Manik Ciptasari1 , Saortua Marbun2

1. Pendahuluan

  peperangan, yakni perang antara dharma melawan

  ORCID ID: 0000-0003-1521-7694 http://orcid.org/0000-0003-1521-7694

  ∗ Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya, www.triatma-mapindo.ac.id Jl. Kubu Gunung Tegal Jaya Dalung Badung Bali, Indonesia 80361 Mobile: +6285103437800 E-mail: saortuam@gmail.com.

  © 2018 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

  Pasar tradisional di Bali memperkenalkan gantung-gantungan dan tamiang sebagai komoditas, di mana penjual dan pembeli melakukan pertukaran. Biasanya, mereka memesan gagantam dari penduduk desa yang memasok toko-toko seni mereka di pasar tradisional. Kondisi ini memberi peluang bagi pedagang di pasar untuk mengembangkan gagantam sebagai industri budaya secara kreatif. Meskipun keuntungan dari penjualan gagantam tidak banyak, mereka biasanya menjualnya pada malam menjelang liburan seperti Galungan, Kuningan, Tumpek Landep dan hari libur utama lainnya karena pada saat liburan ada peningkatan permintaan gagantam oleh Umat Hindu di Bali.

  Dalam dekade terakhir gantung-gantungan dan tamiang (gagantam) telah dikomodifikasikan. Halitu terjadi karena banyak kegiatan budaya masyarakat itu sendiri, dan banyak orang di Bali lebih suka membeli gagantam. Selain itu, ideologi pasar membuat orang merasa nyaman untuk membeli gagantam daripada membuatnya sendiri. Kondisi ini berkontribusi pada peluang bagi pedagang untuk mendapatkan keuntungan. Pedagang Bali dan orang-orang dari agama lain memiliki pekerjaan alternatif lain dengan menjual gagantam di pasar tradisional.

  Biasanya gagantam, dijual pada saat pesta besar seperti Hari Raya Galungan, Kuningan, dan Tumpek Landep. Kira-kira sebelum tahun 1999 orang biasanya membuat sendiri gagantam.

  [4]. Selama Hari Raya Kuningan, manusia disadarkan untuk "melepaskan, meninggalkan" dengan selalu mengontrol indra. Galungan identik dengan "gantung-gantungan" sementara Kuningan identik dengan "tamiang." Tamiang, terlihat dalam bentuk bulat, juga sering dipahami sebagai simbol dari Dewata Nawa Sanga yang adalah penguasa sembilan arah angin. Tamiang juga melambangkan rotasi roda alam atau disebut "cakraning" yang mengacu pada pemahaman lingkaran kehidupan sebagai putaran roda [1] .

  Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa yang mengendalikan indera (sepuluh musuh dalam manusia).

  untuk menjunjung Dewa Indra, manifestasi dari Ida Sang

  adharma [2] [3]. Jadi makna Hari Raya Kuningan adalah

  Jurnal Studi Kultural Volume III No. 2 Juli 2018 ww.an1mage.org Jurnal Studi Kultural (2018) Volume III No.2: 80-84 Jurnal Studi Kultural http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

  Laporan Riset

  identik dengan gagantam sebagai simbol penguat dan penolak.

  Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat. Galungan

  dengan datangnya roh jahat melalui Sang Kala (Bhuta), yang terdiri dari tiga roh jahat yaitu Bhuta Galungan,

  dharma atau kebenaran. Adharma dapat dilambangkan

  Bali adalah sebidang pulau dengan banyak tradisi dan budaya yang unik. Meskipun Pulau Bali kini mengalami perubahan waktu yang sangat pesat tetapi masyarakat di Pulau Bali yang sebagian besar beragama Hindu masih menjunjung tinggi kebiasaan dan tradisi budaya yang telah lama ada. Dalam Agama Hindu, banyak sarana kelengkapan persembahyangan digunakan dalam upacara Hindu Bali, terutama gantung-gantungan dan tamiang (gagantam). digunakan banyak selama Hari Galungan dalam suatu perayaan yang bertujuan untuk melawan dan "mengusir" bencana, terutama yang datang dari pikiran jahat. Pikiran jahat dikategorikan sebagai adharma (bertentangan dengan kebenaran, dharma) [1]. Orang harus mematikan adharma sehingga yang tumbuh adalah

