PENINGKATAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI STRATEGI PQ4R DAN BACAAN REFUTATION TEXT.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN PENGESAHAN ………... ii
PERNYATAAN ………. iii
KATA PENGANTAR ………. v
ABSTRAK ………. ix
ABSTRACT ………. x
DAFTAR ISI ………. xi
DAFTAR TABEL ………. xiii
DAFTAR GAMBAR ………. xxi
DAFTAR LAMPIRAN ………. xxiii
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
A. LatarBelakangMasalah ………... 1
B. MasalahPenelitian ………... 16
C. TujuanPenelitian ………... 17
D. ManfaatPenelitian ………... 18
E. DefinisiOperasionalIstilah ………. 19
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 27
A. PemahamanMatematis ……... 22
B. KomunikasiMatematis ………. 29
C. KemandirianBelajarMatematis ……… 36
D. Strategi PQ4R dalam Pembelajaran Matematika ……... 43
E. Pengembangan Bacaan Berbentuk Refutation Text …. 50 F. Teori Belajar Pendukung ……… … 56
G. Penelitian-penelitian yang Relevan ……… ... 59
H. HipotesisPenelitian……….. …. 65
BAB III METODE PENELITIAN ……… 70
A. DesainPenelitian ……… 70
B. SubyekPenelitian ……….. 71
C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... …. 73
D. Pengembangan Perangkat Pembelajaran ... …. . 87 E. Jadwal Penelitian... …. 90
(2)
iv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 95
A. Hasil Penelitian dan Analisis Data... …. 95
B. Analisis Data Pemahaman Matematis (PMS) ... ... 100
C. Analisis Data komunikasi Matematis Siswa(KMS) … 125 D. Analisis Data Kemandirian Belajar Siswa ... … 148
E. Asosiasi antara Kemampuan Pemahaman Matematis(PMS), Komunikasi Matematis (KMS), dan Kemandirian Belajar matematis siswa (KBS) 172 F. Perbandingan Kontribusi Pembelajaran SPRT TerhadapPeningkatanPemahaman Matematis Siswa (PMS) danKomunikasi Matematis Siswa (KMS) 183 G. Gambaran Kinerja Siswa dalam Memahami PMS dan KMS 187 H. PembahasanHasilPenelitian ……… 199
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 227 A. Kesimpulan ……….. 227
B. Implikasi ……….. 231
C. Rekomendasi ……….. 232
DAFTAR PUSTAKA ……….. 235
(3)
DAFTAR TABEL Halam an Tab el 3.1
Keterkaitan antara Variabel Kemampuan Pemahaman,
Kemampuan Komunikasi Matematis,
KemandirianBelajarSiswaserta Pendekatan Pembelajaran, Level Sekolah, dan Pengetahuan Awal Matematika
71
Tab el 3.2
Kriteria Pengelompokan Siswa Berdasarkan PAM 74
Tab el
Uji Q-Cochran tentang Validitas Muka Tes PAM 75 Tab
el
Uji Q-Cochran tentang Validitas Isi Tes PAM 75 Tab el 3.5 UjiHasilPertimbanganValiditasMukaTesKemampuanPemahama nMatematis 78 Tab el 3.6
UjiHasilPertimbanganValiditas Isi
TesKemampuanPemahamanMatematis
78
Tab el 3.7
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Muka Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
81
Tab el 3.8
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Isi Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
82
Tab el 3.9
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Muka LKS Dengan Strategi PQ4R
89
Tab el 3.10
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Isi LKS dengan Strategi PQ4R 89
Tab el 4.1
Deskripsi Data Pemahaman Awal Matematis (PAM) siswaBerdasarkan Pembelajaran dan Level Sekolah
95
Tab el 4.2
Deskripsi Data Pemahaman Awal Matematis (PAM) SiswaBerdasarkan Pembelajaran dan Level Sekolah
97
Tab el 4.3
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data PAMSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
99
Tab el 4.4
Uji Kesetaraan Data PAM Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
(4)
vi el
4.5
Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Level Sekolah, dan PAM Tab
el 4.6
Uji Normalitas Data N-Gain PMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran
105
Tab el 4.7
Uji Signifikansi Peningkatan PMS SiswaKedua Kelompok Pembelajaran
105
Tab el 4.8
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data N-Gain PMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran
106
Tab el 4.9
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan PMS antara Kedua Kelompok Pembelajaran
107
Tab el 4.10
Deskripsi Data PMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Level Sekolah
108
Tab el 4.11
Uji Normalitas Data N-Gain PMS siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Level Sekolah
109
Tab el 4.12
Uji Signifikansi Peningkatan PMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Level Sekolah
109
Tab el 4.13
Uji Homogenitas Varians Data N-Gain SPRTSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
110
Tab el 4.14
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan PMSSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
111
Tab el 4.15
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan PMS Siswa Ketiga Level SekolahSetelah Mendapat Pendekatan SPRT
112
Tab el 4.16
Deskripsi Data PMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Kategori PAM
113
Tab el 4.17
Uji Normalitas Data N-Gain PMS Siswa Kedua Pembelajaranuntuk Setiap Kategori PAM
115
Tab el 4.18
Uji Signifikansi Peningkatan PMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Kategori PAM
116
Tab el 4.19
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data N-Gain PMSSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori PAM
117
Tab el
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan PMSSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori PAM
(5)
4.20 Tab el 4.21
Uji Homogenitas Varians Data N-Gain PMS Siswa antar Kategori PAMSetelah Mendapat Pendekatan SPRT
119
Tab el 4.22
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan PMS Siswa antar Kategori PAM Setelah Mendapat Pendekatan SPRT
120
Tab el 4.23
Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan PMS Siswa Ditinjau dariInteraksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah
121
Tab el 4.24
Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah
122
Tab el 4.25
Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan PMS Siswa Ditinjau dari Interaksi antara Pembelajaran dengan PAM
123
Tab el 4.26
Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan PAMterhadap Peningkatan PMS
124
Tab el 4.27
Deskripsi Skor Komunikasi Matematis Siswa (KMS) Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Level Sekolah, dan PAM
126
Tab el 4.28
Uji Normalitas Data N-Gain KMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran
130
Tab el 4.29
Uji Signifikansi Peningkatan KMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran
131
Tab el 4.30
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data N-Gain KKM Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran
132
Tab el 4.31
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KMS Siswa antara Kedua Kelompok Pembelajaran
132
Tab el 4.32
Uji Normalitas Data N-Gain KMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Level Sekolah
133
Tab el 4.33
Uji Signifikansi Peningkatan KMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Level Sekolah
134
Tab el 4.34
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data N-Gain KMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
135
Tab el
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KMSSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
(6)
viii Tab
el 4.36
Uji Signifikansi Levene Perbedaan Peningkatan KMS Siswa Ketiga Level Sekolah Setelah Mendapat Pembelajaran SPRT
137
Tab el 4.37
Uji Normalitas Data N-Gain KMS Siswa Kedua Pembelajaranuntuk Setiap Kategori PAM
138
Tab el 4.38
Uji Signifikansi Peningkatan KMS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaranuntuk Setiap Kategori PAM
139
Tab el 4.39
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data N-Gain KMSSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori PAM
140
Tab el 4. 40
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KMSSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori PAM
141
Tab el 4.41
Uji Homogenitas Varians Data N-Gain KMS Siswa antar Kategori PAMSetelah Mendapat Pembelajaran SPRT
142
Tab el 4.42
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KMS Siswa antar Kategori PAM Setelah Mendapat Pembelajaran SPRT
143
Tab el 4. 43
Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan KMS Siswa Berdasarkan Interaksi Pembelajaran dengan Level Sekolah
144
Tab el 4. 44
Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah Terhadap Peningkatan KMS Siswa
145
Tab el 4.45
Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan KMS Siswa Berdasarkan Interaksi Pembelajaran dengan PAM
146
Tab el 4.46
Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan PAMterhadap peningkatan KMS Siswa
147
Tab el 4. 47
Deskripsi Skor Kemandirian Belajar Siswa (KBS) Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Level Sekolah, dan PAM
149
Tab el 4.48
Uji Normalitas Data N-Gain KBSKedua Kelompok Pembelajaran
153
Tab el 4.49
Uji Normalitas Data N-Gain KBSKedua Kelompok Pembelajaran
154
Tab el 4. 50
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data N-Gain KBS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran
(7)
Tab el 4. 51
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBSantara Kedua Kelompok Pembelajaran
155
Tab el 4.52
Deskripsi Data KBS Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
156
Tab el 4.53
Uji Normalitas Data N-Gain KBS Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
157
Tab el 4. 54
Uji Signifikansi Peningkatan KBS Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
158
Tab el 4. 55
Uji Homogenitas Varians Data N-Gain KBS Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
159
Tab el 4. 56
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBS Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah
160
Tab el 4.57
Uji Homogenitas Varians Data N-Gain KBSantar Level Sekolah Setelah Mendapat Pembelajaran SPRT
161
Tab el 4.58
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa antar Kategori Level Sekolah Setelah Mendapat Pembelajaran SPRT
162
Tab el 4. 59
Uji Normalitas Data N-Gain KBS Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori PAM
