Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

(1)

PERSEPSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KOTA MEDAN TENTANG KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI

KOTA MEDAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh :

KHAIRUNNISA N I M : 0 9 1 0 0 0 1 5 3

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

PERSEPSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KOTA MEDAN TENTANG KEBIJAKAN KAWASAN TANPA

ROKOK DI KOTA MEDAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

KHAIRUNNISA N I M : 0 9 1 0 0 0 1 5 3

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

(4)

ABSTRAK

Kawasan tanpa rokok merupakan kegiatan dalam hal produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok yang dinyatakan dilarang untuk dilakukan dalam area atau ruangan. Kawasan tanpa rokok perlu ditetapkan untuk melindungi masyarakat dari lingkungan paparan asap rokokyang dapat membahayakan perokok pasif serta dapat mengurangi kebiasaan perokok aktif untuk merokok. Sementara itu pemerintah berkewajiban melindungi masyarakatnya. Hal ini yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan srudi penelitian kualitatif untuk mengetahui dan memahami persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan tentang kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Medan Tahun 2013 karena DPRD yang memberikan keputusan terhadap penetapan kawasan tanpa rokok ini akan berjalan atau tidak.

Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif untuk melihat persepsi Anggota DPRD terhadap kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Medan, dengan tekhnik pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan yang berjumlah delapan orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan setuju apabila kawasan tanpa rokok ditetapkan di Kota Medan namun DPRD meminta kesiapan pemerintah daerah apabila nanti peraturan ini ditetapkan. Selain itu informan juga memiliki komitmen terhadap peraturan ini yaitu komitmen mereka sebagai DPRD yang memiliki tugas untuk mengawasi apakah peraturan ini berjalan atau tidak. Peneliti menyarankan agar pihak DPRD menyegerakan pengambilan keputusan untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di Kota Medan dan melaksanakan tugas DPRD.

Kesimpulan dari penelitian ini, Persepsi informan terhadap kawasan tanpa rokok adalah mereka berpersepsi bahwa itu sebuah kawasan yang dilarang merokok ditempat umum dan merupakan sebuah kebijakan yang harus direalisasikan namun dengan melihat kesiapan dari perangkat daerah tersebut, serta sarannya adalah agar DPRD cepat merealisasikan kawasan tanpa rokok di Kota Medan agar masyarakat Kota Medan terjaga kesehatannya dari lingkungan yang bebas asap rokok.


(5)

ABSTRACT

Smoke Free Area is a room or area which prohibited the production, sales, advertising, promotion, or smoking. Smoke Free Areas need to be created to protect people from smoke that can threaten passive smoker and can decrease smoke habit of active smoker. Besides, the government has an obligation to protect the community. That is what forms the background of this study by using qualitative research to know and understand perceptions of Medan Regency DPRD members about Smoke Free Area regulation in Medan because DPRD that make decision of Smoke Free Area can run or not.

This research was qualitative to see the perception of DPRD members about Smoke Free Area, Data were collected by using indepth interview to informant which number 8 persons.

The result of research showed that all of informant agree if Smoke Free Area is established in Medan but DPRD ask the regency government readiness if this regulation has been decided. Besides that, informan also have commitment to this regulation which have duty to supervise the implementation of this regulation. It is suggested to DPRD to establish the smoke free area soon.

The conclusion of this research, Perception informant against the Smoke Free Area is they perceived that it was an area that prohibited smoking in public places and is a policy that must be realized, but by looking at the readiness of the region, as well as advice is parliament quickly realize that without a cigarette in the region Medan so that the public health of the city of Medan maintained smoke-free environment.

Keywords = Perception, DPRD members, Smoke Free Area.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : KHAIRUNNISA

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 17 Januari 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Karya Gg Sukaria No. 11 Medan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1995-1997 : TK Harapan I Medan 2. 1997-2003 : SD Harapan I Medan 3. 2003-2006 : SMP Harapan I Medan 4. 2006-2009 : SMA Harapan I Medan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013”, guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Penulis khusus mempersembahkan skripsi ini teruntuk kedua orang tua tercinta ayahanda Drs. Kasim, SE dan Ibunda Halimatuzzahriah. Atas kasih sayang dan doa yang tulus dan tidak pernah putus untuk penulis.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Heldy BZ, MPH selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahan kepada penulis.

3. Ibu Dr. Juanita, SE, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.


(8)

4. Ibu dr. Rusmalawaty, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

5. Bapak dr. Fauzi, SKM selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis.

6. Ibu Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes, selaku dosen Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dan ilmu yang bermanfaat.

7. Ibu Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku dosen Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi.

8. Ibu Umi Salmah, SKM, M.Kes, selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. Para Dosen dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

10.Kepada Bapak MHD. Azwarlin Nasution, SH. Yang telah memberikan peneliti izin penelitian di Kantor DPRD Kota Medan.

11.Kepada seluruh informan yang telah meluangkan waktunya untuk penulis.

12.Kepada seluruh Staf di Kantor DPRD Kota Medan yang telah banyak membantu. 13.Bapak Ir. H. M. Faisal Nasution yang telah memberikan motivasi dan semangat


(9)

14.Kepada abang dan adik-adik tersayang, Khairul Syah Alam, Khair Dina dan Khair Ilham yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dukungan serta semangat kepada penulis selama ini.

15.Sahabat-sahabatku tersayang, Nurmaida Sari Tanjung, Siska Marina Damanik, Dian Royana dan terkhususnya untuk Kak Dian Akhfiana Fitri Lubis, bang Jufrie, Fahrurrozi Arfad yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

16.Teman – teman di Departemen AKK : Faisal, Ulfah, Anggit, Irin, Tria, Imel, Tika, Vebri, Mince, Kak Licha, Kak Sherly, Kak Tri, Kak Latifah, Kak Imel, Rahmah, atas dukungan, motivasi, dan pembelajaran selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

17.Teman – teman stambuk 2009 yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu atas proses pembelajaran di FKM USU selama ini, serta teman-teman seperjuangan PBL di Bahorok atas kebersamaan dan pembelajaran selama proses PBL.

18.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi para pembaca. Amiin.

Medan, Agustus 2013

Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Persepsi ... 9

2.1.1 Pengertian Persepsi ... 9

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 9

2.1.3 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Persepsi ... 10

2.1.4 Proses Terjadinya Persepsi ... 11

2.1.5 Objek Persepsi ... 12

2.1.6 Konsisten dalam Persepsi ... 12

2.2 Kebijakan ... 14

2.2.1 Pengertian Kebijakan ... 14

2.2.2 Kebijakan Kesehatan ... 15

2.2.3 Strata Kebijakan ... 16

2.2.4 Tahap-Tahap Kebijakan ... 17

2.2.5 Aktor-Aktor dalam Perumusan Kebijakan ... 19

2.3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ... 19

2.3.1 Tugas dan Wewenang DPRD ... 19

2.3.2 Hak dan Kewajiban DPRD ... 20

2.3.3 Komisi DPRD ... 21

2.3.4 Hubungan dalam Penyusunan Kebijakan Daerah ... 23

2.4 Alur Proses Penyusunan Peraturan Daerah ... 23

2.4.1 Prinsip Dasar Proses Penyusunan Peraturan Daerah ... 23

2.4.2 Langkah Penyusunan Peraturan Daerah ... 25

2.4.3 Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah ... 34

2.5 Rokok ... 36

2.5.1 Pengertian Rokok ... 36

2.5.2 Kandungan dalam Rokok ... 36

2.5.3 Penyakit Akibat Rokok ... 36


(11)

2.6.1 Prinsip Dasar Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ... 39

2.6.2 Langkah-Langkah Pengembangan KTR ... 41

2.7 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ... 45

2.8 Kerangka Pikir Penelitian ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 49

3.1 Jenis Penelitian ... 49

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 49

3.2.2 Waktu Penelitian ... 49

3.3 Pemilihan Informan ... 49

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5 Definisi Operasional... 50

3.6 Instrumen Penelitian... 51

3.7 Teknik Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 53

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 53

4.2 Karakteristik Informan ... 55

4.3 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan ... 56

4.3.1 Distribusi Status Merokok dari Informan ... 56

4.3.2 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Rokok ... 56

4.3.3 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Dampak dari Rokok ... 58

4.3.4 Distribusi tentang Efek yang Dirasakan Informan saat Berada didekat Perokok ... 59

4.3.5 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Kawasan Tanpa Rokok ... 60

4.3.6 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Kawasan Tanpa Rokok yang Menjadi Sebuah Ketetapan di Daerah-Daerah di Indonesia serta Kontroversi yang Menyangkut Kawasan Tanpa Rokok ... 62

4.3.7 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan serta Persepsi terhadap Usulan Tersebut ... 64

4.3.8 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Komitmen Informan sebagai Pembuat Kebijakan ... 66

4.3.9 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Alasan Mengusulkan Ranperda Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan ... 68

4.3.10 Distribusi tentang Persepsi Informan terhadap Alur Proses dalam mengajukan Ranperda Kawasan Tanpa Rokok ... 68

BAB V PEMBAHASAN ... 71


(12)

