PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SERTA KECERDASAN EMOSIONAL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS-MASALAH PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS.

(1)

Halaman

PERNYATAAN KEASLIAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 20

D. Manfaat Penelitian ... 22

E. Definisi Operasional ... 23

F. Hipotesis Penelitian ... 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar Matematika di Sekolah Menengah Atas ... 30

B. Paradigma Baru Pengajaran Matematika ... 35

C. Pandangan Konstruktivisme tentang Pembelajaran ... 37

D. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 43

E. Kemampuan Penalaran Matematis ... 48

F. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 56

G. Kecerdasan Emosional ... 63

1. Sejarah dan Pengertian Kecerdasan Emosional ... 65

2. Dimensi Kecerdasan Emosional ... 70

H. Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 73

1. Pengertian ... 73

2. Masalah Matematis dalam Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 76

3. Fase-fase dalam Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 77

I. Aspek Kecerdasan Emosional pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 79


(2)

dan Kemampuan Berpikir Matematis ... 86

K. Retensi dalam Konteks Pembelajaran ... 89

1. Pengertian Retensi ... 89

2. Retensi Hasil Belajar ... 90

L. Penelitian yang Relevan ... 94

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain dan Subjek Penelitian ... 106

B. Teknik Sampling ... 109

C. Prosedur Penelitian ... 113

D. Pengembangan Instrumen ... 116

1. Tes ... 117

a. Tes Kemampuan Prasyarat (TKP) ... 119

b. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis (TKKM), Tes Kemampuan Penalaran Matematis (TKPM), dan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis (TKPMM) ... 130

c. Tes Kecerdasan Emosional (TKE) ... 138

2. Lembar Observasi ... 147

E. Langkah Eksperimen ... 149

F. Bahan Ajar ... 163

G. Kegiatan Pembelajaran ... 173

H. Analisis Data ... 175

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 177

1. Perbandingan Peningkatan KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 178

2. Perbandingan Peningkatan KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Kelompok KP ... 187

3. Perbandingan Peningkatan KE Berdasarkan Pembelajaran dan Waktu ... 197

4. Hubungan Variabel Terikat KKM, KPM, KPMM, dan KE ... 204 5. Perbandingan Peningkatan RKKM,


(3)

6. Perbandingan Peningkatan RKKM, RKPM, dan RKPMM Berdasarkan Pembelajaran

dan Kelompok KP ... 215

7. Perbandingan Aktivitas Siswa yang Berkaitan dengan Kategori Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika secara Umum, KKM, KPM, KPMM, dan KE Berdasarkan Faktor Pembelajaran ... 225

8. Perbandingan Aktivitas Guru yang Berkaitan dengan Kategori Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika secara Umum Berdasarkan Pembelajaran ... 233

B. Pembahasan ... 237

1. Pembelajaran ... 238

2. Peringkat Sekolah ... 253

3. Kemampuan Prasyarat ... 256

4. Waktu ... 259

5. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 262

6. Kemampuan Penalaran Matematis ... 268

7. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 274

8. Kecerdasan Emosional ... 281

9. Keterkaitan antara Kemampuan Komunikasi, Penalaran, Pemecahan Masalah Matematis, dan Kecerdasan Emosional Siswa ... 290

10. Temuan-temuan yang Bersifat Khusus ... 294

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 298

B. Implikasi ... 323

C. Saran ... 329

DAFTAR PUSTAKA ... 336


(4)

No. Tabel Judul Tabel Halaman

2.1. Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah ... 48

2.2. Komponen-komponen Penalaran Matematis ... 54

2.3. Pedoman Penskoran Kemampuan Penalaran ... 56

2.4. Holistic Scoring Rubrics ... 63

3.1. Desain Penelitian Berdasarkan Kemampuan Prasyarat Matematika .. 108

3.2. Desain Penelitian Berdasarkan Peringkat Sekolah ... 108

3.3. Desain Penelitian Berdasarkan Waktu ... 109

3.4. Kriteria Kategori Kemampuan Prasyarat (KP) ... 109

3.5. Uji Q-Cochran tentang Validitas Isi TKP ... 120

3.6. Uji Q-Cochran tentang Validitas Muka TKP ... 121

3.7. Uji Q-Cochran tentang Validitas Isi TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 131

3.8. Uji Q-Cochran tentang Validitas Muka TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 132

3.9. Hasil Perhitungan Reliabilitas TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 137

3.10. Uji McNemar tentang Validitas Isi, Konstruk, dan Muka TKE ... 140

3.11. Hasil Perhitungan Daya Beda Item-Item Pernyataan pada TK ... 143

3.12. Hasil Perhitungan Reliabilitas per Dimensi dan Reliabilitas Skor Komposit Tes Kecerdasan Emosional ... 144

3.13. Hasil Perhitungan Validitas Konstruk Dimensi dan Indikator Tes Kecerdasan Emosional ... 145

3.14. Pengkategorian dan Interpretasi Skor Tes Kecerdasan Emosional ... 146

3.15. Jadwal Pertemuan dan Pokok Bahasan ... 149

3.16. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran pada Kelas Eksperimen .... 154

3.17. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran pada Kelas Kontrol ... 161

3.18. Perbandingan Karakteristik antara Pembelajaran Berbasis-Masalah dan Pembelajaran Konvensional ... 174

4.1. Rerata dan Simpangan Baku Pretes, Postes, serta N-Gain KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 178

4.2. Rangkuman Uji Anava Dua Jalur N-Gain KKM, KPM, dan KPMM dengan Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 180 4.3. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney N-Gain KKM, KPM, dan


(5)

4.4. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t N-Gain KKM, KPM, dan KPMM antar Pembelajaran pada Sekolah

Peringkat Atas dan Tengah ... 185 4.5. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t N-Gain KKM,

KPM, dan KPMM antar Peringkat Sekolah pada PBM

dan Pembelajaran Konvensional ... 186 4.6. Rerata dan Simpangan Baku Pretes, Postes, serta N-Gain KKM,

KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (KP) ... 187 4.7. Rangkuman Uji Anava Dua Jalur N-Gain KKM, KPM,

dan KPMM dengan Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (KP) ... 189 4.8. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t N-Gain KKM,

KPM, dan KPMM Berdasarkan Faktor KP ... 194 4.9. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t N-Gain KKM,

KPM, dan KPMM antar Pembelajaran

pada kelompok KP Tinggi, Sedang, dan Rendah ... 195 4.10. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t N-Gain KKM,

KPM, dan KPMM antar kelompok KP

pada PBM dan Pembelajaran Konvensional ... 196 4.11. Rerata dan Simpangan Baku Pretes, Postes, serta N-Gain KE

Berdasarkan Pembelajaran dan Waktu ... 198 4.12. Pengaruh Bersama Faktor Pembelajaran

dan Waktu terhadap N-Gain KE ... 199 4.13. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t N-Gain KE

Berdasarkan Faktor Pembelajaran dan Waktu ... 201 4.14. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney N-Gain KE

antar Pembelajaran pada Setiap Selang Waktu ... 202 4.15. Rangkuman Hasil Uji Kruskal Wallis dan Uji Mann-Whitney

N-Gain KE antar Selang Waktu

pada PBM dan Pembelajaran Konvensional ... 203 4.16. Skor N-Gain dan Postes KKM, KPM, KPMM, dan KE ... 204 4.17. Uji Korelasi antara Variabel KKM, KPM, KPMM,

dan KE Berdasarkan Postes dan N-Gain ... 205 4.18. Rerata dan Simpangan Baku Retensi KKM, KPM, dan KPMM

Berdasarkan Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 206 4.19. Rangkuman Uji Anava Dua Jalur Retensi KKM, KPM,

dan KPMM dengan Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 208 4.20. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t Retensi

KKM dan KPMM Berdasarkan Faktor Pembelajaran


(6)

pada Sekolah Peringkat Atas dan Tengah ... 213

4.22. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t Retensi KKM dan KPMM antar Peringkat Sekolah pada PBM dan Pembelajaran Konvensional ... 214

4.23. Rerata dan Simpangan Baku Retensi KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Prasyarat (KP) ... 215

4.24. Rangkuman Uji Anava Dua Jalur retensi KKM, KPM, dan KPMM dengan Faktor Pembelajaran dan Kemampuan Prasyarat (KP) ... 217

4.25. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney Retensi KPMM Berdasarkan Faktor KP (KP Rendah dan KP Sedang) ... 222

4.26. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t Retensi KKM dan RKPMM antar Pembelajaran pada kelompok KP Tinggi, Sedang, dan Rendah ... 223

4.27. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney atau Uji-t Retensi KPMM antar kelompok KP pada PBM dan Pembelajaran Konvensional ... 224

4.28. Kualitas Kecerdasan Emosional Siswa pada PBM dan Pembelajaran Konvensional ... 283

C.1. Hasil Pertimbangan Validitas Isi TKE ... 520

C.2. Hasil Pertimbangan Validitas Konstruk TKE ... 521

C.3. Hasil Pertimbangan Validitas Muka TKE ... 522

C.4. Uji McNemar tentang Validitas Isi TKE ... 523

C.5. Uji McNemar tentang Validitas Konstruk TKE ... 523

C.6. Uji McNemar tentang Validitas Muka TKE ... 523

C.7. Hasil Perhitungan Daya Beda Item Tes Kecerdasan Emosional untuk Dimensi Mengenal Emosi Diri ... 530

