BEBERAPA PERSPEKTIF TENTANG KEADILAN SAH

BE BE RAPA PE RSPE KTIF TE NTANG KE ADILAN SAHABAT

Ja’far

Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan E state, 20371 e-mail: farja1984@ yahoo.co.id

Abstrak: Perspectives on the Integrity of the Companions of the Prophet.

Diskusi tentang keadilan sahabat Nabi Muhammad SAW. telah banyak dilakukan oleh para sarjana Islam, namun tampaknya lebih bernuansa apologetik, normatif dan tidak kritis, sebagai akibat dari penilaian bahwa periode kehidupan sahabat sebagai periode sakral. Pandangan umum menyatakan tentang keadilan semua sahabat. Sedikit sekali uraian kritis dan komprehensif tentang kepribadian para sahabat dari perspektif mazhab-mazhab. Tulisan ini akan menguraikan konsep keadilan sahabat secara kritis, komprehensif dan seimbang. Dengan menggunakan metode komparatif, keadilan sahabat dilihat dari perspektif Sunni dan Syi‘ah. Penulis menyimpulkan bahwa para ulama tidak memiliki konsensus tentang keadilan sahabat. Ulama Sunni meyakini bahwa semua sahabat bersifat adil, sedangkan ulama Syi‘ah mengklaim bahwa hanya segelintir sahabat Nabi saja yang adil. Perbedaan pandangan ini sangat memengaruhi sikap kedua aliran tersebut terhadap status hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Abstract: Beberapa Perspektif Tentang Keadilan Sahabat.

A large number of researches on the integrity of the companions of the Prophet pbuh. has been done by Muslim scholars but at some degree seem to be apologetic, normative an uncritical as consequence of perception that the period of the companions’ lives is regarded to be sacred. The prevailing view insists on the integrity of all companions. There were only very few critical and comprehensive discussion on the integrity of the companions as far as the schools of thought are concerned. This essay attempts to critically and impartially discuss the integrity of the companions. By approaching the issue comparatively, the author analyzes the integrity of the companion from the Sunni and Syi’ahs’ perspective. The author concludes that there is no consensus amongst scholars on the integrity of the companions, by which for the Sunni scholars all of them are honest, whereas for the Syiah they constitute only a limited number. Such divergence of opinion influences the attitude of the two mainstreams towards the status of the prophetic traditions.

Kata Kunci : keadilan, sahabat, hadis, Sunni, Syi`ah

Pendahuluan

Pembahasan tentang hadis sangat terkait erat dengan pembahasan tentang sahabat Nabi Muhammad SAW., karena mereka berperan sebagai penyampai hadis Pembahasan tentang hadis sangat terkait erat dengan pembahasan tentang sahabat Nabi Muhammad SAW., karena mereka berperan sebagai penyampai hadis

Artikel ini akan mencoba untuk membahas masalah kedudukan sahabat dan keadilannya. Secara khusus makalah ini memfokuskan kajian terhadap sejumlah persoalan, yakni pengertian sahabat, cara mengetahui sahabat, ‘A dalah al-Shahabah (keadilan sahabat), pandangan Sunni dan Syi‘ah tentang keadilan sahabat dan argumentasinya, dan jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis.

Dalam uraiannya, makalah ini akan menggunakan metode deskriptif dan komparatif. Metode deskriptif yakni menguraikan pandangan para ‘ulama tentang masalah yang akan dikaji tulisan ini secara apa adanya. Sementara itu metode komparatif yakni membandingkan antara pandangan ulama Sunni dengan ulama Syi‘ah Imamiyah tentang masalah yang akan dikaji tersebut. Komparasi ini dimaksudkan agar diketahui secara luas tentang tema yang dikaji perspektif Sunni- Syi‘ah.

Pengertian Sahabat

Secara lebih spesifik, istilah ‘sahabat’ berasal dari bahasa Arab, yakni al-ashhab, al-shahabah, shahaba, yashhubu, shuhbatan, shahabatan, dan shahibûn, yang artinya teman bergaul, sahabat, teman duduk, penolong, dan pengikut.

A l-Shahib diartikan sebagai kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang melakukan dan menjaga sesuatu’. Di dalam al-Qur’an, ditemukan derivasi dari kata ini seperti tushahibni, shahibahunâ, shahibahu, shahibatahu, ashhab, dan ashhabûn. Kata ini diulang-ulang sebanyak 97 kali. Namun kata shahabah dan shuhbah tidak ada di dalam al-Qur’an al-Karim. Berdasarkan penelaahan atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kata- kata tersebut memiliki beberapa makna, baik bermakna positif maupun bermakna negatif. Kata al-shuhbah dapat diterapkan kepada hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lain, antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang berbeda keyakinan, antara dua orang yang bersama-sama melakukan perjalanan, antara A l-Shahib diartikan sebagai kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang melakukan dan menjaga sesuatu’. Di dalam al-Qur’an, ditemukan derivasi dari kata ini seperti tushahibni, shahibahunâ, shahibahu, shahibatahu, ashhab, dan ashhabûn. Kata ini diulang-ulang sebanyak 97 kali. Namun kata shahabah dan shuhbah tidak ada di dalam al-Qur’an al-Karim. Berdasarkan penelaahan atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kata- kata tersebut memiliki beberapa makna, baik bermakna positif maupun bermakna negatif. Kata al-shuhbah dapat diterapkan kepada hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lain, antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang berbeda keyakinan, antara dua orang yang bersama-sama melakukan perjalanan, antara

mereka serta kesetiaan para sahabat pada kepemimpinan Rasulullah SAW. 1 Menurut bahasa, kata ‘sahabat’ adalah musytaq (pecahan) dari kata shuhbah , artinya orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan waktu dan jumlah. 2 Kata ini digunakan untuk menyatakan kegiatan persahabatan itu, baik terjadi dalam frekuensi minimal maupun maksimal. Jadi, jika seseorang menemani seseorang selama sepanjang masa, atau satu tahun, atau satu bulan, atau satu hari, atau bahkan

satu jam, maka mereka telah dianggap saling bersahabat. 3 Konsep ini dipegang oleh mayoritas ulama sebagai sarana untuk mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara terminologi.

Secara terminologi, banyak sekali pandangan ulama tentang definisi sahabat. Mengenai batasan tentang siapa sahabat itu sampai saat ini masih diperselisihkan. Bagian ini akan menulis pandangan mayoritas ulama dan minoritas ulama tentang definisi sahabat.

