PELUANG DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI U

PELUANG DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI UMKM
BERORIENTASI EKSPOR

Karya Tulis Ilmiah

Oleh:

Victor Tulus Pangapoi Sidabutar
NIP. 19771018 200912 1 002

BALAI BESAR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN EKSPOR INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN EKSPOR NASIONAL
KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2014

ABSTRAK

UMKM memiliki peran dan kontribusi dalam ekspor nonmigas dan memiliki prospek
yang cukup baik dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Tercatat terjadi
peningkatan jumlah UMKM setiap tahunnya. Kelebihan lain UMKM di Indonesia terletak

pada produksinya karena sebagian besar tidak menggunakan bahan baku dari
luar/impor sehingga tidak terpengaruh kenaikan harga bahan baku impor, sehingga
dapat menjaga kelangsungan usahanya.Tetapi terjadi penurunan nilai total ekspor non
migas oleh UMKM pada tahun 2011 hingga 2012. Hal ini karena UMKM memiliki
kelemahan dalam sumber daya produktif, adaptasi produk, kapasitas produksi,
pengetahuan mengenai dokumen dan biaya ekspor
Kata Kunci : UMKM, ekspor, kelebihan, kelemahan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

UMKM di Indonesia bergerak pada berbagai bidang usaha,dan memiliki peran dan
kontribusi dalam ekspor nonmigas (antara lain produk pertanian, perkebunan,
perikanan, tekstil dan garmen, furniture, produk industri pengolahan, dan barang seni).
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia
dari tahun ke tahun semakin berkembang dan meningkat jumlahnya dan pangsa pasar

ekspor yang diambil juga semakin besar. UMKM berorientasi ekspor juga mengalami
hambatan dalam pembiayaan dan pemasaran, jaringan bisnis dan teknologi. Selain itu,
mereka sulit menghasilkan produk yang sesuai dengan selera konsumen atau
permintaan pasar, yang memiliki kecenderungan cepat berubah dan masih banyak
permasalahan lainnya.
Penulis akan mengupas peluang dan permasalahan yang dihadapi oleh UMKM
berorientasi ekspor yang ada saat ini di Indonesia dan diharapkan dapat menjadi bahan
pemikiran bagi pelaku UMKM di Indonesia untuk berkembang dan bahan pertimbangan
bagi pihak yang berwenang dalam mengembangkan UMKM di Indonesia.
1.2.

Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dibuatnya Karya Tulis ini adalah sebagai berikut:



Memberikan informasi mengenai perkembangan dan kondisi UMKM berorientasi
ekspor yang ada di Indonesia
Pemahaman terhadap kondisi, hambatan, tantangan dan permasalahan yang

dihadapi UMKM berorientasi ekspor saat ini.

a. Ruang Lingkup dan Rumusan Masalah
Penurunan kinerja perdagangan Indonesia hingga tahun 2013 terutama pada Ekspor
non migas, diberlakukannya AEC di tahun 2015 dan munculnya Emerging Market
pastinya akan memaksa pelaku UMKM di Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
dan kualitas dari produknya agar sama atau sesuai dengan keinginan pasar dunia.
Keterbatasan yang ada harus segera diatasi oleh pelaku UMKM maupun oleh
Pemerintah jika UMKM ingin tetap bisa bertahan sebelum diberlakukannya pasar bebas
secara global dan serbuan barang-barang dari Negara lain.
b. Metoda Penelitian
Metoda yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Metoda Sekunder. Menurut
Martono (2011) Metoda Sekunder adalah studi literatur dimana penulis mencari datadata yang berasal dari literatur-literatur yang dianggap memiliki tingkat validasi yang
dapat di pertanggung jawabkan.
c. Hasil yang Diharapkan
Pelaku UMKM dan Pemerintah dapat memperbaiki diri sehingga dapat menghasilkan
UMKM yang kuat disegala dibidang dan siap menghadapi persaingan bebas di dunia
nantinya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kinerja Perdagangan Indonesia

Total perdagangan Indonesia (ekspor-impor) dari tahun 2008 hingga 2012, menurut
Badan Pusat Statistik dan diolah Kementerian Perdagangan (Tabel 1), meningkat
sebesar 13,89%, pada tahun 2008 total perdagangan Indonesia tercatat USD 266,2
milyar menjadi USD 381,7 milyar pada tahun 2012, tetapi terjadi penurunan pada
ekspor non-migas di tahun 2012 akibat terjadinya krisis global. Ekspor non-migas
menurun mencapai 5,52 persen. Sedangkan kinerja perdagangan Indonesia (sektor
migas & non-migas) tahun 2012 jika dibandingkan periode tahun 2011 mengalami
defisit USD 1,6 milyar.
Tabel 1. Kinerja Perdagangan Ekspor Indonesia dari tahun 2008 – 2012 Untuk Beberapa
Komoditi Non Migas

Neraca perdagangan Indonesia mulai mengalami penguatan kembali pada tahun 2009
hingga 2011, namun pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 1.6 Miliar USD. Hal ini
disebabkan karena melemahnya kegiatan ekspor pada tahun tersebut. Namun

penyebab yang lebih dominan mempengaruhi neraca perdagangan tahun 2012 adalah
meningkatnya kegiatan impor. Kegiatan impor yang memengaruhi defisitnya neraca
perdagangan dapat dilihat dibawah ini:
Tabel 2. Neraca Perdagangan Indonesia Total Periode 2008 - 2013

Dari tabel 2 diatas terlihat bahwa defisit yang disebabkan oleh sektor migas pada tahun
2012 sebesar 5,5 miliyar USD sedangkan sektor non migas menyumbang surplus
sebesar 3,9 milyar USD. Sehingga pada tahun 2012 mengalami defisit untuk pertama
kalinya dalam 50 tahun terakhir sebesar 1,6 milyar USD.
Neraca perdagangan pada tahun 2013 tidak jauh berbeda dengan tahun 2012, pada
tahun 2013 (data sementara yang ditunjukkan bulan Januari hingga November) masih
mengalami defisit, penyebabnya sama seperti tahun 2012, tingginya impor migas
menyumbang defisit pada neraca perdagangan.

