Lomba Karya Tulis Ilmiah Peranan Pemerin (1)

PERANAN PEMERINTAH DALAM
PEMBERDAYAAN UMKM DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
NAMA
NIM
PROGRAM STUDI

: YOHANES
: 017070343
: EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJJ PONTIANAK – KALIMANTAN BARAT

i
ABSTRAK
Pertumbuhan ekonomi nasional sangat ditentukan oleh dinamika perekonomian
daerah, sedangkan perekonomian daerah pada umumnya ditopang oleh kegiatan
ekonomi berskala kecil dan menengah. Unit usaha yang masuk dalam kategori Usaha

Mikro,Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan urat nadi perekonomian daerah dan
nasional. Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan usaha yang
tangguh di tengah krisis ekonomi. Saat ini sekitar 99% pelaku ekonomi mayoritas
adalah pelaku usaha UMKM yang terus tumbuh secara signifikan dan menjadi
sektor usaha yang mampu menjadi penopang stabilitas perekonomian nasional.
Peranan pemerintah sebagai salah satu prasyarat keberhasilan dalam pengembangan
UMKM dengan melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan kinerja UMKM
sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi. Mengingat
sebagian besar penduduk Indonesia adalah pelaku usaha kecil yang harus
diperhatikan secara serius dan berkesinambungan , memiliki peluang yang besar
untuk mengembangkan produk - produk yang berorientasi pada ekspor . Pemerintah
perlu mengambil langkah – langkah strategis guna mendukung pertumbuhan dan
perkembangan UMKM agar tidak hanya menjadi pelaku didalam negeri sendiri
namun dapat pula melangkah maju pada tingkat regional terutama dalam menghadapi
Pasar Bebas ASEAN.

ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan segala berkat dan rahmat – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan karya ilmiah ini dengan baik .
Adapun penulisan karya ilmiah ini dengan maksud dan tujuan untuk mengikuti
Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa FEKON-UT 2014 pada Fakultas Ekonomi , Jurusan
Ekonomi Pembangunan, Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Terbuka
UPBJJ Pontianak di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat .
Dalam usaha menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis menyadari sepenuhnya akan
keterbatasan waktu, pengetahuan dan biaya, sehingga tanpa motivasi dan niat
yang kuat, tidaklah mungkin karya ilmiah ini dapat berhasil dengan baik . Oleh
karena itu, pada kesempatan ini tidaklah berlebihan, apabila penulis
menghaturkan banyak terima kasih kepada :
1.

Yupita ( Isteri ) dan ketiga anak – anakku : Yudhistira Ganes Agung, Yuriska
Rahma Artha dan Yocelyn Rava Avisa yang telah memberikan banyak cinta dan
kasih sayang, motivasi dan doa dalam penulisan karya ilmiah ini dan dalam
studi yang saya tempuh .

2.

Dan kepada semua pihak, teman – teman sekantor, yang tidak menyangkut

dalam penulisan karya ilmiah ini, tetapi mereka memberikan dukungan dan
motivasi untuk dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik .

Mengingat keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, maka penulis menyadari
bahwa penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, walaupun demikian
penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak –
pihak yang mungkin kelak membutuhkannya .
Bengkayang, 24 Juni 2014

YOHANES
Penulis

iii

DAFTAR ISI
ABSTRAK

...............................................................................................

i

KATA

PENGANTAR

...............................................................................

ii
DAFTAR

ISI.............................................................................................

iii
BAB I PENDAHULUAN
A.

Latar

Belakang

..............................................................................


1
B.

Rumusan

Masalah

.........................................................................

6
C. Tujuan

Penulisan

...........................................................................

6
BAB II PEMBAHASAN
A.


Perkembangan dan Pemberdayaan UMKM

di Indonesia ..................

7
B. Hambatan dan Pemberdayaan UMKM di Indonesia .........................

15

C. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia ...........

20
D. Strategi Pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN ....

25
BAB III KESIMPULAN..............................................................................
29
DAFTAR


PUSTAKA..................................................................................

31

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) :
Pengertian UMKM
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Usaha Mikro memiliki kriteria asset maksimal sebesar 50 juta
dan omzet sebesar 300 juta.

b.
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar

yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini. Usaha Kecil memiliki kriteria asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan
omzet sebesar 300 juta sampai dengan 2,5 miliar.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan
jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Usaha Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta
sampai dengan 10 miliar dan omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.
Terdapat beberapa acuan definisi yang digunakan berbagai instansi di Indonesia,
yaitu:
·
UU No.9 tahun 1995 tentang mengatur kriteria usaha kecil berdasarkan nilai
aset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling besar Rp 200 juta dengan omzet per
tahun maksimal Rp 1 milyar. Sementara itu berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999
tentang usaha menengah, batasan aset tetap (di luar tanah dan bangunan) untuk usaha
menengah adalah Rp 200 juta hingga Rp 10 milyar.
·
Kementerian Koperasi dan UKM menggolongkan suatu usaha sebagai usaha

kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per tahun. Untuk usaha menengah
batasannya adalah usaha yang memiliki omset antara Rp 1 sampai dengan Rp 50
milyar per tahun.
·
Departemen Perindustrian dan Perdagangan menetapkan bahwa industri
kecil dan menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp
5 milyar. Sementara itu usaha kecil di bidang perdagangan dan industri juga
dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp 200 juta dan
omzet per tahun kurang dari Rp 1 milyar (sesuai UU no.9 tahun 1995)
·
Bank Indonesia menggolongkan usaha kecil dengan merujuk pada UU no
9/1995, sedangkan untuk usaha menengah BI menentukan sendiri kriteria aset

tetapnya dengan besaran yang dibedakan antara industri manufaktur (Rp 200 juta s/d
Rp 5 miliar) dan non manufaktur (Rp 200 – 60 juta).
·
Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan suatu usaha berdasarkan jumlah
tenaga kerja. Usaha mikro adalah usaha yang memiliki pekerja 1-5 orang. Usaha
kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 6-19 orang. Usaha menengah memiliki
pekerja 20-99 orang dan usaha besar memiliki pekerja sekurang-kurangnya 100

orang.

Menurut Sri Winarni (2006) Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara lain
sebagai berikut (1) Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan
hukum perusahaan, (2) Aspek legalitas usaha lemah, (3) Struktur organisasi bersifat
sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (4) Kebanyakan tidak
mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan
pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Kualitas manajemen rendah dan jarang
yang memiliki rencana usaha, (6) Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi,
(7) Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas, (7) Pemilik memiliki ikatan batin yang
kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi
kewajiban pemilik.
Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah (UMKM) telah menjadi tulang punggung
perekonomian Indonesia. Sejarah membuktikan, ketika terjadi krisis moneter di tahun
1998 banyak usaha besar yang tumbang karena dihantam krisis tersebut, namun
UMKM tetap eksis dan menopang kelanjutan perekonomian Indonesia. Tercatat,
96% UMKM di Indonesia tetap bertahan dari goncangan krisis. Hal yang sama juga
terjadi di tahun 2008-2009. Ketika krisis datang dan mengakibatkan perlambatan
pertumbuhan ekonomi, UMKM lagi-lagi menjadi juru selamat ekonomi Indonesia.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga berperan dalam memperluas lapangan kerja

dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat
berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat,
mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas

nasional. Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM)
jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 % dari keseluruhan pelaku bisnis di
tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen. Angka tersebut terus meningkat seiring
dengan pertumbuhan UMKM dari tahun ke tahun.
Meski demikian, UMKM juga masih memiliki beberapa kendala antara lain dalam
hal produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan
teknologi, permodalan, serta iklim usaha. Dalam pertemuan APEC 2013, Menkop
dan UMKM Syarif Hasan mengungkapkan 3 kendala yang dihadapi oleh pelaku
UMKM yakni permodalan, teknologi, dan pemasaran. Agar kendala tersebut tidak
berlanjut, perlu dilakukan upaya pemberdayaan UMKM.
Dalam rangka pemberdayaan UMKM, keterlibatan stakeholder sangat menentukan
keberhasilannya. Sejauh ini keterlibatan stakeholder UMKM antara lain terdiri dari
instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan dan asosiasi
usaha. Menurut Karsidi dan Irianto (2005) keterlibatan yang ada masih bersikap
sendiri-sendiri dan kurang intergratif antara stakeholder satu dengan yang lain.
Sejatinya pemberdayaan UMKM merupakan gerakan sinergis antar berbagai pihak.
Namun pemerintah tetap memegang peranan terbesar dalam upaya pemberdayaan
tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam memberdayakan UMKM telah diatur jelas
dalam UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM. Undang-Undang ini memuat tentang
ketentuan umum, asas, prinsip dan tujuan pemberdayaan, kriteria, penumbuhan
iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, dan
koordinasi pemberdayaan, sanksi administratif dan ketentuan pidana.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah mampu membuktikan eksistensinya dalam
perekonomian di Indonesia. Ketika badai krisis moneter melanda Indonesia di tahun
1998, banyak investor dan pengusaha besar yang mengalihkan modalnya ke negaranegara lain, sehingga perekonomian Indonesia dikala itu semakin terpuruk. Usaha
kecil dan sektor riil mampu bertahan dan menopang roda perekonomian bangsa
Indonesia. Undang-undang yang mengatur tentang seluk-beluk Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM) adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Dalam
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sebuah perusahaan yang digolongkan
sebagai UMKM adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang
atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan
tertentu. Rinciannya sebagai berikut:


Usaha produktif yang kekayaannya sampai 50 juta rupiah dengan pendapatan
sampai 300 juta rupiah per tahun digolongkan sebagai Usaha Mikro.



Usaha produktif yang nilai kekayaan usahanya antara 50 juta hingga 500 juta
rupiah dengan total penghasilan sekitar 300 juta hingga 2,5 milyar rupiah per
tahun dikategorikan sebagai Usaha Kecil.



Sedangkan Usaha Menengah merupakan usaha produktif yang memiliki
kekayaan (modal) 500 juta hingga 10 milyar rupiah dengan jumlah
pendapatan pertahun berkisar 2,5 – 50 milyar rupiah.

