Book Review Kritik Antonio Gramsci terha

Antonio Gramsci tentang Krisis dan
Kebangkitan Kapitalisme Global
Left Book Review XVI-September 2013

A

Judul Buku
: Kritik Antonio Gramsci
terhadap Pembangunan Dunia Ketiga
Penulis
: Muhadi Sugiono
Penerbit
: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun Terbit
: 1999 (cet. 1), 2006 (cet. 2)
Tebal
: 261 hlm. + xvi
Pengulas
: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

NTONIO GRAMSCI, seorang Marxis Italia, memang tidak banyak

menulis buku. Ia tercatat hanya menulis satu buah buku. Itu pun
ditulisnya dalam catatan-catatan di penjara yang sudah barang tentu
terserak, tidak rapi. Namun, siapa sangka, catatan yang ia tulis dari
balik penjara Mussolini itu mampu memberikan wacana yang menjadi
panduan baik bagi aktivis maupun intelektual kiri di seluruh dunia.
Gramsci dikenal sebagai seorang intelektual Marxis yang banyak memberi
landasan pada perkembangan studi-studi Marxisme. Catatan penjaranya
memberikan banyak ilham bagi para penulis untuk membaca fenomenafenomena sosial, tak terkecuali Hubungan Internasional. Meskipun tidak
hidup sebagai seorang intelektual (ia adalah Sekretaris Jenderal Partai
Komunis Italia sebelum ditangkap Mussolini), karyanya mengilhami banyak
intelektual, baik dari sisi sebelah kanan maupun sebelah kiri, untuk menulis
tentang berbagai tema dari kerangka berpikir yang ia tulis. Tak terkecuali
dalam studi Hubungan Internasional.
Sebetulnya tidak banyak karya dan studi dalam Hubungan Internasional
yang menulis dalam perspektif ini. Terinspirasi dari karya-karya Robert Cox,
Jospeh Femia, Stephen Gill, dan teman-temannya, Muhadi Sugion (akademisi
Hubungan Internasional dari UGM), mencoba untuk menggunakan perspektif
Gramscian untuk mengulas perkembangan dan perubahan diskursus
pembangunan global. Buku yang diangkat dari tesis pascasarjana penulisnya
ini melihat bahwa perspektif Gramsci relevan untuk menjelaskan bagaimana

sebuah ide bertransformasi menjadi kekuatan produktif yang menggeret
perubahan diskursus dalam pembangunan.
Sistematika buku ini dibagi menjadi tiga bagian berikut. BAB I menjelaskan
mengapa perspektif Gramscian penting untuk dijadikan pisau analisis dalam
studi HI. BAB II mengupas munculnya Keynesianisme sebagai diskursus

hegemonik pasca-Perang Dunia II hingga tahun 1970an. BAB III mengulas
krisis yang dialami oleh Keynesianisme dan munculnya neoliberalisme yang
digawangi oleh intelektual-intelektual Kanan Baru.

Gramsci dalam Studi Hubungan Internasional

Sejak Robert Cox menulis buku Power, Production, and World Orders (1977),
perspektif Gramscian mulai diperkenalkan dalam studi Hubungan
Internasional. Perspektif ini seperti menjadi “undangan untuk angkat kaki
dari tatanan dunia yang berlaku saat ini dan mempertanyakan apa jadinya
tatanan itu” (cox, 1981 via Sugiono, 1999: 17). Karya Cox meramaikan
perdebatan dalam studi HI yang kala itu masih didominasi oleh pendekatan
realism yang menerima begitu saja konsep “kepentingan nasional”, “negara
sebagai aktor tunggal”, dan sejenisnya dalam Hubungan Internasional.

Walaupun Gramsci tidak menulis spesifik dalam tema Hubungan
Internasional, teori Gramsci tentang Hegemoni menjadi satu batu loncatan
untuk memahami bagaimana sebuah kekuatan dunia dikonsolidasikan. Inilah
yang menjadi concern utama dari Muhadi Sugiono ketika mendiskusikan
analisis Gramsci secara teoretik. Secara kritis, kita dapat menyimpulkan
bahwa kerangka berpikir Muhadi Sugiono sangat dipengaruhi oleh cara
pandang Robert W. Cox terhadap Gramsci. Saya akan terlebih dulu mengurai
bagaimana kerangka berpikir Muhadi ini terbentuk. Ia menulis bahwa teori
Gramsci berada di bawah satu tema tunggal “hegemoni” (h. 19). Gramsci
mendefinisikan ‘hegemoni’ sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual
secara konsensual” yang mengimplikasikan adanya kepatuhan secara tidak
sadar atas kekuasaan seseorang (h. 31). Dalam perspektif ini, kekuasaan
dibangun bukan melalui koersi, kekerasan, dan paksaan, melainkan melalui
konsensus atau control (h. 35).
Bagaimana hegemoni tersebut diciptakan? Proses penciptaan hegemoni
memerlukan apa yang disebut sebagai ‘blok historis’, atau “hubungan
resiprokal antara wilayah aktivitas etik, politik, maupun ideologis dengan
wilayah ekonomi” Blok historis adalah aliansi dari berbagai kekuatan sosial
yang disatukan secara politis dalam satu perangkat ide-ide hegemonik (h.
42). Hegemoni diciptakan melalui praktik penundukan dan persetujuan.

