Kepastian Hukum Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut Dikaitkan dengan Kebijakan Transisional di Jawa Barat Pasca Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

(1)

KEPASTIAN HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT DIKAITKAN DENGAN KEBIJAKAN TRANSISIONAL DI JAWA BARAT PASCA DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23

TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH ABSTRAK

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berimbas pada kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan laut di daerah. Banyak kegiatan yang selama ini didesentralisasikan ke tingkat kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Namun pada pelaksanaanya, peralihan kewenangan belum disertai dengan pengaturan perundang-undangan yang mengatur secara teknis sehingga guna menciptakan kepastian perlu adanya penetapan khususnya pada masa transisional.

Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode yuridis normatif yaitu penulisan yang mengacu pada asas-asas hukum dan hukum positif, sifatnya deskriptif analisis yaitu menjelaskan suatu gejala, peristiwa yang sedang diteliti dan berkaitkan dengan kejadian sekarang dengan data yang digunakan adalah sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Melalui metode ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kewenangan provinsi Jawa Barat tentang pengelolaan sumber daya perikanan laut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan kebijakan yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dalam masa transisional.

Hasil penulisan menunjukan bahwa pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah kabupaten/kota tidak berwenang lagi namun demikian peraturan pelaksana masih mengacu pada peraturan pelaksana yang lama dan penerapan diskresi dapat dilakukan pada masa transisional, hal ini menghindari adanya kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum. Dimana bentuk kebijakan pada masa transisional diberlakukannya undang-undang menggunakan instrumen diskresi di dalam bidang perizinan. Bagi pemerintah daerah provinsi Jawa Barat diharapkan dapat segera menerbitkan peraturan daerah yang menjadi acuan dalam pelaksanaan diskresi.

Kata Kunci: Kebijakan Transisional, Sumber Daya Perikanan Laut, Pemerintah Daerah


(2)

LEGAL CERTAINTY MARINE FISHERIES RESOURCE MANAGEMENT RELATED TO TRANSITIONAL POLICY IN WEST JAVA AFTER THE

PUBLICATION OF LAW NUMBER 23 OF 2014 ON REGIONAL GOVERNMENT

ABSTRACT

The enactment of Law number 23 of 2014 on Regional Government impacted on the rights to manage the natural resources of the sea in the regionals. Many activities that had been decentralized to district/city level , then drawn back to the provincial government. The authority transition have not been accompanied by a thorough setting on the implementation, thus a policy that will not create a legal vacuum must be made.

This writing implements the yuridis normatif method, which refer to the general principles of law and positive law. This research is descriptive analysis with secondary data used is composed of primary legal materials, secondary and tertiary. This method is expected to provide an overview of Law Number 23 Year 2014 on Regional Government and policies that can be issued by the provincial government in the transitional period.

The result showed after the publication of law number 23 of 2014 on Regional Government, the district/city government is no longer authorized in managing natural resources of the sea, but then the current regulations still refers to the old version and discretion application can be done at the transitional period to avoid a legal vacuum and legal certainty. The form of policies on the transitional period is using instruments of discretion in the field of licensing. The West Java government is expected to publish the new regulations so that can be customized in the execution of discretion

Keyword: Transitional Policy, The Natural Resources of The Sea, Local Goverment


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...i

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...iii

LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG UJIAN ...iv

LEMBAR PERNYATAAN TELAH MENGIKUTI SIDANG ...v

LEMBAR PERSETUJUAN REVISI ...vi

KATA PENGANTAR ...vii

ABSTRAK ...x

ABSTRACT ...xi

DAFTAR ISI ...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang...1

B. Identifikasi Masalah ...10

C. Tujuan Penulisan ...10

D. Kegunaan Penulisan ...11

E. Kerangka Pemikiran...12

F. Metode Penulisan ...17


(4)

BAB II OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI

INDONESIA ...24

A. Konsep Otonomi Daerah ...24

1. Pengertian Otonomi Daerah ...24

2. Tujuan Otonomi Daerah ...28

B. Landasan Hukum Penyelenggaraan Hukum Administrasi Negara di Indonesia...32

1. Kepastian Hukum ...32

2 . Otonomi Daerah dalam Hukum Positif Indonesia ...39

C. Pembagian Kewenangan dan Urusan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Indonesia ...45

BAB III KEWENANGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH KHUSUSNYA DI JAWA BARAT ...52

A. Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ...52

B. Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ...58 1. Penerbitan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014


(5)

Pengelola Sumber Daya Perikanan Laut ...58 2. Pembagian Urusan Dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ...64 3. Kebijakan Spesifik Dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ...69 C. Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Jawa

Barat ...72 1. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun

2011 Tentang Perikanan ...72 2. Potensi Sumber Daya Perikanan dan Kelautan di

Provinsi Jawa Barat ...77

3. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut di Jawa Barat ...82

BAB IV ANALISIS KEPASTIAN HUKUM PENGELOLAAN SUMBER

DAYA PERIKANAN LAUT DIKAITKAN DENGAN

KEBIJAKAN TRANSISIONAL DI JAWA BARAT PASCA

DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23

TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH ...86 A. Penyelenggaraan Urusan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

Laut Pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah ...86 B. Penetapan Kebijakan dan Penerapan Diskresi dalam Masa


(6)

Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Penerbitan Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ...98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...119

A. Kesimpulan ...119

B. Saran ...120

DAFTAR PUSTAKA ...121

CURRICULUM VITAE ...127 MATRIKS REVISI

LAMPIRAN


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu agenda reformasi nasional yang dicanangkan oleh pemerintah adalah yang menyangkut otonomi daerah. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah segenap kemampuan sumber daya dan potensi yang ada di daerah harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan disertai kebijaksanaan dan langkah-langkah yang tepat guna tujuan pembangunan daerah. Kegiatan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di dalam APBD tersebut bukan hanya anggaran pembangunan saja yang dapat dilihat, tetapi juga seluruh kegiatan pemerintah dalam satu tahun anggaran yang bersangkutan tergambar dalam bentuk angka-angka sesuai dengan rencana yang telah digariskan oleh pemerintah daerah.1

Kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonominya termasuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, tentu saja tidak dapat berjalan secara lancar dan mencapai hasil sebagaimana diharapkan apabila tidak ditunjang oleh pencapaian dan peningkatan pendapatan daerah terutama Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) sebagai salah satu tolak ukur otonomi di suatu tempat.

