Pinggir sebagai Hal Tidak Penting Arsite (1)
‘Pinggir’ sebagai Hal Tidak Penting dalam Desain: Ulasan Kritis
Arsitektur Dekonstruksi dan Refleksi atas The Parergon Derrida
Pengantar
P.S: Saya tidak hendak mengkaji teori arsitektur dekonstruksi di tulisan ini, karena itu
cukup memusingkan dan problematis. Jika ingin mendalami hal tersebut, telah ada
seorang mahasiswa Arsitektur UI yang mendeskripsikan arsitektur dekonstruksi dan
konstruktivisme secara lebih mendetail sebelum saya. Silahkan buka di sini:
https://robinhartanto.wordpress.com/...
Justru saya ingin membahas salah satu turunan teori dekonstruksi Derrida (yang
sejujurnya Derrida pun tidak ingin menamainya demikian, dekonstruksi , tapi ya sudah
terlanjur terkenalnya begitu), yaitu teori The Parergon , atau terjemahannya; tepi
karya . Apakah itu tepi karya dan kenapa ia menjadi penting dibahas meskipun tidak
diperlukan , mungkin bisa sedikit direnungi dari sini. Buat yang malas membaca, bisa
langsung baca cepat cukup terutama pada bagian catatan kakinya saja.
Abstrak
Arsitektur Dekonstruksi menjadi salah satu ihwal terminologi yang masih diperdebatkan
eksistensinya atau setidaknya kebenarannya di dalam diskursus tekstual maupun
empiris. Esai singkat saya yang didasarkan oleh sebatas pemahaman umum mengenai
filsafat dekonstruksi ini menggali pemahaman secara khusus terhadap Parergon, salah
satu dari konsep yang ditawarkan oleh Jacques Derrida untuk membongkar relasi-relasi
yang terjadi dalam mencerap dan mengalami karya seni, termasuk juga arsitektur.
Membaca bingkai dalam arsitektur dan arsitektur sebagai bingkai erat kaitannya
dengan membaca konteks di saat menilai estetika (theory of aesthetic judgement) karya
arsitektur. Konsep bingkai di tulisan ini juga dieksplorasi untuk membaca fenomena
arsitektur secara umum di Indonesia.
A. Pendahuluan: Apakah Ada Arsitektur Dekonstruksi? (Tidak Penting)
Kekeliruan umum yang biasa terjadi di pikiran masyarakat bahkan di kalangan
akademisi sekalipun juga masih terjadi ialah menganggap bahwa istilah dekonstruksi
secara praktis mengarah kepada suatu gaya desain. Kenyatan menarik bahwa istilah ini
di bidangnya sendiri (filsafat dan bahasa) mengalami perdebatan yang tidak kunjung
selesai (dan memang dimaksudkan demikian). Telah banyak studi yang menjelaskan
detail mengenai teori dekonstruksi di bidang ilmu cultural studies lainnya, jadi dalam hal
ini saya tidak perlu menganalisis ulang pilar-pilar dasar dari teori dekonstruksi tersebut.
Membicarakan dekonstruksi berarti patut juga membaca kuat-kuat pustaka
tulisan karangan Jacques Derrida, Bapak Dekonstruksi , seperti mmisalnya buku Of
Grammatology (atau de la Grammatologie dalam bahasa Perancis) yang membahas
konsep-konsep utama [1] filsafatnya. Kompleksitas atas konsepnya yang luas itu
membuat saya lebih ingin memfokuskan pada salah satu tulisan spesifiknya yang
mungkin terhitung masih sedikit terbahaskan, yaitu teori The Parergon yang dikaji dari
keluaran buletin Octopus tahun 1979 dan dalam buku The Truth in Painting (berjudul asli
Le Verite en Peinture) tahun 1986 dengan judul artikel yang sama dengan yang di
Octopus (isi mengalami pengembangan konten yang berbeda).
Namun, untuk menyelaraskan ide filsafat dekonstruksi itu dengan konteks
arsitektur, maka pertanyaan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu ialah: di
dunia ini, baik teoretis maupun praktis, apakah arsitektur dekonstruksi itu ada/eksis?
Merefleksikan teori arsitektur dekonstruksi terhadap sejarahnya sendiri, pada
tahun 1988 di bulan Maret untuk pertama kalinya The Museum of Modern Art di New
York mengeluarkan sebuah fact sheet untuk meriliskan sebuah pameran (exhibition)
bernama DECONSTRUCTIVIST ARCHITECTURE yang diadakan pada 23 Juni-30
Agustus 1988. Sebuah brief singkat yang dicetak memuat tentang konten yang akan
ditampilkan pada pameran. Salah satu kutipannya ialah kalimat berikut ini:
The architects recognize the imperfectbility of the modern world and seek to
address, in Johnson s [Philip Johnson maksudnya, pen.] words, the pleasure of
unease . Obsessed with diagonals, arcs, and warped planes, they intentionally
violate the cubes and right angles of modernism. [2]
Para tokoh arsitek yang diundang antara lain Peter Eisenman, Frank Gehry, Zaha
M. Hadid, Rem Kolhaas, Daniel Libeskind dan Bernard Tschumi. Yang lebih menarik
perhatian saya ialah pada kalimat berikutnya, yang menjelaskan bahwa karya arsitektur
dekonstruktivis yang dimaksud mengakar kepada teori konstruktivisme Rusia dan tidak
disebutkan mengenai Dekonstruksi model Derrida, yang juga masih di dalam satu spirit
zaman yang sama. Beberapa karya mereka secara tidak langsung memang mirip pola
konstruktivisme Rusia (Uni Soviet) di abad ke-20 meski dengan ide tujuan yang berbeda.