Untuk menundukkan dan memenangkan persetujuan kelompok lain, sebuah
kelompok harus mampu menciptakan “blok historis” yang membuat ideidenya menjadi sebuah pandangan dunia yang universal.
Oleh sebab itu, “ide” memainkan peran penting (h. 39). Agar sebuah
kelompok bisa menundukan dan memenangkan persetujuan dari kelompok
lain, ia mesti melakukan “importasi” ide menjadi pandangan dunia yang
universal. Oleh sebab itulah, bagi Gramsci, sebuah ide hanya akan
menemukan momentum transformatifnya jika ia menjadi ideologi. Menurut
Gramsci, sebuah ide tidak lahir secara spontan. Ia pasti “memiliki pusat
informasi, iradiasi, persebaran, persuasi… yang mengembangkan dan

menghadirkan keduanya dalam realitas politik mutakhir” (h. 40). Artinya,
untuk menciptakan dan memproduksi hegemoni, sebuah kelompok
membutuhkan ideologi. Ideologi tersebut mesti memiliki basis material,
didorong oleh seorang “intelektual”, dan kemudian menjadi pandangan
universal sehingga penundukan dan persetujuan menjadi bisa dilakukan.
Maka dari itu, untuk menciptakan hegemoni, diperlukan seorang “intelektual
organik” yang mampu menggerakkan blok historis dengan ide-idenya.
Menurut Gramsci, setiap orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang
memiliki fungsi intelektual (di masyarakat). Setiap kekuatan sosial yang
hegemonik ditopang oleh intelektual yang memproduksi pengetahuan dan

memberi legitimasi pada tatanan yang dibangun oleh kekuatan sosial
tersebut (h. 44). Peran sentral intelektual inilah yang kemudian membawa
kekuatan tersebut menjadi kekuatan yang hegemonik.
Namun, tentu saja, pada dasarnya, ada kekuatan-kekuatan lain yang saling
berkontestasi dan berupaya untuk menjadi hegemoni. Oleh sebab itulah,
Gramsci melihat bahwa status hegemonik sebuah kekuatan sosial akan
sangat ditentukan oleh kemampuannya memenangkan “perang posisi”, yaitu
“proses transformasi kultural yang menghancurkan posisi hegemonik
tertentu”(h. 46). Untuk menghancurkan hegemoni, maka perlu diciptakan
kondisi-kondisi yang memungkinkan krisis hegemonik itu terjadi sehingga
terjadi perubahan sosial.
Pendekatan Gramscian sebagaimana dianalisis oleh Muhadi Sugiono (dan
juga, dalam beberapa hal, Robert Cox) sangat menekankan aspek
suprastruktur (ide) dibanding produksi. Hal ini terlihat jelas pada kerangka
berpikir Muhadi yang melihat Gramsci “melampaui pandangan determinisme
ekonomi Marx” (h. 13). Akan tetapi, pandangan ini bukannya tanpa
sanggahan. Lorenzo Fusaro, misalnya, melihat bahwa Gramsci, secara
fundamental, justru mengambil kerangka berpikir yang sangat Marxian –
dalam arti sejarah ia pandang sebagai sesuatu yang ‘objektif’ dan
‘independen dari hubungan sosial manusia’ karena ia memiliki pijakan pada

relasi produksi yang dilakukan oleh manusia (Fusaro, 2011).
Dalam analisis Fusaro, hegemoni pada dasarnya harus dilihat dalam
kerangka hubungan produksi yang material, bukan sekadar transformasi ideide. Bahwa ide-ide, dalam analisis Gramscian, adalah penting, tetapi ia
bersifat instrumental. Hal ini sebetulnya diakui sendiri oleh Cox dalam
karyanya yang terbaru, “The Political Economy of Plural World” (2004),
bahwa realitas manusia dilahirkan mula-mula dari produksi, walaupun ia
sendiri malu-malu untuk mengakui bahwa argumennya berasal dari Marx
(Cox, 2004: 31. cf. p. 27). Femia (2008) cukup tepat ketika mengkritik
pandangan Cox dan perspektif serupa yang ‘terpengaruh’ oleh pandangan
post-Marxisme memiliki problem untuk melihat sisi objektif dari pemikiran
Gramsci. Hal ini bisa berakibat pada ‘reduksi’ pandangan Gramsci menjadi

anti-saintifik dan membuat kita gagal untuk menjadikan Gramsci sebagai
pisau analisis yang adequat dan objektif untuk mengiris tabir yang meliputi
realitas sosial, wa bil khusus realitas kapitalisme global kontemporer.
Dengan demikian, untuk memahami Gramsci dan lebih jauh, menjadikan
Gramsci sebagai ‘pisau’ untuk mengupas perkembangan kapitalisme global
kontemporer,
kita
tidak

cukup
melihat
hanya
pada
kerangka
gagasan/ideologi, tetapi juga fondasi apa yang memungkinkan gagasan itu
terbentuk. Pada titik inilah kita meletakkan konsep ‘hegemoni’. Ada
ungkapan menarik dari Gramsci, bahwa, “a class is dominant in two ways,
that is, it is ‘leading’ and ‘dominant’…. one should not count solely on the
power and material force which such a position gives in order to exercise
political leadership or hegemony” (Gramsci, 1929: 41 via Fusaro, 2011).
Ungkapan ini memberikan clue untuk memahami ‘hegemoni’ dalam cara
yang berbeda –bukan tujuan; melainkan strategi untuk mengokohkan
kekuasaan.
‘Hegemoni’ perlu dipahami sebagai cara/strategi untuk melegitimasi
kekuasaan material (power and material force) yang sudah dibangun.
Sehingga, bukan hanya gagasan yang menentukan, tetapi basis material apa
yang menyebabkan gagasan tersebut bisa bertahan. Dalam perspektif ini,
kita dapat melihat bahwa hegemoni adalah cara peneguhan kekuasaan
setelah menguasai basis produksi. Maka, ‘intelektual organik’ bisa kita

