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menegaskan: “Bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial”.10

Akan tetapi di dalam suatu perkawinan tidak semuanya berjalan seperti apa yang diharapkan, seperti dengan adanya sesuatu hal yang biasa memicu

8

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 9

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 10


(17)

keretakan dalam suatu perkawinan, keretakan yang bisa menimbulkan kekecewaan atau mematahkan hati bagi semua pihak yang terlibat diantaranya suami, istri, anak-anak, dan anggota lain dalam keluarga, bahkan orang-orang terdekatnya. Perceraian dapat menimbulkan efek-efek yang kurang baik, dari segi moral maupun keluarga dan bagi mereka yang mempunyai anak akan membawa tanggung jawab yang lebih berat, sehingga anak-anak mengalami perubahan dalam kehidupan mereka setelah perceraian itu terjadi, mengingat anak-anak masih membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang semestinya di dapat dari kedua orangtuanya.

Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh sebab itu, dalam kasus perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.

Seperti telah diketahui bersama bahwa permasalahan hak pemeliharaan anak dan tanggung jawab pemberian nafkah terhadap anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai akibat dari perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya. Bagi orangtua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada di


(18)

dekat dan berada dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orangtua yang telah bercerai harus merelakan anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan hakim yang memutuskan perceraian mereka.

Seorang anak atau lebih yang belum dewasa/dapat berdiri sendiri masih berhak atas pengasuhan kedua orangtuanya, walaupun orangtuanya sudah bercerai, dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan anak-anak tersebut. Bila nanti terjadi perselisihan dalam penguasaan anak-anak maka pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak tersebut.

Sesuai dengan rumusan dan makna Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik.

Di dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas menyebutkan sesungguhnya sang Bapak atu sang Ibu berkewajiban memelihara anaknya.11

11

Lihat Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Namun jika seorang Bapak tidak mampu secara sosial ekonomi untuk membiayai penghidupan anaknya, dan ibunya ternyata lebih mampu untuk membiayainya, maka sang Ibu lah yang harus bertanggungjawab memberi penghidupan pada anaknya. Jadi tanggung jawab


(19)

seorang Bapak dan Ibu memang diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.

Kenyataan terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, bila terjadi perceraian dan telah mempunyai anak di bawah umur maka akan menimbulkan permasalahan dalam hal tanggung jawab orangtua terhadap anak setelah terjadinya perceraian, dan permasalahan antara hak pemeliharaan anak dengan tanggung jawab pemberian nafkah terhadap anak ini sering berbanding terbalik. Maksudnya disini adalah dalam hal hak pemeliharaan anak orangtua umumnya menginginkan anak-anaknya berada dalam asuhannya, tetapi untuk kewajiban pemberian nafkah sering kali pihak yang telah diwajibkan membiayai pemeliharaan anaknya tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan putusan pengadilan. Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk meninjau lebih jauh melalui penulisan skripsi dengan judul “HAK

PEMELIHARAAN DAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana prinsip-prinsip hukum tentang kewajiban orangtua atas pemeliharaan dan nafkah anak setelah perceraian terjadi?


(20)

2. Bagaimana sikap Hakim dalam putusan perkara perceraian tentang kewajiban orangtua atas pemeliharaan dan nafkah anak?

3. Bagaimana pelaksanaan putusan Pengadilan tentang kewajiban orangtua atas pemeliharaan dan nafkah anak di wilayah hukum Pengadilan Agama Binjai?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui prinsip hukum tentang kewajiban orangtua atas pemeliharaan anak dan kewajiban biaya nafkah terhadap anak setelah terjadinya perceraian.

2. Untuk mengetahui sikap Hakim dalam memutuskan perkara perceraian tentang kewajiban orangtua atas pemeliharaan dan nafkah anak.

3. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan putusan pengadilan tentang kewajiban pemeliharaan dan nafkah anak di wilayah hukum Pengadilan Agama Binjai.

Manfaat penulisan yang dapat dikutip dari skripsi ini antara lain :

1. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum Perdata khususnya Hukum keluarga yang berkaitan dengan hak pemeliharaan anak di bawah umur dan kewajiban pemberian nafkah terhadap anak di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian.


(21)

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang akibat hukum dari perceraian khususnya masalah pemeliharaan anak dan kewajiban pemberian nafkah terhadap anak setelah terjadi perceraian.

3. Sebagai bahan referensi bagi lembaga peradilan sebagai bahan pertimbangan bagi majelis hakim dalam menangani perkara hadhanah dan kewajiban pemberian nafkah terhadap anak yang sama.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penulisan skripsi yang menyangkut hak pemeliharaan anak di bawah umur dan kewajiban pemberian nafkah terhadap anak di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian, sehingga penulisan skripsi ini adalah asli.

HAK PEMELIHARAAN DAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DI KOTA BINJAI (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai) yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif ilmiah, melalui pemikiran referensi, dari buku-buku, bantuan dan para narasumber dari pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.


(22)

E. Tinjauan Kepustakaan

Pada prinsipnya perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material. Karena itu Undang-undang juga menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

Menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian atau perceraian dan atas keputusan hakim.12

12

Lihat Pasal 38 Undang-undang Nomor1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Selanjutnya dalam Pasal 39 undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dan diatur juga dalam Pasal 65 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, persoalan tidak begitu saja selesai, akan tetapi timbul akibat-akibat hukum yang perlu dipatuhi oleh pihak-pihak yang bercerai. Malahan perceraian yang terputus akibat meninggalnya salah satu pihak juga membawa akibat-akibat bagi yang ditinggalkan. Akibat hukum yang timbul dari perceraian tidak hanya terhadap pihak-pihak yaitu suami istri, akan tetapi juga terhadap anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut.


