ARSITEK BERTANGGUNG JAWAB AKAN SEMRAWUTN

ARSITEK BERTANGGUNG JAWAB AKAN SEMRAWUTNYA KOTA

Antariksa
KERESAHAN terhadap semrawutnya kota memberikan dampak situasi yang besar
terhadap kehidupan kota itu sendiri. Kota bukanlah hanya sekumpulan bangunan,
tetapi merupakan kumpulann aktivitas dari manusia, yang tidak mudah untuk
dipaksa dan dikendalikan untuk mengikuti sebuah rencana di atas kertas. Memang,
banyak kota-kota di Indonesia yang semula memiliki citra yang khas semakin
kehilangan daya tariknya karena intervensi bangunan yang berciri International
Style . Belum lagi ditambah dengan macetnya lalu lintas, sampah yang menumpuk,
penataan rumah yang tidak teratur, taman disulap jadi pusat pertokoan,
pedeagang kaki lima yang dikejar-kejar Tibum, permukiman dicemari limbah
industri, wajah kota kehilangan citra yang spesifik, dan sebagainya. Brent C.
Brolin, seorang arsitek dalam bukunya The Failure of Modern Architecture
Kegagalan Arsitektur Modern (Studio Vista 1976) mengatakan, Dulu kalau kita
bepergian selalu menjumpai kenikmatan-kenikmatan visual tak terduga. Sekarang
kita dihadapkan wajah-wajah lingkungan kota yang anonymous tidak berjiwa . Kita
perlu punya pengendalian dalam perencanaan kota yang terus menerus, setelah
bangunan selesai lalu dapat ditinggalkan. Para arsitek tidak boleh lepas dalam
perencanaan kota, karena pembangunan kota berjalan terus sepanjang masa.
Definisi Kota

Sampai saat ini pun masih sulit untuk dapat merumuskan definisi kota yang lengkap
dan dapat diterima oleh semua orang. Louis Wirth mendefinidsikan kota sebagai
suatu permukiman permanen yang cukup besar, dan padat dari individu-individu,
yang dari segi sosial heterogin. Sjoberg mendefinisikan sebagai suatu masyarakat
yang cukup besar dan cukup padat penduduknya, yang meliputi ahli bermacammacam, non pertanian, termasuk elit pelajar. Melihat dua aspek definisi tersebut
di atas, berarti faktor permukiman dan penduduk (masyarakat) sangat diminan
sekali dalam tata laku kehidupan kota. Pada kenyataannya arsitektur di kota
mengekspresikan ketertutupan jiwa manusia. Konflik atau kompromi yang gagal
antara desain arsitektur dan dekorasi interen rumah saja, jelas sudah
mencerminkan frusterasi manusia kota. Seperti dikemukakan oleh Harold F. Sears,
Lingkungan itu dengan atau tanpa hubungan dengan perkembangan kepribadian
manusia, menjadikan bahan baku bagi eksistensi kejiwaan manusia . Informasi
psikologis (jiwa/kejiwaan) inilah yang diharapkan nantinya akan menggantikan
doktrin estetis, yang sekarang merupakan alat para arsitek. Pengamatan dari segi
psikologis memperlihatkan adanya korelasi yang kuat antara persepsi ruang
seseorang dengan pola tingkah lakunya. Dalam arti kata, kemampuan seseorang
menghayati ruang di sekelilingnya (space perceisived) memberikan tekanan balik
kepada kemampuan tanggapnya. Oleh karena itu, ada anggapan yang mengatakan,
pola bentuk fisik kota dari lingkungan memberi andil dalam menciptakan nilainilai dalam masyarakat.
1


Sering Merusak
Pertumbuhan kota sering mencapai tingkat yang merusak keseimbangan
(disproporsional). Ini belum termasuk perhatian yang diberikan untuk mengadakan
pemeliharaan kesehatan, pendidikan (pendidikan dasar, menengah, dan tinggi) dan
fasilitas-fasilitas rekreasi penduduk kota. Belakangan ini muncul pusat
perdagangan (plaza) yang begitu menjamur di kota Malang. Dengan ungkapan
arsitektur yang serba mutakir (post-modern) gemerlapan dan megah ala arsitek
Mies van der Rohe, yang mungkin hampir sama sekali tidak menyentuh citra dari
kebudayaan timur. Dari segi penataan saja sudah mencerminkan kesemrawutan,
dengan asumsi menarik sebanyak mungkin pembeli nantinya, tetapi menggusur
bangunan yang ada bahkan mempunyai nilai peninggalan sejarah yang tinggi
(arsitektur indisch). Suatu pertanyaan penting yang dapat dikemukakan dalam
hubungan ini ialah, sampai berapa jauh bangunan dan penataan di lingkungan kota
itu berpengaruh atas manusia serta tingkah lakunya. Atau sebaliknya kita telusuri
lagi program penyusunan master plan yang memuat arah perkembangan kota
dalam jangka panjang. Karena pada dasarnya, master plan itu kebanyakan berupa
himpunan rumusan tindakan yang harus menjaga sejumlah faktor-faktor seperti,
pembangunan perumahan, lapangan kerja, infra struktur, rekreasi dan sebagainya
tumbuh secara bersama-sama dan seimbang. Kalau ini pun mengalami pergeseran