pahami sebagai ‘intelektual yang merepresentasi kelompok sosial tertentu
dalam relasi produksi yang ada di masyarakat, dan membawa gagasangagasan untuk membuat tatanan yang ia bentuk bisa bertahan secara
hegemonik. Keberadaan intelektual bersifat instrumental terhadap relasi
produksi yang ada.

Dari Keynesianisme ke Kanan Baru: Perspektif Gramscian

Dari analisis tersebut , kita bisa memberikan analisis yang lebih
komprehensif mengenai bagaimana Antonio Gramsci bisa berkontribusi
untuk memetakan secara lebih detail bagaimana kapitalisme global
beroperasi. Buku ini cukup relevan dalam upayanya menerapkan model
analisis Gramscian tersebut pada perkembangan kapitalisme global
kontemporer., serta bagaimana sejarah intelektual yang menopang
berdirinya kapitalisme sebagai sebuah tatanan global yang mengatur
kehidupan manusia.
Buku ini, walaupun hanya pada sisi tertentu, membawa Gramsci pada
perdebatan-perdebatan yang ada dalam studi Hubungan Internasional.
Fenomena Hubungan Internasional, jika mengacu pada kerangka berpikir a la
Gramscian yang sudah dibangun di atas, akan bertumpu pada basis produksi
dan bagaimana sebuah gagasan dibangun untuk mempertahankan produksi

kapitalis tersebut. Dengan demikian, kapitalisme global dibangun dengan
logika hegemoni yang melibatkan para intelektual-intelektual organik yang

berjuang membangun tatanan tersebut. Perspektif ini tidak melihat
Hubungan Internasional sebagai ‘hubungan antar-negara’ (sebagaimana
mainstream dalam studi Hubungan Internasional) melainkan sebagai
‘hubungan antara kelas-kelas sosial yang saling berkontestasi di level global.
Negara masuk sebagai kekuatan sosial yang relatif terhadap proses produksi
dan hanya salah satu kelompok yang saling mengartikulasikan
kepentingannya pada skala global (Robinson, 2005).
Formasi kapitalisme di tingkat global, jika dibaca dalam perspektif ini,
bukanlah sebuah formasi yang ‘tercipta dengan sendirinya’. Formasi
kapitalisme saat ini adalah formasi kapitalisme hegemonik yang diciptakan
dan diperjuangkan oleh para intelektual organik, baik Keynesian maupun
intelektual Kanan Baru. Hegemoni tersebut tentu saja diciptakan, melalui
pembuatan ide-ide yang menjadi pandangan dunia universal. Guna menjadi
pandangan dunia, maka ide tersebut “diekspor” oleh para intelektual baik
Keynesian dan Kanan Baru ke negara-negara dunia ketiga melalui pelbagai
teori tentang pembangunan dan dipraktikkan menjadi kebijakan sehari-hari
oleh pemerintah yang bersangkutan.

Oleh sebab itulah buku ini melihat bahwa pada dasarnya, kebijakan
pembangunan di suatu negara bukanlah kebijakan yang ‘netral’ dan dibuat
berdasarkan pilihan rasional pemerintah, melainkan oleh importasi gagasan.
Inilah yang menjelaskan, mengapa transformasi diskursus pembangunan di
negara dunia ketiga sangat terkait dengan perubahan diskursus
pembangunan di tingkat global (cf. Robison, 1986; Escobar, 1995).
Kemunculan kapitalisme di dunia ketiga sangat dipengaruhi keberadaannya
oleh “ideologi” yang membuat diskursus tersebut beroperasi serta
intelektual-intelektual
organik
yang
menerjemahkan
“ide”
dan
mengoperasikannya sehingga menjadi kekuatan hegemonik. Universalisasi
ide itulah yang kemudian menentukan bagaimana kapitalisme berubah
wujud dan menjadi hegemoni di seluruh dunia.
Pertanyaannya, bagaimana kemudian “hegemoni” tersebut terlaksana dalam
perkembangan ekonomi politik internasional kontemporer? Muhadi Sugiono
memulai analisisnya tentang transformasi kapitalisme global pada tatatan

ekonomi-politik dunia pasca-perang. Perang Dunia II melahirkan Amerika
Serikat dan sekutunya sebagai pemenang, dan menyisakan sebuah
pertanyaan: seperti apa tatanan baru yang dibangun? Jawaban atas
pertanyaan ini akan menggantung pada para pemenang, dalam hal ini
Amerika Serikat dan sekutunya. Salah satu momentum kunci dari
rekonstruksi hegemoni AS pasca-Perang ini adalah terciptanya konsensus
yang difasilitasi oleh ekonom John Maynard Keynes dan negara-negara
industrialis maju pemenang Perang Dunia II.
Setelah perang Dunia II, ada perdebatan tajam antara dua kelompok
berpengaruh di Amerika Serikat tentang masa depan ekonomi dunia.