163
Tab el 4.60
Uji Signifikansi Peningkatan KBS pada Ketiga Kategori PAM 164
Tab el 4.61
Uji Homogenitas Varians Data N-Gain KBSSiswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori PAM
164
Tab el 4.62
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBS Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori PAM
165
Tab el 4.63
Uji Homogenitas Varians Data N-Gain KBSantar Kategori PAM Setelah Mendapat Pendekatan SPRT
166
Tab el 4.64
Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBSantar Kategori PAM Setelah Mendapat Pendekatan SPRT
167
Tab el 4.65
Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan KBSDitinjau dari Interaksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah
(8)
x Tab
el 4.66
Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah
terhadap peningkatan KBS
169
Tab el 4. 67
Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan KBSDitinjau dari Interaksi antara Pembelajaran dengan PAM
170
Tab el 4.68
Uji Perbedaan Peningkatan KBSDitinjau dari Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan PAM
171
Tab el 4.69
Klasifikasi Derajat Asosiasi 173
Tab el 4.70
Banyaknya Siswa Berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan Komunikasi Matematis
174
Tab el 4.71
Uji Pearson – Chi Kuadrat dan Koefisien Kontingensi berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan
Komunikasi Matematis Keseluruhan
175
Tab el 4.72
Banyaknya Siswa Berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan Komunikasi Matematis
176
Tab el 4.73
Uji Pearson – Chi Kuadrat dan Koefisien Kontingensi berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan
Komunikasi Matematis Kelas SPRT
176
Tab el 4.74
Banyaknya Siswa berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kemandirian BelajarSiswa dalam Matematika
178
Tab el 4.75
Uji Pearson – Chi Kuadrat dan Koefisien Kontingensi berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika Secara Keseluruhan
178
Tab el 4.76
Banyaknya Siswa Berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan Komunikasi Matematis Kelas SPRT
179
Tab el 4.77
Uji Pearson – Chi Kuadrat dan Koefisien Kontingensi berdasarkan Kemampuan Pemahaman Matematis dan
Komandiran Belajar Kelas SPRT
180
Tab el 4.78
Banyaknya Siswa berdasarkan Kemampuan Komunikasi Matematis
dan Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika
181
Tab el 4.79
Uji Pearson–Chi Kuadrat dan Koefisien Kontingensi berdasarkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika Secra Keseluruhan
181
Tab el
Banyaknya Siswa Berdasarkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Kelas SPRT
(9)
4.80 Tab el 4.81
Uji Pearson – Chi Kuadrat dan Koefisien Kontingensi berdasarkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan
Kemandiran Belajar Kelas SPRT
182
Tab el 4.82
Deskripsi Kontribusi Pembelajaran SPRT Terhadap Peningkatan PMS dan KMS Berdasarkan Level Sekolah
184
Tab el 4.83
Deskripsi Kontribusi Pembelajaran SPRT Terhadap Peningkatan PMS dan KMS Berdasarkan Pemahaman Awal Matematis (PAM)
186
Tab el 4.84
Rata-rata Skor Setiap Soal Kemampuan Pemahaman Matematis SiswaDitinjau dari Pendekatan Pembelajaran
191
Tab el 4.85
Rangkuman Kesulitan yang Dialami Siswa pada Tes PMS 193
Tab el 4.86
Rata-rata Skor Setiap Soal Kemampuan Komunikasi Matematis SiswaDitinjau dari Pendekatan Pembelajaran
196
Tab el 4. 87
(10)
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A BAHAN AJAR 246
Lampiran A-1 Rencana Pembelajaran (Contoh) 247
Lampiran A-2 Lembaran Kegiatan Siswa (LKS) 249
Lampiran A-3 Bacaan Refutation Text 273
Lampiran B INSTRUMEN PENELITIAN 324
Lampiran B-1 Kisi-kisiTesPemahamanMatematis 325
Lampiran B-2 Butir Tes Pemahaman Matematis 327
Lampiran B-3 Kisi-kisi Tes Komunikasi Matematis 330
Lampiran B-4 ButirTesKomunikasiMatematis 333
Lampiran B-5 Butir Soal Tes PAM 336
Lampiran B-6 Kisi-kisi Skala Kemandirian Belajar Matematika Siswa
340
Lampiran B-7 SkalaKemandirianBelajarSiswa 341
Lampiran C KUALITAS INSTRUMEN 347
Lampiran C-1 TES Pengetahuan Awal Matematis 347
Lampiran C-2 Tes Pemahaman Matematis 356
Lampiran C-3 TesKomunikasiMatematis 356
Lampiran C-4 SkalaKemandirianBelajarMatematikaSiswa 365
Lampiran D DATA HASIL PENELITIAN 371
Lampiran D-1 HasilTesdan Non TesKelas SPRT Sekolah Level Tinggi
371 Lampiran D-2 HasilTesdan Non TesKelas PKV Seolah Level
Tinggi
372 Lampiran D-3 HasilTesdan Non TesKelas SPRT Sekolah Level 373
(11)
Sedang
Lampiran D-4 HasilTesdan Non TesKelas PKV Sekolah Level Sedang
374 Lampiran D-5 HasilTesdan Non TesKelas SPRT Sekolah Level
Rendah
375 Lampiran D -6 HasilTesdan Non TesKelas PKV Sekolah Level
Rendah
376
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Siklus Kemandirian Belajar... 39
Gambar 3.1 Diagram Prosedur Pengambilan Sampel 72
Gambar 4.1 Diagram Batang Skor PAM Siswa Berdasarkan Pemelajaran dan Level Sekolah
100 Gambar 4.2 Diagram Batang PMS Berdasarkan Level Sekolah dan
Pembelajaran
108 Gambar 4.3 Diagram Batang Rata-rata PMS Kedua Kelompok
Pembelajaran Berdasarkan PAM
119 Gambar 4.4 Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan
Level Sekolahterhadap Peningkatan PMS siswa
127 Gambar 4.5 Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran
denganPAMterhadap Peningkatan PMS
129 Gambar 4.6 Diagram Batang KMS Siswa Berdasarkan Level
Sekolah dan Kelompok Pembelajaran
133 Gambar 4.7 Diagram Batang KMS Berdasarkan KAM dan
Pembelajaran
142 Gambar 4.8 Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan
Level Sekolah terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis
150
Gambar 4.9 Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan PAM terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis (KMS) siswa
153
Gambar 4.10 Diagram Batang Rerata KBS Berdasar Level Sekolah 156 Gambar 4.11 Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan
Level Sekolahterhadap Peningkatan KBS
(12)
xiv
Gambar 4.12 Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan PAMterhadap peningkatan KBS
(13)
BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Atas adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman matematis perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Atas.
Dalam NCTM 2000 disebutkan pula bahwa pemahaman matematis merupakan aspek yang sangat penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Siswa dalam belajar matematika harus disertai dengan pemahaman, hal ini merupakan visi dari belajar matematika. Dinyatakan pula dalam NCTM 2000 bahwa belajar tanpa pemahaman merupakan hal yang terjadi dan menjadi masalah sejak tahun 1930-an, sehingga belajar dengan pemahaman tersebut terus ditekankan dalam kurikulum.
Di samping itu pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui tindakan yang didasarkan pada pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan efektif. Siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan
(14)
sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada pemahaman matematika dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan berkomunikasi di dalam penerapannya.
Menurut Anderson et al. (2001), siswa dikatakan memiliki kemampuan pemahaman matematis jika siswa tersebut mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang timbul dalam pengajaran seperti komunikasi lisan, tulisan, dan grafik. Siswa dikatakan memahami suatu konsep matematika (masalah) antara lain ketika mereka membangun hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dan pengetahuan sebelumnya. Pemahaman terhadap suatu masalah merupakan bagian dari pemecahan masalah.
Berkaitan dengan pentingnya pemahaman dalam matematika, Sumarmo (2002) juga menyatakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kebutuhan masa kini yaitu pembelajaran matematika perlu diarahkan untuk pemahaman konsep dan prinsip matematika yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika, masalah dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian hasil pembelajaran belum mampu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Tim Jica (1999) menyimpulkan rendahnya kualitas pemahaman matematis siswa disebabkan oleh proses pembelajaran dimana guru terlalu berkonsentrasi pada latihan soal yang bersifat prosedural sehingga tidak memungkinkan siswa cepat memperoleh makna dari kegiatan pembelajaran. Selanjutnya rendahnya penguasaan materi matematika dapat dilihat pada rendahnya persentase jawaban benar para peserta Program for International Students Assessment (PISA) 2006 dan The Trends in International Mathematics
(15)
and Science Study (TIMSS) 2007. Pada hasil studi TIMSS 2007 untuk siswa kelas VIII, Indonesia menempati peringkat ke 36 dari 48 negara dalam matematika. Aspek yang dinilai dalam matematika adalah pengetahuan tentang fakta, prosedur, konsep, penerapan pengetahuan dan pemahaman konsep (Martin, et. al., 2008). Sementara itu, hasil tes PISA tahun 2006 tentang matematika, siswa Indonesia berada pada peringkat 52 dari 57 negara. Aspek yang dinilai dalam PISA adalah kemampuan pemahaman, pemecahan masalah (problem solving), kemampuan penalaran (reasoning), dan kemampuan komunikasi (communication) (PISA, 2006).
Hasil TIMSS dan PISA tersebut dapat dijadikan sebagai informasi bahwa masih banyak siswa yang tidak bisa menjawab materi ujian matematika yang berstandar internasional. Jika dilihat dari materi yang diujikan, materi tes yang diberikan merupakan soal-soal tidak rutin (masalah matematis yang membutuhkan kemampuan penalaran). Soal seperti itu belum dibiasakan pada siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah.
Selain kemampuan pemahaman matematis, kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication) dalam pembelajaran matematika juga sangat perlu untuk dikembangkan. Hal ini karena melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan. Di samping itu, siswa juga bisa memberikan respon yang tepat antar siswa dan media dalam proses pembelajaran.