(23)

Akibat hukum dari perceraian yang pada umumnya sering timbul adalah tentang hadhanah.13 Apabila anak sudah mumayyiz (berumur 12 tahun) hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah di antara kedua orangtuanya yang lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik anak tersebut.14 Selain persoalan hadhanah, akibat hukum perceraian juga berkaitan dengan biaya hadhanah dan biaya nafkah anak tersebut dan harta sarikah (harta bersama).15

a. baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak ; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan memberi keputusannya.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41 disebutkan :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tesebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Anak adalah putra-putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.16

13

Hadhanah berasal dari kata “hidhan” yang artinya lambung. Para ahli Fiqh mendefinisikan hadhanah ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (berumur 12 tahun). Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa oleh Moh. Thalib, Bandung : Al-Ma’arif, 1990, hlm. 42-43.

14

M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan : Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1993, hlm. 12.

15

Harta bersama adalah harta benda dan kekayaan yang diperoleh pasangan suami istri dari saat berlangsungnya perkawinan, ibid, hlm. 133.

16

Darwan Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam ,(Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 80.


(24)

perhatian dalam tulisan ini adalah pengertian anak dalam hukum keperdataan yang dihubungkan dengan akibat adanya perceraian kedua orangtuanya.

Pengertian anak dalam bidang hukum perdata tidak diatur secara eksplisit, namun pengertian anak selalu dikaitkan dengan pengertian tentang kedewasaan. Sedangkan dalam masalah batas kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perUndang-undangan. Dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya.17

17

Lihat Pasal 330 KUHPerdata

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak langsung mengatur mengenai usia sampai kapan seseorang digolongkan sebagai seorang anak, bahkan Undang-undang membedakan usia dewasa yang dikaitkan kepada perbuatan hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat tentang syarat perkawinan, “ Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua”. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) memuat batas usia minimum untuk dapat melangsungkan perkawinan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Di sisi lain Pasal 47 ayat (1) menyatakan, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.


(25)

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.18 Sedangkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, menyatakan : “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun dan belum pernah kawin”.19

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan, “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”. Kemudian Kompilasi Hukum Islam membedakan anak yang belum dewasa, antara yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) dan yang telah mumayyiz.20

18

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 19

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak 20

Lihat Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam

Dari berbagai peraturan yang telah dikemukakan di atas, batas umur anak yang belum dewasa itu ada 2 (dua) batasan umur yaitu 18 (delapan belas) tahun dan 21 (dua puluh satu) tahun. Hal ini tergantung kepada tindakan atau perbuatan hukum yang terjadi padanya.

Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan (hadhanah) dan nafkah hidup dari orangtuanya sekalipun telah terjadi perceraian.


(26)

Pemeliharaan menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan, perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.21

Menurut Abdul Aziz Dahlan, “Hadhanah ini berarti di samping atau berada di bawah ketiak. Sedangkan secara terminologisnya merawat dan mendidik seseorang yang belum mummayiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluan sendiri”.

22

Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara yang buruk dan baik) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa,

23

Nafkah berarti belanja, kebutuhan pokok yang maksudnya adalah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.24 Nafkah adalah hak dari orang yang mempunyainya, dan hak itu harus dipenuhi oleh orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.

Apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak dan kewajiban pemberian nafkah terhadap anak tetap menjadi tanggung jawab orangtua sesuai keputusan pengadilan.

21

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 848

22

Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam., (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hlm. 415

23

Sayyid Sabiq, Op.cit. hal. 160 24

Iman Jauhari (1), Hak Anak-Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003), hlm. 84.


(27)

F. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah dikaji dengan menggunakan metode penulisan hukum normative dan empiris serta perbandingan hukum. Bahan kepustakaan dalam skripsi ini dijadikan sebagai bahan utama dalam membahas dan menganalisa berbagai permasalahan yang diteliti, sedangkan data lapangan yang diperoleh melalui wawancara, akan dijadikan sebagai data pendukung dan pelengkap saja.25

1. bahan hukum primer berupa perUndang-undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak seperti kitab-kitab fikih, Kompilasi Hukum Islam (KHI), KUHPerdata dan Putusan Pengadilan Agama di wilayah hukum Kotamadya Binjai.

Bahan kepustakaan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

2. bahan hukum skunder, berupa hasil-hasil penelitian dari para ulama dan kalangan hukum seperti tesis, makalah-makalah dan lain-lain

3. bahan huku m tertier, berupa kamus umum.

Penulisan skripsi ini juga dikaji berdasarkan hukum empiris, yakni berdasarkan fakta-fakta hukum secara nyata yang berkenaan dengan pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama di Wilayah Hukum Kotamadya Binjai tentang hak pemeliharaan dan tanggung jawab nafkah anak setelah terjadinya perceraian.

25

Data lapangan dijadikan sebagai pelengkap dapat dilihat dalam disertasi Aqib Suminto, 1985, Politik Islam Hinda Belanda, LP3ES, 1985,hlm. 4-11, Bandingkan dengan Moh. Mahtud, MD, 1993, Perkembangan Politik Hukum, Studi Tentang Hukum Indonesia, Ringkasan Disertasi, Yogyakarta, UGM, hlm. 9


(28)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

2. Bab Kedua, merupakan bab yang berisi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tentang Kewajiban Orangtua Atas Pemeliharaan dan Nafkah Anak Setelah Perceraian. Bab ini terdiri dari beberapa subbab, seperti Pengertian, Konsep dan Ketentuan tentang Anak, Pemeliharaan dan Nafkah Menurut Hukum, Kewajiban Orangtua Atas Pemeliharaan dan Nafkah Anak Setelah Perceraian Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Berdasarkan Hukum Islam, dan Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Bab Ketiga, merupakan bab yang berisi tentang Sikap Hakim Dalam Putusan Perkara Tentang Kewajiban Pemeliharaan dan Nafkah Anak. Bab ini terdiri dari beberapa subbab yaitu antara lain Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan Nafkah Anak di Pengadilan Agama Binjai Jika Terjadi Perceraian,


(29)

Beberapa Putusan Pengadilan Agama Binjai, Dasar Pertimbangan Putusan Pengadilan Agama Binjai, dan Analisis Terhadap Eksekusi Putusan Pengadilan Agama Tentang Pemeliharaan dan Nafkah Anak.