5.2 Persepsi Informan terhadap Dampak dari Rokok ... ... 72

5.3 Efek yang Dirasakan Informan saat Berada didekat Perokok ... 72

5.4 Persepsi Informan terhadap Kawasan Tanpa Rokok ... 73

5.5 Persepsi Informan terhadap Kawasan Tanpa Rokok yang Menjadi Sebuah Ketetapan di Daerah-Daerah di Indonesia serta Kontroversi yang Menyangkut Kawasan Tanpa Rokok ... 74

5.6 Persepsi Informan terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan serta Persepsi terhadap Usulan Tersebut .... 75

5.7 Komitmen Sebagai Pembuat Kebijakan ... 76

5.8 Alasan Mengusulkan Rancangan Perda (Ranperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ... 77

5.9 Alur Proses Mengusulkan Ranperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Ke DPRD ... 78

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

6.1 Kesimpulan ... 86

6.2 Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Komposisi Personalia Komisi-Komisi DPRD Kota Medan

Periode 2013-2014 ... 53

Tabel 4.2 Komposisi Anggota DPRD Kota Medan Periode 2009-2014 Berdasarkan Partai Politik ... 55

Tabel 4.3 Karakteristik Informan ... 55

Tabel 4.4 Status Merokok dari Informan ... 56

Tabel 4.5 Persepsi Informan terhadap Rokok ... 56

Tabel 4.6 Persepsi Informan terhadap Dampak dari Rokok ... 58

Tabel 4.7 Pernyataan Informan terhadap Efek yang Dirasakan Informan saat Berada didekat Perokok ... 59

Tabel 4.8 Persepsi Informan terhadap Kawasan Tanpa Rokok ... 60

Tabel 4.9 Persepsi Informan terhadap Kawasan Tanpa Rokok yang Menjadi Sebuah Ketetapan di Daerah-Daerah di Indonesia serta Kontroversi yang Menyangkut Kawasan Tanpa Rokok ... 62

Tabel 4.10 Persepsi Informan terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan serta Persepsi terhadap Usulan Tersebut ... 64

Tabel 4.11 Persepsi Informan terhadap Komitmen Informan sebagai Pembuat Kebijakan ... 66

Tabel 4.12 Persepsi Informan terhadap Alasan Mengusulkan Ranperda Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan ... 68

Tabel 4.13 Persepsi Informan terhadap Alur Proses dalam mengajukan Ranperda Kawasan Tanpa Rokok ... 68


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Proses Penyusunan Perda ... 27 Gambar 2.2 Kerangka Pikir ... 47


(15)

ABSTRAK

Kawasan tanpa rokok merupakan kegiatan dalam hal produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok yang dinyatakan dilarang untuk dilakukan dalam area atau ruangan. Kawasan tanpa rokok perlu ditetapkan untuk melindungi masyarakat dari lingkungan paparan asap rokokyang dapat membahayakan perokok pasif serta dapat mengurangi kebiasaan perokok aktif untuk merokok. Sementara itu pemerintah berkewajiban melindungi masyarakatnya. Hal ini yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan srudi penelitian kualitatif untuk mengetahui dan memahami persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan tentang kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Medan Tahun 2013 karena DPRD yang memberikan keputusan terhadap penetapan kawasan tanpa rokok ini akan berjalan atau tidak.

Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif untuk melihat persepsi Anggota DPRD terhadap kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Medan, dengan tekhnik pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan yang berjumlah delapan orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan setuju apabila kawasan tanpa rokok ditetapkan di Kota Medan namun DPRD meminta kesiapan pemerintah daerah apabila nanti peraturan ini ditetapkan. Selain itu informan juga memiliki komitmen terhadap peraturan ini yaitu komitmen mereka sebagai DPRD yang memiliki tugas untuk mengawasi apakah peraturan ini berjalan atau tidak. Peneliti menyarankan agar pihak DPRD menyegerakan pengambilan keputusan untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di Kota Medan dan melaksanakan tugas DPRD.

Kesimpulan dari penelitian ini, Persepsi informan terhadap kawasan tanpa rokok adalah mereka berpersepsi bahwa itu sebuah kawasan yang dilarang merokok ditempat umum dan merupakan sebuah kebijakan yang harus direalisasikan namun dengan melihat kesiapan dari perangkat daerah tersebut, serta sarannya adalah agar DPRD cepat merealisasikan kawasan tanpa rokok di Kota Medan agar masyarakat Kota Medan terjaga kesehatannya dari lingkungan yang bebas asap rokok.


(16)

ABSTRACT

Smoke Free Area is a room or area which prohibited the production, sales, advertising, promotion, or smoking. Smoke Free Areas need to be created to protect people from smoke that can threaten passive smoker and can decrease smoke habit of active smoker. Besides, the government has an obligation to protect the community. That is what forms the background of this study by using qualitative research to know and understand perceptions of Medan Regency DPRD members about Smoke Free Area regulation in Medan because DPRD that make decision of Smoke Free Area can run or not.

This research was qualitative to see the perception of DPRD members about Smoke Free Area, Data were collected by using indepth interview to informant which number 8 persons.

The result of research showed that all of informant agree if Smoke Free Area is established in Medan but DPRD ask the regency government readiness if this regulation has been decided. Besides that, informan also have commitment to this regulation which have duty to supervise the implementation of this regulation. It is suggested to DPRD to establish the smoke free area soon.

The conclusion of this research, Perception informant against the Smoke Free Area is they perceived that it was an area that prohibited smoking in public places and is a policy that must be realized, but by looking at the readiness of the region, as well as advice is parliament quickly realize that without a cigarette in the region Medan so that the public health of the city of Medan maintained smoke-free environment.

Keywords = Perception, DPRD members, Smoke Free Area.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam era globalisasi saat ini banyak masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah serta masyarakat umum. Salah satu masalah yang sangat umum sekarang adalah meningkatnya konsumsi rokok dikalangan masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, diperkirakan ada sebanyak 1,26 miliar perokok di seluruh dunia dan sekitar 200 juta diantaranya adalah perokok wanita. Ada 10 negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, yaitu Cina (390 juta perokok), India (144 juta perokok), Indonesia (65 juta perokok), Rusia (61 juta perokok), Amerika Serikat (58 juta perokok), Jepang (49 juta perokok), Brazil (24 juta perokok), Bangladesh (23,3 juta perokok), Jerman (22,3 juta perokok), Turki (21,5 juta perokok).

Menurut Tobacco Atlas (2012), Indonesia menduduki urutan keempat di antara negara-negara dengan tingkat agregat konsumsi tembakau tertinggi di dunia pada tahun 2012. Indonesia juga mengalami peningkatan tajam konsumsi tembakau dalam 30 tahun terakhir yaitu dari 33 milyar batang per tahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang di tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980, konsumsi meningkat sebesar 159%. Faktor-faktor yang ikut berperan adalah iklim ekonomi yang positif dan mekanisasi produksi rokok di tahun 1974. Antara tahun 1990 dan 2000,


(18)

peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau, meskipun pada saat itu sedang mengalami krisis ekonomi (Depkes, 2004).

Di Indonesia, prevalensi perokok menurut provinsi yang tertinggi adalah Kalimantan Tengah (43,2%), dan yang terendah adalah provinsi Sulawesi Tenggara (28,3%), sementara itu Sumatera Utara (35,7%) . Prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas yang merokok tiap hari sebesar 28,2 persen. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap tiap hari oleh lebih dari separuh (52,3%) perokok adalah 1-10 batang dan sekitar 20 persen sebanyak 11-20 batang per hari (Riskesdas, 2010)

Kemudian penduduk yang merokok 1-10 batang per hari paling tinggi dijumpai di Maluku (69,4%), disusul oleh Nusa Tenggara Timur (68,7%), Bali (67,8%), DI Yogyakarta (66,3%), dan Jawa Tengah (62,7%). Sedangkan persentase penduduk merokok dengan rata-rata 21-30 batang per hari tertinggi di Provinsi Aceh (9,9%) dikuti Kepulauan Bangka Belitung (8,5%) dan Kalimantan Barat (7,4%). Sementara itu persentase penduduk merokok dengan rata-rata lebih dari 30 batang per hari tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (16,2%), Kalimantan Selatan (7,9%) serta Aceh dan Kalimantan Tengah (5,4%) (Riskesdas, 2010).

Merokok sangat tidak memberi manfaat bagi pemakainya. Banyak penyakit yang disebabkan oleh karena merokok, yaitu antara lain kanker paru-paru, saluran pernapasan kronik, kardiovaskuler, kanker mulut dan tenggorokan, kanker pankreas, kanker darah, ginjal, kanker leher rahim, kanker lambung. Tidak hanya menyerang para perokok saja, melainkan juga menyerang orang-orang yang disekitar perokok karena terhirup asap rokok (perokok pasif). Konsentrasi zat berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar karena racun yang terhisap melalui asap rokok perokok


(19)

aktif tidak terfilter. Sedangkan racun rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang dihisap (WHO, 2008).