Mayoritas ulama mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara umum. Misalnya, seperti dilaporkan oleh al-Syahrazurî, 4 dan ‘Ajaj al-Khatib, 5 para ahli hadis menulis bahwa “sahabat adalah setiap Muslim yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW”. Imam Bukharî menyatakan bahwa “Di antara kaum Muslimin yang pernah menyertai Nabi Muhammad SAW. atau pernah melihat beliau, maka sudah termasuk

1 Ahmad Husein Ya’qub, Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah (Qom: Ansariyan Publication, 1996), h. 9-10.

2 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, A l-Sunnah Qabl al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 387. 3 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 377. 4 Al-Imâm ‘Amr ‘Usman bin ‘Abd Rahmân al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm al-

Hadits (Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1995), h. 175. 5 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 377-379.

sahabat Nabi Muhammad SAW”. Imam Ahmad mengungkapkan bahwa “setiap orang yang pernah menyertai Nabi Muhammad SAW.. selama satu tahun atau beberapa bulan, sehari atau satu jam, bahkan sekedar pernah melihat beliau termasuk sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki status sahabat sesuai dengan kadar kesertaan yang dilakukannya, dan sebelumnya pernah bersama, mendengar dari dan memperhatikan beliau”. Sementara itu, Ibn Hazm menulis bahwa “sahabat adalah setiap orang yang pernah ber- mujalasah dengan Nabi Muhammad SAW., meski hanya sesaat, mendengar dari beliau meski hanya satu kata, menyaksikan beliau menangani suatu masalah dan tidak termasuk orang-orang munafik yang kemunafikannya berlanjut sampai populer dan meninggal dalam keadaan seperti itu”. Kemudian Abû al-Muzaffar al-Sam’ani pernah berkata bahwa “para pakar hadis menyebut istilah sahabat untuk orang yang meriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW., satu hadis atau satu kata. Lalu mereka melonggarkan pengertian itu, sehingga mereka menganggap orang yang pernah melihat sekali saja kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai sahabat. Ini tidak lain karena kemuliaan status Nabi Muhammad SAW. Mereka memberikan status sahabat kepada siapa saja yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW.”. Berdasarkan keterangan al-Wâqidî, para ahli ilmu berkata “setiap orang yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW., telah baligh, lalu masuk Islam, memahami persoalan agama, dan rela kepada beliau, maka ia dapat disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. meski hanya sesaat di siang hari”. Ibn Hajar al-Asqalânî menulis “sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. dengan ketentuan ia beriman dan hidup bersamanya baik lama atau sebentar, meriwayatkan hadis dari beliau atau tidak. Demikian pula orang yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW. walaupun sebentar, atau pernah bertemu

dengan beliau namun tidak melihat beliau karena buta.” 6 Sementara Muhammad Jamal al-Dîn al-Qasimî menulis bahwa “sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. walaupun sesaat, dalam keadaan beriman

6 Ibn Hajar Al-‘Asqalânî, Al-Ishabah fî Tamyiz al-Shahabah (Beirut: t.p., 1992), h. 6.

kepadanya, baik meriwayatkan hadis dari beliau atau tidak. 7 Demikianlah pandangan mayoritas ‘ulama Sunni tentang sahabat. Sementara segelintir ulama mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara ketat dan khusus. Misalnya, seperti dilaporkan oleh Syahrazurî 8 dan ‘Ajaj al-Khatib, 9 Anas bin Malik menyatakan bahwa melihat Nabi Muhammad SAW. belum cukup menjadikan seseorang masuk dalam kategori sahabat. Pandangannya ini berdasarkan riwayat dari Syu’bah dari Musa al-Subulanî, katanya “saya bertanya kepada Anas bin Malik, apakah masih ada sahabat Nabi Muhammad SAW. selain tuan?. Beliau menjawab “orang-orang pedalaman Arab melihat beliau, tetapi yang berstatus sahabat tidak ada lagi”. Sementara Abû Bakar al-Baqillânî menyatakan bahwa tidak disebut sahabat kecuali untuk orang yang banyak bergaul dan sering bertemu dengan orang lain. Tidak digunakan kata sahabat untuk orang yang bertemu hanya sesaat dengan orang lain atau berjalan satu langkah dengannya serta mendengar satu pembicaraan saja darinya”. Para ahli Ushûl Fiqih menulis bahwa “sahabat adalah orang yang lama bergaul bersama Nabi Muhammad SAW”. Sa’id bin al-Musayyab mengatakan bahwa “tidak dianggap sebagai seorang sahabat kecuali orang yang bertemu Nabi Muhammad SAW. selama satu atau dua tahun. Atau ia pernah berperang bersama

Nabi Muhammad SAW. dalam satu atau dua kali peperangan.” 10 Demikianlah sepintas pandangan-pandangan ‘ulama Sunni tentang definisi sahabat. Mazhab Syi‘ah Imamiyah memberikan definisi lain yang agak berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan Ahmad Husain Ya’kub bahwa sahabat adalah setiap orang yang semasa dengan Nabi yang mereka mematuhi Rasulullah SAW., melindungi, memberikan pertolongan, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepada beliau. Mereka adalah orang-orang pilihan yang turut berjasa menegakkan daulah Islam dan selalu bersabar terhadap berbagai bentuk cerca dan hinaan orang-orang kafir, hingga Allah memberikan kemenangan. Mereka selalu berpegang teguh kepada Allah, dan menampakkan kesetiaan kepada Rasulullah

7 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003), h. 108-109. 8 Al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm al-Hadits, h. 175. 9 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 379-380.

10 Imâm al-Nawâwî, A l-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir al-Nadzir (Beirut: Dâr al- Fikr, 1988), h. 125.