C.8. Hasil Perhitungan Daya Beda Item Tes Kecerdasan Emosional untuk Dimensi Mengelola Emosi ... 531

C.9. Hasil Perhitungan Daya Beda Item Tes Kecerdasan Emosional untuk Dimensi Memotivasi Diri Sendiri ... 532

C.10. Hasil Perhitungan Daya Beda Item Tes Kecerdasan Emosional untuk Dimensi Mengenal Emosi Orang Lain ... 533

C.11. Hasil Perhitungan Daya Beda Item Tes Kecerdasan Emosional untuk Dimensi Membina Hubungan ... 534

C.12. Perubahan Nomor Item Sebelum dan Setelah Seleksi atau Setelah Ujicoba ... 535

C.13. Hasil Perhitungan Reliabilitas per Dimensi dan Reliabilitas Skor Komposit Tes Kecerdasan Emosional ... 538


(7)

dan Indikator Tes Kecerdasan Emosional ... 543

C.15. Kriteria Kategori Skor Tes Kecerdasan Emosional (TKE) ... 544

C.16. Hasil Pertimbangan Validitas Isi TKP ... 545

C.17. Hasil Pertimbangan Validitas Muka TKP ... 546

C.18. Uji Q-Cochran tentang Validitas Isi dan Muka TKP ... 547

C.19. Hasil Pertimbangan Validitas Isi dan Muka TKKM ... 557

C.20. Hasil Pertimbangan Validitas Isi dan Muka TKPM ... 557

C.21. Hasil Pertimbangan Validitas Isi dan Muka TKPMM ... 558

C.22. Uji Q-Cochran tentang Validitas Isi TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 558

C.23. Uji Q-Cochran tentang Validitas Muka TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 559

C.24. Hasil Perhitungan Reliabilitas TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 560

C.25. Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Item Soal TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 561

E.1. N-Gain KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 662

E.2. Anava Dua Jalur N-Gain KKM dengan Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 663

E.3. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KKM antar Pembelajaran dan N-Gain Tes KKM antar Peringkat Sekolah ... 665

E.4. Uji-t Perbandingan N-Gain KKM antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Atas ... 666

E.5. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KKM antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Tengah ... 667

E.6. Uji-t Perbandingan N-Gain KKM antar Peringkat Sekolah pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 667

E.7. Uji-t Perbandingan N-Gain KKM antar Peringkat Sekolah pada Pembelajaran Konvensional ... 668

E.8. Anava Dua Jalur N-Gain KPM dengan Faktor Peringkat Sekolah dan Pembelajaran ... 669

E.9. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM antar Pembelajaran dan N-Gain Tes KPM antar Peringkat Sekolah ... 671

E.10. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Atas ... 672

E.11. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Tengah ... 672


(8)

E.13. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM

antar Peringkat Sekolah pada Pembelajaran Konvensional ... 674 E.14. Anava Dua Jalur N-Gain KPMM

dengan Faktor Peringkat Sekolah dan Pembelajaran ... 675 E.15. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM antar

Pembelajaran dan N-Gain KPMM antar Peringkat Sekolah ... 677 E.16. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM

antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Atas ... 678 E.17. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM

antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Tengah ... 679 E.18. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM

antar Peringkat Sekolah pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 679 E.19. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM

antar Peringkat Sekolah pada Pembelajaran Konvensional ... 680 E.20. N-Gain KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 681 E.21. Anava Dua Jalur N-Gain KKM dengan Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 682 E.22. Uji Fisher Perbandingan N-Gain KKM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 685 E.23. Uji-t Perbandingan N-Gain KKM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 686 E.24. Uji-t Perbandingan N-Gain KKM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Tinggi ... 687 E.25. Uji-t Perbandingan N-Gain KKM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Sedang ... 688 E.26. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KKM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Rendah ... 688 E.27. Anava Satu Jalur Perbandingan N-Gain KKM

antar Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika

pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 689 E.28. Uji Fisher Perbandingan N-Gain KKM antar Kemampuan

Prasyarat Matematika pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 690 E.29. Uji-t Perbandingan N-Gain KKM antar Kemampuan

Prasyarat Matematika pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 691 E.30. Uji Kruskal Wallis Perbandingan N-Gain KKM

antar Kelompok Kemampuan Prasyarat

Matematika pada Pembelajaran Konvensional ... 692 E.31. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KKM antar Kemampuan


(9)

dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 694 E.33. Uji Fisher Perbandingan N-Gain KPM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 697 E.34. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 698 E.35. Uji-t Perbandingan N-Gain KPM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Tinggi ... 698 E.36. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Sedang ... 699 E.37. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Rendah ... 699 E.38. Uji Kruskal Wallis Perbandingan N-Gain KPM

antar Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika

pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 700 E.39. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPM antar Kemampuan

Prasyarat Matematika pada Pembelajaran Berbasis-masalah ... 701 E.40. Uji Kruskal Wallis Perbandingan N-Gain KPM

antar Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika

pada Pembelajaran Konvensional ... 702 E.41. Anava Dua Jalur N-Gain KPMM dengan Faktor

Pembelajaran dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 703 E.42. Uji Fisher Perbandingan N-Gain KPMM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 705 E.43. Uji-t dan Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 706 E.44. Uji-t Perbandingan N-Gain KPMM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Tinggi ... 707 E.45. Uji-t Perbandingan N-Gain KPMM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Sedang ... 708 E.46. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Rendah ... 708 E.47. Uji Kruskal Wallis Perbandingan N-Gain KPMM

antar Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika

pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 709 E.48. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KPMM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika

pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 710 E.49. Uji Kruskal Wallis Perbandingan N-Gain KPMM

antar KelompokKemampuan Prasyarat Matematika


(10)

antar Kemampuan Prasyarat Matematika

pada Pembelajaran Konvensional ... 712 E.51. N-Gain KE Berdasarkan Pembelajaran dan Waktu ... 714 E.52. Anava Dua Jalur N-Gain KE dengan Faktor

Pembelajaran dan Waktu ... 715 E.53. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KE antar Pembelajaran .... 717 E.54. Uji Fisher Perbandingan N-Gain KE antar Waktu ... 718 E.55. Uji-t Perbandingan N-Gain KE antar Waktu ... 718 E.56. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KE antar Pembelajaran

pada Selang Waktu Setengah Semester Pertama ... 719 E.57. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KE antar Pembelajaran

pada Selang Waktu Setengah Semester Kedua ... 720 E.58. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KE antar Pembelajaran

pada Selang Waktu Satu Semester ... 720 E.59. Uji Kruskal Wallis Perbandingan N-Gain KE antar Waktu

pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 721 E.60. Uji Mann-Whitney Perbandingan N-Gain KE

antar Waktu pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 722 E.61. Uji Kruskal Wallis Perbandingan N-Gain KE antar Waktu

pada Pembelajaran Konvensional ... 723 E.62. Skor N-Gain dan Postes KKM, KPM, KPMM, dan KE ... 724 E.63. Uji Korelasi antara Variabel KKM, KPM, KPMM,

dan KE Berdasarkan Postes ... 724 E.64. Uji Korelasi antara Variabel KKM, KPM, KPMM,

dan KE Berdasarkan N-Gain ... 725 E.65. Retensi KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah ... 726 E.66. Anava Dua Jalur Retensi KKM dengan Faktor Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah ... 727 E.67. Uji-t Perbandingan Retensi KKM antar Pembelajaran

dan Retensi KKM antar Peringkat Sekolah ... 730 E.68. Uji-t Perbandingan Retensi KKM antar Pembelajaran

pada Sekolah Peringkat Atas ... 731 E.69. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KKM

antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Tengah ... 731 E.70. Uji-t Perbandingan Retensi KKM antar Peringkat Sekolah

pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 732 E.71. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KKM


(11)

Peringkat Sekolah dan Pembelajaran ... 733 E.73. Anava Dua Jalur Retensi KPMM dengan Faktor

Peringkat Sekolah dan Pembelajaran ... 735 E.74. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KPMM antar Pembelajaran

dan N-Gain Tes RKPMM antar Peringkat Sekolah ... 737 E.75. Uji-t Perbandingan Retensi KPMM

antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Atas ... 738 E.76. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KPMM

antar Pembelajaran pada Sekolah Peringkat Tengah ... 739 E.77. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KPMM

antar Peringkat Sekolah pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 739 E.78. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KPMM

antar Peringkat Sekolah pada Pembelajaran Konvensional ... 740 E.79. Retensi KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 741 E.80. Anava Dua Jalur Retensi KKM dengan Faktor

Pembelajaran dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 742 E.81. Uji-t Perbandingan Retensi KKM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Tinggi ... 745 E.82. Uji-t Perbandingan Retensi KKM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Sedang ... 745 E.83. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KKM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Rendah ... 746 E.84. Anava Dua Jalur Retensi KPM dengan Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 746 E.85. Anava Dua Jalur Retensi KPMM dengan Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 749 E.86. Uji Fisher Perbandingan Retensi PMM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 752 E.87. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KPMM

antar Kemampuan Prasyarat Matematika ... 753 E.88. Uji-t Perbandingan Retensi KPMM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Tinggi ... 753 E.89. Uji-t Perbandingan Retensi KPMM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Sedang ... 754 E.90. Uji Mann-Whitney Perbandingan Retensi KPMM antar Pembelajaran

pada Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika Rendah ... 754 E.91. Uji Kruskal Wallis Perbandingan Retensi KPMM