Pemerintah sudah melakukan upaya untuk mengurangi konsumsi rokok dengan beberapa peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Peraturan yang pernah dibuat pemerintah untuk menanggulangi konsumsi rokok serta perlindungan terhadap orang yang terkena asap rokok yaitu PP No.8/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang sudah direvisi menjadi PP No. 19 Tahun 2003, kemudian diubah kembali menjadi PP 109 Tahun 2012, Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dalam Pasal 22 tentang kesehatan lingkungan, Pasal 45 tentang kesehatan sekolah, Pasal 38 tentang penyuluhan kesehatan dan Pasal 44 tentang pengamanan zat adiktif. Namun sekarang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 sudah diamandemen menjadi Undang-Undang 36 Tahun 2009 dan pasal yang menyangkut pengendalian rokok terdapat dalam Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116 serta Pasal 199 (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011).

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) telah diatur dalam pasal 115 pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan KTR di wilayahnya. KTR adalah area atau ruangan yang dilarang untuk melakukan kegiatan seperti produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok. Tujuannya adalah agar dapat melindungi kesehatan masyarakat dilingkungan dengan memastikan bahwa tempat-tempat yang umum bebas dari jangkauan asap rokok. Adapun tempat-tempat umum yang dimaksud meliputi : a) fasilitas tempat pelayanan kesehatan, b) tempat belajar mengajar, c)


(20)

tempat bermain anak, d) tempat ibadah, e) angkutan umum, f) tempat kerja, serta g) tempat-tempat umum yang telah ditentukan (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011).

Ada beberapa alasan mengapa KTR harus dikembangkan, yaitu a) agar dapat melindungi anak-anak dan orang yang bukan perokok dari segala resiko kesehatan yang diakibatkan oleh asap rokok orang lain, b) agar dapat mencegah perasaan tidak nyaman, bau, dan kotoran dari ruangan merokok, c) agar dapat membantu mengembangkan opini masyarakat bahwa tidak merokok merupakan sebuah perilaku yang lebih normal, d) dapat mengurangi konsumsi rokok secara bermakna dengan menciptakan lingkungan yang mendorong perokok agar berhenti atau yang terus merokok dapat mengurangi konsumsi rokoknya (Crofton dan Simpson, 2009).

Dibeberapa wilayah di Indonesia KTR sudah berjalan dengan baik, misalnya, pada daerah DKI Jakarta. Daerah ini adalah daerah yang pertama kali mengeluarkan peraturan yang terkait dengan rokok. Peraturan itu dimuat pada Keputusan Gubernur No. 11 Tahun 2004 tentang Pengendalian Rokok di Tempat Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota, serta pada Perda Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011).

Selain DKI Jakarta, ada beberapa daerah yang juga sudah menerapkan KTR, yaitu Kota Bandung dengan Perda No. 03 Tahun 2005, Kota Bogor dengan Perda No. 08 Tahun 2006, Kota Palembang dengan Perda No. 07 tahun 2009, Kota Padang Panjang dengan Perda No. 08 Tahun 2009, Kota Surabaya dengan Perda N0. 05 Tahun 2008 dan Peraturan Walikota (Perwali) No. 25 tahun 2009, Provinsi D.I.


(21)

Yogyakarta dengan Peraturan Gubernur Provinsi Yogyakarta No. 42 Tahun 2009, Kota Cirebon dengan Perwali No. 27A/2006, Kabupaten Bangli dengan Perda No. 24 Tahun 2010, Kota Tangerang dengan Perda Kota Tangerang No. 5 Tahun 2010, Kota Pontianak dengan Perda Kota Pontianak No.10 Tahun 2010, Kota Semarang dengan Perwali Kota Semarang No. 12 Tahun 2009, Kabupaten Gunung Kidul dengan Peraturan Bupati GunungKidul No. 22 Tahun 2009, serta beberapa daerah lainnya (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011).

Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Jumlah penduduk kota Medan sekitar 2.097.610 dengan kepadatan 7.913/km2 dan sebanyak 19,3% penduduknya adalah perokok (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2009). Hal ini dapat meningkatkan kesehatan yang buruk bagi masyarakat di lingkungan Kota Medan, baik bagi perokok pasif maupun perokok aktif. Kota Medan sendiri sampai sekarang belum mempunyai peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. Ini merupakan tanggung jawab dari semua kalangan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Tanggung jawab pemerintah adalah dari segi memberikan kebijakan yang kuat, serta dapat memberikan fasilitas dari kebijakan tersebut, yang menghasilkan program. Namun keputusan dalam pengesahan kebijakan ada ditangan lembaga legislatif.

Lembaga legislatif, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berfungsi sebagai pemegang kekuasaan membentuk peraturan daerah, membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang diajukan oleh Bupati/Walikota, melakukan pengawasan atas pelaksanaan peraturan daerah dan APBD. Anggota DPRD secara aktif ikut berperan dalam penyusunan


(22)

peraturan daerah, tidak hanya menyetujui rancangan peraturan daerah yang diberi pemerintah daerah, dan berperan penting dalam penganggaran daerah. Orientasi dasar politik DPRD yaitu agenda politik yang sangat nyata dan yang langsung memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan aksebilitas dan kualitas pendidikan serta kesehatan, pemberantasan korupsi dan reformasi. Untuk itu perlu kebijakan dari DPRD mengenai KTR karena ini berhubungan dengan kesehatan masyarakat.

Persepsi sangat dibutuhkan dalam memberikan keputusan untuk sebuah kebijakan serta menguatkan kebijakan tersebut atas persepsi yang diberikan. Menurut Robbins, persepsi adalah sebuah proses yang digunakan oleh individu untuk mengelola dan menafsirkan apa yang menjadi kesan mereka dalam hal memberikan makna pada lingkungan disekitar mereka. Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap satu hal yang ditanyakan kepada mereka, dan pandangan tersebut tergantung pada tingkat pengetahuan individu masing-masing (Robbins, 2006).

Penelitian Susanti (2011) tentang persepsi unsur pimpinan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tentang kawasan tanpa rokok menyimpulkan bahwa informan setuju dengan adanya kawasan tanpa rokok yang telah direalisasikan di beberapa daerah dan universitas di Indonesia dan semua informan juga setuju jika di FKM USU ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok karena kawasan tanpa rokok memiliki dampak positif terutama dalam bidang kesehatan.


(23)

Maka dari pada itu dibutuhkan persepsi anggota DPRD dalam upaya merujuk pada upaya-upaya untuk mendukung kebijakan pemerintah kota dalam mengatasi masalah yang ada di masyarakat. DPRD memiliki kewenangan yang sangat besar dan penting dalam membuat, menyesuaikan, memutuskan, dan mengontrol akan adanya sebuah peraturan daerah sebagai sebuah kebijakan pada pemerintahan daerah tersebut. Ini mengandung arti bahwa DPRD mempunyai kewenangan untuk lebih berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan kesehatan yang ada di masayarakat daerah tersebut sehingga terciptanya masyarakat dan daerah yang sehat dan bersih untuk perkembangan pembangunan daerah Kota Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : bagaimana persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami persepsi anggota DPRD Kota Medan tentang kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui persepsi anggota DPRD Kota Medan terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan.


(24)

2. Untuk mengetahui sejauh mana peran para anggota DPRD Kota Medan dalam mendukung kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui sudah sejauh mana rancangan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi DPRD Kota Medan dalam membuat atau merumuskan kebijakan terutama dalam bidang kesehatan di Kota Medan untuk kesempatan yang akan datang.

2. Sebagai masukan bagi Pemko Medan dalam mengusulkan kebijakan terutama dalam bidang kesehatan.

3. Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan refrensi bagi penelitian selanjutnya.

4. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang penelitian. 5. Untuk menambah khasanah Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya dalam


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

2.1.1 Pengertian Persepsi

Persepsi adalah dimana individu melakukan sebuah proses mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan panca inderanya untuk memberikan sebuah makna kepada lingkungan disekitarnya (Robbins, 2006). Menurut Horvitz, persepsi adalah pendapat yang muncul setelah melakukan pengamatan terhadap lingkungan sekitar atau memerhatikan keadaan sekitar untuk mendapatkan sebuah informasi terhadap sesuatu.

Menurut Kotler (2009), persepsi adalah sebuah proses bagaimana individu menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan asumsi-asumsi yang menghasilkan informasi untuk membentuk sebuah gambaran dari keseluruhannya yang berarti. Persepsi sangat dibutuhkan untuk menilai atau memberikan pendapat terhadap sesuatu. Persepsi setiap orang selalu berbeda-beda. Dari persepsi ini lah tercipta sebuah interaksi yang dapat memulai hubungan antar sesama individu.

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Sebuah persepsi tidak terjadi begitu saja, melainkan terjadi akibat adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Vincent, ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu :


(26)

1. Pengalaman masa lalu (terdahulu). Sebuah pengalaman yang pernah dirasakan dan dialami seseorang dapat menciptakan sebuah persepsi karena orang tersebut akan menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang dilihat, didengarkan dan dirasakan olehnya.