SAW. dan kepada orang yang ditunjuk sebagai wali (yakni ‘Alî bin Abî Thâlib) oleh beliau, hingga akhirnya mereka meninggal dalam keadaan berpegang teguh kepada

agama Allah. 11 Orang-orang yang masuk dalam definisi ini sangat sedikit, antara lain ‘Alî bin Abî Thâlib, Abû Dzar al-Ghiffarî, Salman al-Fârisî, Miqdad bin Amr, Malik al-Asytar, Maitsam al-Tammar, Kumail bin Ziyad, Said bin Jubair, al-Mukhtar al- Tsaqafî, Abû Thâlib, Ja’far bin Abî Thâlib, Hamzah, Mus’ab al-Khair, Ammar bin

Yassir, dan Habib bin Mazhahir. 12 Kesemuanya adalah sahabat-sahabat istimewa Nabi Muhammad SAW. Para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah menilai bahwa para sahabat semacam Abû Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Amr bin Ash, dan Muawiyah kurang istimewa. Mereka dinilai oleh ulama Syi‘ah Imamiyah sebagai orang-orang yang memiliki bermacam-macam watak di mana hanya Allah SWT. saja yang mengetahuinya. Bahkan di antara mereka adalah kaum munafik, meskipun mereka menampakkan keislaman mereka. Mereka akan ditempatkan oleh Allah SWT. ke neraka. Mereka tidak layak disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. Jika mereka tetap ingin disebut sebagai sahabat, mereka hanya bisa disebut

sebagai sahabat yang tidak istimewa. 13 Demikianlah pandangan Syi‘ah Imamiyah tentang sahabat. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, mendukung pernyataan Nawir Yuslem, bahwa para prinsipnya, ada dua unsur yang disepakati oleh para ahli yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa disebut sebagai sahabat. Pertama, pernah bertemu dengan Rasulullah SAW. Kedua, dalam keadaan beriman dan Islam sampai

meninggal dunia. 14 Alhasil, jika seseorang memang tidak pernah bertemu Nabi Muhammad SAW., atau pernah bertemu beliau, tetapi tidak dalam keadaan beriman, atau bertemu dalam keadaan beriman, tetapi meninggal dalam keadaan tidak beriman, maka ia tidak bisa disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.

Satu hal yang mesti dipahami pula bahwa para sahabat itu bertingkat-tingkat kedudukannya. Mengenai jumlah peringkat ( Thabaqah ) di kalangan sahabat sampai

11 Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 20, 23-24. 12 Kamal al-Sayyid, The Companions of the Prophet and Their Followers (Qom: Ansariyan

Publications, 2000). 13 Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 24.

14 Yuslem, Ulumul Hadis, h. 109-110.

saat ini memang masih diperselisihkan. Al-Hakîm mengkualifikasikan mereka menjadi 12 peringkat. 15 Kedua belas peringkat sahabat itu, seperti ditulis ‘Ajaj al- Khatib, 16 dan Subhi al-Shalih 17 adalah sebagai berikut: Pertama, mereka yang mula- mula masuk Islam seperti 10 orang sahabat yang mendapat kabar akan masuk surga, yakni para Khulafâ’ al-Rasyidîn, Sa’ad bin Abî Waqqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaid Allâh, Zubair bin Awwam, ‘Abd Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr bin al-Jarrah, plus Khadîjah dan Bilâl. Kedua, mereka yang masuk Islam sebelum musyawarah ahli Makkah di Dâr al-Nadwah. Ketiga, mereka yang berhijrah ke Habasyah. Mereka seperti ‘Utsmân bin ‘Affân, Zubair bin Awwam, Ja’far bin Abî Thâlib, Ruqayyah, istri ‘Utsman dan puteri Nabi Muhammad SAW., Sahlah binti Sahl, istri Abû Huzaifah. Keempat, mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Ulâ seperti Jabîr bin ‘Abd Allâh, ‘Uqbah bin Amîr, As’ad bin Zurarah, dan ‘Ubadah bin al- Shamit. Kelima, mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Tsaniah (mayoritas kaum Anshar) seperti al-Barra bin Ma’rur, Sa’ad bin ‘Ubadah, dan Ka’ab bin Malik. Keenam, kaum Muhajirin yang mula-mula bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. di Quba sebelum beliau memasuki Madinah. Ketujuh, ahli Badr. Kedelapan, mereka yang berhijrah di antara Badar dan al-Hudaibiyah. Kesembilan, para peserta Bai’at al- Ridwân di Hudaibiyah. Kesepuluh, mereka yang berhijrah antara Hudaibiyah dan Fath al-Makkah, seperti Khâlid bin Walîd, Ibn al-‘Ash, dan Abû Hurairah. Kesebelas, orang-orang yang masuk Islam saat Fath al-Makkah seperti Mu’awiyah bin Harb dan Hakîm bin Hizam. Kedua belas, kalangan anak-anak yang menyaksikan Nabi

15 Al-Nawâwî, A l-Taqrib wa al-Taisir, h. 127. Para ‘ulama berbeda-beda dalam menyebut tingkat-tingkat sahabat. Ibn Sa‘ad menjadikan para sahabat menjadi lima tingkat. Sementara ‘ulama

lain malah lebih banyak lagi. 16 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 380-381.

17 Subhi al-Shalih, Ulûm Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin, 1977), h. 328-330. Menurut Ibn Sa‘ad, para sahabat dibagi menjadi lima kategori yakni sahabat Muhajirin

yang ikut Perang Badar, sahabat Anshar yang ikut Perang Badar, sahabat yang lebih dulu masuk Islam, yang hijrah ke Habasyah atau mengikuti Perang Uhud tetapi tidak mengikuti Perang Badar, sahabat yang memeluk Islam sebelum penaklukan Makkah dan sahabat yang memeluk Islam sesudah penaklukan Makkah. Al-Shalih, ‘Ulûm Hadits, h. 319.

Muhammad SAW. saat Fath al-Makkah, dan Haji Wada’ seperti Hasan bin ‘Alî dan Husain bin ‘Alî, al-Sa’ib bin Yazid al-Kalabî dan ‘Abd Allâh al-Zubair. 18 Selain bertingkat-tingkat, para sahabat pun memiliki keutamaan yang tidak sama. ‘Ulama Sunni sepakat bahwa Abû Bakar dan ‘Umar bin Khattab sebagai sahabat paling utama. Setelah keduanya, baru ‘Utsmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Setelah Khulafâ’ al-Rasyidîn itu, sahabat yang memiliki keutamaan adalah sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, ahli Badar, ahli Uhud, peserta Bai’ah al- Ridwan, kaum Anshar yang mengikuti dua ‘Aqabah, al-Sabiqûn al-A wwalûn , dan

mereka yang pernah melakukan shalat menghadap dua kiblat. 19 Inilah pandangan Sunni tentang tingkatan-tingkatan sahabat Nabi Muhammad SAW. Seluruh ulama Syi‘ah Imamiyah sepakat bahwa para sahabat Nabi Muhammad SAW. memiliki keutamaan yang tidak sama. Berbeda dengan ulama Sunni, para ulama Syi‘ah Imamiyah menilai para sahabat seperti Abû Bakar, ‘Umar bin Khatab, ‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Aisyah, Thalhah, Jubair, Mu’awiyah bin Abî Sufyan, Amr bin ‘Ash, dan lainnya sebagai sahabat yang tidak memiliki sifat adil. Menurut mereka, para sahabat Nabi Muhammad SAW. yang bersifat adil adalah seperti ‘Alî bin Abî Thâlib, Abû Thâlib, Ja’far bin Abî Thâlib, Hamzah, Mus’ab al- Khair, Abû Dzar, Miqdâd, Salman al-Farisî, Ammar bin Yassir, Malik al-Asytar, Habib bin Madzahir, Maitsam al-Tammar, al-Mukhtar, Kumail bin Ziyad, Sa’id bin