Impor migas terbesar adalah impor BBM (Bahan Bakar Minyak). Menurut Wakil Menteri
Perdagangan, Bayu Krisnamurthi di harian Kompas (2013), defisit neraca perdagangan
migas selama 2012 dipicu oleh tingginya permintaan impor BBM yang mencapai 28,7
miliar USD atau naik 1,9 persen. Hal tersebut menyebabkan neraca perdagangan
Indonesia pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 1,6 Miliar USD. Hal ini
dikarenakan tingginya permintaan akan BBM dalam negeri tidak diimbangi dengan

persediaan BBM dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia harus impor BBM
untuk memenuhi permintaan tersebut. Keadaan ini diperparah dengan konsumsi BBM
yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dengan defisitnya neraca perdagangan pada tahun 2012 dan tahun 2013 menunjukkan
bahwa Indonesia belum siap untuk menghadapi pasar persaingan bebas ASEAN.
Ketidaksiapan ini dapat kita lihat dari rendahnya kualitas produk yang dihasilkan oleh
Indonesia yang diproduksi tanpa menggunakan standar produk yang ada, terutama
produk yang dihasilkan oleh UMKM Indonesia. Hal ini mengakibatkan produk dari
Indonesia belum mampu bersaing dengan produk dari luar.
Selain itu, kondisi industri manufaktur di Indonesia belum mendukung secara kualitas
atau belum memenuhi persyaraatan perdagangan bebas karena kurang kesiapan
infrastruktur, produktivitas yang rendah, bunga kredit yang tinggi, biaya transportasi
yang tinggi dan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Saat ini Indonesia
belum mampu memenuhi kebutuhan barang modal, sehingga untuk memenuhinya
Indonesia harus impor barang modal dari luar.
Defisit yang terjadi pada kuartal II tahun 2013 dampaknya telah kita rasakan, yaitu
berkurangnya cadangan devisa dan berimbas langsung pada perekonomian nasional
secara keseluruhan, terutama menyangkut inflasi, dan suku bunga serta menguatnya
nilai tukar dolar di pasar uang membuat apresiasi rupiah kembali terhambat dan
mengalami pelemahan di transaksi pasar uang kemarin.

Menurut anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembanga n Ekonomi
(LP3E) Kadin Indonesia, Ina Primiana pada harian Kompas (2013) mengatakan
sebaiknya pemerintah segera melobi

negara-negara

lain untuk menghentikan

sementara FTA, karena dianggap terus menekan industri dalam negeri dan merugikan.

Indonesia perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi FTA tersebut dengan
mengembangkan industri manufaktur dalam negeri dan untuk menekan impor barang
modal dapat dilakukan strategi dari Menteri Perindustrian MS Hidayat dengan
memperkuat industri sektor hulu melalui realisasi investasi asing dan fokus pada
pengembangan sektor hulu seperti industri besi baja dan petrokimia. Dengan
berkembangnya industri manufaktur maka

Indonesia akan mampu memenuhi

permintaan dalam negeri dengan produk dalam negeri.

Selain mengembangkan industri manufaktur dalam negeri, perlu dilakukan peningkatan
kualitas SDM agar produktivitas yang dihasilkan dapat meningkat. Upaya dalam
meningkatkan SDM dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan-pelatihan tenaga
kerja, memperkenalkan tenaga kerja dengan teknologi terbaru.
Menurut pengamat ekonomi dari Center for Information and Development Studies
(Cides) Umar Juoro di harian Kompas (2013), defisit neraca perdagangan yang terjadi
pada pertengahan 2013 ini dipengaruhi oleh defisit pada ekspor-impor minyak dan gas
(migas) daripada sektor non migas, Oleh karena itu bukan sepenuhnya salah menteri
perdagangan, Gita Wirjawan. Hal ini juga merupakan tanggung jawab kementerian
Energi dan Sumber daya Mineral karena sektor migas dikelola oleh kementerian
tersebut. Maka sangat diperlukan koordinasi strategis antar kementerian atau lembaga
terkait untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut.
Kebijakan pemerintah mengenai ekspor-impor juga akan sangat berpengaruh dalam
menekan kegiatan impor dan mendukung kegiatan ekspor. Pemerintah harus dengan
tegas membuat peraturan untuk menyelamatkan neraca perdagangan Indonesia.
Pemerintah harus mengeluarkan peraturan mengenai kuota impor sehingga secara
perlahan Indonesia akan mengurangi ketergantungan impor.
2.2.

Munculnya Pasar Baru (Emerging Market)


Menurut prediksi para ahli ekonomi, pertumbuhan dari negara berkembang inilah yang
nantinya akan ikut mendorong dan menstimulus laju pertumbuhan ekonomi dunia
kembali. Pertumbuhan besar tersebut juga akan memicu pertumbuhan ekonomi
negara-negara disekitarnya. Negara berkembang tersebut dikenal juga sebagai

kelompok Emerging Market, yang terdiri dari: China, India, Brazil, Rusia, Korea dan
Indonesia.

Gambar 1. Impor Negara di Dunia (sumber : http://factfish.com/statistic/imports/)

Pasar-pasar negara tersebutlah yang diperkirakan akan tetap tinggi dan besar daya beli
masyarakat/konsumennya (Tabel 3), oleh karena itu tujuan ekspor Indonesia harus
membidik pasar non tradisional tersebut. Pasar-pasar non tradisional adalah negara
tujuan ekspor baru khususnya ke negara-negara berkembang dengan kriteria:
1. GDP negara yang tinggi;
2. Pertumbuhan ekonomi dan GDP juga tinggi;
3. pendapatan GDP Perkapita juga besar;
4. Jumlah Penduduk juga besar
5. Tingkat Inflasi yang rendah.

Negara-negara pasar non tradisional tersebut, khusus nya negara yang berada di
kawasan Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur, Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia
Tenggara.

