POTENSI DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI BUM DESA

POTENSI DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA)
(Telaah Kajian Potensi dan Permasalahan Pada BUM Desa ‘Hanyukupi’ Ponjong dan BUM
Desa ‘Sejahtera’ Bleberan di Kabupaten Gunungkidul)
Budi Susilo; Nurul Purnamasari
(Yayasan Penabulu)

A. PENDAHULUAN
Desa merupakan unit terkecil dari negara yang terdekat dengan masyarakat dan secara
riil langsung menyentuh kebutuhan masyarakat untuk disejahterakan. Basis sistem
kemasyarakatan di desa yang kokoh adalah kekuatan untuk mengembangkan sistem
politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Di Indonesia ada kurang lebih 74 ribu desa, dimana
lebih dari 32 ribu desa masuk dalam kategori desa tertinggal. Kondisi ini sangat
kontradiktif dengan tujuan otonomi daerah. Di era otonomi daerah, seharusnya menjadi
perwujudan unjuk kekuatan di berbagai bidang, karena tujuan besar otonomi daerah
adalah memperluas kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat desa. Kini desa
menghadapi era baru. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, hendak mengantarkan
desa sebagai penyangga kehidupan. Desa diharapkan menjadi mandiri secara sosial,
budaya, ekonomi, bahkan politik.
Pada PP Nomor 43 Tahun 2014 yang diubah melalui PP Nomor 47 Tahun 2015 telah
menyebutkan jika kini desa mempunyai wewenang untuk mengatur sumber daya dan

arah pembangunan. Berlakunya regulasi tentang desa membuka harapan bagi
masyarakat desa untuk berubah. Desa memasuki era self governing community dimana
Desa memiliki otonomi dan kewenangan dalam perencanaan, pelayanan publik, dan
keuangan. Maka desa bukan lagi penunggu instruksi dari supra desa (Kecamatan,
Kabupaten, Propinsi, dan Pusat). Untuk itu tumpuan dinamika kehidupan desa sangat
bergantung pada pastisipasi masyarakat dalam mendorong terbangunnya kesepakatan
pengelolaan desa, mampu menumbuhkan dan mengembangkan nilai sosial, budaya,
ekonomi, dan pengetahuan.
Pembangunan desa dapat ditingkatkan melalui pengembangan potensi perekonomian
desa dan menjadi wadah bersama masyarakat pedesaan dalam membangun diri dan
lingkungannya secara mandiri dan partisipatif. Dalam UU Desa disebutkan bahwa
bahwa pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan, melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, dengan
mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial. Lebih lanjut, Pasal 87
UU tersebut menyatakan bahwa BUM Desa dapat dibentuk oleh Pemerintah Desa yang
dikelola
dengan

semangat
kekeluargaan
dan
kegotongroyongan
untuk
mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa. Kemakmuran rakyat Indonesia sesuai mandat UUD
1945, atau kesejahteraan masyarakat yang sejati, diyakini harus dibangun mulai dari
 

1

tataran desa. BUM Desa memberikan ruang pengambilan peran negara melalui
Pemerintah Desa untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki desa dan bidang
produksi yang penting bagi desa dan yang menguasai hajat hidup warga desa.

B. PERMASALAHAN
Sebagai unit terkecil dari negara, desa secara riil langsung menyentuh kebutuhan
masyarakat untuk disejahterakan. Namun hampir separuh dari seluruh desa di Indonesia

