BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1 Pengertian Persepsi - Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

  2.1.1 Pengertian Persepsi

  Persepsi adalah dimana individu melakukan sebuah proses mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan panca inderanya untuk memberikan sebuah makna kepada lingkungan disekitarnya (Robbins, 2006). Menurut Horvitz, persepsi adalah pendapat yang muncul setelah melakukan pengamatan terhadap lingkungan sekitar atau memerhatikan keadaan sekitar untuk mendapatkan sebuah informasi terhadap sesuatu.

  Menurut Kotler (2009), persepsi adalah sebuah proses bagaimana individu menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan asumsi-asumsi yang menghasilkan informasi untuk membentuk sebuah gambaran dari keseluruhannya yang berarti. Persepsi sangat dibutuhkan untuk menilai atau memberikan pendapat terhadap sesuatu. Persepsi setiap orang selalu berbeda-beda. Dari persepsi ini lah tercipta sebuah interaksi yang dapat memulai hubungan antar sesama individu.

  2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

  Sebuah persepsi tidak terjadi begitu saja, melainkan terjadi akibat adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Vincent, ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu :

  1. Pengalaman masa lalu (terdahulu). Sebuah pengalaman yang pernah dirasakan dan dialami seseorang dapat menciptakan sebuah persepsi karena orang tersebut akan menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang dilihat, didengarkan dan dirasakan olehnya.

  2. Keinginan. Sebuah keinginan akan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam memberikan keputusannya. Karena seseorang tidak akan menerima apa yang ditawarkan kepadanya apabila itu tidak sesuai dengan keinginannya.

  3. Pengalaman dari orang lain. Pengalaman dari orang lain, dimana orang tersebut menceritakan pengalamannya akan dapat mempengaruhi persepsi dari orang yang mendengarkannya. Karena hal itu akan menjadi refrensi dari seseorang dalam memberikan persepsi pada keadaan yang sama kelak (Riadi, 2012).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Persepsi

  Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Ada beberapa faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu :

  1. Objek yang dipersepsi Objek memunculkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.

  Stimulus timbul dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat timbul dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun kebanyakan stimulus timbul dari luar individu.

  2. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf Alat menerima stimulus adalah alat indera atau reseptor. Selain itu, syaraf sensoris harus ada sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Syaraf motoris diperlukan sebagai alat untuk mengadakan respon.

3. Perhatian

  Adanya perhatian diperlukan untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek (Walgito, 2004).

2.1.4 Proses Terjadinya Persepsi Objek menciptakan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau rseptor.

  Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses inilah yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba (Walgito, 2004).

  Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis.taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk (Walgito, 2004).

  2.1.5 Objek Persepsi

  Segala sesuatu yang ada disekitar manusia dapat menjadi objek yang dipersepsi. Manusia itu sendiri dapat menjadi objek yang dipersepsi. Persepsi diri atau self-perception adalah orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek persepsi .

  Objek persepsi dapat dibedakan atas objek yang nonmanusia dan manusia. Objek yang berwujud manusia disebut person perception atau social perception, sedangkan persepsi yang berobjekkan nonmanusia disebut dengan nonsocial atau things perception.

  perception

  Objek persepsi manusia, manusia yang dipersepsi memiliki kemampuan- kemampuan, perasaan, ataupun aspek-aspek lain seperti halnya pada orang yang mempersepsi. Orang yang dipersepsi akan dapat mempengaruhi orang yang mempersepsi. Pada objek yang dipersepsi, yaitu manusia yang dipersepsi, lingkungan yang melatarbelakangi objek yang dipersepsi, dan perseptor sendiri akan sangat menentukan dalam hasil persepsi (Walgito, 2004).

  2.1.6 Konsisten dalam Persepsi

  Pengalaman dari seseorang akan berperan dalam seseorang mempersepsikan sesuatu. Persepsi tidak hanya ditentukan oleh stimulus secara objektif, melainkan juga akan ditentukan atau dipengaruhi oleh keadaan diri seseorang yang mempersepsi. Konsistensi ini terbagi atas tiga, yaitu :

  1. Konsistensi Bentuk Hasil persepsi itu tidak semata-mata ditentukan oleh stimulus secara objektif semata, melainkan individu yang mempersepsi ikut aktif dalam hasil persepsi.

  2. Konsistensi Warna Menurut pengalaman seseorang, mengerti bahwa susu murni berwarna putih,.

  Walapun pada suatu ketika seseorang tersebut menemukan susu yang warnanya remang-remang, namun dalam mempersepsikan susu tersebut orang akan berpendapat bahwa susus itu berwarna putih. Inilah yang disebut sebagai konsistensi warna.