Tabel 3. Impor Non Migas Beberapa Negara di Dunia Tahun 2008 - 2012

Peluang masih besar dalam memasuki pasar non-tradisional dikarenakan pangsa pasar
yang masih sangat besar dan sangat terbuka (belum “jenuh”) dan belum banyak
pemain eksportir dunia yang masuk ke pasar tersebut, hingga ceruk pasar masih
sangat longgar. Selain itu regulasi pada umumnya masih sangat longgar (tidak seketat
negara maju seperti pasar AS & Uni Eropa). Tantangan saat memasuki pasar nontradisional adalah sistem pembayaran dan perbankan yang masih perlu penyesuaian
kemudian networking yang masih sedikit, jika baru sama sekali maka belum ada
networking (harus di-lobby dan dijajaki kembali) serta sistem bisnis, budaya dan tradisi
yang juga baru, hingga perlu penyesuaian.
Strategi Kementerian Perdagangan adalah dengan membuka dan mempermudah
akses penetrasi pasar, melalui berbagai instrumen perdagangan yang tersedia (misal:
FTA, GSP, trade agreement, dll), serta dilanjutkan dengan dukungan program promosi
dagang yang agresif dan intensif (pameran dan misi dagang serta marketing mission,
instore promotion). Disamping itu, mengoptimalkan setiap inquiry (permintaan
hubungan dagang) yang masuk dari negara tersebut serta pemberdayaan secara

maksimal peran perwakilan dagang dan perwakilan RI di negara akreditasi dengan
melakukan “pemasaran door to door” kepada buyer negara setempat.

Gambar 2. Beberapa Negara Pengimpor Produk Asal Indonesia (sumber:
http://www.trademap.org/Country_SelProductCountry_TS_Graph.aspx?nvpm=1|360||||TO
TAL|||2|1|1|2|2|1|2|5|1)

2.3.

Kontribusi UMKM terhadap Ekspor di Indonesia

UMKM merupakan pelaku bisnis yang bergerak pada berbagai bidang usaha,dan
memiliki peran dan kontribusi dalam ekspor nonmigas (antara lain produk pertanian,
perkebunan, perikanan, tekstil dan garmen, furniture, produk industri pengolahan, dan
barang seni). Kriteria menurut UU No. 20/2008

tentang UMKM dari Kementerian

Koperasi dan UMKM Republik Indonesia pada perkiraan Tahun 2012 berjumlah sekitar
56.534.592 Unit. Usaha besar (UB) dengan kriteria memiliki kekayaan bersih/tahun
lebih besar dari 10 M dengan hasil penjualan lebih besar dari 50 M terdapat 4.968 Unit
(0,01%). Usaha menengah (UM) dengan kekayaan bersih/tahun lebih besar dari Rp
500 Juta s.d 10 M dan hasil penjualan lebih besar dari Rp 2,5 M s.d 50 M terdapat
48.997 Unit (0,09%). Usaha kecil (UK) dengan kekayaan bersih/tahun lebih besar dari
Rp 50 Juta s.d 500 Juta dan hasil penjualan lebih besar dari Rp 300 Juta s.d 2,5 M
terdapat 629.418 Unit

(1,11%). Usaha Mikro (UMi) dengan kekayaan bersih/tahun

lebih kecil dari Rp 50 Juta dengan hasil penjuala n lebih kecil dari Rp 300 Juta terdapat
55.856.176 Unit (98,79%) (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar
(UB) Tahun 2011 – 2012 (sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM)

Jika ditinjau dari proporsi unit usaha pada sektor ekonomi UMKM yang memiliki
proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan
Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (3) Pengangkutan dan Komunikasi;
(4) Industri Pengolahan; serta (5) Jasa-jasa, yang masing-masing tercatat sebesar
48,85 persen; 28,83 persen; 6,88 persen; 6,41 persen dan 4,52 persen (gambar 3).

Gambar 3. Proporsi Sektor Ekonomi UMKM berdasarkan jumlah Unit Usaha Tahun 2011
(sumber Kementerian Koperasi dan UMKM)

Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturutturut adalah sektor (1) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; (2) Bangunan; (3)
Pertambangan dan Penggalian; serta (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, yang tercatat
sebesar 2,37 persen; 1,57 persen; 0,53 persen dan 0,03 persen.
Kontribusi UMKM terhadap pembentukan total nilai ekspor non migas pada tahun 2010
tercatat sebesar Rp. 175,9 triliun atau 15,81 persen, kontribusi Usaha Mikro (UMi)
tercatat sebesar Rp. 16,7 triliun atau 1,50 persen dan UK tercatat sebesar Rp. 38,0
triliun atau 3,42 persen. Sedangkan UM sebesar Rp. 121,2 triliun atau 10,89 persen
selebihnya adalah UB sebesar Rp. 936,8 triliun atau 84,19 persen (gambar 4).

Gambar 4. Proporsi Kontribusi UMKM dan UB terhadap pembentukan Nilai Ekspor Non
Migas tahun 2010 – 2011 (sumber Kementerian Koperasi dan UMKM)

Pada tahun 2011, peran UMKM terhadap pembentukan total nilai ekspor non migas
mengalami peningkatan sebesar Rp. 11,5 triliun atau 6,56 persen yaitu dengan
tercapainya angka sebesar Rp. 187,4 triliun atau 16,44 persen dari total nilai ekspor
non migas. Kontribusi Usaha Mikro (UMi) tercatat sebesar Rp. 17,2 triliun atau 1,51
persen dan UK tercatat sebesar Rp. 39,3 triliun atau 3,45 persen. Sedangkan UM
tercatat sebesar Rp. 130,9 triliun atau 11,48 persen, selebihnya adalah UB tercatat
sebesar Rp. 953,0 triliun atau 83,56 persen (gambar 5).