dan perubahan tata nilai yang maknawi dari ekspresi kemanusiaan maka, hasil
karya arsitektur ditambah reaksi penghayatan ruang individu memberi kontribusi
dalampenyusunan sistem nilai baku di masyarakat. Dapat kita lihat berapa buah
kota yang sudah memiliki master plan. Itu pun seberapa jauh vliditas dan mutunya,
serta seberapa jauh dapat ditaati. Keadaan yang demikian tentunya bukan saja
akan menampilkan arsitektur yang tidak kita idam-idamkan, yang juga akan
membentuk suatu peri kehidupan yang memang tidak kita harapkan. Arsitektur itu
biasanya dianggap sebagai arsitektur yang membeku , yang secara konkrit
terpancang puluhan tahun dan selalu terbaca oleh masyarakat sampai puluhan
bahkan ratusan tahun pula. Bukankah candi Borobudur dan Prambanan yang sudah
berdiri ratusan tahun memberikan keindahan dan pesan-pesan tentang struktur
kekuasaan dan masyarakat pada waktu itu.
Poster Konkrit
Demikian pula, kalau kita amati kota-kota peninggalan masa kolonial dengan
bangunan-bangunan gubernemen (rumah regent/resident), tangsi kumpeni,
penjara (bui), dan bangunan ibadah (masjid/gereja) yang mengelilingi alun-alun.
Bahwa sebenarnya penataan (setting) dari tata ruang itu adalah poster konkrit
yang ikut mengikat masyarakat kota terkesima selama 350 tahun di bawah
penjajahan kolonial Belanda. Sampai saat ini pun pola tersebut masih menjadi
kebanggaan kita. Untunglah kota kita masih punya alun-alun yang akhirnya menjadi

focal point of town oleh seluruh masyarakat. Di tempat tersebut mengajak kita
meneguk hangatnya rasa kemanusiaan, rasa keakraban sesama sebagai manusia,
tawa ria, senyum keramahan manusia, keramahan kota.
Sampai hari ini, kita tidak usah heran kalau melihat banyak ketimpangan dan
kesemrawutan di dalam kota yang terkadang justru membikin pusing masyarakat
sendiri. Baik semrawut karena instruksi pemerintah daerah dalam penataan dalam
penataan kota supaya kelihatan bagus dan rapi, maupun semrawut karena ulah
masyarakat. Kita menginginkan setiap anggota masyarakat kota memenuhi dan
memiliki kesadaran bahwa ia turut bertanggung jawab atas kotanya sendiri.
2

Sangatlah tepat ucapan Heikki von Hertzen, bahwa keluarga mapan lahir dari
rumah yang mapan; rumah yang mapan lahir dari perencanaan kota yang arif; dan
hal ini lahir dari perencanaan wilayah; dan akhirnya perencanaan wilayah yang arif
itu hanya akan lahir dari kebijakan nasional untuk perkotaan, untuk masyarakat
(Heikki von Hertzen and Paul D. Spreiregen, Building a New Town, MIT, 1973).
Tanggung Jawab Arsitek
Tanggung jawab arsitek masih kita butuhkan dalam masalah ini, ia harus
merupakan figur terhormat di mata masyarakat dalam ilmu dan ketrampilam, yang
jernih dan subur. Peran semacam ini seharusnya demikian luhur, penuh dedikasi,

cermin kebenaran, keluguan, dan kesederhanaan dalam segala hal. Mengemban
tanggung jawab moral dan material untuk waktu yang sangat panjang, untuk
dirinya dan masyarakat keseluruhan. Dalam hal seperti ini arsitek diharapkan turut
berpartisipasi memecahkan ketimpangan ekologi. Seperti konsep Arcology
(ecological architecture)nya Paolo Soleri, yang dijelaskan sebagai menghayati
eksistensi ekosistem alam, keseimbangan dan keharmonisan serta keadaan manusia
itu sendiri.
Oleh karena itu, betapa indah arsitektur itu, bila dari masing-masing dapat
menyelami ungkapan filosofinya mungkin akan menjadi lain. Pikirkanlah bahwa
setiap bangunan yang kita tegakkan berarti untuk selamanya, arsitektur adalah
bahasa mengkomunikasikan ekspresi manusia dengan nilai-nilai martabatnya yang
sederhana. Seperti pepatah Yunani mengatakan, membangun kemegahan,
kegemerlapan belaka adalah jalan menuju kemiskinan . Keluarga yang mapan
bukan berarti keluarga ber-video dan TV-berwarna. Bukan pula gubug reyot. Tetapi
keluarga dengan rasa kehangatan utuh, keluarga yang mengisi identitas kotanya.
Kita mulai dari yang kecil. Bukankah kecil itu indah?
Tulisan ini telah dimuat dalam harian Suara Indonesia Tanggal 21 November 1985

3