1 Zulkarnaen (et.al), Potensi Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus Pongkor dan Cilandak, Jakarta: LIPI, 2003, hlm. 23.


(8)

Pelaksanaan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemerintahan Daerah) yang menegaskan kembali pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah menurut Undang-Undang Pemerintah Daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.2

Kebijakan otonomi luas yang berkembang pesat sejak 1999 telah menempatkan daerah (khususnya kabupaten/kota) sebagai ujung tombak penyelenggaraan fungsi pelayanan umum dan pembangunan. Sejalan dengan hal tersebut, maka daerah diberikan kewenangan yang luas untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan, serta hak untuk menggali berbagai potensi dan sumber pendapatan guna mendukung implementasi urusan-urusan pemerintahan tadi secara optimal. Dengan kewenangan dan hak otonom yang jauh lebih luas dan lebih besar tadi, maka wajarlah jika kebijakan otonomi telah mendorong lahirnya iklim kompetisi antar daerah dalam membangun daerahnya.3

Di satu sisi kondisi di atas mengilustrasikan dengan cukup jelas bahwa kebijakan otonomi daerah sesungguhnya memberikan tanggung jawab dan beban kerja yang jauh lebih berat kepada daerah, dibanding pada masa-masa sebelumnya, namun di sisi lain, pemerintah daerah masih dihadapkan pada berbagai permasalahan klasik berupa keterbatasan kualitas dan kuantitas

2 Bagir Manan, Menyongsong Pajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001, hlm.21.

3


(9)

sumber daya, baik anggaran, SDM maupun sarana dan prasarana. Hal ini mengharuskan jajaran aparat daerah untuk berpikir secara kreatif dan inovatif untuk membangun sistem manajemen pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.4

Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan pola-pola partisipasi, kerjasama, dan kemitraan dalam penyelenggaraan suatu urusan dan/atau kewenangan tertentu.5 Selain karena alasan keterbatasan sumberdaya alam yang berbeda di suatu wilayah, urgensi penyelenggaraan kerjasama juga dihadapkan pada adanya perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin tinggi. Sebagai akibat dari dinamika masyarakat yang tinggi tadi, interaksi masyarakat di bidang-bidang ekonomi, sosial, maupun kepemerintahan tidak lagi berlangsung pada lingkup suatu daerah otonom saja, melainkan telah melebar hingga melewati batas wilayah daerah yang bersangkutan.

Sebelum diberlakukan otonomi daerah, peranan pemerintah pusat sangat mendominasi dalam usaha pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk sumber daya perikanan, terlebih sifatnya yang sentralisme dan antipluralisme hukum adat/aturan lokal. Sentralisme kebijakan dan anti pluralisme hukum bersifat destruktif, karena keduanya secara sinergis telah menciptakan konflik antar pelaku perikanan dan tumpang tindihnya wilayah penangkapan ikan.6 Di

4 Ibid.

5 Ibid.

6 Kusumastanto dan Solihin, “

Aspek Hukum dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Laut di Era Desentralisasi” [Makalah]. Disampaikan pada Seminar Nasional Implementasi Pengendalian Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut dari Undang-undang Perikanan dalam Proyeksi Pembangunan Pesisir dan Laut ke Depan diselenggarakan oleh Himasper FPIK-Universitas Brawijaya. 16 September 2004, hlm 8.


(10)

samping itu sentralisme dan antipluralisme, juga mengakibatkan terjadinya degradasi dan mengabaikan kepentingan-kepentingan lokal.

Perikanan merupakan sistem yang kompleks karena banyak pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkannya. Pihak yang paling vital adalah pelaku ekonomi kecil yang merupakan lapisan yang cukup banyak. Mereka ini sebagian hidup di wilayah terpencil dengan alternatif pekerjaan yang terbatas sehingga mereka hidup dalam kemiskinan. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing yang tergolong pelaku ekonomi dengan jumlah terbesar. Pelaku ekonomi skala usaha menengah maupun pelaku ekonomi kecil termasuk dalam kelompok profesi paling miskin di Indonesia.7

Sumber daya perikanan kelautan yang sifatnya lintas wilayah perlu mendapatkan perhatian yang cermat mengingat kemungkinan timbulnya

konflik ”kewenangan“ sangat terbuka. Sumber daya ini telah lama diketahui

membawa permasalahan yang kompleks terkait dengan hak kepemilikannya (property rights). Pemberlakukan kebijakan otonomi daerah memunculkan banyak permasalahan seperti kesalahpahaman dalam mis-interpretasi makna dari batasan “kewenangan” yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Meskipun pendapat di atas cukup beralasan namun, konflik horisontal tersebut tidak selalu ada hubungannya dengan otonomi daerah karena konflik

7 Sumintarsih. (et.al), Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Madura.

Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2005, hlm. 34.


(11)

serupa pernah terjadi sejak dulu.8 Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dan terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan.9 Konflik nelayan adalah ketidakharmonisan diantara pengguna sumber daya laut.

Sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan secara optimal untuk kemakmuran rakyat dengan mengusahakannya secara berdaya guna dan berhasil guna serta selalu memperhatikan kelestariannya. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan agar pemanfaatan sumber daya ikan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan demikian pemanfaatan sumber daya ikan tersebut pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh warga negara Republik Indonesia, baik secara perorangan maupun dalam bentuk badan hukum dan harus dapat dinikmati secara merata, baik oleh produsen maupun konsumen.

Pemerataan pemanfaatan sumber daya ikan hendaknya juga terwujud melalui perlindungan terhadap kegiatan usaha yang masih lemah seperti nelayan dan petani ikan kecil agar tidak terdesak oleh kegiatan usaha yang lebih kuat.10 Provinsi Jawa Barat sebagai daerah otonom yang terletak di pesisir pantai memiliki sumberdaya alam berupa pesisir dan perairan laut yang

8 A Satria, Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan.

Bandung: HUP, 2001, hlm. 56.

9

Fisher S (et.al), Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Diterjemahkan oleh The British Council, Jakarta: Kartikasari, 2000, hlm.23.

10 Komariah Pandia, ”Efektifitas Perizinan Usaha Perikanan Dalam Melindungi Sumber Daya Laut Khususnya Ikan”, diakses pada (http://www.repository.usu.ac) 27 Mei 2015 Pukul 19:00.


(12)

cukup luas. Potensi sumber daya perikanan berupa penangkapan ikan di laut, budi daya laut, budi daya air payau, budi daya air tawar dan pengolahan hasil perikanan sangat berpotensi untuk dikembangkan guna mendukung kegiatan ekonomi masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan secara optimal untuk kemakmuran rakyat dengan mengusahakannya secara berdaya guna dan berhasil guna serta selalu memperhatikan kelestariannya. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan agar pemanfaatan sumber daya ikan diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pemanfaatan sumber daya ikan tersebut pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh warga negara Republik Indonesia, baik secara perorangan maupun dalam bentuk badan hukum dan harus dapat dinikmati secara merata, baik oleh produsen maupun konsumen. Pemerataan pemanfaatan sumber daya ikan hendaknya juga terwujud dalam perlu perlindungan terhadap kegiatan usaha yang masih lemah seperti nelayan dan petani ikan kecil agar tidak terdesak oleh kegiatan usaha yang lebih kuat.

Salah satu cara untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan adalah dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui perizinan dan pembinaan terhadap masyarakat dalam usaha bidang perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga yang bertugas menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah dalam bidang perikanan dan kelautan dengan


(13)

segala potensi yang dimilikinya serta menyelenggarakan tugas-tugas yang diberikan kepala daerah.

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah tahun 2004 dan Peraturan Pelaksana Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, permasalahan yang paling menonjol dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yakni berkaitan dengan adanya tarik ulur kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Setiap pemerintahan daerah baik pemerintahan daerah provinisi maupun pemerintahan daerah kabupaten/kota telah menuangkan berbagai kebijakan dalam rangka mengimplementasikan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya ke dalam bentuk produk hukum daerah, baik peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah. Namun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, membawa pada perubahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota dilimpahkan atau diserahkan kepada pemerintahan daerah provinsi dan begitu pula sebaliknya. Namun demikian, hingga saat ini peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah belum diterbitkan, sementara itu Pasal 410 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan untuk menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


(14)

Daerah paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak diundangkan. Sementara itu, di lain pihak pelaku kegiatan ekonomi di daerah sangat membutuhkan adanya jaminan kepastian hukum seiring dengan terjadinya kebijakan transisional penyerahan penyelenggaraan urusan pemerintahan pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentanng Pemerintahan Daerah. Urusan pilihan lebih detail dan rinci meliputi 8 (delapan) urusan diantaranya adalah:

1. Kelautan dan perikanan; 2. Pariwisata;

3. Pertanian; 4. Kehutanan;

5. Energi dan sumber daya mineral; 6. Perdagangan;

7. Perindustrian;dan 8. Transmigrasi.

Permasalahan yang timbul dari gambaran di atas yaitu terkait dengan: 1. Kepastian hukum penyelenggaraan urusan pengelolaan sumber daya

perikanan laut pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan

2. Pemerintah dapat menerapkan diskresi dalam masa transisional pada masa pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan kebijakan penyelenggaraasn urusan pengelolaan


(15)

sumber daya perikanan laut pada masa transisi pasca perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diterbitkan.

Berdasarkan penelusuran penulis, tidak menemukan adanya karya ilmiah atau tulisan yang sama dengan penulisan ini. Adapun penelusuran yang dilakukan, penulis menemukan beberapa tulisan yang relevan dengan tulisan

ini yakni sebuah skripsi berjudul, “Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber daya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat” tulisan yang

dibuat oleh Widi Astuti.11 Penulisan sejenis lainnya adalah sebuah skripsi

berjudul, “Studi pengelolaan Kawasan Pesisir Untuk Kegiatan Wisata Pantai (Kasus Teleng Ria Kabupaten Pacitan, Jawa Timur” tulisan yang dibuat oleh

Patris Rofin.12

Kedua tulisan yang dibuat oleh Widi Astuti dan Patris Rofin berbeda dengan penulisan penulis. Penulisan yang dibuat oleh Widi Astuti berisi tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan layur dengan menggunakan pancingan layur sudah optimal, pengoperasian pancing layur telah memberikan keuntungan bagi nelayan yang mengusahakannya dan kelayakan investasi dari usaha pancing layur di masa yang akan datang. Sedangkan penulisan yang dibuat oleh Patris Rofin berisi tentang pengelolaan kawasan pesisir untuk kegiatan wisata pantai kasus teleng ria Kabupaten Pacitan di Jawa Timur.