Their projects continue the experimentation with structure initiated by the Russian
Constructivists, but the goal of perfection of the 1920s is subverted. The traditional
virtues of harmony, unity, and clarity are displaced by disharmony, fracturing, and
mystery. [3]
Gambar 1. Parc de la Villette karya Bernard Tschumi yang dipamerkan pada "Architecture
Deconstructivist" di MoMA tahun 1988 (dari berbagai sumber)
Dekonstruksi dalam pandangan pameran tersebut bukan yang terlahir dari filsafat
Derrida atau Derridean, melainkan perpanjangan ide dari konstruktivisme Rusia. Hal itu
juga dengan mudah tercerminkan jika kita melihat karya-karya Zaha Hadid di era yang
sama, di mana penggunaan de- pada dekonstruksi lebih kepada abtraksi yang tidak
banyak memiliki tujuan kepada tata kebahasaan seperti apa yang dibawa oleh Jacques
Derrida. Hal ini menjadi dilematis disebabkan Derrida juga pernah terlibat proyek
bersama beberapa arsitek di pameran yang sama. Keduanya, baik konstruktivisme Uni
Soviet maupun dekonstruksi Derridean biar bagaimanapun tetap bersumbangsih besar
dalam diskursus arsitektural yang berlangsung.
B. Bingkai sebagai Elemen Parergon yang Tidak Diperlukan
Bagi generasi pemikir seperti Derrida, mendefinisikan karya seni sebagai seni
berarti mendefinisikannya dengan melibatkan konteks. Karya seni menurut Derridean
dapat dilihat sebagai prakondisi sosial dan politik yang tertuang. Dengan teori parergon
sendiri, setiap karya seni buatan manusia dapat mengkontekstualisasikan apa yang
dibingkai bersamanya (a framework that contextualizes what is being framed). Kata
Parergon , menurut Kant di jauh hari diistilahkan beranjak dari adanya ruang tengah
(Mittelglied) antara dualitas teoretis-praktis, konstitutif-regulatif, atau juga antara
understanding dan reason [4], yaitu pencarian atas kesenangan (pleasure) terhadap
karya seni yang meniadakan desire atau interest subyektif terhadap obyek. Pencarian
ini disebut dengan istilah pendapat atau pandangan (judgment, urteil).
Pertanyaan utama yang muncul di dalam benak kita saat memandang karya seni
ialah bagaimana kita dapat menilai karya sehingga karya itu dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang indah. Pada nyatanya, memang sulit untuk membuat satu konsepsi dan
aturan baku yang disetujui oleh umum untuk mengukur sebuah keindahan. Derrida
menawarkan cara untuk menilai aspek formal pada saat mencerap karya seni tersebut,
di samping hanya terfokus pada elemen yang mengkonstitusikan keindahan menurut si
pembuat karya. Ini yang disebut sebagai tahapan kritik obyek ketiga lanjutan dari
tradisi pemikiran Kantian.
Pandangan subyektif pada saat menilai karya seni juga sebetulnya tidak burukburuk amat, dikarenakan bidang estetika lahir ketika karya sebagai representasi
mengacu pada hal-hal terkait subyek, sedangkan pandangan yang logis dalam menilai
seni akan membuat seni menjadi sangat obyektif. Pandangan subyektif yang berupa
taste atau interest personal tidak masuk dalam kerangka pengetahuan logis
(knowledge), sehingga sifat subyektif ini disebut aisthesis dalam bahasa Yunani, atau
estetika, yaitu relasi yang membuat pengaruh pada diri saat melihat karya.
Estetika yang melibatkan faktor konteks meluaskan cara pandang kita terhadap
karya demi mengalami keseluruhan karya seni (aesthetic experience). Salah satu
caranya dengan membongkar bentuk jurang yang merelasikan antara dualitas, antara
karya dan realita, yang kemudian disebut sebagai parergon. Tepi ini sama seperti
impresi kita terhadap karya seni yang konteks subyektifnya kental berlaku, dan
kehadiran si tepi juga memiliki signifikasinya sendiri. Ia masuk dan terhitung ke dalam
konteks satu karya yang utuh [5], setidaknya menurut Derrida. Menurut saya, dengan
mempelajari parerga atau parergon ini, yang perlu ditekankan ialah bagaimana
sebetulnya tepi karya juga memiliki peran atau pengaruh saat mencerap karya itu.
Gambar 2. Ilustrasi para (tepi) yang banyak mencuat dan ditemukan dalam buku "The Truth of
Painting" Derrida. Maksudnya si Derrida mau ngejelasin, "Ini lho, gue pake' garis pinggir ini
buat nunjukkin Parergon di tulisan gue" (sumber: The Parergon , 1979)
Konsep lain yang menekankan hal serupa ialah dualitas antara yang pusat dan
yang marginal serta pembalikan hierarki. Dalam menjabarkan teori parergon secara
istilah [6], Derrida identik dengan dua konsep ini. Sesuatu yang marginal dengan sudut
pandang berbeda bisa menjadi penentu suatu karya untuk dinilai sebagai hal yang
indah. Hal ini bisa dilakukan jika dan hanya jika tanda pada proses penggunaannya
terus bersifat berulang di konteks beragam hingga mencapai strukturnya sendiri.