Kelompok pertama menginginkan tata perekonomian dunia yang liberal dan
terbuka tanpa ada intervensi yang terlalu kuat dari negara. Kelompok ini
diwakili oleh orang-orang berpengaruh di Wall Street dan Departemen Luar
Negeri AS. Sementara itu, kelompok kedua yang diwakili oleh Departemen
Keuangan AS dan Partai Buruh Inggris menginginkan peran negara dalam
mengatur perekonomian (h. 64). Masuknya Keynes menengahi perdebatan di
antara dua kubu ini. Keynes memperkenalkan model pembangunan ekonomi
yang statis –meletakkan negara sebagai sentral kehidupan ekonomi— tapi
juga menjaga produktivitas industri melalui model ekonomi berbasis demand
(permintaan)
Manajemen ekonomi Keynesian bertumpu pada kepercayaan yang tinggi
pada perencanaan. Menurut Keynes, ekonomi pasar yang tak terkendali
(bebas) hanya akan melahirkan kontradiksi karena ia menyebabkan
penyimpangan dari full employment (h. 97). Oleh sebab itu, kapitalisme
perlu diorganisasikan dan direncanakan melalui campur tangan negara.
Ekonom Keynesian percaya bahwa ekonomi harus diatur melalui intervensi
pada sisi demand, yaitu dengan menyuntikkan dana pembangunan sehingga
industri tumbuh. Logika ekonomi semacam ini sangat bertumpu pada moda
produksi massal khas Fordisme yang membangun produksi pada skala besar.
Dalam moda produksi Fordisme, negara menginvestasikan dana yang cukup
besar untuk membangun produksi nasional, namun konsekuensinya, negara
juga harus mempertahankan demand yang ia dapatkan dari konsumsi. Oleh
sebab itulah negara harus menjamin daya beli masyarakat agar tetap tinggi.
Dengan model seperti ini, buruh mendapatkan upah yang tinggi karena
produktivitas harus dipertahankan. Ide semacam inilah yang ditanamkan
pada relasi produksi di tingkat global, dan membuat ‘negara’ pada saat itu
menjadi instrument kapitalisme yang sangat efektif baik untuk melakukan
akumulasi.
Menurut Muhadi, kemenangan ide Keynesianisme itu dilakukan oleh Amerika
Serikat melalui dua cara. Pertama, memenangkan ide tersebut pada negaranegara sekutunya. Kemenangan ide ini menemui momentumnya pada
Marshall Plan, ketika Amerika Serikat menggunakan kekuatan ekonominya
untuk membantu ekonomi negara-negara sekutunya. Hal penting yang patut
diperhatikan adalah bahwa Marshall Plan menciptakan semacam “blok
historis” yang bertujuan untuk ‘menciptakan perimbangan antara kekuatankekuatan sosial di dunia (h. 68). Kekuatan Marshall Plan juga ditopang oleh
sistem Bretton Woods yang memberikan konstruksi hegemonik bagi
kekuatan finansial AS (Strange, 1971 via Sugiono, 1999: 66). Bretton Woods
memberikan
peluang bagi Dollar untuk menjadi hegemoni dan
konsekuensinya, AS harus menjadikan Dollar sebagai alat transaksi utama di
dunia. Marshall Plan menjadi cara AS untuk memenangkan pertarungan pada
dataran keuangan.

Kedua, setelah ide tersebut beroperasi melalui Marshall Plan dan Bretton
Woods System, AS memperluas hegemoninya ke negara-negara dunia ketiga
melalui pembangunan. Era setelah Perang Dunia II adalah era Dekolonisasi
yang mengimplikasikan tumbuhnya negara-negara baru. Amerika Serikat,
catat Muhadi, sangat getol mendukung proses dekolonisasi bagi negaranegara dunia ketiga. Hal ini tidaklah netral dari kepentingan AS, sebab pada
dasarnya, motif utama dari dukungan tersebut adalah perluasan hegemoni
(h. 76). Dengan munculnya Keynesianisme, negara-negara industri maju
mengalihkan perhatiannya dari penyerapan surplus ekonomi dari negaranegara koloni menjadi produksi domestiknya. Akan tetapi, tentu saja mereka
memerlukan bahan baku yang hanya bisa didapatkan dari negara-negara
dunia ketiga.
Sehingga, dekolonisasi sebetulnya menjadi strategi yang lain dari eksploitasi
ekonomi. Negara-negara dunia ketiga yang baru saja merdeka tersebut tentu
sangat berkepentingan dengan dana pembangunan. Oleh sebab itulah,
sebagaimana dikutip oleh Escobar (1995), Amerika Serikat menawarkan
berbagai
strategi
pembangunan
kepada
negara
dunia
ketiga,
menanamkannya di negara-negara tersebut, dan dengan demikian
menempatkan negara-negara tersebut di bawah hegemoni Amerika Serikat.
Pembangunan menjadi pintu masuk AS untuk menanamkan ide-ide
Keynesian di negara dunia ketiga dan menjadikan ide tersebut sebagai
‘pandangan dunia’ yang universal, terutama bagi negara-negara dunia
ketiga.
Salah satu “modus operandi” dari penanaman diskursus tentang
pembangunan itu dilacak oleh Muhadi dari teori-teori modernisasi yang
hingga tahun 1980an menjadi diskursus utama pembangunan di negaranegara dunia ketiga. Teori modernisasi menempatkan pembangunan sebagai
cara untuk mengubah sesuatu yang tradisional menjadi modern.
Sebagaimana diulas oleh Escobar (1995), negara-negara dunia ketiga
diposisikan sebagai ‘terbelakang’, ‘kurang gizi’, ‘tradisional’, dsb. yang
implikasi pentingnya adalah menjadikan mereka sebagai entitas yang
modern dan maju. Untuk mencapai ‘kemajuan’, maka mereka harus melihat
model tertentu yang dianggap maju.
Di sinilah hegemoni AS beroperasi. AS memberikan dana pembangunan,
yang disalurkan ke melalui lembaga-lembaga keuangan (IMF, World
Bank/IBRD), dan memberikannya kepada negara-negara dunia ketiga melalui
kondisionalitas tertentu. Kondisionalitas ini penting untuk dilihat sebagai
sebuah cara untuk memberikan parameter kemajuan tertentu yang harus
dicapai suatu negara untuk maju. Salah satu ide yang bisa dijadikan contoh
adalah teori Rostow tentang pembangunan yang linier sebagai arah utama
pembangunan. Teori Rostow memberikan gambaran yang jelas mengenai
pembangunan khas Keynesian yang dipandu oleh negara dan bertumpu
pada industrialisasi (h. 107-108). Teori Rostow ini dapat kita lihat pada

