Pengaruh Konsentrat terhadap Performa Re (1)
Pengaruh Konsentrat terhadap Performa Reproduksi Sapi PO dan Simpo
I.
Latar belakang
Kebutuhan daging nasional yang setiap tahun semakin meningkat, tahun ini
sebanyak 549,7 ribu ton tidak diimbangi dengan meningkatnya populasi ternak
sebagai penghasil daging (Tempo, 2013). Berdasarkan hasil sensus pertanian bulan
Mei lalu, populasi sapi potong, sapi perah dan kerbau di Indonesia menunjukkan
penurunan sebanyak 15,5% dari tahun 2011 tercatat 16,7 juta ekor sedangkan pada
tahun 2013 tercatat hanya 14,2 juta ekor (BPS, 2013). Jika hal ini terus terjadi dan
tidak ada perbaikan atau upaya untuk meningkatkan produktiftas ternak, maka
rencana swasembada daging 2014 (PSDSK 2014) akan gagal,dan mengalami
pengunduran waktu lagi.
Penyebab utama dari turunnya jumlah populasi sapi di Indonesia adalah
sedikitnya angka kelahiran ternak. Kurang mahirnya peternak dalam memanajemen
peternakannya menjadi salah satu sebab sedikitnya angka kelahiran pedet.
Manajemen kesehatan, pakan dan kandang yang tidak sesuai dengan kondisi ideal
sapi, akan menurunkan performa ternak, terutama performa reproduksi yang
berkaitan dengan angka kelahiran pedet. Hal yang paling mendasar terjadi di hampir
seluruh kawasan Indonesia adalah buruknya manajemen pakan, yang mengakibatkan
rendahnya nutrisi yang diterima oleh ternak terutama untuk mengoptimalkan
reproduksi ternak. Perbaikan produktivitas induk sapi harus segera dilakukan, karena
sebanyak 99% penghasil pedet di Indonesia berasal dari peternakan rakyat, dan
peternakan rakyat menggantungkan asupan pakan ternak dari alam sekitar bahkan
limbah pertanian yang berkualitas rendah (Mariyono dkk, 2004). Hijauan berkualitas
1
rendah serta kurang mampunya peternak untuk mencukupi kebutuhan konsentrat sapi
yang berkualitas menjadi masalah klasik di negeri ini.
Maraknya sapi crossbreed sebagai pemenuh kekurangan pasokan sapi lokal,
menjadi bertambahnya masalah yang dihadapi oleh peternak. Kebutuhan konsentrat
dan hijauan yang berkualitas tinggi menjadi hal yang sulit untuk dipenuhi oleh
peternak lokal. Sehingga, sapi crossbreed seperti peranakan Simmental (Simpo),
peranakan Limousin (Limpo), peranakan Brahman dan Angus (Brangus-PO) terpaksa
harus diadaptasikan dengan lingkungan yang memberikan mereka pakan seadanya,
tidak sesuai dengan kebutuhan pokok dari sapi crossbreed. Sapi Simental-Peranakan
Ongole (Simpo) merupakan sapi hasil backcrossing antara sapi Simental termasuk
exotic breed dengan sapi Peranakan Ongole merupakan salah satu sapi potong yang
banyak digemukkan oleh peternak Indonesia dengan sistem feedlot (Riyanto,
2009)..Sedangkan, sapi lokal (sapi PO) telah adaptif dengan lingkungan di kawasan
Indonesia dengan pakan hijauan dan konsentrat yang kualitasnya tidak terlalu tinggi.
Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole (PO)
Gambar 2. Sapi PO-Simmental (Simpo)
II.
Tinjauan pustaka
A. Kebutuhan pakan sapi
2
Kebutuhan pakan sapi terdiri dari hijauan, leguminosa dan pakan
tambahan berupa konsentrat. Hijauan dan leguminosa berfungsi sebagai sumber
serat dan vitamin, dapat berupa rumput, daun-daunan, jerami, tebon, kulit
kedelai,limbah kacang tanah. Pakan tambahan berupa konsentrat merupakan salah
satu sumber gizi tinggi, mineral dan protein (Nuschati, 2008).
Tabel 1. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering,
sesuai SNI 2009.
No.
Jenis pakan
Kadar
Abu
PK
Lemak
air
Ca
P
Aflatoksin
TDN
%
%
Maks
Min %
kasar
Maks
Maks
Min
%
%
%
Maks %
ug/kg
1
Penggemuka
14
12
13
7
0,8-1,0
0,6-0,8
200
70
2
3
n
Induk
Pejantan
14
14
12
12
14
12
6
6
0,8-1,0
0,5-0,7
0,6-0,8
0,3-0,5
200
200
65
65
Sapi Peranakan Ongole (PO) dengan sapi crossbreed memiliki kebutuhan
pakan yang berbeda. Sapi PO memiliki konsumsi pakan yang lebih sedikit
daripada sapi crossbreed, misalnya Simpo. Secara ringkas, kebutuhan pakan sapi
PO maupun Simpo dihitung dari berat badannya, yaitu hijauan 10% dari berat
badan, konsentrat 1-2% dari berat badan. Kebutuhan protein (PK) untuk sapi yang
baik adalah >14% serta, total digestible nutrient (TDN) 70%. Ukuran tersebut
merupakan standar optimal untuk sapi dapat berproduksi (Nuschati, 2008).