  3. Konsistensi Ukuran (Size) Pengalaman memberikan pengertian bahwa binatang yang namanya gajah dewasa memiliki ukuran besar, lebih besar dari seekor harimau. Apabila seseorang melihat seokar gajah dari kejauhan, maka gajah tersebut kelihatannya kecil, semakin jauh jaraknya kelihatannya akan semakin kecil. Sekalipun yang dilihat itu kecil, namun dari hasil persepsi orang menyatakan bahwa gajah itu tetap memiliki ukuran besar.

  Dari penjelasan diatas menyatakan bahwa seseorang mempersepsikan sesuatu tidak hanya akan ditentukan oleh stimulus secara objektif semata, namun apa yang ada dalam diri orang yang bersangkutan akan ikut menentukan hasil persepsi, termasuk pengalaman (Walgito, 2004).

2.2 Kebijakan

2.2.1 Pengertian Kebijakan

  Dalam buku Abidin (2012) Thomas Dye mengatakan bahwa kebijakan adalah sebuah pilihan yang dilakukan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever goverment choose to do or not to do). Menurut Easton kebijakan pemerintah aadalah sebuah kekuasaan pengalokasian dari nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah merupakan sebuah organisasi yang dapat meliputi keseluruhan dari kehidupan bermasyarakat.

  Menurut Lasswell dan Kaplan melihat kebijakan merupakan sebagai suatu sarana untuk mencapai sebuah tujuan, dan menyebutkan kebijakan sebagai sebuah program yang diproyeksikan berhubungan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Kemudian Friedrich mengungkapkan bahwa hal yang menjadi paling pokok dalam sebuah kebijakan adalah adanya tujuan, sasaran, atau kehendak (Abidin, 2012)

  Heglo mengatakan kebijakan sebagai sebuah tindakan yang bermaksud untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan. Kemudian melalui Jones, definisi Heglo diuraikan menjadi beberapa isi, yaitu 1) Tujuan, dengan maksud adalah tujuan yang ditentukan untuk dikehendaki agar tercapai (the desired ends to be achieved), bukan hanya sekadar tujuan yang hanya diinginkan saja, 2) alat atau cara tertentu untuk mencapai tujuan tersebut adalah rencana atau proposal, 3) untuk mencapai tujuan yang dimaksud diperlukan program atau cara tertentu yang sudah mendapatkan persetujuan dan pengesahan, 4) sebuah keputusan, yaitu suatu tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, serta melaksanakan dan mengevaluasi program, 5) dampak, merupakan dampak yang timbul dalam masyarakat dari program tersebut (Abidin, 2012) Jones merumuskan kebijakan sebagai suatu prilaku, yang berhubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah dalam hal memecahkan masalah umum, yang bersifat tetap dan berulang. Ini memberikan makna bahwa kebijakan bersifat dinamis karena nantinya dalam bagian lain akan dibicarakan secara khusus dalam hubungannya dengan sifat dari kebijakan tersebut (Abidin, 2012)

  Pengertian kebijakan dikaitkan dengan analisis kebijakan oleh William Dunn, yang mendefenisikan analisis kebijakan sebagai sebuah ilmu sosial terapan yang untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan menggunakan berbagai metode yang dipakai dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari (Abidin, 2012).

2.2.2 Kebijakan Kesehatan

  Menurut Walt (1994) dalam Sriatmi (2009), kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk dapat mempengaruhi faktor-faktor penentu dalam bidang kesehatan agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarkat. Kebijakan kesehatan merupakn sebuah jaringan keputusn yang saling berhubungan untuk menciptakan sebuah strategi atau pendekatan yang nantinya memiliki hubungan dengan isu-isu kesehatan di masyarakat.

  Kebijakan kesehatan berjalan pada beberapa tingkatan, yaitu : 1. Tingkatan sistemik

  Gambaran umum yang secara keseluruhan membentuk sistem kesehatan dan saling berhubungan, misalnya peran serta publik atau masyarakat, hubungan masalah kesehatan dengan sistem yang lain, keterlibatan institusi publik.

  2. Tingkatan Program Memutuskan yang menjadi prioritas untuk pelayanan kesehatan, program- program kesehatan yang nyata dan cara yang digunakan untuk menjalankannya serta menentukan dimana sumberdaya harus dialokasikan.

  3. Tingkatan Organisasi Memperlihatkan cara yang digunakan agar sumberdaya dapat diguanakan secara produktif serta dapat memberikan pelayanan yang bermutu tinggi.

  4. Tingkatan Instrumental Sebuah tingkatan yang mengembangkan instrumen organisasi sehingga baik, seperti dalam pengembangan sumberdaya manusia dalam organisasi dan sistem informasi (dukungan dalam pelayanan) (Sriatmi, 2009).