Gambar 5. Kontribusi UMKM dan UB terhadap pembentukan Nilai Ekspor Non Migas
tahun 2010 – 2011 (Triliun Rupiah) (sumber Kementerian Koperasi dan UMKM)

UMKM memiliki prospek yang cukup baik dan memiliki potensi besar untuk
dikembangkan. Tercatat terjadi peningkatan jumlah UMKM sebesar 2,41% dan UB
sebesar 0,32% dari tahun 2011 hingga 2012. Tetapi terjadi penurunan nilai total ekspor
non migas oleh UMKM dimana pada tahun 2011 tercatat 16,44% pangsa dari total
ekspor non migas dimiliki oleh UMKM dengan pembagian UM sebesar 11,48%, UK
sebesar 3,45% dan UMi sebesar 1,51%, tetapi pada tahun 2012 terjadi penurunan
pangsa total ekspor non migas dari UMKM menjadi 14,06% dengan pembagian UM
sebesar 10,03%, UK sebesar 2,74% dan UMi sebesar 1,29%. Sedangkan UB terjadi
peningkatan menjadi 85,94 (Tabel 5).

Tabel 5. Kontribusi Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)
Terhadap Total Ekspor Non Migas Tahun 2011 – 2012 (sumber : Kementerian Koperasi
dan UMKM)

BAB III
ANALISA KINERJA EKSPOR UMKM INDONESIA

3.1. Analisa Terhadap Ekspor Perdagangan Indonesia
Terjadinya defisit neraca perdagangan dipicu oleh meningkatnya defisit perdagangan
migas yang mencapai USD 5,58 milyar, sementara perdagangan di sektor non migas
mengalami surplus USD 3,92 milyar. Target pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia
berdasarkan Renstra Kemendag 2010 – 2014, menurut Biro Perencanaan Kemendag
(Tabel 6), terjadi penurunan pada tahun 2012 sebesar -5,52% dan terjadi sedikit
peningkatan dalam kurun waktu Januari – Juli 2013 menjadi -2,7%.
Tabel 6. Target Pertumbuhan Ekspor Non Migas Indonesia Berdasarkan Renstra
Kemendag Tahun 2010 – 2014 (sumber : Biro Perencanaan, Kementerian Perdagangan)

Data tersebut di atas menunjukan bahwa Indonesia harus mengurangi ketergantungan
terhadap impor migas dan meyakinkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan
potensi perdagangan non migas yang sangat besar yang akan semakin memegang
peran penting dalam perdagangan internasional. Selain itu pengaruh menurunnya
ekonomi pasar tradisional untuk ekspor juga sangat mempengaruhi pertumbuhan
ekspor Indonesia secara keseluruhan.
Produk ekspor non-migas Indonesia sampai dengan November 2012 semakin
beragam. Hal ini dapat dilihat dari peran 10 produk potensial Indonesia yang semakin
membesar dari periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 7,15%.

Namun

demikian dapat dilihat bahwa 10 produk utama masih memiliki peran yang cukup besar

yaitu 46,97%. Kebijakan bea keluar CPO dan Biji Kakao juga telah berdampak pada
meningkatnya ekspor yang lebih bernilai tambah dari kedua produk tersebut. Selama
Januari – November 2012 pangsa nilai dan volume ekspor produk olahan dari CPO dan
Kakao menjadi lebih besar daripada produk mentahnya. Pangsa volume ekspor CPO
34,1% dan produk turunan CPO 65,9% dan pangsa nilai ekspor CPO 33,4% dan
Produk Turunan CPO 66,6%. Sementara itu, pangsa volume Biji Kakao 45,0% dan
Kakao. Olahan 55,0% dan pangsa nilai ekspor Biji Kakao 39% dan Kakao Olahan 61%.
Sasaran peningkatan pertumbuhan ekspor non-migas Kementerian Perdagangan
menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional diharapkan terjadi
peningkatan ditahun 2013 hingga 2014 dibandingkan tahun 2012, dengan diversifikasi
yang tidak diharapkan terlalu meningkat (gambar 6).
Hal serupa juga terjadi

pada kinerja ekspor rotan. Karet, Alas kaki dan Otomotif

mengalami pertumbuhan signifikan baik dari segi volume maupun nilai ekspor.
Sementara beberapa produk seperti Sawit, Karet, Kopi, TPT tumbuh didorong oleh
kenaikan harga di pasar internasional. Pasar tujuan ekspor Indonesia berubah akibat
kondisi global yang masih melemah da n cenderung memburuk disebagian negara
utama dunia (seperti Amerika Serikat & sebagian Eropa Barat), berdampak
menurunnya daya beli masyarakat/ konsumen di negara tersebut.

Gambar 6. Diversifikasi Produk Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2012 (sumber Badan
Pusat Statistik)