11 Widi Astuti, “Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat” diakses pada repository.ipb.ac.id pada tanggal 8 Oktober

2015 pukul 12:33.

12 Patris Rofin, “Studi pengelolaan Kawasan Pesisir Untuk Kegiatan Wisata Pantai (Kasus Teleng Ria Kabupaten Pacitan, Jawa Timur)” diakses pada www.academia.edu/3432497 pada tanggal 8 Oktober pukul 12:00.


(16)

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, penulis melakukan sebuah penulisan dalam bentuk skripsi dengan judul: “KEPASTIAN HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT DIKAITKAN DENGAN KEBIJAKAN TRANSISIONAL DI JAWA BARAT PASCA DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, maka dalam penulisan ini, permasalahan dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kepastian hukum pengelolaan sumber daya perikanan laut dikaitkan dengan kebijakan transisional pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah?

2. Bagaimana kebijakan dan penerapan diskresi dalam masa transisional pada penyelenggaraan urusan pengelolaan sumber daya perikanan laut pasca perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Penerbitan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah?

C. Tujuan Penulisan

Suatu kegiatan yang dilakukan seseorang sudah pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:


(17)

1. Untuk memahami dan mengkaji kebijakan penyelenggaraan urusan pengelolaan sumber daya perikanan laut pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

2. Untuk memahami dan mengkaji kebijakan dan penerapan diskresi pada masa transisional pada penyelenggaraan pengelolaan sumber daya perikanan laut pasca perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Penerbitan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

D. Kegunaan Penulisan

Kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Untuk mengembangkan hukum pada umumnya hukum dan Hukum Administrasi (HAN) pada khususnya terkait kebijakan di dalam masa transisional dalam pengelolaan Sumber Daya Perikanan Lsut pasca diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Kegunaan Praktis

Untuk memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi Pemerintahan Daerah yang terkait pengelolaan Sumber Daya Perikanan Lsut pasca diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah..


(18)

E. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Konseptual

Negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam suatu masyarakat yang diperoleh karena negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum.13 Oleh karena itu hubungan antar negara dan hukum bukanlah hubungan sebab akibat, tetapi hubungan yang lebih bersifat abstrak bahkan cenderung tidak ada hubungan sama sekali karena itu, hukum bukan merupakan penjelmaan dari perintah negara ataupun kehendak negara.14

Berdasarkan hal diatas, sifat negara yang pertama dari negara hukum ialah adanya pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Namun tidak lagi dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Negara tidak lagi mempunyai kedudukan yang maha kuasa dari masyarakatnya. Tindakannya selalu dihadapkan dan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, ketika individu mempunyai hak terhadap negara itulah analisis yang pertama dari bentuk negara hukum dalam pandangan yang lebih luas berarti masyarakat mempunyai hak terhadap penguasa dan perseorangan mempunyai hak terhadap masyarakat. Jadi dapat dikatakan pula bahwa ada satu lapangan pribadi dari tiap-tiap orang yang tidak dapat dicampuri oleh negara, yaitu apabila negara kedalam masalah pribadi atau perseorangan maka keterlibatannya itu harus berdasarkan hukum terlebih dahulu. Inilah yang dinamakan asas

13 Mahmud Sujuti, Politik Tarekat,Yogyakarta: Galang Press, 2001, hlm. 181. 14

Dedi Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Mutakhir, Bandung: Pustaka Atadbir, 2006, hlm. 162.


(19)

legaliteit dari negara hukum. Peraturan perundang-undangan yang telah dibentuk merupakan satu aturan untuk membatasi kekuasaan negara dalam melakukan hukum lainnya harus ditataati oleh negara dan badan-badan penyelenggara kekuasaan lainnya.

Ada dua prinsip pokok yang tercantum dalam UUD 1945 yang menjiwai sistem pemerintahan negara indonesia yaitu:15

a. Indonesia adalah yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan (machstaat);

b. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) bukan berdasrkan absloutisme (kekuasaan tanpa batas).

Maka dengan melihat dua prinsip tadi jelas negara Indonesia menganut paham demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis pemerintah yang sebatas kekuasan dan tidak dibernarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi.

Dari hal yang tersebut di atas terlihat bahwa Administrasi Negara dalam menjalankan fungsi penyelenggara urusan pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang dilakukan oleh badan atau pejabatnya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa pejabat pemerintahan memiliki hak

15


(20)

untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, yang di antaranya meliputi:

a. menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan Kewenangan yang dimiliki;

b. menetapkan keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan tindakan;

c. menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan keputusan dan/atau tindakan.

Menurut Philipus M. Hadjon Administrasi Negara memperoleh wewenang tersebut dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan

delegasi”. Terhadap kedua istilah tersebut Indroharto menjelaskan:16

Pada atribusi terjadi pemberi wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Disini oleh peraturan perundang-undangan sendiri dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintah baru. Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Pejabat TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintah secara attributif kepada Badan atau Pejabat TUN lainnya. Jadi suatu delegasi itu selalu didahului oleh adanya suatu attribusi wewenang.”

Dalam hubungan ini Prajudi Atmosudirdjo menyatakan: “asas

diskresi (discretie, Friese Ermessen), artinya pejabat penguasa tidak boleh

menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya”,

dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri dengan alasan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas

16Tatang Odjo Suardja dan Didi Nursidi, “implementasi diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”, hlm. 3 diakses pada http://ejournal.kopertis4.or.id tanggal 9 Oktober 2015 pukul 10:00.


(21)

legalitas tersebut di atas. Ada dua macam diskresi, yaitu: “diskresi bebas”

bilamana undang-undang hanya menentukan batasan-batasannya, dan

“diskresi terikat” bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternatif

untuk dipilih salah satu oleh Pejabat Administrasi yang dianggap paling dekat.