konteks Indonesia di awal Orde Baru yang, secara mentah-mentah, menelan
teori ini dan menjadikannya panduan pembangunan nasional (Robison,
1986). Dengan demikian, hasilnya dapat kita lihat: logika pembangunan
Keynesian yang menjadi proyek hegemoni AS masuk melalui logika
pembangunan dan ditanamkan di negara-negara dunia ketiga.
Akan tetapi, pada tahun 1970an, terjadi resesi ekonomi dunia yang ditandai
oleh penurunan produktivitas ekonomi negara-negara industri, terutama AS
(h. 117). Kondisi ini berimplikasi pada tatanan dunia yang dikonstruksi oleh
hegemoni Keynesian dan dipandu oleh Amerika Serikat. Bisa dikatakan,
Keynesianisme sebagai hegemoni mengalami krisis organik yang disebabkan
kegagalannya dalam menghadapi goncangan-goncangan. Logika ekonomi
Keynesian yang sangat percaya pada produksi dan peran negara dalam
perencanaan serta intervensi demand, mengalami kontradiksi manakala
terjadi penurunan produktivitas dan keterbatasan pasar dalam melakukan
ekspansi akumulasi (h. 123). Kegagalan negara dalam menjaga stabilitas
konsumsi dan menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan adanya
ekspansi akumulasi membuat kondisi ekonomi dunia kemudian melemah.
Apalagi, dengan surutnya produksi minyak yang menjadi mata pencaharian
negara-negara dunia ketiga. Dalam perspektif Gramscian, hal ini dipandang
sebagai ‘krisis organik’ ketika hegemoni kemudian menghadapi goncangan
sana-sini.
Dari sini, Muhadi melihat bahwa ada satu gagasan baru yang muncul dan
dengan cepat menggantikan Keynesianisme sebagai ‘hegemoni’: gagasan
neoliberalisme yang dikampanyekan oleh intelektual-intelektual Kanan Baru.
Gagasan ini dibawa oleh kalangan Libertarian Kanan yang memiliki
perspektif cenderung anarkis. Kalangan yang tidak percaya terhadap bentukbentuk teknokratisme negara ini segera menyerang fondasi ekonomi
Keynesian yang mereka anggap “otoritarian” dan “tidak efisien”. Secara
ideologis, mereka mengampanyekan “kembalinya pasar” dan memuja
kebajikan pasar” sebagai solusi atas perekonomian dunia yang carut-marut
(h. 129).
Mengapa gagasan kelompok Libertarian Kanan Baru ini dengan cepat
menggantikan Keynesianisme sebagai Hegemoni? Salah satu faktor yang
paling penting untuk menjelaskan ini, selain krisis yang menerpa dunia,
adalah keberhasilan mereka memenangkan gagasan tentang kebajikan pasar
dari manajemen ekonomi Keynesian. Para intelektual mereka yang
berpengaruh, seperti Milton Friedman, Robert Nozick, atau Deepak Lal,
dengan sengit menuduh logika Keynesian sebagai penyebab resesi ekonomi
global. Friedman, misalnya, menganggap kebijakab-kebijakan sosial dan
intervensi negara Keynesian sebagai sesuatu yang tidak adil, “memicu
kemalasan”, serta mengancam kehidupan pribadi (h. 136-137). Dengan
mengagungkan kebajikan pasar, para pemikir Kanan Baru ini menganggap
bahwa negara tidak boleh banyak mengganggu cara kerja pasar dan

