Mengukur Risiko dan Atraktivitas Investasi Infrastruktur di Indonesia

Wibowo
Vol. 13 No. 3 Juli 2006

urnal
TEKNIK SIPIL

Mengukur Risiko dan Atraktivitas Investasi
Infrastruktur di Indonesia
Andreas Wibowo1)
Abstrak
Ketersediaan infrastruktur yang andal dan memadai mempunyai peranan substansial bagi pertumbuhan
ekonomi nasional. Namun demikian kebutuhan dana untuk investasi di sektor ini sangat besar yang tidak mampu
sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah sendiri. Di sinilah peran sektor swasta sangat diharapkan untuk
menutup kesenjangan finansial yang ada melalui skema kemitraan-pemerintah-swasta dalam pembangunan
infrastruktur. Bagi sektor swasta, kemitraan yang ditawarkan merupakan salah satu alternatif investasi untuk
diversifikasi aset. Dua isu kritis adalah tingkat risiko investasi dan besarnya kompensasi yang diberikan untuk
menanggung risiko. Tulisan ini secara spesifik mendiskusikan pengukuran besaran tingkat pengembalian
minimum yang diharapkan dan atraktivitas investasi infrastruktur di Indonesia dengan membandingkan
minimum pengembalian yang diharapkan dan yang diterima menggunakan Capital Asset Pricing Model.
Data yang digunakan adalah indeks harga saham bulanan periode Januari 2002-Desember 2005 dari Bursa
Efek Jakarta. Berdasarkan perhitungan, dua subsektor infrastruktur yang mempunyai tingkat risiko tertinggi

adalah telekomunikasi dan jalan tol-bandara-pelabuhan. Pengembalian minimum untuk kedua subsektor ini
masing-masing adalah 21,56% dan 20,18%. Analisis menunjukkan bahwa secara umum investasi infrastruktur
menarik bila dipandang dari perspektif ekuitas, tetapi tidak dari perspektif aset.
Kata-kata Kunci: Infrastruktur, cost of equity, cost of capital, CAPM, beta.
Abstract
The availability of reliable and adequate infrastructure has a pivotal role for the national economic growth.
However, the investment capital requirement in this sector is substantially high, which the Government alone
cannot afford. The private sector is expected to bridge the financial gap through public-private-partnership
schemes for the infrastructure development. For investors, the partnership should be one of the investment alternatives for asset diversification. Two critical issues to address are investment riskiness and compensation level
for willingness to assume risk. This paper specifically discusses the measurement of the expected minimum rate
of return and the attractiveness of infrastructural investment in Indonesia by comparison of the expected and
earned rates of return using the Capital Asset Pricing Model for analysis. Data are derived from monthly stock
indices of Jakarta Stock Exchange during the period January 2002-December 2005. Based on analysis, two sub
sectors with highest risk levels are telecommunication and tollroad-airport-harbor while the corresponding
expected minimum returns are 21.56% and 20.18%, respectively. The analysis reveals that infrastructure investment is in a general sense attractive from the equity perspective, but not from the asset one.
Keywords: Infrastructure, cost of equity, cost of capital, CAPM, beta.

1. Pendahuluan
Ketersediaan infrastruktur yang andal dan memadai
mempunyai peranan yang sangat substansial, bahkan

terkadang menentukan, bagi produktivitas dan
pembangunan ekonomi suatu negara serta kualitas
hidup masyarakat (Mody 1994). World Bank (1994)
memperkirakan bahwa 1% kenaikan investasi
infrastruktur berasosiasi dengan 1% kenaikan Produk
Domestik Bruto (PDB).

Sama halnya dengan pemerintah di negara
berkembang dan negara industri di belahan dunia
lainnya, Pemerintah Indonesia pun menyadari arti
pentingnya infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi
nasional. Pertumbuhan PDB selama kurun waktu
2004-2009 secara rata-rata ditargetkan mencapai
6,6%. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan
investasi infrastruktur senilai kurang lebih Rp. 1300
trilyun (Giriana 2005). Sementara itu kemampuan
fiskal Pemerintah dan pendanaan domestik lainnya
yang berasal dari institusi perbankan, asuransi, dana

1. Peneliti Madya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum,

Jalan Panyawungan Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung
Catatan : Usulan makalah dikirimkan pada 05 Pebruari 2006 dan dinilai oleh peer reviewer pada tanggal 16 Pebruari 2006 04 April 2004. Revisi penulisan dilakukan antara tanggal 03 Mei 2006 hingga 07 Agustus 2006.

Vol. 13 No. 3 Juli 2006 123

Mengukur Risiko dan Atraktivitas Investasi Infrastruktur di Indonesia

pensiun, dan danareksa hanya mampu menutup
masing-masing sekitar 17% dan 21% sehingga terjadi
kesenjangan lebih kurang 62% dari total kebutuhan
dana. Sektor swasta diharapkan dapat menutup
sebagian besar kesenjangan ini dalam rangka
mencapai target investasi.
Pemerintah telah berinisiatif menawarkan 91 proyek
infrastruktur di berbagai sektor senilai $22,5 milyar
melalui Infrastructure Summit I bulan Januari 2005.
Namun Summit I tidak banyak membuahkan hasil.
Beberapa tender proyek infrastruktur pun gagal
memperoleh investor. Setelah beberapa kali
mengalami pengunduran, Pemerintah berencana