Peternak memiliki berbagai cara untuk memberikan pakan pada sapi yang
bertujuan agar sapi mereka gemuk dan berproduksi maksimal. Menurut Nugraha
(2012), cara
penggemukan
sapi
secara
modern
dilakukan
dengan
menggunakan prinsip feedlot, yaitu:
3
1.
Sistem dry lot fattening
Sistem dry lot fattening
memperbanyak
pemberian
yaitu
penggemukan
sapi
dengan
pakan konsentrat. Jumlah pemberian hijauan
hanya relatif sedikit sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih
tinggi.
Perbandingan hijauan dan konsentrat berkisar antara 40:60 sampai
20:80. Perbandingan ini didasarkan pada bobot bahan kering (BK).
Penggemukan sistem ini dilakukan di dalam kandang. Pakan hijauan
dan konsentrat diberikan kepada sapi di dalam kandang. Jadi, pakan harus
disediakan sesuai porsi waktu yang tepat.
2. Sistem pasture fattening
Sistem penggemukan pasture fattening, yaitu sapi yang digembalakan
di padang penggembalaan sepanjang hari. Dengan sistem ini, ada ternak yang
tidak dikandangkan dan ada juga yang dikandangkan setelah malam hari atau
pada saat matahari bersinar terik. Padang penggembalaan yang baik adalah
padang tersebut ditumbuhi hijauan berupa rumput dan leguminosa.
Sementara padang penggembalaan yang hanya ditumbuhi rumput saja
berdampak kurang baik bagi laju pertumbuhan sapi.
mempunyai kemampuan
untuk
menangkap
nitrogen
Leguminosa
sehingga
tanah
dibawahnya menjadi lebih subur dan baik untuk pertumbuhan rumput.
Selain itu, leguminosa juga memiliki kandungan protein yang tinggi.
3. Sistem kombinasi dry lot dan pasture fattening
Sistem ini merupakan perpaduan dry lot fattening. Pada sistem ini, bila
musim hujan berlimpah maka sapi digembalakan di padang gembalaan dan
tidak harus dikandangkan. Sementara pada musim
kemarau,
sapi
dikandangkan dan diberi pakan penuh. Pada siang hari digembalakan di
padang penggembalaan, sedangkan pada malam hari sapi dikandangkan dan
4
diberi konsentrat. Sistem penggemukan ini membutuhkan waktu yang lebih
lama daripada sistem dry lot fattening, tetapi lebih singkat daripada sistem
pasture fattening.
4. Sistem kereman
Sistem ini sebenarnya hampir sama dengan dry lot fattening, yaitu
ternak sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat serta sapi dikandangkan
selama pemeliharaan. Bedanya, sistem kereman lebih banyak dilakukan
oleh peternak tradisional dan pemberian pakannya masih tergantung
dengan kondisi. Bila musim hujan, sapi diberi banyak pakan hijauan,
tetapi bila musim kering sapi lebih banyak diberi pakan konsentrat.
Gambar 3. Leguminosa
B. Konsentrat
Menurut SNI 3148.2:2009 konsentrat merupakan pakan yang kaya akan
sumber protein dan atau sumber energi serta dapat mengandung pelengkap pakan
dan/atau imbuhan pakan.
Berikut contoh komposisi bahan pembuat konsentrat menurut Nuschati,
2008:
5
Gambar 4. Ampas singkong
Gambar 5. Bungkil kopra
Gambar 6. Kulit kopi
Gambar 7. Dedak padi
Menurut Riyanto (2009) salah satu bentuk konsentrat yang baik untuk
memacu pertumbuhan terdiri dari 70% hijauan (jerami padi fermentasi) dan 30%
(konsentrat).
Konsentrat
diberi
nama
Konsentrat
Pemacu
Petumbuhan
(GPC=Growth Promoted Concentrate) diberikan sebagai konsentrat suplementasi
pakan penguat berupa onggok 70%, bekatul 25% dan molases 5%. Komposisi
GPC tersusun dari 5 % urea, 20 % molases, 30 % bungkil kedelai, 5 % bungkil
sawit, polar 39 % dan mineral 1 %.
Di daerah yang memiliki lahan kering misalnya di daerah Blora,
Grobogan, Gunung Kidul, lebih cenderung memberikan pakan pada ternak yang
berkualitas rendah. Apabila musim penghujan, hijauan melimpah sehingga asupan
6
mineral, serat dan vitamin cukup untuk ternak. Lain halnya jika musim kemarau
terjadi, hijauan akan sulit ditemukan, sehingga peternak kesulitan untuk
memberikan pakan pada ternaknya. Salah satu cara peternak memanfaatkan
melimpahnya hijauan ketika musim penghujan adalah dengan pengeringan
rumput untuk menyimpannya sebagai persediaan saat tidak ditemui limbah
pertanian. Saat hijauan sulit ditemukan, maka konsentrat adalah pilihan
selanjutnya sebagai pakan. Konsentrat yang ada di pasaran terlalu mahal untuk
dibeli, sehingga sebagian peternak memanfaatkan limbah pertanian sebagai bahan
konsentrat
buatan
(Soeharsono
dkk,
2005;
Nuschati,
2008).