membiarkan pasar mengatur dirinya sendiri. Manusia, menurut mereka,
harus diberi kebebasan menentukan nasibnya sendiri dan negara-negara
harus dipaksa untuk bersaing satu sama lain dalam menawarkan iklim
investasi yang kompetitif sehingga pasar bisa bergerak secara sempurna (h.
144). Serangan-serangan ini menandai krisis dan transformasi dalam
kapitalisme global.
Namun, yang paling penting dari transformasi itu adalah basis material yang
menyebabkan gagasan mereka bisa menjadi hegemonik. Muhadi melihat
bahwa di samping krisis ekonomi yang mendera dunia pada saat itu, naiknya
beberapa figur konservatif yang sehaluan dengan para intelektual Kanan
Baru di beberapa negara (terutama Inggris dan Amerika Serikat) menjadi
momentum penting bagi kemenangan logika Kanan Baru dalam ekonomi
politik global. Sebagaimana tesis Gramsci, status hegemonik sebuah
gagasan akan sangat ditentukan oleh kolaborasinya dengan kekuatan
ekonomi dan politik yang material.
Keberadaan Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris membawa
perubahan fundamental dalam politik Inggris. Thatcher membawa agenda
politik Kanan Baru dalam kebijakan-kebijakan publiknya, antara lain dengan
kebijakan privatisasi besar-besaran, liberalisasi, dan kebijakan-kebijakan propasar. Menariknya, agenda politik Thatcher dilakukan dengan tangan besi,
antara lain dengan mendisiplinkan Serikat-Serikat Buruh yang resisten
terhadap kebijakan liberalisasi Thatcher. Hal ini, sebagaimana diulas oleh
Muhadi, adalah satu paket dengan doktrin Kanan Baru yang melegitimasi
adanya represi dan koersi terhadap aktivitas apapun yang dianggap
mengganggu mekanisme pasar (h. 148). Thatcher menjadi contoh penting
bagaimana negara berfungsi sebagai ‘polisi’ yang mengamankan pasar dari
gangguan orang-orang yang ingin menentangnya.
Di sisi lain, Ronald Reagan yang baru saja terpilih sebagai Presiden Amerika
Serikat tampak dengan jelas mengampanyekan “kebajikan pasar” dalam
forum-forum internasional dan perundingan yang diikuti oleh Amerika Serikat.
Ia membawa Amerika Serikat tampil sebagai juru kampanye utama
perdagangan bebas dan integrasi ekonomi dunia. Tak hanya itu, dengan
menggunakan kekuatan diplomatik AS, Reagan “memanfaatkan jaringan
transfer finansial untuk memperkokoh hegemoni ide-idenya” (h. 160). AS
yang tadinya cukup baik hati kepada negara-negara berkembang dalam
memberikan bantuan, kini mulai terlihat pelit dan mulai “jual mahal”.
Reagan memperkenalkan model-model policy dialogue untuk memberikan
bantuan, yang dengan jelas dicatat oleh Muhadi sebagai cara untuk
mengimpor gagasannya kepada negara-negara dunia ketiga (h. 161).
Seperti halnya bangunan hegemoni AS pasca-Perang Dunia II, peran serta
lembaga-lembaga keuangan internasional kemudian menjadi penting sekali.
Beriringan dengan munculnya “Pembagian Kerja Internasional Baru” yang,

menurut para pendukung globalisasi neoliberal, adalah bentuk peleburan
batas-batas negara dalam industry manufaktur yang memungkinkan adanya
ekspansi kapital ke negara-negara dunia ketiga (Robison, 2000), IMF dan
Bank Dunia segera menjadi ‘pilar’ utama ekspansi gagasan-gagasan pasar
ke seluruh dunia. Dua lembaga ini, sejak didirikan, telah terbukti menjadi
alat untuk meneguhkan hegemoni dari Amerika Serikat sebagai kekuatan
politik utama dunia.
Kebijakan paling nyata yang merefleksikan peran dua lembaga ini dalam
proyek hegemoni Kanan Baru adalah Structural Adjustment Programmes
(SAP) yang dikampanyekan di negara-negara dunia ketiga. Penjadwalan
kembali utang dan berubahnya kondisionalitas bantuan menjadi instrument
paling penting untuk menanamkan hegemoni mereka. Dengan menawarkan
paket kebijakan yang sangat liberal dan mengagungkan kebajikan pasar, IMF
dan Bank Dunia mampu menanamkan hegemoni Kanan Baru ke negaranegara dunia ketiga. Sebagai contoh, ditulis oleh Muhadi, ketika berhadapan
dengan krisis ekonomi, solusi yang ditawarkan adalah memangkas peran
negara secara penuh dan menganggap krisis tersebut terjadi karena
intervensi pemerintah dalam perekonomian” (h. 163). Hal ini memberikan
jalan yang sangat terbuka bagi kapitalisme untuk menguniversalisasi
gagasannya ke negara-negara dunia ketiga dan, dengan demikian,
menjadikan gagasan “Kanan Baru” sebagai gagasan yang hegemonik di
negara-negara dunia ketiga.
Analisis Muhadi Sugiono ini bisa memberikan gambaran yang cukup baik
mengenai bagaimana fondasi kapitalisme global dibangun. Namun, ada yang
terlupakan. Buku ini tidak banyak menyinggung kekuatan-kekuatan
internasional lain yang memiliki kepentingan sangat besar untuk
meminimalisasi peran ‘negara’. Kelompok ini satu paket denga kekuatan
yang disebut oleh Willam Robinson sebagai ‘hegemoni transnasional’ –
mereka yang beroperasi secara lintas negara (Robinson, 2005: 3). Salah satu
yang cukup dominan adalah kelompok kapitalis finansial yang memang
beroperasi secara lintas negara dan sangat berkepentingan terhadap reduksi
peran negara, terutama setelah tahun 1980an.
Namun, tentu saja, hegemoni logika Kanan Baru tersebut juga memiliki
keterbatasan yang pada gilirannya membawa pada krisis pada status
hegemonik mereka. Hal ini terjadi pasca-Krisis Asia 1997 yang tidak sempat
diungkap dalam buku ini (terbit 1999, tesis 1994). Untuk menyempurnakan
analisis tersebut, ada baiknya uraian Carroll (2010) disimak. Pasca-krisis
ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, dan kritik-kritik hebat yang
dilancarkan oleh para kritikus neoliberalisne terkemuka seperti James
Ferguson (1994) atau Arturo Escobar (1995) yang mengkritik cara kerja Bank
Dunia di negara-negara dunia ketiga, ada semacam ‘perubahan’ kerangka
berpikir Bank Dunia tentang pembangunan.