(12)

Prasyarat Matematika pada Pembelajaran Berbasis-Masalah ... 756 E.93. Anava Satu Jalur Perbandingan Retensi KPMM

antar Kelompok Kemampuan Prasyarat Matematika

pada Pembelajaran Konvensional ... 757 E.94. Uji Fisher Perbandingan Retensi KPMM antar Kemampuan

Prasyarat Matematika pada Pembelajaran Konvensional ... 758 E.95. Uji-t Perbandingan Retensi KPMM antar Kemampuan

Prasyarat Matematika pada Pembelajaran Konvensional ... 759 F.1. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Subjek Ujicoba ... 760 F.2. Daftar Skor Kemampuan Prasyarat Subjek Ujicoba ... 767 F.3. Daftar Skor Kemampuan Komunikasi Matematis Subjek Ujicoba .... 769 F.4. Daftar Skor Kemampuan Penalaran Matematis Subjek Ujicoba ... 774 F.5. Daftar Skor Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Subjek Ujicoba ... 779 F.6. Daftar Skor Kemampuan Prasyarat Siswa Kelas Eksperimen

pada Sekolah Peringkat Atas ... 784 F.7. Daftar Skor Kemampuan Prasyarat Siswa Kelas Kontrol

pada Sekolah Peringkat Atas ... 785 F.8. Daftar Skor Kemampuan Prasyarat Siswa Kelas Eksperimen

pada Sekolah Peringkat Tengah ... 786 F.9. Daftar Skor Kemampuan Prasyarat Siswa Kelas Kontrol

pada Sekolah Peringkat Tengah ... 787 F.10. Daftar Skor Pretes, Skor Postes, serta N-Gain KKM, KPM, dan

KPMM Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Atas ... 788 F.11. Daftar Skor Pretes, Skor Postes, serta N-Gain KKM, KPM, dan

KPMM Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Atas ... 790 F.12. Daftar Skor Pretes, Skor Postes, serta N-Gain KKM, KPM, dan

KPMM Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Tengah .... 792 F.13. Daftar Skor Pretes, Skor Postes, serta N-Gain KKM, KPM, dan

KPMM Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Tengah ... 794 F.14. Daftar Skor Postes* serta Retensi KKM, KPM, dan KPMM

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Atas ... 796 F.15. Daftar Skor Postes* serta Retensi KKM, KPM, dan KPMM

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Atas ... 798 F.16. Daftar Skor Postes* serta Retensi KKM, KPM, dan KPMM

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Tengah ... 800 F.17. Daftar Skor Postes* serta Retensi KKM, KPM, dan KPMM

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Tengah ... 802 F.18. Daftar Skor Kecerdasan Emosional


(13)

F.19. Daftar Skor Kecerdasan Emosional

Siswa Kontrol pada Sekolah Peringkat Atas ... 806 F.20. Daftar Skor Kecerdasan Emosional

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Tengah ... 808 F.21. Daftar Skor Kecerdasan Emosional

Siswa Kontrol pada Sekolah Peringkat Tengah ... 810 F.22. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 1

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Atas ... 812 F.23. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 2

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Atas ... 814 F.24. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 3

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Atas ... 816 F.25. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 1

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Atas ... 818 F.26. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 2

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Atas ... 820 F.27. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 3

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Atas ... 822 F.28. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 1

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Tengah ... 824 F.29. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 2

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Tengah ... 826 F.30. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 3

Siswa Kelas Eksperimen pada Sekolah Peringkat Tengah ... 828 F.31. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 1

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Tengah ... 830 F.32. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 2

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Tengah ... 832 F.33. Daftar Skor Kecerdasan Emosional Tes Ke – 3

Siswa Kelas Kontrol pada Sekolah Peringkat Tengah ... 834 F.34. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Atas

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Atas ... 836 F.35. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Tengah

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Atas ... 837 F.36. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 2 Kelompok Tengah


(14)

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Atas ... 839 F.38. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Bawah

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Atas ... 840 F.39. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Atas

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Atas ... 841 F.40. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Tengah

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Atas ... 842 F.41. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 2 Kelompok Tengah

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Atas ... 843 F.42. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 3 Kelompok Tengah

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Atas ... 844 F.43. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Bawah

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Atas ... 845 F.44. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Atas

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Tengah ... 846 F.45. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Tengah

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Tengah ... 847 F.46. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 2 Kelompok Tengah

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Tengah ... 848 F.47. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 3 Kelompok Tengah

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Tengah ... 849 F.48. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Bawah

pada Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Tengah ... 860 F.49. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Atas

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Tengah ... 851 F.50. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Tengah


(15)

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Tengah ... 853 F.52. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 3 Kelompok Tengah

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Tengah ... 854 F.53. Daftar Frekuensi Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Siswa 1 Kelompok Bawah

pada Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Tengah ... 855 F.54. Daftar Skor Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berkaitan dengan KKM, KPM, KPMM, dan KE

Siswa Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Atas ... 856 F.55. Daftar Skor Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berkaitan dengan KKM, KPM, KPMM, dan KE

Siswa Kelas Eksperimen Sekolah Peringkat Tengah ... 857 F.56. Daftar Skor Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berkaitan dengan KKM, KPM, KPMM, dan KE

Siswa Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Atas ... 858 F.57. Daftar Skor Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berkaitan dengan KKM, KPM, KPMM, dan KE

Siswa Kelas Kontrol Sekolah Peringkat Tengah ... 859 F.58. Daftar Skor Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan Kategori Umum Pada Kelas PBM ... 860 F.58. Daftar Frekuensi Aktivitas Guru dalam

Pembelajaran Matematika Berdasarkan Kategori Umum


(16)

No. Gambar Judul Gambar Halaman 2.1. Metafora Pengkonstruksian Ide ... 38 2.2. Zone of Proximal Development ... 41 4.1. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah (N-Gain KKM) ... 181 4.2. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah (N-Gain KPM) ... 182 4.3. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah (N-Gain KPMM) ... 183 4.4. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (N-Gain KKM) ... 190 4.5. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (N-Gain KPM) ... 191 4.6. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (N-Gain KPMM) ... 192 4.7. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Waktu (N-Gain KE) ... 200 4.8. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah (Retensi KKM) ... 209 4.9. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah (Retensi KPM) ... 210 4.10. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Peringkat Sekolah (Retensi KPMM) ... 211 4.11. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (Retensi KKM) ... 218 4.12. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (Retensi KPM) ... 219 4.13. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran

dan Kemampuan Prasyarat (Retensi KPMM) ... 221 4.14. Perbandingan Rerata Frekuensi Aktivitas antara Siswa

yang Memperoleh PBM dan Pembelajaran Konvensional

Berdasarkan Kategori Umum ... 227 4.15. Perbandingan Rerata Frekuensi Aktivitas antara Siswa

yang Memperoleh PBM dan Pembelajaran Konvensional pada

Sekolah Peringkat Atas dan Tengah Berdasarkan Kategori Umum ... 228 4.16. Perbandingan Rerata Skor Aktivitas antara Siswa


(17)

yang Memperoleh PBM dan Siswa yang Memperoleh

Pembelajaran Konvensional Terkait dengan KPM ... 231 4.18. Perbandingan Rerata Skor Aktivitas antara Siswa

yang Memperoleh PBM dan Siswa yang Memperoleh

Pembelajaran Konvensional Terkait dengan KPMM ... 232 4.19. Perbandingan Rerata Skor Aktivitas antara Siswa

yang Memperoleh PBM dan Siswa yang Memperoleh

Pembelajaran Konvensional Terkait dengan KE ... 232 4.20. Perbandingan Rerata Frekuensi Aktivitas antara Guru

pada PBM dan Guru pada Pembelajaran Konvensional

Berdasarkan Kategori Umum ... 234 4.21. Perbandingan Rerata Frekuensi Aktivitas antara guru

pada PBM dan Pembelajaran Konvensional pada Sekolah

Peringkat Atas dan Tengah Berdasarkan Kategori Umum ... 235 C.1. Diagram Jalur Estimasi Parameter Model Pengukuran

Dua Tahap Konstruk TKE serta Factor Loading

dari Dimensi dan Indikator TKE ... 541 E.1. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah

(N-Gain KKM) ... 664 E.2. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah

(N-Gain KPM) ... 670 E.3. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah

(N-Gain KPMM) ... 676 E.4. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Kemampuan

Prasyarat (N-Gain KKM) ... 684 E.5. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Kemampuan

Prasyarat (N-Gain KPM)... 695 E.6. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Kemampuan

Prasyarat (N-Gain KPMM) ... 704 E.7. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Waktu

(N-Gain KE) ... 716 E.8. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah

(Retensi KKM) ... 729 E.9. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah

(Retensi KPM) ... 734 E.10. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Peringkat Sekolah

(Retensi KPMM) ... 736 E.11. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Kemampuan

Prasyarat (Retensi KKM) ... 743 E.12. Plot Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Kemampuan


(18)

(19)

Halaman

A. Perangkat Pembelajaran ... 347

A.1. Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran pada Kelas Eksperimen ... 347

A.2. Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran pada Kelas Kontrol ... 368

A.3. Contoh Bahan Ajar pada Kelas Eksperimen ... 373

B. Instrumen ... 381

B.1. Kisi-kisi Tes Kecerdasan Emosional ... 381

B.2. Kisi-kisi Tes Kemampuan Prasyarat ... 390

B.3. Kisi-kisi Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Pemecahan Masalah Matematis ... 418

