Dalam perjalanan sejarah negeri ini
Dalam perjalanan sejarah negeri ini, utamanya Jawa, tak terlepas dari
sebuah nama yang cukup melegenda dalam khasanah sejarah kolonial,
yakni, Daendels, tepatnya Herman Willem Daendels, sang Gubernur
Jenderal Hindia Belanda kurun waktu 1808-1811, yang telah “membikin”
Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) sepanjang 1.100 km, yang
membentang dari Anyer hingga Panarukan. Meski, masih ada silang
pendapat diantara para ahli, apakah Daendles yang hanya berkuasa 3
tahun 4 bulan yang betul-betul “membangun” atau sekedar memperbaiki
jalan raya. Atau,betulkah Daendels yang membuka Anyer-Panarukan?
Namun apapun, jalan tersebut tak dimungkiri adalah sebuah Jalan “transjawa” yang penting dan telah menghubungkan pulau ini sebagai sebuah
kesatuan. Dibangun dengan melintasi lereng pegunungan, pinggang bukit,
menghindari rawa-rawa, menembus hutan belantara, dan menembus
kawasan rawan perampokan. Itulah Jalan Raya Pos, yang mungkin bagi
kita lebih terkenal dengan Jalan Anyer-Panarukan. Dengan dibangunnya
Jalan ini, waktu tempuh antara Batavia ke Surabaya yang harus ditempuh
selama satu bulan(di musim kemarau), terpangkas menjadi hanya 3 hingga
4 hari saja.
Mulanya, Jalan Raya Pos hanya diperuntukkan bagi kepentingan
administrasi dan penguasa kolonial, sehingga gerobak dan cikar milik
rakyat tidak boleh lewat. Dibangunnya jalan raya pos, bermula dari
keinginan untuk menyiapkan sistem pertahanan dari kemungkinan
serangan Inggris. Sekaligus berprespektif ekonomi; sebagai sarana
transportasi bagi penyedotan sumber daya dari berbagai daerah di Pulau
Jawa ke pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Adalah Herman Willem Daendels, yang dilahirkan di Gelderland, Belanda,
pada tahun 1762. Pada tahun 1783 Daendels lulus dari sekolah hukum
dengan gelar “Meester in de Rechten” (Mr), kemudian ia aktif dalam
gerakan politik lokal yang disebut Kaum Patriot dan sangat terpengaruh
oleh Revolusi Perancis. Selama perang di Eropa, Daendels banyak terlibat
dengan Perancis, antara lain menjadi pedagang senjata yang memasok
senjata ke Perancis, hingga akhirnya mendapat kepercayaan membentuk
Tentara Pembebasan Nasional, yang merupakan bagian dari Tentara
Revolusioner Perancis. Pada tahun 1795 Daendles kembali ke Belanda
sebagai Jenderal Tentara Perancis dan melakukan revolusi pembebasan
Belanda dari Prusia (untuk kemudian dijadikan bagian dari Perancis).
Tahun 1808, Daendels diminta oleh Raja Belanda waktu itu yaitu Louis
(Lodewijk) Napoleon, saudara Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte (waktu
itu Belanda di bawah kekuasaan Perancis), untuk mempertahankan Pulau
Jawa dari kemungkinan serangan Inggris. Pada saat itu, banyak wilayah
jajahan Perancis yang telah berhasil direbut oleh Inggris, sehingga
kemungkinan Inggris juga akan merebut Jawa, yang adalah jajahan
Belanda, sehingga secara tidak langsung juga merupakan jajahan
Perancis. Maka, diutuslah Daendels sebagai orang Belanda yang mewakili
Perancis.