Siswa yang sudah mempunyai kemampuan pemahaman matematis dituntut juga untuk bisa mengkomunikasikannya, agar pemahamannya tersebut
(16)
matematisnya kepada orang lain, seorang siswa bisa meningkatkan pemahaman matematisnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Huggins (1999) bahwa untuk meningkatkan pemahaman konseptual matematis, siswa bisa melakukannya dengan mengemukakan ide-ide matematisnya kepada orang lain.Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM,2000) yaitu belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication).
Perlunya kemampuan komunikasi matematik untuk ditumbuhkembangkan di kalangan siswa, dikemukakan oleh Baroody (1993), bahwa pembelajaran harus dapat membantu siswa mengkomunikasikan ide matematis melalui lima aspek komunikasi yaitu representing, listening, reading, discussing, dan writing. Selanjutnya disebutkan sedikitnya ada dua alasan penting, mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir ( a tool to aid thinking), alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga "an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and succinctly. Kedua, mathematics learning as social activity: artinya, sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, juga sebagai wahana interaksi antar siswa, dan juga komunikasi antara guru dan siswa. Hal ini merupakan bagian penting untuk "nurturing children's mathematical potential'.
Selanjutnya Greenes dan Schulman (1996) mengatakan bahwa komunikasi matematik merupakan: (1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep
(17)
dan strategi matematik; (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik; (3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai danmempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.
Mengembangkan kemampuan komunikasi matematis sejalan dengan paradigma baru pembelajaran matematika. Pada paradigma lama, guru lebih dominan dan hanya bersifat mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan para siswa dengan diam dan pasif menerima transfer pengetahuan dari guru tersebut. Namun pada paradigma baru pembelajaran matematika, guru merupakan manajer belajar dari masyarakat belajar di dalam kelas, guru mengkondisikan agar siswa aktif berkomunikasi dalam belajarnya. Guru membantu siswa untuk memahami ide-ide matematis secara benar serta meluruskan pemahaman siswa yang kurang tepat.
Namun demikian, mendesain pembelajaran sedemikian sehingga siswa mampu memahami komunikasi matematis tidaklah mudah. Dalam suatu penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMU terungkap bahwa siswa masih lemah dalam membuat model matematika terhadap informasi yang diberikan dalam soal.Kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan gagasan dengan simbol gambar, grafik, tabel dan media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah juga belum memberikan hasil yang memadai (Tandililing, dkk. 2005).
Menurut Irianto (2006) komunikasi matematis belum dikembangkan secara tegas terutama di SMP/SMU, padahal sebagaimana diungkapkan oleh
(18)
National Council of Teachers of' Mathematics (NCTM (1991), NCTM (2000), dan Standar Nasional Kemampuan Dasar SD sampai dengan SMU (2000)) bahwa komunikasi matematik merupakan salah satu kemampuan dasar yang perlu diupayakan peningkatannya sebagaimana kemampuan dasar lainnya, seperti kemampuan bernalar, kemampuan pemahaman matematis, komunikasi matematis, dan pemecahan masalah.
Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa berbagai pendekatan, gagasan atau inovasi dalam dunia pendidikan matematika yang sampai saat ini yang diterapkan secara luas ternyata belum bisa memberikan perubahan positif yang berarti, baik dalam proses pembelajaran matematika di sekolah maupun dalam meningkatkan mutu pendidikan matematika pada umumnya. Tidak sedikit pula para guru yang masih menganut paradigma transfer of knowledge dalam pembelajaran matematika masa kini. Paradigma ini beranggapan bahwa siswa merupakan objek atau sasaran belajar, sehingga dalam proses pembelajaran berbagai usaha lebih banyak dilakukan oleh guru, mulai dari mencari, mengumpulkan, memecahkan, dan menyampaikan informasi ditujukan agar peserta didik memperoleh pengetahuan.Fenomena seperti ini mengindikasikan bahwa bagian terbesar dari matematika yang dipelajari siswa di sekolah tidak diperoleh melalui eksplorasi matematika tetapi melalui pemberitahuan. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan demikian, bahwa kondisi pembelajaran yang berlangsung dalam kelas membuat siswa pasif .
Komentar tentang kondisi persekolahan juga datang dari berbagai praktisi yang umumnya mengemukakan bahwa merosotnya pemahaman matematis dan
(19)
komunikasi matematis siswa di kelas antara lain (Sullivan & Mousley, 1996) mengatakan: (a) dalam mengajar guru sering mencontohkan pada siswa bagaimana menyelesaikan soal dan (b) siswa belajar dengan cara mendengar dan menonton guru melakukan proses pembelajaran matematik, kemudian guru mencoba memecahkan soal sendiri dengan satu cara penyelesaian, dan memberi soal latihan atau product oriented education. Brooks & Brooks (1999) menamakan pembelajaran seperti ini sebagai konvensional, karena suasana kelas masih didominasi guru dan titik berat pembelajaran ada pada keterampilan dasar. Pembelajaran konvensional atau mekanistik ini menekankan pada latihan mengerjakan soal atau drill dengan mengulang prosedur serta lebih banyak menggunakan rumus atau algoritma tertentu. Paling sedikit ada dua konsekwensinya. Pertama, siswa kurang aktif dan pola pembelajaran ini kurang menanamkan pemahaman konsep sehingga kurang mengundang sikap kritis (Sumarmo, 1999). Kedua, jika siswa diberi soal yang beda dengan soal latihan, mereka kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja.
Dengan demikian, model pembelajaran pemberian informasi atau mekanistik seperti yang digambarkan selain dapat memberi kesan yang kurang baik bagi siswa, juga dapat mendidik mereka bersikap apatis dan individualistik. Mereka akan melihat matematika sebagai suatu kumpulan aturan-aturan dan latihan-latihan yang dapat mendatangkan rasa bosan, karena aktivitas siswa hanya mengulang prosedur atau menghafal algoritma tanpa diberi peluang lebih banyak berinteraksi dengan sesama. Apabila pembelajaran matematika lebih menekankan pada aturan dan prosedur, ini dapat memberi kesan bahwa matematika adalah
(20)
untuk dihafal bukan untuk belajar bekerja sendiri. Berarti pendekatan pembelajaran matematika seperti yang dikemukakan, tidak memberikan kebebasan berpikir pada siswa, melainkan belajar hanya untuk tujuan yang singkat.
Untuk mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, model pembelajaran matematika di kelas perlu direformasi. Tugas dan peran guru bukan lagi sebagai pemberi pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi sebagai pendorong siswa belajar (stimulation of learning) agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktivitas seperti pemecahan masalah dan berkomunikasi.
Sullivan (1992) mengatakan bahwa peran dan tugas guru sekarang adalah memberi kesempatan belajar maksimal pada siswa dengan jalan (1) melibatkannya secara aktif dalam eksplorasi matematika; (2) mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang telah ada pada mereka; (3) mendorong agar mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi; (4) mendorong agar berani mengambil resiko dalam menyelesaikan soal (5) memberi kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengar ide temannya. Masih berkaitan dengan peran dan tugas guru, Silver dan Smith (1996) mengutarakan pula bahwa tugas guru adalah: (1) melibatkan siswa dalam setiap tugas matematika; (2) mengatur aktivitas intelektual siswa dalam kelas seperti diskusi dan komunikasi; (3) membantu siswa memahami ide matematika dan memonitor pemahaman mereka.
(21)
Mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasimatematis sangat penting,disamping karenakemampuan tersebut sangat mendukung pada kemampuan-kemampuan matematis lain, kemampuan-kemampuan tersebut juga merupakan tujuan dalam kurikulum. Dalam KTSP disebutkan bahwa mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Hal tersebut juga sesuai dengan standar pendidikan matematika yang ditetapkan oleh National Council of Teachers of Mathematics (2000). Dalam NCTM 2000 tersebut, kemampuan-kemampuan standar yang harus dicapai dalam pembelajaranmatematikameliputi: (1) komunikasimatematis (mathematical communication); (2) penalaranmatematis (mathematical reasoning); (3) pemecahanmasalahmatematis (mathematical problem solving); (4) koneksimatematis (mathematical connection); dan (5) representasimatematis (mathematical representation). MenurutSumarmo (2005), kemampuan-kemampuanmatematis yang disebutkandalam NCTM di
(22)
atasdisebutdengandayamatematis (mathematical power) atauketerampilanmatematika (doing math). Ketrampilan matematika (doing math) berkaitan dengan karakteristik matematika yang dapat digolongkan dalam berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Berpikir tingkat rendah termasuk kegiatan melaksanakan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, mengikuti prosedur (algoritma) yang baku, sedangkan yang termasuk pada berpikir tingkat tiggi adalah kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar secara logik, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara matematis, dan mengaitkan ide matematis dengan kegiatan intelektual lainnya.
Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP tingkat sekolah menengah dan standar pendidikan matematika yang ditetapkan oleh National Council of Teachers of Mathematics (2000), baikkemampuanpemahamanmatematismaupunkemampuankomunikasimatematisp erluuntukdikembangkan.Kaitan antara pemahaman matematis dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Bagan 1 berikut ini.