2.2.3 Strata Kebijakan

  Kebijakan dapat dibedakan dalam tiga tingkatan secara umum, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi dasar pedoman atau petunjuk untuk pelaksanaan, baik yang bersifat positif maupun negatif yang menyangkut keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan, ini bersifat relatif. Maksudnya adalah untuk cakupan wilayah negara, kebijakan umum berbentuk undang-undang atau keputusan presiden, dan sebagainya, sedangkan untuk cakupan wilayah provinsi, peraturan atau kebijakan dari keputusan yang diambil dari pusat, serta juga merupakan keputusan gubernur atau peraturan daerah yang diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

  Kebijakan pelaksana merupakan penjabaran atau turunan dari kebijakan umum. Pada tingkat pusat, peraturan pemerintah yang menyangkut pelaksanaan suatu undang-undang atau keputusan menteri merupakan penjabaran dari keputusan presiden. Sementara untuk tingkat provinsi, keputusan gubernur atau peraturan daerah yang dijabarkan menjadi keputusan bupati atau keputusan seorang kepala daerah dapat dianggap sebagai kebijakan pelaksanaan.

  Kebijakan teknis adalah suatu kebijakan operasional yang posisnya berada dibawah kebijakan pelaksanaan. Menurut Attamimi, yang membagi peraturan perundang-undangan menjadi peraturan legislatif dan peraturan kebijakan. Ia menganggap bahwa peraturan kebijakan sebagai bagian putusan yang dibuat dalam pelaksanaan peraturan legislatif, sedangkan peraturan legislatif merupakan sebuah putusan yang tidak dipandang sebagai kebijakan (Abidin, 2012).

2.2.4 Tahap-Tahap Kebijakan

  Dalam proses pembuatan kebijakan publik banyak melibatkan beberapa proses maupun variabel yang akan dikaji. Ada beberapa tahapan-tahapan dalam kebijakan publik menurut Dunn (1999), yaitu : 1.

  Tahap Penyusunan Agenda Masalah-masalah yang ada dikompetisi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan. Kemudian ada beberapa masalah yang dapat masuk ke dalam agenda kebijakan untuk dirumuskan oleh para perumus kebijakan. Namun, disatu sisi ada masalah yang mungkin tidak tersentuh atau masuk ke dalam agenda kebijakan, dan ada pula masalah yang di tunda untuk beberapa waktu karena alasan- alasan tertentu.

  2. Tahap Formulasi Kebijakan Dalam tahap ini, masalah-masalah yang masuk ke dalam agenda kebijakan dicari pemecahan masalahnya. Pemecahan masalahnya berasal dari berbagai alternatif ataupun pilihan kebijakan. Dan disini pun setiap alternatif bersaing untuk menjadi sebuah kebijakan yang dijadikan sebagai pemecah masalah.

  3. Tahap Adopsi Kebijakan Kebijakan yang diadopsi karena dukungan mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  4. Tahap Implementasi Kebijakan Kebijakan yang telah diputuskan kemudian dilaksanakan oleh bagian-bagian administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini kemungkinan akan terjadi persaingan dari berbagai kepentingan.

  5. Tahap Evaluasi Kebijakan Pada tahap ini akan dilakukan penilaian dan pengevaluasian terhadap kebijakan yang telah dijalankan untuk melihat apakah kebijakan tersebut telah mampu memecahkan masalah dan memberikan dampak yang diinginkan (Winarno, 2012).

2.2.5 Aktor-Aktor dalam Perumusan Kebijakan

  Dalam tulisan Anderson (1979), Lindblom (1980), maupun James P. Lester dan Joseph Stewart, Jr (2000) terdapat pembahasan mengenai siapa yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Terdapat dua kelompok aktor-aktor atau pemeran dalam proses pembentukan kebijakan, yaitu para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi (Winarno, 2012).

  Yang termasuk ke dalam para pemeran serta tidak resmi, yaitu pemerintahan (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Sementara itu yang termasuk ke dalam para pemeran serta tidak resmi, yaitu para kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warganegara individu (Winarno, 2012).