Derrida juga menyebutkan profesi seorang arsitek sebagai sebuah metafora yang
menunjukkan fokus bidangnya terhadap elemen struktural dan fondasional di dalam
berargumentasi mengenai estetika, khususnya dalam membangun.
Gambar 3. Bingkai atau tepi karya yang dijadikan ekstensi dan menjelma sebagai sebuah
kanvas karya tersendiri (kiri-tengah), dan seorang wanita dengan baju gorden (kanan).
(sumber: The Parergon , 1979)
C. Diskusi dan Penutup
Untuk mencari contoh kasus parergon [8] pada karya arsitektur, perlu digaris
bawahi bahwa: jika Derrida menganalogikan kolom-kolom yang diisi dengan ornamen
(Gambar judul tulisan ini) sebagai bentuk parergon dari bangunan pada bukunya,
bukankah berarti parergon juga merupakan pondasi penentu keberdirian bangunan?
Atau mana yang sebenarnya lebih mendekati kebenaran: parergon dianalogikan
menjadi kolom sebagai pondasi struktural atau parergon hanya sebagai tampak
tambahan semata? Perdebatan akan Parergon secara formal ini, terutama soal bingkai
karya seni dan arsitektur menjadi fokus saya mendapatkan kesimpulan [9].
Secara singkat, fenomena orang umum menilai dan mengkategorikan karya
arsitektur ke dalam jenis arsitektur dekonstruksi (yang kenyataannya sang arsitek tidak
pernah menyatakan demikian, seperti contoh lihat Gambar 4) turut berhubungan dengan
persoalan bagaimana masyarakat mencerap pengalaman akan keindahan karya seni
(arsitektur), seperti yang dijabarkan oleh kritik obyek ketiga Derrida di paragrafparagraf sebelumnya. Bagaimana sebuah judgment itu muncul sehingga karya
digolongkan sebagai karya dekonstruktif?
Bisa dibilang, persepsi masyarakat yang mudah menilai estetika dan
mengkategorisasikan menjadi arsitektur dekonstruksi seperti itu masih berada di tataran
keterlibatan fasad dan fisik arsitektur yang identik disebut dengan pengrusakan
kestabilan tampilan bangunan di luar aspek formalnya. Memang tidak benar demikian
bahwa bangunan yang dimaksud itu ialah karya arsitektur dekonstruksi; tetapi bisa jadi
tidak salah juga. Pertanyaan yang lebih penting ialah, perlukah suatu teori dekonstruksi
memiliki sebutan gaya yang berarti bersifat terbingkai , sedangkan dengan melakukan
penetapan yang bersifat fixed malah menjadi kontradiksi bagi prinsip-bebas-prinsip
dekonstruksi?
Konsep bingkai dalam parergon sangat berkaitan dengan teori dekonstruksi
secara keseluruhan, dengan cara membongkar tradisi lama yang hanya terfokus pada
sentralitas dan kebakuan struktur dalam melihat dunia. Bingkai yang menjadi tabir
antara karya dan realitas semestinya bukan menjadi batas , karena dengan
penekanannya pada tulisannya, Derrida justru hendak mengangkat dan meluaskan
makna karya melebihi batas-batas oleh bingkai itu, semenjak tidak ada bingkai yang
bersifat alamiah, dan yang tersisa hanyalah pembingkaian (framing) yang
dialamiahkan (naturalization), seperti menentukan manakah yang merupakan
arsitektur dekonstruksi dan mana yang bukan.
Penulisan esai yang belum selesai menuju kepada tujuan dan simpulan ini,
seperti halnya di dalam menyatakan konsep arsitektur dekonstruksi dan teorinya itu
sendiri masih memerlukan banyak analisis yang harus digali lebih dalam, memerlukan
kontemplasi mendasar serta referensi komprehensif. ***
Gambar 4. Rumah arsitek Sardjono Sani yang sebagian orang mendeskripsikannya dengan
kata 'dekonstruksi' (sumber: Arsitektur Indonesia, IAI (18), Oct-Des 1995; halaman 13)
D. Daftar Pustaka
Derrida, J., 1979, The Parergon , transl. C. Owens, dalam October (9) pp. 3-41, The MIT
Press, JSTOR, dilihat dari http://www.jstor.org/stable/778319
Derrida, J., 1987, The Parergon , dalam The truth in painting, trans. The University of
Chicago Press, London.
E. Catatan Kaki (yang mungkin penting)
[1] Konsep terpenting dari teori Dekonstruksi antara lain konsep destruktion atau abbau
( penghancuran ) yang digunakan oleh Martin Heidegger di generasi filsuf sebelumnya.
Derrida turut menelurkan istilah baru yang menarik yaitu differánce dalam kaidah
kebahasaan dekonstruktif.
[2] Teks ini dikutip langsung dari hasil scan lembaran Fact Sheet No. 29, For Immidiate
Release, Maret 1988 oleh The Museum of Modern Art, 11 West 53 Street, New York.
Pameran dipublikasikan secara utama oleh Philip Johnson dan ditulis naskahnya oleh
Mark
Wigley.