2. Keinginan. Sebuah keinginan akan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam memberikan keputusannya. Karena seseorang tidak akan menerima apa yang ditawarkan kepadanya apabila itu tidak sesuai dengan keinginannya.

3. Pengalaman dari orang lain. Pengalaman dari orang lain, dimana orang tersebut menceritakan pengalamannya akan dapat mempengaruhi persepsi dari orang yang mendengarkannya. Karena hal itu akan menjadi refrensi dari seseorang dalam memberikan persepsi pada keadaan yang sama kelak (Riadi, 2012).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Persepsi

Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Ada beberapa faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu :

1. Objek yang dipersepsi

Objek memunculkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus timbul dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat timbul dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun kebanyakan stimulus timbul dari luar individu.

2. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf

Alat menerima stimulus adalah alat indera atau reseptor. Selain itu, syaraf sensoris harus ada sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke


(27)

pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Syaraf motoris diperlukan sebagai alat untuk mengadakan respon.

3. Perhatian

Adanya perhatian diperlukan untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek (Walgito, 2004).

2.1.4 Proses Terjadinya Persepsi

Objek menciptakan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau rseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses inilah yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba (Walgito, 2004).

Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis.taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk (Walgito, 2004).


(28)

2.1.5 Objek Persepsi

Segala sesuatu yang ada disekitar manusia dapat menjadi objek yang dipersepsi. Manusia itu sendiri dapat menjadi objek yang dipersepsi. Persepsi diri atau self-perception adalah orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek persepsi .

Objek persepsi dapat dibedakan atas objek yang nonmanusia dan manusia. Objek yang berwujud manusia disebut person perception atau social perception, sedangkan persepsi yang berobjekkan nonmanusia disebut dengan nonsocial perception atau things perception.

Objek persepsi manusia, manusia yang dipersepsi memiliki kemampuan-kemampuan, perasaan, ataupun aspek-aspek lain seperti halnya pada orang yang mempersepsi. Orang yang dipersepsi akan dapat mempengaruhi orang yang mempersepsi. Pada objek yang dipersepsi, yaitu manusia yang dipersepsi, lingkungan yang melatarbelakangi objek yang dipersepsi, dan perseptor sendiri akan sangat menentukan dalam hasil persepsi (Walgito, 2004).

2.1.6 Konsisten dalam Persepsi

Pengalaman dari seseorang akan berperan dalam seseorang mempersepsikan sesuatu. Persepsi tidak hanya ditentukan oleh stimulus secara objektif, melainkan juga akan ditentukan atau dipengaruhi oleh keadaan diri seseorang yang mempersepsi. Konsistensi ini terbagi atas tiga, yaitu :


(29)

1. Konsistensi Bentuk

Hasil persepsi itu tidak semata-mata ditentukan oleh stimulus secara objektif semata, melainkan individu yang mempersepsi ikut aktif dalam hasil persepsi.

2. Konsistensi Warna

Menurut pengalaman seseorang, mengerti bahwa susu murni berwarna putih,. Walapun pada suatu ketika seseorang tersebut menemukan susu yang warnanya remang-remang, namun dalam mempersepsikan susu tersebut orang akan berpendapat bahwa susus itu berwarna putih. Inilah yang disebut sebagai konsistensi warna.

3. Konsistensi Ukuran (Size)

Pengalaman memberikan pengertian bahwa binatang yang namanya gajah dewasa memiliki ukuran besar, lebih besar dari seekor harimau. Apabila seseorang melihat seokar gajah dari kejauhan, maka gajah tersebut kelihatannya kecil, semakin jauh jaraknya kelihatannya akan semakin kecil. Sekalipun yang dilihat itu kecil, namun dari hasil persepsi orang menyatakan bahwa gajah itu tetap memiliki ukuran besar.

Dari penjelasan diatas menyatakan bahwa seseorang mempersepsikan sesuatu tidak hanya akan ditentukan oleh stimulus secara objektif semata, namun apa yang ada dalam diri orang yang bersangkutan akan ikut menentukan hasil persepsi, termasuk pengalaman (Walgito, 2004).


(30)

2.2 Kebijakan

2.2.1 Pengertian Kebijakan

Dalam buku Abidin (2012) Thomas Dye mengatakan bahwa kebijakan adalah sebuah pilihan yang dilakukan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever goverment choose to do or not to do). Menurut Easton kebijakan pemerintah aadalah sebuah kekuasaan pengalokasian dari nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah merupakan sebuah organisasi yang dapat meliputi keseluruhan dari kehidupan bermasyarakat.

Menurut Lasswell dan Kaplan melihat kebijakan merupakan sebagai suatu sarana untuk mencapai sebuah tujuan, dan menyebutkan kebijakan sebagai sebuah program yang diproyeksikan berhubungan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Kemudian Friedrich mengungkapkan bahwa hal yang menjadi paling pokok dalam sebuah kebijakan adalah adanya tujuan, sasaran, atau kehendak (Abidin, 2012)

Heglo mengatakan kebijakan sebagai sebuah tindakan yang bermaksud untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan. Kemudian melalui Jones, definisi Heglo diuraikan menjadi beberapa isi, yaitu 1) Tujuan, dengan maksud adalah tujuan yang ditentukan untuk dikehendaki agar tercapai (the desired ends to be achieved), bukan hanya sekadar tujuan yang hanya diinginkan saja, 2) alat atau cara tertentu untuk mencapai tujuan tersebut adalah rencana atau proposal, 3) untuk mencapai tujuan yang dimaksud diperlukan program atau cara tertentu yang sudah mendapatkan persetujuan dan pengesahan, 4) sebuah keputusan, yaitu suatu tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, serta


(31)

melaksanakan dan mengevaluasi program, 5) dampak, merupakan dampak yang timbul dalam masyarakat dari program tersebut (Abidin, 2012)

Jones merumuskan kebijakan sebagai suatu prilaku, yang berhubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah dalam hal memecahkan masalah umum, yang bersifat tetap dan berulang. Ini memberikan makna bahwa kebijakan bersifat dinamis karena nantinya dalam bagian lain akan dibicarakan secara khusus dalam hubungannya dengan sifat dari kebijakan tersebut (Abidin, 2012)

Pengertian kebijakan dikaitkan dengan analisis kebijakan oleh William Dunn, yang mendefenisikan analisis kebijakan sebagai sebuah ilmu sosial terapan yang untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan menggunakan berbagai metode yang dipakai dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari (Abidin, 2012).

2.2.2 Kebijakan Kesehatan

Menurut Walt (1994) dalam Sriatmi (2009), kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk dapat mempengaruhi faktor-faktor penentu dalam bidang kesehatan agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarkat. Kebijakan kesehatan merupakn sebuah jaringan keputusn yang saling berhubungan untuk menciptakan sebuah strategi atau pendekatan yang nantinya memiliki hubungan dengan isu-isu kesehatan di masyarakat.


(32)

Kebijakan kesehatan berjalan pada beberapa tingkatan, yaitu : 1. Tingkatan sistemik

Gambaran umum yang secara keseluruhan membentuk sistem kesehatan dan saling berhubungan, misalnya peran serta publik atau masyarakat, hubungan masalah kesehatan dengan sistem yang lain, keterlibatan institusi publik.

2. Tingkatan Program

Memutuskan yang menjadi prioritas untuk pelayanan kesehatan, program-program kesehatan yang nyata dan cara yang digunakan untuk menjalankannya serta menentukan dimana sumberdaya harus dialokasikan.

3. Tingkatan Organisasi

Memperlihatkan cara yang digunakan agar sumberdaya dapat diguanakan secara produktif serta dapat memberikan pelayanan yang bermutu tinggi.

4. Tingkatan Instrumental

Sebuah tingkatan yang mengembangkan instrumen organisasi sehingga baik, seperti dalam pengembangan sumberdaya manusia dalam organisasi dan sistem informasi (dukungan dalam pelayanan) (Sriatmi, 2009).

2.2.3 Strata Kebijakan

Kebijakan dapat dibedakan dalam tiga tingkatan secara umum, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi dasar pedoman atau petunjuk untuk pelaksanaan, baik yang bersifat positif maupun negatif yang menyangkut keseluruhan wilayah atau


(33)

instansi yang bersangkutan, ini bersifat relatif. Maksudnya adalah untuk cakupan wilayah negara, kebijakan umum berbentuk undang-undang atau keputusan presiden, dan sebagainya, sedangkan untuk cakupan wilayah provinsi, peraturan atau kebijakan dari keputusan yang diambil dari pusat, serta juga merupakan keputusan gubernur atau peraturan daerah yang diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kebijakan pelaksana merupakan penjabaran atau turunan dari kebijakan umum. Pada tingkat pusat, peraturan pemerintah yang menyangkut pelaksanaan suatu undang-undang atau keputusan menteri merupakan penjabaran dari keputusan presiden. Sementara untuk tingkat provinsi, keputusan gubernur atau peraturan daerah yang dijabarkan menjadi keputusan bupati atau keputusan seorang kepala daerah dapat dianggap sebagai kebijakan pelaksanaan.