Upaya
mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian dilakukan dengan berbagai cara,
seperti perebusan pada dedak padi, gaplek, onggok, maupun dengan pencincangan
pada jerami jagung dan pucuk tebu. Perlakuan fisik dengan penggilingan
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil, berakibat meningkatkan bahan
terkonsumsi (Soeharsono, 2005).
C. Pengaruhnya pada reproduksi
Produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performansnya,
seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan kondisi ternak.
Reproduksi baru dapat berlangsung sesudah hewan mencapai masa pubertas dan
diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkan.
Reproduktivitas ternak yang tinggi merupakan kunci keberhasilan produksi
ternak, terutama mengenai jumlah anak yang dapat dilahirkan selama hidup
induk. Empat hal yang menjadi kendala reproduksi sapi potong, yaitu lama
7
bunting yang panjang, panjangnya interval dari lahir hingga estrus pertama,
tingkat konsepsi yang rendah dan kematian anak sampai umur sapih yang tinggi
Performa reproduksi sapi PO akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain yaitu faktor genetik (bangsa), makanan dan lingkungan (Iskandar,
2011), selain itu factor kesehatan juga berpengaruh pada produktivits (Rasyid
dkk, 2009). Pola pengelolaan yang baik pada sapi dara selama fase pertumbuhan
akan memberikan pertambahan bobot badan maksimal sehingga masa pubertas
dan dewasa tubuh akan dicapai lebih cepat. Namun, pertimbangannya bahwa sapi
dara yang akan memasuki masa reproduksi membutuhkan bobot badan dan
kondisi tubuh yang optimal. Kekurangan gizi dalam waktu yang lama akan
menyebabkan kekurusan dan diikuti tidak aktifnya fungsi ovarium, sebaliknya
akan mengalami gangguan reproduksi yaitu kegagalan kebuntingan dan kemajiran
bila bobot badan meningkat drastis. Pemberian pakan yang tidak memadai akan
berpengaruh pada conception rate yang rendah. Apabila kebutuhan pakan
tambahan tidak terpenuhi dengan baik, maka akan terjadi defisiensi mineral dan
berdampak pada reproduksi. Kegagalan reproduksi dapat disebabkan karena
kurang gizi, defisiensi mineral, teknik inseminasi dan faktor internal ternak itu
sendiri (Rasyid dkk, 2009).
Pemberian pakan yang kurang dari peternak rakyat, biasanya hanya diberi
berupa rumput lapang dan juga rumput kering di saat musim kemarau, di
mana kandungan gizi kedua bahan pakan tersebut seperti protein dan mineral
rendah, tentu kebutuhan hidup pokok sapi PO tidak terpenuhi akibatnya
proses produksi dan reproduksi terganggu, seperti pencapaian umur pubertas
menjadi lama (panjang). Rumput kering yang jelek selalu memberikan defisiensi
8
protein dan biasanya berhubungan dengan rendahnya kadar mineral di
dalam
pakan terutama P (Posfor) dan Co (cobalt). Apabila sapi mengalami
defisiensi
Co
dapat
menyebabkan menurunnya
nafsu
makan,
pubertas
terlambat dan kegagalan estrus pada sapi betina. Sedangkan defisiensi P dapat
menyebabkan pubertas terlambat pada sapi dara dan pada induk terjadinya
kegagalan estrus (Iskandar, 2011).
Sapi persilangan memiliki kebutuhan pakan yang lebih tinggi dibanding
dengan sapi lokal, misalnya Simpo (Simmental-PO). Performa reproduksi sapi
Simpo akan menurun jika cara pemeliharaannya sama dengan pemeliharaan sapi
PO. Jika nutrisi tidak terpenuhi, maka sapi crossbreed akan lebih sering
mengalami gangguan reproduksi yang diawali dengan silent heat-anestrus, karena
bobot tubuh mereka tidak optimal untuk mencapai kemampuannya dalam
berovulasi atau beraktivitas luteal. Kurangnya pakan penguat yang mengandung
banyak mineral dan energi secara garis besar dapat berdampak negatif pada
performa reproduksi baik sapi PO maupun Simpo (Rasyid dkk, 2009).
Salah satu nutrisi yag terkandung dalam pakan tambahan konsentrat
adalah karbohidrat, bentuk paling sederhana bisa berupa aldehid (disebut
polihidroksialdehid atau aldosa) atau berupa keton (disebut polihidroksiketon atau
ketosa). Rendahnya kadar glukosa dalam serum pada sapi, selain dapat
menghambat sintesis atau pelepasan gonadothropin releasing hormone (GnRH)
juga menghambat pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH), menyebabkan terhambatnya perkembangan folikel, ovum,
estrogen,dan progesteron. Glukosa adalah salah satu substrat metabolisme paling
utama yang diperlukan untuk fungsi yang sesuai dengan proses reproduktif pada
9
sapi. Rendahnya kadar serum glukosa selain dapat menyebabkantingginya
konsentrasi non esterified fatty acids (NEFA) yang mempunyai efek toksik
terhadap folikel, oosit,embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi juga berdampak pada
kematian ovum, embrio, dan fetus karena tidak cukupnya hormon steroid ovarium
III.