masih dalam kategori desa tertinggal. Ini dapat menjadi indikator jika selama ini desa
termarjinalkan oleh kepentingan industri dan perluasan pasar global (Susetiawan, 2011).
Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memimpikan kehidupan desa yang
otonom dalam mengelola pemerintah dan kemasyarakatannya. Pada PP Nomor 43
Tahun 2014 yang diubah melalui PP Nomor 47 Tahun 2015 telah menyebutkan jika kini
desa mempunyai wewenang untuk mengatur sumber daya dan arah pembangunan.
Menggerakkan perekonomian desa menjadi semakin terbuka dengan keleluasaan
mengembangkan usaha desa berbasis potensi yang dimiliki masyarakat maupun potensi
desa itu sendiri. Bahkan desa dimungkinkan mengembangkan Badan Usaha Milik Desa
(BUM Desa) yang secara definitif diartikan sebagai sebuah perusahaan yang dikelola
oleh masyarakat desa dan kepengurusanya terpisah dari pemerintah desa. Berdirinya
BUM Desa bertujuan untuk menggali dan mengoptimalkan potensi wirausaha desa.
Badan Usaha Milik Desa berdiri dengan dilandasi oleh UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat (1) disebutkan bahwa “Desa dapat
mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa” turut
menjadi pondasi penting dalam pendirian BUM Desa.
Dalam UU Desa, BUM Desa didefinisikan sebagai badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan
usaha lain untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Dalam telaah ini,

Penabulu mengulas kajian mengenai potensi dan permasalahan yang dihadapai dalam
pengembangan kewirausahaan desa oleh dua desa model di DIY, yaitu BUM Desa
‘Hanyukupi’ di Desa Ponjong dan BUM Desa ‘Sejahtera’ di Desa Bleberan di Kabupaten
Gunungkidul. Masing-masing BUM Desa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.
a) BUM Desa ‘Hanyukupi’ yang berdiri pada tahun 2011 menaungi unit usaha
wahana wisata air ‘Waterbyur’. Keberadaan unit usaha tersebut merupakan
aspirasi dan kesepakatan masyarakat di 11 dusun untuk mengoptimalkan
bantuan PNPM dalam pembangunan Sumber Ponjong dan memanfaatkan
potensi air yang melimpah di Desa Ponjong.
b) Desa Bleberan memiliki perencanaan pembangunan perdesaan yang fokus pada
optimalisasi sumber daya desa dalam sistem agribisnis sebagai penyangga
perekonomian desa. Pemerintah Desa Bleberan telah mencanangkan
pembangunan wilayah perdesaan sebagai salah satu landasan pertumbuhan
perekonomian desa dalam jangka panjang dengan mengandalkan sumber daya
yang tersedia di desa, salah satunya dengan keberadaan Badan Usaha Milik
Desa. BUM Desa ‘Sejahtera’ bergerak di tiga bidang desa wisata, pengelolaan air
bersih, usaha ekonomi produktif simpan pinjam (UEP-SP).
 

2


C. ANALISIS
Masyarakat desa harus berdaya agar pembangunan mencapai sasarannya. Maka yang
diperlukan adalah upaya-upaya pemberdayaan masyarakat desa untuk membangun
kemampuan masyarakat desa dengan cara mendorong, memotivasi, dan
mengembangkan potensi sumber daya lokal yang dimiliki. Geliat perekonomian
perdesaan seringkali dinilai lambat dibanding pembangunan ekonomi perkotaan.
Penataan ekonomi perdesaan perlu segera dilakukan dengan memanfaatkan sumber
daya desa secara optimal dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat dalam mencapai kesejahteraan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Untuk mencapainya, diperlukan dua pendekatan yaitu: (a) Kebutuhan masyarakat dalam
melakukan upaya perubahan dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan; dan (b)
Political will dan kemampuan pemerintah desa bersama masyarakat dalam
mengimplementasikan perencanaan pembangunan yang sudah disusun (Rustiadi (2001)
dalam Bachrein, 2010). Potensi sumber daya desa selama ini belum termanfaatkan
secara optimal. Jika pun ada yang memanfaatkan, cenderung eksploitatif dan tidak
mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan akibat eksploitasi sumber daya desa.
1. Potensi BUM Desa
Untuk mewujudkan desa yang mandiri, pemerintah mendorong setiap desa untuk
mendirikan BUM Desa. Keberadaan BUM Desa diyakini akan membawa perubahan