Kebijakan teknis adalah suatu kebijakan operasional yang posisnya berada dibawah kebijakan pelaksanaan. Menurut Attamimi, yang membagi peraturan perundang-undangan menjadi peraturan legislatif dan peraturan kebijakan. Ia menganggap bahwa peraturan kebijakan sebagai bagian putusan yang dibuat dalam pelaksanaan peraturan legislatif, sedangkan peraturan legislatif merupakan sebuah putusan yang tidak dipandang sebagai kebijakan (Abidin, 2012).


(34)

2.2.4 Tahap-Tahap Kebijakan

Dalam proses pembuatan kebijakan publik banyak melibatkan beberapa proses maupun variabel yang akan dikaji. Ada beberapa tahapan-tahapan dalam kebijakan publik menurut Dunn (1999), yaitu :

1. Tahap Penyusunan Agenda

Masalah-masalah yang ada dikompetisi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan. Kemudian ada beberapa masalah yang dapat masuk ke dalam agenda kebijakan untuk dirumuskan oleh para perumus kebijakan. Namun, disatu sisi ada masalah yang mungkin tidak tersentuh atau masuk ke dalam agenda kebijakan, dan ada pula masalah yang di tunda untuk beberapa waktu karena alasan-alasan tertentu.

2. Tahap Formulasi Kebijakan

Dalam tahap ini, masalah-masalah yang masuk ke dalam agenda kebijakan dicari pemecahan masalahnya. Pemecahan masalahnya berasal dari berbagai alternatif ataupun pilihan kebijakan. Dan disini pun setiap alternatif bersaing untuk menjadi sebuah kebijakan yang dijadikan sebagai pemecah masalah.

3. Tahap Adopsi Kebijakan

Kebijakan yang diadopsi karena dukungan mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.


(35)

4. Tahap Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diputuskan kemudian dilaksanakan oleh bagian-bagian administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini kemungkinan akan terjadi persaingan dari berbagai kepentingan.

5. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini akan dilakukan penilaian dan pengevaluasian terhadap kebijakan yang telah dijalankan untuk melihat apakah kebijakan tersebut telah mampu memecahkan masalah dan memberikan dampak yang diinginkan (Winarno, 2012).

2.2.5 Aktor-Aktor dalam Perumusan Kebijakan

Dalam tulisan Anderson (1979), Lindblom (1980), maupun James P. Lester dan Joseph Stewart, Jr (2000) terdapat pembahasan mengenai siapa yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Terdapat dua kelompok aktor-aktor atau pemeran dalam proses pembentukan kebijakan, yaitu para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi (Winarno, 2012).

Yang termasuk ke dalam para pemeran serta tidak resmi, yaitu pemerintahan (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Sementara itu yang termasuk ke dalam para pemeran serta tidak resmi, yaitu para kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warganegara individu (Winarno, 2012).


(36)

2.3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD adalah bagian dari unsur penyelenggara daerah. DPRD lebih banyak melaksanakan fungsi pengaturan, dalam bentuk membuat kebijakan berupa peraturan daerah (Wasistiono dan Wiyoso, 2009)

2.3.1 Tugas dan Wewenang DPRD

Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Pasal 62 dan 78 diatur tugas dan wewenang DPRD, yaitu :

1. Membentuk Peraturan Daerah (Perda) yang dibahas oleh Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.

2. Bersama dengan Kepala Daerah, DPRD menetapkan APBD.

3. Melaksanakan pengawasan terhadap Perda, peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

4. DPRD dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi Gubernur dan melalui Gubernur bagi Bupati/Walikota.

5. Kepada Kepala Daerah dimintai kaporan keterangan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan tugas desentralisasi (Wasistiono dan Wiyoso, 2009)


(37)

2.3.2 Hak dan Kewajiban DPRD

Menurut UU No. 32 Tahun 2004, DPRD mempunyai beberapa hak, yaitu interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Selain itu, anggota DPRD juga mempunyai hak, yaitu mengajukan rancangan Perda, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, serta keuangan dan administratif.

Pada Pasal 45 dalam UU No. 32 Tahun 2004, kewajiban anggota DPRD adalah :

1. Mangamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NKRI Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan.

2. Melaksanakan kehidupan demokratis dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. 3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI. 4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan di daerah.

5. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat. 6. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan

golongan.

7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan poltis terhadap daerah pemilihannya.

8. Menaati peraturan tata tertib, kode etik, dan sumpah/janji anggota DPRD, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait (Wasistiono dan Wiyoso, 2009).


(38)

2.3.3. Komisi DPRD

Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Setiap anggota DPRD kecuali Pimpinan DPRD wajib menjadi Anggota salah satu Komisi. Jumlah komisi sebagaimana dimaksud adalah 4 (empat) komisi. Jumlah Anggota setiap komisi diupayakan berimbang. Penempatan Anggota Komisi DPRD dalam komisi-komisi dan perpindahan ke komisi-komisi di dasarkan atas usul fraksinya dan dapat dilakukan setiap awal tahun anggaran. Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Komisi dan dilaporkan dalam Rapat Paripurna DPRD. Masa penempatan anggota dalam komisi dan perpindahannya ke Komisi lain, diputuskan dalam rapat Paripurna DPRD atas usul Fraksi pada awal tahun Anggaran. Masa jabatan ketua, wakil ketua dan sekretaris komisi ditetapkan paling lama 2½ (dua setengah) tahun. Anggota DPRD Pengganti Antar Waktu menduduki tempat Anggota Komisi yang digantikan (Anonim, 2010).

Komisi dalam DPRD mempunyai tugas sebagai berikut :

a. Melakukan pembahasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah, dan Rancangan Keputusan DPRD

b. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing–masing dan apabila ditemukan penyimpangan dapat direkomendasikan ke intansi terkait

c. Membantu Pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh Kepala Daerah dan masyarakat kepada DPRD


(39)

d. Menerima, menampung dan membahas serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat

e. Memperjuangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah

f. Melakukan kunjungan kerja komisi yang bersangkutan atas persetujuan Pimpinan DPRD

g. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat dengan instansi Pemerintah daerah maupun instansi Pemerintah yang ada di daerah

h. Mengajukan usul kepada Pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing – masing

i. Memberikan laporan tertulis kepada Pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas Komisi

j. Komisi melakukan koordinasi dan pembahasan dengan mitra kerja dalam rangka perencanaan kegiatan APBD tahun berikutnya, untuk ditindak lanjuti di dalam pembahasan Badan Anggaran (Anonim, 2010)

2.3.4 Hubungan dalam Penyusunan Kebijakan Daerah

UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan dasar rujukan atas penyusunan kebijakan daerah dalam bentuk Perda. Perda merupakan peraturan perundang-undangan yang terbawah baik pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun desa, dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004. Kedudukan Perda dalam Tata urutan Perundangan:

1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.


(40)

3. Peraturan Pemerintah. 4. Peraturan Presiden.

5. Peraturan Daerah (Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa) (Wasistiono dan Wiyoso, 2009).

2.4 Alur Proses Penyusunan Peraturan Daerah

2.4.1 Prinsip Dasar Proses Penyusunan Peraturan Daerah

Ada beberapa prinsip dasar proses penyusunan peraturan daerah, yaitu : 1. Transparansi/Keterbukaan

Proses yang transparan dapat memberikan beberpa hal kepada masyarakat, yaitu : 1) informasi akan ditetapkannya sebuah kebijakan, dan 2) sebuah peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara langsung. Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas antara pemerintah dan non pemerintah.

2. Partisipasi

Diadakannya partisipasi untuk mendorong: (1) terciptanya komunikasi publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik untuk kemudian menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap suatu isu. Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya


(41)

konflik dalam menerapkan suatu keputusan dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta mendorong publik untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah. Partisipasi publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan kajian terhadap rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan masukan; dan (3) tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah.

3. Koordinasi dan Keterpaduan

Koordinasi dan keterpaduan/integrasi berkaitan dengan hubungan antara pemerintah dan organisasi dalam pemerintah - menyediakan mekanisme yang melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi, menekan konflik, membatasi ketidakefektivan, dan yang terpenting membatasi jumlah produk hukum (LGSP, 2007).

2.4.2 Langkah Penyusunan Peraturan Daerah

Secara formal, sebuah rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau Kepala Pemerintah Daerah. Namun demikian, penyusunan sebuah Perda hanya dapat diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya memerlukan sebuah Perda baru. Sehingga inisiasi awal penyusunan Perda baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait, baik itu lembaga/instansi pemerintah, badan legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi non-pemerintah, maupun kelompok masyarakat.


