Representasi Status Sosial dalam Interfe

REPRESENTASI STATUS SOSIAL
DALAM INTERFERENSI BAHASA JAWA PADA WACANA KELAS

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Sosiolinguistik
yang dibimbing oleh Prof. Anang Santoso, M. Pd dan Dr. Sunoto, M. Pd

Oleh
Kukuh Fadliyatis S.

130211810294

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
Desember 2013

I.

Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia yang bertujuan untuk


menyampaikan pesan. Fungsi bahasa tidak hanya terbatas sebagai alat komunikasi
saja. Bahasa mempunyai arti dan fungsi berbeda dilihat dari sudut pandang yang
berbeda. Dengan bahasa, manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya.
Bahasa yang digunakan seorang individu dalam masyarakat merepresentasikan
bahasa masyarakat penuturnya.
Bahasa dijelaskan dan dipelajari tidak hanya melalui struktur dalam bahasa
tersebut. Untuk mempelajari dan menjelaskan seluk beluk bahasa juga melibatkan
aspek – aspek nonbahasa yaitu aspek sosial. Aspek sosial terdiri dari struktur
sosial, status sosial, tatanan sosial, usia, dan gender. Aspek sosial merupakan
bagian dari kelas sosial. Aspek sosial yang dimiliki penutur secara tidak langsung
memengaruhi bahasa yang digunakan dalam berbagai fungsi. Pengaruh tersebut
dapat berupa dialek atau logat yang diucapkan, kosa kata yang menunjukkan
status sosial yang digunakan. Pengaruh yang lebih besar dapat berupa interferensi
bahasa pertama yang digunakan.
Salah satu aspek sosial yang juga berpengaruh terhadap bahasa yang
digunakan yaitu status sosial dalam masyarakat. Status sosial yang dimiliki
masyarakat beragam bergantung tempat dan fungsi di dalam masyarakat. Status
sosial dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh seorang penutur (dalam hal
ini siswa). Status sosial pembelajar selain sebagai pelajar (jika di sekolah), mereka

berstatus sosial sebagai pekerja paruh waktu. Pekerjaan paruh waktu dilakukan
pembelajar sepulang sekolah. Pekerjaan yang dilakukan siswa yaitu sebagai
Pekerjaan yang sebagian besar dilakukan oleh para pembelajar yaitu kuli
bangunan, cleaning service, dan pelayan warung. Jika dilihat dari kelas sosialnya,
kelas sosial pembelajar lebih dominan kelas menengah ke bawah. Hal tersebut
yang mendorong pembelajar untuk bekerja guna membantu orang tua.
Pengaruh status sosial pembelajar di luar sekolah memengaruhi
pembelajaran di kelas. Pengaruh tersebut berupa interferensi bahasa Jawa ke
dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Interferensi disebabkan karena lingkungan

kerja dan lingkungan sosial masyarakat siswa tidak mendukung siswa
menggunakan bahasa Indonesia. Kelas sosial pembelajar yang menengah ke
bawah dan domisili di pinggiran kota juga menjadi sebab terjadinya interferensi
dalam pembelajaran bahasa.
II. Pembahasan
2.1 Status Sosial
Status pembelajar siswa yang melekat di dalam dirinya berhubungan
dengan kedudukan pembelajar tersebut di dalam masyarakat. Kedudukan siswa
dapat dilihat dalam keluarga dan masyarakat. Untuk melihat hal tersebut, terlebih
dahulu melihat kedudukan status sosial di dalam terminologi sosiolinguistik.