(Diakses
pada
24
Mei
2016
melalui
https://www.moma.org/docs/MOMA_1988_0029_29.pdf)
[3] Ibid.
[4] Parergon sebagai kata disebutkan di dalam Critique dan Religion dan konsep
metafisika Kantian. Derrida mengajukannya kembali dalam lingkup obyek ketiga dari
critique of pure theoretical reason. Derrida turut mengutip Kant yang menjabarkan
tentang parergon (meskipun di beda zaman), yaitu, It is a parergon, composite of inside
& outside, but a composite which is not an amalgam or half-a-half, an outside which is
called inside the inside to constitue it as inside. (Derrida, J., The Parergon , 1979)
[5] Jika dikaji menurut definisi etimologinya, kata -ergon (kerja, karya) juga berkaitan erat
dengan kata energy dalam bahasa Inggris, yaitu usaha atau sikap aktif untuk bekerja
atau berkarya (work), sedangkan kata –para merujuk pada sesuatu yang bersisian
dengan karya, seperti yang dijelaskan pada paragraf 3 definisi kata Energetic pada
kamus Origins: Gr [Greek] ergon, work, occurs also in: par ergon, a by-work: adopted,
via L, from Gr: para, beside+ergon; adj, parergal. (Lihat Partridge, E., Origins: An
Etymological Dictionary of Modern English, Routledge, 1966)
[6] Derrida memaksudkan parergon secara istilah sebagai suatu kontingensi sekunder
yang tidak dianggap dan dikesampingkan (belum tentu tidak penting). Jika dipadankan
dengan kata lain, parergon juga bisa dimaknai sebagai sebuah sifat pengecualian
(exceptional), yang asing (peculiar), dan di luar kebiasaan (extraordinary) pada
karya seni manusia atau pada skup bidang yang lebih luas. Meskipun terpinggirkan,
parergon selalu eksis berdampingan dengan ergon sebab ia berperan sebagai bingkai
yang memperantarai dua permukaan atau dunia . Dalam esainya yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Derrida menjabarkannya dengan kalimat A
parergon is against, beside, above, beyond the ergon, but it is connected to and cooperates in its operation from the outside . (Derrida, J., The Parergon , 1979)
[8] Tidak semua teori filsafat memiliki permisalan yang benar-benar riil, konkret dan
empiris untuk menjelaskannya. Namun, untuk mudahnya saya gali dari kata yang
Derrida gunakan dalam bahasa Perancis, yaitu hors d euvre, atau accesoris, foreign,
secondary object, supplement, aside, remainder. Derrida bahkan masih
mempertanyakan bagaimana suatu posisi dikatakan sebagai bagian dari parergon,
terutama dalam karya seni. Relasi antara ergon dan parergon ia tuturkan seperti relasi
antara lukisan dan bingkai, bangunan dengan kolom yang meliputinya, atau badan
orang dengan kain penutup atau drapery (lihat Gambar 3 kanan).
[9] Ada sebuah alasan tertentu saya tuangkan materi penting di dalam catatan kaki
dalam esai ini. Dengan terinspirasi oleh seorang pengajar DKV Universitas Kristen Petra
yang menaruh inti tulisannya yang bertema Dekonstruksi pada catatan kaki ( footnote)
akhir dengan dalih membuat yang tepi menjadi vital , seolah-olah tulisannya sendiri
bermajaskan mendukung nafas atau semangat dekonstruksi. Hal ini masih dapat
diperdebatkan sejauh mana pemahaman penulis artikel jurnal tersebut mengartikan
parergon dengan arti harfiah tepi karya, dengan menimbang bahwa karya tulis yang
dicontohkan Jacques Derrida juga menaruh banyak motif bingkai (lihat Gambar 2) di
sisi acak paragraf-paragrafnya yang sekilas tidak terdapat intensi fungsional terhadap
struktur penulisan. Menurut saya, footnote sendiri kemungkinan masih tergolong ke
dalam isi tulisan, sedangkan bingkai yang dimaksud ialah tepian yang memisahkan
antara kata-kata di dalam margin teks dengan dunia luar (external world). Di lain sisi,
kenyataannya footnote memang hadir lebih sebagai pelengkap referensial pada struktur
tulisan, dalam sifatnya yang kritis, tetapi ironisnya juga sangat akademik (kalangan lain
seperti penulis bertopeng Marxis umumnya juga senang memperbanyak bagian ini).
Dari model eksperimen seperti ini, setidaknya dapat dijadikan representasi lain untuk
menghadirkan pengaruh besar ruang tepi terhadap ruang lingkup isi. Sebuah tepi
dapat menjadi isi, seperti pada daftar definisi di footnote nomor-nomor sebelumnya,
tetapi menurut Derrida, tepi tetap tidak dijadikan sebagai landasan (ground). Secara
koheren, hal ini juga menjadi refleksi bagi saya atas diskursus teori merancang arsitektur
di Indonesia saat ini yang begitu terbungkam dan sekunder, salah satunya disebabkan
oleh tekanan di bawah arus atas kapitalisme praktis. Hal ini sederhananya bisa terbaca
dari tindakan peminggiran kolom argumentasi maupun referensi dalam berarsitektur,
seperti halnya footnote yang tidak semua pegiat arsitektur hendak antusias
membacanya. (Lihat Freddy H. Istanto, Dekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual:
Sebuah Penjelajahan Kemungkinan , dalam NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 –
71)
Arsitektur Dekonstruksi dan Refleksi atas The Parergon Derrida
Pengantar
P.S: Saya tidak hendak mengkaji teori arsitektur dekonstruksi di tulisan ini, karena itu
cukup memusingkan dan problematis. Jika ingin mendalami hal tersebut, telah ada
seorang mahasiswa Arsitektur UI yang mendeskripsikan arsitektur dekonstruksi dan
konstruktivisme secara lebih mendetail sebelum saya. Silahkan buka di sini:
https://robinhartanto.wordpress.com/...