Dengan semangat Revolusi Perancis “liberte, egalite, fraternite“, maka
Herman Willem Daendels dengan perjalanan penuh liku dan mara bahaya
tiba di Anyer, Banten, pada tanggal 5 Januari 1808. Tepat pada tanggal 14
Januari 1808, ia menggantikan Gubernur Jenderal AH Wiese, sebagai
pimpinan tertinggi di Hindia Belanda. Daendels memimpin daerah jajahan
Nusantara ini hanya singkat, yaitu selama 3 tahun 4 bulan saja. Walaupun
singkat, namun Daendels telah menorehkan namanya sendiri dalam
khasanah sejarah kolonial negeri ini, terutama di Pulau Jawa, sebagai
seorang Gubernur Jendral yang kejam dan galak. Salah satu tindakan
yang menyiratkan kekejamannya adalah pembuatan Jalan Raya Pos
(Grote Postweg) yang membentang dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa
hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa, sepanjang kurang lebih
1.100 km, yang memakan ribuan korban jiwa.
Diangkatnya Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, tak
terlepas dari situasi perang di Eropa, dimana Perancis saat itu memang
sedang mengalami berbagai kekalahan di beberapa medan tempur
melawan Persekutuan Eropa. Oleh karena itu, tugas utama Daendels
adalah mempertahankan Pulau Jawa dari kemungkinan serangan Inggris.
Singkat cerita, untuk memulai tugasnya ia melakukan perjalanan dari
Batavia ke ujung timur Pulau Jawa. Tanggal 5 Mei 1808, Daendels dengan
naik kereta kuda melanjutkan perjalanan dari Buitenzorg (Bogor) menuju
Semarang dan akan terus ke Jawa bagian timur. Sebenarnya jalan-jalan
yang dilalui Daendels sudah ada sebelumnya walaupun bukan jalan besar.
Jalan tersebut adalah jalan yang dahulu dipakai oleh Sultan Agung dari
Mataram ketika menyerang Batavia pada tahun 1628-1629. Kondisi jalan
yang buruk membuat Daendels berpikir, bagaimana ia bisa
mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris dengan kondisi jalan
yang buruk. Melihat kondisi demikian, Daendels (yang memang gemar
membaca buku), teringat dengan Jalan Raya Pos yang dibangun pada
masa Imperium Romawi, yang dikenal dengan nama Cursus
Publicus (lembaga perposan waktu itu), yang menghubungkan Roma
dengan kota-kota jajahannya. Kebijakan Imperium Romawi dalam
pembangunan jalan inilah yang memberi inspirasi kepada Daendels untuk
menempuh kebijakan yang sama di Pulau Jawa.
Selain membangun jalan dan menghubungkan jalan yang telah ada,
Daendels juga melakukan banyak hal yang berkaitan dengan
pembangunan dan pengembangan kota yang dilalui Jalan Raya Pos.
Dalam bidang pembangunan infrastruktrur teknis, Daendels tampil sebagai
peletak dasar pembangunan pertahanan militer dan sipil di wilayah
perkotaan Jawa. Di bidang pertahanan militer, ia merintis sistem
pertahanan teritorial yang sama sekali berbeda dengan sistem pertahanan
pantai sebelumnya. Di bidang pembangunan sipil, Daendels membuat
kebijakan penting yang menjadi titik tolak perkembangan infrasruktur di
Jawa; pembangunan kota modern terutama Batavia (Jakarta), Buitenzorg
(Bogor), Bandung, Semarang, Surabaya, serta pembangunan jalan raya
pos. Dua kebijakan ini, tak pelak menentukan sejarah perkembangan tata
ruang kota dan hubungan antar kota di Jawa sejak awal abad XIX hingga
sekarang.
Pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang dari Barat ke Timur,
telah menghubungkan tempat-tempat yang kemudian menjadi kota-kota,
baik kota besar, kota kecil, maupun kota kecamatan. Pembangunan jalan
juga disertai dengan pembangunan stasiun pos, demi memperlancar arus
komunikasi dari daerah-daerah ke pusat pemerintahan. Seperti telah
disebut, sebenarnya Jalan Anyer-Panarukan itu bukan sepenuhnya jalan
baru. Sebagian, Daendels hanya memperbaiki dan melebarkan jalan yang
sudah ada. Sedangkan kota-kota yang dilalui Jalan Raya Pos, antara lain;
Anyer, Tangerang, Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik,
Surabaya, Probolinggo, dan Panarukan.