  Sejarah artikel: Dikirim 14 Mei 2018 Direvisi 9 Juni 2018 Diterima 18 Juni 2018 Kata Kunci Komodifikasi Gantung-Gantungan Tamiang Hindu Bali Ideologi Pasar

  Informasi Artikel Abstrak

  2* Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya

  1 , Saortua Marbun

  Komodifikasi Gantung-Gantungan dan Tamiang di Bali Manik Ciptasari

  Gantung-gantungan dan tamiang adalah simbol dari Jurnal Studi Kultural Volume III No. 2 Juli 2018 ww.an1mage.org

  Namun, memasuki tahun 1999 orang-orang semakin sibuk bekerja dan tidak memiliki cukup waktu untuk membuat sarana sembahyang karena kebanyakan orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sehingga mereka harus menghemat waktu untuk membuat fasilitas ibadah mereka. Karena itu, orang lebih suka membeli media persembahyangan yang dijual di pasar tradisional. Pratama dan Marbun (2016) dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa orang-orang di Denpasar juga

  jual dengan “hasil lumayan”. Gantung-gantungan terbuat dari janur biasa dan dilengkapi ornamen yang dijual seharga Rp 3.000,00 - Rp 10.000,00 sedangkan yang terbuat dari janur asal Sulawesi dan berisi ornamen dijual sekitar 2.000,00 - 5.000,00 dan yang terbuat dari

  2.000.000,00 - 3.000.000,00 dengan pasokan permintaan sekitar 90-150 pasang.

  gagantam, semakin mahal harganya. Modal yang dihabiskan dalam produksi gagantam berkisar antara Rp.

  di antara mereka dengan cara kreatif membuat dekorasi hingga gagantam yang mereka pasarkan tampak lebih indah. Keuntungan penjualan gagantam meski dalam skala mikro namun cukup menjanjikan dengan margin keuntungan berkisar Rp. 5.000,00 - 30.000,00 per pasang. Gagantam biasanya dijual hingga masa liburan hari raya berakhir. Para pedagang gagantam mungkin mengalami kenaikan harga lagi satu hari sebelum hari libur sebagai akibat dari tingginya permintaan. Sentuhan seni kreatif dan derajat keindahan memengaruhi jumlah unit penjualan. Semakin artistik

  gagantam. Para penjual mengatasi persaingan yang ketat

  Selain itu, peneliti menemukan bahwa pedagang yang menjual gagantam tidak hanya beragama Hindu, tetapi orang beragama lain juga turut menjual gagantam. Hal ini membuktikan bahwa ideologi pasar [6] telah menemukan perannya dalam komersialisasi gagantam di Bali. Perbedaan agama tidak menghalangi para penjual

  Harga tamiang yang terbuat dari janur dan berisi ornamen biasanya dijual Rp. 5.000,00 - 10.000,00 sedangkan tamiang yang terbuat dari janur asal Sulawesi yang memiliki ornamen dijual dengan harga Rp. 4.000,00 - 8.000,00 dan tamiang yang dilengkapi material hiasan dijual Rp. 6.000,00 - 25.000,00.

  ental dan dengan ornamen biasanya dijual Rp 2.500,00 - 20.000,00.

  Gagantam menjadi salah satu produk yang dapat mereka

  mengkomodifikasi penjor, untuk memperoleh keuntungan, dan untuk memenuhi permintaan pasar [5].

  Bisnis ini seperti kata seorang pedagang dapat membantu ekonomi keluarga mereka; para wanita bekerja di pasar untuk mendukung suami. Bahkan para wanita yang single tetap bekerja rajin.

  Jawa. Para pedagang yang berjualan di kawasan Denpasar Selatan mengaku telah puluhan tahun menjual gagantam.