2.3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD adalah bagian dari unsur penyelenggara daerah. DPRD lebih banyak melaksanakan fungsi pengaturan, dalam bentuk membuat kebijakan berupa peraturan daerah (Wasistiono dan Wiyoso, 2009)

2.3.1 Tugas dan Wewenang DPRD

  Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Pasal 62 dan 78 diatur tugas dan wewenang DPRD, yaitu :

  1. Membentuk Peraturan Daerah (Perda) yang dibahas oleh Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.

  2. Bersama dengan Kepala Daerah, DPRD menetapkan APBD.

  3. Melaksanakan pengawasan terhadap Perda, peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

  4. DPRD dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi Gubernur dan melalui Gubernur bagi Bupati/Walikota.

  5. Kepada Kepala Daerah dimintai kaporan keterangan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan tugas desentralisasi (Wasistiono dan Wiyoso, 2009)

2.3.2 Hak dan Kewajiban DPRD

  Menurut UU No. 32 Tahun 2004, DPRD mempunyai beberapa hak, yaitu interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Selain itu, anggota DPRD juga mempunyai hak, yaitu mengajukan rancangan Perda, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, serta keuangan dan administratif.

  Pada Pasal 45 dalam UU No. 32 Tahun 2004, kewajiban anggota DPRD adalah :

  1. Mangamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NKRI Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan.

  2. Melaksanakan kehidupan demokratis dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

  3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI.

  4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan di daerah.

  5. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat.

  6. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

  7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan poltis terhadap daerah pemilihannya.

  8. Menaati peraturan tata tertib, kode etik, dan sumpah/janji anggota DPRD, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait (Wasistiono dan Wiyoso, 2009).

2.3.3. Komisi DPRD

  Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Setiap anggota DPRD kecuali Pimpinan DPRD wajib menjadi Anggota salah satu Komisi. Jumlah komisi sebagaimana dimaksud adalah 4 (empat) komisi. Jumlah Anggota setiap komisi diupayakan berimbang. Penempatan Anggota Komisi DPRD dalam komisi-komisi dan perpindahan ke komisi-komisi di dasarkan atas usul fraksinya dan dapat dilakukan setiap awal tahun anggaran. Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Komisi dan dilaporkan dalam Rapat Paripurna DPRD.

  Masa penempatan anggota dalam komisi dan perpindahannya ke Komisi lain, diputuskan dalam rapat Paripurna DPRD atas usul Fraksi pada awal tahun Anggaran.

  Masa jabatan ketua, wakil ketua dan sekretaris komisi ditetapkan paling lama 2½ (dua setengah) tahun. Anggota DPRD Pengganti Antar Waktu menduduki tempat Anggota Komisi yang digantikan (Anonim, 2010).

  Komisi dalam DPRD mempunyai tugas sebagai berikut :

  a. Melakukan pembahasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah, dan Rancangan Keputusan DPRD b. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing

  • –masing dan apabila ditemukan penyimpangan dapat direkomendasikan ke intansi terkait

  c. Membantu Pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh Kepala Daerah dan masyarakat kepada DPRD d.

  Menerima, menampung dan membahas serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat e. Memperjuangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah

  f. Melakukan kunjungan kerja komisi yang bersangkutan atas persetujuan Pimpinan DPRD g. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat dengan instansi Pemerintah daerah maupun instansi Pemerintah yang ada di daerah h.

  Mengajukan usul kepada Pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing

  • – masing i. Memberikan laporan tertulis kepada Pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas Komisi

  j. Komisi melakukan koordinasi dan pembahasan dengan mitra kerja dalam rangka perencanaan kegiatan APBD tahun berikutnya, untuk ditindak lanjuti di dalam pembahasan Badan Anggaran (Anonim, 2010)

2.3.4 Hubungan dalam Penyusunan Kebijakan Daerah

  UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang- undangan merupakan dasar rujukan atas penyusunan kebijakan daerah dalam bentuk Perda. Perda merupakan peraturan perundang-undangan yang terbawah baik pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun desa, dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004. Kedudukan Perda dalam Tata urutan Perundangan: 1.

  Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

  3. Peraturan Pemerintah.

  4. Peraturan Presiden.

  5. Peraturan Daerah (Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa) (Wasistiono dan Wiyoso, 2009).

2.4 Alur Proses Penyusunan Peraturan Daerah

2.4.1 Prinsip Dasar Proses Penyusunan Peraturan Daerah

  Ada beberapa prinsip dasar proses penyusunan peraturan daerah, yaitu : 1. Transparansi/Keterbukaan

  Proses yang transparan dapat memberikan beberpa hal kepada masyarakat, yaitu : 1) informasi akan ditetapkannya sebuah kebijakan, dan 2) sebuah peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa kegiatan

  

ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan dan

pertimbangan kepada pemerintah secara langsung. Proses yang transparan haruslah

mampu meniadakan batas antara pemerintah dan non pemerintah.

  2. Partisipasi Diadakannya partisipasi untuk mendorong: (1) terciptanya komunikasi publik

untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan

keputusan pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik

untuk kemudian menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman

komprehensif terhadap suatu isu. Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya

  

konflik dalam menerapkan suatu keputusan dan mendukung penerapan akuntabilitas,

serta mendorong publik untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah.