Pada tahun 1999, Bank Dunia merilis beberapa proyek pembangunan yang
menggunakan “modal sosial” sebagai cara untuk menginternalisasi
mekanisme pasar. Toby Carroll menyebutnya sebagai “socio-institutional
neoliberalism” (SIN). Model ini, sebagaimana kata Carroll, mulai muncul sejak
gagasan pembangunan neoliberal yang dipropagandakan kelompok Kanan
Baru mengalami kontradiksi, terutama di Afrika (h. 45). Gagasan ini
mengandaikan efektifnya mekanisme pasar jika disandingkan dengan
penataan pelayanan publik yang efisien, kepastian hukum, serta tata
pemerintahan yang akuntabel –gagasan yang kemudian dikenal secara luas
sebagai “Good Governance” (Conable, 1989 via Carroll, 2010: 45; Hakim,
2011). Di samping itu, Conable –mantan Presiden Bank Dunia 1986-1991—
juga meng-address perlunya “membangun kapasitas Afrika” yang
manifestasinya adalah membangun masyarakat yang sehat, punya kapasitas
individual yang baik, serta mampu membangun kerangka kelembagaan yang
mendorong prakondisi bagi pasar yang efektif dan efisien.
Gagasan ini kemudian diterjemahkan secara lebih luas pasca-Krisis Asia
1997. Indonesia menjadi ‘laboratorium’ bagi penerapan kerangka berpikir
baru tentang kapitalisme. Pada tahun 1999, Bank Dunia menginisiasi proyek
pembangunan sosial yang mencoba untuk memasukkan nalar SIN ke dalam
pembangunan masyarakat melalui “Proyek Pembangunan Kecamatan” (Li,
2012). Proyek ini, sebagaimana dicetuskan oleh para teknokrat Bank Dunia
seperti Scott Guggenheim, memberikan komitmen pendanaan untuk
mengembangkan modal sosial dan kapasitas ekonomi individual. Naiknya
para ekonom dan teknokrat liberal, seperti Boediono (Wakil Presiden tahun
2009), menyebabkan gagasan ini bertahan dalam jangka waktu yang cukup
lama. Pada tahun 2007, proyek ini berubah menjadi “Program Nasional
Pembangunan Masyarakat” (PNPM) yang berada di bawah Tim Nasional
Pengentasan Kemiskinan (TNPK). Proyek ini segera menjadi ‘best practice’,
menyebar ke negara lain melalui tangan Bank Dunia, dan segera menjadi
hegemoni baru.
Apa yang menarik dari logika SIN ini, dalam perspektif Gramscian, adalah
kemampuannya untuk meng-address kegagalan pendekatan neoliberal yang
sangat anti-Negara dan, secara lebih jauh, memasukkan negara di bawah
hegemoni pasar. Krisis ekonomi di akhir abad ke-20 menyebabkan gagasan
neoliberal mengalami ‘krisis organik’. Para pendukung SIN, yang pada
hakikatnya sebenarnya juga kaum liberal dengan wajah berbeda,
mengampanyekan mekanisme baru melalui struktur teknokrasi Bank Dunia
di bawah John Wolfensohn. Para teknokrat Bank Dunia ini adalah “intelektual
organik” dari gagasan SIN. Secara politis, kemenangan gagasan ini sangat
ditentukan oleh “siapa” yang memegang peran penting dalam pengambil
keputusan di Amerika Serikat. Di bawah Bill Clinton, seorang Demokrat,
Amerika Serikat banyak menaruh perhatian pada kemiskinan dan masalahmasalah sosial lain. Dengan demikian, posisi SIN sebagai hegemoni baru
juga tak terlepas dari kekuatan ekonomi-politik yang berada di belakangnya.