Menurut Bank Dunia, UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu Usaha
Mikro (jumlah karyawan 10 orang), Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang) dan
Usaha Menengah/Medium (jumlah karyawan hingga 300 orang). Dalam perspektif
usaha, UMKM diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu:


UKM sektor informal atau dikenal dengan istilah Livelihood Activities,
contohnya pedagang kaki lima dan warteg.



UKM Mikro atau Micro Enterprise adalah para UKM dengan kemampuan
sifat pengerajin namun tidak memiliki jiwa kewirausahaan dalam
mengembangkan usahanya.



Usaha Kecil Dinamis (Small Dynamic Enterprise) adalah kelompok UKM
yang mampu berwirausaha dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan
subkontrak) dan ekspor.



Fast Moving Enterprise adalah UKM-UKM yang mempunyai kewirausahaan
yang cakap dan telah siap untuk bertranformasi menjadi usaha besar.

Secara umum, usaha kecil memiliki ciri-ciri: manajemen berdiri sendiri, modal
disediakan sendiri, daerah pemasarannya lokal, aset perusahaannya kecil, dan jumlah
karyawan

yang

dipekerjakan

terbatas. Asas

pelaksanaan

UMKM

adalah

kebersamaan, ekonomi yang demokratis, kemandirian, keseimbangan kemajuan,
berkelanjutan, efesiensi keadilan, serta kesatuan ekonomi nasional. UMKM
mendapat perhatian dan keistimewaan yang diamanatkan oleh undang-undang, antara
lain: bantuan kredit usaha dengan bunga rendah, kemudahan persyaratan izin usaha,
bantuan pengembangan usaha dari lembaga pemerintah, beberapa kemudahan
lainnya.

B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia?
2. Apa hambatan dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia?
3. Bagaimana peran pemerintah dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia?
4.

Apa Strategi Pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN?

C.Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perkembangan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia.
2. Mengetahui hambatan dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia
3. Mengetahui peran pemerintah dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia
4.

Mengetahui Strategi Pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan dan Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang mengalami peningkatan yang
sangat menggembirakan dikarenakan berhasil menyumbangkan 57% dari PDB (di
dukung oleh data BPS tahun 2006 - 2010) dimana UMKM meningkat bukan hanya

dari segi kuantitas melainkan tenaga kerja, modal serta asset mereka. UMKM juga
dikatakan usaha ekonomi produktif yang cukup kuat, sekalipun terjadi gejolak atau
krisis mereka tidak terkena dampak yang begitu menyedihkan. Hal tersebut dikarena
prinsip kemandirian yang dimiliki yang artinya mereka memiliki modal sendiri dan
tidak terlalu bergantung pada lembaga lain sehingga membuat mereka kokoh hingga
saat ini dan menjadi katup perekonomian negara.
Pencapaian yang sangat menggembirakn bagi UMKM kita tidak didapat hanya
dengan sekali mengedipkan mata. Banyak tantangan yang mereka harus lalui dan
banyak masalah yang harus mereka selesaikan baik secara modal, tenaga kerja,
kegiatan produksi dan hal lainnya. Sehingga apabila terdapat UMKM yang tidak siap
dan tak mampu menghindari atau mengatasi gejolak yang datang maka tidak
mustahil akan ada juga UMKM yang kolaps.
Berdasarkan masalah-maslah yang dialami oleh koperasi dan UMKM di Indonesia
penulis menganalisis dan memiliki strategi penyelesaian masalah-masalah tersebut
yang mereka alami agar tak terulang kembali dan terus meningkat baik secara
kuantitas maupun kualitas. Strategi yang penulis sarankan, baik bagi pemerintah
khususnya Menteri Koperasi dan UMKM, anggota serta pengurus koperasi di seluruh
Indonesia dan para owner UMKM di seluruh Indonesia untuk agar memiliki
komitmen yang kuat untuk meningkatkan perekonomian Indonesia melalui cara-cara
berikut, diantaranya:
1. Penyediaan modal dan akses kepada sumber dan lembaga keuangan. Ditambah
dengan pemberian kemudahan (bukan berbelit-belit) dalam mengurus administrasi
untuk mendapatkan modal dari lembaga keuangan. Dapat juga melalui pengefektifan
dan pengefisienan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah disediakan oleh
pemerintah sebelumnya.

2. Meningkatkan kualitas dan kapasitas kompetensi SDM. Melalui pendidikan dan
pelatihan baik dilakukan oleh pemerintah maupun oleh koperasi atau UMKM itu
sendiri. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas SDM, mereka perlu “dibangunkan”
kembali mengapa mereka berada di koperasi, orang yang masih konsisten berusaha
mengembalikan mindset orang yang tidak aktif agar mereka mau berorganisasi
khususnya koperasi berdasarkan asas dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
3. Meningkatkan kemampuan pemasaran UMKM. Pemberian pendidikan mengenai
pemasaran atau dengan cara membuka/merekrut tenaga profesional yang ahli dalam
hal pemasaran.
4. Meningkatkan akses informasi usaha bagi UMKM.
5. Menjalin kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku usaha (UMKM,
Usaha Besar dan BUMN).
6. Melakukan/membuat program goes to goal, yaitu langsung ke tujuan atau sasaran.
Dilakukan dengan cara memberikan bantuan baik modal, konsep, dan hal-hal yang
dibutuhkan oleh koperasi dan UMKM atau dengan membidik para individu yang
memiliki jiwa enterpreneur dengan tetap adanya prinsip prudensial dan adanya
manager investasi (meminjam istilah perbankan syariah dimana nasabah yang telah
diberi pinjaman tetap terus mendapat pengawasn atau layanan prima dalam
pengolahan dana yang ). Selama ini banyak orang ahli dalam bidang UMKM
mengadakan seminar-seminar demi meningkatnya kualitas dan kuantitas dari
UMKM, namun “efek” yang ada dari seminar tersebut tidaklah lama, hanya bertahan
sebentar, untuk itu lebih baik mereka mencari langsung terjun ke lapangan untuk
mencari orang-orang yang benar-benar serius di UMKMK dan jika dilihat potensi
usahanya bagus segera dipinjami dana dalam rangka mengembangkan usahanya.