Gambar 1.1:Keterkaitan antara Pemahaman dan Beberapa Aspek Komunikasi, Modifikasi dari Kramarski (2000)
Mathematical Communication
Writing
g
Talking
Konsep Prinsip Strategi
Reading Listening Discussing Sharing
Representation Mathematical
(23)
Peningkatan pemahaman matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilakukan dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Dalam hal ini, perlu dirancang suatu pembelajaran yang membiasakan siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga siswa lebih memahami konsep yang diajarkan serta mampu mengkomunikasikan pemikirannya baik dengan guru, teman maupun terhadap materi matematika itu sendiri. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman matematika dan kemampuan komunikasi matematis siswa adalah dengan melaksanakan model pembelajaran yang relevan untuk diterapkan oleh guru. Model pembelajaran yang sebaiknya diterapkan adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga siswa lebih mudah untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan dan mengkomunikasikan ide-idenya dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Suatu aktivitas pembelajaran yang diduga dapat diterapkan untuk menumbuhkembangkan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa antara lain adalah dengan strategi P4QR (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, Review) (Arends, 1977; Slavin, 2000) yang disertai bacaan berbentuk refutation text. Strategi PQ4R digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca, dan dapat membantu proses belajar mengajar di kelas yang dilaksanakan dengan kegiatan membaca buku matematika. Kegiatan membaca buku bertujuan untuk mempelajari sampai tuntas bab demi bab suatu buku pelajaran (matematika). Oleh karena itu keterampilan pokok pertama yang harus dikembangkan dan dikuasai oleh para siswa adalah membaca buku pelajaran dan
(24)
bacaan tambahan lainnya. Dengan keterampilan membaca itu setiap siswa akan dapat memasuki dunia keilmuan yang penh pesona, memahami khasanah kearifan yang banyak hikmat, dan mengembangkan berbagai keterampilan lainnya yang amat berguna untuk kelak mencapai sukses dalam hidup. Aktivitas membaca yang terampil akan membukakan pengetahuan yang luas, gerbang kearifan yang dalam, serta keahlian di masa yang akan datang. Kegiatan dan keterampilan membaca itu tidak dapat diganti dengan strategi-straegi lainnya. Dengan membaca siswa dapat berkomunikasi dengan orang lain melalui tulisan. Membaca dapat dipandang sebagai sebuah proses interaktif antara bahasa dan pikiran. Sebagai proses interaktif, maka keberhasilan membaca akan dipengaruhi oleh faktor pengetahuan yang melatar belakangi dan strategi membaca yang erat kaitannya dengan kemandirian belajar (self-regulated learning) (Gie, 1998).
Selanjutnya Refutation Text adalah teks yang membandingkan antara ide yang benar dan ide yang salah. Dalam kerangka paham konstruktivisme ide yang benar itu berupa penjelasan terbaik yang diterima oleh banyak orang sebagai benar. Dalam kegiatan belajar mengajar penjelasan terbaik yang disampaikan oleh guru bersumber dari para ahli atau para ilmuwan, sehingga ide yang benar itu sama dengan konsepsi ilmuwan. Ide yang salah merupakan konsepsi-konsepsi yang berbeda atau menyimpang dari konsepsi para ilmuwan.
Bacaan yang disusun dengan bentuk refutation text dalam penelitian ini adalah bahan bacaan yang diawali dengan penyajian konsepsi-konsepsi siswa yang tidak sama dengan konsepsi ilmuwan. Langkah-langkah pengembangan bacaan berbentuk refutation text sebagai berikut.
(25)
1. Menyajikan jenis-jenis kesalahan yang banyak dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal pretes.
2. Membahas anggapan-anggapan siswa atau kemampuan awal matematika siswa (prakonsepsi) terhadap materi ajar yang dijaring dengan pretes,
3. Membahas alternatif penyajian materi yang mungkin diterima oleh kebanyakan siswa dan konsepsi-konsepsi yang salah dapat diperbaiki (Hydn & Alvermann, 1985; Risko& Alvares , 1986;).
Bacaan alternatif yang disusun dengan refutation text telah diujicobakan dalam skala kecil pada topik bunyi bidang studi fisika kelas 1 SMU Negeri dan Swasta di Kalbar. Ternyata, bacaan alternatif ini disenangi siswa dan membantu mereka lebih memahami konsep-konsep fisika tentang bunyi (Sutrisno, 1990). Demikian juga yang dilakukan oleh Hartoyo (1999) dalam skala kecil yaitu pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan pecahan, ternyata dapat membantu siswa SD dalam mengatasi miskonsepsi operasi bilangan pecahan dan dalam mengkomunikasikan matematika. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Oleh Tandililing, dkk. (2009, 2010) dengan mengambil pokok bahasan matematika semester ganjil di SMA ternyata refutation text yang telah disusun dapat meningkatkan pemahaman siswa. Pada penelitian tahun pertama siswa yang masih miskonsepsi tidak hanya pada level rendah dan sedang tetapi siswa yang berada pada level sekolah tinggi juga masih ada yang mengalami miskonsepsi. Setelah diberikan bacaan refutation text sebagai materi pendamping dalam pembelajaran hasilnya dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa.
(26)
Selain aspek kognitif, aspek afektif juga penting dalam pelajaran matematika. Wardani (2004) mengemukakan aspek afektif ikut menentukan keberhasilan siswa dalam belajar matematika, aspek afektif tersebut adalah kemandirian belajar (Self-regulated learning).
Pada tahun 1989, NCTM (Romberg, 1994 dan Wahyudin, 2008) mengemukakan peranan aspek afektif dan aspek kognitif dalam pembelajaran matematika. Kedua aspek tersebut secara simultan sangat berpengaruh dalam pencapaian prestasi belajar siswa. Kemandirian belajar matematika siswa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan mereka dalam belajar matematika. Perkembangan teknologi yang sangat pesat berakibat pula pada semakin banyaknya sumber-sumber belajar yang bisa diakses, hal ini akan sangat mendukung belajar bagi siswa yang punya kemandirian belajar yang . Siswa dengan pembelajaran strategi PQ4R dan bacaan berbentuk refutation text diperkirakan akan mempunyai kemandirian belajar yang lebih dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
Begitu juga siswa dengan kemampuan awal matematika lebih tinggi serta level sekolah yang lebih tinggi diperkirakan mempunyai tingkat kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dengan kemampuan awal matematika serta level sekolah yang lebih rendah.
Selain faktor pembelajaran, terdapat faktor lain yang diduga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kemampuan pemahaman, komunkasi matematis serta kemandirian belajar siswa, yaitu faktor level sekolah dan faktor kemampuan awal matematika siswa.
(27)
Level sekolah dibagi dalam tiga kelompok yaitu :atas, menengah, dan bawah. Digunakannya tiga level dalam penelitian ini bertujuan agar semua kelompok sekolah terwakili sehingga kesimpulan yang didapatkan lebih representatif. Pengelompokan ini juga bertujuan untuk melihat adakah pengaruh bersama antara pembelajaran yang digunakan dan level sekolah terhadap perkembangan kemampuan pemahaman, komunikasi matematis serta kemandirian belajar siswa dalam matematika. Sedangkan kemampuan awal matematika siswa dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan ini bertujuan untuk melihat adakah pengaruh bersama antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan awal siswa terhadap perkembangan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis serta kemandirian belajar matematika siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Arends (2008a), bahwa kemampuan awal siswa untuk mempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada. Dalam penelitian ini, informasi tentang pengetahuan awal matematika siswa digunakan untuk menentukan tingkat kemampuan awal matematika siswa (, sedang, dan rendah). Informasi ini digunakan dalam pembentukan kelompok ketika melaksanakan pembelajaran dengan strategi PQ4R.
Pada variabel tingkat kemampuan awal siswa, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tingkat kemampuan awal memberikan konstribusi terhadap hasil belajar siswa berdasarkan tingkat: (1) kemampuan tinggi memberikan effect size sebesar 0,91; (2) kemampuan sedang sebesar 0,70; (3) kemampuan rendah sebesar 0,64 (Marzano, 2006). Hasil ini menggambarkan
(28)
bahwa kemampuan pelajar secara empirik terbentuk menurut peringkat kemampuan siswa masing-masing dan tentu ikut mewarnai proses pembelajaran. Namun demikian variabel-variabel tingkat kemampuan awal dan variabel level sekolah dapat dikontrol.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka kemampuan pemahaman matematis, komunikasi matematis, dan kemandirian belajar siswa perlu untuk dikembangkan dalam pembelajaran. Hasil penelitian yang dilakukan ini nantinya diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan komunikasi matematis siswa serta kemandirian belajar matematika siswa SMA.
B. Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakahpeningkatandanpencapainkemampuan pemahaman matematis siswa (PMS), komunikasi matematis siswa (KMS), dan kemandirian belajar siswa (KBS) antara yang mendapat pembelajaran strategi PQ4R dan bacaan berbentuk refutation text (SPRT) lebih baik dari pada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (PKV) ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) level sekolah (atas, menengah, dan bawah); dan (c) pengetahuan awal matematis (PAM)?
2. Apakahadainteraksiantara: (a) pembelajarandengan level sekolahdan (b) pembelajarandengan PAM terhadappeningkatan PMS, KMS dan KBS?
(29)
3. Apakahterdapatasosiasiantarapemahamanmatematissiswa (PMS), kemampuankomunikasimatematissiswa (KMS), dankemandirianbelajarsiswa (KBS) dalammatematika?
4. Manakah di antara pemahaman matematis siswa (PMS) dan komunikasi matematis siswa (KMS) yang mendapat kontribusi (effect Size) terbesar setelah pembelajaran strategi SPRT ditinjau dari keseluruhan, level sekolah, dan PAM?
5. Bagaimana gambaran kinerja siswa ditinjau dari proses pembelajaran, penyelesaian soal pemahaman matematis, dan penyelesaian soal komunikasi matematis?
6. Kesulitan apa saja yang dialami siswa pada saat menyelesaikan soal pemahamanmatematis dan komunikasi matemats?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan peningkatanpemahamandankomunikasimatematissertakemandirianbelajarsiswa SMA melaluistrategi PQ4R danbacaanrefutation text. Secara terperinci, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis secara komprehensif peningkatan dan pencapaian PMS, KMS, dan KBS yang mendapat pembelajaran SPRTdan yang mendapat pembelajaran konvensional (PKV) ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) level sekolah (atas, menengah, dan bawah); dan (c) pengetahuan awal matematis (PAM) (tinggi, sedang, dan rendah).