Jubair, 20 dan masih banyak lagi. Inilah pandangan Syi‘ah Imamiyah tentang nama- nama sahabat Nabi Muhammad SAW. yang memiliki sifat adil. Mereka lebih utama dan adil dari pada para sahabat yang dianggap kaum Sunni sebagai sahabat-sahabat yang utama.

Cara Mengetahui Sahabat

Ada sejumlah cara mengetahui para sahabat Nabi Muhammad SAW. Umat Islam bisa mengetahui para sahabat itu melalui sejumlah cara tersebut. Berikut ini

18 Imâm al-Hakîm Abî ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Hafidz al-Naisaburî, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah bi al-Madinah al-Munawwarah, 1977), h. 22-24.

19 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 381; Al-Nawâwî, A l-Taqrib wa al-Taisir, h. 127-128. 20 Al-Sayyid, The Companions.

adalah sejumlah cara mengetahuinya, sebagaimana ditulis oleh Ibn Hajar al- Asqalanî, 21 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib 22 dan Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy: 23 Pertama, Khabar Mutawatir . Khabar Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta. Misalnya hadis yang menyatakan bahwa Abû Bakar, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Alî bin Abî Thâlib, serta sejumlah sahabat telah mendapat jaminan masuk surga secara tegas, yaitu para Khulafâ’ Rasyidîn, Sa’ad bin Abî Waqqâs, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin ‘Ubaid Allâh, Zubair bin Awwâm, ‘Abd Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr bin al-Jarrah. Jaminan masuk surga bagi sejumlah sahabat itu ditegaskan oleh khabar yang mutawatir.

Kedua, Khabar Masyhur ( Mustafidh ), khabar ini berada di bawah status Mutawatir. Khabar Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Misalnya hadis yang menyatakan bahwa seseorang itu sahabat Nabi Muhammad SAW. seperti ‘Akasyah bin Muhshan dan Dhammam bin Tsa’labah.

Ketiga, salah seorang sahabat memberikan k habar bahwa seseorang berstatus sahabat. Misalnya, Hamamah bin Abû Hamamah al-Dausî yang meninggal di Ashbahan karena sakit perut, lalu Abû Musa al-Asy’arî memberikan kesaksian bahwa ia seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.

Keempat, seseorang meng k habar kan diri sebagai sahabat setelah diakui keadilan dan kesezamanannya dengan Nabi Muhammad SAW. Asal saja k habar ini dilakukan sebelum berlalu 100 tahun (sebelum tahun 110 H) dari kewafatan Nabi Muhammad SAW., sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukharî dari Ibn ‘Umar.

Kelima, seorang dari tabi’in yang terpercaya meng k habar kan bahwa seseorang berstatus sebagai sahabat. Sedikit berbeda secara redaksi dengan metode dari Ibn Hajar al-Asqalânî, ‘Ajaj al-Khatib dan al-Shiddieqy di atas, Subhi al-Shalih 24 menyatakan bahwa para

21 Al-‘Asqalânî, A l-Ishabah, h. 8. 22 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 381. 23 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 240.

‘ulama telah membuat sejumlah ketentuan, apabila salah satu telah dipenuhi, maka seseorang sudah bisa disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW., antara lain:

Pertama, sudah diketahui secara luas kesahabatannya, seperti 10 orang sahabat yang mendapat kabar akan masuk surga, yakni para Khulafâ’ al-Rasyidîn, Sa’ad bin Abî Waqqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin ‘Ubaid Allâh, Zubair bin Awwam, ‘Abd Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr bin al-Jarrah.

Kedua, dikenal kesahabatannya, meskipun tidak begitu luas, seperti Dhimam bin Tsa’labah dan ‘Akasyah bin Muhashshin. Ketiga, pengukuhan sahabat terkenal bahwa seseorang adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Misalnya, pengukuhan Abû Musa al-Asy’arî terhadap Humamah bin Abî Humamah al-Dausî.

Keempat, pengakuan seseorang yang terkenal adil, terpercaya dan melingkupi batas waktu yang mungkin. Para ‘ulama menentukan batas waktu yang mungkin itu tidak melewati tahun 110 H. Sahabat Nabi Muhammad SAW. yang wafat paling akhir bernama Abû Thufail Amîr bin Wa’ilah al-Laitsî. Beliau wafat pada tahun 110

H. di kota Makkah. 25

Agaknya metode-metode ini diterima oleh semua ‘ulama, tidak saja ulama dari kelompok Sunni, namun pula para ‘ulama dari ‘ulama Syi‘ah Imamiyah. 26

Keadilan Sahabat (‘Adalah al-Shahabah)

Kata ‘adalat berasal dari kata al-‘adl. Secara etimologis kata ini bermakna sesuatu yang menjadikan seseorang benar atau baik, yaitu lawan dari buruk. Orang yang al-‘adl berarti orang yang diterima kesaksiannya dan menilainya secara positif.

24 Al-Shalih, ‘Ulûm Hadits, h. 326. 25 Al-Khatib merinci sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang wafat sebelum tahun

110 H ini, yakni sebagai berikut. Abû Thufail Amîr bin Wa’ilah al-Laitsiy (w. 110 H) di Makkah. al- Sa’ib bin Yazid al-Kindî (w. 91 H) di Madinah. Salamah bin al-Akwa’ al-Aslamî (w. 74 H) di Badiyah. Anas bin Malik (w. 92 H) di Basrah. ‘Abd Allâh bin Abû Aufa (w. 87 H) di Kufah. ‘Abd Allâh bin Bisyr al-Mazani (w. 88 H) di Syam. al-‘Ara bin Umairah al-Kindî (w. ? H) di Jazirah. ‘Abd Allâh bin al-Harits bin Juz’ al-Zubaidî (w. 86 H) di Mesir. Ruwaifi’ bin Tsabit al-Ansharî al-Madanî (w. 56 H) di Barqah. Harmas bin Ziyad (w. 102 H) di Yamamah. Abû Abî ‘Abd Allâh bin Amr (w. ?