Disisi lain, krisis juga menyebabkan negara-negara tersebut menjadi lebih melindungi
pasar dalam negerinya dari produk impor, dengan melakukan berbagai kebijakan
pengetatan impor, seperti penerapan berbagai hambatan (tarif maupun non tarif). Saat
AS dan sebagian negara-negara di Eropa tengah mengalami permasalahan dalam laju
pertumbuhan ekonomi, sebaliknya dengan negara-negara berkembang yang justru
mengalami pertumbuhan yang terjaga dengan baik.
3.2. Kelebihan UMKM Indonesia
Menurut Tambunan (2003), UMKM dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu UMKM
Produsen Eksportir Langsung dan UMKM Eksportir Tidak Langsung. UMKM Produsen
Eksportir Langsung yang menghasilkan produk ekspor dan menjualnya secara
langsung kepada pembeli dari luar negeri (buyer) atau importir) sedangkan UMKM
Eksportir Tidak Langsung adalah UMKM yang menghasilkan produk ekspor, yang
melakukan kegiatan ekspor tidak secara langsung dengan buyer / importir, tetapi
melalui agen perdagangan ekspor atau eksportir dalam negeri.
Kebanyakan ekspor UMKM adalah produk yang diekspor dan diproduksi langsung oleh
UMKM atau produk yang diekspor oleh UMKM non produsen (pasokan produk dari
Usaha Mikro/Kecil sebagai pengrajin). Ekspor tidak harus dilakukan oleh UMKM yang
bersangkutan, terkadang produk UMKM yang kemudian dilakukan finishing oleh usaha
besar dan diekspor, maka dihitung sebagai ekspor Usaha Besar.
Jumlah UMKM Produsen Ekspor, menurut data dari Kemenkop dan UMKM (Tabel 7 –
11), hanya 0,19 persen dari total UMKM di Indonesia. Sedangkan 99,81 persen UMKM
lainnya melakukan ekspor secara tidak langsung dan/atau hanya melakukan penjualan
di pasar domestik. Pada kelompok UMKM Produsen Ekspor, jumlah UMKM yang
melakukan ekspor sendiri hanya 8,7 persen, sedangkan 91,3 persen UMKM lainnya
kegiatan ekspor dilakukan oleh importir. Apabila ditilik dari nilai pangsa ekspor, pangsa
nilai ekspor UMKM Eksportir Tidak Langsung sebesar 99,02 persen, sedangkan pangsa
ekspor UMKM Produsen Eksportir sebesar 0,98 persen. Namun demikian, tingkat
perolehan keuntungan yang diperoleh UMKM Produsen Eksportir lebih besar
dibandingkan dengan UMKM Eksportir Tidak Langsung. Usaha Kecil (UK) yang
mempunyai peranan besar dalam ekspor adalah UK yang mengandalkan keahlian

tangan (hand made), seperti kerajinan perhiasan dan ukiran kayu. Karakteristik tersebut
merupakan keunggulan UK, di mana lebih banyak mengandalkan keterampilan tangan,
sehingga cenderung bersifat padat karya. Usaha skala besar (UB) yang cenderung
bersifat padat modal, tentunya akan sulit masuk ke dalam dunia usaha ini. Di sisi lain,
hal

ini

memberikan

gambaran

pentingnya

UK

dalam

penyerapan

tenaga

kerja,utamanya pada saat krisis ekonomi.
Kelebihan lain UMKM di Indonesia terletak pada produksinya. Menurut data dari
Kementerian Perindustrian, UMKM kita sebagian besar tidak menggunakan bahan baku
dari luar/impor sehingga tidak terpengaruh kenaikan harga bahan baku impor, sehingga
dapat menjaga kelangsungan usahanya. Selain itu permodalan UMKM tidak
menggunakan hutang dalam bentuk mata uang asing sehingga tidak terpengaruh
perubahan kurs dan hal ini kurang berpengaruh terhadap cashflow perusahaan. Tenaga
kerja dari UMKM berasal dari kalangan keluarga sendiri sehingga relatif terhindar dari
pemutusan hubungan kerja, karena hubungan kekeluargaan diantara pemilik dan
pekerja. UMKM di Indonesia juga dapat dengan cepat merubah jenis usaha dan
fleksibel dalam melakukan diversivikasi usaha manakala bidang usaha yang sedang
digeluti sedang mengalami guncangan. Pada umumnya produk yang dihasilkan oleh
UMKM merupakan kebutuhan masyarakat sehari-hari, sehingga jika terjadi perubahan
pasar ekspor dengan segera dapat menyesuaikan dengan pemenuhan pasar domestik
terlebih dahulu yang jumlahnya sangat besar.

Tabel 7. Perkembangan Nilai Ekspor Usaha Mikro Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2010 –
2011 (sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM)

Tabel 8. Perkembangan Nilai Ekspor Usaha Kecil Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2010 –
2011 (sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM)

Tabel 9. Perkembangan Nilai Ekspor Usaha Menengah Menurut Sektor Ekonomi Tahun
2010 – 2011 (sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM)

Tabel 10. Perkembangan Nilai Ekspor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut
Sektor Ekonomi Tahun 2010 – 2011 (sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM)

Tabel 11. Perkembangan Nilai Ekspor Usaha Besar Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2010
– 2011 (sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM)

3.3.

Kelemahan UMKM Indonesia

3.3.1. Sumber Daya Produktif
Akses terhadap sumberdaya produktif merupakan aset yang harus dimiliki pelaku
bisnis. Akses terhadap sumberdaya produktif merupakan faktor yang menentukan
dalam kelancaran dan keberhasilan aktivitas bisnis. Dalam hal ini, UMKM masih
menghadapi hambatan dalam mengakses sumberdaya produktif. Berdasarkan data dari
Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hambatan UMKM dalam
mengakses sumberdaya produktif terdapat pada pembiayaan dan pemasaran, jaringan
bisnis dan teknologi.

Gambar 7. Kondisi Tempat Pembuatan Dodol di Jambi

Kondisi tersebut di atas memerlukan bantuan/fasilitasi sebagai upaya meningkatkan
akses UMKM terhadap sumberdaya produktif. Bentuk fasilitasi yang dapat dilakukan
adalah menyediakan pembiayaan dengan perlakuan tertentu, baik untuk investasi
maupun modal kerja, yang memenuhi criteria persyaratan mudah, mekanisme cepat,
dan biaya murah. Di samping itu, diperlukan fasilitasi yang diarahkan pada
pengembangan jaringan bisnis UMKM agar UMKM dapat meningkatkan akses pasar
produknya.
Dalam era perdagangan bebas menuntut setiap pelaku bisnis memiliki akses yang
cukup terhadap pasar untuk meningkatkan daya saingnya. Akses terhadap pasar
merupakan kunci keberhasilan kegiatan ekspor. J ustru hal inilah yang merupakan titik