  

Partisipasi publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan kajian terhadap

rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan masukan; dan (3)

tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil keputusan, dalam hal ini

pemerintah.

  3. Koordinasi dan Keterpaduan Koordinasi dan keterpaduan/integrasi berkaitan dengan hubungan antara

pemerintah dan organisasi dalam pemerintah - menyediakan mekanisme yang

melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan

memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi, menekan

konflik, membatasi ketidakefektivan, dan yang terpenting membatasi jumlah produk

hukum (LGSP, 2007).

2.4.2 Langkah Penyusunan Peraturan Daerah

  Secara formal , sebuah rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau Kepala

  

Pemerintah Daerah. Namun demikian, penyusunan sebuah Perda hanya dapat

diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya

memerlukan sebuah Perda baru. Sehingga inisiasi awal penyusunan Perda baru dapat

diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait, baik itu lembaga/instansi

pemerintah, badan legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi non- pemerintah, maupun kelompok masyarakat.

  Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan sebuah

Perda baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua jalur penyusunan Perda,

yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari

lembaga/instansi eksekutif dan badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal.

  

Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang

dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah

diadopsi menjadi inisiasi lembaga/instansi eksekutif atau badan legislatif. Setelah

instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip penyusunan peraturan

daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan

memulai proses pembuatan Perda. Pada intinya, pembuatan Perda sebenarnya

merupakan satu bentuk pemecahan masalah secara rasional.

  Menurut UU 10 No. Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Pasal 26, rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan

rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota (LGSP, 2007).

  Secara umum, terdapat 7 (tujuh) langkah yang perlu dilalui dalam menyusun

suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui. Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah.

Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana perda baru dapat memecahkan masalah. Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik. Langkah 4 : Penulisan Rancangan Perda. Langkah 5 : Penyelenggaraan Konsultasi Publik: · Revisi Rancangan Perda.

  · Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan.

  Langkah 6 : Pembahasan di DPRD. Langkah 7 : Pengesahan Perda.

  Alur Proses Penyusunan Perda digambarkan sebagai berikut :

  1. Identifikasi

  2. Identifikasi legal

  3. Penyusunan

isu & masalah baseline Naskah

Akademik atau landasan hukum, dan bagaimana Perda baru dpt memecahkan masalah

5. Penyelenggaraan

  4. Penulisan 6. Konsultasi Publik: Pembahasan

  Raperda

  • • Revisi Rancangan

    di DPRD

    Perda apabila diperlukan

  • • melakukan konsultasi

    publik tambahan

  7. Penetapan Perda

Gambar 2.1 Alur Proses Penyusunan Perda 1.

  Identifikasi Isu dan Masalah Para perancang Perda sangat perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

  Permasalahan yang dilihat dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan

  

sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula

mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak-pihak yang

terkena dampak dari berbagai masalah tersebut.

  Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang

mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu. Misalnya saja,

apakah semua pihak akan diperlakukan secara adil? Apakah ada pihak-pihak tertentu

yang sangat diuntungkan dan di lain sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya

menangani sejumlah permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru?

Bagaimana mengidentifikasi masalah tersebut? Ada beberapa teori yang dapat

digunakan untuk melakukan identifikasi masalah tersebut, salah satunya adalah

melakukan identifikasi masalah dengan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity,

Capacity , Communication, Interest, Process, dan Ideology). Berikut beberapa

penjelasan mengenai ROCCIPI : a.

  Rule (Peraturan) 1.

  Susunan kata dari peraturan kurang jelas atau rancu.

  2. Peraturan mungkin memberi peluang perilaku masalah.

  3. Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah.

  4. Memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan tidak partisipatif, dan.

  5. Memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah.

  Karena permasalahan rule (peraturan ini) menjadi permasalahan yang

siginifikan, maka baik, metode ROCCIPI maupun metode Fishbone ataupun RIA

mewajibkan adanya riset yang mendalam berkaitan dengan hal ini. Demikian pula

dengan konsepsi perancangan Perda. Sebagai peraturan yang sifatnya lebih delegatif

maka perlu ada tahapan khusus, yaitu mengidentifikasi dasar hukum (legal baseline).

  b. Opportunity (Kesempatan) 1.

  Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju suatu undang memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-undang atau tidak?

  2. Apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi? c. Capacity (Kemampuan) 1.

  Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?

2. Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.

  3. Dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang tindih. Tidak menjadi soal kategori ROCCIPI yang mana yang mengilhami seorang penyusun rancangan undang-undang ketika merumuskan hipotesa penjelasan.