Status sosial merupakan bagian dari kelas sosial. Kelas sosial berhubungan
dengan sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan tertentu dalam bidang
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan kedudukan. Kajian ini difokuskan pada
pekerjaan pembelajar yang memengaruhi pemakaian bahasa di dalam kelas.
Pengaruh pekerjaan terhadap pemakaian bahasa yaitu munculnya variasi bahasa
yang berbeda. Kajian ini menggunakan teori Berstein tentang kelas sosial dan
teori Wardhaugh tentang variasi bahasa.
Bahasa yang digunakan dokter, pengacara, kuli bangungan, dan pelayan
pastilah berbeda. Variasi bahasa yang digunakan dokter dan pengacara
dipengaruhi oleh bidang atau pengetahuan yang dikuasi seseorang. Misalnya,
topik yang dibicarakan oleh seorang dokter berbeda dengan topik yang
dibicarakan oleh seorang kuli bangungan atau pelayan. Dalam hal ini mitra tutur
juga harus memiliki pengetahuan tentang topik yang sedang dibicarakan. Hal
terserbut dikarenakan status sosial dan kelas sosial yang berbeda. Pekerjaan
dokter dan pengacara menduduki kelas sosial menegah ke atas, sedangkan kuli
bangunan menduduki kelas sosial menengah ke bawah.
Wardhaugh (2006 : 52) mendeskripsikan register sebagai suatu set
‘language items’yang berhubungan secara khusus dengan kelompok sosial atau
kelompok pekerjaan (occupational) tertentu. Dokter, pilot, manager bank,
pedagang, sopir angkot, musisi,atau bahkan mereka yang bekerja dalam dunia

prostitusi memiliki register masing-masing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ferguson (dalam Wardhaugh, 2006 : 52), orang-orang yang berkutat dalam situasi

komunikasi yang terus berulang cenderung mengembangkan kosakata, intonasi,
dan kepingan karakteristik sintaksis dan fonologi yang serupa yang mereka
gunakan dalam situasi-situasi tersebut. Variasi jenis inilah yang disebut register.
Ferguson menambahkan bahwa istilah-istilah khusus untuk objek-objek atau
kejadian-kejadian tertentu yang berulang ini tampaknya membantu komunikasi
agar semakin cepat.
Perbedaan status sosial pembelajar di dalam wacana kelas memengaruhi
bahasa yang digunakan terutama pengunaan bahasa Jawa dalam pembelajaran
bahasa Indonesia. Bernstein menyatakan keberhasilan bermasyarakat para anggota
kelompok sosial dan untuk memasuki hak-hak sosial mereka tergantung pada
tingkat pengorganisasian pesan-pesan bahasa mereka. Peranan bahasa di sini
sangat penting karena tanpa bahasa seseorang tidak mungkin dapat mengutarakan
isi hati atau idenya. ragam bahasa yang digunakan berbeda antara kelompok sosial
yang satu dengan kelompok sosial lainnnya. Dengan demikian ada variasi bahasa
dalam suatu kelompok masyarakat, yaitu variasi bahasa berbentuk lengkap
(elaborated code) yang biasa digunakan pada situasi formal dan variasi yang
terbatas atau tidak lengkap (testricted) yang biasa digunakan pada situasi tak

formal atau dalam kehidupan sehari - hari atau bahasa sehari-hari (dalam hal ini
bahasa Jawa). Hal tersebut memengaruhi interferensi bahasa Jawa dalam wacana
kelas.

2.2 Interferensi Bahasa Jawa
Penguasaan bahasa pertama (bahasa jawa) oleh pembelajar bahasa kedua
menjadi hambatan dalam proses pembelajaran bahasa kedua (bahasa Indonesia) di
dalam wacana kelas. Selain menjadi hambatan dalam pembelajaran, interferensi
juga merepresentasikan status sosial pembelajar di dalam masyarakat.
Pembelajaran bahasa Indonesia tidak maksimal dikarenakan interferensi bahasa
Jawa.
Interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan belum mapannya
penguasaan kaidah atau struktur bahasa Indonesia. Interferensi bahasa Jawa
terjadi dalam bidang fonologi, morfologi, dan pembentukan kalimat. Pembelajar
masih sering menggunakan kosakata ataupun tata kalimat bahasa Jawa dalam

mengungkapkan gagasan bahasa Indonesia. Interferensi terjadi pada keterampilan
berbicara. Jika dipersentasikan, interferensi pada pembelajaran keterampilan
berbicara sebanyak 70% pembelajar menggunakan unsur bahasa Jawa dan sisanya
menggunakan bahasa Indonesia. Jadi bahasa yang dominan dalam pembelajaran