Pada asasnya menggunakan diskresi atau freies Ermessen merupakan kewenangan eksekutif (pemerintah/pemerintah daerah) dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan, hal demikian dapat dipahami oleh karena pemerintahlah yang secara langsung bersentuhan dengan dinamika pelayanan publik. Dalam praktek pemerintahan daerah, implementasi diskresi oleh pejabat, dapat dijumpai dalam bentuk seperti surat edaran, surat keputusan, surat perintah, pengumuman, dan lain sebagainya.

Penggunaan diskresi sebagai bentuk kebebasan atau keleluasaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan khusus dalam lapangan pemerintahan dalam arti sempit, tetap harus tidak untuk merugikan masyarakat dan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum. Secara prosedur tata kelola pemerintahan pertanggungjawaban tersebut dilakukan kepada atasan pejabat yang bersangkutan.17

2. Kerangka Teoritis

Otonomi Daerah menurut Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah hak, wewenang dan

17


(22)

kewajiban daerah otonom untuk mengurus sendiri, urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan definisi diskresi menurut Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan adalah keputusan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau tidak jelas, dan/atau tindakan.

Menurut H.D. Stoud adalah wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik.

Penulis mengemukakan definisi implementasi yang dikemukakan

oleh Lester dan Stewart. Yan yaitu “Implementasi sebagai suatu proses

dan suatu hasil (output)”. Sedangkan definisi kebijakan menurut Anderson

yang dikutip oleh Islamy dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Perumusan

Kebijaksanaan Negara” menyebutkan bahwa: Kebijakan adalah

serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Sedangkan definisi implementasi kebijakan menurut Meter dan Horn Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat pemerintah atau swasta yang


(23)

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah diterapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.18 Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan dapat dikatakan sebagai tindakan melalui keputusan dari sejumlah aktor yang dipergunakan sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan kebijakan merupakan suatu alat untuk memecahkan masalah-masalah yang sedang terjadi ataupun mencegah masalah yang akan terjadi. Oleh karena itu, apa yang disepakati oleh perumus kebijakan menjadi pedoman bagi pelaksanaan implementasi dari isi kebijakan tersebut untuk mencapai hal tersebut di atas, menurut Meter dan Horn variabel-variabel implementasi kebijakan yang mempengaruhi dalam implementasi sebagai berikut, yaitu:19

a. Ukuran dan Tujuan kebijakan; b. Sumber Daya;

c. Karakteristik Agen Pelaksana;

d. Sikap/Kecendrungan (Disposition) para Pelaksana; e. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana; f. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.

F. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis-normatif, karena merupakan penulisan hukum normatif (legal

18 Agustino, “Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter van Horn, the Policy

Implementation”, diakses pada https://kertyawitaradya.wordpress.com tanggal 01 Oktober 2015, Pukul 22.00.

19


(24)

research) atau penulisan hukum doktriner,20 yaitu cara pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah penulisan dengan meneliti data sekunder.

Penulisan yuridis normatif digunakan karena dalam penulisan ini akan berusaha menemukan sampai sejauh mana pengaturan hukum positif dalam mewujudkan pengelolaan wilayah perikanan laut di propinsi jawa barat dalam menyelenggarakan perekonomian.

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Sifat Penulisan

Siifat Penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif analisis yaitu menjelaskan suatu gejala, peristiwa yang sedang diteliti dan berkaitkan dengan kejadian sekarang. Dalam penulisan ini penulis mencoba menjelasakan bagaimana pengelolaan sumber daya perikanan laut pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Pendekatan Penulisan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Undang-Undang (statue approach) dan Pendekatan Konseptual (conseptual approach). Pendekatan Undang-undang dilakukan dengan menelaah undang–undang dan regulasai yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

20


(25)

Pendekatan Konseptual beranjakan dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan, doktrin dan doktrin didalam ilmu hukum, akan akan menghasilkan pengetian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan.

3. Jenis Data

Karena penulisan ini merupakan penulisan hukum doktrinal (normatif), maka jenis data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang mencakup:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari Ketentuan perundang-undangan nasional Indonesia21 yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang berupa laporan-laporan pertemuan atau sidang lembaga di tingkat nasional, hasil-hasil penulisan, karya ilmiah, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, terbitan buletin, dokumen- dokumen lainnya.22

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua bahan hukum yang memberikan petunjuk/penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Meliputi bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia dan sebagainya.23

21 Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 181.

22

Ibid.

23


(26)

4. Teknik Pengumpulan Data

Sumber data utama yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau disebut juga telaah kepustakaan atau library research karena sulitnya untuk mendapatkan data primer yang berupa pengamatan langsung di lapangan mengenai pelaksanaan pengelolaan sumber daya perikanan laut yang berbasis masyarakat. Untuk mengumpulkan data sekunder tersebut dipergunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi lapangan dan studi kepustakaan yaitu membaca dan memilih ketentuan-ketentuan hukum hukum nasional serta ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan perekonomian daerah.

Hal itu dilakukan dengan cara meneliti data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, sehingga sumber data utama yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan adalah data kualitatif, yang berupa data tertulis dari peraturan perundang-undangan dan buku-buku karya ilmiah atau literatur lainnya yang menunjang terhadap tinjauan yuridis terhadap penetepan keijakan transisional penyelenggaraan sumber daya perikanan laut pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


(27)

Semua data yang telah berhasil diperoleh, setelah dilakukan editing dan disusun secara sistematis akan dianalisis berdasarkan teknik analisa data secara yuridis kualitatif, dengan langkah-langkah kategorisasi dan intepretasi. Analisa kualitatif tersebut dilakukan melalui penalaran berdasarkan logika untuk dapat menarik kesimpulan yang logis, sebelum disusun dalam bentuk sebuah laporan penulisan.