(30)
2. Menganalisis secara komprehensifinteraksiantara: (a) pembelajarandengan level sekolahdan (b) pembelajarandengan PAM terhadappencapaian PMS, KMS dan KBS.
3. Mendeskripsikanasosiasiantarapemahamanmatematissiswa (PMS), kemampuankomunikasimatematissiswa (KMS), dankemandirianbelajarsiswa (KBS) dalammatematika.
4. Menganalisis secara komprehensif manakah di antara (PMS) dan (KMS) yang mendapat kontribusi (effect Size) terbesar setelah pembelajaran strategi PQ4R dan bacaan berbentuk refutation text (SPRT).
5. Mengkaji dan menganalisis kinerja siswa ditinjau dari proses pembelajaran, penyelesaian soal pemahaman matematis, dan penyelesaian soal komunikasi matematis.
6. Mengkaji dan menganalisis kesulitan yang dialami siswa dalam mengerjakan soal pemahaman dan komunikasi matematis.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, siswa, peneliti, dan lembaga terkait.
1. Bagi siswa, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis serta kemandirian belajarnya secara optimal sehingga dapat memecahkan masalah yang dihadapi baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dengan menyadari tingkatan kemandirian belajar dari diri sendiri (siswa) merupakan salah satu bentuk untuk refleksi-diri, yang akan bermanfaat dalam melanjutkan pendidikan maupun dalam bekerja.
(31)
2. Bagi guru atau pengajar, dapat menjadikan strategi PQ4R disertai bacaan berbentuk refutation text sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan pemahaman, komunikasi matematika, dan kemandirian belajar siswa.
3. Bagi peneliti, dapat dijadikan rujukan bagi langkahnya teori mengenai penelitian yang disertai bacaan berbentuk refutation text dalam bidang pendidikan matematika, sehingga membuka suatu wawasan penelitian bagi para ahli pendidikan matematika. Di samping itu strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik siswa pada berbagai jenjang pendidikan.
4. Bagi pembuat kebijakan, agar lebih memahami bahwa pentingnya inovasi pembelajaran dalam proses belajar yang sudah melalui kajian secara mendalam dan empiris sehingga penemuan itu menjadi salah satu alternatif pembelajaran yang dapat meningkatkan aspek-aspek kognitif kemampuan matematis seperti pemahaman matematis dan komunikasi matematis serta meningkatkan aspek afektif ketika berkomunikasi dalam kelompok.
E. Definisi Operasional
Berikut ini didefinisikan secara operasional variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu strategi PQ4R, pemahaman matematis, komunikasi matematis, bacaan berbentuk refutation text,kemandirian belajar,pembelajaran konvensional, danpengeahuan awal matematis (PAM) siswa.
(32)
1. Strategi PQ4R adalah strategi pembelajaran yang memuat enam tahapan belajar, yaitu: aktivitas memeriksa atau meneliti, aktivitas menyusun atau membuat pertanyaan, aktivitas membaca teks secara aktif, aktivitas memikirkan contoh-contoh, aktivitas menghafal/memahami setiap jawaban yang telah ditemukan, dan aktivitas meninjau ulang seluruh jawaban atas pertanyaan.
2. Pemahaman matematis adalah tingkat atau level pengetahuan matematis yang meliputi: mengaitkan suatu konsep matematika untuk memecahkan masalah matematis; menjelaskan hubungan antar knsep secara tertulis dalam menyelesaikan soal matematika; mengubah suatu situasi atau kata-kata ke dalam model matematika; mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya 3. Komunikasi matematisadalah kemampuan menyatakan dan mengilustrasikan
ide matematika ke dalam bentuk model matematika yaitu bentuk persamaan, notasi, gambar dan grafik, atau sebaliknya.
4. Kemandirian belajar adalah proses aktif dan konstruktif seseorang yang meliputi: inisiatif belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, mengatur dan mengontrol kinerja belajar, mengatur dan mengontrol kognisi, motivasi dan perilaku, memandang kesulitan sebagai tantangan, mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil belajar, dan konsep diri (Self-efficacy).
5. Bacaan berbentuk refutation text adalah bacaan yang disusun untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsinya setelah pemberian pretes. Bacaan diawali
(33)
dengan menyajikan kesalahan yang banyak dilakukan siswa yang tidak sesuai dengan konsep ilmuwan, kemudian membahas alternatif penyajian materi yang mungkin dapat diterima oleh kebanyakan siswa.
6. Pengetahuan awal matematis (PAM) adalah pengetahuan matematis yang telah dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung sebagai materi prasyarat sebelum tindakan pembelajaran dimulai.
(34)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian eksperimen ini dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran strategi PQ4R dan bacaan refutation text pada siswa kelas X SMA. Desain eksperimen yang digunakan adalah desain kelompok kontrol pretes-postes (Pretest-Posttest Control Group Design). Secara singkat, desain eksperimen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut.
O X O
O O
Keterangan:
X= pembelajaran dengan starategi PQ4R dan bacaan berbentuk refutation text. O = pretes = postes kemampuan pemahaman matematis (PMS) dan kemampuan komunikasi matematis siswa (KMS)
Penelitianinimelibatkanduakategorikelassampel,
yaitukelaseksperimendankelaskontrol.Kelas- kelassampeltersebuttidakdibentukdengancaramenempatkansecaraacaksubjek-subjekpenelitiankedalamkelas-kelassampeltersebut, melainkanmenggunakankelas-kelas yang ada. Di kelaseksperimendankelaskontrolberturut-turutdilaksanakanpembelajarandenganstrategiPQ4R danbacaanrefutation text(X) danpembelajaransecarakonvensional.Padaawaldanakhirpembelajaransiswakeduak
elasdiberites (O),
yaituteskemampuanpemahamanmatematis,teskemampuankomunikasimatematisda nskalakemandirianbelajarmatematissiswa.
(35)
Penelitian melibatkan variabel bebas dan variabel tak bebas. Variabel bebasnya adalah pembelajaran strategi PQ4R danbacaanrefutation text. Variabel tak bebasnya adalah kemampuan pemahamanmatematis, kemampuan komunikasi matematis, dan skalakemandirianbelajarsiswa. Penelitian ini juga menggunakan level sekolah (tinggi, sedang dan rendah) dan pengetahuan awal matematika siswa (atas, tengah, danbawah) sebagai variabel kontrol. Keterkaitan antara variabel bebas, tak bebas (terikat), dan kontrol disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1.
Keterkaitan antara Variabel Kemampuan Pemahaman, Kemampuan Komunikasi Matematis, Kemandirian Belajar Siswa serta Pendekatan
Pembelajaran, Level Sekolah, dan Pengetahuan Awal Matematika
Kemam puan yang Diukur
Pende-
katan SPRT KONVENSIONAL (PKV)
PAM
Peringkat Sekolah Peringkat Sekolah
Atas (A) Menenga (M) Bawah (B) Kese-luruhan Atas (A) Menenga (M) Bawah (B) Kese-luruhan P ema ha ma n M a tema tis Tinggi
(T) - - - -
Sedang
(S) - - - -
Rendah
(R) - - - -
Keseluruhan - - - -
K o mu nik a si M a tema tis Tinggi
(T) - - - -
Sedang
(S) - - - -
Rendah
(R) - - - -
Keseluruhan - - - -
K ema nd iria n B ela ja r M a tema tis Tinggi
(T) - - - -
Sedang
(S) - - - -
Rendah
(R) - - - -
Keseluruhan - - - -
(36)
Subyek penelitian siswa kelas X dari tiga SMA Negeri yang mewakili sekolah level atas, level sedang, dan level rendah di Kota Pontianak propinsi Kalimantan Barat. Selanjutnya dari masing-masing sekolah yang sudah terpilih,dipilihlah masing-masing dua kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol, jadi totalnya ada 6 kelas. Secara keseluruhan, siswa yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 214 siswa.Prosedur pengambilan subyek penelitian dapat dilihat pada Bagan 3.1 berikut ini.
Dipilih
Dipilih 3
SMA Dipilih Peringkat
Dipilih
Bagan 3.1 : Diagram Prosedur Pengambilan Sampel
Penentuan peringkat sekolah merujuk pada SMA terakreditasi berdasarkan peringkat sekolah yang telah dilakukan Dinas DIKNAS Kota Pontianak yang membagi peringkat sekolah dalam tiga peringkat, yaitu peringkat atasi, peringkat
Populasi SMA. di Kota Pontianak
Atas
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol 2 Kelas
X yang Paralel
2 Kelas X yang Paralel Menengah
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol 2 Kelas
X ygParalel Bawah
(37)
menengah, dan peringkat bawah.Di samping itu juga diperhatikan rata-rata pelajaran matematika pada ujian akhir nasional dua tahun terakhir di masing-masing sekolah.
C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen yaitu tes dan non tes. Intrumen dalam bentuk tes terdapat tiga jenis tes yaitu: tes kemampuan awal matematis, tes kemampuan pemahaman matematis, tes kemampuan komunikasi matematis.Instrumen dalam bentuk non tes terdiri dari skala kemandirian belajar siswa dalam matematik, pedoman wawancara, dan lembar observasi.
Langkah awal yang dilakukan adalah membuat kisi-kisi instrumen dan merancang instrumen penelitian untuk selanjutnya dilakukan penilaian ahli sebagai penimbang atau validator yang berkompeten untuk menilai instrumen penelitian dan memberikan masukan atau saran, guna penyempurnaan instrumen yang telah disusun. Setelah instrumen direvisi berdasarkan masukan para ahli, instrumen tersebut diujicobakan kepada siswa yang sudah mempelajari materi tersebut.