  Penelitian dilakukan di Denpasar Selatan. Peneliti bertanya kepada pedagang "Dari mana janur (daun kelapa muda) berasal?" Berapa harga gagantam? Apakah para pedagang itu beragama Hindu atau tidak? Bagaimana mereka mengatasi persaingan antar pedagang? Berapa keuntungan yang diperoleh? Berapa modal yang dihabiskan untuk bisnis ini? Berdasarkan wawancara, peneliti memahami bahwa "janur" biasanya diperoleh dari Daerah Karangasem, Buleleng, Negara, Tabanan. Selain itu, Bali juga menerima pasokan janur dari Pulau Sulawesi dan Pulau

  Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara, bertanya kepada responden yang terdiri dari penjual gagantam. Para pedagang gagantam tidak sulit ditemui menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan, tetapi akan sulit menemukan mereka jika tidak ada hari raya.

  dikomodifikasikan, dan untuk mengetahui pandangan manajemen bisnis tentang komodifikasi gagantam.

  dikomodifikasikan? Ketiga, bagaimana pandangan manajemen bisnis pada komodifikasi gagantam? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting untuk memahami pandangan Dunia Hindu tentang gagantam, untuk mencari tahu mengapa gagantam

  gagantam? Kedua, mengapa gagantam

  Tradisi dan budaya semakin terkikis karena bisnis masyarakat itu sendiri. Masyarakat mengambil cara yang lebih praktis untuk menghindari kesibukan. Selain itu, banyak orang di Bali “tidak bisa” membuat gagantam. Mereka bisa menjalankan pekerjaan dan ibadah, dengan memilih untuk membeli gagantam, di pasar tradisional. Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan, yaitu pertama, bagaimana pandangan umat Hindu tentang

2. Metode

3. Diskusi

  Gagantam yang terbuat dari janur bahan lokal dari Bali

  Galungan yang dimaknai sebagai hari kemenangan atas peperangan. Makna Gantung-Gantungan adalah sebagai simbol penguatan. Proses komodifikasi. Komodifikasi berasal dari kata komoditas, proses mengonversi barang atau ide menjadi komoditas, mengikuti aturan pasar. Di masa yang lalu untuk membuat gagantam masyarakat mengambil janur di sekitar pekarangan rumah, biasanya mereka hanya membuat gantung-gantungan dan tamiang sederhana.

  “rotasi roda alam” atau disebut “cakraning” yang memaknai hidup yang bergulir seperti roda. Hari Raya Galungan sarat dengan simbol perang.

  diri. Tamiang, dilihat dari bentuknya bulat, juga sering dipahami sebagai simbol Dewata Nawa Sanga yang menjadi penguasa Sembilan Arah Angin. Tamiang juga melambangkan

  Tamiang sering diartikan sebagai simbol perlindungan

  menggunakan simbol-simbol suci seperti canang, kwangen, dupa, dakshina, gambar atau patung suci. Sedangkan Upasana Nirguna dilakukan pemujaan tuhan tanpa simbol.

  Nirguna. Upasana Saguna adalah menyembah tuhan

  Impak Globalisasi melalui proses penyebaran elemen- elemen informasi, gaya hidup, pemikiran, dan teknologi di seluruh dunia [6] tidak terhindari ketika gagantam menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.

  Gagantam mengalami transformasi, pertama hanya

  menggunakan janur biasa tanpa hiasan, kini mengalami perubahan, menjadi artistik, menarik. Gagantam diproduksi dan dikomodifikasi menggunakan janur lokal, janur dari Sulawesi seiring dengan peningkatan permintaan pasar.

  yang berkecamuk di dalam hati adalah “perang terhebat”, yang terbesar dan paling kuat. Peperangan batin dimaknai sebagai perang yang tidak pernah berhenti dan bahkan lebih sering mengalahkan manusia. Dalam konteks perang batin, seorang pria harus membentengi dirinya dengan tamiang (perisai) yang tidak lain adalah bentuk pengendalian diri (indera). Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan sifat dan identitas diri (uning, 'tahu' atau 'sadar')

  gantungan dan tamiang. Selain itu tidak sedikit generasi muda di Bali yang tidak terampil membuat gagantam.