Justru saya ingin membahas salah satu turunan teori dekonstruksi Derrida (yang
sejujurnya Derrida pun tidak ingin menamainya demikian, dekonstruksi , tapi ya sudah
terlanjur terkenalnya begitu), yaitu teori The Parergon , atau terjemahannya; tepi
karya . Apakah itu tepi karya dan kenapa ia menjadi penting dibahas meskipun tidak
diperlukan , mungkin bisa sedikit direnungi dari sini. Buat yang malas membaca, bisa
langsung baca cepat cukup terutama pada bagian catatan kakinya saja.
Abstrak
Arsitektur Dekonstruksi menjadi salah satu ihwal terminologi yang masih diperdebatkan
eksistensinya atau setidaknya kebenarannya di dalam diskursus tekstual maupun
empiris. Esai singkat saya yang didasarkan oleh sebatas pemahaman umum mengenai
filsafat dekonstruksi ini menggali pemahaman secara khusus terhadap Parergon, salah
satu dari konsep yang ditawarkan oleh Jacques Derrida untuk membongkar relasi-relasi
yang terjadi dalam mencerap dan mengalami karya seni, termasuk juga arsitektur.
Membaca bingkai dalam arsitektur dan arsitektur sebagai bingkai erat kaitannya
dengan membaca konteks di saat menilai estetika (theory of aesthetic judgement) karya
arsitektur. Konsep bingkai di tulisan ini juga dieksplorasi untuk membaca fenomena
arsitektur secara umum di Indonesia.
A. Pendahuluan: Apakah Ada Arsitektur Dekonstruksi? (Tidak Penting)
Kekeliruan umum yang biasa terjadi di pikiran masyarakat bahkan di kalangan
akademisi sekalipun juga masih terjadi ialah menganggap bahwa istilah dekonstruksi
secara praktis mengarah kepada suatu gaya desain. Kenyatan menarik bahwa istilah ini
di bidangnya sendiri (filsafat dan bahasa) mengalami perdebatan yang tidak kunjung
selesai (dan memang dimaksudkan demikian). Telah banyak studi yang menjelaskan
detail mengenai teori dekonstruksi di bidang ilmu cultural studies lainnya, jadi dalam hal
ini saya tidak perlu menganalisis ulang pilar-pilar dasar dari teori dekonstruksi tersebut.
Membicarakan dekonstruksi berarti patut juga membaca kuat-kuat pustaka
tulisan karangan Jacques Derrida, Bapak Dekonstruksi , seperti mmisalnya buku Of
Grammatology (atau de la Grammatologie dalam bahasa Perancis) yang membahas
konsep-konsep utama [1] filsafatnya. Kompleksitas atas konsepnya yang luas itu
membuat saya lebih ingin memfokuskan pada salah satu tulisan spesifiknya yang
mungkin terhitung masih sedikit terbahaskan, yaitu teori The Parergon yang dikaji dari
keluaran buletin Octopus tahun 1979 dan dalam buku The Truth in Painting (berjudul asli
Le Verite en Peinture) tahun 1986 dengan judul artikel yang sama dengan yang di
Octopus (isi mengalami pengembangan konten yang berbeda).
Namun, untuk menyelaraskan ide filsafat dekonstruksi itu dengan konteks
arsitektur, maka pertanyaan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu ialah: di
dunia ini, baik teoretis maupun praktis, apakah arsitektur dekonstruksi itu ada/eksis?
Merefleksikan teori arsitektur dekonstruksi terhadap sejarahnya sendiri, pada
tahun 1988 di bulan Maret untuk pertama kalinya The Museum of Modern Art di New
York mengeluarkan sebuah fact sheet untuk meriliskan sebuah pameran (exhibition)
bernama DECONSTRUCTIVIST ARCHITECTURE yang diadakan pada 23 Juni-30
Agustus 1988. Sebuah brief singkat yang dicetak memuat tentang konten yang akan
ditampilkan pada pameran. Salah satu kutipannya ialah kalimat berikut ini:
The architects recognize the imperfectbility of the modern world and seek to
address, in Johnson s [Philip Johnson maksudnya, pen.] words, the pleasure of
unease . Obsessed with diagonals, arcs, and warped planes, they intentionally
violate the cubes and right angles of modernism. [2]
Para tokoh arsitek yang diundang antara lain Peter Eisenman, Frank Gehry, Zaha
M. Hadid, Rem Kolhaas, Daniel Libeskind dan Bernard Tschumi. Yang lebih menarik
perhatian saya ialah pada kalimat berikutnya, yang menjelaskan bahwa karya arsitektur
dekonstruktivis yang dimaksud mengakar kepada teori konstruktivisme Rusia dan tidak
disebutkan mengenai Dekonstruksi model Derrida, yang juga masih di dalam satu spirit
zaman yang sama. Beberapa karya mereka secara tidak langsung memang mirip pola
konstruktivisme Rusia (Uni Soviet) di abad ke-20 meski dengan ide tujuan yang berbeda.