4. Bab Keempat, merupakan bab yang menjelaskan tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tentang Pemeliharaan dan Nafkah Anak. Untuk mendukung pembahasan bab ini dibagi lagi atas beberapa subbab yang meliputi Faktor-Faktor Penyebab Tidak Dilaksanakannya Putusan Pengadilan Agama Yang Mewajibkan Orangtua Untuk Memelihara dan Membiayai Anaknya Setelah Perceraian, Hal-Hal Yang Menyebabkan Kesulitan Dalam Melaksanakan Putusan Pengadilan Yang Telah Mewajibkan Orangtua Untuk Memelihara dan Membiayai Anaknya Setelah Perceraian, dan Upaya Yang Dapat Dilakukan Apabila Orangtua Tidak Memenuhi Kewajibannya Sesuai Putusan Pengadilan.

5. Bab Kelima, merupakan bab Penutup yang berisi tentang: Kesimpulan terhadap penulisan skripsi dan Saran-saran terhadap tanggung jawab perlindungan orangtua kepada anak setelah terjadi perceraian.


(30)

BAB II

PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN ORANGTUA ATAS PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK SETELAH

PERCERAIAN

A. Pengertian, Konsep dan Ketentuan tentang Anak, Pemeliharaan, dan Nafkah Menurut Hukum

Pengertian anak dalam bidang Hukum Perdata tidak diatur secara eksplisit, namun pengertian tentang anak selalu dikaitkan dengan pengertian tentang kedewasaan sedangkan dalam masalah batas kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut dengan KUHPerdata), hal ini diatur dalam Pasal 330 yang berbunyi, “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin”.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak langsung mengatur mengenai ukuran kapan seseorang digolongkan anak, tetapi secara tersirat dalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat tentang syarat perkawinan bagi seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orangtuanya. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor1 Tahun 1974 tersebut memuat batas minimum usia untuk dapat kawin, yaitu bagi pria adalah 19 tahun sedangkan bagi perempuan adalah 16 tahun.26

26

Lihat Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Di sisi lain, Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan, “ Anak yang belum


(31)

mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orangtuanya”.

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyebutkan, “ batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.

Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraaan Anak, yang dimaksudkan dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, yang dimaksudkan dengan Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.

Menurut Hukum Adat, tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dianggap dewasa dan berwenang bertindak. Menurut penelitian Supomo tentang hukum perdata adat Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi:

1. dapat bekerja sendiri

2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab


(32)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata seperti misalnya ciri-ciri yang dikemukakan di atas.

Setiap anak mempunyai hak yang sama dalam pemeliharaan dari orangtuanya. Pemeliharaan menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan, perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.27

Dalam Hukum Islam pemeliharaan anak disebut dengan al hadhinah yang dalam pengertian istilah hadhanah adalah ”pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya”.28

Al-Hadhânah berasal dari kata hadhana– yahdhunu–hadhnan wa hidhânah wa hadhânah. Secara bahasa hadhânah memiliki dua arti pokok. Pertama dari al-hidhnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan pinggang. Dari sini jika dikatakan, Ihtadhana al-walad, artinya mendekapnya, yaitu merengkuh dan meletakkannya di dalam dekapan (pelukannya). Kedua, al-hidhnu adalah jânib asy-syay’i (sisi sesuatu). Jika dikatakan, Ihtadhana asy-syay’a, artinya meletakkan sesuatu itu di sisinya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari pihak lain. Hal itu seperti seekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya sehingga telur itu berada di sisinya dan di bawah pemeliharaannya.29

27

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, loc.cit 28

Ash Sha’ani, Subulus Salam, (Surabaya : Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, Al Ilkhlas, 1995), hlm. 819

29


(33)

Pengertian lain dari hadhanah adalah di samping atau berada dibawah ketiak. Merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa mengerjakan keperluan sendiri.

Dr. Sa’di Abu Habib mengartikan al-hadhânah sebagai perwalian atas anak-anak untuk mendidik dan mengatur urusan-urusannya. Al-Jurjani, Ibn ‘Abidin dan Prof. Rawas Qal’ah Ji mengartikan hadhânah sebagai tarbiyah al-walad (pemeliharaan dan pendidikan anak).30

Secara syar’i, menurut al-Anshari, al-hadhânah adalah tarbiyah anak-anak bagi orang yang memiliki hak pengasuhan. Menurut ulama Syafiiyah, al-hadhânah adalah tarbiyah atas anak kecil dengan apa yang menjadikannya baik. Menurut ulama Hanabilah, al-hadhânah adalah: menjaga jiwa anak-anak; membantu dan memenuhi makanan, pakaian dan tempat tidurnya; dan membersihkan badannya. Dr. Sa’di Abu Habib memilih definisi syar’i al-hadhânah dengan batasan: pemeliharaan dan pendidikan siapa saja yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, dengan apa yang bisa menjadikannya baik dan melindunginya dari apa saja yang membahayakannya, meski orang itu sudah besar tapi gila.

31

Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal dan kecerdasan berpikirnya. Atau dengan perkataan lain, hadhanah ialah penguasaan, pemeliharaan, perawatan dan pendidikan anak yang di bawah umur, dimana hal

30

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/30/al-hadhanah-pengasuhan-anak/ 31


(34)

tersebut dapat dilakukan oleh bapak atau ibu, berlangsungnya sampai anak itu

mumayyiz (dapat membedakan baik-buruk).32

Hadhanah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kewajiban orangtua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.33

Mengenai pengertian nafkah berarti belanja, kebutuhan pokok yang maksudnya adalah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.34 Nafkah adalah hak dari orang yang mempunyainya, dan hak itu harus dipenuhi oleh orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.35

B. Berdasarkan Undang-undang Perkawinan

Orangtua wajib memelihara dan dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orangtua itu berlaku terus meskipun perkawinan antara orangtua putus karena perceraian.

Lahirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan cita-cita pembinaan hukum nasional, yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.

32

Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan

Bidangnya,(Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hlm. 31.

33

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998), hlm. 117. 34

Iman Jauhari (I), loc.cit. 35


(35)

Penjelasan umum Undang-undang ini menyebutkan, bahwa sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedang di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu pula Undang-undang ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan, sehingga dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “tidak ada perkawinan di luar masing-masing hukum agamanya dan kepercayannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, di samping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perUndang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2))”. Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.36

Menurut penjelasan Pasal 2 bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

37

Di dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena :38

36

H.M Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 104

37

Lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 38


(36)

1. kematian 2. perceraian

3. atas putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian yaitu dengan matinya salah satu pihak dari suami atau istri. Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan suatu perkawinan atau karena perceraian.

Berdasarkan Pasal 39 dan 40 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa salah satu prinsip dari Undang-undang Perkawinan ini adalah Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Sesuai dengan prinsip mempersukar terjadinya perceraian tersebut maka Pasal 39 ayat (1) memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 40 ayat (1) memuat ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.

Yang dimaksud dengan pengadilan di sini ialah Pengadilan Agama bagi yang bergama Islam dan Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) bagi lainnya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 63 ayat (1) dan (2).

Pasal 39 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Sedang tata cara perceraian di depan sidang pengadilan itu, dan tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan itu, menurut Pasal 39 ayat (3) dan Pasal 40 ayat (2) diatur dalam peraturan perUndang-undangan tersendiri yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 14 sampai dengan 18 dan Pasal 20 sampai dengan 36.


(37)

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tersebut adalah :

1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar ditentukan.

2. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

4. salah satu pihak mendapat cacad badan, atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri

5. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berta yang membahayakan terhadap pihak lain

6. antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Jadi, berdasarkan alasan-alasan tersebut, seorang suami dapat mengajukan surat kepada Pangadilan Agama yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud akan menceraikan istrinya, dan dia sendiri yang melakukan perceraian tersebut dengan menjatuhkan thalaq di depan Sidang Pengadilan Agama. Karena itu seorang suami tidak dapat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama tetapi ia dapat mengajukan surat pemberitahuan ingin menceraikan istrinya.39

Dengan demikian Pasal 38 sub (b) dan Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 14 sampai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah memberi kemungkinan kepada seorang suami yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam untuk menjatuhkan thalaq kepada istrinya. Hal ini berarti bahwa Undang-undang Perkawinan Nasional mengakui bahwa thalaq itu adalah hak suami, yang berarti sesuai pula dengan

39


(38)

hukum Islam. Hanya hak thalaq ini dapat dipergunakan di depan Sidang Pengadilan Agama, tidak seperi sebelumnya hak thalaq dapat dipergunakan di sembarang tempat .

Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan penjelasannya menentukan bahwa seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dan seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaaanya itu selain agama Islam, dapat mengajukan gugatan perceraian karena alasan-alasan yang tersebut pada pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 kepada pengadilan tempat kediaman tergugat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, atau tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka menurut ayat (2) dan (3) pasal ini, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat. Demikian juga dalam hal gugatan perceraian karena alasan perceraian yang tersebut pada sub (b) Pasal 19 (salah satu pihak meninggalkan yang lain), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 :

1. gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf (b), diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman penggugat.

2. gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

3. gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Gugatan perceraian karena alasan-atau alasan-alasan lain yang tersebut dalam Pasal 19 adalah seperti tersebut dalam Pasal 20, yaitu diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman tergugat.


(39)

Dengan demikian Pasal 38 sub (c) dan Pasal 40 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 20 sampai dengan 24 memungkinkan putusnya suatu perceraian dengan putusan pengadilan karena gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama yang diajukan oleh seorang istri dan gugatan kepada Pengadilan Negeri yang diajukan oleh seorang suami atau seorang istri.

Selama berlangsungnya gugatan tersebut atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapat memberi izin kepada suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Juga selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, berdasarkan ayat (2) pasal ini, pengadilan dapat :

1. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami

2. menentukan hak-hak yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak

3. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Putusnya perkawinan atau terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Mengenai hubungan suami istri adalah sudah jelas bahwa akibat pokok dari perceraian perkawinan, persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin kembali sepanjang ketentuan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam perceraian perkawinan ketentuan hukum agama islam usaha rujuk seorang suami kepada istrinya dapat dilakukan. Akan tetapi, menurut Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau


(40)

menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Kewajiban dan/atau menentukan sesuatu kewajiban ini tentu berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Mengenai anak, berdasarkan Pasal 41 ayat (1) dan (2) dapat diketahui bahwa akibat yuridis terhadap anak bila terjadi perceraian adalah :

1. baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.

Kemudian dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :

1. kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Pengadilan dapat pula memberi keputusan tentang siapa diantara mereka berdua yang menguasai anak yakni memelihara dan mendidiknya, apabila ada perselisihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga didasarkan kepada kepentingan anak.

Dalam Pasal 47 dinyatakan seperti berikut:

1. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2. orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.


(41)

Apabila orangtua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orangtua dapat dicabut dengan putusan pengadilan.

M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa :

Orangtua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orangtua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jai disebabkan karena dijatuh hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan kepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.40

Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam hal orangtua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. Jika berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan orangtua ini dapat saja dicabut, akan tetapi orangtua tidak dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :

1. salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal;

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. Ia berkelakuan sangat buruk sekali

2. meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.

40


(42)

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan anak akan diurus oleh seorang wali yang ditunjuk. “Ruang lingkup kekuasaan wali yang ditunjuk itu adalah sama dengan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orangtua dari anak tersebut, yaitu meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya”.41

1. membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.

Terhadap harta kekayaan si anak, wali mempunyai kewajiban :

2. mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya.

3. mempertanggungjawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dan kelalaian dan kesalahan wali.

4. dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah kekuasaan wali, kecuali apabila anak itu menghendakinya.42

Dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan:

1. Wali dapat dicabut dari kekuasannya,

2. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, pengadilan dapat menunjuk orang lain sebagai wali.

Akibat yuridis lainnya yang dapat timbul dari suatu perceraian adalah mengenai harta benda. Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Di samping ini ada yang disebut dengan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

41

Lihat Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 42


(43)

Karena itu Pasal 36 menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Menurut penjelasan Pasal 35, apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Dikaitkan dengan Pasal 37, putusnya perkawinan yang dimaksud adalah karena perceraian, yakni apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lain-lainnya.

C. Berdasarkan Hukum Islam

Perceraian ada karena adanya perkawinan, karena itu perkawinan adalah awal hidup bersama sebagai suami istri dan perceraian akhir hidup bersama suami istri.

Bahwa perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan terakhir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lain lagi kecuali hanya dengan perceraian antara suami istri. Atau dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way out pintu darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian itu.


(44)

Islam menetapkan hak thalaq itu berada di tangan suami. Penggunaan hak thalaq oleh suami dengan sewenang-wenang adalah suatu kerja yang boleh dimurkai Tuhan, demikian juga istri yang mendesak agar suaminya menceraikannya tanpa sebab yang membolehkan cerai adalah suatu kerja boleh yang tidak direstui Tuhan. Sebaliknya penggunaan hak thalaq oleh suami sebagai jalan terakhir atau permintaaan thalaq oleh istri oleh karena sebab yang dibolehkan hukum Islam adalah suatu kerja boleh bagi suami yang tidak dimurkai Tuhan atau suatu kerja boleh bagi sitri yang direstui oleh Tuhan sepanjang sesuai dengan ketentuan Hukum Islam.43

43

H.M Djamil Latif, op.cit, hlm. 31

Di Indonesia disamping suami dapat menggunakan hak thalaqnya untuk menceraikan istrinya tetapi tidak sedikit istri telah mempergunakan haknya untuk memperoleh cerai dari suaminya melalui lembaga ta’lik thalaq di depan Pengadilan Agama.

Putusnya perkawinan karena perceraian membawa akibat-akibat yang tidak sedikit bagi pasangan suami istri yang bercerai tersebut. Salah satunya adalah mengenai tanggung jawab orangtua terhadap anak-anak mereka pasca terjadinya perceraian. Kalau perceraian suami istri telah memasuki tingkat yang tidak mungkin dicabut kembali, maka yang menjadi persoalan adalah anak-anak di bawah umur, yakni anak yang belum berakal. Siapakah diantara suami istri tersebut yang berhak memelihara dan mengasuh anak tersebut, yang dalam istilah hukum Islam disebut hak hadhanah.


(45)

Keempat Imam Mazhab (Imam Syafe’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi) sepakat bahwa ibunyalah yang berhak memelihara dan mengasuh (hadhanah) anak-anak yang di bawah umur itu. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas hak hadhanah ibu itu sampai umur anak berapa tahun.

Menurut Syafe’i, “ ibu berhak sebelum anak itu berumur tujuh tahun”, 44) baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Tapi Maliki, Hambali dan Hanafi membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Menurut Maliki, “ anak laki-laki sebelum baligh dan anak perempuan sebelum kawin dan telah dicampuri oleh suaminya,” 45), Hambali, “ anak laki-laki sebelum berumur tujuh tahun,” 46

Hadis Nabi : “Engkaulah yang lebih berhak memelihara dan mengasuh anak sebelum engkau bersuamikan orang lain,”

), demikian juga Hanafi. Dan dengan berakhirnya hak hadhanah ibu, maka anak tersebut bebas memilih sendiri di mana ia suka tinggal, pada ibunya atau ayahnya.

47

44

Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Rumah Tangga, (Medan : Pustaka Maju), hlm. 40 45

Ibid, hlm.40 46

Ibid, hlm.40 47

H.M Djamil Latif , op.cit, hlm. 82 Lihat Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, Subuluis

Salam, Maktabah Sulaiman Mar’iy, Singapura, 1379 H-1960 M, Juz III, hlm. 192

) adalah sebagai dalil bahwa ibu lebih berhak dari ayah atas hadhanah si anak jika ada sengketa tentang hak tersebut. Hal ini justru karena Nabi melihat kemaslahatan si anak. Karena itu anak boleh saja diserahkan kepada ibu walaupun si ibu sudah bersuamikan orang lain bila nyata bahwa kemaslahatan si anak tidak terganggu karena ibunya bersuamikan orang lain itu. Kalau kemaslahatan anak terganggu karena ibunya bersuamikan orang lain maka ayahnya lebih patut memelihara anak itu. Jadi ibu lebih berhak memelihara anak selama hakim masih memandang belum ada sebab yang menyebabkan si ayah lebih patut memelihara dan mengasuh anak tersebut.


(46)

Walaupun anak itu dipelihara dan diasuh oleh ibunya, biaya pemeliharaan dan pendidikan menjadi tanggungan ayahnya. “ Semua Ulama sepakat bahwa nafkah, kiswah (pakaian) untuk seorang anak dari lahir hingga sampai umur ditanggung oleh ayahnya”.48

Dalam harta kekayaan yang terpisah, masing-masing dari suami istri berhak dan berwenang atas harta kekayaannya masing-masing. Suami tidak berhak atas harta istrinya, karena kekuasaan istri terhadap hartanya tetap ada dan tidak berkurang sebab perkawinan. Suami tidak boleh mempergunakan harta istri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izinnya. Bahkan harta ini yang dipergunakan untuk membelanjai rumah tangga menjadi hutang atas suami dan suami wajib membayar kepada istrinya, kecuali jika istri mau membebaskannya. Sebaliknya istri dapat mempergunakan harta suaminya dengan izin Hakim,

Akibat-akibat lain yang dapat timbul dari adanya suatu perceraian menurut hukum Islam adalah persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, terlebih pada perceraian yang telah memasuki tingkat tidak mungkin dicabut kembali (thalaq bai’in), tetapi mereka boleh kawin kembali, asal saja belum lebih dari dua pernyataan thalaq.