B.4. Tes Kecerdasan Emosional ... 432

B.5. Tes Kemampuan Prasyarat ... 439

B.6. Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Pemecahan Masalah Matematis ... 454

B.7. Alternatif Penyelesaian Soal Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Pemecahan Masalah Matematis ... 463

B.8. Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Pemecahan Masalah Matematis ... 486

B.9. Lembar Observasi ... 502

B.10. Lembar Pertimbangan Instrumen ... 512

C. Analisis Kualitas Instrumen ... 520

C.1. Analisis Kualitas Tes Kecerdasan Emosional ... 520

C.2. Analisis Kualitas Tes Kemampuan Prasyarat ... 544

C.3. Analisis Kualitas TKKM, TKPM, dan TKPMM ... 557

D. Pengujian Normalitas dan Homogenitas ... 562

D.1. Pengujian Normalitas ... 562

D.2. Pengujian Homogenitas ... 589

E. Analisis Data Penelitian ... 662

E.1. Analisis Data N-Gain KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 662

E.2. Analisis Data N-Gain KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 680


(20)

E.4. Analisis Hubungan Variabel Terikat KKM,

KPM, KPMM, dan KE ... 723

E.5. Analisis Data Retensi KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Peringkat Sekolah ... 725

E.6. Analisis Data Retensi KKM, KPM, dan KPMM Berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Prasyarat Matematika ... 740

F. Data Hasil Ujicoba Instrumen dan Penelitian ... 760

F.1. Data Hasil Ujicoba ... 760

F.2. Data Hasil Penelitian ... 784


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika, sebagai suatu ilmu, dibangun, dibentuk, dan dikembangkan oleh manusia, adalah bagian dari kebudayaan manusia, dan bersifat universal, bukan milik sekelompok orang tertentu. Sejak kecil manusia berkenalan dengan matematika dalam bentuknya yang paling mendasar, misalnya dalam belajar mempergunakan bilangan untuk menghitung dan mengukur. Melalui pendidikan yang dimulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, potensi yang ada pada manusia dalam matematika selanjutnya dikembangkan dengan mempelajari bidang-bidang lainnya dari matematika. Tanpa terasa penguasaan matematika itu akan menjadi salah satu unsur yang ikut membentuk kepribadiannya. Dengan belajar matematika, seseorang sedikit banyaknya akan dibentuk menjadi orang yang diharapkan mampu untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerjasama, yang menjadi bagian dari kepribadiannya. Kepribadian ini, tentu sangat berperan dalam kemajuan atau kemunduran manusia tersebut.

Berkenaan dengan peran dari matematika dalam kemajuan dan kemunduran umat manusia, Levitt (Buchori, 2000, h. 123) menyatakan bahwa jika suatu masyarakat dibiarkan dalam kebutaan matematika maka akan membuat masyarakat tersebut kehilangan kemampuan untuk berpikir secara disipliner dalam menghadapi masalah-masalah nyata, yang dimulai dari masalah-masalah


(22)

yang relatif sederhana hingga masalah-masalah yang benar-benar rumit. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya pembelajaran matematika bagi suatu masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi yang akan datang, sangat penting dan perlu terus-menerus ditingkatkan kualitasnya. Dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan pembelajaran matematika, yaitu dunia pendidikan dan lebih khususnya lagi pendidikan matematika di sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Salah satu penelitian yang menjadi perhatian besar bagi para akademisi, praktisi, dan pemerhati pendidikan matematika, yaitu penelitian dari Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999, 2003, dan 2007. Hasil penelitian TIMSS menunjukkan masih rendahnya prestasi siswa Indonesia dalam matematika, terutama terkait soal-soal atau masalah-masalah tidak rutin yaitu dapat dilihat dari rata-rata prestasi siswa Indonesia yang jauh di bawah rata-rata internasional. Ini juga sekaligus menunjukkan daya saing siswa Indonesia di ajang internasional masih rendah, yaitu dapat dilihat dari peringkat Indonesia yang berada diperingkat sepuluh terakhir dari kurang lebih 45 negara yang ikut berpartisipasi.

Tentang penelitian TIMSS tahun 1999, Suryadi (2005, h. 3) mengemukakan, “Hasil studi internasional dalam bidang matematika dan IPA (TIMSS) untuk kelas delapan SLTP (eighth grade), mengindikasikan bahwa soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh siswa Indonesia yang ikut dalam TIMSS”. Dari laporan penelitian TIMSS di tahun 1999 dan 2003 terungkap bahwa ternyata kemampuan siswa-siswa Amerika Serikat sebagai


(23)

negara maju, untuk kelas delapan dan kelas dua belas kemampuannya jauh di bawah rerata internasional (Olson, 2005, h. 76; Walle, 2007, h. 7). Lebih jauh Schmidt, McKnight, dan Raizen (Olson, 2005, h. 76; Walle, 2007, h. 7) mengemukakan penemuan utama TIMSS antara lain adalah bahwa ketidakmampuan siswa Amerika Serikat tersebut terutama dalam mengerjakan soal yang memerlukan pemikiran mendalam, dan pada umumnya hanya bisa mengerjakan soal yang rutin. Ini menunjukkan pembelajaran matematika belum fokus pada pengembangan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi, baik di Indonesia ataupun di beberapa negara maju. Hal ini diperkuat dengan laporan hasil studi Henningsen dan Stein, 1997; Peterson, 1998; Mullis, dkk, 2000 (Suryadi, 2005, h. 2) yang mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya belum memfokuskan pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Menurut Sumarmo (2005, h. 5) kemampuan berfikir matematis tingkat tinggi (high order mathematical thinking) di antaranya adalah kemampuan penalaran, pemecahan masalah, dan komunikasi matematis. Sementara itu, Schoenfeld (Heningsen dan Stein, 1997, h. 532) memposisikan kemampuan pemecahan masalah sebagai salah satu kegiatan berpikir matematis tingkat tinggi.

Kemampuan pemecahan masalah, penting untuk dimiliki siswa karena kemampuan pemecahan masalah banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari (NCTM, 2000, h. 334). Berkaitan dengan belajar matematika, Wahyudin (2003) menyatakan bahwa pemecahan masalah bukanlah sekadar tujuan dari belajar matematika, tetapi juga merupakan alat utama untuk mencapai tujuan itu. Lebih lanjut, Wahyudin (2003) menjelaskan bahwa pemecahan masalah juga merupakan


(24)

keterampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah keseharian siswa atau situasi-situasi dalam pembuatan keputusan secara benar dan baik dalam kehidupannya. Pernyataan senada berkaitan dengan pemecahan masalah dinyatakan Halmos (NCTM, 2000, h. 341) bahwa pemecahan masalah merupakan jantungnya matematika. Oleh karena itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Depdiknas, 2006) memiliki alasan logis yang tertuang dalam dokumentasinya bahwa salah satu tujuan pelajaran matematika diajarkan di sekolah adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis.

Mengenai kemampuan pemecahan masalah dalam matematika bukan saja menjadi kepentingan di Indonesia, bahkan di negara luar Indonesia pun kemampuan pemecahan masalah matematika menjadi kemampuan yang penting harus dimiliki siswa. Sebagai contoh, seperti apa yang diungkapkan Stacey dan Groves (Anderson, 2005, h. 3) bahwa tercatat setiap wilayah Negara Australia memasukkan kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai bagian dari tujuan kurikulumnya, sejak tahun 1988. Sementara itu, Xie (2004, h. 4) mengungkapkan bahwa di Amerika Serikat seperti yang dicantumkan dalam NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) dan di Cina seperti yang dicantumkan dalam MOE (Ministry of Education), kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan main goal dari pendidikan matematika.

Fakta yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih rendah, baik di tingkat pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Sumarmo (1993, 1994, dan 1999), Hasbullah (2000), Soekisno (2002), Sugandi (2002),


(25)

Sutrisno (2002), Wardani (2002), Suwaningsih (2004), Hafriani (2004), Atun (2006), dan Noer (2007), dan Dwijanto (2007) bahwa secara klasikal kemampuan pemecahan masalah matematis belum mencapai taraf minimal yang dianggap memuaskan atau kriteria ketuntasan belajar minimal yang telah ditentukan. Pada umumnya taraf minimal yang dianggap memuaskan atau kriteria ketuntasan belajar minimal lebih dari 60% dari skor ideal (Wahidmurni, Mustikawan, dan Ridho, 2010).

Fakta-fakta tentang masih kurang memuaskannya kemampuan pemecahan masalah matematis ini bukan hanya di Indonesia, namun juga terjadi di Australia. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Anderson (2005, h. 3), yaitu hasil PISA dan TIMSS mengungkapkan bahwa siswa Australia untuk kelas delapan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah yang sedikit kompleks. Selain itu, Schoenfeld (Even dan Tirosh, 2003, h. 225) dalam sebuah studinya mengungkapkan suatu fenomena yang mengecewakan, yang sering dikeluhkan para peneliti dan guru bahwa para pelajar yang memiliki banyak pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu masalah, sering tidak mampu menggunakan pengetahuannya itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak rutin.