Tak pelak pembangunan Jalan Raya Pos telah membawa perubahan yang
penting bagi perkembangan tata ruang dan hubungan antar kota di Pulau
Jawa, dan tentu saja berdampak pada kemajuan perekonomian di daerahdaerah yang dilalui jalan tersebut. Sebelum jalan tersebut dibangun,
pengiriman surat dari Batavia ke Semarang membutuhkan waktu antara
10-14 hari di musim kemarau atrau 3 minggu di musim hujan. Diperlukan
waktu 1 bulan untuk melakukan perjalanan dari Batavia ke Surabaya pada
musim kemarau. Setelah dibangun Jalan Raya Pos, surat-surat dari
Batavia ke Semarang hanya perlu waktu 3-4 hari. Perjalanan darat dari
Anyer ke Batavia yang sebelumnya diperlukan waktu 4 hari, cukup hanya 1
hari saja. Dari Batavia ke Surabaya, yang biasanya memakan waktu 40
hari, menjadi 6 hari saja. Dampaknya, perhubungan dan perdagangan di
Pulau Jawa menjadi ramai, juga memperbaiki hubungan melalui pos.
Pada mulanya, pembangunan Jalan Raya Pos tidak serta merta memberi
manfaat untuk rakyat. Karena, ternyata selama 40 tahun hanya kereta pos
milik pemerintah kolonial dan kereta milik pribadi (orang Belanda) dan
segelintir elit pribumi yang boleh melewati jalan tersebut. Sedangkan
gerobak atau cikar milik rakyat tidak boleh melewatinya, karena
dikawatirkan akan merusak jalan. Mereka harus tetap melewati jalan-jalan
yang kondisinya buruk untuk bepergian, atau lewat jalan buruk yang
dibangun sekedarnya di sisi Jalan Raya Pos. Baru pada tahun 1853 terjadi
perubahan. Dimana ditetapkan bahwa Jalan Raya Pos dibuka untuk semua
jenis kendaraan termasuk pedati milik rakyat pribumi.
Batapapun kejam, otoriter, dan keras perilaku Daendels selama menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Timur, yang sebenarnya justru bertentangan
dengan semangat dan semboyan Revolusi Perancis yang dibanggabanggakannya, namun tak dimungkiri usaha Daendels, terutama
pembangunan Jalan Raya Pos dan benteng-benteng, menjadi tonggak
bagi pembangunan Jawa selanjutnya baik untuk pertahanan militer dan
ekonomi. Usaha Daendels diakui oleh penerusnya sangat bermanfaat bagi
kelancaran pemerintahan, khususnya untuk kelancaran dan tindakan
dalam hal hukum pos dan pembangunan Jalan Raya sepanjang Pulau
Jawa berikutnya.
Setelah berkuasa selama 3 tahun 4 bulan, Daendels pun harus
meninggalkan segala proyeknya yang belum selesai dan dipanggil pulang
ke negerinya dan diterima kembali sebagai Jenderal Divisi dalam Tentara
Besar Kaisar Napoleon di Paris. Setelah kekaisaran Perancis jatuh,
Daendels dikirim Raja Belanda sebagai Gubernur di Gold Coast Afrika dan
meninggal di sana pada tahun 1818.
Pesona Jawa
Pembangunan Jalan Raya Pos, disamping demi kepentingan pertahanan,
sekaligus juga berperspektif ekonomi. Dengan dibangun jalan raya, akses
transportasi tentu menjadi mudah, sehingga sumber daya dari berbagai
daerah di Pulau Jawa bisa lebih mudah “disedot” ke pusat pemerintahan
Hindia Belanda.
Pesona Pulau Jawa memang terkenal sejak masa lalu. Jawa memang
ibarat “permata” dengan sumber daya yang melimpah, sehingga tak heran
bila penjajah menjejakkan kakinya di pulau Jawa dan menjadikan Jawa
sebagai basis pemerintahan. Hal ini terbukti dengan kepiawaian penjajah
menguras sumber daya yang ada di Pulau Jawa untuk mengapungkan
negeri Belanda. Kepiawaian penjajah menguras sumber daya Pulau Jawa,
tak terlepas dari apa yang disebut sistem tanam paksa (cultuurstelsel),
yang merupakan pendukung utama dari perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi kala itu. Sebuah sistem yang diperkenalkan oleh Johanes van den
Bosch pada 1830, yang terbukti dengan sangat nyata turut mendongkrak
pundi-pundi pemerintah kolonial yang hancur karena perang di Eropa.