  Bhuwana Alit (alam mikrokosmos). Peperangan batin

  “perang batin” berlangsung di ranah

  keesokan harinya, sementara Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa (Anggara), hari berikutnya, atau sehari sebelum Galungan. Jadi Tiga Bhuta ini (simbol-simbol kejahatan) datang dalam tiga hari berturut-turut sebelum Galungan, dan itulah yang harus dilawan atau diperangi agar pada Rabu dapat merayakan kemenangan dharma (Suariloka, 2018) [7]. Kehidupan pada dasarnya dimaknai sebagai “peperangan”. Sepanjang perjalanan hidup manusia tanpa henti diperhadapkan dengan pertempuran berkelanjutan. Sejarah ras manusia, tidak terlepas sejarah perang. Bagi Masyarakat Bali, perang dalam kehidupan sesungguhnya berlangsung di Bhuwana Agung (alam makrokosmos) dan

  (Bhuta) yang terdiri dari tiga yaitu, Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan dan Bhuta Amangkurat. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) atau Wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma)

  sehingga dharma menang. Adharma dilambangkan dengan datangnya “virus jahat” melalui Sang Kala

  dharma, kebenaran). Orang harus mematikan adharma

  "mengusir" bencana, terutama bencana yang datang dari spirit atau pikiran yang jahat. Pikiran jahat dikategorikan sebagai adharma (bertentangan dengan kebenaran

  Tamiang. Hari Galungan adalah hari raya yang bertujuan

  Pandangan Hindu tentang Gantung-gantungan dan

  Ide globalisasi yang membangkitkan ideologi pasar [6] mendorong orang enggan membuat gagantam mereka sendiri. Masyarakat lebih nyaman membeli gantung-

  • – inilah maknda Hari Raya Kuningan (kauningan). Pada Hari Kuningan dilakukan pemujaan terhadap Dewa Indra, manifestasi dari Ida Sang Hyang

  Jurnal Studi Kultural Volume III No. 2 Juli 2018 ww.an1mage.org

  Jñana Kanda. Upasana Kanda berarti lebih dekat kepada

  Pada masa Kuningan, manusia disadarkan untuk "melepaskan, meninggalkan" dengan cara mengontrol indera agar lebih dekat dengan Tuhan. Menurut tulisan suci ada tiga cara yaitu Ritual Kana, Karma Kanda, dan

  Widhi Wasa sebagai penguasa - pengendali indera (sepuluh musuh dalam diri manusia) [4].

  dilengkapi ornamen dijual dengan harga Rp. 3.000,00- 10.000,00 sementara itu bila terbuat dari janur asal Sulawesi dilengkapi ornamen maka dijual dengan harga Rp. 2.000,00 -5.000,00 dan bila dilengkapi dengan asesori hiasan maka harganya berkisar Rp. 2.500,00 - 20.000,00.

  Harga tamiang juga berbeda. Bila ia terbuat dari janur lokal dari Bali bila dilengkapi ornamen maka dihargai Rp. 5.000,00 - 10.000,00 sedangkan tamiang yang terbuat dari janur asal Sulawesi disertai dengan hiasan dihargai Rp. 4.000,00 - 8.000,00 dan bila diperkaya

  Tuhan dengan melakukan ibadah atau bhakti. Ada dua macam Upasana, yaitu Upasana Saguna dan Upasana dengan ornamen hiasan maka dihargai Rp. 6.000,00 - Secara positif, komodifikasi ini membuka peluang 25.000,00. ekonomi bagi pedagang maupun bagi produsen menyediakan gagantam yang dirancang secara kreatif menjadikannya lebih menarik. Meskipun gagantam

  Variasi harga disebabkan oleh jenis, dekorasi, tingkat

  dikomodifikasi, hal itu tidak memengaruhi kesucian dan

  kerumitan produksi, ukuran, keindahan gagantam. Selain nilai kesakralan ibadah. itu harga janur sebagai bahan baku secara signifikan menentukan harga.