Dalam menyelesaikan suatu masalah matematika, seperti yang dilaporkan Wahyudin (1999) dari hasil penelitiannya bahwa kegagalan menguasai matematika dengan baik, di antaranya disebabkan siswa kurang menggunakan nalar dalam menyelesaikan masalah. Demikian juga kesimpulan Kennedy (Hudoyo, 1990) dari hasil penelitiannya tentang penalaran di Amerika Serikat serta pernyataan Ansjar dan Sembiring (2000) sebagai pakar matematika


(26)

Indonesia adalah bahwa kemampuan penalaran sangat diperlukan siswa untuk menyelesaikan suatu masalah matematika. Ini artinya, kemampuan penalaran matematis perlu diperhatikan juga mengingat untuk dapat menyelesaikan suatu masalah matematika diperlukan kemampuan nalar dari siswa.

Penalaran merupakan karakteristik utama matematika yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan mempelajari dan mengembangkan matematika atau menyelesaikan suatu masalah matematika (Ansjar dan Sembiring, 2000). Bahkan, implementasi pembelajaran yang menekankan kehadiran penalaran juga telah direkomendasikan oleh NCTM (2000, h. 262) dengan menyatakan bahwa penalaran merupakan bagian dari kegiatan belajar-mengajar matematika. Dengan demikian, sudah sepantasnya kemampuan penalaran matematis pun perlu mendapat perhatian untuk lebih ditingkatkan di samping kemampuan pemecahan masalah matematis.

Selain kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis, siswa perlu juga memiliki kemampuan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis diperlukan, karena bagi individu dapat mengungkapkan hasil pemecahan masalahnya diperlukan kemampuan komunikasi matematis yang cukup baik. Kemampuan komunikasi membantu individu agar membangun makna dan menyajikan kelengkapan gagasan serta dapat mengembangkan gagasan dari proses menyelesaikan suatu masalah matematika (Turmudi, 2008).

Beberapa penelitian menunjukkan kemampuan komunikasi matematis yang masih belum memuaskan. Misalnya, tentang strategi pemecahan masalah, penelitian Sumarmo tahun 1997 (Juandi, 2006) menyatakan bahwa mahasiswa kelompok tengah dan atas pada kemampuan matematika umum, dalam


(27)

menyelesaikan suatu masalah matematika belum dapat mengkomunikasikan langkah-langkah penyelesaiannya secara lengkap. Walaupun penelitian ini di tingkat perguruan tinggi, tetapi sangat memungkinkan tidak berbeda jauh untuk di tingkat sekolah menengah. Kemudian, sebagaimana hasil-hasil penelitian Rohaeti (2003), Wihatma (2004), dan Purniati (2004) menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi siswa masih rendah, belum sesuai dengan apa yang kita harapkan. Rendahnya kemampuan komunikasi matematis serta jarang dilatihkannya pada siswa mengakibatkan siswa merasa sangat asing untuk berbicara atau menulis tentang matematika, dan akhirnya berimplikasi pada kesulitan dalam menyelesaikan suatu masalah matematika (Cai, 1996).

Di samping kemampuan-kemampuan yang termasuk dalam aspek kognitif yang perlu mendapatkan perhatian sangat khusus dalam pembelajaran matematika, begitu juga dengan keterampilan dalam aspek non-kognitif, misalnya yaitu kecerdasan emosional (emotional intelligence). Hal ini cukup beralasan, karena matematika adalah suatu mata pelajaran yang ada di sekolah, tidak jarang dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit bagi pada umumnya siswa. Kesulitan siswa dalam mempelajari matematika mungkin saja membuat siswa menjadi tidak senang terhadap matematika, sebagaimana yang dinyatakan Ruseffendi (1988, h. 15) bahwa matematika bagi siswa pada umumnya merupakan mata pelajaran yang dibenci atau tidak disenangi. Melalui kehadiran pertimbangan emosional dalam pembelajarannya secara istimewa mungkin akan sedikit banyak membantu dalam menerima pelajaran matematika.

Hasil penelitian Martin pada siswa-siswa SLTP di Indonesia yang ber-IQ tinggi, yaitu di atas 120, mengungkapkan bahwa sebagian besar kegagalan mereka


(28)

dalam mata pelajaran matematika di sekolah bukan disebabkan pada IQ mereka tetapi pada pengendalian emosionalnya (Martin, 2003). Lebih jauh Martin (2003) dari hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa banyak orang yang kemampuan nalarnya baik namun tanpa kecerdasan emosional yang baik pula ternyata malah menjadi batu sandungan bagi lingkungan sekitarnya (Martin, 2003). Berkaitan dengan pentingnya perhatian terhadap kecerdasan emosional, secara umum karena banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dapat mengetahui dan mengendalikan perasaan mereka sendiri dengan baik, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bahagia dan berhasil dalam kehidupan, serta memiliki pikiran yang jernih (Goleman, 1996).

Faktor emotional intelligence (EI) belakangan ini telah diakui oleh para psikolog sebagai salah satu faktor penentu kesuksesan seseorang dalam berbagai aspek kehidupannya. Demikian pentingnya faktor EI ini menyebabkan di Amerika Serikat telah didirikan Sekolah Perasaan, yang sebagian besar peminatnya adalah orang tua yang putera-puterinya memiliki ketidakberesan pribadi (Darwis, 2007). Mempertegas pentingnya EI, Shapiro (2003) mengungkapkan bahwa sudah banyak penelitian di akhir abad ke-20 yang menunjukkan EI dan keterampilan sosial sebagai pembangun karakter lebih penting bagi keberhasilan anak dibandingkan kecerdasan kognitif yang diukur melalui IQ. Beberapa pandangan dan temuan yang diperoleh Stein dan Book, 2000; Hammer, 1996; Senge, 1990; Salamon, 1993; Rosenthal, 1997; Hammond, 1996, Cooper dan Sawaf, 2001; Dryden dan Vos, 2000; Goleman, 1996; dan Kotulak, 1996; memperlihatkan betapa pentingnya EI terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, salah satu di antaranya adalah aspek keberhasilan belajar seseorang (Cooper dan Sawaf,


(29)

2000; Stein dan Book, 2000; Dryden dan Vos, 2000; Goleman, 2000). Menariknya dari hasil penelitian-penelitian tersebut bahwa EI tidak seperti IQ yang cenderung tetap, EI dapat diajarkan dan dilatihkan serta dapat meningkat atau menurun pada setiap tahap perkembangan anak.

Pendidikan formal di Indonesia termasuk pendidikan matematika mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sampai saat ini masih lebih mementingkan aspek kognitif. Aspek lain, seperti kecerdasan emosional nampaknya masih menjadi pelengkap, atau bahkan ditelantarkan. Dengan kata lain, pembelajaran matematika di kelas yang mengarah kepada pembentukan karakter siswa (di antaranya kecerdasan emosional) hampir dikatakan belum pernah dilakukan secara sistematis dan terencana sebagaimana halnya sistem nilai (value system).

Beberapa fakta yang telah menjadi data penelitian, mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan kecerdasan emosional dikalangan siswa-siswa Indonesia seiring dengan peningkatan kecerdasan intelektual (Martin, 2003; Puspasari, 2009). Daniel Goleman adalah seorang pakar kecerdasan emosional menyatakan bahwa studinya di tahun 1970-an dan 1980-an menunjukkan bahwa penurunan kecerdasan emosional terjadi pada anak-anak Amerika di tengah perkembangan teknologi yang pesat sebagai buah dari nalar manusia. Kemudian, beberapa ahli psikologi terkemuka mengemukakan hasil temuan penelitiannya bahwa tidak sedikit siswa yang cerdas secara intelektual mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan siswa lain, diasingkan oleh temannya, dan akhirnya mengalami ketidaksuksesan dalam sekolahnya (Segal, 1997; Puspasari, 2009). Hal ini memberikan inspirasi atau sinyal pada para peneliti untuk terus melakukan proses pengembangan pendefinisian awal atau pendefinisian ulang terhadap kecerdasan intelektual.


(30)

Kecerdasan intelektual ini biasanya diidentikkan dengan kemampuan-kemampuan yang besifat kognitif.

Pada sisi lain, temuan-temuan dari para pakar biopsikologi mengemukakan bahwa emosional seseorang membantu untuk memfokuskan logika dan akal sehatnya (Jensen, 2008). Hal ini memberikan implikasi pada pembelajaran bahwa kondisi emosional siswa harus dianggap sama pentingnya dengan konten kognitif intelektual dari materi ajarnya. Oleh karena itu, pembelajaran matematika harus dapat dikelola sedemikian hingga mampu mewujudkan intelektual dan emosional yang seimbang. Harapan ini akan dicapai manakala potensi kognitif siswa difungsikan secara optimal dengan dibarengi kecerdasan emosional yang tinggi pula.

Sementara itu, untuk menciptakan proses pembelajaran matematika dengan penggunaan potensi siswa secara optimal, Sunandar (2008, h. 704) menyatakan bahwa kecerdasan emosional yang dimiliki siswa perlu menjadi perhatian. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sunandar dan Darwis bahwa secara umum siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi lebih baik hasil belajar matematikanya pada domain kognitif jika dibandingkan dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah (Sunandar, 2008, h. 717; Darwis, 2007, h. 200-207).