Mengenai akibat perceraian terhadap harta benda, jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta sirkah, yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri. Karena itu dalam Islam ada harta suami istri yang terpisah (tidak bercampur) dan harta kekayaan tidak terpisah (yang bercampur).

48


(47)

seandainya tidak membelanjakannya.49

D. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Dalam harta kekayaaan yang tidak terpisah (harta syirkah) yang merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami istri selama perkawinan, menjadi milik bersama dari suami istri untuk kepentingan bersama. Karena itu apabila ikatan perkawinan putus, maka harta ini yang dibagi antara suami istri.

Perceraian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan putusnya suatu perkawinan dengan putusan Hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang sah yang disebut dalam undang-undang ini.

Dalam hal suami istri tidak dapat hidup bersama lagi, Pasal 233 KUHPerdata, memberi kemungkinan kepada mereka untuk menuntut perpisahan meja dan ranjang (echscheiding van tavel en bed). Penuntutan perpisahan meja dan ranjang ini dapat juga dilakukan atas sepakat suami istri dengan syarat bahwa perkawinannya telah berlangsung selama dua tahun (Pasal 236 KUHPerdata), sedang kata sepakat suami istri untuk bercerai dilarang (Pasal 208 KUHPerdata). Cara ini baik, karena kesempatan untuk berdamai kembali selalu masih terbuka dan kedua belah pihak msaih terikat oleh perkawinan. Keadaan ini hampir sama dengan thalaq yang dapat dicabut kembali (thalaq raj’i) dalam Hukum Islam, karena ada kemungkinan rujuk selama masih dalam ‘iddah dan perkawinan belum putus sebelum habis ‘iddah.

49


(48)

Perpisahan meja dan ranjang ini mempunyai akibat bahwa suami istri dibebaskan dari kewajiban untuk bertempat tinggal bersama sedang perkawinan antara suami istri tidak dibubarkan (Pasal 242 KUHPerdata). Kecuali itu mengakibatkan juga perpisahan harta kekayaan antara suami dan istri (Pasal 243 KUHPerdata), karenanya pengusahaan suami atas harta kekayaan istri dipertangguhkan dan istri berkuasa mengurus sendiri harta kekayaannya, karena ia telah mempunyai kebebasannya terhadap harta kekayaannya (Pasal 244 KUHPerdata).

Apabila perpisahan meja dan ranjang ini sudah berlangsung lima tahun, maka menurut Pasal 200 KUHPerdata salah satu pihak boleh memohon kepada Hakim supaya perkawinan itu diputus dengan perceraian. Menurut Pasal 201 KUHPerdata permohonan tersebut harus ditolak apabila pihak yang lain tidak menghadap di muka sidang meskipun sudah dipanggil secara sah sebanyak tiga kali dalam tiga bulan.

Setelah terjadinya perceraian menurut Pasal 225 KUHPerdata, apabila pihak suami atau istri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tidak mempunyai penghasilan yang cukup guna membelanjai nafkahnya, maka Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak lain.

Terhadap anak-anak yang belum dewasa, menurut Pasal 229 KUHPerdata, oleh Pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami dan bekas istri anak-anak itu harus turut. Apabila yang diserahi anak itu tidak mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230


(49)

KUHPerdata, Hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus diberikan oleh pihak lain untuk turut membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak tadi.

Dalam hal kekuasaan orangtua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dalam Pasal 300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi pelepasan dan atau berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Selanjutnya ditentukan bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orangtua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359.

Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena ada kekhawatiran bahwa tidak ada persesuian antara ayah dan ibu dalam hal kekuasaan orangtua, sehingga pihak ketiga, hakimlah yang harus turut campur.50

50

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,


(50)

BAB III

SIKAP HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA TENTANG KEWAJIBAN PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK

A. Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan Nafkah Anak di Pengadilan Agama Binjai Jika Terjadi Perceraian

Pengadilan Agama Binjai merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970). Kewenangan Peradilan Agama yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, menyatakan, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama Islam dalam bidang : a). perkawinan, b). kewarisan, c).wasiat, d).hibah, e).wakaf, f). zakat, g).infaq, h).shaddaqah, dan i).ekonomi syari’ah”.

Pengadilan Agama Binjai sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan Agama Binjai bertindak sebagai peradilan sehari-hari menerima dan memutus atau mengadili segala perkara sesuai dengan kewenangannya yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Semua jenis perkara harus terlebih dahulu melalui Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua jenis perkara yang diajukan, Pengadilan Agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.


(51)

Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, yang menyatakan, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memerisa dan memutusnya”.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pejabat Pengadilan Agama Binjai diketahui apabila terjadi perceraian antara suami istri maka biasanya anak akan mengikuti ibu (bekas Istri).

Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan tuntutan terhadap bapak (bekas suami) apabila bekas suaminya tidak memenuhi kewajibannya dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.

Tuntutan yang dilakukan oleh ibu (bekas istri) tidak hanya mengenai pemenuhan terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut masalah pemeliharaan anak. Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam beberapa putusan yang menyangkut masalah hadhanah (pemeliharaan anak), maka setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut dengan ibunya, maka bekas suaminya akan diberikan hukuman (kewajiban) untuk memberikan nafkah dan biaya pendidikan dan pemeliharaan anak tersebut.

Pengadilan Agama Binjai dalam menyelesaikan kasus-kasus hadhanah dan tanggung jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani


(52)

tanggung jawab untuk memenuhi segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.