lemah yang dimiliki UMKM pada umumnya. Sebagian besar UMKM masih mengalami
kesulitan dalam menembus pasar ekspor, sehingga memerlukan fasilitasi pihak lain
untuk meningkatkan akses pasar ekspornya, baik pemerintah maup un mitra usahanya.
Hal ini berdasarkan data DJPEN bahwa sebagian besar UMKM memperoleh akses
pasar ekspor melalui keikutsertaan pameran da n informasi dari mitra usahanya.
Sedang sebagian kecil memperolehnya melalui media masa dan internet. Kondisi
seperti uraian di atas, mengindikasikan bahwa UMKM masih memerlukan upaya untuk
meningkatkan akses pasar ekspornya. UMKM dituntut untuk proaktif dalam mengakses
pangsa pasar ekspor produknya. Dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya,
UMKM memerlukan fasilitasi dari pihak lain, termasuk pemerintah, untuk meningkatkan
aksesibiltas terhadap pasar ekspor. Upaya ini dapat dilakukan melalui penyediaan dan
penyebarluasan informasi, yang sesuai dengan kebutuhan UMKM dalam kegiatan
ekspor, terutama yang berkaitan dengan spesikasi produk dan negara tujuan ekspor.
3.3.2. Adaptasi Produk
Selain itu, pelaku bisnis dituntut untuk dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan
selera konsumen atau permintaan pasar, yang memiliki kecenderungan cepat berubah,
sehingga peredaran suatu produk di pasar memiliki siklus yang relatif pendek. Hal ini
akan lebih memicu kreativitas dan inovasi untuk meningkatkan daya saing produk.
Namun demikian, hal ini pun merupakan kelemahan yang dimiliki UMKM. UMKM
mengalami kesulitan dalam menghasilkan spesifikasi produk yang sesuai dengan
perkembangan selera konsumen. Berdasarkan data DJPEN sebagian besar UMKM
mengalami hambatan dalam desain dan kemasan, sedangkan sebagian kecil
mengalami hambatan pada warna

dan bentuk. Hal ini menunjukkan bahwa

kemampuan UMKM mengalami hambatan dalam menghasilkan produk dan kreativitas
untuk menghasilkan inovasi produk sesuai dengan selera konsumen. Karena itu,
UMKM memerlukan pelatihan dan magang untuk meningkatkan keterampilan dalam
menghasilkan produk yang berdaya saing. UMKM memerlukan fasilitasi yang berkaitan
dengan kebutuhan peralatan/teknologi dalam upaya meningkatkan kualitas dan inovasi
produk.

Dengan demikian,

UMKM memiliki

kemampuan

untuk

menghasilkan

diversifikasi produk, sehingga tidak bertumpu pada produk-produk tradisional yang

memiliki keunggulan komparatif, seperti pakaian jadi dan beberapa produk tekstil
lainnya, barang barang jadi dari kulit, seperti alas kaki, dan dari kayu, termasuk
meubel/furnitur.
3.3.3. Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pelaku bisnis
dalam memasarkan produknya. Buyer pada pasar ekspor menuntut persyaratan yang
ketat dalam melakukan transaksi dengan eksportir. Pesanan yang diminta buyer
cenderung menitikberatkan pada kesinambungan dan konsistensi ketersediaan produk.
Dalam memasarkan produknya, UMKM seringkali dihadapkan pada kemampuan
menyediakan produk sesuai dengan jumlah pesanan, sehingga terjadi kegagalan
kontrak pesanan produk. Hal ini berkaitan dengan kapasitas produksi yang dimi likinya
masih relatif rendah, padahal dari spesikasi produk sudah memenuhi keinginan buyer.
Berdasarkan data DJPEN terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya
kapasitas produksi UMKM sampel. Faktor - faktor tersebut antara lain ketersediaan
modal, ketersedian mesin / peralatan dan penguasaan teknologi, ketersediaan bahan
baku dan ketersediaan tenaga kerja terampil. Data di atas mengindikasikan bahwa
hambatan kapasitas produksi pada UMKM masih terkait dengan akses UMKM terhadap
sumberdaya produktif, terutama sumber permodalan dan ketersediaan mesin/peralatan
serta penguasaan teknologi. Hal tersebut makin menguatkan fenomena yang terjadi
selama ini bahwa UMKM dihadapkan pada faktor kritis yang bersifat klasik, yang belum
bergeser dari waktu ke waktu, yakni permodalan dan teknis produksi. Karena itu,
seyogianya fasilitasi untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing UMKM, diarahkan
pada peningkatan kemampuan UMKM dalam mengatasi hambatan faktor-faktor
tersebut.
3.3.4. Dokumen Ekspor
Dokumen ekspor yang lengkap merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam
melaksanakan kegiatan ekspor. Dalam hal ini UMKM sampel memiliki kesulitan untuk
memenuhinya, sehingga menghambat kegiatan ekspornya. Berdasarkan data dari
Laporan Konsultasi peserta pelatihan PPEI tahun 2013 dan laporan Balai Besar

Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia, Training of Exporter tahun 2013 diperoleh
hambatan yang dialami terutama berkaitan dengan sertifikasi produk, letter of credit,
legalitas usaha, dan lainnya. Hambatan ini terjadi karena selama ini UMKM tidak
sungguh-sungguh untuk mengurus dokumen tersebut dan memberikan pengurusannya
kepada perusahaan logistik. Beberapa alasan yang dapat diidentiikasi sebagai
penyebabnya adalah UMKM merasakan kesulitan dalam memenuhi persyaratan dan
prosedur yang memakan waktu relatif lama, dengan biaya yang cukup memberatkan.
Karena itu, perlu upaya untuk mengurangi hambatan yang berkaitan dengan hal ini,
yaitu dengan menerapkan persyaratan yang mudah, prosedur yang sederhana, dan
biaya yang tidak memberatkan UMKM.
3.3.5. Biaya Kegiatan Ekspor
Biaya yang tidak sedikit harus dikeluarkan dalam kegiatan ekspor, merupakan
hambatan yang dialami UMKM. Hal ini menjadi faktor yang menurunkan daya saing
ekspor produk UMKM karena harga jual produk menjadi relatif tinggi dibandingkan
eksportir produk sejenis dari negara lain. Temuan lapang menunjukkan bahwa
pengeluaran biaya dalam kegiatan ekspor, yang menjadi hambatan paling besar bagi
UMKM adalah justru komponen biaya lainnya (85,79 persen), yaitu berupa pungutan
tidak resmi atau biaya siluman. Kemudian, biaya yang berkaitan dengan perizinan dan
transportasi (71,43 persen) serta risiko atau jaminan produk sesuai pesanan (50,00
persen). Karena itu, seyogianya menjadi perhatian pihak terkait dalam membuat
peraturan, yang memiliki konsekuensi biaya yang harus dibayar pelaku bisnis dalam
kegiatan ekspor. Apabila hal ini dibiarkan terus terjadi, maka kegiatan ekspor,
khususnya yang dilaksanakan oleh UMKM, akan menjadi makin sulit karena makin
rendahnya daya saing.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.