  4. Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka. d. Communication (Komunikasi) Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat

menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang

telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengomunikasikan

peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang

dengan secara sadar mematuhi undang-undang kecuali bila dia mengetahui perintah.

  e. Interest (Kepentingan) Apakah ada kepentingan material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada?

  f. Process (Proses) Menurut kriteria dan prosedur apakah

  • – dengan proses yang bagaimana – para

    pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak?. Biasanya,

    apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “proses”

    menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka.

    Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau

    tidak.

  g. Ideology (Idiologi) Apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada? 2.

  Identikasi Dasar Hukum (Legal Baseline) dan Bagaimana Perda Baru Dapat Memecahkah Masalah

  Legal baseline adalah status dari peraturan perundang-undangan yang saat ini

tengah berlaku. Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan

perundang-undangan yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah

dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.

  Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan

penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada. Melalui analisis ini,

dapat diketahui bagianbagian dari Perda yang ada, yang telah dan belum/tidak

ditegakkan, termasuk yang mendapat pendanaan dalam pelaksanaannya berikut

alasan yang menyertai, dan instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan

tersebut. Pada kenyataannya, para pembuat rancangan Perda terlalu cepat

memutuskan mengenai perlunya pembuatan rancangan Perda yang baru, tanpa

melakukan penelaahan memadai tentang legal baseline yang sudah ada.

  Beberapa hal dalam mengidentifikasi legal baseline :

  

1. Identifikasi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan

permasalahan, mulai dari undang-undang sampai dengan peraturan perundangundangan terbawah.

  2. Identifikasi instansi pelaksana.

  3. Evaluasi efektivitas peraturan perundang-undangan yang ada, dengan mempertimbangkan penulisannya: a. Kejelasan pasal dan ayat.

b. Kepastian preskripsi hukum.

4. Evaluasi efektivitas peraturan perundang-undangan yang ada, dengan

  mempertimbangkan pelaksanaannya: a. Ketersediaan dana pelaksanaan.

  b. Kapasitas administrasi.

  c. Penegakan hukum.

  

5. Identifikasi peraturan perundang-undangan yang paling berpotensi untuk dapat

memecahkan masalah, apabila keefektifannya ditingkatkan atau dibuat revisi.

  6. Identifikasi macam-macam instrumen hukum yang mungkin dapat memecahkan Masalah.

  3. Penyusunan Naskah Akademik Nasakah akademik merupakan merupakan sebuah langkah yang paling

penting dalam proses legislasi, karena naskah akademik memiliki peran sebagai

“quality cntrol” yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah

akademik memuat seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui landasan

pembuatan suatu peraturan daerah yang baru, termasuk tujuan dan isinya. Naskah

akademik merupakan landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda.

  Pembuat Perda hendaknya mempertimbangkan besarnya upaya yang perlu

dicurahkan dalam membuat sebuah naskah akademik. Sebagai contoh, naskah

akademik untuk mendukung pembuatan Perda yang hanya menangani satu

permasalahan, misalnya pelarangan penggunaan bahan peledak dalam perikanan

tangkap, tentunya tidak perlu sekompleks dan sekomprehensif Perda yang menangani

banyak permasalahan yang kompleks secara bersamaan, misalnya pemberlakuan

suatu rezim pengelolaan perikanan yang baru.

  Pertanyaan-pertanyaan yang sama harus diajukan dalam setiap usulan

pembuatan rancangan Perda. Akan tetapi, kedalaman jawaban terhadap beberapa

  

pertanyaan tersebut, lingkup analisis, dan sejauh mana konsultasi publik perlu

dilakukan, tentunya bervariasi.

  4. Penyusunan Peraturan Daerah Proses pertama dalam melakukan perancangan peraturan perundang-undangan

adalah dengan mengenali bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.

Untuk mengenali sebuah peraturan, perlu diperhatikan beberapa hal: a.

  Peraturan yang merupakan perubahan.

  b.

  Peraturan yang merupakan penggantian.

  c.

  Peraturan yang merupakan peraturan baru.

  d.

  

Peraturan yang merupakan peraturan ratifikasi atau penetapan Perpu (biasanya

RUU).

  Secara umum untuk mengenali sebuah peraturan, terlebih dahulu dikaji lebih

dalam apakah peraturan tersebut memuat prinsip-prinsip utama suatu produk hukum

jika nantinya disahkan menjadi undang-undang/Perda. Agar memenuhi fungsinya

sebagai sumber pengenal (kenvorm) maka untuk mengenalinya dapat dilihat materi

muatan peraturan tersebut dengan meninjau kerangka strukturalnya. Kerangka

struktural dapat dibagi atas 6 (enam) bagian besar: a. Penamaan/judul.

  b. Frase/klausul Permanen.

  c. Pembukaan.

  d. Batang Tubuh.

  e. Penutup

f. Lampiran/Penjelasan (bila ada) 5.