Sejatinya perkembangan UMKM di Indonesia cukup baik, jika ditinjau dari segi
jumlah unit usaha maupun jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UMKM dalam
rangka mengurangi pengangguran. Data BPS (1994) menunjukkan jumlah pengusaha
kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15,635 juta pengusaha kecil
mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil
yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang
pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.
Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya
mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air.
UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja,
yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen.
Angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. berikut akan
disajikan tabel mengenai perkembangan UMKM dari tahun 2006-2010.

Tahun

Jumlah UMKM

2006
49.021.803 unit
2007
50.145.800 unit
2008
51.409.612 unit
2009
52.764.603 unit
2010
53.823.732 unit
(sumber: Kemenkop dan UMKM)

Jumlah Tenaga Kerja
87.909.598 orang
90.491.930 orang
94.024.278 orang
96.211.332 orang
99.401.775 orang

Dari tabel diatas dapat kita ambil kesimpulan jika pada periode 2006-2010
merupakan masa pertumbuhan yang bagus bagi UMKM. Selama periode tersebut
UMKM bertambah sebanyak 4.801.929 unit atau sebesar 9,80%. Penyerapan tenaga
kerja oleh UMKM juga mengalami peningkatan yang cukup pesat. Selama 5 tahun,
tercatat ada peningkatan jumlah tenaga kerja UMKM sebanyak 11.492.177 atau
13,07%.
Potensi lainnya dapat dilihat dan kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB
menurut harga berlaku, yang sesuai data BPS tahun 2008 mencapai Rp.2.609,4
trilyun. Dengan jumlah tersebut berarti bahwa 55,56% dan PDB nasional yang

totalnya mencapai Rp.4.696,5 trilyun bersandar pada produktivitas UMKM. Jumlah
tersebut terus meningkat. Data tahun 2009 menyebutkan bahwa UMKM
berkontribusi sebesar 56,53% terhadap pembentukan PDB menurut harga berlaku.
Angka tersebut menjadi 57,12% di tahun 2010.

Berikut akan disajikan tabel kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB atas
dasar harga berlaku periode 2006-2010.
Tahun

Kontribusi UMKM terhadap

Jumlah kontribusi UMKM

pembentukan PDB atas harga

terhadap PDB atas harga berlaku

berlaku
2006
56,23%
2007
56,28%
2008
55,56%
2009
56,53%
2010
57,12%
(sumber: Kemenkop dan UMKM)

1.783,4 trilyun
2.107,8 trilyun
2.609,4 trilyun
2.993,1 trilyun
3.466,3 trilyun

Di sisi lain, kontribusi UMKM dalam ekspor non migas mencapai sekitar Rp.183
trilyun. Setidaknya UMKM telah menjadi penguat ekspor non migas hingga 20,17%
dan total ekspor non migas sebesar Rp.910,9 trilyun. Angka tersebut menurun ketika
di tahun 2009 jumlahnya menjadi 162,2 trilyun, namun meningkat lagi menjadi 175,8
trilyun di tahun berikutnya. Walaupun angkanya fluktuaktif, peran UMKM dalam
ekspor ini merupakan bukti kemampuan dan daya saing produk UMKM di pasar
persaingan bebas, sekaligus merupakan potensi yang perlu terus dipelihara untuk
menjaga

kesinambungan

perdagangan

internasional.

Sedangkan dilihat dan nilai investasi (pembentukan modal tetap bruto) UMKM
menurut harga berlaku tahun 2008 mencapai Rp.640 trilyun atau sebesar 52,89% dan
total nilai investasi nasional yang mencapai sebesar Rp.1.210 trilyun. Dengan tingkat
investasi tersebut, dibandingkan dengan usaha besar, maka pengembangan UMKM
hanya membutuhkan tingkat investasi yang lebih rendah, dengan konsekuensi akan
memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan ekonomi nasional
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bagian
integral dalam pembangunan nasional.yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur. Dalam pembangunan bidang ekonomi secara eksplisit UUD
1945 menekankan implementasi azas kekeluargaan (pasal 33 ayat 1) dan
penyelenggaraan perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi ekonomi
(pasal 33 ayat 4).
Dalam hal ini pemberdayaan UMKM, berkaitan langsung dengan kehidupan dan
peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat Indonesia (pro poor). Selain
itu, potensi dan peran strategisnya telah terbukti menjadi penopang kekuatan dan
pertumbuhan ekonomi nasional (pro growth). Keberadaan UMKM yang dominan
sebagai pelaku ekonomi nasional juga merupakan subyek vital dalam pembangunan,
khususnya dalam rangka perluasan kesempatan berusaha bagi wirausaha baru dan
penyerapan tenaga kerja serta menekan angka pengangguran (pro job).
Berdasarkan data diatas, sangat terlihat bahwa UMKM merupakan kekuatan dalam
pelaksanaan ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, keberadaan UMKM harus
dilindungi dan diberdayakan pemerintah. Dalam UU No.20/2008 tentang UMKM,
didefinisikan bahwa pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan Masyarakat secara sinergis dalam bentuk
penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap UMKM sehingga mampu
tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui

penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek
kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh
pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang
seluas-luasnya.
Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah melalui pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan
perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemberdayaan UMKM diselenggarakan sebagai
kesatuan dan pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat.
Dengan dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya pemberdayaan UMKM
merupakan bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional
untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Asas Kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh UMKM dan Dunia
Usaha secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Asas Efisiensi adalah asas yang mendasari pelaksanaan pemberdayaan
UMKM dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk
mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
Asas Berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya
proses pembangunan melalui pemberdayaan UMKM yang dilakukan secara
berkesinambungan sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh dan mandiri.
Asas Berwawasan Lingkungan adalah asas pemberdayaan UMKM yang dilakukan

dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan
lingkungan hidup. Asas Kemandirian adalah usaha pemberdayaan UMKM yang
dilakukan dengan tetap menjaga dan mengedepankan potensi, kemampuan, dan
kemandirian UMKM
Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008)
adalah:
a. penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
b. perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
c. pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan
kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
d. peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
e. penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Sesuai dengan UU No.20 tahun 2008, pemberdayaan UMKM bertujuan:
a. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan
berkeadilan;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
c. meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan
daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan
ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Sijabat, peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM dalam Sudrajat
mengatakan upaya pemberdayaan UMKM bukanlah suatu komitmen kebijakan
jangka pendek, tetapi merupakan proses politik jangka panjang. Dalam upaya
mendorong percepatan proses pemberdayaan UMKM selama era reformasi juga
terlihat sudah cukup banyak isu politik yang seharusnya dapat mempercepat

(akselerasi) proses pemberdayaan koperasi dan UKM. Disinilah mungkin letak
pokok permasalahannya. Kalangan UMKM serta para pemangku kepentingan
(stakeholders) dituntut berkemampuan memberikan keyakinan kepada para
pengambil keputusan agar lebih berpihak kepada pembangunan kelompok
masyarakat banyak tersebut.
Belum efektifnya isu-isu politik yang berkembang selama era reformasi
mengindikasikan bahwa proses komunikasi politik sendiri belum berjalan baik.
Sesungguhnya komunikasi politik yang efektif diharapkan dapat dibangun dan
ditumbuhkan oleh para eksponen yang bergerak dalam pemberdayaan UMKM.
Dengan kondisi yang masih seperti sekarang jangan diharapkan akan ada tenggang
rasa dari para pengusaha besar kepada pengusaha kecil. Belajar dari pengalaman
masa lalu untuk bermitra antara pengusaha kecil dan pengusaha besar harus dipaksa
dan diikat dengan peraturan formal, begitupun belum dapat berjalan dengan efektif.
Lebih lanjut Sijabat mengatakan pemberdayaan UMKM tidak terlepas dari konsepsi
dasar pembangunan yang menjadi medium penumbuhan UMKM. Merancang
konsepsi dasar pemberdyaan UMKM adalah membangun sistem yang mampu
mengeliminir semua masalah yang menyangkut keberhasilan usaha UMKM. Salah
satu aspek yang sangat menentukan keberhasilan UMKM adalah iklim usaha. Aspek
itu sendiri terkait erat dengan kemampuan sistem yang di bangun, sedangkan sistem
yang dibangun terkait dengan banyak pelaku (aktor) dan banyak variable (faktor)
yang berpengaruh nyata serta bersifat jangka panjang (multies years). Oleh karena
sifatnya tersebut maka faktor-faktor ini sulit diukur keberhasilannya sebagai buah
karya suatu instansi atau suatu rezim pemerintahan. Oleh sebab itu kondusifitas dari
setiap faktor tersebut harus ditumbuhkan dan terus diperbaiki. Untuk mengetahui
kondisi dari setiap faktor dan para pelaku yang berperan didalamnya perlu dilakukan
evaluasi setiap waktu, setiap tempat dan setiap sektor kegiatan usaha UMKM.