di bidang ekonomi dan sosial. Dalam kajian Penabulu, BUM Desa memiliki potensi
untuk optimalisasi aset atau sumber daya alam desa.
a) Potensi Ekonomi
Kehidupan masyarakat Desa Ponjong dan Desa Bleberan menggantungkan diri pada
sektor pertanian. Lahan pertanian pada umumnya dimanfaatkan untuk persawahan
dan hutan rakyat, serta lahan pertanian kering. Keberadaan sumber mata air di
kedua desa tersebut ditangkap sebagai potensi alam yang memiliki nilai ekonomi
lebih tinggi dibandingkan jika hanya untuk pengairan area persawahan.
Masyarakat Desa Ponjong tidak ingin menyia-nyiakan keberadaan sumber air
semata untuk pertanian. Mereka bersepakat membangun wahana wisata air
‘Waterbyur’. Di ‘Waterbyur’ juga menjadi area pertemuan aktivitas masyarakat,
karena pengelola menyediakan kios-kios untuk berjualan, serta area tertutup untuk
mandi dan mencuci masyarakat di sekitar ‘Waterbyur’. Demikian halnya di Desa
Bleberan yang memiliki empat sumber mata air (Jambe, Dong Poh, Ngandong, dan
Ngumbul) menjadi penyokong utama berkembangnya pertanian dan pariwisata air di
desa ini. Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih sehari-hari, BUM Desa ‘Sejahtera’
menaungi unit usaha penyediaan air bersih (PAB) dengan memasang pompa di
sumber air Dong Poh dan Ngandong, sehingga dapat membantu warga menghemat
pengeluaran untuk membeli air bersih terutama di musim kemarau.
Selain menjadi ruang transaksi ekonomi masyarakat desa, BUM Desa berpotensi

menyumbang desa dalam bentuk Pendapatan Asli Desa, dimana keuntungan bersih
BUM Desa dialokasikan untuk pemasukan Desa. Keberadaan BUM Desa
memungkinkan perputaran uang terjadi di desa yang kemanfaatannya akan
dirasakan untuk seluruh elemen masyarakat.
 

3

b) Potensi Sosial
BUM Desa yang menaungi beberapa unit usaha desa memungkinkan terbukanya
lapangan kerja bagi masyarakat usia produktif. Sebagian masyarakat terserap
menjadi tenaga kerja di rumah sendiri tanpa harus urbanisasi, sekaligus mengurangi
angka pengangguran. Selain masyarakat dapat mengakses lapangan kerja di BUM
Desa, kelompok ekonomi produktif akan mendapat ruang baru untuk memasarkan
produknya melalui kios-kios di sekitar lokasi wisata ‘Waterbyur’, Air Terjun Sri
Gethuk, dan Gua Rancang.
Tidak berhenti pada penyediaan peluang kerja bagi masyarakat. BUM Desa pun
melakukan beberapa kegiatan sosial. Keberadaan BUM Desa di Desa Ponjong dan
Desa Bleberan menunjukkan jika secara internal masyarakat memiliki dorongan
perubahan yang cepat dalam kehidupan bermasyarakat, menumbuhkan kesadaran

kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup, dan mencari peluang yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling
mempercayai, kohesivitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal dalam
membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling
menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat (Inayah, 2012).
c) Potensi SDM
Melalui BUM Desa, partisipasi masyarakat menjadi modal sosial yang mampu
memperkuat potensi-potensi desa. Modal sosial Desa Ponjong dan Desa Bleberan
dapat disaksikan dari proses interaksi antar masyarakat maupun masyarakat dengan
pemerintah desa, yang melahirkan ikatan emosional berupa kepercayaan,
hubungan-hubungan timbal balik, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan normanorma yang membentuk struktur tersendiri yang dipercaya oleh masyarakat kedua
desa tersebut. BUM Desa dapat menjadi faktor pendorong terbentuknya kelompokkelompok minat dalam masyarakat (kelompok pertanian, kelompok lingkungan hidup,
kelompok ekonomi produktif).
2. Permasalahan yang Dihadapi BUM Desa
Keberadaan BUM Desa ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi menyimpan potensi
dan harapan bagi kehidupan masyarakat melalui optimalisasi potensi sumber daya
alam dan sumber daya manusia, di sisi yang lain BUM Desa memiliki permasalahan
yang pelik. BUM Desa di Desa Ponjong dan Desa Bleberan memang belum secara
maksimal terkelola secara profesional, sehingga sangat rentan pada konflik
horizontal. Beberapa permasalahan yang dijumpai di BUM Desa ‘Hanyukupi’ dan