Kopi, gula, teh, dan tembakau adalah komoditas utama yang sengaja
dipilih oleh pemerintah kolonial, karena komoditas tersebut sangat laku di
pasar Eropa dan dunia saat itu. Terbukti komoditas tersebut telah memberi
pemasukan yang luar biasa bagi pemerintah Belanda.
Belanda bak mendulang “emas hijau” dari sistem cultuurestelsel. Apalagi
komoditas unggulan seperti kopi, gula, teh, dan tembakau asal Jawa terus
menanjak menjadi primadona di pasar dunia. Masa tanam paksa telah
menjadikan Jawa sebagai pemasok sumber daya yang luar biasa. Bahkan,
dari hutan-hutan Jawa, pemerintah kolonial pun dapat mengekspor damar
sampai cula badak. Sehingga dari semua itu diperkirakan Belanda bisa
mendapatkan untung sampai 2,4 juta gulden per tahun, sementara buruh
perkebunan hanya dibayar sekitar 30 sen saja.
Masa penjajahan dimanapun selalu menyisakan cerita kepedihan. Begitu
pun masa Daendels, yang dinilai menjalankan kekuasaan dengan tangan
besi. Ribuan orang mati tersiksa selama pembangunan Jalan Raya Pos.
“Memoir of the Conquest of Java” mencatat sebanyak 12.000 ribu orang
tewas selama pembangunan jalan itu. Walaupun, ada juga pihak yang
mengatakan bahwa informasi itu hanyalah perang opini untuk menyerang
Daendels yang Belanda, namun “Perancis”. Lawan politik Daendels
menjadikan pembangunan transregional Jawa sebagai sasaran tembak.
Daendels telah berlalu. Zaman bergerak dan berubah. Kini, Jawa tampak
sungguh berbeda dengan Jawa 200 tahun silam. Jalan “Daendels” telah
berubah dan berkembang menjadi salah satu urat nadi perekonomian, dan
merupakan salah satu sumber perubahan di Jawa. Ketika semua bergerak
lebih cepat, rupa dan sosok Jalan Raya Pos tak lagi serupa dengan 200-an
tahun silam. Demikian pula dengan lingkungan sosial dan ekonomi daerah
sekitarnya. Jalan Raya Pos telah mengubah wajah perkotaan Jawa,
menjadi saksi atas hidup dan matinya kota-kota yang dilaluinya.
Dewasa ini, penduduk Pulau Jawa telak melonjak tajam menjadi sekitar
129,996 juta jiwa, berarti separuh lebih dari total jumlah penduduk negeri
ini. Ketika penduduk terus bertambah, sementara luas daratan tetap
(129.306,03 km persegi), tentu menimbulkan berbagai masalah.
Kepadatan mencapai 1.005 jiwa per km persegi. Industrialisasi yang masif
mengakibatkan pulau-kota ini menghadapi persoalan ekologi yang kronik.
Daya dukung Pulau Jawa tentu semakin tambah berat, bahkan pada
tingkat sungguh mengkhawatirkan. Persoalan krisis air bersih selalu
menjadi hantu di berbagai daerah, ratusan bahkan jutaan warga terbelit
persoalan kemiskinan, petani yang kehilangan tanah garapan, nelayan
yang tidak lagi sanggup melaut, dan segudang persoalan lainnya.