H) di Palestina. Buraidah bin al-Hasib al-Aslamî (w. 63 H) di Khurasan dan Abû Barzah Nadhlah bin Ubaid al-Aslamî (w. 65 H) di Khurasan. Al-‘Ida bin Khalid bin Haudzah al-‘Amirî (w. 100 H) di Sijistan. Lihat, al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 394-396.

26 Lihat Ya’qub, Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah, h. 13.

Secara terminologis, kata al-‘adl bermakna orang yang tidak memiliki sifat yang bisa mencacatkan atau bahkan merusak keagamaan dan kepribadiannya, sehingga k habar dan kesaksiaannya bisa diterima, namun bila syarat-syarat lain yang berkaitan dengan

keduanya terpenuhi. 27 Sifat adil seorang sahabat diindikasikan oleh bahwa mereka seorang muslim, baligh, berakal, tidak syaz, teguh, setia, memiliki ingatan kuat, dhabit , tidak pernah berbuat dosa besar, dan tidak sering berbuat dosa kecil. Sebab itulah seseorang disebut sebagai sahabat yang adil.

Secara terminologis, para ‘ulama Sunni mendefinisikan adilnya seorang sahabat ialah sebagaimana yang dimaksud dalam arti keadilan sahabat itu sendiri, yakni sebagai setiap orang yang sezaman dengan Rasulullah SAW., dilahirkan pada zaman Rasulullah SAW., tidak pernah berdusta atau menipu, sehingga umat Islam

tidak diperbolehkan menyakiti mereka. 28 Pandangan para ulama Sunni ini ditolak oleh para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, sebab bagi, mereka tidak semua orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, dan bukan berarti sahabat nabi itu tidak boleh dikritik. Mereka boleh dikritik, sebab kebenaran meski diungkap. Bagi mereka, keadilan seorang sahabat dimaknai sebagai setiap orang yang semasa dengan nabi yang mereka mematuhi Rasulullah SAW., melindungi, memberikan pertolongan, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepada beliau. Mereka adalah orang-orang pilihan yang turut berjasa menegakkan daulah Islam dan selalu bersabar terhadap berbagai bentuk cercaan dan hinaan orang-orang kafir, hingga Allah SWT. memberikan kemenangan. Mereka selalu berpegang teguh kepada kepada Allah, dan menampakkan kesetiaan kepada Rasulullah SAW. dan kepada orang yang ditunjuk sebagai wali (yakni ‘Alî bin Abî Thâlib) oleh Nabi Muhammad SAW., hingga

akhirnya mereka meninggal dalam keadaan berpegang teguh kepada agama Allah. 29 Pandangan para ‘ulama tentang keadilan sahabat agaknya bisa dibagi menjadi dua pandangan. Pertama, seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, baik yang mengalami masa terjadinya fitnah atau tidak. Pandangan ini didukung oleh

27 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 233; Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 171.

28 Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 18-19. 29 Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 20, 23-24.

mayoritas ‘ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah. 30 Sementara k edua, bahwa tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, sehingga sahabat dibagi menjadi dua, sahabat yang adil atau sahabat istimewa, dan sahabat yang tidak bersifat adil atau sahabat yang memiliki watak yang bervariasi yang hanya Allah SWT. semata yang mengetahuinya. Jadi, tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil secara mutlak, dan tidak berarti mereka tidak bisa dikritik. Mereka semua bisa

dikritik. Pandangan ini dipegang oleh mayoritas ‘ulama Syi‘ah Imamiyah. 31 Sementara kaum Mu’tazilah meyakini pula pandangan Syi‘ah Imamiyah ini. Bagi kaum Mu’tazilah, orang yang turut serta dalam pembunuhan atas diri ‘Alî bin Abî

Thâlib secara sadar disebut fasik. Seluruh riwayat dan kesaksiannya ditolak. 32 Berdasarkan konsep ini, berarti kaum Mu’tazilah meyakini bahwa tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil.

Bagi kelompok Syi‘ah Imamiyah, tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. memiliki sifat adil, karena sifat adil mempunyai syarat-syarat syar’i dan sifat- sifat tertentu. Siapa saja yang memiliki syarat-syarat dan sifat tersebut, maka ia bisa disebut sebagai orang yang adil. Sebaliknya, bagi siapa yang tidak memilikinya, maka ia bukan orang yang adil. Beranjak dari sini, kelompok minoritas Islam ini membuat lima rukun sebagai timbangan dan ukuran dalam menentukan kedudukan, keistimewaan, dan keadilan seorang sahabat. Kelima rukun dimaksud sebagai berikut. Pertama, kekerabatan dan keturunan suci Nabi Muhammad SAW. Kedua, yang lebih dahulu menyatakan keimanan. Ketiga, tingkat ketakwaan. Keempat, tingkat keilmuan. Kelima, mereka yang mengakui kekhilafahan atas orang yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW. sebagai pemimpin syar’i pengganti Nabi Muhammad SAW. tanpa

disertai rasa benci dan terpaksa. 33

30 Al-‘Asqalânî, A l-Ishabah, h. 8-14; Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382. 31 Sayyid ‘Abd al-Rahîm al-Musawî, Nazhariyah ‘A dilah al-Shahabah (Qom: Markaz al-

Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 1422 H), h. 40; Ja’far al-Hadi, A l- Haqîqatu Kamâ Hiya (Qom: Markaz al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait,

2000), h. 31-32; Idem, Syi‘ah: A -Z, terj. Husein Haddad (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 35-36; Ya’qub, Nazhariyyah ‘A dalah A sh-Shahabah, 23-24.

32 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382. 33 Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 23-30.