Beberapa Catatan dan Implikasi

Dari buku ini, kita bisa melihat bagaimana kapitalisme global bisa
menghadapi krisis dan di saat bersamaan memperbaharui dirinya sendiri.
Kemampuan kapitalisme dalam berkuasa, jika menilik Analisis Gramscian
yang dipakai sebagai kerangka berpikir oleh Muhadi Sugiono, akan sangat
ditentukan dari: (1) adanya “intelektual organik” yang menelurkan ide-ide
dan strategi praktis; (2) adanya kekuatan ekonomi dan politik yang
menopang ide tersebut; serta (3) adanya transfer dan universalisasi ide
tersebut di seluruh dunia. Dengan demikian, buku ini memberikan
sumbangsih yang sangat berharga untuk memahami cara kerja kapitalisme
di level global.
Akan tetapi, tentu saja buku ini tak lepas dari keterbatasan. Apa yang kurang
dari buku ini adalah penjelasan mengenai mengapa kapitalisme pasca-1945
bisa bertahan. Walaupun ada gagasan-gagasan hegemonik yang
menyebabkan kapitalisme bisa kokoh, seperti gagasan Keynesianisme dan
Libertarianisme yang men-sustain-kan tatanan dunia yang dibangun oleh
kapitalisme, tetapi buku ini kurang menyoroti sisi produktif/basis material di
mana gagasan itu bisa tumbuh. Kita mungkin bisa memahami keterbatasan
hal ini karena kurang tersedianya space untuk melakukan analisis pada
bagian itu. Maka, perlu untuk memperkaya literature dengan beberapa karya
lain yang secara cukup komprehensif menggambarkan bagaimana basis
material dari kapitalisme global.
Selain itu, buku ini tidak memberikan implikasi, baik secara teoretis maupun
praktis, terhadap gerakan-gerakan sosial yang resisten terhadap kapitalisme.
Atas dasar itulah, saya merasa perlu memberikan bagaimana buku ini bisa
memberikan relevansi bagi gerakan-gerakan sosial yang saat ini resisten
terhadap hegemoni kapitalisme global. Melalui perspektif Gramscian, kita
dapat memahami bahwa untuk membangun perlawanan terhadap
kapitalisme global, tidak cukup hanya mengandalkan massa di lapangan.
Massa dan pengorganisasian memang penting, tapi tanpa “intelektual
organik” yang memandu dan mengarahkan massa dalam gerakan, hegemoni
akan sangat susah dilawan. Pengalaman kapitalisme dalam membangun
hegemoninya tidak terlepas dari para intelektual organik, baik Keynesian,
Kanan Baru, maupun SIN.
Oleh sebab itu, pembangunan pengetahuan yang integral dengan gerakan
massa menjadi sangat penting. Seperti kata Lenin (1905), tanpa teori yang
revolusioner, tidak akan praktik yang revolusioner. Gerakan tidak hanya
membutuhkan para agitator lapangan sebagai ‘juru pukul’, tetapi juga
‘koran’ sebagai juru bicara dan ‘intelektual’ sebagai juru pikir.
Mengefektifkan para intelektual dalam aktivitas pergerakan inilah yang
menjadi PR dari gerakan-gerakan sosial di Indonesia saat ini. Tanpa para
intelektual organik yang secara konsisten melakukan perlawanan terhadap

hegemoni teknokrat dan intelektual liberal dalam ruang pengambilan
keputusan politik di Indonesia, gerakan sosial hanya akan menemukan jalan
buntu.
Oleh sebab itu, dalam perspektif Gramscian, hal penting yang perlu
dilakukan adalah menciptakan para intelektual dan menghubungkan mereka
dengan gerakan-gerakan perlawanan. Intelektual-lah yang memandu,
mengarahkan, serta mengkonstruksi bangunan yang menjadi alternatif dari
tatanan sistem yang ada saat ini. Intelektual tersebut adalah intelektual
yang ideologis dan memiliki keberpihakan pada kekuatan massa yang
berlawan.
Untuk memahami cara kerja kapitalisme, hegemoninya, dan bagaimana
menemukan kelemahan dari sistem tersebut, buku ini cukup recommended
untuk dibaca. Terlebih bagi para penstudi HI yang ingin belajar lebih banyak
tentang ekonomi politik internasional dari perspektif yang berbeda.
Beberapa kekurangan yang ada di buku ini ditujukan sebagai sebuah ikhtiar
dan dorongan agar studi HI di Indonesia lebih berkembang dan lebih
bervariasi dalam perspektif –tidak didominasi oleh karya-karya kaum realis
atau liberal semata. ‘Ala kulli hal, semoga buku ini mampu memberikan
‘kesadaran kritis’ bagi kita tentang apa yang terjadi di dunia saat ini dan,
yang terpenting, bagaimana cara keluar dan mengubahnya!
Kepustakaan
Carroll, Toby. (2010). Delusion of Development: The World Bank and the PostWashington Consensus in Southeast Asia. London and New York: Palgrave.
Cox, Robert W. (2004). The Political Economy of Plural World: Critical
Reflections on Power, Moral, and Civilizations. London: Routledge.
Escobar, Arturo. (1995). Encountering Development: The Making and
Unmaking of The Third World. Princeton: Princeton University Press.
Ferguson, James. (1994). The Anti-Politics Machine: Development,
Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho. Minneapolis: Minnesota
University Press.

Fusaro, Lorenzo. (2011). Gramsci’s concept of hegemony at the national and
international level.
Fermia, Joseph. (2008). “Gramsci, Epistemology, and International Relations
Theory”. Paper presented at the Political Studies Association conference,
Swansea, April 2008
Hakim, Luqman-nul. (2011). “Governance and New Mode of Governing:
Indonesia as Metaphor”. Jurnal Sosial Politik 15 (2): 111-123.

Lenin, Vladimir J. (1905).
http://www.marxists.org/

What

is

To

Be

Done?

Retrieved

from

Li, Tania Murray. (2012). The Will to Improve: Pembangunan dan Kekuasaan
di Indonesia (pent: Heri Santoso dan Pujo Semedi). Jakarta: Marjin Kiri.
Hadiz, Vedi R. (1999). Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca-Kolonial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robinson, William. (2005). “Gramsci and Globalisation: From Nation-State to
Transnational Hegemony” Critical Review of International Social and Political
Philosophy, Vol. 8 (4): 1-16.
Robison, Richard. (1986). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.
Sugiono, Muhadi. (2006). Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan
Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan kedua.
*) Penulis adalah Alumnus Jurusan Hubungan Internasional, FISIPOL
UGM