Simpulannya, Jalan Daendels, Jalan Raya Pos, Jalan Anyer-Panarukan,
atau apa pun sebutannya, adalah tonggak untuk belajar melihat ke dalam,
menemukan kembali jati diri kita. Menilik diri lebih arif dan lebih dalam,
menarik pelajaran dan menerawang perubahan, apa yang harus
dilakukan ke depan. Salam!
sebuah nama yang cukup melegenda dalam khasanah sejarah kolonial,
yakni, Daendels, tepatnya Herman Willem Daendels, sang Gubernur
Jenderal Hindia Belanda kurun waktu 1808-1811, yang telah “membikin”
Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) sepanjang 1.100 km, yang
membentang dari Anyer hingga Panarukan. Meski, masih ada silang
pendapat diantara para ahli, apakah Daendles yang hanya berkuasa 3
tahun 4 bulan yang betul-betul “membangun” atau sekedar memperbaiki
jalan raya. Atau,betulkah Daendels yang membuka Anyer-Panarukan?
Namun apapun, jalan tersebut tak dimungkiri adalah sebuah Jalan “transjawa” yang penting dan telah menghubungkan pulau ini sebagai sebuah
kesatuan. Dibangun dengan melintasi lereng pegunungan, pinggang bukit,
menghindari rawa-rawa, menembus hutan belantara, dan menembus
kawasan rawan perampokan. Itulah Jalan Raya Pos, yang mungkin bagi
kita lebih terkenal dengan Jalan Anyer-Panarukan. Dengan dibangunnya
Jalan ini, waktu tempuh antara Batavia ke Surabaya yang harus ditempuh
selama satu bulan(di musim kemarau), terpangkas menjadi hanya 3 hingga
4 hari saja.
Mulanya, Jalan Raya Pos hanya diperuntukkan bagi kepentingan
administrasi dan penguasa kolonial, sehingga gerobak dan cikar milik
rakyat tidak boleh lewat. Dibangunnya jalan raya pos, bermula dari
keinginan untuk menyiapkan sistem pertahanan dari kemungkinan
serangan Inggris. Sekaligus berprespektif ekonomi; sebagai sarana
transportasi bagi penyedotan sumber daya dari berbagai daerah di Pulau
Jawa ke pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Adalah Herman Willem Daendels, yang dilahirkan di Gelderland, Belanda,
pada tahun 1762. Pada tahun 1783 Daendels lulus dari sekolah hukum
dengan gelar “Meester in de Rechten” (Mr), kemudian ia aktif dalam
gerakan politik lokal yang disebut Kaum Patriot dan sangat terpengaruh
oleh Revolusi Perancis. Selama perang di Eropa, Daendels banyak terlibat
dengan Perancis, antara lain menjadi pedagang senjata yang memasok
senjata ke Perancis, hingga akhirnya mendapat kepercayaan membentuk
Tentara Pembebasan Nasional, yang merupakan bagian dari Tentara
Revolusioner Perancis. Pada tahun 1795 Daendles kembali ke Belanda
sebagai Jenderal Tentara Perancis dan melakukan revolusi pembebasan
Belanda dari Prusia (untuk kemudian dijadikan bagian dari Perancis).
Tahun 1808, Daendels diminta oleh Raja Belanda waktu itu yaitu Louis
(Lodewijk) Napoleon, saudara Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte (waktu
itu Belanda di bawah kekuasaan Perancis), untuk mempertahankan Pulau
Jawa dari kemungkinan serangan Inggris. Pada saat itu, banyak wilayah
jajahan Perancis yang telah berhasil direbut oleh Inggris, sehingga
kemungkinan Inggris juga akan merebut Jawa, yang adalah jajahan
Belanda, sehingga secara tidak langsung juga merupakan jajahan
Perancis. Maka, diutuslah Daendels sebagai orang Belanda yang mewakili
Perancis.
Dengan semangat Revolusi Perancis “liberte, egalite, fraternite“, maka
Herman Willem Daendels dengan perjalanan penuh liku dan mara bahaya
tiba di Anyer, Banten, pada tanggal 5 Januari 1808. Tepat pada tanggal 14
Januari 1808, ia menggantikan Gubernur Jenderal AH Wiese, sebagai
pimpinan tertinggi di Hindia Belanda. Daendels memimpin daerah jajahan
Nusantara ini hanya singkat, yaitu selama 3 tahun 4 bulan saja. Walaupun
singkat, namun Daendels telah menorehkan namanya sendiri dalam
khasanah sejarah kolonial negeri ini, terutama di Pulau Jawa, sebagai
seorang Gubernur Jendral yang kejam dan galak. Salah satu tindakan
yang menyiratkan kekejamannya adalah pembuatan Jalan Raya Pos
(Grote Postweg) yang membentang dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa
hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa, sepanjang kurang lebih
1.100 km, yang memakan ribuan korban jiwa.