Fakta dan data yang telah diungkapkan di atas baik di dalam maupun luar Indonesia menunjukkan masih rendahnya kemampuan komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional. Dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu seperti di Kota Bandung, mengenai rendahnya kemampuan komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional siswa tidak jauh berbeda dengan fakta dan data untuk Indonesia. Hal ini didukung oleh data hasil ujicoba instrumen pada penelitian ini


(31)

yang menunjukkan rerata perolehan skor tes kemampuan komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional siswa secara berturut-turut masih di bawah 25%, 10%, 10%, dan 61% dari masing-masing skor idealnya (lihat Lampiran F.1. halaman 766, 768, dan 773). Ini artinya, apabila merujuk pada pengkategorian yang diajukan oleh beberapa pakar psikometri atau evaluasi pendidikan, perolehan skor dari tes-tes tersebut dapat dikatakan termasuk pada kategori rendah, atau dengan kata lain masih belum dianggap cukup (Azwar, 1999a; Arikunto, 2005). Adapun, alasan digunakannya data hasil ujicoba instrumen sebagai data awal atau data studi pendahuluan, karena merujuk pada beberapa pendapat pakar metodologi penelitian bahwa data hasil ujicoba instrumen penelitian dapat dijadikan sebagai data awal atau data studi pendahuluan, jika hasil analisis ujicoba instrumen penelitiannya menunjukkan bahwa instrumen penelitian tersebut memiliki kualitas yang baik untuk dapat dijadikan instrumen penelitian (Arikunto, 2007).

Fakta-fakta yang telah diungkapkan di atas baik di dalam maupun luar Indonesia, memberikan petunjuk untuk segera memperbaiki kekurangan dalam proses pembelajaran di kelas yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional siswa. Kemampuan komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional ini diharapkan juga menjadi kompetensi dasar yang dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu KTSP. Dengan tidak mengabaikan kemampuan lainnya yang bermanfaat untuk kehidupan siswa sekarang dan yang akan datang, sudah seharusnya bahwa kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis, serta


(32)

sudah selayaknya faktor kecerdasan emosional siswa perlu mendapatkan perhatian yang sangat khusus dalam pembelajaran matematika. Karena apabila kelemahan ini tidak diantisipasi dan tidak diperbaiki, maka akan selalu terjadi dan akan menghambat tercapainya tujuan pembelajaran matematika secara utuh.

Salah satu alternatif pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah, serta kecerdasan emosional adalah pembelajaran berbasis-masalah (selanjutnya disingkat PBM). Pembelajaran berbasis-masalah (problem-based learning) adalah suatu pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah (Savery dan Duffy, 1995, h. 8; Delisle, 1997, h. 1; Tan, 2004, h. 7; Weissinger, 2004, h. 46). Dalam konteks pembelajaran matematika Shoenfeld dan Boaler (Roh, 2003, h. 1) menyatakan bahwa PBM adalah suatu strategi pembelajaran matematika di dalam kelas dengan aktivitas memecahkan masalah serta memberikan peluang lebih banyak pada siswa untuk berpikir kritis, kreatif, bernalar, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dengan berbekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya, PBM menuntut atau mengkondisikan siswa untuk menyelesaikan masalah yang sengaja diberikan oleh guru.

Melalui PBM siswa diharapkan akan berfokus pada kegiatan memecahkan masalah. Kegiatan memecahkan masalah matematis tersebut memberikan kesempatan yang luas kepada para siswa untuk dapat saling bertukar ide atau pendapat, sehingga memperoleh pemahaman baru tentang matematika. Kemudian, kegiatan memecahkan masalah tersebut memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk dapat mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan


(33)

metode yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, menilai dan mengkritisi pemikiran temannya, sehingga pelibatan diri dalam proses pembelajaran matematika dapat dicapai dengan optimal.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa melalui PBM siswa dikondisikan atau memiliki peluang besar beraktivitas untuk: (1) membangun pengetahuan matematis baru; (2) mencari, menemukan, dan mengaplikasikan dalam kaitannya dengan materi lain di dalam matematika maupun dalam bidang lain; (3) mencari dan menemukan berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi serta menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah; (4) mengamati, mengkritisi, dan mengembangkan proses penyelesaian masalah; (5) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (6) menunjukkan kemampuan dalam membuat, menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah; dan (7) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Apabila siswa melakukan aktivitas-aktivitas tersebut maka diduga mereka akan memiliki kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis yang baik.

PBM diduga dapat memicu siswa untuk bersikap terbuka dalam bertukar pikiran dan meningkatkan minat siswa terhadap tantangan dari suatu masalah serta melalui kegiatan-kegiatannya diduga siswa tidak mudah putus asa dalam proses memecahakan masalah. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kecerdasan emosional yang diperhatikan dan diberi penekanan yang cukup pada


(34)

proses pembelajaran berbasis-masalah, diduga dapat mengembangkan kecerdasan emosional siswa itu sendiri.

Herman (2006, h. 8) menyatakan bahwa kegiatan dalam pembelajaran berbasis-masalah menuntut siswa untuk menggunakan potensinya secara optimal. Sementara itu, untuk menciptakan proses pembelajaran dengan penggunaan potensi siswa secara optimal, Suryadi, 2005; Herman, 2006; Juandi, 2006; Saragih, 2007 menyatakan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa faktor kemampuan matematika siap pakai atau kemampuan matematika sebelumnya yang dimiliki siswa perlu untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan antara intervensi yang harus dipersiapkan guru dan materi prasyarat atau pengetahuan matematika siap pakai yang dapat menunjang proses pemahaman materi yang disajikan.

Kemampuan matematika siap pakai siswa dalam suatu kelas pasti beragam, maka perlakuan yang diterapkan dalam suatu proses pembelajaran ada kemungkinan berdampak terhadap respon, cara berpikir, serta hasil belajar mereka. Mengenai keberagaman kemampuan menurut Galton (Ruseffendi, 1998, h. 291) bahwa dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Dengan kata lain kemampuan siswa menyebar secara distribusi normal. Oleh karena itu, dalam melihat perbedaan peningkatan hasil belajar siswa, perlu kiranya diperhatikan mengenai kemampuan siswa yang tergolong pada kelompok tinggi, sedang, dan rendah dalam kemampuan prasyarat, setelah mengikuti pembelajaran matematika.

Dalam rangka menciptakan proses pembelajaran yang optimal, faktor peringkat atau kualifikasi sekolah pun dianggap perlu untuk diperhatikan dan


(35)

dipertimbangkan. Hal ini mempunyai alasan: (1) kenyataan yang ada menunjukkan bahwa peringkat sekolah berkaitan erat dengan kemampuan matematis siswa secara umum; dan (2) latar belakang siswa yang berbeda sering kali memunculkan respon yang berbeda juga. Hal ini dapat dilihat dari beberapa laporan hasil penelitian di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi, seperti laporan hasil penelitian Suryadi, 2005; Herman, 2006; Juandi, 2006 yang menyatakan bahwa peringkat sekolah/perguruan tinggi berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan matematis siswa/mahasiswa.

Sementara itu, beberapa hasil penelitian di bidang pendidikan matematika menunjukkan bahwa model-model pembelajaran matematika yang dianggap inovatif telah meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis dengan lebih baik dibandingkan pembelajaran biasa (kovensional). Namun demikian, beberapa hasil penelitian itu pun menunjukkan bahwa peningkatan teresebut belum mencapai kriteria yang diharapkan atau belum dapat dikatakan tuntas (Herwati, 2007; Putri, 2006; Suhenri; 2006; Atun; 2006). Hasil temuan ini sesuai dengan beberapa penelitian yang dilansir oleh Delisle yang menunjukkan bahwa dari beberapa hasil pembelajaran sebagian kecil saja yang mencapai tingkatan yang diharapkan dan menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi (Ratnaningsih, 2003). Para peneliti memberikan alasan bahwa tidak tercapainya hasil yang diharapkan tersebut disebabkan kurang terbiasanya siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang bersifat tidak rutin dan belum terbiasa dengan pembelajaran yang digunakan pada kelas eksperimen.

Peningkatan hasil belajar yang belum sesuai dengan harapan, tidak hanya terjadi pada aspek kognitif saja. Beberapa penelitian pun menunjukkan penerapan


(36)

pembelajaran yang dianggap inovatif pada sekelompok siswa dapat meningkatkan hasil belajar aspek kognitif lebih baik dibandingkan kelompok kontrolnya (Syukur, 2004). Tetapi, pada penelitian tersebut melaporkan juga bahwa untuk aspek afektifnya tidak ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan kontrol.

Ini mengisyarat untuk ada kajian lebih lanjut berkaitan dengan temuan-temuan penelitian tersebut. Secara tersurat para peneliti tersebut dalam kaitan peningkatan hasil belajar baik kognitif (kemampuan berpikir tingkat tinggi) maupun afektif, memberikan arahan pada suatu dugaan. Dugaan itu adalah seandainya penggunaan pembelajaran yang digunakan pada kelas eksperimen dilakukan dalam waktu yang relatif lebih lama maka harapan peningkatan atau penguasaan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang baik, dapat dicapai. Demikian juga dengan aspek afektif, diduga pembentukkan aspek afektif yang baik sebagai hasil belajar matematika, memerlukan waktu yang relatif lama. Ini sesuai dengan pernyataan Kusumah dan Suherman (Syukur, 2004) bahwa pembentukkan ranah afektif sebagai hasil belajar matematika relatif lebih lambat daripada pembentukan ranah kognitif. Oleh karena itu, kaitan dengan lamanya perlakuaan pada penelitian ini perlu untuk diperhatikan.