Dari data yang diperoleh pada Pengadilan Agama Binjai, perkara pemeliharaan anak yang diajukan oleh istri sebagai ibu dari anaknya agar ia ditetapkan sebagai pemegang hak pemeliharaan terhadap anaknya yang belum mumayyiz. Penyelesaian perkara tersebut oleh istri untuk menggugat suaminya ke Pengadilan Agama Binjai dilakukan melalui dua cara, pertama diajukan dalam bentuk rekonvensi dalam perkara permohonan ikrar talak yang diajukan oleh suami terhadap istrinya, dan kedua diajukan oleh istri dengan menggabungkan (komulasi) dengan perkara gugatan cerai oleh istri kepada suaminya.51

1. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya

Menurut ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, bahwa batasan umur anak dianggap mumayyiz adalah 12 (duabelas) tahun, sesuai ketentuan bahwa dalam hal terjadinya perceraian :

2. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

Masalah hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan, oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah mempunyai kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, diantaranya :

1. berakal sehat, orang yang tidak sehat akalnya tidak diperkenankan merawat anak,

2. sudah dewasa, anak kecil tidak diperkenankan menjadi hadhanah sebab ia sendiri masih membutuhkan perawatan orang lain

51


(53)

3. mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karenanya orang yang rabun matanya atau tuna netra, punya penyakit menular, usia lanjut dan mempunyai tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kerabat anak kecil itu sendiri dilarang menjadi orang ynag melaksanakan hadhanah.

4. amanah dan berbudi luhur, orang yang curang tidak aman bagi anak yang diasuhnya, bukan tidak jarang seoranga ank meniru orang yang curang dalam hidupnya.

5. beragama Islam, para ulama Mazhab berbeda tentang ini, mazhab Imamiyah dan Syafe’I tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh anak-anak yang bergama Islam, sedangkan mazhab lain tidak mensyaratkan hal itu. Demikian juga para ahli Hukum Islam di kalangan Hanafi berpendapat bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki pengasuh menggugurkan hak asuhnya.

6. ibunya belum kawin lagi, jika ibu si anak yang diasuh itu kawin dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.

7. merdeka atau bukan budak. Seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkannya.52

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu, orang tuanya melalaikan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun social. Setiap anak yang belum dewasa, mempunyai hak untuk dipelihara secara baik. Mereka memerlukan pengawasan, penjagaan, bimbingan, arahan serta pendidikan dari orangtua atau pihak lain apabila orangtua sudah tidak ada lagi.

Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu pada Pasal 1 ayat (15) menyebutkan bahwa anak korban perlakuan salah dan penelantaran berhak atas perlindungan khusus. Oleh karena itu anak korban perceraian termasuk anak bermasalah harus mendapat perlindungan khusus.

52

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 80


(54)

Kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 41 menyebutkan :

1. baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.

2. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat mentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak juga diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26, sebagai berikut :

1. orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak

b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

2. dalam hal orangtua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Seperti yang diketahui sifat daripada suatu Undang-undang bersifat secara universal dan unifikasi, artinya Undang-undang tersebut berlaku terhadap seluruh penduduk Republik Indonesia, meskipun di dalam sistem Hukum Perdata masih dibedakan golongan-golongan penduduk Indonesia. Tetapi produk dari suatu Undang-undang Indonesia setelah merdeka berlaku secara nasional, tidak adanya penggolongan penduduk tertentu, seperti golongan Bumi Putera, golongan Timur Asing. Oleh karena itu setiap Warga Negara Indonesia harus tunduk terhadap ketentuan Perundang-undangan tersebut seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26.


(55)

Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya ketentuan Undang-undang. Sepanjang orangtua yang telah bercerai dengan sadar dan beritikad baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataanya walaupun telah ada putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya di belakang hari ayah tersebut tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk mengoptimalkan perlindungan anak pasca perceraian orangtua, yang terutama sekali dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekusaan orangtua yang bersifat tunggal, serta menegaskan sanksi bagi ayah yang melalaikan kewajiban membiayai pemeliharaan anaknya. Kalau ibu yang telah diserahi hak pemeliharaan anak ternyata melalaikan kewajibannya maka hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui permohonan dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan Agama.53

53

Berdasarkan hasil penelitian pada Pengadilan Agama Binjai

Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan social dan kesejahteraan yang lebih baik.


(1)

ada hal-hal yang dilihat dapat menggugurkan hak ibu tersebut sebagai pemegang hadhanah. Selanjutnya, dalam menentukan kewajiban orangtua laki-laki dalam membiayai nafkah anak setelah terjadinya perceraian dapat dilihat dari kemampuan ekonomi orangtua laki-laki yang berkaitan dengan pekerjaan, gaji dan tanggungan lainnya dari orangtua laki-laki yang bersangkutan. Selain itu juga dilihat dari kemampuan orangtua laki-laki tersebut secaara fisik dalam mencari nafkah. Oleh karenanya dalam memutus setiap perkara yang menyangkut biaya nafkah, Majelis Hakim Pengadilan Agama Binjai dalam mempertimbangkan dan meutus dilihat secara kasuistis.

4. Bahwa berdasarkan hasil penelitian yang lebih sering tidak melaksanakan Putusan Pengadilan Agama tentang tanggung jawab terhadap anak setelah perceraian adalah orangtua laki-laki. Meskipun dalam Putusan Pengadilan Agama ada diputus mengenai biaya nafkah anak akan tetapi tidak semua orangtua laki-laki mematuhi isi putusan yang menghukumnya Factor-faktor penyebabnya adalah factor ekonomi, orangtua telah menikah lagi, factor psikologis dan factor orangtua perempuan mampu untuk membiayai nafkah anak. Dan hal-hal yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan atas perceraian yang mewajibkan untuk membiayai pemeliharaan anaknya yaitu belum adanya peraturan yang menegaskan sanksi/hukum bagi ayah yang melalaikan kewajibannya membiayai pemeliharaan anak pasca perceraian.