Diangkatnya Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, tak
terlepas dari situasi perang di Eropa, dimana Perancis saat itu memang
sedang mengalami berbagai kekalahan di beberapa medan tempur
melawan Persekutuan Eropa. Oleh karena itu, tugas utama Daendels
adalah mempertahankan Pulau Jawa dari kemungkinan serangan Inggris.
Singkat cerita, untuk memulai tugasnya ia melakukan perjalanan dari
Batavia ke ujung timur Pulau Jawa. Tanggal 5 Mei 1808, Daendels dengan
naik kereta kuda melanjutkan perjalanan dari Buitenzorg (Bogor) menuju
Semarang dan akan terus ke Jawa bagian timur. Sebenarnya jalan-jalan
yang dilalui Daendels sudah ada sebelumnya walaupun bukan jalan besar.
Jalan tersebut adalah jalan yang dahulu dipakai oleh Sultan Agung dari
Mataram ketika menyerang Batavia pada tahun 1628-1629. Kondisi jalan
yang buruk membuat Daendels berpikir, bagaimana ia bisa
mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris dengan kondisi jalan
yang buruk. Melihat kondisi demikian, Daendels (yang memang gemar
membaca buku), teringat dengan Jalan Raya Pos yang dibangun pada
masa Imperium Romawi, yang dikenal dengan nama Cursus
Publicus (lembaga perposan waktu itu), yang menghubungkan Roma
dengan kota-kota jajahannya. Kebijakan Imperium Romawi dalam
pembangunan jalan inilah yang memberi inspirasi kepada Daendels untuk
menempuh kebijakan yang sama di Pulau Jawa.
Selain membangun jalan dan menghubungkan jalan yang telah ada,
Daendels juga melakukan banyak hal yang berkaitan dengan
pembangunan dan pengembangan kota yang dilalui Jalan Raya Pos.
Dalam bidang pembangunan infrastruktrur teknis, Daendels tampil sebagai
peletak dasar pembangunan pertahanan militer dan sipil di wilayah
perkotaan Jawa. Di bidang pertahanan militer, ia merintis sistem
pertahanan teritorial yang sama sekali berbeda dengan sistem pertahanan
pantai sebelumnya. Di bidang pembangunan sipil, Daendels membuat
kebijakan penting yang menjadi titik tolak perkembangan infrasruktur di
Jawa; pembangunan kota modern terutama Batavia (Jakarta), Buitenzorg
(Bogor), Bandung, Semarang, Surabaya, serta pembangunan jalan raya
pos. Dua kebijakan ini, tak pelak menentukan sejarah perkembangan tata
ruang kota dan hubungan antar kota di Jawa sejak awal abad XIX hingga
sekarang.
Pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang dari Barat ke Timur,
telah menghubungkan tempat-tempat yang kemudian menjadi kota-kota,
baik kota besar, kota kecil, maupun kota kecamatan. Pembangunan jalan
juga disertai dengan pembangunan stasiun pos, demi memperlancar arus
komunikasi dari daerah-daerah ke pusat pemerintahan. Seperti telah
disebut, sebenarnya Jalan Anyer-Panarukan itu bukan sepenuhnya jalan
baru. Sebagian, Daendels hanya memperbaiki dan melebarkan jalan yang
sudah ada. Sedangkan kota-kota yang dilalui Jalan Raya Pos, antara lain;
Anyer, Tangerang, Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik,
Surabaya, Probolinggo, dan Panarukan.