Their projects continue the experimentation with structure initiated by the Russian
Constructivists, but the goal of perfection of the 1920s is subverted. The traditional
virtues of harmony, unity, and clarity are displaced by disharmony, fracturing, and
mystery. [3]
Gambar 1. Parc de la Villette karya Bernard Tschumi yang dipamerkan pada "Architecture
Deconstructivist" di MoMA tahun 1988 (dari berbagai sumber)
Dekonstruksi dalam pandangan pameran tersebut bukan yang terlahir dari filsafat
Derrida atau Derridean, melainkan perpanjangan ide dari konstruktivisme Rusia. Hal itu
juga dengan mudah tercerminkan jika kita melihat karya-karya Zaha Hadid di era yang
sama, di mana penggunaan de- pada dekonstruksi lebih kepada abtraksi yang tidak
banyak memiliki tujuan kepada tata kebahasaan seperti apa yang dibawa oleh Jacques
Derrida. Hal ini menjadi dilematis disebabkan Derrida juga pernah terlibat proyek
bersama beberapa arsitek di pameran yang sama. Keduanya, baik konstruktivisme Uni
Soviet maupun dekonstruksi Derridean biar bagaimanapun tetap bersumbangsih besar
dalam diskursus arsitektural yang berlangsung.
B. Bingkai sebagai Elemen Parergon yang Tidak Diperlukan
Bagi generasi pemikir seperti Derrida, mendefinisikan karya seni sebagai seni
berarti mendefinisikannya dengan melibatkan konteks. Karya seni menurut Derridean
dapat dilihat sebagai prakondisi sosial dan politik yang tertuang. Dengan teori parergon
sendiri, setiap karya seni buatan manusia dapat mengkontekstualisasikan apa yang
dibingkai bersamanya (a framework that contextualizes what is being framed). Kata
Parergon , menurut Kant di jauh hari diistilahkan beranjak dari adanya ruang tengah
(Mittelglied) antara dualitas teoretis-praktis, konstitutif-regulatif, atau juga antara
understanding dan reason [4], yaitu pencarian atas kesenangan (pleasure) terhadap
karya seni yang meniadakan desire atau interest subyektif terhadap obyek. Pencarian
ini disebut dengan istilah pendapat atau pandangan (judgment, urteil).
Pertanyaan utama yang muncul di dalam benak kita saat memandang karya seni
ialah bagaimana kita dapat menilai karya sehingga karya itu dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang indah. Pada nyatanya, memang sulit untuk membuat satu konsepsi dan
aturan baku yang disetujui oleh umum untuk mengukur sebuah keindahan. Derrida
menawarkan cara untuk menilai aspek formal pada saat mencerap karya seni tersebut,
di samping hanya terfokus pada elemen yang mengkonstitusikan keindahan menurut si
pembuat karya. Ini yang disebut sebagai tahapan kritik obyek ketiga lanjutan dari
tradisi pemikiran Kantian.
Pandangan subyektif pada saat menilai karya seni juga sebetulnya tidak burukburuk amat, dikarenakan bidang estetika lahir ketika karya sebagai representasi
mengacu pada hal-hal terkait subyek, sedangkan pandangan yang logis dalam menilai
seni akan membuat seni menjadi sangat obyektif. Pandangan subyektif yang berupa
taste atau interest personal tidak masuk dalam kerangka pengetahuan logis
(knowledge), sehingga sifat subyektif ini disebut aisthesis dalam bahasa Yunani, atau
estetika, yaitu relasi yang membuat pengaruh pada diri saat melihat karya.
Estetika yang melibatkan faktor konteks meluaskan cara pandang kita terhadap
karya demi mengalami keseluruhan karya seni (aesthetic experience). Salah satu
caranya dengan membongkar bentuk jurang yang merelasikan antara dualitas, antara
karya dan realita, yang kemudian disebut sebagai parergon. Tepi ini sama seperti
impresi kita terhadap karya seni yang konteks subyektifnya kental berlaku, dan
kehadiran si tepi juga memiliki signifikasinya sendiri. Ia masuk dan terhitung ke dalam
konteks satu karya yang utuh [5], setidaknya menurut Derrida. Menurut saya, dengan
mempelajari parerga atau parergon ini, yang perlu ditekankan ialah bagaimana
sebetulnya tepi karya juga memiliki peran atau pengaruh saat mencerap karya itu.
Gambar 2. Ilustrasi para (tepi) yang banyak mencuat dan ditemukan dalam buku "The Truth of
Painting" Derrida. Maksudnya si Derrida mau ngejelasin, "Ini lho, gue pake' garis pinggir ini
buat nunjukkin Parergon di tulisan gue" (sumber: The Parergon , 1979)
Konsep lain yang menekankan hal serupa ialah dualitas antara yang pusat dan
yang marginal serta pembalikan hierarki. Dalam menjabarkan teori parergon secara
istilah [6], Derrida identik dengan dua konsep ini. Sesuatu yang marginal dengan sudut
pandang berbeda bisa menjadi penentu suatu karya untuk dinilai sebagai hal yang
indah. Hal ini bisa dilakukan jika dan hanya jika tanda pada proses penggunaannya
terus bersifat berulang di konteks beragam hingga mencapai strukturnya sendiri.