Uji coba instrumen tes bertujuan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, dan tingkat kesukaran tes tersebut. Sementara itu untuk instrumen non tes, uji coba dilakukan untuk melakukan pembobotan pada tiap butir skala kemandirian belajar. Dengan adanya analisis instrumen, peneliti bisa mengetahui apakah perangkat tes tersebut sudah memenuhi syarat untuk penelitian atau belum.Jika
(38)
sudah memenuhi syarat maka instrumen tersebut bisa diterapkan di lapangan. Berikut ini uraian dari masing-masing instrumen yang digunakan:
1.Tes Pengetahuan Awal Matematis (PAM)
Tes Pengetahuan Awal Mateatis (PAM) dirancang untuk mengetahui kema-
puan prasyarat dalam mempelajari materi atau pokok bahasan dalam penelitian. Pemberian tes pengetahuan awal matematis juga dimaksudkan pula untuk penempatan siswa berdasarkan kategori pengetahuan awal matematisnya ke dalam tiga kelompok yaitu siswa kelompok atas, siswa kelompok tengah, dan siswa kelompok bawah. Pengelompokan siswa didasarkan pada kriteria pada Tabel 3.3.
Tabel 3.2
Kriteria Pengelompokan Siswa Berdasarkan PAM
Interval Skor Tes PAM Kategori
xi ≥75 Tinggi
55< xi<75 Sedang
xi ≤ 55 Rendah
Tes pengetahan awal matematis(PAM) menggunakan bentuk pilihan ganda dengan lima pilihan. Jumlah butir soal pada awalnya 30 soal tetapi setelah melalui tahap uji coba ada 6 soal yang tidak valid sehingga jumlah soal yang digunakan sebanyak 24 butir soal. Uji validitas instrumen PAM dilakukan melalui pertimbangan para ahli tentang validitas isi dan validitas muka dari soal tes pengetahuan awal matematis. Penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal dilakukan dengan aturan untuk setiap jawaban benar diberi skor 1, dan untuk setiap jawaban yang salah atau tidak menjawab diberi skor 0.
(39)
Hasil pertimbangan para ahli dianalisis menggunakan uji statistik Q-Cochran. Uji statistik tersebut digunakan untuk mengetahui apakah para penimbang telah menimbang instrumen secara sama atau tidak. Hasil uji statistik hasil pertimbangan terhadap validitas muka disajikan pada Tabel 3.3, sedangkan hasil pertimbangan terhadap validitas isi disajikan pada Tabel 3.4
Tabel 3.3
Uji Q-Cochran tentang Validitas Muka Tes PAM Test Statistics
N 30
Cochran's Q 5.176
df 29
Asymp. Sig. .270
a 1 is treated as a success.
Tabel 3.4
Uji Q-Cochran tentang Validitas Isi Tes PAM Test Statistics
N 30
Cochran's Q 3,500
df 29
Asymp. Sig. .478
a 1 is treated as a success.
Berdasarkan Tabel 3.4 dan Tabel 3.5 di atas terlihat bahwa harga statistik Q-Cochran untuk validitas muka dan validitas isi adalah 5,176 dan 3,500 dengan angka signifikansi asimtotis 0,270 dan 0,478. Karena harga signifikansi asimtotis semuanya lebih besar dari 0,05 maka bisa disimpulkan bahwa pada taraf signifikansi 5% para penimbang memberikan pertimbangan terhadap validitas isi dan validitas muka pada butir soal secara seragam atau sama. Selanjutnya soal diujicoba kepada siswa yang berjumlah 35 orang untuk mengetahui validitas butir soal, reliabilitas, dan tingkat kesukaran soal. Validitas butir soal dihitung dengan
(40)
rumus korelasi Product Moment Pearson. Reliabilitas tes PAM dihitung dengan rumus KR-2.1. Analisis validitas dan reliabilitas serta tingkat kesukaran tes PAM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.1.
Besarnya koefisien reliabilitas sebesar 0,821. Menurut Guildford (Ruseffendi, 2005), suatu tes dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,821 tergolong tinggi. Selanjutnya ada 24 butir soal dari 30 butir soal dimana koefisien rhitung (rxy) dengan nilai r berkisar antara 0,391 sampai 0,762 dan lebih besar dari rtabel (0,334) berarti hipotesis nol ditolak, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total untuk 24 butir soal tersebut. Dengan demikian untuk 24 butir tes kemampuan awal matematis dinyatakan valid.
Adapun tingkat kesukaran tes kemampuan awal matematika siswa dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut ini.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat kesukaran butir soal adalah :
TK = N
B
Keterangan TK : Tingkat Kesukaran
B : jumlah skor yang didapat siswa pada butir-butir soal N : jumlah skor ideal pada butir soal tersebut
Hasil lengkap perhitungan tingkat kesukaran butir soal PAM dapat dilihat pada Lampiran C.1.
Dari 24 butir soal terdapat 3 butir soal yang mempunyai tingkat kesukaran tergolong sukar, 4 butir soal tergolong mudah, dan 14 butir soal yang tergolong sedang. Perbandingan tingkat kesukaran soal tersebut masih proporsional ditinjau dari aspek tingkat kesukaran.
(41)
Dari 24 butir soal terdapat 3 butir soal yang mempunyai tingkat kesukaran
tergolong sukar, 4 butir soal tergolong mudah, dan 14 butir soal yang tergolong sedang. Perbandingan tingkat kesukaran soal tersebut masih proporsional ditinjau dari aspek tingkat kesukaran.
2. Tes Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa (PMS)
Tes kemampuan pemahaman matematis berfungsi untuk mengungkap kemampuan pemahaman matematis yang dimiliki siswa. Materi yang diteskan adalah persamaan dan pertidasamaan kuadrat, fungsi kuadrat, dan sistim persamaan dengan dua perubah dan tiga perubah. Tes ini berbentuk uraian yang terdiri dari lima butir soal.
Tes kemampuan pemahaman matematis, sebelum digunakan terlebih dahulu divalidasi oleh lima orang penimbang yang berlatar belakang mahasiswa S3 pendidikan matematika (2 orang) dan berlatar belakang S3 pendidikan matematika (3 orang) yang dianggap ahli dalam pendidkan matematika. Para penimbang diminta untuk menilai atau mempertimbangkan dan memberikan saran atau masukan mengenai validitas isi dan validitas muka dari tes tersebut. Pertimbangan validitas isi didasarkan pada kesesuaian butir soal dengan materi pokok yang diberikan, indikator pencapaian hasil belajar, aspek kemampuan pemahaman matematis yang akan diukur dan tingkat kesukaran untuk siswa SMA kelas X. Pertimbangan validitas muka didasarkan pada kejelasan soal dari segi bahasa atau redaksional dan kejelasan soal dari segi gambar atau representasi. Hasil pertimbangan mengenai validitas muka dan validitas isi dari kelima orang
(42)
pertimbangan validitas isi dan validitas muka dari kelima penimbang maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Hasil pertimbangan kelima penimbang seragam. H1 : Hasil pertimbangan kelima penimbang tidak seragam.
Uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut adalah Q-Cochran. Kriteria pengujiannya adalah: jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima; dalam keadaan lainnya, H0 ditolak.
Hasil perhitungan validitas muka tes kemampuan pemahaman matematis dengan menggunakan statistik Q-Cochran disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Muka Tes Kemampuan Pemahaman Matematis
Test Statistics
N 5
Cochran's Q 2,000
df 4
Asymp. Sig. 0,736
a 1 is treated as a success.
Tabel 3.6
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Isi Tes Kemampuan Pemahaman Matematis
test Statistics
N 5
Cochran's Q 4.000
df 4
Asymp. Sig. 0.406
a 1 is treated as a success.
Berdasarkan Tabel 3.5 dan Tabel 3.6 di atas terlihat bahwa harga statistik Q Cochran untuk validitas muka dan validitas isi adalah 2,000 dan 4,000 dengan angka signifikansi asymp. Sig.0,736 dan 0,406. Karena harga asymp. Sig.
(43)
semuanya lebih besar dari 0,05.Dengan demikian, pada taraf signifikansi = 0,05, H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil pertimbangan kelima penimbang terhadap setiap butir soal kemampuan pemahaman matematis dari segi validitas isi dan validitas muka adalah seragam.
Setelah tes diperbaiki berdasarkan masukan para penimbang, dilakukan ujicoba pada siswa kelas XI SMA negeri di Pontianak sebanyak 35 orang. Data hasil ujicoba tes kemampuan pemahaman matematis serta perhitungan reliabilitas instrumen dan validitas butir soal selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C2.Selanjutnya untuk menguji validitas butir,skor setiap butir soal dikorelasikan dengan skor total. Hipotesis diajukan sebagai berikut:
H0 : Tidak terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total.
H1: Terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total.
Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan rumus product moment dari Karl Pearson. Kriteria pengujiannya adalah: jika rhitung (rxy) rtabel, maka H0 ditolak, dalam keadaan lainnya H0 diterima. Pada taraf = 0,05 dengan n = 35 diperoleh rtabel = 0,334. Perhitungan reliabilitas soal digunakan Cronbach-Alpha.
Hasil perhitungan koefisien reliabilitas sebesar 0,802 (tergolong tinggi). Selanjutnya koefisien rhitung (rxy) dari lima butir soal lebih besar dari rtabel (0,334) berarti hipotesis nol ditolak, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor antara skor butir soal.Dengan demikian setiap butir tes kemampuan pemahaman matematis dinyatakan valid.