Tiap-tiap pandangan di atas didukung oleh para ‘ulama terkemuka masing- masing madzhab tersebut, dan mereka mengabsahkan pandangannya dengan menggunakan dalil-dalil naqliyah. Masing-masing pandangan dilandasi oleh dalil-dalil keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis. Hal ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Lepas dari perdebatan antara mazhab Sunni dan Syi‘ah Imamiyah tentang keadilan sahabat, bahwa dalam konteks periwayatan hadis, harus diyakini bahwa semua sahabat itu bersifat adil. Para penyampai hadis (sahabat) itu memiliki sifat adil. Sebab para sahabat ini berfungsi sebagai penyampai, pembawa, pemindah, dan penafsir syari’at kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jika mereka dikatakan tidak adil, maka pernyataan ini bisa meruntuhkan fondasi ajaran Islam oleh sebab merekalah penyampai dan penafsir ajaran Islam dari Nabi Muhammad SAW. kepada umat Islam sampai detik ini. Sifat adil seorang sahabat, seperti telah disebut terdahulu, diindikasikan oleh bahwa mereka muslim, baligh, berakal, tidak syaz , teguh, setia, memiliki ingatan kuat, dhabit , tidak pernah berbuat dosa besar, dan tidak sering berbuat dosa kecil. Sebab itulah, seseorang disebut sebagai sahabat yang adil.

Pandangan Sunni dan Syi‘ah tentang Keadilan Sahabat dan Argumentasinya

Sebagaimana telah disinggung di atas, mayoritas ‘ulama Sunni meyakini bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, baik yang pernah mengalami masa terjadinya fitnah maupun tidak. Ibn ‘Abd al-Barr, Ibn al-Shalah, dan al-Nawâwî, seperti ditulis Subhi al-Shalih, mengemukakan kesepakatan ulama

tentang keadilan semua sahabat Nabi Muhammad SAW. 34 Ibn Hazm, seperti ditulis ‘Ajaj al-Khatib, menyatakan bahwa “kami menyatakan keutamaan kaum Muhajirin awal setelah ‘Umar bin Khatab, lalu

A hl al-Badar , lalu A hl Masyhad, lalu

A hl al-‘A qabah , lalu

A hl Hudaibiyah. Saya berani mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan kaum Anshar sampai peserta Bai’ah al-Ridwan, meski saya tidak mengetahui hati mereka, semuanya adalah mukmin yang saleh dan meninggal dalam keadaan beriman, mendapatkan petunjuk dan berada dalam kebaikan. Semuanya merupakan

34 Al-Shalih, ‘Ulûm Hadits, h. 327.

penghuni surga dan tidak seorang pun dari mereka yang masuk neraka”. Inilah pandangan mayoritas ulama Sunni.

Sementara Syarih Muslim al-Tsabut menyatakan bahwa “keadilan para sahabat adalah sesuatu yang pasti, terlebih lagi para peserta perang Badar dan peserta Bai’ah al-Ridwan. Bagaimana tidak, karena Allah SWT. memuji mereka di beberapa tempat dalam al-Qur’an, dan Rasulullah SAW. menjelaskan pula akan keutamaan mereka berkali-kali”. Al-Tsabut pun mengatakan “keadilan sahabat-sahabat yang mengikuti Bai’ah al-Ridwan dan perang Badar telah pasti. Tidak sepatutnya seorang Mukmin meragukan hal itu. Bahkan mereka yang telah memeluk Islam sebelum Fath al-Mak k ah pasti bersifat adil, baik dari kaum Muhajirin maupun kaum Anshar. Yang masih perlu diteliti adalah mereka yang masuk Islam saat

F ath al-Mak k ah , karena sebagiannya masih mu’allaf . Mereka ini memang masih menjadi objek silang pendapat di kalangan ulama. Namun kita hanya bisa mengatakan bahwa mereka

muslim yang bersifat baik”. 35

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. masuk Islam sebelum Fath al-Mak k ah , maka sahabat itu bersifat adil. Sementara jika sahabat itu masuk Islam pasca Fath al- Mak k ah , maka sahabat itu masih perlu diteliti lagi. Ia belum bisa dipastikan bersifat adil sampai ada dalil yang menunjukkan keadilan mereka. Mereka hanya bisa disebut sebagai sahabat yang baik.

Para ‘ulama yang meyakini bahwa semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil mengajukan sejumlah dalil, baik al-Qur’an maupun Hadis, sebagaimana disebutkan di bawah ini. 36 Harus dicatat bahwa inilah argumentasi mayoritas ulama Sunni tentang semua sahabat bersifat adil. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Fath: 29:     

35 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382-383. 36 Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 383-391; al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm al-

Hadits, h. 176.

A rtinya: Muhammad itu adalah utusan A llah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah k eras terhadap orang-orang k afir, tetapi berk asih sayang sesama merek a. Kamu lihat merek a ruk u' dan sujud mencari k arunia A llah dan k eridhaan-N ya, tanda-tanda merek a tampak pada muk a merek a dari bek as sujud. Demik ianlah sifat-sifat merek a dalam Taurat dan sifat-sifat merek a dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluark an tunasnya Mak a tunas itu menjadik an tanaman itu k uat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pok ok nya; tanaman itu menyenangk an hati penanam-penanamnya Karena A llah hendak menjengk elk an hati orang-orang k afir (dengan k ek uatan orang-orang muk min). A llah menjanjik an k epada orang-orang yang beriman dan mengerjak an amal yang saleh di antara merek a ampunan dan pahala yang besar.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Tawbah: 100.

A rtinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan A nshar dan orang-orang yang mengik uti merek a dengan baik , A llah ridha k epada merek a dan merek a pun ridha k epada A llah dan A llah menyediak an bagi merek a surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama- lamanya. Merek a k ek al di dalamnya. Itulah k emenangan yang besar.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Anfâl: 74.  

A rtinya: Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan A llah, dan orang-orang yang memberi tempat k ediaman dan memberi pertolongan (k epada orang-orang Muhajirin), merek a itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Merek a memperoleh ampunan dan rezk i (nik mat) yang mulia.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Hasyr: 8-10.