Derrida juga menyebutkan profesi seorang arsitek sebagai sebuah metafora yang
menunjukkan fokus bidangnya terhadap elemen struktural dan fondasional di dalam
berargumentasi mengenai estetika, khususnya dalam membangun.
Gambar 3. Bingkai atau tepi karya yang dijadikan ekstensi dan menjelma sebagai sebuah
kanvas karya tersendiri (kiri-tengah), dan seorang wanita dengan baju gorden (kanan).
(sumber: The Parergon , 1979)
C. Diskusi dan Penutup
Untuk mencari contoh kasus parergon [8] pada karya arsitektur, perlu digaris
bawahi bahwa: jika Derrida menganalogikan kolom-kolom yang diisi dengan ornamen
(Gambar judul tulisan ini) sebagai bentuk parergon dari bangunan pada bukunya,
bukankah berarti parergon juga merupakan pondasi penentu keberdirian bangunan?
Atau mana yang sebenarnya lebih mendekati kebenaran: parergon dianalogikan
menjadi kolom sebagai pondasi struktural atau parergon hanya sebagai tampak
tambahan semata? Perdebatan akan Parergon secara formal ini, terutama soal bingkai
karya seni dan arsitektur menjadi fokus saya mendapatkan kesimpulan [9].
Secara singkat, fenomena orang umum menilai dan mengkategorikan karya
arsitektur ke dalam jenis arsitektur dekonstruksi (yang kenyataannya sang arsitek tidak
pernah menyatakan demikian, seperti contoh lihat Gambar 4) turut berhubungan dengan
persoalan bagaimana masyarakat mencerap pengalaman akan keindahan karya seni
(arsitektur), seperti yang dijabarkan oleh kritik obyek ketiga Derrida di paragrafparagraf sebelumnya. Bagaimana sebuah judgment itu muncul sehingga karya
digolongkan sebagai karya dekonstruktif?
Bisa dibilang, persepsi masyarakat yang mudah menilai estetika dan
mengkategorisasikan menjadi arsitektur dekonstruksi seperti itu masih berada di tataran
keterlibatan fasad dan fisik arsitektur yang identik disebut dengan pengrusakan
kestabilan tampilan bangunan di luar aspek formalnya. Memang tidak benar demikian
bahwa bangunan yang dimaksud itu ialah karya arsitektur dekonstruksi; tetapi bisa jadi
tidak salah juga. Pertanyaan yang lebih penting ialah, perlukah suatu teori dekonstruksi
memiliki sebutan gaya yang berarti bersifat terbingkai , sedangkan dengan melakukan
penetapan yang bersifat fixed malah menjadi kontradiksi bagi prinsip-bebas-prinsip
dekonstruksi?
Konsep bingkai dalam parergon sangat berkaitan dengan teori dekonstruksi
secara keseluruhan, dengan cara membongkar tradisi lama yang hanya terfokus pada
sentralitas dan kebakuan struktur dalam melihat dunia. Bingkai yang menjadi tabir
antara karya dan realitas semestinya bukan menjadi batas , karena dengan
penekanannya pada tulisannya, Derrida justru hendak mengangkat dan meluaskan
makna karya melebihi batas-batas oleh bingkai itu, semenjak tidak ada bingkai yang
bersifat alamiah, dan yang tersisa hanyalah pembingkaian (framing) yang
dialamiahkan (naturalization), seperti menentukan manakah yang merupakan
arsitektur dekonstruksi dan mana yang bukan.
Penulisan esai yang belum selesai menuju kepada tujuan dan simpulan ini,
seperti halnya di dalam menyatakan konsep arsitektur dekonstruksi dan teorinya itu
sendiri masih memerlukan banyak analisis yang harus digali lebih dalam, memerlukan
kontemplasi mendasar serta referensi komprehensif. ***
Gambar 4. Rumah arsitek Sardjono Sani yang sebagian orang mendeskripsikannya dengan
kata 'dekonstruksi' (sumber: Arsitektur Indonesia, IAI (18), Oct-Des 1995; halaman 13)
D. Daftar Pustaka
Derrida, J., 1979, The Parergon , transl. C. Owens, dalam October (9) pp. 3-41, The MIT
Press, JSTOR, dilihat dari http://www.jstor.org/stable/778319
Derrida, J., 1987, The Parergon , dalam The truth in painting, trans. The University of
Chicago Press, London.
E. Catatan Kaki (yang mungkin penting)
[1] Konsep terpenting dari teori Dekonstruksi antara lain konsep destruktion atau abbau
( penghancuran ) yang digunakan oleh Martin Heidegger di generasi filsuf sebelumnya.
Derrida turut menelurkan istilah baru yang menarik yaitu differánce dalam kaidah
kebahasaan dekonstruktif.
[2] Teks ini dikutip langsung dari hasil scan lembaran Fact Sheet No. 29, For Immidiate
Release, Maret 1988 oleh The Museum of Modern Art, 11 West 53 Street, New York.
Pameran dipublikasikan secara utama oleh Philip Johnson dan ditulis naskahnya oleh
Mark
Wigley.
(Diakses
pada
24
Mei
2016
melalui
https://www.moma.org/docs/MOMA_1988_0029_29.pdf)
[3] Ibid.