(42)

Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan sebuah Perda baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua jalur penyusunan Perda, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembaga/instansi eksekutif dan badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi menjadi inisiasi lembaga/instansi eksekutif atau badan legislatif. Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip penyusunan peraturan daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Perda. Pada intinya, pembuatan Perda sebenarnya merupakan satu bentuk pemecahan masalah secara rasional.

Menurut UU 10 No. Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 26, rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota (LGSP, 2007).

Secara umum, terdapat 7 (tujuh) langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui.

Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah.

Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana perda baru dapat memecahkan masalah.


(43)

Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik. Langkah 4 : Penulisan Rancangan Perda.

Langkah 5 : Penyelenggaraan Konsultasi Publik:

· Revisi Rancangan Perda.

· Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan. Langkah 6 : Pembahasan di DPRD.


(44)

Alur Proses Penyusunan Perda digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Alur Proses Penyusunan Perda

1. Identifikasi Isu dan Masalah

Para perancang Perda sangat perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan yang dilihat dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan

1. Identifikasi isu & masalah

2. Identifikasi legal baseline atau landasan

hukum, dan bagaimana Perda

baru dpt memecahkan

masalah

3. Penyusunan Naskah Akademik

4. Penulisan Raperda 5. Penyelenggaraan

Konsultasi Publik:

• Revisi Rancangan Perda apabila diperlukan

• melakukan konsultasi publik tambahan 6.

Pembahasan di DPRD

7. Penetapan Perda


(45)

sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut.

Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu. Misalnya saja, apakah semua pihak akan diperlakukan secara adil? Apakah ada pihak-pihak tertentu yang sangat diuntungkan dan di lain sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya menangani sejumlah permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru? Bagaimana mengidentifikasi masalah tersebut? Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi masalah tersebut, salah satunya adalah

melakukan identifikasi masalah dengan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity,

Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology). Berikut beberapa penjelasan mengenai ROCCIPI :

a. Rule (Peraturan)

1. Susunan kata dari peraturan kurang jelas atau rancu.

2. Peraturan mungkin memberi peluang perilaku masalah.

3. Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah.

4. Memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan tidak partisipatif, dan.

5. Memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah.


(46)

Karena permasalahan rule (peraturan ini) menjadi permasalahan yang siginifikan, maka baik, metode ROCCIPI maupun metode Fishbone ataupun RIA mewajibkan adanya riset yang mendalam berkaitan dengan hal ini. Demikian pula dengan konsepsi perancangan Perda. Sebagai peraturan yang sifatnya lebih delegatif maka perlu ada tahapan khusus, yaitu mengidentifikasi dasar hukum (legal baseline). b. Opportunity (Kesempatan)

1. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju suatu undang memungkinkan

mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-undang atau tidak? 2. Apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai tidak mungkin

terjadi?

c. Capacity (Kemampuan)

1. Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana

ditentukan oleh peraturan yang ada?

2. Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.

3. Dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang tindih. Tidak

menjadi soal kategori ROCCIPI yang mana yang mengilhami seorang penyusun rancangan undang-undang ketika merumuskan hipotesa penjelasan.

4. Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.


(47)

d. Communication (Komunikasi)

Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengomunikasikan peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan secara sadar mematuhi undang-undang kecuali bila dia mengetahui perintah. e. Interest (Kepentingan)

Apakah ada kepentingan material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada? f. Process (Proses)

Menurut kriteria dan prosedur apakah – dengan proses yang bagaimana – para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak?. Biasanya,

apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “proses”

menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak.

g. Ideology (Idiologi)

Apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada?

2. Identikasi Dasar Hukum (Legal Baseline) dan Bagaimana Perda Baru Dapat Memecahkah Masalah


(48)

Legal baseline adalah status dari peraturan perundang-undangan yang saat ini tengah berlaku. Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan perundang-undangan yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.

Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada. Melalui analisis ini, dapat diketahui bagianbagian dari Perda yang ada, yang telah dan belum/tidak ditegakkan, termasuk yang mendapat pendanaan dalam pelaksanaannya berikut alasan yang menyertai, dan instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut. Pada kenyataannya, para pembuat rancangan Perda terlalu cepat memutuskan mengenai perlunya pembuatan rancangan Perda yang baru, tanpa melakukan penelaahan memadai tentang legal baseline yang sudah ada.

Beberapa hal dalam mengidentifikasi legal baseline :

1. Identifikasi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan

permasalahan, mulai dari undang-undang sampai dengan peraturan

perundangundangan terbawah. 2. Identifikasi instansi pelaksana.

3. Evaluasi efektivitas peraturan perundang-undangan yang ada, dengan

mempertimbangkan penulisannya: a. Kejelasan pasal dan ayat. b. Kepastian preskripsi hukum.

4. Evaluasi efektivitas peraturan perundang-undangan yang ada, dengan


(49)

a. Ketersediaan dana pelaksanaan. b. Kapasitas administrasi.

c. Penegakan hukum.

5. Identifikasi peraturan perundang-undangan yang paling berpotensi untuk dapat memecahkan masalah, apabila keefektifannya ditingkatkan atau dibuat revisi.

6. Identifikasi macam-macam instrumen hukum yang mungkin dapat memecahkan

Masalah.

3. Penyusunan Naskah Akademik

Nasakah akademik merupakan merupakan sebuah langkah yang paling penting dalam proses legislasi, karena naskah akademik memiliki peran sebagai

“quality cntrol” yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah

akademik memuat seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui landasan pembuatan suatu peraturan daerah yang baru, termasuk tujuan dan isinya. Naskah akademik merupakan landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda.

Pembuat Perda hendaknya mempertimbangkan besarnya upaya yang perlu dicurahkan dalam membuat sebuah naskah akademik. Sebagai contoh, naskah akademik untuk mendukung pembuatan Perda yang hanya menangani satu permasalahan, misalnya pelarangan penggunaan bahan peledak dalam perikanan tangkap, tentunya tidak perlu sekompleks dan sekomprehensif Perda yang menangani banyak permasalahan yang kompleks secara bersamaan, misalnya pemberlakuan suatu rezim pengelolaan perikanan yang baru.

Pertanyaan-pertanyaan yang sama harus diajukan dalam setiap usulan pembuatan rancangan Perda. Akan tetapi, kedalaman jawaban terhadap beberapa


(50)

pertanyaan tersebut, lingkup analisis, dan sejauh mana konsultasi publik perlu dilakukan, tentunya bervariasi.

4. Penyusunan Peraturan Daerah

Proses pertama dalam melakukan perancangan peraturan perundang-undangan adalah dengan mengenali bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Untuk mengenali sebuah peraturan, perlu diperhatikan beberapa hal:

a. Peraturan yang merupakan perubahan.

b. Peraturan yang merupakan penggantian.

c. Peraturan yang merupakan peraturan baru.

d. Peraturan yang merupakan peraturan ratifikasi atau penetapan Perpu (biasanya RUU).

Secara umum untuk mengenali sebuah peraturan, terlebih dahulu dikaji lebih dalam apakah peraturan tersebut memuat prinsip-prinsip utama suatu produk hukum jika nantinya disahkan menjadi undang-undang/Perda. Agar memenuhi fungsinya sebagai sumber pengenal (kenvorm) maka untuk mengenalinya dapat dilihat materi muatan peraturan tersebut dengan meninjau kerangka strukturalnya. Kerangka struktural dapat dibagi atas 6 (enam) bagian besar:

a. Penamaan/judul.

b. Frase/klausul Permanen. c. Pembukaan.

d. Batang Tubuh. e. Penutup


(51)

f. Lampiran/Penjelasan (bila ada)

5. Penyelenggara Konsultasi Publik

Interaksi dengan masyarakat merupakan upaya yang lentur, dan harus diintegrasikan ke dalam proses penulisan rancangan Perda. Proses konsultasi dan penulisan bersifat interaktif, saling mengisi dan mempengaruhi.

6. Pembahasan di DPRD

Pembahasan di DPRD merupakan salah satu bentuk dari dilaksanakannya konsultasi publik. DPRD selaku wakil rakyat kembali akan melakukan seri konsultasi publik dengan membuka ruang diskusi dengan berbagai kepentingan yang terlibat, seperti asosiasi, perguruan tinggi dan masyarakat yang langsung terkena dampak dengan diberlakukannya peraturan ini. Pembahasan di DPRD tidak dilakukan oleh DPRD semata, melainkan bekerja sama dengan kepala daerah, seperti apa yang diamanatkan dalam UU Nomor 10, Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

7. Mengesahakan Peraturan Daerah

Pengesahan adalah langkah terakhir dalam pembuatan Perda baru, sekaligus menjadi langkah pertama pelaksanaan perda tersebut. Salah satu faktor penting keberhasilan pelaksanaan sebuah Perda baru adalah masa transisinya. Masa transisi ini terkait erat dengan tanggal mulai diberlakukannya Perda baru. Sebuah Perda baru tidak harus segera diberlakukan setelah disahkan. Sebaiknya ada tenggang waktu antara disahkannya sebuah Perda dengan tanggal mulai diberlakukannya.