A rtinya: (Juga) bagi orang fak ir yang berhijrah yang diusir dari k ampung halaman dan dari harta benda merek a (k arena) mencari k arunia dari A llah dan k eridhaan-Nya dan merek a menolong A llah dan RasulNya. Merek a itulah orang-orang yang benar.[] Dan orang-orang yang telah menempati k ota Madinah dan telah beriman (A nshor) sebelum (k edatangan) merek a (Muhajirin), merek a (A nshor) 'mencintai' orang yang berhijrah k epada merek a (Muhajirin). Dan merek a (A nshor) tiada menaruh k einginan dalam hati merek a terhadap apa-apa yang diberik an k epada merek a (Muhajirin); dan merek a mengutamak an (orang-orang Muhajirin), atas diri merek a sendiri, sek alipun merek a dalam k esusahan. Dan siapa yang dipelihara dari k ek ik iran A rtinya: (Juga) bagi orang fak ir yang berhijrah yang diusir dari k ampung halaman dan dari harta benda merek a (k arena) mencari k arunia dari A llah dan k eridhaan-Nya dan merek a menolong A llah dan RasulNya. Merek a itulah orang-orang yang benar.[] Dan orang-orang yang telah menempati k ota Madinah dan telah beriman (A nshor) sebelum (k edatangan) merek a (Muhajirin), merek a (A nshor) 'mencintai' orang yang berhijrah k epada merek a (Muhajirin). Dan merek a (A nshor) tiada menaruh k einginan dalam hati merek a terhadap apa-apa yang diberik an k epada merek a (Muhajirin); dan merek a mengutamak an (orang-orang Muhajirin), atas diri merek a sendiri, sek alipun merek a dalam k esusahan. Dan siapa yang dipelihara dari k ek ik iran

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Fath: 18.

A rtinya: Sesungguhnya A llah telah ridha terhadap orang-orang muk min k etik a merek a berjanji setia k epadamu di bawah pohon, mak a A llah mengetahui apa yang ada dalam hati merek a lalu menurunk an k etenangan atas merek a dan memberi balasan k epada merek a dengan k emenangan yang dek at (wak tunya).

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Alî ‘Imrân: 110    

A rtinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirk an untuk manusia, menyuruh k epada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munk ar, dan beriman k epada A llah. Sek iranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi merek a, di antara merek a ada yang beriman, dan k ebanyak an merek a adalah orang-orang yang fasik .

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 143   

A rtinya: Dan demik ian (pula) k ami telah menjadik an k amu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar k amu menjadi sak si atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi sak si atas (perbuatan) k amu. Dan k ami tidak menetapk an k iblat yang menjadi k iblatmu (sek arang) melaink an agar k ami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengik uti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan k iblat) itu terasa amat berat, k ecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh A llah; Dan A llah tidak ak an menyia-nyiak an imanmu. Sesungguhnya

A llah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang k epada manusia.

Diriwayatkan oleh Abû Sa’id al-Khudrî bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda “janganlah kalian mencaci salah seorang di antara sahabatku, karena salah seorang di antara kalian, seandainya menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan dapat menyamai satu mud yang dinafkahkan oleh salah seorang di antara mereka dan tidak pula separuhnya”.

Diriwayatkan oleh Imam Tirmizî dan Ibn Hibban, Nabi Muhammad SAW. bersabda “bertaqwalah kalian kepada Allah dalam masalah sahabat-sahabatku. Jangan kalian menjadikan mereka sasaran kritik sesudah aku wafat. Barangsiapa mencintai mereka, maka dengan kecintaanku aku mencintai mereka. Barang siapa membenci mereka, maka dengan segenap kebencianku aku membenci mereka. Barangsiapa menyakiti mereka, maka berarti telah menyakiti aku. Barangsiapa menyakiti aku, maka berarti telah menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, maka kemungkinan besar Dia akan menyiksanya”.

Dari Abû Musa, Nabi Muhammad SAW telah bersabda “bintang-bintang adalah amanat bagi langit. Bila bintang-bintang itu sirna, maka langit akan menemui apa yang dinanjikan kepadanya. Aku adalah amanat bagi sahabat-sahabatku. Bila aku telah tiada, maka sahabat-sahabatku akan menemui apa yang dijanjikan kepada mereka. Sahabat-sahabatku adalah amanat bagi umatku. Apabila sahabat-sahabatku telah tiada, maka umatku akan menemui apa yang dijanjikan kepada mereka.”

Bukharî dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda “bahwa sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka, dan kemudian mereka menebarkan kedustaan”.

Bagi ulama yang menyatakan bahwa setiap sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil menganggap bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis di atas jelas memberikan kesaksian tentang keutamaan seluruh sahabat yang berada bersama Nabi Muhammad SAW. sejak awal dakwah Islam sampai perang Hudaibiyah. Mereka semua bersifat adil.

Sementara itu, para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil. Sebagian sahabat memang memiliki sifat adil, namun sebagian lagi bersifat tidak adil. Jadi, ada sahabat yang istimewa dan ada sahabat yang memiliki watak buruk. Pendeknya, bagi mereka, bahwa pernyataan bahwa semua sahabat itu bersifat adil adalah pendapat yang bathil. Sebagaimana dikemukakan Ahmad Husein Ya’qûb, seorang ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, ada empat hal yang menimbulkan kebatilan dari pernyataan tersebut, yaitu karena pendapat tersebut bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an yang qath’i , bertentangan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW., tidak adanya kesesuaian antara pendapat yang dimaksud dengan kenyataan yang berlaku, dan terakhir, pernyataan tersebut bertentangan dengan ruh Islam secara umum, dari aspek ke-

husnul k hatimah- an dan tujuan hidup seseorang. 37 Berikut penjelasan Syi‘ah Imamiyah secara umum tentang keempat hal itu. Pertama. Pernyataan bahwa seluruh sahabat adalah adil sangat bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an yang qath’i. Ketika pemerintahan Rasulullah SAW, wujud kemunafikan tersebar secara luas. Para munafikin menampakkan keimanan, lisannya bersyahadat dan ucapan-ucapannya serupa dengan ucapan kaum Muslim meskipun sebagai bentuk tipu daya dan hinaan mereka terhadap Islam. Hal ini seperti tergambar dalam Q.S. al-Baqarah/2: 9.

37 Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 38-60.

A rtinya: Merek a hendak menipu A llah dan orang-orang yang beriman, padahal merek a hanya menipu dirinya sendiri sedang merek a tidak sadar.

Mereka menampakkan keimanan dan berusaha keras membuat Rasulullah SAW. percaya bahwa mereka termasuk orang-orang yang beriman. Hal ini seperti telah ditegaskan Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah/2: 14.

A rtinya: Dan bila merek a berjumpa dengan orang-orang yang beriman, merek a mengatak an: "Kami telah beriman". Dan bila merek a k embali k epada syaitan-syaitan merek a, merek a mengatak an: "Sesungguhnya k ami sependirian dengan k amu, k ami hanyalah berolok -olok ."

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Tawbah: 75-77.      