(Arthur, 2001).
Pembahasan
Kebutuhan pakan sapi lokal dan crossbreed misalnya PO dan Simpo tidak dapat
disamakan secara kuantitas maupun kualitas. Sapi PO cenderung lebih adaptif untuk
pakan yang ada di wilayah Indonesia, sedangkan sapi Simpo memiliki kecenderungan
pakan yang lebih banyak dan berkualitas tinggi hal itu tidak diimbangi dengan
kemampuan peternak rakyat untuk membeli pakan yang berkualitas tinggi, baik
berupa hijauan yang bagus ataupun konsentrat yang bernutrisi tinggi.
Akibat dari rendahnya konsumsi pakan hijauan menyebabkan terjadinya defisiensi
mineral, vitamin dan serat sehingga hijauan tidak dapat diserap dengan sempurna,
begitupun dengan kekurangan pakan tambahan atau penguat dapat berakibat
defisiensi protein dan mineral serta energi. Kekurangan pakan yang drastis dapat
berakibat rendahnya skor kondisi tubuh, bobot tubuh yang seharusnya cukup untuk
proses reproduksi sapi dara maupun indukan tidak cukup, dan akhirnya banyak sekali
kasus reproduksi yang sumber utamanya adalah defisiensi pakan bernutrisi. Hijauan,
leguminosa dan konsentrat sebaiknya diatur sedemikian rupa agar seimbang, sebagai
contoh yang diterapkan oleh Nuschati (2008) pemberian pakan hijauan dan
leguminosa sebanyak 10% dari bobot tubuh, dan pakan tambahan berupa konsentrat
sebanyak 1-2% dari bobot tubuh. Beberapa kasus reproduksi yang sering dihadapi
peternak jika terjadi defisiensi nutrisi berupa protein, energi, mineral dan vitamin
adalah late estrus, silent heat hingga anestrus. Kekurangan protein menyebabkan
10
timbulnya berahi yang lemah, berahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat
breeding), kematian embrio dini, absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus,
kelahiran anak yang lemah atau kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi,
defisiensi dan ketidakseimbangan mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang,
IV.
aktivitas ovarium, dan rendahnya efisiensi reproduksi (Bearden, 1980).
Kesimpulan
1. Pemberian pakan yang seimbang dari hijauan, leguminosa dan konsentrat akan
mengoptimalkan performa reproduksi sapi potong.
2. Pemberian pakan yang sesuai dengan individunya baik secara kuantitas dan
kualitas, harus menjadi perhatian penting, karena sapi PO dan Simpo memiliki
kebiasaan makan yang berbeda.
3. Defisiensi nutrisi berupa protein, karbohidrat, mineral, vitamin dan serat dapat
berakibat gangguan reproduksi seperti silent heat, anestrus, repeat breeding,
disfungsi ovarium, serta kegagalan kebuntingan.
V.
Daftar pustaka
Anonim. 2009. Pakan Konsentrat-Bagian 2: Sapi Potong. Standar Nasional Indonesia.
Badan Standardisasi Nasional.
Anonim.
2013.
Sapi
Lokal
Penuhi
85%
Kebutuhan
Daging.
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/05/090465177/Sapi-Lokal-Penuhi85-Persen-Kebutuhan-Daging. 18 September 2013.
Anonim. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 (angka sementara). Badan Pusat
Statistik.
Arthur, G.H. 2001. Veterinary Reproduction and Obstetrics. W.B. Saunders: England.
Bearden, H. J. and John W.
Fuquay. 1980. Applied Animal Reproduction
Reston Publishing Company. Inc. A. Printice Hall Company Reston,
Virginia.
Iskandar. 2011. Performa Reproduksi Sapi PO pada Dataran Rendah dan Dataran
Tinggi di Provinsi Jambi. Fakultas Peternakan Universitas Jambi: Jambi.
Nugraha, RI. 2012. Mengenal Manajemen Pakan Sistem Penggemukan Sapi
.
11
Nuschati, U. 2008. Teknologi Formulasi Ransum untuk Penggemukan Sapi pada
Wilayah Marjinal.
Rasyid, A. Krishna, NH. 2009. Produktivitas Sapi Potong Dara Hasil Persilangan F1
(PO x Limousin dan PO x Simmental) di Peternakan Rakyat. Loka
Penelitian Sapi Potong: Pasuruan, Jawa Timur.
Riyanto, J. 2009. Usaha Penggemukan Sistem Feed/of Sapi Simental Berbasis Pakan
Jerami Padi Fermentasi (Straw Fermented Block=SFB) dan Suplementasi
Konsentrat Pemacu Pertumbuhan (Growth Promoting Concentrate=GPC)
Pola Integrated Sustainabality Farming System Berwawasan Zero WasteLEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) Untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Peternak Kelompok Tani Ternak “Sambi Mulyo” Desa
Jagoan, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali. LPPM. Universitas Negeri
Surakarta (UNS) Penelitian, KNRT, Insentif Peningkatan Kapasitas IPTEK
Sistem Produksi: Surakarta.
Soeharsono. Supriadi. Hanafi, H. 2005. Pengaruh Pemberian Pakan Konsentrat yang
disusun dari Limbah Pertanian Terhadap Produktivitas Ternak Sapi Potong.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian: Yogyakarta.