Analisis data yang dilakukan secara kualitatif untuk penarikan kesimpulan-kesimpulan tersebut, tidak hanya bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga bertujuan untuk memahami gejala-gejala yang timbul dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum mengenai pengelolaan sumber daya perikanan. Analisis kualitatif juga dilakukan untuk mengungkapkan sampai sejauh mana konsistensi dari implementasi kewenangan pemerintah Jawa Barat di wilayah pesisirnya, dalam kaitannya untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan yang sudah pasti akan payung hukumnya.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan sistematika penulisan yang disusun oleh penulis diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penulisan, kegunaan penulisan, kerangka


(28)

pemikiran, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM

PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai otonomi daerah dalam sistem pemerintahan di indonesia yaitu Konsep Otonomi Daerah, Landasan Hukum Penyelenggaraan Hukum Administrasi Negara di Indonesia dan Pembagian Kewenangan dan Urusan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Indonesia

BAB III : KEWENANGAN PENGELOLAAN SUMBER

DAYA PERIKANAN LAUT DALAM

PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan laut dalam penyelenggaraan otonomi daerah yaitu Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23


(29)

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

BAB IV : ANALISIS KEPASTIAN HUKUM

PENGELOLAAN SUMBER DAYA

PERIKANAN LAUT DIKAITKAN DENGAN KEBIJAKAN TRANSISIONAL DI JAWA

BARAT PASCA DITERBITKANNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Dalam bab ini penulis akan membahas dari Identifikasi Masalah yang telah diuraikan dalam BAB I.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari pembahasan sebagaimana diuraikan pada bab VI.


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:

1. Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah kabupaten/kota tidak lagi berwenang lagi karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah beralih pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian Peraturan Pelaksana masih mengacu kepada Peraturan Pelaksana yang lama karena belum ada Peraturan Pelaksana yang baru. Pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan saat ini banyak diselenggarakan oleh pemerintah provinsi.

2. Penerapan diskresi dapat dilakukan pada masa transisional. Hal ini menghindari adanya kekosongan hukum serta adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan perekonomian daerah dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan di provinsi Jawa Barat dimana bentuk penerapan kebijakan pada masa transisional diberlakukannya undang-undang menggunakan instrumen diskresi salah satunya bidang perizinan.

B. Saran

Saran atau rekomendasi yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:


(31)

1. Diharapkan pemerintah daerah provinsi dapat segera menerbitkan peraturan daerah yang menjadi acuan dalam pelaksanaan diskresi guna menempuh kepastian hukum

2. Arah kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan laut ke depan hendaknya lebih mengawasi eksploitasi agar tidak dilakukan secara berlebihan dengan melihat pada prinsip keberlanjutan sumber daya laut. Hal itu perlu dilakukan guna mengurangi over eksploitasi di wilayah perairan pantai, sekaligus untuk mengintensifkan pemanfaatan sumber daya di lepas pantai, yang ternyata masih banyak yang belum termanfaatkan. Oleh karena itu, berbagai bentuk bantuan untuk para nelayan sangat perlu dilakukan pemerintah misalnya diwujudkan dalam bentuk bantuan peralatan tangkap lepas pantai dan pendanaan atau bantuan modal.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

A Satria, Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: HUP, 2001.

Abdul Sabaruddin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Arah Menuju Pemerintahan yang Baik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Agus Pramusinto dan Erwana Agus Purwanto, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik (Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia), Yogyakarta: Gava Media, 2009. Agus Santoso, Menyingkap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2014.

Akhmad Fauzi, dkk., Rencana Arah Pengembangan Bisnis Kelautan Jawa Barat, Bandung: Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat, 2007.

Bagir Manan, Menyongsong Pajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001.

Dedi Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Mutakhir, Bandung: Pustaka Atadbir, 2006.

Deddy S. Bratakusumah & Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Ermansah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan

Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Fisher S (et.al), Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Diterjemahkan oleh The British Council, Jakarta: Kartikasari, 2000.

H. Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.


(33)

HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.

__________, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli , Bulat dan Utuh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: Grasindo, 2007.

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Herimanto, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Luky Adriato dan Akhmad Solihin, Review Terhadap Revisi Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Conservation International, 2015.

M. Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Cendekia, 2005.

M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grfika, 2002.

Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana, 2009. Mahmud Sujuti, Politik Tarekat,Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: ANDI Offset, 2002.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1961.

Ni‟matul Huda, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangannya, dan Problematikanya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana, 2009.

Rikardo Simamata dan Denny Karwur, Tinjauan dan Contoh Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir di Daerah, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, 2005.

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaran Pemerintah Daerah, Jakarta: Fokus Media, 2008.


(34)

Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006. __________, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta:

Genta Press, 2008.

Satria A, Umbari, Ahmad Fauzi, Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran, Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2002.

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung: Revika Aditama, 2006.

Sumintarsih. (et.al), Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Madura. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2005.

Syaukani HR., Afan Gaffar dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Desentralisasi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2014.

V.P.H. Nikijuluw, Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Jakarta: Pustaka Cidesindo dan P3R, 2002.

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua Puluh Empat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

Zulkarnaen (et.al), Potensi Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus Pongkor dan Cilandak, Jakarta: LIPI, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen Keempat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


(35)

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perikanan.

C. Sumber Lain

Abu bakar, “Otonomi Daerah Masalah dan Pemerdayaan 2015”, diakses pada

http:// www.kemitraan.or.id tanggal 01 Oktober 2015 pukul 19:35. Arif Satria, “Kelautan Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014”, dalam: http://otda.kemendagri.go.id., yang diakses

pada tanggal 19 Januari 2016, pukul. 17.00 WIB.

Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum,” dalam Jurnal

Hukum “JENTERA”, Edisi 3 Tahun II, November 2004.

Agustino, “Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter van Horn, the

Policy Implementation”, diakses pada

https://kertyawitaradya.wordpress.com tanggal 01 Oktober 2015, Pukul 22.00.

Dina Sunyowati dan Enny Narwati, “Penetapan Dan Penataan Batas Wilayah

Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Jurnal Yuridika, Volume 21, Nomor 3, Mei 2006.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, “Bidang Perikanan

Budidaya”, dalam http://diskanlaut.jabarprov.go.id/index.php/.,

yang diakses pada tanggal 11 November 2015, pukul 14.30 WIB. Himawan Sutanto, “Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut”,

Jurnal Inovasi, Volume IX Nomor 2, Juni 2015.

Iskandar, “Implikasi Alih Kewenangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014


(36)

Tentang Pemerintahan Daerah”, dalam: http://suttaniskandaralam.blogspot.co.id., yang diakses pada tanggal 17 Januari 2016, pukul. 17.15 WIB.

Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, “Pentingnya Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Perikanan Budi Daya”, dalam http://www.djpb.kkp.go.id., yang diakses pada tanggal 9 November 2015, pukul 11.00 WIB.

Komariah Pandia, ”Efektifitas Perizinan Usaha Perikanan Dalam Melindungi

Sumber Daya Laut Khususnya Ikan”, diakses pada

(http://www.repository.usu.ac) 27 Mei 2015 Pukul 19:00.

Kusumastanto dan Solihin, “Aspek Hukum dalam Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Laut di Era Desentralisasi” [Makalah]. Disampaikan

pada Seminar Nasional Implementasi Pengendalian Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut dari Undang-undang Perikanan dalam Proyeksi Pembangunan Pesisir dan Laut ke Depan diselenggarakan oleh Himasper FPIK-Universitas Brawijaya. 16 September 2004. L. Adrianto, “Desentralisasi Kelautan Plus”, dalam: Jurnal Kelautan

Nasional, Volume III Nomor 1, Juni 2015.

M. Kaiser & E. M. Forsberg, “Assessing Fisheries- using an Ethical Matrix in a Participatory Process”, Journal Agricultural an Environmental Ethic 14, 2001.

Made Suwandi, Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Dasar Otonomi Daerah di Indonesia, Makalah Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda, Jakarta: Ditjen Otda Depdagri, 2007.

Ma‟ruf, W.F. dan Agus H.P. Kesempatan Untuk Memperbaiki Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut Melalui Penerapan UU Nomor 32 Tahun 2004. Makalah Semiloka: "Konsep Pembangunan Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah dalam Rangka Implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004. Semarang: 25–27 Maret, 2005.

Patris Rofin, “Studi pengelolaan Kawasan Pesisir Untuk Kegiatan Wisata Pantai (Kasus Teleng Ria Kabupaten Pacitan, Jawa Timur)” diakses pada www.academia.edu/3432497 pada tanggal 8 Oktober pukul 12:00.

Reivo Chrestotes Lang, “Analisis Hukum Tentang Kewenangan Pemerintah Kota dalam Mengelola Wilayah Pantai Manado”, dalam: Jurnal Lex Administratum, Volume III Nomor 3, Mei 2015.


(37)

Robert Na Endi Jaweng, “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014: Tinjauan Desentralisasi Ekonomi”, dalam: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 47 Tahun 2015.

Sherlock H. Lekipiouw, “Model Penataan Ruang Laut Daerah Berdasarkan Integrated Coastal Management Sebagai Acuan Penyusunan Penataan Ruang Laut Pada Wilayah Kepulauan”, Jurnal Sasi, Volume 16 Nomor 4 Bulan Oktober – Desember 2010.

__________, “Pengaturan Wewenang dalam Pengelolaan Wilayah Laut:,

Jurnal Sasi, Volume 20 Nomor 2, Bulan Juli - Desember 2014. Tatang Odjo Suardja dan Didi Nursidi, “implementasi diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah”, hlm. 3 diakses pada http://ejournal.kopertis4.or.id tanggal 9 Oktober 2015 pukul 10:00.

Titah Vega Tanaya, “Makna Keadilan dan Macam-Macam Keadilan”, Jurnal

Hukum Pro Justitia, Volume V Nomor 3, Maret 2014.

Widi Astuti, “Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat” diakses pada repository.ipb.ac.id pada tanggal 8 Oktober 2015 pukul 12:33.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

A Satria, Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: HUP, 2001.

Abdul Sabaruddin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Arah Menuju Pemerintahan yang Baik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Agus Pramusinto dan Erwana Agus Purwanto, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik (Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia), Yogyakarta: Gava Media, 2009. Agus Santoso, Menyingkap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2014.

Akhmad Fauzi, dkk., Rencana Arah Pengembangan Bisnis Kelautan Jawa Barat, Bandung: Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat, 2007.

Bagir Manan, Menyongsong Pajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001.

Dedi Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Mutakhir, Bandung: Pustaka Atadbir, 2006.

Deddy S. Bratakusumah & Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Ermansah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan

Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Fisher S (et.al), Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Diterjemahkan oleh The British Council, Jakarta: Kartikasari, 2000.

H. Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.


(2)

HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.

__________, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli , Bulat dan Utuh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: Grasindo, 2007.

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Herimanto, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Luky Adriato dan Akhmad Solihin, Review Terhadap Revisi Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Conservation International, 2015.

M. Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Cendekia, 2005.

M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grfika, 2002.

Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana, 2009. Mahmud Sujuti, Politik Tarekat,Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: ANDI Offset, 2002.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1961.

Ni‟matul Huda, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangannya, dan Problematikanya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana, 2009.

Rikardo Simamata dan Denny Karwur, Tinjauan dan Contoh Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir di Daerah, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, 2005.

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaran Pemerintah Daerah, Jakarta: Fokus Media, 2008.


(3)

Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006. __________, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta:

Genta Press, 2008.

Satria A, Umbari, Ahmad Fauzi, Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran, Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2002.

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung: Revika Aditama, 2006.

Sumintarsih. (et.al), Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Madura. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2005.

Syaukani HR., Afan Gaffar dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Desentralisasi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2014.

V.P.H. Nikijuluw, Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Jakarta: Pustaka Cidesindo dan P3R, 2002.

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua Puluh Empat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

Zulkarnaen (et.al), Potensi Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus Pongkor dan Cilandak, Jakarta: LIPI, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen Keempat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


(4)

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perikanan.

C. Sumber Lain

Abu bakar, “Otonomi Daerah Masalah dan Pemerdayaan 2015”, diakses pada http:// www.kemitraan.or.id tanggal 01 Oktober 2015 pukul 19:35.

Arif Satria, “Kelautan Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014”, dalam: http://otda.kemendagri.go.id., yang diakses pada tanggal 19 Januari 2016, pukul. 17.00 WIB.

Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum,” dalam Jurnal

Hukum “JENTERA”, Edisi 3 Tahun II, November 2004.

Agustino, “Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter van Horn, the

Policy Implementation”, diakses pada

https://kertyawitaradya.wordpress.com tanggal 01 Oktober 2015, Pukul 22.00.

Dina Sunyowati dan Enny Narwati, “Penetapan Dan Penataan Batas Wilayah Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Jurnal Yuridika, Volume 21, Nomor 3, Mei 2006.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, “Bidang Perikanan

Budidaya”, dalam http://diskanlaut.jabarprov.go.id/index.php/., yang diakses pada tanggal 11 November 2015, pukul 14.30 WIB.

Himawan Sutanto, “Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut”, Jurnal Inovasi, Volume IX Nomor 2, Juni 2015.

Iskandar, “Implikasi Alih Kewenangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014


(5)

Tentang Pemerintahan Daerah”, dalam: http://suttaniskandaralam.blogspot.co.id., yang diakses pada tanggal 17 Januari 2016, pukul. 17.15 WIB.

Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, “Pentingnya Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Perikanan Budi Daya”, dalam http://www.djpb.kkp.go.id., yang diakses pada tanggal 9 November 2015, pukul 11.00 WIB.

Komariah Pandia, ”Efektifitas Perizinan Usaha Perikanan Dalam Melindungi Sumber Daya Laut Khususnya Ikan”, diakses pada (http://www.repository.usu.ac) 27 Mei 2015 Pukul 19:00.

Kusumastanto dan Solihin, “Aspek Hukum dalam Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Laut di Era Desentralisasi” [Makalah]. Disampaikan pada Seminar Nasional Implementasi Pengendalian Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut dari Undang-undang Perikanan dalam Proyeksi Pembangunan Pesisir dan Laut ke Depan diselenggarakan oleh Himasper FPIK-Universitas Brawijaya. 16 September 2004.

L. Adrianto, “Desentralisasi Kelautan Plus”, dalam: Jurnal Kelautan Nasional, Volume III Nomor 1, Juni 2015.

M. Kaiser & E. M. Forsberg, “Assessing Fisheries- using an Ethical Matrix in

a Participatory Process”, Journal Agricultural an Environmental Ethic 14, 2001.

Made Suwandi, Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Dasar Otonomi Daerah di Indonesia, Makalah Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda, Jakarta: Ditjen Otda Depdagri, 2007.

Ma‟ruf, W.F. dan Agus H.P. Kesempatan Untuk Memperbaiki Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut Melalui Penerapan UU Nomor 32 Tahun 2004. Makalah Semiloka: "Konsep Pembangunan Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah dalam Rangka Implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004. Semarang: 25–27 Maret, 2005.

Patris Rofin, “Studi pengelolaan Kawasan Pesisir Untuk Kegiatan Wisata Pantai (Kasus Teleng Ria Kabupaten Pacitan, Jawa Timur)” diakses

pada www.academia.edu/3432497 pada tanggal 8 Oktober pukul 12:00.

Reivo Chrestotes Lang, “Analisis Hukum Tentang Kewenangan Pemerintah Kota dalam Mengelola Wilayah Pantai Manado”, dalam: Jurnal Lex Administratum, Volume III Nomor 3, Mei 2015.


(6)

Robert Na Endi Jaweng, “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014: Tinjauan Desentralisasi Ekonomi”, dalam: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 47 Tahun 2015.

Sherlock H. Lekipiouw, “Model Penataan Ruang Laut Daerah Berdasarkan Integrated Coastal Management Sebagai Acuan Penyusunan Penataan Ruang Laut Pada Wilayah Kepulauan”, Jurnal Sasi, Volume 16 Nomor 4 Bulan Oktober – Desember 2010.

__________, “Pengaturan Wewenang dalam Pengelolaan Wilayah Laut:, Jurnal Sasi, Volume 20 Nomor 2, Bulan Juli - Desember 2014. Tatang Odjo Suardja dan Didi Nursidi, “implementasi diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah”, hlm. 3 diakses pada

http://ejournal.kopertis4.or.id tanggal 9 Oktober 2015 pukul 10:00.

Titah Vega Tanaya, “Makna Keadilan dan Macam-Macam Keadilan”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume V Nomor 3, Maret 2014.

Widi Astuti, “Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat” diakses pada