A rtinya: Dan di antara merek a ada orang yang telah berik rar k epada A llah: "Sesungguhnya jik a A llah memberik an sebahagian k arunia-N ya k epada k ami, pastilah k ami ak an bersedek ah dan pastilah k ami termasuk orang-orang yang saleh.[] Mak a setelah A llah memberik an k epada merek a sebahagian dari k arunia-Nya, merek a k ik ir dengan k arunia itu, dan berpaling, dan merek a memanglah orang-orang yang selalu membelak angi (k ebenaran).[] Mak a A llah menimbulk an k emunafik an pada hati merek a sampai k epada wak tu merek a menemui A llah, Karena merek a telah memungk iri A rtinya: Dan di antara merek a ada orang yang telah berik rar k epada A llah: "Sesungguhnya jik a A llah memberik an sebahagian k arunia-N ya k epada k ami, pastilah k ami ak an bersedek ah dan pastilah k ami termasuk orang-orang yang saleh.[] Mak a setelah A llah memberik an k epada merek a sebahagian dari k arunia-Nya, merek a k ik ir dengan k arunia itu, dan berpaling, dan merek a memanglah orang-orang yang selalu membelak angi (k ebenaran).[] Mak a A llah menimbulk an k emunafik an pada hati merek a sampai k epada wak tu merek a menemui A llah, Karena merek a telah memungk iri

Ayat ini, bagi para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, menunjuk kepada kisah Tsa’labah, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. yang miskin, kemudian dido’akan oleh nabi supaya dikaruniai kekayaan. Namun setelah kaya, Tsa’labah enggan membayar zakat kepada nabi sampai nabi wafat. Ia telah ingkar terhadap Nabi Muhammad SAW. Bahkan Abû Bakar dan Umar bin Khattab tidak menerima zakat darinya.

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Sajdah: 18-20.     

A rtinya: A pak ah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik ? Merek a tidak sama. A dapun orang-orang yang beriman dan mengerjak an amal saleh, mak a bagi merek a jannah tempat k ediaman, sebagai pahala terhadap apa yang merek a k erjak an.[] Dan adapun orang-orang yang fasik (k afir) mak a tempat merek a adalah jahannam. Setiap k ali merek a hendak k eluar daripadanya, merek a dik embalik an k e dalamnya dan dik atak an k epada merek a: "Rasak anlah sik sa nerak a yang dahulu k amu mendustak annya."

Orang mukmin yang disebut ayat tersebut di atas adalah ‘Alî bin Abî Thâlib. Sementara orang yang fasik adalah Walid bin ‘Uqbah, salah seorang sahabat nabi.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Shaff: 7.          

A rtinya: Dan siapak ah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adak an dusta terhadap A llah sedang dia diajak k epada Islam?. Dan A llah tidak memberi petunjuk k epada orang-orang zalim.

Ayat ini diturunkan untuk menceritakan ‘Abd Allâh bin Abi Sarh, salah seorang sahabat Nabi. Ia telah mengada-ada dan berdusta kepada Allah. Nabi Muhammad SAW. sendiri menghalalkan darahnya meski ia sedang bergelantung pada kain penutup Ka’bah.

Kedua. Pendapat bahwa seluruh sahabat adalah adil bertentangan dengan hadis nabi Muhammad SAW. Dalam Sirah Ibn Hisyam disebutkan bahwa suatu masa sejumlah sahabat pernah berkumpul di kediaman salah seorang dari mereka. Mereka mempengaruhi orang-orang untuk menghalangi jalan Rasulullah SAW., dan beliau kemudian memerintahkan sahabat yang lain untuk membakar rumah tersebut. Dalam kitab al-Dur al-Mansur karya al-Suyuthî, beliau mengatakan bahwa Ahmad bin Hanbal, Bukharî, Tirmizî, Nasai, Ibn Jarir, dan Baihaqî men- tak hrij dalam kitab al- Dalail riwayat dari Ibn ‘Umar. Ia berkata “Rasulullah berdo’a pada hari Uhud, Ya Allah, berilah laknat kepada Abû Sufyan, yang Allah berilah laknat kepada Harts bin Hisyam, yang Allah berilah laknat kepada Shafwan bin Umayyah”. Ketiganya akrab dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ketiga. Pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan kenyataan yang ada. Alasannya, misalnya, Mu’awiyah, salah seorang sahabat Nabi, mendapatkan bai’at dari kaum Muslimin setelah melakukan pembunuhan, pengrusakan, pembakaran, dan mendapat kecaman dari para pembantu Rasulullah SAW. Ia kemudian merampas harta kaum Muslimin yang telah dikumpulkannya selama dua puluh tahun ketika ia menjadi gubernur Syam. Hal ini ia lakukan demi memperkuat kekuasaan. Mu’awiyah kemudian memberi kepada kaum Muslimin yang ia namakan ‘rezeki pembaiatan’ untuk diberikannya kepada pasukan-pasukan yang berjasa dalam pemilihan khalifah yang baru. Ini adalah salah satu contoh bahwa pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan kenyataan yang Ketiga. Pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan kenyataan yang ada. Alasannya, misalnya, Mu’awiyah, salah seorang sahabat Nabi, mendapatkan bai’at dari kaum Muslimin setelah melakukan pembunuhan, pengrusakan, pembakaran, dan mendapat kecaman dari para pembantu Rasulullah SAW. Ia kemudian merampas harta kaum Muslimin yang telah dikumpulkannya selama dua puluh tahun ketika ia menjadi gubernur Syam. Hal ini ia lakukan demi memperkuat kekuasaan. Mu’awiyah kemudian memberi kepada kaum Muslimin yang ia namakan ‘rezeki pembaiatan’ untuk diberikannya kepada pasukan-pasukan yang berjasa dalam pemilihan khalifah yang baru. Ini adalah salah satu contoh bahwa pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan kenyataan yang

Keempat. Pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Alasannya, bahwa sudah menjadi ruh ajaran Islam bahwa Allah SWT. menciptakan kematian dan kehidupan, dan tidak menciptakan bumi kecuali untuk mengetahui siapa di antara makhluknya yang paling baik amalnya. Kehidupan ini diciptakan sebagai sarana untuk menguji makhluk-Nya. Setiap apa yang ada di kehidupan ini merupakan sarana untuk menguji. Proses ujian dalam hidup ini dimulai ketika mulai diberikan beban menjalankan syari’at agama yang dibantu dengan akal dan kemampuan membedakan antara yang baik dengan yang