Hal - hal yang telah diungkap di atas, terlihat bahwa ada satu hal yang dapat dicermati dari beberapa laporan penelitian berkaitan dengan pembelajaran matematika dan hasilnya, khususnya di Indonesia, yaitu kurangnya informasi tentang retensi hasil belajar matematika siswa. Terbatasnya penelitian tentang retensi dalam pembelajaran matematika bukan hanya di tingkat nasional (Indonesia), tetapi di tingkat internasional juga, sebagaimana dinyatakan oleh


(37)

McKeachie (Narli, 2011). Padahal, faktor retensi sangat bermanfaat untuk keberlanjutan belajar siswa. Sementara itu, menurut Winkel (1996), Chan (2009), dan Narli (2011) retensi hasil belajar yang baik adalah sebagai akibat dari proses pembelajaran yang bermakna. Sebagai contoh kasus, apabila ada sebuah pembelajaran terbukti sangat baik dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Akan tetapi setelah selang waktu yang lama kemudian siswa yang mendapatkan pembelajaran tersebut diberikan tes hasil belajar yang sama dengan tes hasil belajar yang diberikan pada saat setelah pembelajaran, kemudian memperoleh hasil tes jauh di bawah hasil tes sebelumnya. Contoh kasus ini memberikan informasi bahwa pembelajaran tersebut tampak kurang sempurna karena pengetahuan yang diperoleh siswa melalui pembelajaran tersebut tidak dapat bertahan lama. Oleh karena itu, pada penelitian ini retensi kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis perlu untuk diperhatikan, sebagai upaya yang lebih jauh untuk pengetahui pengaruh pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, maka keperluan untuk melakukan studi yang berfokus pada penerapan model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional siswa, sesuai yang diharapkan, dipandang oleh penulis menjadi sangat urgen dan utama. Dalam hubungan ini, maka penulis mencoba merencanakan untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan PBM, kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional siswa. Dengan mempertimbangkan bahwa: (1) penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut untuk di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) masih jarang dilakukan ; (2)


(38)

kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional siswa penting dimiliki sebagai bekal untuk di perguruan tinggi atau kehidupan sehari-hari; dan (3) data awal menunjukkan perolehan skor kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional siswa SMA masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, penelitian untuk di tingkat sekolah menengah atas menjadi sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan. Dengan demikian, judul yang diajukan untuk penelitian ini adalah “Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Pemecahan Masalah Matematis serta Kecerdasan Emosional melalui Pembelajaran Berbasis-Masalah pada Siswa Sekolah Menengah Atas”.

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini hal utama yang menjadi pokok kajian adalah kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis siswa, kecerdasan emosional siswa, serta penggunaan pembelajaran berbasis-masalah dan pembelajaran konvensioan. Di samping itu terdapat juga faktor lain yang akan dikaitkan dengan hal pokok kajian tersebut, yaitu pengetahuan matematika sebelumnya yang selanjutnya akan disebut kemampuan prasyarat, peringkat sekolah, dan waktu (setengah semester pertama, setengah semester kedua, dan satu semester). Secara terperinci rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana peningkatan dan retensi kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional?


(39)

2. Bagaimana peningkatan dan retensi kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional?

3. Bagaimana peningkatan dan retensi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional?

4. Bagaimana peningkatan kecerdasan emosional siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional?

5. Bagaimana interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan peringkat sekolah terhadap peningkatan dan retensi kemampuan komunikasi matematis?

6. Bagaimana interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan peringkat sekolah terhadap peningkatan dan retensi kemampuan penalaran matematis? 7. Bagaimana interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan peringkat

sekolah terhadap peningkatan dan retensi kemampuan pemecahan masalah matematis?

8. Bagaimana interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan prasyarat matematika siswa terhadap peningkatan dan retensi kemampuan komunikasi matematis?

9. Bagaimana interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan prasyarat matematika siswa terhadap peningkatan dan retensi kemampuan penalaran matematis?


(40)

10. Bagaimana interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan prasyarat matematika siswa terhadap peningkatan dan retensi kemampuan pemecahan masalah matematis?

11. Bagaimana interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan waktu (setengah semester pertama, setengah semester kedua, dan satu semester) terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa?

12. Bagaimana hubungan antara kemampuan komunikasi matematis, kemampuan penalaran matematis, kemampuan pemecahan masalah matematis, dan kecerdasan emosional siswa dalam pembelajaran matematika berdasarkan pencapaian dan peningkatannya?

13. Bagaimana aktivitas belajar matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional dalam peningkatan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional?

14. Bagaimana aktivitas guru pada pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan guru pada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional?

C. Tujuan Penelitian

Dengan berpedoman pada rumusan masalah yang diajukan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menelaah peningkatan dan retensi kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah


(41)

dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional.

2. Menelaah peningkatan dan retensi kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Menelaah peningkatan dan retensi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional.

4. Menelaah peningkatan kecerdasan emosional siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional

5. Menelaah interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan prasyarat siswa terhadap peningkatan dan retensi kemampuan komunikasi matematis.

6. Menelaah interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan prasyarat siswa terhadap peningkatan dan retensi kemampuan penalaran matematis.

7. Menelaah interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan prasyarat siswa terhadap peningkatan dan retensi kemampuan pemecahan masalah matematis.

8. Menelaah interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan peringkat sekolah terhadap peningkatan dan retensi kemampuan komunikasi matematis.


(42)

9. Menelaah interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan peringkat sekolah terhadap peningkatan dan retensi kemampuan penalaran matematis. 10. Menelaah interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan peringkat

sekolah terhadap peningkatan dan retensi kemampuan pemecahan masalah matematis.

11. Menelaah interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan waktu (setengah semester pertama, setengah semester kedua, dan satu semester) terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa.

12. Menelaah hubungan antara kemampuan komunikasi matematis, kemampuan penalaran matematis, kemampuan pemecahan masalah matematis, dan kecerdasan emosional siswa dalam pembelajaran matematika.

13. Menelaah aktivitas belajar matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional dalam peningkatan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional.

14. Menelaah aktivitas guru pada pembelajaran berbasis-masalah dibandingkan dengan guru pada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting untuk dilakukan, secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sekolah (guru dan siswa) dan pengambil kebijakan, sedangkan secara teoritis diharapkan akan bermanfaat


(43)

bagi penelitian dan pengembangan ilmu pembelajaran matematika yang berorientasi pada kualitas proses dan hasil belajar secara utuh. Adapun rincian manfaat yang diharapkan berkaitan dengan pelaksanaan dan temuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran untuk melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran matematika. 2. Bagi guru, pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM ini dapat

dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran dalam usaha mengaktifkan siswa pada proses pembelajaran matematika dan meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional siswa.

3. Bagi pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, jika hasil penelitian ini menunjukkan hasil positif, maka penelitian ini dapat dijadikan salah satu dasar dalam penetapan berlakunya kurikulum yang berorientasi pada siswa, demokratisasi di dalam kelas serta pengembangan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis, serta kecerdasan emosional siswa.

4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai acuan/referensi (penelitian yang relevan) pada penelitian yang sejenis, khususnya di Indonesia.

E. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa istilah. Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang akan digunakan, karena hampir


(44)

setiap istilah dapat mempunyai makna dan interpretasi yang berbeda-beda. Untuk itu diperlukan definisi operasional dari istilah-istilah yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah kemampuan siswa dalam: (1) membangun pengetahuan matematis baru melalui memecahkan masalah; (2) menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam bidang lain; (3) menerapkan dan menyesuaikan berbagai macam strategi yang cocok untuk memecahkan masalah; dan (4) mengamati dan mengembangkan proses memecahkan masalah matematis.

2. Kemampuan penalaran matematis siswa adalah kemampuan siswa dalam: (1) menarik suatu kesimpulan; (2) membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar, dan (3) membuat dan menyelidiki konjektur.

3. Kemampuan komunikasi matematis siswa adalah kemampuan siswa secara tertulis dalam: (1) mengorganisasikan dan menggabungkan ide, gagasan, atau pemikiran matematis; (2) mengkomunikasikan ide, gagasan, atau pemikiran secara logis dan jelas kepada teman, guru, dan orang lain; (3) menganalisa dan menilai pemikiran dan strategi matematis orang lain; dan (4) menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide, gagasan, atau pemikiran matematika dengan tepat.

4. Kecerdasan emosional siswa adalah kemampuan siswa untuk mengenali dan mengelola emosi pribadinya, memotivasi diri, mengenal emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

5. Pembelajaran berbasis-masalah adalah suatu strategi pembelajaran di dalam kelas dengan aktivitas memecahkan masalah yang menarik dan memuat


(1)

Narli, S. (2011). Is constructivist learning environment really effective on learning and long-term knowledge retention in mathematics? example of the infinity concept. Educational Research and Reviews. 6, (1), 36 – 49. National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standarts for

school mathematics. Reston, VA: NCTM.

Neo, K. W. dan Chyn, Y. K. (2002). Authentic problem based learning. Singapore: Pearson Education.

Noer, H. S. (2007). Pembelajaran open-ended untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kreatif. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Olson, S. (2005). Arah. Dalam Preston (ed.). Gunung pi. Depok: Banana. Ormrod, E. J. (2008). Psikologi pendidikan. Jakarta: Erlangga.

Polya, G. (1973). How to solve it. Princeton: Princeton University Press.