12
I.
Latar belakang
Kebutuhan daging nasional yang setiap tahun semakin meningkat, tahun ini
sebanyak 549,7 ribu ton tidak diimbangi dengan meningkatnya populasi ternak
sebagai penghasil daging (Tempo, 2013). Berdasarkan hasil sensus pertanian bulan
Mei lalu, populasi sapi potong, sapi perah dan kerbau di Indonesia menunjukkan
penurunan sebanyak 15,5% dari tahun 2011 tercatat 16,7 juta ekor sedangkan pada
tahun 2013 tercatat hanya 14,2 juta ekor (BPS, 2013). Jika hal ini terus terjadi dan
tidak ada perbaikan atau upaya untuk meningkatkan produktiftas ternak, maka
rencana swasembada daging 2014 (PSDSK 2014) akan gagal,dan mengalami
pengunduran waktu lagi.
Penyebab utama dari turunnya jumlah populasi sapi di Indonesia adalah
sedikitnya angka kelahiran ternak. Kurang mahirnya peternak dalam memanajemen
peternakannya menjadi salah satu sebab sedikitnya angka kelahiran pedet.
Manajemen kesehatan, pakan dan kandang yang tidak sesuai dengan kondisi ideal
sapi, akan menurunkan performa ternak, terutama performa reproduksi yang
berkaitan dengan angka kelahiran pedet. Hal yang paling mendasar terjadi di hampir
seluruh kawasan Indonesia adalah buruknya manajemen pakan, yang mengakibatkan
rendahnya nutrisi yang diterima oleh ternak terutama untuk mengoptimalkan
reproduksi ternak. Perbaikan produktivitas induk sapi harus segera dilakukan, karena
sebanyak 99% penghasil pedet di Indonesia berasal dari peternakan rakyat, dan
peternakan rakyat menggantungkan asupan pakan ternak dari alam sekitar bahkan
limbah pertanian yang berkualitas rendah (Mariyono dkk, 2004). Hijauan berkualitas
1
rendah serta kurang mampunya peternak untuk mencukupi kebutuhan konsentrat sapi
yang berkualitas menjadi masalah klasik di negeri ini.
Maraknya sapi crossbreed sebagai pemenuh kekurangan pasokan sapi lokal,
menjadi bertambahnya masalah yang dihadapi oleh peternak. Kebutuhan konsentrat
dan hijauan yang berkualitas tinggi menjadi hal yang sulit untuk dipenuhi oleh
peternak lokal. Sehingga, sapi crossbreed seperti peranakan Simmental (Simpo),
peranakan Limousin (Limpo), peranakan Brahman dan Angus (Brangus-PO) terpaksa
harus diadaptasikan dengan lingkungan yang memberikan mereka pakan seadanya,
tidak sesuai dengan kebutuhan pokok dari sapi crossbreed. Sapi Simental-Peranakan
Ongole (Simpo) merupakan sapi hasil backcrossing antara sapi Simental termasuk
exotic breed dengan sapi Peranakan Ongole merupakan salah satu sapi potong yang
banyak digemukkan oleh peternak Indonesia dengan sistem feedlot (Riyanto,
2009)..Sedangkan, sapi lokal (sapi PO) telah adaptif dengan lingkungan di kawasan
Indonesia dengan pakan hijauan dan konsentrat yang kualitasnya tidak terlalu tinggi.
Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole (PO)
Gambar 2. Sapi PO-Simmental (Simpo)
II.
Tinjauan pustaka
A. Kebutuhan pakan sapi
2
Kebutuhan pakan sapi terdiri dari hijauan, leguminosa dan pakan
tambahan berupa konsentrat. Hijauan dan leguminosa berfungsi sebagai sumber
serat dan vitamin, dapat berupa rumput, daun-daunan, jerami, tebon, kulit
kedelai,limbah kacang tanah. Pakan tambahan berupa konsentrat merupakan salah
satu sumber gizi tinggi, mineral dan protein (Nuschati, 2008).
Tabel 1. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering,
sesuai SNI 2009.
No.
Jenis pakan
Kadar
Abu
PK
Lemak
air
Ca
P
Aflatoksin
TDN
%
%
Maks
Min %
kasar
Maks
Maks
Min
%
%
%
Maks %
ug/kg
1
Penggemuka
14
12
13
7
0,8-1,0
0,6-0,8
200
70
2
3
n
Induk
Pejantan
14
14
12
12
14
12
6
6
0,8-1,0
0,5-0,7
0,6-0,8
0,3-0,5
200
200
65
65
Sapi Peranakan Ongole (PO) dengan sapi crossbreed memiliki kebutuhan
pakan yang berbeda. Sapi PO memiliki konsumsi pakan yang lebih sedikit
daripada sapi crossbreed, misalnya Simpo. Secara ringkas, kebutuhan pakan sapi
PO maupun Simpo dihitung dari berat badannya, yaitu hijauan 10% dari berat
badan, konsentrat 1-2% dari berat badan. Kebutuhan protein (PK) untuk sapi yang
baik adalah >14% serta, total digestible nutrient (TDN) 70%. Ukuran tersebut
merupakan standar optimal untuk sapi dapat berproduksi (Nuschati, 2008).