BUM Desa ‘Sejahtera’ antara lain:
a) Komunikasi
Masalah mengenai komunikasi bermula dari kurang informatifnya penjelasan dari
pihak pengelola BUM Desa kepada masyarakat mengenai jenis usaha, aset,
keuntungan, dan kegiatan BUM Desa. Dalam anggapan masyarakat, BUM Desa
adalah milik Pemerintah Desa dan orang-orang yang ditunjuk sebagai pengurus
BUM Desa. Anggapan ini muncul karena ketika masyarakat menyampaikan
pendapat atau saran cenderung diabaikan. Masalah komunikasi antara pengelola

 

4

unit usaha dengan masyarakat maupun antar pengelola yang tidak terbuka juga
mengakibatkan kemacetan dalam unit UEP-SP.
b) Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Keberadaan BUM Desa seharusnya menjadi lapangan kerja dan akses ekonomi
untuk masyarakat di Desa Bleberan dan Desa Ponjong. Namun ada sebagian
masyarakat yang menilai jika BUM Desa belum memberdayakan masyarakat
sekitar. Karyawan BUM Desa ‘Hanyukupi’ kebanyakan berasal dari luar desa,

sudah memiliki pekerjaan tetap, dan tidak melalui proses rekrutmen yang
transparan. Selain itu, aspek pemberdayaan masyarakat desa belum sepenuhnya
terwujud karena pemanfaat kios di area wisata ‘Waterbyur’, Air Terjun Sri Gethuk,
dan Gua Rancang masih didominasi pelaku usaha dari luar desa.
c) Kapasitas manajerial
Dari wawancara yang dilakukan kepada pengelola BUM Desa ‘Sejahtera’ dan
BUM Desa ‘Hanyukupi’, ditemukan masalah dalam hal administrasi/inventarisasi
dan keuangan. Pencatatan keuangan belum menggunakan standar akuntansi
kapasitas manajerial, terutama dalam bidang keuangan. Pencatatan yang
dilakukan masih sederhana. Padahal ini sangat penting terkait dengan besarnya
nilai aset, omset, dan akuntabilitas kelembagaan BUM Desa.
d) Infrastruktur BUM Desa
BUM Desa masih belum optimal dalam memanfaatkan sarana serta aset yang
ada. BUM Desa ‘Hanyukupi’ maupun BUM Desa ‘Sejahtera’ membutuhkan
dukungan infrastruktur berupa perbaikan jalan menuju lokasi pariwisata,
penerangan, penataan kios, serta pengadaan dan perawatan pompa air sehingga
pasokan air dapat terjamin.
e) Transparansi dan akuntabilitas laporan pertanggungjawaban
Transparansi dan akuntabilitas menjadi standar utama dalam pengelolaan sebuah
organisasi. BUM Desa di Ponjong dan di Bleberan telah memiliki mekanisme

pelaporan rutin setiap tahun. Laporan tersebut dibuat tertulis dan diberikan
kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat. Permasalahan yang
muncul adalah masyarakat tidak mengerti tentang isi laporan, sehingga tidak
jarang terjadi kesalahpahaman mengenai pembagian SHU dan alokasi biayabiaya dari keuntungan BUM Desa. Selain itu, ada tuntutan dari masyarakat agar
BUM Desa memiliki prosedur baku dalam perekrutan karyawan yang diumumkan
secara terbuka. Kesan yang selama ini lekat di masyarakat adalah karyawan BUM
Desa merupakan orang-orang dekat dari perangkat desa dan pengurus BUM
Desa yang mengakibatkan kecemburuan sosial.
Dari kelima permasalahan tersebut, dapat disarikan menjadi dua permasalahan
utama yaitu mengenai relasi pengurus BUM Desa dengan Pemerintah Desa, dan
aspek profesionalitas dalam pengelolaan BUM Desa.
Perlu disadari jika BUM Desa dan Pemerintah Desa memiliki relasi yang erat, karena
Pemerintah Desa menjadi pengawas dari kegiatan yang dilakukan BUM Desa.
Dalam pengambilan keputusan, BUM Desa menggunakan mekanisme musyawarah
 