(44)
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tes kemampuan pemahaman matematis dapat digunakan untuk penelitian. Setelah dilakukan beberapa penyempurnaan, perangkat soal tes pemahamanmatematis siap dipergunakan Sebagai salah satu instrumen penelitian. Kisi-kisi dan perangkat soal tersebut se - lengkapnya disajikan pada Lampiran B-1.
Penghitungan tingkat kesukaran butir soal pemahaman matematis dilakukan langkah-langkah yang sama seperti penghitungan tingkat kesukaran tes kemampuan awal matematika. Hasil perhitungan tingkat kesukaran tiap butir soal dimana kelima butir soal mempunyai tingkat kesukaran yang tergolong sedang (berkisar antara 0,465 sampai 0,621.
3. Kemapuan Komunikasi Matematis
Tes kemampuan komunikasi matematis berfungsi untuk mengungkap kemampuan komunikasi matematis yang dimiliki siswa. Materi yang diteskan adalah persamaan dan pertidasamaan kuadrat, fungsi kuadrat, dan sistim persamaan dengan dua perubah dan tiga perubah. Tes ini berbentuk uraian yang terdiri dari lima butir soal.
Tes kemampuan komunikasi matematis, sebelum digunakan terlebih dahulu divalidasi oleh lima orang penimbang yang berlatar belakang mahasiswa S3 (2 orang) dan 3 orang yang berlatar belakang S3 pendidikan matematika yang dianggap ahli dalam pendidkan matematika. Para penimbang diminta untuk menilai atau mempertimbangkan dan memberikan saran atau masukan mengenai validitas isi dan validitas muka dari tes tersebut. Pertimbangan validitas isi didasarkan pada kesesuaian butir soal dengan materi pokok yang diberikan,
(45)
indikator pencapaian hasil belajar, aspek kemampuan komunikasi matematis yang akan diukur dan tingkat kesukaran untuk siswa SMA kelas X. Pertimbangan validitas muka didasarkan pada kejelasan soal dari segi bahasa atau redaksional dan kejelasan soal dari segi gambar atau representasi. Hasil pertimbangan mengenai validitas muka dan validitas isi dari kelima orang penimbang disajikan pada Lampiran C-2 Untuk menguji keseragaman hasil pertimbangan validitas isi dan validitas muka dari kelima penimbang maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Hasil pertimbangan kelima penimbang seragam. H1 : Hasil pertimbangan kelima penimbang tidak seragam.
Uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut adalah Q-Cochran. Kriteria pengujiannya adalah: jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima; dalam keadaan lainnya, H0 ditolak.
Hasil perhitungan validitas muka dan validitas isi tes kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan statistik Q-Cochran disajikan pada Tabel 3.7 dan Tabel 3.8.
Tabel 3.7
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Muka Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Test Statistics
N 5
Cochran's Q 1.000
df 4
Asymp. Sig. .910
a 1 is treated as a success.
Berdasarkan Tabel 3.7 dan Tabel 3.8 di atas terlihat bahwa harga statistik Q Cochran untuk validitas muka dan validitas isi adalah 1,000 dan 3.000 dengan
(46)
Tabel 3.8
Uji Hasil Pertimbangan Validitas Isi Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Test Statistics
N 5
Cochran's Q 3.000
df 4
Asymp. Sig. .558
a 1 is treated as a success.
angka signifikansi asymp. Sig. 0,910 dan 0,558. Karena harga asymp. Sig. semuanya lebih besar dari 0,05. Dengan demikian, pada taraf signifikansi = 0,05, H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil pertimbangan kelima penimbang terhadap setiap butir soal kemampuan komunikasi matematis dari segi validitas isi dan validitas muka adalah seragam.
Setelah tes diperbaiki berdasarkan masukan para penimbang, dilakukan ujicoba pada siswa kelas XI SMA negeri di Pontianak sebanyak 35 orang. Data hasil ujicoba tes kemampuan komunikasi matematis serta perhitungan reliabilitas instrumen dan validitas butir soal selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C-3.Selanjutnya untuk menguji validitas butir soal,skor setiap butir soal dikorelasikan dengan skor total. Hipotesis diajukan sebagai berikut:
H0 : Tidak terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total.
H1: Terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total.
Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan rumus product moment dari Karl Pearson. Kriteria pengujiannya adalah: jika rhitung (rxy) rtabel, maka H0
(47)
ditolak, dalam keadaan lainnya H0 diterima. Pada taraf = 0,05 dengan N = 35 diperoleh rtabel = 0,334. Perhitungan reliabilitas soal digunakan Cronbach-Alpha.
Hasil perhitungan koefisien reliabilitas diperoleh 0,712 (tergolong sedang) dan koefisien korelasi setiap butir soal tes kemampuan pemahaman matematis dari lima butir soal semuanya dsinyatakan valid. Nilai rxy berkisar dari 0,579 sampai 0,781 lebih besar dari rtabel (0,334) berarti hipotesis nol ditolak, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total untuk setiap butir soal. Dengan demikian setiap butir tes kemampuan komunikasi matematis dinyatakan valid.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tes kemampuan komunikasi matematis dapat digunakan untuk penelitian. Setelah dilakukan beberapa penyempurnaan, perangkat soal tes pemahaman matematis siap dipergunakan sebagai salah satu instrumen penelitian. Kisi-kisi dan perangkat soal tersebut selengkapnya disajikan pada Lampiran C-3.
Penghitungan tingkat kesukaran butir soal komunikasi matematis dilakukan langkah-langkah yang sama seperti penghitungan tingkat kesukaran tes kemampuan awal matematika. hasil perhitungan tingkat kesukaran tiap butir soal tergolong sedang (berkisar antara 0,451 sampai 0,699).
4. Kemandirian Belajar (Self-regulated learning)
Skala kemandirian belajar (Self-regulated learning) siswa dalam matematika digunakan untuk mengetahui tingkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika. Skala ini memuat sembilan komponen kemandirian belajar yaitu: (1) inisiatif belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar, (2) menetapkan tujuan
(48)
belajar, (3) mengatur dan mengontrol kinerja belajar; (4) memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar, (5) memandang kesulitan sebagai tantangan, (6) memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan, (7) memilih dan menerapkan strategi belajar, (8) mengevaluasi proses belajar, (9) self eficacy (konsep diri).
Skala Self-regulated learning dalam matematika terdiri dari 45 item pernyataan yang dilengkapi dengan lima pilihan jawaban yaitu: sering sekali (Ss), sering (Sr), kadang-kadang (Kd), jarang (Jr), dan tidak pernah (Tp).
Sebelum skala ini digunakan dalam penelitian, dilakukan ujicoba terbatas pada 10 orang siswa SMA untuk mengetahui keterbacaan bahasa skala tersebut pada tarap siswa SMA, sehingga akan diperoleh gambaran apakah pernyataan-pernyataan yang terdapat pada skala Self-regulated learning siswa dalam matematika dapat dipahami siswa SMA kelas X dengan baik.
Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan hasil ujicoba terbatas tersebut, selanjutnya skala Self-regulated learning siswa dalam matematika diujicobakan pada siswa kelas X (kelas 1) salah satu SMA Negeri di Pontianak sebanyak 38 orang. Ujicoba ini bertujuan untuk mengetahui validitas setiap item pernyataan dan untuk menghitung skor setiap pilihan (Ss, Sr, Kd, Jr, dan Tp) dari masing-masing pernyataan pada skalaSelf-regulated learning. Pemberian skor setiap pilihan dari masing-masing pernyataan skalaSelf-regulated learning ditentukan berdasarkan distribusi jawaban responden pada ujicoba atau dengan kata lain menentukan nilai skala dengan deviasi normal. Dengan menggunakan cara ini, skor Ss, Sr, Kd, Jr, dan Tp dari masing-masing pernyataan dapat berbeda, tergantung pada sebaran respon siswa terhadap masing-masing pernyataan.
(1)
Österholm, Magnus. (2006). Metacognition and Reading – Criteria for Comprehension of Mathematics Texts. Dalam Novotná, J., Moraová, H., Krátká, M. & Stehlíková, N. (Eds.). Proceedings 30th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, hlm. 289-296. Prague: PME. 4 – 289.
Osterholm, Magnus (2007). Reading Mathematical Texts: Cognitive Processes and Mental Representation.Department of Mathematics, Linköping University, Swedia
Odejobi, C.O. (1997). "Effectiveness Of Advance Organizers. Learning Strategy in Teaching Of Yoruba Concep". Journal of Education Studies 42, 1, 80-5 Pape, S.J. et al. (2003) Developing Mathematical Thingking and Self Regulated
Learning: Teaching Experment in Seven-Grade Mathematics
Clasroom”. Journal Educatinal Studies in Mathematics. 53, (179-202) Peterson, L.P. (1987). "Teaching for Higher-Order Thinking in mathematics: The
Challenge for the Nexs Decade". In D.A. Grouws, T.J. Cooney, and D. Jones. (Eds.). Perspectives on Research on Effective Mathematics 'reaching. USA: NCTM
Pial Das K. (2006). Reading in Mathematics Connection: English Language Leanner Studies’ Perspective. Journal of Mathematics Science & Mathematics Education, Vol.3 N0.2: 48-55
Pirie, E B. Susan. (1996). "Is Anybody Listening?" In P. C. Elliott, and M. J. Kenney (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-I2 and Beyond. USA: NCTM.
PISA (2006). First Result, (Online). Tersedia:
http://www.mine.edu/export/default/OPM/Koulutus/artikkelit/pisa-tukkimus/PISA-2006/LIITECT/PISA 2006 en.pdf (22 Oktober 2008)
Pugalee, D.A. (2001). Using Communication to Develop Student’s Literacy.