bahasa Indonesia bukan bahasa Indonesia tetapi bahasa Jawa.
Interferensi dalam bidang fonologi terjadi ketika mengucapkan bunyi /p/,
/d/, /g/,dan /j/ dalam konteks pengucapan nama tempat. Pembelajar mengalami
interferensi bahasa Jawa ketika mengucapkan bunyi – bunyi tersebut yang rentan
disisipi kaidah dan kebiasaan pengucapan bunyi dalam bahasa Jawa. Misalnya
ketika menuturkan Bantur menjadi mBantur, daerah Bawang menjadi daerah
mBawang.
Interferensi yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dalam
wacana kelas yaitu interferensi dalam bidang morfologi. Interferensi dalam bidang
morfologi terjadi dalam pembetukan dan penyerapan afiks bahasa Jawa.
Misalnya, Tetanggaku ketabrak sepeda Shogun, bu kemarin. Dalam kalimat
tersebut, kata ketabrak merupakan interferensi afiksasi bahasa Jawa. Afiksasi
dalam bahasa Indonesia yang tepat yaitu tertabrak.
Interferensi juga terjadi dalam bentuk kalimat (sintaksis). Pembelajar
bahasa Indonesia sering menggunakan kaidah bentuk kalimat bahasa Jawa dalam
bentuk kalimat bahasa Indonesia. Interferensi pembentukan kalimat bahasa
Indonesia oleh pembelajar dilakukan dengan menambahkan afiksasi –Nya untuk
menunjukkan milik yang diikuti kata benda (nama orang) yang seharusnya dalam
pembentukan kalimat bahasa Indonesia tidak perlu ada. Hal tersebut dikarenakan
nama orang sudah menunjukkan milik. Misalnya, Bu, bapaknya sudah datang

ta?. Kata Bapaknya merujuk kepada guru Sejarah, ta bermaksud untuk
menegaskan kalimat bapaknya sudah datang. Hal tersebut tidak terdapat dalam
bentuk kalimat bahasa Indonesia. Bentuk kalimat yang tepat dalam bahasa
Indonesia yaitu Bu, bapak Agus sudah datang?. Interferensi tersebut terjadi
disebabkan ada padanan konteks dari bahasa Jawa yaitu Bu, bapake sampun
dugi?.
Contoh interferensi di dalam pembelajaran menanggapi wawancara.
Guru

: Bagaimana tanggapan kalian tentang topik wawancara tersebut?

Murid 1

: Itu bu, menurut saya seharuse orang utan itu dirawat oleh pihak
berwajib kan orang utan masuk hewan yang tidak boleh
dipelihara bu.Lha itu kok malah dipelihara dan hidup bersama
manusia bu.

Murid 2


: Kalau saya, mungkin orang utan itu ditaruh di kebun binatang
bu. Kan terawat selain itu juga dapat mengurangi kepunahan
orang utan.

Murid 3

: mending orang utan ditaruh di hutan, dibuatkan konservasi alam
bu. Maksudnya hutannya itu khusus untuk orang utan saja biar
orang utannya tidak banyak yang punah.

Murid 4

: Kalau saya se bu tidak apa-apa dipelihara kan yang memelihara
juga seorang peneliti. Peneliti kan pintar bu, pasti juga mengerti
cara memelihara orang utan dengan baik. Selain itu juga, orang
utannya kan diteliti. Peneliti pasti memberikan solusi atas
permalahan orang utan. Misalnya, penyebab orang utan turun
gunung untuk mencari makan. Kan itu bisa dicari tahu oleh
peneliti bu.


Interferensi bahasa Jawa dalam pembelajaran bahasa Indonesia terjadi
karena pembelajar jarang menggunakan bahasa Indonesia di luar sekolah. Hal itu
disebabkan karena latar belakang pembelajar yang dominan dari keluarga kurang
mampu dan berdomisili di daerah pinggiran kota. Latar belakang keluarga yang
kurang mampu mendorong pembelajar bekerja paruh waktu untuk membantu
kedua orang tuanya. Pekerjaan yang sebagian besar dilakukan oleh para
pembelajar yaitu kuli bangunan, cleaning service, dan pelayan warung.
Lingkungan kerja yang seperti itu kurang bisa mendukung pembelajar untuk
menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut yang menyebabkan interferensi
terjadi di dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Interferensi merupakan penyimpangan norma berbahasa yang dilakukan
oleh dwibahasawan atau orang yang menguasai bahasa lebih dari satu. Keakraban
dwibahasawan atau bilingual terhadap satu bahasa menyebabkan adanya kontak
bahasa. Kontak terjadi antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Ketika
pembelajar tidak dapat menempatkan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam

masing – masing konteks maka pembelajar tersebut melakukan interferensi.
Dalam kasus ini, interferensi terjadi dari bahasa Jawa ke dalam pembelajaran
bahasa Indonesia. Interferensi terjadi karena pembelajar tidak dapat membedakan
sistem bahasa pertama dan bahasa kedua. Pembelajar mencampuradukan kedua

sistem bahasa tersebut tanpa memperhatikan struktur dan sistemnya.
Penyimpangan yang dilakukan oleh dwibahasawan berupa penyimpangan
dari norma bahasa Indonesia sebagai akibat kurang mengenal sistem dan kaidah
bahasa tersebut. Penyimpangan sebagai akibat pengenalan pembelajar terhadap
bahasa Indonesia masih kurang. Penyimpangan terjadi karena pada waktu
melakukan identifikasi antarbahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia) itu
menerapkan dua buah sistem yang berbeda secara serempak kepada suatu unsur
bahasa.
Weinreich membatasi interferensi hanya terjadi di dalam tuturan saja. Hal
tersebut dikarenakan tuturan tidak terkonsep di dalam pemikiran. Artinya sesuatu
yang dituturkan oleh penutur rentan menggunakan interferensi bahasa pertama ke
dalam bahasa kedua.Pembelajar tidak dapat mengantisipasi adanya interferensi.
Hal tersebut berbeda dengan wacana tulis, pembelajar dapat mencegah dan
mengantisipasi adanya interferensi karena pembelajar memiliki waktu yang
banyak untuk berpikir tentang struktur dan sistem yang digunakan dalam bahasa
kedua.

2.3 Representasi Status Sosial dalam Interferensi
Interferensi bahasa Jawa bukan hanya sabagai hambatan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia tetapi juga merepresentasikan status sosial yang

disandang pembelajar dalam masyarakat. Interferensi bahasa Jawa dalam wacana
kelas dipengaruhi oleh faktor internal kebahasaan dan faktor eksternal
kebahasaan. Faktor internal kebahasaan meliputi fonologi, morfologi, dan
sintaksis. Sedangkan faktor eksternal kebahasaan meliputi latar belakang
pembelajar dan status sosial dalam masyarakat. Dalam kajian ini ditemukan faktor
eksternal kebahasaan memengaruhi adanya interferensi kebahasaan.
Faktor ekstenal kebahasaan meliputi kelas sosial yang di dalamnya
terdapat status sosial yang disandang pembelajar. Status sosial pembelajar bahasa

memengaruhi interferensi bahasa Jawa dalam wacana kelas. Hal tersebut
dikarenakan pembelajar jarang menggunakan bahasa Indonesia di luar sekolah.
Lingkungan kerja pembelajar kurang mendukung pembelajar menggunakan
bahasa Indonesia. Kelas sosial pembelajar yaitu menengah ke bawah. Sebagian
besar bekerja sebagai cleaning service, pelayan warung, pelayan toko, dan kuli
bangunan. Tidak hanya lingkungan kerja yang memengaruhi interferensi bahasa
Jawa dalam wacana kelas, lingkungan pembelajar tinggal juga menjadi faktor
penyebab interferensi. Hal tersebut menyebabkan sistem bahasa Jawa yang
terdapat dalam otak sering digunakan.
Interferensi terjadi karena sistem bahasa Jawa yang terdapat dalam otak
lebih kuat daripada sistem bahasa Indonesia. Interferensi dalam wacana kelas
terjadi hampir di semua bidang kajian bahasa yaitu fonologi, morfologi, dan
sintaksis. Interferensi terjadi dalam wacana kelas terutama wacana lisan.
Keterampilan berbicara membutuhkan pengetahuan yang luas untuk dijadikan
topik pembicaraan. Keterampilan ini memerlukan pengetahuan tentang tata
bahasa, penguasaan kosa kata, penguasaan ragam bahasanya, pengetahuan tentang
konteks situasi dan budaya.
Dalam wacana kelas, pengaruh penggunaan bahasa Jawa dalam konteks
pembelajaran bahasa Indonesia cenderung mengacaukan struktur dan kaidah
bahasa Indonesia. Interferensi tersebut menimbulkan bahasa tersendiri yang bukan
termasuk dalam sistem bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa tersebut
dinamakan bahasa antara (interlanguage). Bahasa antara memiliki sistem sendiri
yang dimunculkan pembelajar dan bersifat alami. Bahasa ini masih dapat
dimengerti artinya bahasa antara yang dimunculkan tidak keluar dari konteks
pemahaman mitra tutur.
Pengaruh status sosial dalam interferensi bahasa Jawa pada wacana kelas
sulit dihilangkan tetapi dapat diminalkan dengan pemajanan atau pembiasaan bagi
pembelajar untuk menerapkan struktur atau kaidah bahasa Indonesia dalam
wacana lisan maupun wacana tulis. Pembiasaan bahasa Indonesia tidak hanya di
lingkungan sekolah saja. Pembelajar harus menggunakan bahasa Indonesa di
lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat sesuai dengan konteks situasi (tanpa