Kesimpulan

Dengan semakin meningkatnya jumlah UMKM potensial/orientasi ekspor di Indonesia
(sekitar ± 600 ribu unit usaha) dan munculnya emerging market negara-negara tujuan
ekspor non tradisional maupun negara-negara existing

seperti China, India, Korea,

Jepang, negara-negara ASEAN, Timur Tengah, dan lain-lain akan memperbesar
peluang para pelaku UMKM dalam mengekspor produknya keluar Indonesia. Dengan
masuknya Indonesia dalam AEC maka diharapkan akan semakin memperkuat
perekonomian Indonesia dan makin eratnya kerjasama ekonomi bilateral, kawasan dan
regional kita.
Produk UMKM kita memiliki keunggulan dan keunikan atau nilai seni tinggi berbasis
kebudayaan lokal, handmade dan sebagian besar telah memenuhi standar kualitas
(Eropa Timur, UEA, & China peluang pasar untuk produk kerajinan). Dengan adanya
dukungan kebijakan pemerintah di lintas terkait seperti di sektor hulu yaitu peningkatan
daya saing produk, sektor hilir melalui promosi & pemasaran melalui fasilitasi pameran
diharapkan akan semakin meningkatkan ekspor produk UMKM Indonesia seperti
produk non kerajinan seperti makanan & minuman serta hasil pertanian (antara lain
Kopi Luwak) yang telah memiliki cita rasa dan desain kemasan sesuai trend desain.
UMKM kita memiliki hambatan internal yaitu hambatan yang melekat pada UMKM itu
sendiri, antara lain:
1. Keterbatasan SDM (manajerial, entrepreneurial, IT).
2. Keterbatasan akses ke sumberdaya produktif (permodalan/pembiayaan, pasar,
dll).
3. Rendahnya kemampuan UMKM dalam riset dan pengembangan (untuk pasar).
4. Masih banyak UMKM yang tidak memiliki Badan Hukum.

Hambatan eksternal yang dialami UMKM kita adalah hambatan yang berasal dari faktor
luar yang tidak melekat pada UMKM itu sendiri, antara lain:
1. Tidak stabilnya pasokan & harga bahan baku/pendukung lainnya.
2. Implikasi perdagangan bebas (hambatan tariff & non tariff barriers, skala &
standar kualitas

pasar ekspor yang

sulit dipenuhi

UMKM seperti

isu

lingkungan/HAM/TK).
3. Lifetime produk UMKM pendek.
4. Kurangnya akses UMKM terhadap pasar luar negeri.
5. Infastruktur pendukung ekspor belum merata.
6. Masih terdapat biaya-biaya tidak terduga terkait dengan transportasi, keamanan
dll.
7. Situasi politik, sosial, ekonomi di luar negeri.
8. Tingginya biaya modal dibandingkan dengan negara-negara pesaing.
Menurut Tambunan (2003), terdapat dua faktor yang

mempengaruhi

UMKM

berorientasi ekspor tidak dapat melakukan ekspor secara langsung, yaitu export trading
problem dan financing problem. Export trading problem terjadi karena tingginya risiko
kegiatan ekspor (baik risiko pembayaran maupun pengiriman barang), adanya
tenggang waktu (time lag) dalam pembayaran, dan tingginya biaya ekspor. Financing
problem terjadi karena terbatasnya modal yang dimiliki UMKM dan finance and
guarantee institution problem, yakni rendahnya dukungan lembaga pembiayaan dan
penjaminan ekspor terhadap UMKM. Kondisi tersebut menngakibatkan strategi
pemasaran UMKM cenderung menunggu pembeli, sehingga mekanisme perdagangan
yang terjadi umumnya adalah buyer’s market.
Sementara itu, Hardono (2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya UMKM memiliki
hambatan yang bersifat klasik, yakni hambatan yang berkaitan dengan rendahnya
kualitas sumberdaya manusia (SDM), lemahnya manajemen usaha, rendahnya akses
terhadap sumber pembiayaan dan pasar, serta rendahnya informasi dan teknologi yang
dimilikinya. UMKM yang memiliki hambatan dan kendala usaha berkaitan dengan
ekspor diklasifikasikan menjadi dua, yakni internal dan eksternal. Hambatan internal

adalah hambatan yang disebabkan kekurangan atau kelemahan yang melekat pada
UMKM itu sendiri. Hambatan eksternal adalah hambatan yang disebabkan adanya
faktor luar yang tidak melekat pada UMKM.
Beberapa aspek yang menjadi hambatan internal bagi UMKM dalam kegiatan ekspor
adalah :
a. Masih rendahnya komitmen UMKM dalam memenuhi pesanan pelanggan, baik
lokal maupun mancanegara (on time delivery);
b. Masih minimnya sistem managemen yang diterapkan UMKM, khususnya dalam
aspek produksi, administrasi, dan keuangan;
c. Keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki UMKM dalam rangka
memenuhi pesanan;
d. Rendahnya kualitas SDM, sehingga dalam mengelola usahanya tidak didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan yang sangat rasional;
e. Terbatasnya modal yang dimiliki UMKM, khususnya modal kerja;
f. Lemahnya jaringan komunikasi dan informasi dengan pihak -pihak terkait, seperti
dalam pengadaan bahan baku, terkadang UMKM hanya memiliki sumber
terbatas, sehingga barang yang diperoleh harganya tinggi;
g. Rendahnya kemampuan UMKM dalam riset dan pengembangan, sehingga
belum memenuhi keinginan para buyer.
Di sisi lain, terdapat beberapa aspek yang menjadi hambatan eksternal bagi UMKM
dalam kegiatan ekspor, yakni :
a. Tidak stabilnya pasokan dan harga bahan baku serta bahan pendukung lainnya;
b. Persyaratan dari buyer semakin tinggi, antara lain berkaitan dengan kualitas
produk, kualitas lingkungan sosial, kualitas lingkungan kerja, harga yang
bersaing, aspek ramah lingkungan;
c. Masih adanya regulasi pemerintah yang kurang kondusif sehingga dapat
menghambat laju ekspor UMKM;
d. Rendahnya akses UMKM terhadap pasar, antara lain meliputi permintaan
produk, standar kualitas produk, ketepatan waktu pengiriman, dan persaingan
harga;