[4] Parergon sebagai kata disebutkan di dalam Critique dan Religion dan konsep
metafisika Kantian. Derrida mengajukannya kembali dalam lingkup obyek ketiga dari
critique of pure theoretical reason. Derrida turut mengutip Kant yang menjabarkan
tentang parergon (meskipun di beda zaman), yaitu, It is a parergon, composite of inside
& outside, but a composite which is not an amalgam or half-a-half, an outside which is
called inside the inside to constitue it as inside. (Derrida, J., The Parergon , 1979)
[5] Jika dikaji menurut definisi etimologinya, kata -ergon (kerja, karya) juga berkaitan erat
dengan kata energy dalam bahasa Inggris, yaitu usaha atau sikap aktif untuk bekerja
atau berkarya (work), sedangkan kata –para merujuk pada sesuatu yang bersisian
dengan karya, seperti yang dijelaskan pada paragraf 3 definisi kata Energetic pada
kamus Origins: Gr [Greek] ergon, work, occurs also in: par ergon, a by-work: adopted,
via L, from Gr: para, beside+ergon; adj, parergal. (Lihat Partridge, E., Origins: An
Etymological Dictionary of Modern English, Routledge, 1966)
[6] Derrida memaksudkan parergon secara istilah sebagai suatu kontingensi sekunder
yang tidak dianggap dan dikesampingkan (belum tentu tidak penting). Jika dipadankan
dengan kata lain, parergon juga bisa dimaknai sebagai sebuah sifat pengecualian
(exceptional), yang asing (peculiar), dan di luar kebiasaan (extraordinary) pada
karya seni manusia atau pada skup bidang yang lebih luas. Meskipun terpinggirkan,
parergon selalu eksis berdampingan dengan ergon sebab ia berperan sebagai bingkai
yang memperantarai dua permukaan atau dunia . Dalam esainya yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Derrida menjabarkannya dengan kalimat A
parergon is against, beside, above, beyond the ergon, but it is connected to and cooperates in its operation from the outside . (Derrida, J., The Parergon , 1979)
[8] Tidak semua teori filsafat memiliki permisalan yang benar-benar riil, konkret dan
empiris untuk menjelaskannya. Namun, untuk mudahnya saya gali dari kata yang
Derrida gunakan dalam bahasa Perancis, yaitu hors d euvre, atau accesoris, foreign,
secondary object, supplement, aside, remainder. Derrida bahkan masih
mempertanyakan bagaimana suatu posisi dikatakan sebagai bagian dari parergon,
terutama dalam karya seni. Relasi antara ergon dan parergon ia tuturkan seperti relasi
antara lukisan dan bingkai, bangunan dengan kolom yang meliputinya, atau badan
orang dengan kain penutup atau drapery (lihat Gambar 3 kanan).
[9] Ada sebuah alasan tertentu saya tuangkan materi penting di dalam catatan kaki
dalam esai ini. Dengan terinspirasi oleh seorang pengajar DKV Universitas Kristen Petra
yang menaruh inti tulisannya yang bertema Dekonstruksi pada catatan kaki ( footnote)
akhir dengan dalih membuat yang tepi menjadi vital , seolah-olah tulisannya sendiri
bermajaskan mendukung nafas atau semangat dekonstruksi. Hal ini masih dapat
diperdebatkan sejauh mana pemahaman penulis artikel jurnal tersebut mengartikan
parergon dengan arti harfiah tepi karya, dengan menimbang bahwa karya tulis yang
dicontohkan Jacques Derrida juga menaruh banyak motif bingkai (lihat Gambar 2) di
sisi acak paragraf-paragrafnya yang sekilas tidak terdapat intensi fungsional terhadap
struktur penulisan. Menurut saya, footnote sendiri kemungkinan masih tergolong ke
dalam isi tulisan, sedangkan bingkai yang dimaksud ialah tepian yang memisahkan
antara kata-kata di dalam margin teks dengan dunia luar (external world). Di lain sisi,
kenyataannya footnote memang hadir lebih sebagai pelengkap referensial pada struktur
tulisan, dalam sifatnya yang kritis, tetapi ironisnya juga sangat akademik (kalangan lain
seperti penulis bertopeng Marxis umumnya juga senang memperbanyak bagian ini).
Dari model eksperimen seperti ini, setidaknya dapat dijadikan representasi lain untuk
menghadirkan pengaruh besar ruang tepi terhadap ruang lingkup isi. Sebuah tepi
dapat menjadi isi, seperti pada daftar definisi di footnote nomor-nomor sebelumnya,
tetapi menurut Derrida, tepi tetap tidak dijadikan sebagai landasan (ground). Secara
koheren, hal ini juga menjadi refleksi bagi saya atas diskursus teori merancang arsitektur
di Indonesia saat ini yang begitu terbungkam dan sekunder, salah satunya disebabkan
oleh tekanan di bawah arus atas kapitalisme praktis. Hal ini sederhananya bisa terbaca
dari tindakan peminggiran kolom argumentasi maupun referensi dalam berarsitektur,
seperti halnya footnote yang tidak semua pegiat arsitektur hendak antusias
membacanya. (Lihat Freddy H. Istanto, Dekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual:
Sebuah Penjelajahan Kemungkinan , dalam NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 –
71)