menghilangkan peran bahasa yang dipakai sehari – hari (bahasa Jawa). Keluarga
dan masyarakat harus mendukung penggunaan bahasa Indonesia.
Selain itu, guru dapat menggunakan pendekatan komunikatif – interaktif di
dalam pembelajaran. Pembelajar mempraktikkan pengetahuan tentang bahasa
(tatabahasa, kosa kata, penggunaan bentuk yang tepat untuk fungsi tertentu) dan
keterampilan untuk mengomunikasikan pesan. Dalam interaksi, pembelajar
belajar bagaimana menegosiasikan makna, bagaimana memperkenalkan atau
mengubah topik, bagaimana membuka dan menutup percakapan lawan bicara
dengan konteks yang berbeda. Sekolah dan guru harus mendukung pembelajar
untuk berbicara bahasa Indonesia ketika pembelajaran atau tidak dalam konteks
pembelajar masih berada disekolah. Guru seharusnya tidak membawa status sosial
pembelajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal tersebut dapat
menyebabkan interferensi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

III. Kesimpulan
Interferensi bahasa Jawa bukan hanya sebagai hambatan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia tetapi juga merepresentasikan status sosial yang
disandang pembelajar dalam masyarakat. Status sosial tersebut berupa pekerjaan
yang dilakukan oleh pembelajar diluar sekolah. Pekerjaan yang sebagian besar
dilakukan oleh para pembelajar yaitu kuli bangunan, cleaning service, dan
pelayan warung. Lingkungan kerja yang seperti itu kurang bisa mendukung
pembelajar untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut yang
menyebabkan interferensi terjadi di dalam pembelajaran bahasa Indonesia
Interferensi bahasa Jawa terjadi dalam pembalajaran keterampilan
berbicara. interferensi bahasa Jawa terjadi dalam tataran kebahasaan meliputi
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Interferensi tersebut menimbulkan bahasa
tersendiri yang bukan termasuk dalam sistem bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Bahasa tersebut dinamakan bahasa antara (interlanguage). Bahasa antara memiliki
sistem sendiri yang dimunculkan pembelajar dan bersifat alami. Bahasa ini masih
dapat dimengerti artinya bahasa antara yang dimunculkan tidak keluar dari
konteks pemahaman mitra tutur.

SUMBER BACAAN
Bhela, Baljit. 1990. Native Language Interference in Learnign a Second
Language: Exploratory Case Studies of Native Language Interference with
Target Language Usage. International Education Journal, (Online) 1 (1) :
22-31 , (B Bhela - International Education Journal, 1999 openjournals.library.usyd.edu.au), diakses tanggal 10 Desember 2013
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Galasso, Joseph. 2002. Interference in Second Language Acquisition : A Review ,
the Fundamentasl Difference Hypothesis. California State University
Northridge
Ghazali, A.Syukur. 2013. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Dengan
Pendekatan Komunikatif – Interaktif. Bandung : Refika Aditama
Giglioli, Pier (Ed). 1972. Language in Context. Amerika Serikat : Pier Paolo
Giglioli
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell
Publishing