e. Rendahnya akses UMKM terhadap sumber pembiayaan, antara lain meliputi
informasi skim kredit dan tingginya tingkat bunga;
f. Masih munculnya biaya-biaya siluman yang berkaitan dengan ransportasi,
kepabeanan, dan keamanan;
g. Kesulitan memenuhi prosedur dan jangka waktu yang relatif lama untuk
mematenkan produk bagi UMKM.
4.2.

Saran

Permasalahan yang dihadapi UMKM memang sangat kompleks, sehingga dibutuhkan
berbagai pendekatan yang dapat mengurangi hambatan yang ada. Keputusan politik
pemerintah di semua lini dan tingkatan yang berusaha memberdayakan UMKM sudah
tepat, mengingat potensi dan peran UMKM terhadap pembangunan nasional. Hal yang
penting dan mendasar adalah memberikan peluang yang lebih besar kepada para
UMKM dengan menekan atau mereduksi hambatan-hambatan yang muncul.
Pendekatan yang perlu dilakukan dalam mengurangi hambatan UMKM dalam kegiatan
ekspor, dapat ditempuh melalui upaya meningkatkan kemampuan finansial dan
manajerial UMKM, membangun jaringan pemasaran produk ekspor UMKM, dan
meningkatkan promosi produk ekspor UMKM. Kebijakan/peraturan pemerintah yang
kondusif dan keberpihakan yang signifikan dunia usaha, merupakan kunci keberhasilan
dalam mereduksi hambatan UMKM dalam kegiatan ekspor. Di samping itu, diperlukan
pemetaan demand dan supply pada negara-negara tujuan ekspor. Hal ini akan sangat
membantu UMKM dalam menentukan jenis dan tujuan pasar produk ekspornya.

DAFTAR RUJUKAN

Hardono. 2004. Faktor-Faktor yang Menghambat Bisnis Ekspor UMKM. Makalah dalam
Diskusi Panel Pengembangan UMKM Kegiatan Ekspor, 21
September 2004. Jakarta : Hotel Karsa.
Kompas. 21 Oktober 2013
Martono, Nanang. 2011. Metoda Penelitian Kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis
Data Sekunder. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tambunan, Tulus, Tahun 2003. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia Beberapa
Isu Penting. Jakarta : PT Salemba Empat.

Website
www.bps.go.id
www.depkop.go.id
www.factfish.com
www.kemendag.go.id
www.trademap.org

BIODATA PENULIS
Victor Tulus Pangapoi Sidabutar, lahir di Jakarta pada
tanggal 18 Oktober 1977, tamat S1 dan S2 dari Institut
Teknologi Bandung pada tahun 2001 dan 2003. Pernah
bekerja dibeberapa perusahaan swasta serta memiliki bisnis
sendiri dari tahun 2006 hingga 2012. Pada tahun 2009
hingga 2011 menjadi Pegawai Negeri Sipil di Balai Diklat
Metrologi ,

Departemen

Perdagangan

sebagai

calon

Widyaiswara, Widyaiswara Muda pada Balai Diklat Penguji Mutu Barang, Pusdiklat
Perdagangan pada tahun 2011 hingga 2012 dan saat ini menjabat Widyaiswara
Muda di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia sejak tahun 2012
hingga saat ini. Pengalaman mengajar pada Diklat Fungsional Penera Ahli pada
tahun 2011, mata diklat yang diajarkan adalah Teknologi Mekanik, pada Diklat
Fungsional Pembinaan Penguji Mutu Barang pada tahun 2011 dan 2012 di Balai
Diklat Metrologi, mata diklat yang diajarkan adalah Teknik Pembuatan Pereaksi
Kimia, Pengetahuan Dasar Analisa Kimia dan Pengetahuan Dasar Uji Mekanik dan
Fisika di Balai Diklat Penguji Mutu Barang, pada Diklat Desain Kompon dan Barang
Jadi Karet, mata diklat yang diajarkan adalah Analisis Kimia Barang Jadi Karet dan
Metoda Pengujian Sifat Fisik Barang Jadi Karet, pada Diklat Training of Exporter,
mata diklat yang diajarkan Costing & Pricing, Market Research, Promosi secara
online, Mencari Data Buyer secara online, menjadi Coach untuk UKM Ekspor di
Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia. Diklat yang pernah diikuti
adalah Diklat Fungsional Penera tahun 2010 , berbagai inhouse training yang
diadakan di Balai Diklat Metrologi, Diklat TOT-Calon Widyaiswara di Pusdiklat
Perdagangan yang bekerjasama dengan LAN-RI pada tahun 2011, International
Welding Inspector di B4T, Training of Coaches, Manajemen Ekspor Impor, Profesi
Ekspor Impor, SEO for Business, Aplikasi Riset Pemasaran di BBPPEI. Saat ini
penulis memiliki Certificate IV in Training and Assessment dari Victoria University,
Australia pada tahun 2011, International Welding Inspector dari B4T pada tahun
2012 dan Coach untuk UKM dari BBPPEI.