Peternak memiliki berbagai cara untuk memberikan pakan pada sapi yang
bertujuan agar sapi mereka gemuk dan berproduksi maksimal. Menurut Nugraha
(2012), cara
penggemukan
sapi
secara
modern
dilakukan
dengan
menggunakan prinsip feedlot, yaitu:
3
1.
Sistem dry lot fattening
Sistem dry lot fattening
memperbanyak
pemberian
yaitu
penggemukan
sapi
dengan
pakan konsentrat. Jumlah pemberian hijauan
hanya relatif sedikit sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih
tinggi.
Perbandingan hijauan dan konsentrat berkisar antara 40:60 sampai
20:80. Perbandingan ini didasarkan pada bobot bahan kering (BK).
Penggemukan sistem ini dilakukan di dalam kandang. Pakan hijauan
dan konsentrat diberikan kepada sapi di dalam kandang. Jadi, pakan harus
disediakan sesuai porsi waktu yang tepat.
2. Sistem pasture fattening
Sistem penggemukan pasture fattening, yaitu sapi yang digembalakan
di padang penggembalaan sepanjang hari. Dengan sistem ini, ada ternak yang
tidak dikandangkan dan ada juga yang dikandangkan setelah malam hari atau
pada saat matahari bersinar terik. Padang penggembalaan yang baik adalah
padang tersebut ditumbuhi hijauan berupa rumput dan leguminosa.
Sementara padang penggembalaan yang hanya ditumbuhi rumput saja
berdampak kurang baik bagi laju pertumbuhan sapi.
mempunyai kemampuan
untuk
menangkap
nitrogen
Leguminosa
sehingga
tanah
dibawahnya menjadi lebih subur dan baik untuk pertumbuhan rumput.
Selain itu, leguminosa juga memiliki kandungan protein yang tinggi.
3. Sistem kombinasi dry lot dan pasture fattening
Sistem ini merupakan perpaduan dry lot fattening. Pada sistem ini, bila
musim hujan berlimpah maka sapi digembalakan di padang gembalaan dan
tidak harus dikandangkan. Sementara pada musim
kemarau,
sapi
dikandangkan dan diberi pakan penuh. Pada siang hari digembalakan di
padang penggembalaan, sedangkan pada malam hari sapi dikandangkan dan
4
diberi konsentrat. Sistem penggemukan ini membutuhkan waktu yang lebih
lama daripada sistem dry lot fattening, tetapi lebih singkat daripada sistem
pasture fattening.
4. Sistem kereman
Sistem ini sebenarnya hampir sama dengan dry lot fattening, yaitu
ternak sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat serta sapi dikandangkan
selama pemeliharaan. Bedanya, sistem kereman lebih banyak dilakukan
oleh peternak tradisional dan pemberian pakannya masih tergantung
dengan kondisi. Bila musim hujan, sapi diberi banyak pakan hijauan,
tetapi bila musim kering sapi lebih banyak diberi pakan konsentrat.
Gambar 3. Leguminosa
B. Konsentrat
Menurut SNI 3148.2:2009 konsentrat merupakan pakan yang kaya akan
sumber protein dan atau sumber energi serta dapat mengandung pelengkap pakan
dan/atau imbuhan pakan.
Berikut contoh komposisi bahan pembuat konsentrat menurut Nuschati,
2008:
5
Gambar 4. Ampas singkong
Gambar 5. Bungkil kopra
Gambar 6. Kulit kopi
Gambar 7. Dedak padi
Menurut Riyanto (2009) salah satu bentuk konsentrat yang baik untuk
memacu pertumbuhan terdiri dari 70% hijauan (jerami padi fermentasi) dan 30%
(konsentrat).
Konsentrat
diberi
nama
Konsentrat
Pemacu
Petumbuhan
(GPC=Growth Promoted Concentrate) diberikan sebagai konsentrat suplementasi
pakan penguat berupa onggok 70%, bekatul 25% dan molases 5%. Komposisi
GPC tersusun dari 5 % urea, 20 % molases, 30 % bungkil kedelai, 5 % bungkil
sawit, polar 39 % dan mineral 1 %.
Di daerah yang memiliki lahan kering misalnya di daerah Blora,
Grobogan, Gunung Kidul, lebih cenderung memberikan pakan pada ternak yang
berkualitas rendah. Apabila musim penghujan, hijauan melimpah sehingga asupan
6
mineral, serat dan vitamin cukup untuk ternak. Lain halnya jika musim kemarau
terjadi, hijauan akan sulit ditemukan, sehingga peternak kesulitan untuk
memberikan pakan pada ternaknya. Salah satu cara peternak memanfaatkan
melimpahnya hijauan ketika musim penghujan adalah dengan pengeringan
rumput untuk menyimpannya sebagai persediaan saat tidak ditemui limbah
pertanian. Saat hijauan sulit ditemukan, maka konsentrat adalah pilihan
selanjutnya sebagai pakan. Konsentrat yang ada di pasaran terlalu mahal untuk
dibeli, sehingga sebagian peternak memanfaatkan limbah pertanian sebagai bahan
konsentrat
buatan
(Soeharsono
dkk,
2005;
Nuschati,
2008).