menawarkan kembali proyek-proyek infrastrukturnya
melalui Infrastructure Summit II yang saat tulisan ini
dibuat direncanakan diselenggarakan bulan November
2006.
Menarik sektor swasta ke dalam sektor infrastruktur
bukanlah hal yang mudah. Investasi infrastruktur
sering diasosiasikan dengan investasi yang padat
modal (capital intensive) dengan laju pemulihan (rate
of recovery) investasi yang lambat dan berjangka
panjang. Selama masa pemulihan investor harus siap
menerima risiko dengan profil yang senantiasa
berubah mengikuti siklus hidup proyek. Risiko lain
yang harus dihadapi adalah kondisi obsolescent
bargaining yaitu bila Pemerintah termotivasi untuk
melakukan pelanggaran atas kewajiban kontraktualnya
karena menyadari bahwa investor tidak memiliki
banyak pilihan kecuali menerima tindakan Pemerintah
tersebut atau meninggalkan sama sekali asetnya
setelah proses negosiasi gagal. Hal ini terutama terjadi
bila aset infrastruktur bersifat mengendap (sunk),

misalnya aset jalan tol, sehingga akan menjadi opsi
yang terlalu mahal bagi investor untuk menarik
kembali investasinya bila hal tersebut terjadi.
Atraktif atau tidaknya sektor infrastruktur bersumber
pada sesuai atau tidaknya risiko dengan
pengembalian.
Tulisan
ini
secara
spesifik
mendiskusikan tingkat pengembalian minimum yang
diharapkan (minimum expected rates of return) dan
atraktivitas investasi infrastruktur di Indonesia
menggunakan Capital Asset Pricing Model (Sharpe,
1964). Atraktivitas diukur dengan membandingkan
tingkat pengembalian yang diharapkan dengan tingkat
pengembalian yang diterima. Data yang digunakan
adalah indeks harga saham sektoral dan perusahaan
dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode Januari 2002Desember 2005.


2. Tingkat Pengembalian Aset Berisiko
2.1 Pengertian biaya modal atau tingkat diskonto
Investor seringkali diasumsikan berperilaku sebagai
individual yang risk averse yang akan senantiasa

124 Jurnal Teknik Sipil

menuntut tingkat pengembalian yang lebih tinggi bila
risiko yang harus ditanggung meningkat. Tingkat
pengembalian minimum yang diharapkan merupakan
hurdle rate yang harus dilampaui untuk kelayakan
proyek investasi. Hurdle rate ini berperan sebagai cost
of capital yang dalam analisis discounted cash flows
(DCF) seperti net present value (NPV) digunakan
sebagai tingkat diskonto (discount rate) atau dalam
analisis internal rate of return (IRR) sebagai minimum
attractive rate of return (MARR).
Pembahasan hurdle rate atau tingkat diskonto atau
MARR ini sangat penting karena banyak kasus
menunjukkan bahwa analis bahkan dari kalangan

finansial sekalipun-kerap mengasumsikan tingkat
diskonto sama dengan tingkat suku bunga bank yang
berlaku untuk semua jenis cashflow tanpa memandang
risiko cashflow itu sendiri. Asumsi ini perlu
diluruskan karena baik profil risiko yang dihadapi
oleh investor yang menanamkan dananya di institusi
perbankan yang direfleksikan dalam lending rate
maupun risiko kredit yang dihadapi perbankan yang
dinyatakan dalam borrowing rate jelas sangat berbeda
dengan profil risiko yang dihadapi oleh investor di
sektor infrastruktur.
Penentuan tingkat diskonto bukanlah hal yang
sederhana karena terkait dengan risiko yang dihadapi
oleh investor. Metoda NPV atau IRR yang
diaplikasikan untuk penilaian kelayakan proyek
investasi infrastruktur sudah banyak didiskusikan
dalam jurnal-jurnal teknik sipil baik domestik maupun
internasional. Yang seringkali dijumpai adalah alasan
atau asumsi bagaimana menentukan tingkat diskonto
ini tidak jelas atau bahkan tidak diberikan sama sekali

(baca, misalnya, Ye dan Tiong 2002; Shen dan Wu
2005). Hal ini juga menjadi salah satu motivasi yang
melatarbelakangi tulisan ini.
2.2 Capital asset pricing model
Hubungan matematis antara tingkat pengembalian
yang diharapkan dan risiko yang diwakili oleh
koefisien beta dalam CAPM dapat dituliskan di sini:

E(~ri ) = rf + β i × [E(~rm ) − rf ]

(1)

dengan E (~ri ) = ekspektasi pengembalian atas aset atau
portofolio berisiko i; rf = suku bunga tanpa risiko
(risk-free interest rate), E(~rm )= ekspektasi pengembalian
pasar. Beta i (βi) dalam persamaan (1) didefinisikan
sebagai:

βi =


cov(~ri , ~rm )
σ 2m

(2)

dengan cov (~ri , ~rm ) = kovarian antara pengembalian aset
i dan pengembalian pasar. CAPM ini mendapatkan

Wibowo

perhatian yang luas bagi kalangan praktisi dan lahan
favorit untuk penelitian baru bagi kalangan akademisi
(misalnya, Minato dan Ashley 1998). Meski CAPM
mengandung sejumlah kelemahan (kritik terhadap
CAPM dapat dibaca, misalnya, di Brealey dan Myers
2000 atau Pollio 1999), model ini masih tetap
dianggap elegan dan sampai saat ini belum ada teori
baru yang dianggap lebih baik yang mampu menggantikan. Bahkan, model-model CAPM non-standar terus
dikembangkan untuk merelaksasi asumsi-asumsi
dalam CAPM standar.

Beta dalam CAPM merupakan ukuran risiko suatu
aset atau portofolio. Beta merefleksikan sensitivitas
pengembalian aset atau portofolio terhadap volatilitas
pasar. Semakin tinggi beta suatu aset, semakin tinggi
pula risikonya. Bila β=1, aset atau portofolio bergerak
bersama dengan pasar. Bila β>1, aset atau portofolio
lebih reaktif dibandingkan pasar. Sebaliknya bila β

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24