Journal Research of Mathematics Education 6(5) , 296-299.
Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi SPS UPI Bandung, Tidak Dipublikasikan
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Doktor pada SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
(2)
Ratumanan, T.G. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif dengan Setting Kooperatif (Model PISK) dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Risko, V.C. & ALvares (1986). An Investigation Of Poor Readers use of Thematic organisaser strategi to comprehend text. Reading Research Quarterly. 21 (298-313)
Sutrisno,L. (1990). Remediation of Wieaknesses in Physics concept . Ph.D. Disertation Melbourne: Monash Univesity
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T.(1991). Pengantar kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Silver, E.A. & Smith, M.S. (1996). "Building Discourse Communities in Mathematics Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey". In P.c. Elliott, dan M.J. Kenney. (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Beyond. Reston, V A: NCTM
Runisah (2008). Pengaruh SQ3R dalam pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemamuan Berpikir Kritis Matematis siswa SMA. Tehesis SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan
Silver, E.A. and Smith (1996). “Testing Mathematical Problem Solving” In Research Agenda for Mathematics Education: The Teaching and Assessing of Mathematical Problem Solving. Vol. 3. Editors: Randall I, Charles and Edward A. Silver. Reston: National Council of Teachers of Mathematics. Sudrajat (2001). Penerapan SQ3R pada Pembelajaran Tindak Lanjut untuk
peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMU. Tesis SPS UPI. Tidak Diterbitkan.
Soedjadi, R. (2007). Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana Pendidikan dan Pembudayaan Penalaran. Surabaya: Media Pendidikan Matematika Nasional.
Sugiatno, (2008). Mengembangkan kemampuan Komunikasi matematika mahasiswa calon guru melalui pembelajaran matematika dengan menggunkan Transaktional Rading Strategy. Disertasi SPs.UPI Tidak dterbitkan
(3)
Shield, M. (1996). "Evaluating Student Expository Writing in Mathematics". In P.c. Clarkson. (Ed.). Technology in Mathematics Education. Melbourne: Merga.
Shield. M. & Swinson. K. (1996). "The Link Sheet: A communication Aid for Clarifying and Developing Mathematical Ideas and Processes". In P.c. Elliott, dan M.l Kenney. (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Beyond. Reston, VA: NCTM.
Slavin, R.E. (1994). The PQ4R Method Was Development. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn &Bacon.
Spiegel, G.F & Barufaldi, J.P. (1994). The Effects of Combination of Text Structure Awareness and Graphic Postorganizers on Recall and Retention of Science Knowledge. Journal of Research In Science Teaching, 29, 913-932
Slavin, R.E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn &Bacon.
Sudjana. (1996). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sullivan, P. (1992). "Open-Ended Questions, Mathematics Investigations and the Role of the Teacher". In M. Home, dan M. Supple. (Eds.). Mathematics: Meeting the Challenge. Victoria: The Mathematics Association of Victoria Clivelen.
Sullivan, P & Mousley, (1996). "Natural Communication in Mathematics Classrooms: What Does it Look Like". In P.c. Clarkson. (Ed.). Technology in Mathematics Education. Melbourne: Merga.
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Bebebrapa unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi Doktor pada FPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (1999). Implementasi Kurikulum 1994 pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Laporan Penelitian Bandung: FPMIP A IKIP Bandung.
Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian FMIPA UPI. Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. dkk. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar
(4)
Tingkat Nasional FPMIPA UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan.
Sumarmo, U. (2003). "Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika untuk Siswa Sekolah Menengah". Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA Tanggal 25-26 Agustus 2003, Bandung.
Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 8 Juli 2004. Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. (2005). Berpikir matematik tingkat tinggi: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah Seminar Pendidikan Matematika 22 April 2006 di FMIPA Universitas Padjajaran, Bandung.
Stiff, L.V; Johnson, J.L; dan Johnson, M.R. 1993. Cognitive Issues In Mathematics Education. Patricia S. Wilson (Ed.), Research Ideas For The Classroom: High School Mathematics (halaman 3 – 20). New York: Macmillan Publishing Company.
Schoen, H.L., Bean, D.L, & Ziebarth, S.W. (1996). "Embedding Communication throughout the Curriculum". In P.c. Elliott, dan M.J. Kenney. (Eds.). 1996 ) Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. Reston, VA: NCTM.
Sutiarso, S. (2000). "Problem Posing: Strategi Efektif Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Matematika". Journal of Indonesian Mathematical Society (MlHMl). 8(3),299-307.
Sutrisno,L. (1990). Remediation of Wieaknesses in Physics concept . Ph.D. Disertation Melbourne: Monash Univesity
Schunk &Zimmerman B.J (1998). Developing Self-Fulfilling Cycles of Academic Regulatioan: An Analysis of Exemplary Instructional Models. Dalam D.H Schunk & B.J. Zimmerman (Eds.) Self Regulated Learning : From Teaching to Self-Reflective Practice. New York: The Guilford Press. Spiegel, G.F & Barufaldi, J.P. (1994). The Effects of Combination of Text
Structure Awareness and Graphic Postorganizers on Recall and Retention of Science Knowledge. Journal of Research In Science Teaching, 29, 913-932
Slettenhaar, H.K.(2000) Adapting Realistic Mathematics in The Indoneian
Context” Journal of Indonesian Matheatical Cosiety (HIMMI) 8(3), 599-603
(5)
Swinson, K. (1992). Writing Activities as Strategies for Knowledge Construction and The Identification of Misconceptions In Mathematics. Journal of Science and Mathematics Educaltion In Southeast Asia, 15, 7-14.
Tandililing, E. (2005). Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa berdasarkan Tingkat Level Sekolah di Kota Pontianak. Pontianak: Laporan FKIP Untan Tandililing, E.Romal, dan Margiaty (2009, 2010). Pembuatan bahan bacaan
berbentuk refutation text untuk meremediasi miskonsepsi siswa dalam pembelajaran matematika di SMA. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Dikti Tahap I dan Tahap II, Pontiank: Universitas Tanjungpura.
Taylor, L. 1993. Vygotskian Influence in Mathematics Education, with Particular Reference to Attitude Development. Focus on Learning Problems in Mathematics. Spring & Summer Edition. Volume 15, Numbers 2 & 3. (halaman 3-16). Center for Teaching/Learning of Mathematics.
Tilmann,K.J. Weiss,M (2000). Self-Regulated Learning as cross-Curriculer Conpetence (PISA). (Online). Tersedia dalam: www.pisa.no/pdf/turmo-ionste2004.pdf. (10 Agustus 2008)
TIMSS (1991). International Mathematics Report.Finding from IEA” repeat of the third intenational Mathematics and science study at the eight grade. Bostom: The international center Boston College Lynch School of Education
Tomo, (2006). Mengintegrasikan teknik Membaca SQ4R dan Membuat Catatan berbentuk Grafic Post Organizer dalam Pembelajaran IPA di SMP. Disertasi SPS UPI, tidak diterbitkan
Twining, J.E. (1991). Strategies for Active Learning. Allyn and Bacon: Boston, USA
Von Glaserfeld, E. 2006. An Exposition of Constructivism: Why Some Like it Radical. Internet on line. Massachusetts: Scientific Reasoning Research InstituteUniversity of Massachusetts
Wahyudin (2008). Matematika dan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mimbar Pendidikan. No.2 Tahun XXII. Bandung: University Press UPI.
Wardani, S. (2008). Pembelajaran Inquiri Model Silver Untuk Mengembangkan Kreativitas dan Kemampuan Pemecahan Maslah Matematik Siswa SMA. Desertasi SPS UPI Bandung: tidak dipulblikasikan.
(6)
Wiederhold, C. (1997). The Q- Matric/Cooperative Learning & Higher-Level
Thinking. [Online).Tersedia:
http://members.aol.co01!MattTI0574/HigherOrderLiteracy.html [ 8 Oktober 2002].
Whitin, DJ. & Whitin, P. (2000). "Exploring Mathematics Through Talking and Writing". In Burke, M.J. & Curcio, F.R. (Eds.). 2000 Yearbook. Learning Mathematics For A New Century. USA: NCTM.
Wolters,C.A; Pintrich, P.R.; & Karabenick, S.A.(2003). Assessing Academic Self-Regulated Learning (Online).Tersedia dalam:
www.childrends.org/files/Wolters Pintricch Karabebenick.paper. pdf (10 Agustus 2008)
Yore, L.D & Shymanky, lA. (1991). "Reading In science Developing and Operational Conceptions to Guide Instruction". Journal of Research In Science Teaching. 23 (1), 29 - 36.
Yackel, E. Cobb, P. Wood, T. Merkel, G. 2002. Experience, Problem Solving, and Discourse as central Aspect of Constructivism. Cambers, D (Eds). Putting research into Practice in the Elementary Grades. Reading from Journals of the National Council of Teacher
Yoong, W.K. (1992). On Becoming A Reflective Teacher: Learning With The Filipino Mathematics Educators. Journal of Science and Mathematics Education In Southeast A-56.
Zimmerman B.J (2000). Developing Self-Fulfilling Cycles of Academic Regulatioan: An Analysis of Exemplary Instructional Models. Dalam D.H Schunk & B.J. Zimmerman (Eds.) Self Regulated Learning : From Teaching to Self-Reflective Practice. New York: The Guilford Press. Zimmerman B.J. (2003) Theories of Self-Regulated Learning and Academic
Achievement: An Overview and Analysis. Dalam B.J. Zimmerman & D.H. Schunk (Eds.). Self-Regulated Learning and Academic Achievement: Theoretical Perspectives. 2nd Edition. Lawrence Erlbaum Associates Inc. 10 Industrial Avenue, Mahwah, NJ 07430.