5

dan Pemerintah Desa adalah pemangku kepentingan utama yang terlibat dalam
musyawarah tersebut. Hal yang menjadi tantangan bagi BUM Desa dan Pemerintah
Desa adalah menjaga keseimbangan relasi, dimana dominasi satu pihak terhadap
pihak lainnya patut dihindari.
Profesionalisme dalam mengelola BUM Desa mengemuka di Desa Ponjong dan
Desa Bleberan. Sedangkan jika menilik landasannya, BUM Desa berdiri karena
kohesivitas sosial masyarakat desa dengan seluruh kesukarelaan untuk memajukan
desa. Kedua hal ini akan memunculkan dilema pada tata kelola BUM Desa dimana
BUMDes dituntut bekerja profesional, di sisi lain harus mengakomodasi tuntutan
penyerapan tenaga kerja lokal, dimana SDM lokal memiliki kapasitas dan kapabilitas
yang terbatas. Sedangkan dari sisi sosial, keberadaan BUMDes membawa
perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut tampak dari bergesernya semangat
volunterisme menjadi transaksional. Pergeseran dari pekerjaan yang bersifat
sukarela dan gotong royong menjadi pekerjaan yang mengharapkan adanya upah.

SOSIAL

BUM DESA 

PROFESIONAL

Gambar 1. Dualisme pengelolaan organisasi BUMDes

Di satu sisi, BUM Desa yang merupakan sebuah badan usaha yang dibentuk oleh
masyarakat desa berdasar asas gotong royong dan keterbukaan. BUM Desa dituntut
agar melayani kebutuhan seluruh masyarakat, membuka akses yang luas bagi
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan. Sedangkan di sisi
yang lain ada desakan dari masyarakat agar BUM Desa dikelola secara profesional
agar mendatangkan keuntungan yang besar dan pengelolaan yang transparan.
Keadaan tersebut memaksa BUM Desa dikelola secara tangkas (ambidextrous).
Robert Duncan (1976) menyebutkan jika sebuah organisasi dihadapkan pada
keadaan yang saling bertentangan pada saat bersamaan, pengelola organisasi
harus memiliki ketangkasan dalam mengakomodasi keberpihakan yang saling
bertentangan. Maka pengelola BUM Desa harus lebih terbuka dalam
mengembangkan pola pengelolaan yang bersifat sosial dan profesional dalam waktu
yang bersamaan.

D. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Simpulan
BUM Desa di Desa Ponjong dan Desa Bleberan memiliki kondisi yang berbeda yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendirian dan karakter masyarakat. Sebagai
organisasi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat desa,