(52)

Hal ini dimaksudkan agar lembaga/instansi pemerintah terkait dan masyarakat dapat melakukan persiapan-persiapan yang memadai untuk pelaksanaan secara efektif. Persiapan pelaksanaan meliputi pembentukan kesadaran masyarakat tentang ketentuanketentuan hukum yang baru, serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi instansi pelaksana dan aparat penegak hukum mengenai ketentuan-ketentuan spesifik dari Perda yang baru tersebut (LGSP, 2007).

2.4.3 Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah

Tata cara pembentukan Perda menurut Peraturan Menteri Dalam Negri 9Permendagri) No. 53 Athun 2011 adalah sebagai berikut:

1. Persiapan penyusunan Raperda (dalam peraturan tata tertib DPRD) Raperda berasal dari DPRD atau kepala daerah. Kepala daerah menyampaikan surat pengantar kepada DPRD, sedangkan pimpinan DPRD menyampaikan Raperda kepada kepala daerah. Penyebarluasan Raperda dari DPRD dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD. Penyebarluasan Raperda dari kepala daerah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Bila materi raperda dari DPRD dan presiden sama, maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan oleh DPRD. Raperda dari kepala daerah digunakan sebagai bahan sandingan.

2. Pembahasan rancangan Perda Pembahasan raperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.


(53)

3. Penarikan kembali rancangan Perda Raperda dapat ditarik kembali sebelum pembahasan oleh DPRD dan kepala daerah. Penarikan kembali Raperda berdasarkan persetujuan bersama antara DPRD dan kepada daerah.

4. Penetapan Raperda menjadi Perda Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah, dalam waktu paling lambat 7 hari disampaikan pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi perda. Raperda ditandatangani oleh kepala daerah dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak raperda disetujui bersama, maka raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan

2.5 Rokok

2.5.1 Pengertian Rokok

Rokok adalah kertas yang berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm yang berbentuk silinder yang memiliki diameter sekitar 10 mm dan berisi dau-daunan tembakau yang telah diproses. Pada ujungnya rokok dibakar dan dibiarkan membara sehingga asapnya dapat dihirup melalui mulut dari ujung yang lainnya (Susanti, 2011).

2.5.2 Kandungan dalam Rokok

Rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Didalam rokok banyak terkandung zat-zat berbahaya yang dapat merusak tubuh. Dalam asap rokok terkandung lebih dari 4000 jenis senyawa kimia. Kurang lebih 400 jenis diantaranya memiliki kandungan


(54)

zat beracun (berbahaya) dan sekitar 69 jenis terkandung zat yang dapat menyebabkan kanker (karsinogenik). Beberapa zat beracun yng terkandung dalam rokok, yaitu nikotin, karbon monoksida, tar, timah hitam (Pb), amoniak, hidrogen sianida (HCN), nitrous oxide, fenol, hidrogen sulfida (Zakky, 2013).

2.5.3 Penyakit Akibat Rokok

Memiliki kebiasaan merokok menimbulkan dampak yang buruk bagi tubuh, yaitu mulai dari kepala (munculnya serangan stroke atau gangguan pembuliuh darah otak), gangguan pada paru dan jantung, terjadinya berbagai keluhan pada perut, gangguan pada proses kehamilan sampai pada kelainan di kaki (gangguan pembuluh darah di kaki). Berikut beberapa penyakit akibat merokok :

1. Kanker Paru

Salah satu bahan yang terkandung dalam rokok yang menyebabkan kanker paru adalah tar. Apabila seseorang menghisap rokok dalam jangka waktu yang lama maka di dalam parunya akan terjadi perubahan yang di akibatakan oleh asap rokok tersebut. Hal yang berhubungan dengan timbulnya kanker paru yaitu jumlah rokok yang diisap, lamanya waktu merokok, jenis rokokyang diisap, serta berhubungan juga dengan dalam tidaknya isapan yang dilakukan.

2. Penyakit Jantung

Kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit jantung. Dua bahan terpenting yang terkandung dalam asap rokok yang berkaitan dengan penyakit jantung adalah nikotin dan gas CO. Nikotin dapat mengganggu


(55)

jantung, membuat irama jantung menjadi tidak teratur, mempercepat aliran darah, menimbulkan kerusakan lapisan dalam dari pembuluh darah dan menimbulkan penggumpalan darah. Sementara itu gas CO akan mengganggu kemampuan darah untuk berikatan dengan oksigen.

3. Kehamilan

Kebiasaan merokok pada para calon ibu membawa dampak buruk pada anak yang akan dilahirkannya. Wanita hamil yang merokok lebih banyak melahirkan bayi yang meninggal apabila dibandingkan dengan wanita hamil yang bukan perokok. Hal itu terjadi karena pengaruh bahan-bahan dalam asap rokok seperti gas CO, sianida, tiosianat, nikotin, dan karbonik anhidrase, yang selain menggangugu kesehatan ibu juga dapat menembus ari-ari dan mengganggu kesehatan janin di dalam kandungan (Aditama, 2011).

2.6 Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah kegiatan dalam hal produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok yang dinyatakan dilarang untuk dilakukan dalam area atau ruangan. Tujuan dari kawasan tanpa rokok adalah untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok dengan memastikan bahwa tempat-tempat umum bebas dari asap rokok.

Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 ayat (1), yang termasuk kawasan tanpa rokok, yaitu :


(56)

2. tempat proses belajar mengajar 3. tempat anak bermain

4. tempat ibadah 5. angkutan umum 6. tempat kerja

7. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan

Kawasan tanpa rokok sangat dibutuhkan untuk menjaga masyarakat dari asap rokok dilingkungannya. Ada beberapa dasar pertimbangan mengapa perlunya peraturan kawasan tanpa rokok, yaitu :

1. Seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, kesehatan merupakan hak azasi setiap manusia.

2. Setiap pekerja dan karyawan memiliki hak yang sama untuk bekerja di dalam lingkungan kerja yang sehat dan tidak membahayakan diri mereka.

3. Anak-anak mempunyai hak khusus untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sehat, salah satunya yaitu bebas dari asap rokok.

4. Kawasan tanpa rokok 100% merupaka upaya yang efektif untuk melindungi masyarakat dengan alasan karena tidak ada batas aman untuk setiap paparan asap rokok orang lain.

5. Amanat Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 115 ayat 2 yang menyatakan Pemerintah Daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok diwilayahnya (Kemenkes, 2010).


(57)

2.6.1 Prinsip Dasar Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Komitmen politis dari para penentu kebijakan daerah sangat diperlukan dalam pengembangan dan penerapan KTR. Prinsip-prinsip dasar pengembangan KTR adalah sebagai berikut :

1. Prinsip 1

Paparan asap rokok tidak memiliki batas aman. Racun yang terkandung dalam asap rokok yang kemudian masuk ke dalam tubuh secara kumulatif akan tersimpan dan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sehingga semua tempat kerja yang tertutup termasuk kendaraan umum dan tempat-tempat umum tertutup harus bebas dari asap rokok. Dan intinya semua orang harus bebas dari asap rokok orang lain untuk melindungi kesehatannya.

2. Prinsip 2

Apabila seluruh ruangan tertutup di dalam gedung maka 100% ruangan harus bebas dari asap rokok, dan kawasan tanpa rokok merupakan upaya yang efektif. Dan apabila dalam ruangan tertutup tidak memiliki sistem ventilasi atau saringan udara yang mampu menghilangkan racun asap rokok, maka ruangan merokok di dalam gedung tidak dibenarkan.

3. Prinsip 3

Pengembangan KTR memerlukan peraturan yang berbentuk legislasi yang dapat mengikat secara hukum. Kebijakan yang bersifat secara sukarela dan tidak memiliki sangsi hukum yang kuat tidak efektif untuk memberikan perlindungan


(58)

kepada masyarakat. Peraturan (UU/Perda) yang efektif adalah peraturan yang sederhana, jelas dan mudah untuk diterapkan.

4. Prinsip 4

Memerlukan berbagai perencanaan yang baik dan sumber daya yang memadai agar tercapainya keberhasilan dalam penerapan dan penegakan KTR.

5. Prinsip 5

Mulai dari proses pengembangan, pelaksanaan dan penegakan hukum, komponen masyarakat secara aktif perlu dilibatkan. Untuk menjamin kepatuhan terhadap peraturan serta memberikan dukungan terhadap masyarakat umum, maka dibutuhkan peranan yang sangat penting dari lembaga masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi.

6. Prinsip 6

Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan, penegakan hukum, dan dampak dari KTR. Monitoring dilakukan juga terhadap intervensi dari berbagai pihak termasuk industri rokok terhadap pelaksanaan KTR (Kemenkes, 2010).

2.6.2 Langkah-Langkah Pengembangan KTR

Dalam pengembangan KTR diperlukan beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengendalikan masalah tembakau di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota maka perlu adanya Pembentukan kelompok kerja (Pokja). Anggota Pokja terdiri


(59)

dari berbagai unsur Pemerintah, LSM, Organisasi Keagamaan, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi. Pokja ini tidak boleh memiliki hubungan kerja sama dengan industri/perusahaan rokok.