Tak pelak pembangunan Jalan Raya Pos telah membawa perubahan yang
penting bagi perkembangan tata ruang dan hubungan antar kota di Pulau
Jawa, dan tentu saja berdampak pada kemajuan perekonomian di daerahdaerah yang dilalui jalan tersebut. Sebelum jalan tersebut dibangun,
pengiriman surat dari Batavia ke Semarang membutuhkan waktu antara
10-14 hari di musim kemarau atrau 3 minggu di musim hujan. Diperlukan
waktu 1 bulan untuk melakukan perjalanan dari Batavia ke Surabaya pada
musim kemarau. Setelah dibangun Jalan Raya Pos, surat-surat dari
Batavia ke Semarang hanya perlu waktu 3-4 hari. Perjalanan darat dari
Anyer ke Batavia yang sebelumnya diperlukan waktu 4 hari, cukup hanya 1
hari saja. Dari Batavia ke Surabaya, yang biasanya memakan waktu 40
hari, menjadi 6 hari saja. Dampaknya, perhubungan dan perdagangan di
Pulau Jawa menjadi ramai, juga memperbaiki hubungan melalui pos.
Pada mulanya, pembangunan Jalan Raya Pos tidak serta merta memberi
manfaat untuk rakyat. Karena, ternyata selama 40 tahun hanya kereta pos
milik pemerintah kolonial dan kereta milik pribadi (orang Belanda) dan
segelintir elit pribumi yang boleh melewati jalan tersebut. Sedangkan
gerobak atau cikar milik rakyat tidak boleh melewatinya, karena
dikawatirkan akan merusak jalan. Mereka harus tetap melewati jalan-jalan
yang kondisinya buruk untuk bepergian, atau lewat jalan buruk yang
dibangun sekedarnya di sisi Jalan Raya Pos. Baru pada tahun 1853 terjadi
perubahan. Dimana ditetapkan bahwa Jalan Raya Pos dibuka untuk semua
jenis kendaraan termasuk pedati milik rakyat pribumi.
Batapapun kejam, otoriter, dan keras perilaku Daendels selama menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Timur, yang sebenarnya justru bertentangan
dengan semangat dan semboyan Revolusi Perancis yang dibanggabanggakannya, namun tak dimungkiri usaha Daendels, terutama
pembangunan Jalan Raya Pos dan benteng-benteng, menjadi tonggak
bagi pembangunan Jawa selanjutnya baik untuk pertahanan militer dan
ekonomi. Usaha Daendels diakui oleh penerusnya sangat bermanfaat bagi
kelancaran pemerintahan, khususnya untuk kelancaran dan tindakan
dalam hal hukum pos dan pembangunan Jalan Raya sepanjang Pulau
Jawa berikutnya.
Setelah berkuasa selama 3 tahun 4 bulan, Daendels pun harus
meninggalkan segala proyeknya yang belum selesai dan dipanggil pulang
ke negerinya dan diterima kembali sebagai Jenderal Divisi dalam Tentara
Besar Kaisar Napoleon di Paris. Setelah kekaisaran Perancis jatuh,
Daendels dikirim Raja Belanda sebagai Gubernur di Gold Coast Afrika dan
meninggal di sana pada tahun 1818.
Pesona Jawa
Pembangunan Jalan Raya Pos, disamping demi kepentingan pertahanan,
sekaligus juga berperspektif ekonomi. Dengan dibangun jalan raya, akses
transportasi tentu menjadi mudah, sehingga sumber daya dari berbagai
daerah di Pulau Jawa bisa lebih mudah “disedot” ke pusat pemerintahan
Hindia Belanda.
Pesona Pulau Jawa memang terkenal sejak masa lalu. Jawa memang
ibarat “permata” dengan sumber daya yang melimpah, sehingga tak heran
bila penjajah menjejakkan kakinya di pulau Jawa dan menjadikan Jawa
sebagai basis pemerintahan. Hal ini terbukti dengan kepiawaian penjajah
menguras sumber daya yang ada di Pulau Jawa untuk mengapungkan
negeri Belanda. Kepiawaian penjajah menguras sumber daya Pulau Jawa,
tak terlepas dari apa yang disebut sistem tanam paksa (cultuurstelsel),
yang merupakan pendukung utama dari perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi kala itu. Sebuah sistem yang diperkenalkan oleh Johanes van den
Bosch pada 1830, yang terbukti dengan sangat nyata turut mendongkrak
pundi-pundi pemerintah kolonial yang hancur karena perang di Eropa.