  Citra 3. Gantung-Gantungan, Bali Plus, 20

  Pasar gantung-gantungan dan tamiang mengadaptasi fungsi-fungsi manajemen. Hal ini membuktikan bahwa

  komodifikasi gagantam bertumbuh luas mengikuti

  ideologi pasar [6]. Bisnis ini mencapai puncaknya

  Citra 1. Tamiang, Antara News, 2018 http://bimg.antaranews.com/

  menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan dan hari raya lainnya ketika permintaan melonjak sehingga rantai pasokan hingga pedagangan eceran kebanjiran pekerjaan.

  4. Konklusi Gagantam adalah simbol alat-alat kelengkapan perang

  batin yang dimaknai oleh masyarakat setempat sebagai penolak dan sebagai alat pelindung diri kini mengalami transformasi dan komodifikasi seiring dengan kemajuan zaman.

  Gagantam masa kini memiliki nilai tanda dan nilai

  ekonomi selain nilai ibadah, sehingga ia dapat dikonsumsi dan digunakan sebagai representasi kelas.

  Citra 2. Tamiang, Kawula Wisuda, 2018 https://kawulawisuda.wordpress.com/

  Para produsen, distributor dan para penjual mengelola usaha mereka untuk melayani kebutuhan pasar yang terus

  Komodifikasi gagantam membawa impak negatif dan bertumbuh. Berkat kreatifitas menjadikan gagantam positif. Impak negatifnya adalah gagantam masa kini lebih menarik.

  telah memiliki nilai tanda selain nilai tukar sehingga ia Pasar gagantam juga membuka peluang bagi pelaku menjadi representasi dari kelas masyarakat. Stratifikasi usaha meski keyakinan mereka berbeda, dengan begitu para konsumen menjadi sangat jelas berdasarkan harga mereka dapat meraup laba dalam bisnis ini tanpa komoditas yang dikonsumsinya. mengusik keharmonisan Bali.

  Selain itu, tradisi gotong-royong, saling tolong-

  

Referensi

  menolong dalam membuat media persembahyangan, [1] Wiana, K., 2000. Arti dan fungsi sarana proses pelestarian dan pewarisan tradisi kini tergeser oleh

  persembahyangan . Pāramita.

  budaya pasar.

  Jurnal Studi Kultural Volume III No. 2 Juli 2018 ww.an1mage.org

  [2] Anonim. 2018.

  “Makna Tamiang, Endongan, Ter dan Sampian Gantung Pada Hari Raya Kuningan

  ”. Available

  at: http://wiracaritabali.blogspot.co.id/2014/12/makna-

  tamiang-endongan-ter-dan-sampian.html [Accessed 28 May 2018]. [3] Sujaya, I.M. 2018.

  “Mengapa Sarana Upakara Hari Kuningan Berupa Simbol Alat-alat Perang?

  ” balisaja.com. [online] Available at: http://www.balisaja.com/2013/04/mengapa-sarana- upakara-hari-kuningan.html [Accessed 28 May 2018].

  [4] Swardiyasa, I.P. 2012.

  “Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

  ”. [online] I putu Swardiyasa. Available at: https://iputuswardiyasa.wordpress.com/2012/08/31/mak na-hari-raya-galungan-dan-kuningan/ [Accessed 28 May 2018].

  [5] Pratama, K.H.S. and Marbun, S. 2016.

  “Komodifikasi Penjor sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu ”. An1mage Jurnal Studi Kultural, 1(2), pp.110-115.

  [6] Azhari, S.K. 2007.

  “Globalisme (Bangkitnya Ideologi Pasar) ”. Jurnal Sosioteknologi, 6(11), pp.273-275.

  [7] Suariloka, I.K. 2018.

  “Parisada Hindu Dharma Indonesia [online] Available at: ”. http://phdi.or.id/artikel/dharmayudha-galungan [Accessed 28 May 2018].

  Jurnal Studi Kultural Volume III No. 2 Juli 2018 ww.an1mage.org