  Penyelenggara Konsultasi Publik Interaksi dengan masyarakat merupakan upaya yang lentur, dan harus

diintegrasikan ke dalam proses penulisan rancangan Perda. Proses konsultasi dan

penulisan bersifat interaktif, saling mengisi dan mempengaruhi.

  6. Pembahasan di DPRD Pembahasan di DPRD merupakan salah satu bentuk dari dilaksanakannya

konsultasi publik. DPRD selaku wakil rakyat kembali akan melakukan seri konsultasi

publik dengan membuka ruang diskusi dengan berbagai kepentingan yang terlibat,

seperti asosiasi, perguruan tinggi dan masyarakat yang langsung terkena dampak

dengan diberlakukannya peraturan ini. Pembahasan di DPRD tidak dilakukan oleh

DPRD semata, melainkan bekerja sama dengan kepala daerah, seperti apa yang

diamanatkan dalam UU Nomor 10, Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

  7. Mengesahakan Peraturan Daerah Pengesahan adalah langkah terakhir dalam pembuatan Perda baru, sekaligus

menjadi langkah pertama pelaksanaan perda tersebut. Salah satu faktor penting

keberhasilan pelaksanaan sebuah Perda baru adalah masa transisinya. Masa transisi

ini terkait erat dengan tanggal mulai diberlakukannya Perda baru. Sebuah Perda baru

tidak harus segera diberlakukan setelah disahkan. Sebaiknya ada tenggang waktu

antara disahkannya sebuah Perda dengan tanggal mulai diberlakukannya.

  Hal ini dimaksudkan agar lembaga/instansi pemerintah terkait dan masyarakat

dapat melakukan persiapan-persiapan yang memadai untuk pelaksanaan secara

efektif. Persiapan pelaksanaan meliputi pembentukan kesadaran masyarakat tentang

ketentuanketentuan hukum yang baru, serta penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan bagi instansi pelaksana dan aparat penegak hukum mengenai ketentuan- ketentuan spesifik dari Perda yang baru tersebut (LGSP, 2007).

2.4.3 Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah

  Tata cara pembentukan Perda menurut Peraturan Menteri Dalam Negri

  9Permendagri) No. 53 Athun 2011 adalah sebagai berikut: 1.

  Persiapan penyusunan Raperda (dalam peraturan tata tertib DPRD) Raperda berasal dari DPRD atau kepala daerah. Kepala daerah menyampaikan surat pengantar kepada DPRD, sedangkan pimpinan DPRD menyampaikan Raperda kepada kepala daerah. Penyebarluasan Raperda dari DPRD dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD. Penyebarluasan Raperda dari kepala daerah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Bila materi raperda dari DPRD dan presiden sama, maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan oleh DPRD. Raperda dari kepala daerah digunakan sebagai bahan sandingan.

  2. Pembahasan rancangan Perda Pembahasan raperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.

  3. Penarikan kembali rancangan Perda Raperda dapat ditarik kembali sebelum pembahasan oleh DPRD dan kepala daerah. Penarikan kembali Raperda berdasarkan persetujuan bersama antara DPRD dan kepada daerah.

4. Penetapan Raperda menjadi Perda Raperda yang telah disetujui bersama oleh

  DPRD dan kepala daerah, dalam waktu paling lambat 7 hari disampaikan pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi perda. Raperda ditandatangani oleh kepala daerah dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak raperda disetujui bersama, maka raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan

2.5 Rokok

  2.5.1 Pengertian Rokok

  Rokok adalah kertas yang berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm yang berbentuk silinder yang memiliki diameter sekitar 10 mm dan berisi dau-daunan tembakau yang telah diproses. Pada ujungnya rokok dibakar dan dibiarkan membara sehingga asapnya dapat dihirup melalui mulut dari ujung yang lainnya (Susanti, 2011).

  2.5.2 Kandungan dalam Rokok

  Rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Didalam rokok banyak terkandung zat-zat berbahaya yang dapat merusak tubuh. Dalam asap rokok terkandung lebih dari 4000 jenis senyawa kimia. Kurang lebih 400 jenis diantaranya memiliki kandungan zat beracun (berbahaya) dan sekitar 69 jenis terkandung zat yang dapat menyebabkan kanker (karsinogenik). Beberapa zat beracun yng terkandung dalam rokok, yaitu nikotin, karbon monoksida, tar, timah hitam (Pb), amoniak, hidrogen sianida (HCN), nitrous oxide, fenol, hidrogen sulfida (Zakky, 2013).