Kopi, gula, teh, dan tembakau adalah komoditas utama yang sengaja
dipilih oleh pemerintah kolonial, karena komoditas tersebut sangat laku di
pasar Eropa dan dunia saat itu. Terbukti komoditas tersebut telah memberi
pemasukan yang luar biasa bagi pemerintah Belanda.
Belanda bak mendulang “emas hijau” dari sistem cultuurestelsel. Apalagi
komoditas unggulan seperti kopi, gula, teh, dan tembakau asal Jawa terus
menanjak menjadi primadona di pasar dunia. Masa tanam paksa telah
menjadikan Jawa sebagai pemasok sumber daya yang luar biasa. Bahkan,
dari hutan-hutan Jawa, pemerintah kolonial pun dapat mengekspor damar
sampai cula badak. Sehingga dari semua itu diperkirakan Belanda bisa
mendapatkan untung sampai 2,4 juta gulden per tahun, sementara buruh
perkebunan hanya dibayar sekitar 30 sen saja.
Masa penjajahan dimanapun selalu menyisakan cerita kepedihan. Begitu
pun masa Daendels, yang dinilai menjalankan kekuasaan dengan tangan
besi. Ribuan orang mati tersiksa selama pembangunan Jalan Raya Pos.
“Memoir of the Conquest of Java” mencatat sebanyak 12.000 ribu orang
tewas selama pembangunan jalan itu. Walaupun, ada juga pihak yang
mengatakan bahwa informasi itu hanyalah perang opini untuk menyerang
Daendels yang Belanda, namun “Perancis”. Lawan politik Daendels
menjadikan pembangunan transregional Jawa sebagai sasaran tembak.
Daendels telah berlalu. Zaman bergerak dan berubah. Kini, Jawa tampak
sungguh berbeda dengan Jawa 200 tahun silam. Jalan “Daendels” telah
berubah dan berkembang menjadi salah satu urat nadi perekonomian, dan
merupakan salah satu sumber perubahan di Jawa. Ketika semua bergerak
lebih cepat, rupa dan sosok Jalan Raya Pos tak lagi serupa dengan 200-an
tahun silam. Demikian pula dengan lingkungan sosial dan ekonomi daerah
sekitarnya. Jalan Raya Pos telah mengubah wajah perkotaan Jawa,
menjadi saksi atas hidup dan matinya kota-kota yang dilaluinya.
Dewasa ini, penduduk Pulau Jawa telak melonjak tajam menjadi sekitar
129,996 juta jiwa, berarti separuh lebih dari total jumlah penduduk negeri
ini. Ketika penduduk terus bertambah, sementara luas daratan tetap
(129.306,03 km persegi), tentu menimbulkan berbagai masalah.
Kepadatan mencapai 1.005 jiwa per km persegi. Industrialisasi yang masif
mengakibatkan pulau-kota ini menghadapi persoalan ekologi yang kronik.
Daya dukung Pulau Jawa tentu semakin tambah berat, bahkan pada
tingkat sungguh mengkhawatirkan. Persoalan krisis air bersih selalu
menjadi hantu di berbagai daerah, ratusan bahkan jutaan warga terbelit
persoalan kemiskinan, petani yang kehilangan tanah garapan, nelayan
yang tidak lagi sanggup melaut, dan segudang persoalan lainnya.
Simpulannya, Jalan Daendels, Jalan Raya Pos, Jalan Anyer-Panarukan,
atau apa pun sebutannya, adalah tonggak untuk belajar melihat ke dalam,
menemukan kembali jati diri kita. Menilik diri lebih arif dan lebih dalam,
menarik pelajaran dan menerawang perubahan, apa yang harus
dilakukan ke depan. Salam!