Posamentier, A.S. dan Stepelmen, J. (2002). Teaching secondary mathematics. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Priatna, N. (2003). Teknik probing dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan komunikasi siswa SLTP. Proceeding National Seminar on Science and Mathematics Education, the Role of IT/ICT in Supporting the Implementation of Competensy-Based Curriculum. Bandung: JICA-IMSTEP.

Purniati, T. (2004). Pembelajaran geometri berdasarkan tahap-tahap Van Hiele dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa SLTP. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Puspasari, A. (2009). Emotional intelligent parenting. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Putri (2006). Pembelajaran kontekstual dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi dan koneksi matematik siswa SMP. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.


(2)

Ramsey, H. P. (2007). Encyclopedia of measurement and statistics. Dalam Salkind, N. J. dan Rasmussen, K. (ed.). Factorial design. Thousand Oaks: Sage Publication.

Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan kemampuan berpikir matematik siswa SMU melalui pembelajaran berbasis masalah. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Robertson, I. S. (2001). Problem solving. Canada: Psychology Press.

Roh, K. H. (2003). Problem-based learning in mathematics. Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environmental Education. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/2004-3/math.html.

Rohaeti, E. E. (2003). Pembelajaran dengan metode IMPROVE untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematik siswa SLTP. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (1991). Penilaian pendidikan dan hasil belajar siswa khususnya dalam pengajaran matematika. Bandung:

Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika dasar untuk penelitian pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar penelitian pendidikan dan bidang non-eksata lainnya. Bandung: Tarsito.

Salovey, P. (2005). Emotional intelligence. Electonik Journal: [Online]. Tersedia: http://kms.jpn.org/keynoteaddress6.pdf [31 Oktober 2009]

Santrock, W. J. (2007). Educational psychology. Texas: McGraw-Hill Company. Saragih, S. (2007). Mengembangkan kemampuan berpikir logis dan komunikasi

matematik siswa sekolah menengah pertama melalui pendekatan matematika realistik. Disertasi Doktor PPS UPI. Bandung: PPS UPI. Savery, J. R. dan Duffy, T. M. (1995). Constructivist learning environments: case

studies in instructional design. Dalam B.G. Wilson (ed). PBL: An instructional model and is constructivist framework. Englwood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.


(3)

Schoenfeld, A. H. (1992) Learning to Think Matematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. Electronic Journal: International Journal For Mathematics Teaching and Learning. [Online]. Tersedia: http://www.intermep.org.

Segal, J., (1997). Raising your emotional intellegence (Melejitkan kecerdasan emosional). Bandung: Kaifa.

Setiadi, N. B., Yulianto, A., dan Seniati, L. (2009). Psikologi eksperimen. Jakarta: Indeks.

Shapiro, E. L. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. Jakarta: Gramedia.

Shaughnessy, J. J., Zecmeister, B. E., dan Zecmeister, S. J. (2006). Metodologi penelitian psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobel, A. M. dan Maletsky, M. E. (2003). Mengajar matematika. Jakarta: Erlangga.

Soekisno, B. A. (2002). Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dengan strategi heuristik. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Solso, L. R., Maclin, H. O., dan Maclin, K. M. (2008). Psikologi kognitif. Jakarta: Erlangga.

Stien, J., Steven, B. E., Howard., (2000). The EI edge: emotional intellegence and your success (Ledakan EI). Bandung: Kaifa

Sugandi, A. I. (2002). Pembelajaran pemecahan masalah matematika melalui model belajar kooperatif tipe team assisted individualization (TAI) pada siswa SMU. Bandung: Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Sugiman (2010). Dampak pembelajaran matematika realistik terhadap

peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan keyakinan matematik siswa sekolah menengah pertama di Kota Yogyakarta. Disertasi pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Sugiyono (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Suharnan (2005). Psikologi kognitif. Surabaya: Srikandi.

Suhenri (2006). Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA melalui problem-centered learning. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.


(4)

Sumardyono (2004). Karakteristik matematika dan implikasinya terhadap pembelajaran matematika. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Sumarmo, U. (1993). Peranan kemampuan logik dan kegiatan belajar terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (1994). Suatu alternatif pengajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (1999). Implementasi kurikulum matematika 1993 pada sekolah dasar dan sekolah menengah. Laporan Penelitian IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2005). Pembelajaran matematika untuk mendukung pelaksanaan kurikulum tahun 2002 sekolah menengah. Makalah Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di FPMIPA Universitas Negeri Gorontalo: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2007). Mengenang Moedomo (1927 – 2005). Dalam Gunawan, H., Sumarti, N., dan Hadianti, R. (ed.). Pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis. Bandung: Majelis Guru Besar ITB.

Sunandar (2008). Pengaruh penilaian portofolio dan keceedasan emosional terhadap hasil belajar matematika topik dimensi tiga siswa kelas X SMA Negeri 4 Kendari tahun 2006. Dalam Rusgianto, dkk. (ed.). Prosiding seminar nasional nasional matematika dan pendidikan matematika. Yogyakarta: UNY.

Surapranata, S. (2006). Analisis, validitas, reliabilitas, dan interpretasi hasil tes. Bandung: Rosdakarya.

Suryabrata, S. (2005). Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta: Andi. Suryadi, D. (2005). Penggunaan pendekatan pembelajaran tidak langsung serta

pendekatan gabungan langsung dan tidak langsung dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi siswa SLTP. Disertasi pada SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2008). Metapedadidaktik dalam pembelajaran matematika: suatu strategi pengembangan diri menuju guru matematika profesional. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Matematika pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 22 Oktober 2008, Bandung.


(5)

Sutrisno, A. B. J. (2002). Kemampuan pemecahan masalah siswa dalam geometri melalui model pembelajaran investigasi kelompok. Bandung: Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Suwangsih, E. (2004) Peningkatan keterampilan pemecahan masalah matematika siswa sekolah dasar melalui pembelajaran kooperatif. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Syah, M. (1999). Psikologi belajar. Jakarta: Logos.

Syukur, M. (2004). Mengembangkan kemampuan berpikir kritis melalui pembelajaran matematika dengan pendekatan open-ended. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Tan, O. S. (2004). Cognition, metacognition, and problem based-learning. Dalam O. S. Tan (ed.). Enhancing thinking through problem based learning approaches. Australia: Thomson.

Trends in International Mathematics and Science Study (2009). Highlights from TIMSS 2007: mathematics and science achievement of u.s. fourth- and eighth-grade students in an international context. Boston: TIMSS & PIRLS International Study Center.

Trianto (2007). Model-model pembelajaran inovatif berorirntasi konstruktivistik. Surabaya: Kanisius.

Turmudi (2008). Landasan filsafat dan teori pembelajaran matematika. Jakarta: Cipta Pustaka.

Uno, B. H. (2008). Model pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society. Cambridge: Harvard University Press. Wahidmurni, Mustikawan, A., dan Ridho, A. (2010). Evaluasi pembelajaran:

kompetensi dan praktik. Yogyakarta: Nuha Litera.

Wahyudin (1999). Kemampuan guru matematika, calon guru matematika dan siswa dalam mata pelajaran matematika. Disertasi pada SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Wahyudin (2003). Peranan problem solving. Makalah Seminar Technical Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia, 25 Agustus 2003. Tidak diterbitkan.

Walle, V. A. J. (2007). Elementary and middle school mathematics. Singapore: Pearson Education.


(6)

Wardani, S. (2002). Pembelajaran pemecahan masalah matematika melalui model kooperatif tipe JIGSAW. Bandung: Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Weissinger, A. P. (2004). Psycological tools in problem based learning . Dalam O. S. Tan (ed.). Enhancing thinking through problem based learning approaches. Australia: Thomson.

Widarjono, A. (2010). Analisis statistika multivariat terapan.Yogyakarta: STIM YKPN.

Widhiarso, W. (2009). Koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi. Jurnal Ilmiah Psikologi Psikobuana. 1, (1), 39 – 48. Wihatma, U. (2004). Meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa

SLTP melalui cooperative learning tipe STAD. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Wilkinson, P. D. (2002). Restructuring developmental math courses to enhance emotional intelligence. [Online]. Tersedia: http://www.utne.com

Willis, J. (2010). Strategi pembelajaran efektif berbasis riset otak. Yogyakarta: Mitra Media.

Winkel, W. S. (1996). Psikologi pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.

Xie, X. (2004). The cultivation of problem-solving and reason in NCTM and

chines national standards. [Online]. Tersedia:

http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/xuehuixie.pdf. [12 Oktober 2007] Yamin, S. dan Kurniawan, H. (2009). Struktural equation modeling: belajar lebih mudah teknik analisis data kuesioner dengan LISREL-PLS. Jakarta: Salemba Infotek.

Yusof, M. S. (2004). Peranan EQ dalam bidang pendidikan. Dalam Hamid (ed.). Panduan meningkatkan kecerdasan emosi. Kuala Lumpur: Profesional.


Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.

0 2 55

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.

0 2 43

PERBEDAAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA PADA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN PEMBELAJARAN LANGSUNG PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 0 41

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DI KELAS VII SMPN.

0 2 48

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH :Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa SMA di Kabupaten Bima.

0 1 50

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS, KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KECERDASAN EMOSIONAL MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.

0 0 71

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SERTA KECERDASAN EMOSIONAL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS-MASALAH PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS.

0 1 170

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN PEMECAHAN MASALAH SERTA DISPOSISI MATEMATIS MAHASISWA PGSD MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.

0 0 48

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 1 74

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW.

0 0 66