Upaya
mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian dilakukan dengan berbagai cara,
seperti perebusan pada dedak padi, gaplek, onggok, maupun dengan pencincangan
pada jerami jagung dan pucuk tebu. Perlakuan fisik dengan penggilingan
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil, berakibat meningkatkan bahan
terkonsumsi (Soeharsono, 2005).
C. Pengaruhnya pada reproduksi
Produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performansnya,
seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan kondisi ternak.
Reproduksi baru dapat berlangsung sesudah hewan mencapai masa pubertas dan
diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkan.
Reproduktivitas ternak yang tinggi merupakan kunci keberhasilan produksi
ternak, terutama mengenai jumlah anak yang dapat dilahirkan selama hidup
induk. Empat hal yang menjadi kendala reproduksi sapi potong, yaitu lama
7
bunting yang panjang, panjangnya interval dari lahir hingga estrus pertama,
tingkat konsepsi yang rendah dan kematian anak sampai umur sapih yang tinggi
Performa reproduksi sapi PO akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain yaitu faktor genetik (bangsa), makanan dan lingkungan (Iskandar,
2011), selain itu factor kesehatan juga berpengaruh pada produktivits (Rasyid
dkk, 2009). Pola pengelolaan yang baik pada sapi dara selama fase pertumbuhan
akan memberikan pertambahan bobot badan maksimal sehingga masa pubertas
dan dewasa tubuh akan dicapai lebih cepat. Namun, pertimbangannya bahwa sapi
dara yang akan memasuki masa reproduksi membutuhkan bobot badan dan
kondisi tubuh yang optimal. Kekurangan gizi dalam waktu yang lama akan
menyebabkan kekurusan dan diikuti tidak aktifnya fungsi ovarium, sebaliknya
akan mengalami gangguan reproduksi yaitu kegagalan kebuntingan dan kemajiran
bila bobot badan meningkat drastis. Pemberian pakan yang tidak memadai akan
berpengaruh pada conception rate yang rendah. Apabila kebutuhan pakan
tambahan tidak terpenuhi dengan baik, maka akan terjadi defisiensi mineral dan
berdampak pada reproduksi. Kegagalan reproduksi dapat disebabkan karena
kurang gizi, defisiensi mineral, teknik inseminasi dan faktor internal ternak itu
sendiri (Rasyid dkk, 2009).
Pemberian pakan yang kurang dari peternak rakyat, biasanya hanya diberi
berupa rumput lapang dan juga rumput kering di saat musim kemarau, di
mana kandungan gizi kedua bahan pakan tersebut seperti protein dan mineral
rendah, tentu kebutuhan hidup pokok sapi PO tidak terpenuhi akibatnya
proses produksi dan reproduksi terganggu, seperti pencapaian umur pubertas
menjadi lama (panjang). Rumput kering yang jelek selalu memberikan defisiensi
8
protein dan biasanya berhubungan dengan rendahnya kadar mineral di
dalam
pakan terutama P (Posfor) dan Co (cobalt). Apabila sapi mengalami
defisiensi
Co
dapat
menyebabkan menurunnya
nafsu
makan,
pubertas
terlambat dan kegagalan estrus pada sapi betina. Sedangkan defisiensi P dapat
menyebabkan pubertas terlambat pada sapi dara dan pada induk terjadinya
kegagalan estrus (Iskandar, 2011).
Sapi persilangan memiliki kebutuhan pakan yang lebih tinggi dibanding
dengan sapi lokal, misalnya Simpo (Simmental-PO). Performa reproduksi sapi
Simpo akan menurun jika cara pemeliharaannya sama dengan pemeliharaan sapi
PO. Jika nutrisi tidak terpenuhi, maka sapi crossbreed akan lebih sering
mengalami gangguan reproduksi yang diawali dengan silent heat-anestrus, karena
bobot tubuh mereka tidak optimal untuk mencapai kemampuannya dalam
berovulasi atau beraktivitas luteal. Kurangnya pakan penguat yang mengandung
banyak mineral dan energi secara garis besar dapat berdampak negatif pada
performa reproduksi baik sapi PO maupun Simpo (Rasyid dkk, 2009).
Salah satu nutrisi yag terkandung dalam pakan tambahan konsentrat
adalah karbohidrat, bentuk paling sederhana bisa berupa aldehid (disebut
polihidroksialdehid atau aldosa) atau berupa keton (disebut polihidroksiketon atau
ketosa). Rendahnya kadar glukosa dalam serum pada sapi, selain dapat
menghambat sintesis atau pelepasan gonadothropin releasing hormone (GnRH)
juga menghambat pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH), menyebabkan terhambatnya perkembangan folikel, ovum,
estrogen,dan progesteron. Glukosa adalah salah satu substrat metabolisme paling
utama yang diperlukan untuk fungsi yang sesuai dengan proses reproduktif pada
9
sapi. Rendahnya kadar serum glukosa selain dapat menyebabkantingginya
konsentrasi non esterified fatty acids (NEFA) yang mempunyai efek toksik
terhadap folikel, oosit,embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi juga berdampak pada
kematian ovum, embrio, dan fetus karena tidak cukupnya hormon steroid ovarium
III.
(Arthur, 2001).