Menurut Suarja (2007) dalam Sudrajat mengungkapkan pemberdayaan Koperasi dan
UMKM dilakukan melalui:
a. Revitalisasi peran koperasi dan perkuatan posisi UMKM dalam sistem
perkonomian nasional
b. Revitalisasi koperasi dan perkuatan UMKM dilakukan dengan memperbaiki akses
UMKM terhadap permodalan, tekologi, informasi dan pasar serta memperbaiki
iklim usaha;
c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan
d. Mengembangkan potensi sumberdaya lokal.
B.Hambatan dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam
perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sebagai usaha yang ruang lingkup
usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan
kemampuan manajerial yang juga terbatas, UMKM sangat rentan terhadap masalahmasalah perekonomian.
Perlu digaris bawahi bahwa lebih dan 51 juta usaha yang ada, atau lebih dan 99,9%
pelaku usaha adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan skala usaha yang sulit
berkembang karena tidak mencapai skala usaha yang ekonomis. Dengan badan usaha
perorangan, kebanyakan usaha dikelola secara tertutup, dengan Legalitas usaha dan
administrasi kelembagaan yang sangat tidak memadai. Upaya pemberdayaan UMKM
makin rumit karena jumlah dan jangkauan UMKM demikian banyak dan luas,
terlebih bagi daerah tertinggal, terisolir dan perbatasan.
Kuncoro (2000) mengungkapkan ada beberapa kendala yang dialami oleh UMKM
dalam menjalankan usahanya. Kendala tersebut berupa tingkat kemampuan,
ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran

dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini
mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik.
Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama,
kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua,
kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur
terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan
manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama
antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang
kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan
yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta
kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Kuncoro juga mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat
dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omset kurang dari Rp 50 juta
umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup
usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman” sudah cukup.
Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi;
biasanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa
dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan PinjamKUD) amat membantu modal kerja mereka.
Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang
dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk
melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi
Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis
ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi
keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat
studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura

karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan
tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah
menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat;
(4) Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh
perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah
memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam
mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan
baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah
menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai
perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena
sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.
Hasil penelitian Schiffer-Weder (2001) dalam Rizali secara keseluruhan juga
memperkuat persepsi bahwa UKM menghadapi hambatan berusaha yang lebih besar
daripada UB. Bila dilihat dari persentasi jawaban responden, secara umum hambatan
utama dalam berusaha adalah sumber pembiayaan.
Sekitar 39% responden UKM menyatakan pembiayaan sebagai hambatan utama
dalam berusaha, sedangkan responden Usaha Besar (UB) yang menyatakan
pembiayaan

sebagai

sumber

hambatan

utama

usaha

sekitar

28%.

Ini

mengindikasikan bahwa UKM memang lebih sulit memperoleh kredit dari sektor
keuangan formal dibandingkan dengan UB.
Berbeda dengan UKM, pengelola UB memandang ketidakstabilan kebijakan
pemerintah sebagai hambatan utama dalam berusaha, demikianlah pendapat 30%
responden dari UB.
Tiga faktor selanjutnya yang menghambat dunia usaha adalah inflasi (35%
responden), ketidakstabilan kebijakan (34%), dan pajak dan peraturan pemerintah
(33,5%). Yang menarik sekitar 37% UKM menganggap aspek perpajakan dan
peraturan pemerintah sebagai hambatan utama berusaha dibandingkan dengan hanya
21% UB.

Hal ini mengindikasikan bahwa UB lebih mudah menghindari pajak, misalnya,
dengan mengalihkan dan melaporkan keuntungannya ke daerah yang tingkat
pajaknya lebih rendah. Responden memandang nilai tukar (28%), korupsi (28%),
kejahatan jalanan (27%), dan kejahatan teroganisir (24,5%) sebagai faktor lain yang
menghambat kegiatan usaha.
Bila dilihat tingkat rata-rata intensitas hambatan yang dirasakan, pajak dan peraturan
pemerintah (skor 2,95 dalam skala 4) dianggap sebagai hambatan yang paling umum
dihadapi oleh UKM. Pembiayaan (skor 2,87), inflasi (skor ? 2,8), dan ketidakpastian
kebijakan (skor ? 2,8) adalah tiga faktor lain yang punya intensitas gangguan tinggi
bagi UKM.
Sedangkan UB melihat ketidaksatabilan kebijakan (skor 2,7) sebagai masalah utama.
Masalah selanjutnya adalah pajak dan peraturan (skor 2,6), dan inflasi (skor 2,6).
Sedangkan pembiayaan (skor 2,6) berada pada posisi ke empat.
Baik secara persentase persepsi responden dan intensitas, UKM ternyata memang
menghadapi masalah lebih besar daripada UB. Menarik diperhatikan bahwa dari
persentase persepsi responden dan skor intensitas, UB melihat ketidakpastian
kebijakan sebagai hambatan usaha utama.
Ini menunjukkan bahwa usaha besar memang menjadi target utama kebijakan
pemerintah, sedangkan UKM terabaikan. Akibatnya, semakin tidak pasti kebijakan
pemerintah semakin besar dampaknya pada UB. Sedangkan para wirausahawan
UKM, karena terabaikan dari kebijakan, sudah terbiasa dengan ketidakpastian dan
menjadi lebih fleksibel menghadapi ketidakpastian dunia usaha.
Badan Pusat Statistik (2003) di dalam Sri Winarni (2006)

mengidentifikasikan

permasalahan umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2)
Kesulitan dalam pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku,
(5) Kurang teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7)
Kurang pengetahuan manajemen keuangan, dan (8) Iklim usaha yang kurang
kondusif (perijinan, aturan/perundangan)

Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di dalam
Sri Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha
72,47 %, sisanya 27,53 % tidak ada masalah. Dari 72,47 % yang mengalami
kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan
51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09
%, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %.
Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan
permodalan (51.09%). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan
permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan
meminjam ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke
lembaga Non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga,
modal ventura, lainnya.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi UMKM dalam mendapatkan kredit modal
usaha antara lain adalah (1) Prosedur pengajuan yang sulit 30,30 %, (2) Tidak
berminat 25,34 %, (3) Pelaku UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4) UMKM
yang tidak tahu prosedur 14,33 %, (5) Suku bunga tinggi 8,82 %, (6) Proposal
ditolak (1,93 %).
Penerapan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 diyakini juga akan berdampak
negatif terhadap keberlangsungan UMKM. Aturan tersebut memuat mengenai pajak
penghasilan sebesar 1% bagi UMKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8
milyar dalam 1 tahun.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM.
Hambatan tersebut berupa:
a. Kurangnya modal yang dimiliki oleh UMKM
b. Akses terhadap modal yang sulit dijangkau
c. Pengelolaan yang kurang profesional
d. Kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat
e. Rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM
f. Kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM

g. Bahan baku sukar diperoleh
h. Pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit
C. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia.
Semenjak Indonesia merdeka, pemerintah berusaha mencetak pengusaha-pengusaha
baru untuk merobohkan sistem ekonomi kolonial dan diganti dengan ekonomi
kerakyatan. Beberapa program disusun oleh pemerintah Orde Lama. Di masa
demokrasi liberal, dikenal Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya
menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa
bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu
dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan
kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha
pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
Gagal dengan Program Benteng, pemerintah mengenalkan program baru yakni
sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina (baba) dan
pengusaha pribumi (ali). Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihanlatihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Di masa Orde Baru, pengembangan UMKM terus berlanjut. Pemerintah Orba
membuat UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil guna memberdayakan usaha
kecil. UU ini berisi XI bab dan 38 pasal dan mengatur pelaksanan permberdayaan
UMKM di Indonesia.
Sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis
dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya

mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di
Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha. UU tersebut
diganti dengan UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam UU tersebut,
disebutkan peran pemerintah untuk memberdayakan UMKM.
Terkait dengan urusan pemerintahan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu
dalam pemerintahan (Pasal 4 ayat 1). Kementerian Koperasi dan UKM RI
merupakan Kementerian di kelompok ketiga yaitu urusan pemerintahan dalam
rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 4 ayat 2,
huruf C), berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang Koperasi, Usaha Kecil dan
Menengah (Pasal 5 ayat 3).
Undang-Undang telah memberi amanat terhadap pemerintah untuk mengembangkan
UMKM. Dalam UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM disebutkan peran pemerintah
antara lain:
a. Bersama Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan dan pengendalian
kesempatan berusaha (Pasal 13).
b. Bersama Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan promosi dagang (Pasal 14,
ayat2).
c. Bersama Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, dan desain dan
teknologi (Pasal 16 ayat 1).
d. Menyusun Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pengembangan, prioritas,
intensitas, dan jangka waktu pengembangan usaha dimaksud (Pasal 16 ayat 3).
e. Bersama dengan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro
dan Kecil (Pasal 2l). Dalam hal ini Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia
usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan

mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk
Usaha Mikro dan Kecil(Pasal 2l ayat4).
f. Memberikan insentif datam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan
tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesual dengan ketentuan
peraturan

perundang-undangan

kepada

dunia

usaha

yang

menyediakan

pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (Pasal 21 ayat 5).
g. Meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil (Pasal 22).
h. Bersama Pemerintah Daerah, meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil
terhadap sumber pembiayaan (Pasal 23 ayat 1).
i. Bersama dengan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah
dalam bidang pembiayaan dan penjaminan (Pasal 24).
j.

Bersama Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat memfasilitasi,
mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan,
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan (Pasal 25 ayat 1). Kemitraan
antar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di
bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia,
dan teknologi (Pasal 25 ayat 2).

k. Menteri Koperasi dan UKM dan Menteri teknis lain mengatur pemberian insentif
kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor,
penyerapan tenaga kerja, pengunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan,
serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Pasal 25 ayat 3).
l. Menteri Koperasi dan UKM dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan
usaha nasional dan daerah untuk memantau pelaksanaan kemitraan (Pasal 34).

m. Melarang Usaha Besar memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil,
dan/atau Menengah sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan
kemitraan (Pasal 35).
n. Melarang Usaha Menengah memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau
Usaha Kecil mitra usahanya(Pasal 35).
o. Menteri Koperasi dan UKM melaksanakan koordinasi dan pengendalian
pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Pasal 38 ayat 1).
p. Mengatur dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemberian
sanksi administratif pelaggaran UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (Pasal 39 ayat 3).
Sehubungan dengan amanat Undang-Undang, pemerintah melaksanakan berbagai
program yang bertujuan untuk memberdayakan UMKM. Program tersebut antara lain
adalah program Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dan pemberian Kredit
Usaha Rakyat (KUR).
Gerakan Kewirausahaan Nasional bertujuan memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Meningkatkan semangat dan jiwa kewirausahaan bagi masyarakat, khususnya
generasi muda, untuk menjadi wirausaha yang mandiri handal dan tangguh, serta
memiliki daya saing.
b. Memotivasi agar tumbuh wirausaha baru kreatif, inovatif dan berwawasan global.
c. Mampu melakukan interaksi melalui tukar menukar informasi dan peningkatan
kerjasama di segala sektor.
d. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berwirausaha khusus bagi wirausaha
baru.
e. Mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha koperasi dan UMKM yang
dilakukan oleh para pelaku wirausaha.