(2)

5. Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh seorang bekas istri apabila bekas suaminya melalaikan kewajibannya membiayai pemeliharaan anak adalah mengajukan permohonan eksekusi pembayaran biaya nafkah anak kepada Pengadilan Agama untuk memaksa bekas suaminya tersbeut untuk memberikan biaya nafkah anak. Dan mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam hal hak pemeliharaan anak, apabila orangtua yang memelihara anaknya dinyatakan dalam Putusan Pengadilan Agama tidak berhak mengasuhnya dan diwajibkan untuk menyerahkan kepada orangtuanya yang lain yang berhak memeliharanya. Tata cara pelaksanaan putusan pemeliharaan anak adalah dengan melakukan pemaksaan terhadap pihak yang tidak berwenang memelihara anaknya dan mengambil secara baik anak tersebut untuk diserahkan kepada pihak yang berhak.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian harus tetap terjamin karena masa depan anak masih sangat panjang, oleh karenanya Pengadilan Agama yang memutus perkara perceraian harus mempertimbangkan dengan matang tentang biaya nafkah anak yang dimohonkan. Kondisi ekonomi orangtua laki-laki yang sering menjadi pertimbangan dalam memutus, memang tetap harus dipertimbangkan, akan tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak mengabulkan sama sekali permohonan tersebut sebab ke masa depan tidak


(3)

ada yang dapat menjamin bahwa orangtua laki-laki tersebut akan tetap dalam keadaan tidak mapu secara ekonomi. Oleh karenanya, mampu atau tidak mampu secara ekkonomi sebagai langkah awal untuk melindungi kepentingan anak, biaya nafkah anak harus tetap diputus oleh Pengadilan Agama. Demikian pula dalam hal pemeliharaan anak, Pengadilan Anak harus benar-benar memperhatikan dan mempertimbangkan apakah pihak diserahi hak hadhanah tersebut tidak memiliki sifat-sifat atau karakteristik yang dapat menggugurkan hak hadhanah yang ada padanya.

2. Bahwa apabila ternyata dalam proses perkara perceraian biaya nafkah anak tidak dimintakan oleh orangtua perempuan maka Hakim Pengadilan Agama seyogyanya memberikan saran dan pengarahan kepada orangtua perempuan tersebut untuk menuntut biaya nafkah anak. Begitu pula terhadap pemeliharaan anak, apabila dalam gugatan tidak ada dimintakan mengenai hak hadhanah sebaiknya diberikan pengarahan kepada ibu sebagai pemegang hak hadhanah terhadap anak yang belum mumayyiz agar mengajukan tuntutan sebagai pemegang hak hadhanah, karena memang anak yang belum mumayyiz masih sangat membutuhkan pengasuhan seorang ibu.

3. Mengenai biaya nafkah anak setelah terjadi perceraian kedua orangtuanya, diputus oleh Pengadilan Agama atau tidak, hal tersebut secara moral, hukum dan agama merupaka kewajiban orangtuanya. Oleh karenanya orangtua laki-laki dalam hal ini sudah seyogyanya memberikan biaya nafkah anak meskipun tidak ada Putusan Pengadilan yang menghukumnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Ash-Sha’ani, 1998, Subulus Salam, Surabaya : Terjemahan Abubakar Muhammad, Jilid III, Al-Ikhlas.

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Pedoman Rumah Tangga, Medan : Pustaka Maju. Dahlan, Abdul Azis, 1999, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT.

Ikhtiar Baru Van Hoepe.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1955, Yurisprudensi Peradilan Agama dan Analisa, Jakarta : Yayasan Al-Hikmah. Hamid, Andi Thahir, 1996, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama

dan Bidangnya, Jakarta : Sinar Grafika.

Harahap, M.Yahya, 1986, Hukum Perkawinan Nasional, Medan : CV. Rajawali.

Jauhari, Iman, 2003, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Bangsa Press.

Latief, H.M. Djamil, 1985, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Manan, Abdul, 2001, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, Cetakan II.

____________, 2003, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka Bangsa Press.


(5)

Projodikoro, R.Wirjono, 1984, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Rafiq, Ahmad, 1998, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers. Sabbiq, Sayid, 1990, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa oleh Moh. Thalib, Bandung

: Al- Ma’arif.

Soimin, Soedaryo, 1992, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika.

Thaib, M.Hasballah, 1993, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan : Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa.

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

- Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

- Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

- Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

- Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.


(6)

- Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

- Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

- Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

TESIS :

Indrajaya Amran, 2003, Kewajiban Orangtua Laki-Laki Atas Biaya Nafkah Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Medan), Tesis Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Fransisca M.U Bangun, 2005, Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Medan), Tesis Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Syarifah Tifany, 2006, Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Binjai), Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

INTERNET :

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/30/al-hadhanah-pengasuhan-anak/ (Tanggal akses : 27 Februari 2010)


Dokumen yang terkait

PENETAPAN UANG NAFKAH SEBAGAI TUNJANGAN PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN

0 3 92

PENDAHULUAN Pelimpahan Hak Asuh Anak di bawah Umur Akibat Perceraian (studi kasus Pengadilan Agama Surakarta).

0 2 11

PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN Pelimpahan Hak Asuh Anak di bawah Umur Akibat Perceraian (studi kasus Pengadilan Agama Surakarta).

0 3 13

PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN Pelimpahan Hak Asuh Anak di bawah Umur Akibat Perceraian(studi kasus Pengadilan Agama Surakarta).

0 3 13

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN AKIBATNYA (Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur Perkawinan Di Bawah Umur Dan Akibatnya(Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar).

0 2 16

SKRIPSI Perkawinan Di Bawah Umur Dan Akibatnya(Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar).

0 1 14

PENDAHULUAN Perkawinan Di Bawah Umur Dan Akibatnya(Studi Putusan Perceraian pada Pasangan di Bawah Umur di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar).

0 3 16

HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SRAGEN).

0 1 15

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HAK ASUH ANAK (STUDI PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SURAKARTA NOMOR : 0536PDT.G2012PA.SKA.)

0 0 11

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012 1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 20

0 0 31