2. Melakukan Analisis Situasi yang meliputi :

a. Analisis terhadap peraturan dan kebijakan serta dukungan politis yang ada terhadap pengendalian masalah tembakau dan KTR.

b. Analisis terhadap sumber daya yang akan mendukung KTR. c. Analisis terhadap potensi dari partisipasi masyarakat dalam KTR. 3. Pengembangan Kebijakan dan Strategi KTR

a. Menyiapkan data dasar “evidence based”, yaitu data prevalensi perokok, hasil survey sikap dan perilaku, polling survey untuk menilai pengetahuan dan dukungan masyarakat. Data ini dapat diperoleh dari data yang sudah ada (data sekunder) maupun data primer yang dimiliki oleh tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

b. Untuk mendukung kebijakan KTR melakukan diseminasi data kepada mass media, penentu kebijakan, dan kepada seluruh stakeholder.

c. Untuk menggalang komitmen politis diadakan pertemuan Advokasi, Audiensi dengan pimpinan daerah (Walikota dan DPRD) dan stakeholder. Dalam pertemuan tersebut disampaikanlah data dasar, integrasi konsep KTR kedalam Viss/Misi atau Program Pembangunan Daerah dan manfaat dari kebijakan KTR, yaitu memiliki martabat karena dapat melindungi masyarakat, elegan dan prestisius karena memenuhi standar kesehatan masyarakat internasional, menurunkan biaya pengobatan, meningkatkan


(60)

produktifitas, serta dapat meluruskan informasi yang keliru tentang berbagai dampak ekonomi Perda KTR pada industri jasa, tidak efektifnya ruang merokok dan ventilasi, dan sebagainya.

d. Penyusunan Perda disepakati sesuai dengan hak inisiatif (Pemda atau DPRD).

e. Membentuk Tim Penyusunan Draft Perda KTR. Dalam penyusunan draft Perda KTR, anggota Tim perlu mendapat training mengenai KTR dan berkonsultasi dengan tenaga ahli.

f. Untuk menyusun strategi komunikasi sebelum Perda terbentuk, mendiskusikan draft Perda KTR, serta untuk mendapatkan dukungan, maka diadakan pertemuan konsultasi dengan stakeholder.

g. Menyerahkan draft Perda kepada Bupati/Walikota/Gubernur serta mendapat persetujuan.

h. Menyerahkan draft Perda KTR kepada DPRD untuk kemudian didiskusikan dan mendapat persetujuan dan menerbitkannya.

i. Mengintegrasikan KTR kedalam visi/misi atau program pembangunan daerah.

4. Komunikasi dan Informasi

a. Melakukan pertemuan sosialisasi dengan para stakeholder. Materi sosialisasi yang diberikan menyangkut bahaya asap rokok orang lain, hak asasi dari perokok pasif dan perlu adanya perlindungan hukum. Teknik penyampaian komunikasi dapat dilakukan melalui kampanye di media massa, pendekatan


(61)

terhadap tokoh masyarakat, jurnalis, press release, seminar, temu karya, dan lain-lain yang dapat menyampaikan informasi tersebut.

b. Memberikan informasi kepada para perokok agar dapat mematuhi Perda yang telah diputuskan.

c. Memberikan informasi kepada seluruh penanggung jawab kawasan atau wilayah untuk dapat melaksanakan KTR.

d. Meningkatkan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam penerapan KTR.

e. Isi Perda mengenai kapan diberlakukan, dimana diterapkan, sanksi pelanggaran dan peran serta masyarakat, diumumkan melalui media massa dan disosialisasikan kepada tokoh masyarakat.

f. Mengumumkan data pendapat masyarakat bahwa Perda telah dapat diterapkan, serta menyampaikan keberhasilan pelaksanaan Perda KTR, secara berkala.

g. Mempublikasikan informasi keberhasilan pelaksanaan Perda KTR dalam website dan media massa.

5. Pelaksanaan dan Penegakan Perda KTR

a. Membentuk peraturan untuk pelaksanaan Perda KTR (Perbup/Perwali). b. Menyusun pedoman teknis pelaksanaan dan penegakan Perda KTR serta

mendistribusikannya kepada seluruh stakeholder dan organisasi terkait. c. Mekanisme koordinasi dibentuk untuk penegakan Perda KTR. Tim

penegakan hukum yang dibentuk terdiri dari organisasi masyarakat (dinas kesehatan sebagai inisiator), perguruan tinggi, organisasi keagamaan,


(62)

asosiasi hotel dan restoran, asosiasi olahraga, asosiasi transportasi, unsur pemerintahan, satpol PP, polisi, dan lain-lain. Secara berkala hasil penegakan hukum dilaporkan kepada Bupati/Walikota.

d. Untuk inspeksi dan penegakan dilaksanakan pelatihan bagi tim penegak hukum.

e. Untuk selalu memberi dukungan dalam penerapan Perda KTR diadakan pertemuan konsultasi dengan stakeholder.

f. Kurang lebih 15 hari setelah pemberlakuan masa penegakan hukum, dibuat tanda KTR, sesuai standar dan mendistribusikannya kepada seluruh kawasan yang mencakup KTR.

g. Melakukan pemantauan (investigasi) kepatuhan pelaksanaan Perda KTR. h. Layanan Berhenti Merokok disarankan untuk disediakan.

i. Menyediakan layanan pengaduan online.

j. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan permasalahan yang akan dihadapi dan cara penanggulannya maka disiapkan materinya.

k. Melaksanakan pengawasan internal oleh penanggung jawab tatanan meliputi deteksi pelanggaran, edukasi, teguran lisan/tertulsi dan melaksanakan inspeksi rutin oleh tim penegak hukum.

l. Menerapkan sangsi hukum.

m. Kemajuan dan masalah serta hal-hal yang mendukung pelaksanaan KTR dikomunikasikan pada Rakorda.

n. Dalam proses penyusunan dan pelaksanaan KTR dilibatkan seluruh komponen masyarakat termasuk pelaku bisnis.


(63)

6. Monitoring dan Evaluasi

a. Melakukan monitoring dan evaluasi tingkat kepatuhan, dampak kesehatan dan ekonomi.

b. Mengadakan jejak pendapat masyarakat terhadap penerapan kebijakan KTR (sebelum dan setelah penerapan).

c. Mengadakan monitoring kualitas udara (sebelum dan setelah penerapan) (Kemenkes, 2010).

2.7 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

Dasar hukum yang mendukung kawasan tanpa rokok sangat banyak, yaitu : 1. UU No. 36 thun 2009 tentang Kesehatan

a. Pada pasal 10, setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi maupun fisik. b. Pada pasal 11, setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk

mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.

c. Pada pasal 12, setip orang berhak berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.

d. Pada pasal 13, yaitu

Ayat 1, pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidk mengganggu dan membahayakan kesehtan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.


(64)

Ayat 2, zat adiktif sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cair, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian dirinya dan/atau msyarakat disekelilingnya.

Ayat 3, produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang menggandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.

e. Pada pasal 115, yaitu

Ayat 1, kawasan tanpa rokok antara lain, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

Ayat 2, pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok diwilayahnya.

2. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

3. PP No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 4. PP No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. 5. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

6. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

a. Pada pasal 46 ayat 3, yang menyatakan siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif serta promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.

7. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 8. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(1)

PEDOMAN WAWANCARA A. Identitas Informan

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin : 4. Pangkat/golongan : 5. Status Merokok :

B. Pertanyaan

1. Apakah Bapak/Ibu perokok?

2. Bagaimana pandangan bapak/Ibu terhadap rokok?

3. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu terhadap kawasan tanpa rokok?

4. Apakah pihak Pemko Medan Ada mengusulkan Kebijakan KTR untuk Kota Medan?

Probing : Apa alasan Pemko Medan mengusulkan Kebijakan KTR untuk Kota Medan?

5. Bagaimana alur yang dilakukan Pemko Medan dalam mengusulkan KTR untuk Kota Medan?

Probing : 1. Apa kebijakan KTR harus dengan ketetapan DPRD?


(2)

PEDOMAN WAWANCARA A. Identitas Informan

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin : 4. Pangkat/golongan : 5. Status Merokok :

B. Pertanyaan

1. Apakah Bapak/Ibu perokok?

2. Bagaimana pandangan bapak/Ibu terhadap rokok?

3. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu terhadap kawasan tanpa rokok?

4. Apakah pihak Dinas Kesehatan Kota Medan Ada mengusulkan Kebijakan KTR untuk Kota Medan?

Probing : Apa alasan Dinas Kesehatan Kota Medan mengusulkan Kebijakan KTR untuk Kota Medan?

5. Bagaimana alur yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Medan dalam mengusulkan KTR untuk Kota Medan?


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI KOTA MEDAN TAHUN 2013

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1 Pengertian Persepsi - Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

0 0 41

Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

0 0 8

Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

0 0 14