BUM Desa perlu mengembangkan dialog bersama masyarakat untuk mendapatkan
gambaran tentang pengelolaan organisasi BUM Desa yang profesional versi
masyarakat. Hal ini dapat pula mereduksi kesan yang terbentuk bahwa ada unsur
keberpihakan yang kuat antara pengurus dan pengelola BUM Desa dengan
Pemerintah Desa.
Keberlanjutan (sustainability) BUM Desa sangat bergantung pada kemampuan
pengelolaan organisasi, karena BUM Desa berada dalam situasi yang membutuhkan
ambidextrous management untuk menjadi organisasi bisnis sosial. Jika aspek sosial
menjadi titik berat BUM Desa, maka perlu disadari jika prinsip gotong royong dan
kesukarelaan (volunteerism) membutuhkan komitmen yang kuat untuk mengikat
pihak-pihak yang mengelola BUM Desa. Sedangkan jika BUM Desa akan diarahkan
menjadi organisasi bisnis profesional, mengakibatkan pola relasi yang transaksional
dan rendahnya rasa memiliki (sense of belonging) pada modal sosial yang
membentuk BUM Desa.
Misi pengembangan BUM Desa adalah menggerakkan roda ekonomi desa dengan
mengoptimalkan potensi desa. Jika desa mampu mengoptimalkan seluruh potensi
sumber dayanya untuk menggerakkan perekonomian dan menyediakan lapangan
kerja bagi masyarakat usia produktif, maka pengembangan dan penguatan BUM
Desa diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan urbanisasi. Desa
bersama seluruh elemennya, perlu memiliki komitmen untuk mengembangkan unit
usaha dan inovasi yang menjadi potensi baru di desa agar misi BUM Desa terwujud,
sebagai penggerak kehidupan desa.
2. Rekomendasi
Rekomendasi yang diharapkan dapat diimplementasikan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengembangan BUMDes sebagai suatu bentuk bisnis sosial
yang berkelanjutan. Secara umum, rekomendasi yang ditawarkan adalah:
a) Pengurus BUMDes, Pemerintah Desa, masyarakat, lembaga lain yang hendak
melakukan pendampingan, dan/atau perusahaan yang akan melakukan investasi
di desa, secara bersama-sama perlu melakukan analisis rantai distribusi. Hal ini
bertujuan agar pengelolaan ekonomi perdesaan terkelola dari hulu ke hilir. Jika
rantai distribusi teridentifikasi maka roda perekonomian desa akan bergerak
secara selaras dan secara simultan dapat mengembangkan Desa Wirausaha.
b) Pemerintah desa bersama pengurus BUM Desa, masyarakat, dan pihak
eksternal mengkaji secara komprehensif potensi desa (sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan) untuk membuka ruang
terciptanya unit-unit usaha baru yang memungkinkan terciptanya lapangan kerja
yang semakin besar dan terbuka bagi kelompok masyarakat marjinal.
c) Pemerintah desa mampu menginisiasi dan mendorong masyarakat, pengurus
BUMDes, untuk menciptakan keunggulan kompetitif desa, sehingga tercipta one
village one product. Penciptaan keunggulan kompetitif dari tiga desa model harus
berdasar pada (i) diferensiasi hasil produksi; (ii) biaya produksi rendah (low cost);
dan (iii) respons cepat pada perubahan dan kebutuhan inovasi.
*******

 

7

REFERENSI
Duncan, Robert B., 1976, The Ambidextrous Organization: Designing Dual Structures For
Innovation. In R. H. Kilmann, L.R. Pondy and D. Slevin (eds.), The Management Of
Organization Design: Strategies And Implementation. New York: North Holland: 167188.
Eko, S., et al., 2014, Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD).
Inayah, 2012, Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Ragam Jurnal Pengembangan
Humaniora Vol. 12 No. 1: 43-49.
Muhi, A.H., 2012, Fenomena Pembangunan Desa. http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wpcontent/uploads/2012/06/FENOMENA-PEMBANGUNAN-DESA.pdf.
Pemerintah Desa Bleberan, 2014, Profil Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten
Gunungkidul.
Pemerintah Desa Ponjong, 2010, Laporan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman,
Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas, Desa Ponjong,
Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul.
Prabowo, T.H.E., 2014, Developing BUMDes (Village-owned Enterprise) for Sustainable
Poverty Alleviation Model Village Community Study in Bleberan-Gunung KidulIndonesia. World Applied Sciences Journal 30 (Innovation Challenges in
Multidiciplinary Research & Practice): 19-26.
Putra, A.S., 2015, Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik
Indonesia.
Sidik, F., 2015, Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian Desa. Jurnal Kebijakan
dan Administrasi Publik Vol. 19 No. 2: 115 – 131.

 

8