2.5.3 Penyakit Akibat Rokok

  Memiliki kebiasaan merokok menimbulkan dampak yang buruk bagi tubuh, yaitu mulai dari kepala (munculnya serangan stroke atau gangguan pembuliuh darah otak), gangguan pada paru dan jantung, terjadinya berbagai keluhan pada perut, gangguan pada proses kehamilan sampai pada kelainan di kaki (gangguan pembuluh darah di kaki). Berikut beberapa penyakit akibat merokok : 1.

  Kanker Paru Salah satu bahan yang terkandung dalam rokok yang menyebabkan kanker paru adalah tar. Apabila seseorang menghisap rokok dalam jangka waktu yang lama maka di dalam parunya akan terjadi perubahan yang di akibatakan oleh asap rokok tersebut. Hal yang berhubungan dengan timbulnya kanker paru yaitu jumlah rokok yang diisap, lamanya waktu merokok, jenis rokokyang diisap, serta berhubungan juga dengan dalam tidaknya isapan yang dilakukan.

2. Penyakit Jantung

  Kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit jantung. Dua bahan terpenting yang terkandung dalam asap rokok yang berkaitan dengan penyakit jantung adalah nikotin dan gas CO. Nikotin dapat mengganggu jantung, membuat irama jantung menjadi tidak teratur, mempercepat aliran darah, menimbulkan kerusakan lapisan dalam dari pembuluh darah dan menimbulkan penggumpalan darah. Sementara itu gas CO akan mengganggu kemampuan darah untuk berikatan dengan oksigen.

3. Kehamilan

  Kebiasaan merokok pada para calon ibu membawa dampak buruk pada anak yang akan dilahirkannya. Wanita hamil yang merokok lebih banyak melahirkan bayi yang meninggal apabila dibandingkan dengan wanita hamil yang bukan perokok. Hal itu terjadi karena pengaruh bahan-bahan dalam asap rokok seperti gas CO, sianida, tiosianat, nikotin, dan karbonik anhidrase, yang selain menggangugu kesehatan ibu juga dapat menembus ari-ari dan mengganggu kesehatan janin di dalam kandungan (Aditama, 2011).

2.6 Kawasan Tanpa Rokok

  Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah kegiatan dalam hal produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok yang dinyatakan dilarang untuk dilakukan dalam area atau ruangan. Tujuan dari kawasan tanpa rokok adalah untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok dengan memastikan bahwa tempat-tempat umum bebas dari asap rokok.

  Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 ayat (1), yang termasuk kawasan tanpa rokok, yaitu :

  1. fasilitas pelayanan kesehatan

  2. tempat proses belajar mengajar 3. tempat anak bermain 4. tempat ibadah 5. angkutan umum 6. tempat kerja 7. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan

  Kawasan tanpa rokok sangat dibutuhkan untuk menjaga masyarakat dari asap rokok dilingkungannya. Ada beberapa dasar pertimbangan mengapa perlunya peraturan kawasan tanpa rokok, yaitu : 1.

  Seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, kesehatan merupakan hak azasi setiap manusia.

  2. Setiap pekerja dan karyawan memiliki hak yang sama untuk bekerja di dalam lingkungan kerja yang sehat dan tidak membahayakan diri mereka.

  3. Anak-anak mempunyai hak khusus untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sehat, salah satunya yaitu bebas dari asap rokok.

Dokumen yang terkait

Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

5 57 111

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Persepsi - Persepsi Pengusaha Kota Medan Tentang Kebijakan Bank Indonesia Tentang Lindung Nilai (Hedge)

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 2.1.1. Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR) - Analisis Peran Serta Petugas Puskesmas Tentang Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2014

1 1 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015

1 1 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bank - Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Perbankan di Kota Medan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Intensitas 2.1.1 Pengertian Intensitas - Pengaruh Persepsi Tentang Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Kepuasan dan Intensitas Warga Kota Medan Berobat Keluar Negeri

0 0 27

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Persepsi 2.1.1 Pengertian Persepsi - Persepsi Pengguna Tentang Perpustakaan Umum Kota Medan

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perpustakaan Umum - Persepsi Pengguna Tentang Layanan Perpustakaan Umum Kota Sibolga

0 3 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Uang - Analisis Persepsi Pelaku UMKM Di Kota Medan Terhadap Kebijakan Redenominasi Rupiah

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1 Pengertian Persepsi - Pengaruh Persepsi Tentang Mutu Pelayanan Terhadap Pemanfaatan Poli Gigi di Puskesmas Gunungsitoli Selatan Tahun 2014

0 1 25