Pembahasan
Kebutuhan pakan sapi lokal dan crossbreed misalnya PO dan Simpo tidak dapat
disamakan secara kuantitas maupun kualitas. Sapi PO cenderung lebih adaptif untuk
pakan yang ada di wilayah Indonesia, sedangkan sapi Simpo memiliki kecenderungan
pakan yang lebih banyak dan berkualitas tinggi hal itu tidak diimbangi dengan
kemampuan peternak rakyat untuk membeli pakan yang berkualitas tinggi, baik
berupa hijauan yang bagus ataupun konsentrat yang bernutrisi tinggi.
Akibat dari rendahnya konsumsi pakan hijauan menyebabkan terjadinya defisiensi
mineral, vitamin dan serat sehingga hijauan tidak dapat diserap dengan sempurna,
begitupun dengan kekurangan pakan tambahan atau penguat dapat berakibat
defisiensi protein dan mineral serta energi. Kekurangan pakan yang drastis dapat
berakibat rendahnya skor kondisi tubuh, bobot tubuh yang seharusnya cukup untuk
proses reproduksi sapi dara maupun indukan tidak cukup, dan akhirnya banyak sekali
kasus reproduksi yang sumber utamanya adalah defisiensi pakan bernutrisi. Hijauan,
leguminosa dan konsentrat sebaiknya diatur sedemikian rupa agar seimbang, sebagai
contoh yang diterapkan oleh Nuschati (2008) pemberian pakan hijauan dan
leguminosa sebanyak 10% dari bobot tubuh, dan pakan tambahan berupa konsentrat
sebanyak 1-2% dari bobot tubuh. Beberapa kasus reproduksi yang sering dihadapi
peternak jika terjadi defisiensi nutrisi berupa protein, energi, mineral dan vitamin
adalah late estrus, silent heat hingga anestrus. Kekurangan protein menyebabkan
10
timbulnya berahi yang lemah, berahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat
breeding), kematian embrio dini, absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus,
kelahiran anak yang lemah atau kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi,
defisiensi dan ketidakseimbangan mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang,
IV.
aktivitas ovarium, dan rendahnya efisiensi reproduksi (Bearden, 1980).
Kesimpulan
1. Pemberian pakan yang seimbang dari hijauan, leguminosa dan konsentrat akan
mengoptimalkan performa reproduksi sapi potong.
2. Pemberian pakan yang sesuai dengan individunya baik secara kuantitas dan
kualitas, harus menjadi perhatian penting, karena sapi PO dan Simpo memiliki
kebiasaan makan yang berbeda.
3. Defisiensi nutrisi berupa protein, karbohidrat, mineral, vitamin dan serat dapat
berakibat gangguan reproduksi seperti silent heat, anestrus, repeat breeding,
disfungsi ovarium, serta kegagalan kebuntingan.
V.
Daftar pustaka
Anonim. 2009. Pakan Konsentrat-Bagian 2: Sapi Potong. Standar Nasional Indonesia.
Badan Standardisasi Nasional.
Anonim.
2013.
Sapi
Lokal
Penuhi
85%
Kebutuhan
Daging.
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/05/090465177/Sapi-Lokal-Penuhi85-Persen-Kebutuhan-Daging. 18 September 2013.
Anonim. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 (angka sementara). Badan Pusat
Statistik.
Arthur, G.H. 2001. Veterinary Reproduction and Obstetrics. W.B. Saunders: England.
Bearden, H. J. and John W.
Fuquay. 1980. Applied Animal Reproduction
Reston Publishing Company. Inc. A. Printice Hall Company Reston,
Virginia.
Iskandar. 2011. Performa Reproduksi Sapi PO pada Dataran Rendah dan Dataran
Tinggi di Provinsi Jambi. Fakultas Peternakan Universitas Jambi: Jambi.
Nugraha, RI. 2012. Mengenal Manajemen Pakan Sistem Penggemukan Sapi
.
11
Nuschati, U. 2008. Teknologi Formulasi Ransum untuk Penggemukan Sapi pada
Wilayah Marjinal.
Rasyid, A. Krishna, NH. 2009. Produktivitas Sapi Potong Dara Hasil Persilangan F1
(PO x Limousin dan PO x Simmental) di Peternakan Rakyat. Loka
Penelitian Sapi Potong: Pasuruan, Jawa Timur.
Riyanto, J. 2009. Usaha Penggemukan Sistem Feed/of Sapi Simental Berbasis Pakan
Jerami Padi Fermentasi (Straw Fermented Block=SFB) dan Suplementasi
Konsentrat Pemacu Pertumbuhan (Growth Promoting Concentrate=GPC)
Pola Integrated Sustainabality Farming System Berwawasan Zero WasteLEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) Untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Peternak Kelompok Tani Ternak “Sambi Mulyo” Desa
Jagoan, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali. LPPM. Universitas Negeri
Surakarta (UNS) Penelitian, KNRT, Insentif Peningkatan Kapasitas IPTEK
Sistem Produksi: Surakarta.
Soeharsono. Supriadi. Hanafi, H. 2005. Pengaruh Pemberian Pakan Konsentrat yang
disusun dari Limbah Pertanian Terhadap Produktivitas Ternak Sapi Potong.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian: Yogyakarta.
12