f. Mengekspose dan memberikan inspirasi atas keberhasilan wirausaha dari dalam
dan luar negeri dan diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya
wirausaha baru.
Sedangkan KUR yang dilaksanakan sejak tahun 2007 dan bekerja sama dengan bank
nasional penyalur KUR sebanyak 7 bank yaitu Bank Nasional Indonesia (BNI),
Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank
Bukopin, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI
Syariah).
Hasil pelaksanaan pada tahun 2012 yaitu penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)
sebesar Rp.34,2 triliun untuk lebih dari 1,9 juta debitur, dengan rata-rata
kredit/pembiayaan sebesar Rp.17,5 juta. Volume penyaluran KUR tersebut telah
melampaui target tahun 2012 sebesar Rp.30 triliun. Tingkat non-performing loan
(NPL) KUR pada tahun 2012 cukup rendah yaitu 3,6 persen. Sebagian besar KUR
disalurkan ke sektor perdagangan (37,5 persen), sektor pertanian dan perikanan (17,1
persen), dan sektor perdagangan terintegrasi dengan sektor hulu (14,2 persen).
Realisasi sebaran KUR dari tahun 2007 sampai 2013 menyebutkan bahwa Bank BRI
adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafond mencapai Rp. 79,9 triliun. Selain
sektor ritel BRI juga menyalurkan KUR di sektor mikro yang masing-masing
plafondnya sebesar Rp. 16,03 triliun dan Rp. 63,9 triliun, debiturnya 94.710 UMK
dan 8.650.164 UMK, rata-rata kredit Rp. 169,3 juta/debitur dan Rp. 7,4 juta/debitur,
serta NPL penyaluran masing-masing 3,4% dan 1,9%. Menduduki peringkat kedua
yaitu Bank Bank Mandiri dengan total plafond sebesar Rp. 12,6 triliun, debiturnya
sebanyak 250.032 UMK, dengan rata-rata kredit Rp. 50,4 juta/debitur serta nilai NPL
sebesar 4,3%. Di urutan ketiga adalah BNI dengan total plafond sebesar Rp. 12,11
triliun, debiturnya sebanyak 184.805 UMK, dengan rata-rata kredit Rp. 65,5
juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,1%.
Selanjutnya berturut-turut yaitu BTN dengan plafond Rp. 4,1 triliun, BSM dengan
plafond Rp. 3,4 triliun, Bank Bukopin dengan plafond 1,75 triliun dan BNI Syariah

dengan plafond Rp. 142.876 miliar. Secara keseluruhan, nilai Non Performing Loan
(NPL) penyaluran KUR oleh bank pelaksana ini masih dibawah 5% yaitu sebesar
3,4%. Bank BTN merupakan Bank Pelaksana dengan nilai NPL terbesar dalam
penyaluran KUR yaitu sebesar 9,5% dan BRI Mikro dengan NPL terkecil yaitu 1,9%.
Diharapkan pada periode-periode berikutnya nilai NPL pada bank yang masih di atas
5% bisa turun sehingga penyalurannya lebih tepat sasaran.
Pada tahun 2012, pemerintah juga melakukan pendampingan bagi 27.520 calon
debitur KUR dan sosialisasi KUR di 33 provinsi. Melalui program tersebut diharapkan
penerima KUR dapat mempergunakan KUR untuk pengembangan usaha dan membuat
UMKM menjadi lebih berdaya karena tambahan modal tersebut.

D.Strategi Pemberdayaan UMKM di Indonesia mengahadapi Pasar Bebas
ASEAN
Belum kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini, mendorong
pemerintah untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM). Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi
peluang bagi UMKM untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih
cenderung menggunakan modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM
memang tidak dapat diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi
roda penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga
menghadapi banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber
Daya Manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta
teknologi (Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah
keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan misi
yang belum mantap. Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income
gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: merupakan
usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif sederhana, kurang

memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan modal usaha
dengan kebutuhan pribadi.
Pemberdayaan UMKM di tengah arus globalisasi dan tingginya persaingan membuat
UMKM harus mampu mengadapai tantangan global, seperti meningkatkan inovasi
produk dan jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan
area pemasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu
sendiri, utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian
membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia, mengingat UMKM adalah
sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia
(Sudaryanto, 2011).
Pada tahun 2011 UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan negara dengan
menyumbang 61,9 persen pemasukan produk domestik bruto (PDB) melalui
pembayaran pajak, yang diuraikan sebagai berikut : sektor usaha mikro menyumbang
36,28 persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7
persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya
menyumbang 38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).
Sebagian besar (hampir 99 persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di
sektor informal dan pada umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar
lokal. Itulah sebabnya tidak terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan
World Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke15. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi negara
lain. Potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM secara maksimal.
Perkembangan UMKM di Indonesia