FAKTOR FAKTOR YANG MENIMBULKAN KONFLIK K

FAKTOR-FAKTOR YANG MENIMBULKAN KONFLIK KERJA KELUARGA
PADA PEKERJA SPA WANITA DI KOTA BANDUNG
(STUDI PADA JASA NATURE SPA DI KOTA BANDUNG)
Arif Partono Prasetio dan Ella Jauvani Sagala
Institut Manajemen TELKOM (TELKOM University)
partono67@gmail.com; ellasagala@gmail.com
Abstrak
Konflik kerja keluarga telah menjadi fokus perhatian yang menarik di bidang sumberdaya
manusia. Hubungan antara pekerjaan dan keluarga senantiasa menjadi masalah yang terkait
dalam diri karyawan dan perusahaan. Banyak aspek yang menjadi penyebab timbulnya
konflik kerja dan keluarga ini. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik kerja
dan keluarga ini berbeda dan ditentukan oleh latar belakang individu dan kebijakan
perusahaan. Penelitian kali ini menganalisis faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab
munculnya konflik kerja dan keluarga di dalam industri jasa. Peneliti memilih bisnis Nature
Spa yang memiliki tiga buah outlet di Bandung. Objek penelitian ini dipilih karena memiliki
keunikan terkait dengan operasionalnya (panjangnya jam kerja, sistem kerja shift, dan citra
bisnis spa yang negatif). Karyawan utama di dalam bisnis ini adalah para terapis yang
memiliki latar belakang pendidikan terbatas (SMU dan dibawahnya). Terapis ini memiliki
tingkat kendali yang rendah terhadap pekerjaan mereka, khususnya terkait jadwal kerja.
Para terapis yang bertugas harus selalu berada di lokasi kerja mereka setiap saat. Jadwal
kerja yang kaku dan kondisi pekerjaan tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya

konflik antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan berkeluarga. Peneliti ini bertujuan
mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi pendorong terjadinya konflik tersebut dan
berupaya memberikan saran yang dapat digunakan untuk meminimalkan atau mengurangi
potensi konflik kerja dan keluarga di kalangan terapis. Metode yang digunakan adalah
kuantitatif dengan teknik pengumpulan data yang dipadukan antara survey melalui kuesioner
dan wawancara. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan faktor yang berpotensi
menimbulkan kerja dan keluarga. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan, kebijakan perusahaan, dan hubungan antara terapis berperan penting dalam
mengurangi atau menambah potensi terjadinya konflik tersebut.
Keywords : konflik kerja-keluarga, spa business, konflik peran, gaya kepemimpinan.

Abstract
The work family conflict is always become an interesting subject in HR research. The relationship
between work and family matters always inherent in every employees and employers mind. There
many aspect which cause the work and familiy conflict. Factors contributing to the work and family
conflict differs depending on the individual background and organizational policy. This research
analyze the factors which cause work and family conflict in a service business industry. We choose the
spa business called Nature Spa, which operate in three separate places across Bandung. This
research will analyze factors which cause work and family conflict in employees work in an services
industry. Employee, or teraphist in Nature Spa, a small medium services company choosen to be the

respondent for this survey. Nature Spa consists of three outlet across Bandung. The uniqueness of the
operation (long hours work, work schedule based on shift, and the image of the spa busniess) attract
the attention of the author to do the research. The key employee in spa busines is the Therapist, whose
usually have limited education background (High school and below). Yet the Therapists do not have
much control in their work, especially related with the schedule. They are position at the lowest level
in the organization. The Teraphists have to be ready to do their duties serving the customers. They

1

have to be available during their working hours. The rigid schedule and the work condition faced by
them increase the possibilities for the work and family conflict to happen. The research intend to
identify the factors which stimulate the occurence of the conflict and will try to provide suggestion to
minimize or eliminate the work and family conflict potential. The author used the quantitatif method
combined with the interview and questionnaire to provide in-depth explanantion of the study.
Descriptive analysis use to describe the factors which cause work and family conflict. The result of
this study show that the leadership style of the supervisor, company policy, and the relations between
Therapists play an important role to reduce or intensify the conflict potential.

Keywords : work-family conflict, spa business, role conflict, leadership style.
PENDAHULUAN

Upaya untuk memisahkan kehidupan kerja dan keluarga sulit dilakukan, karena
keduanya merupakan hal yang penting di dalam kehidupan seorang manusia. Manusia
membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarganya. Mereka mendapatkan
pekerjaan yang layak atau mencari peluang usaha yang memiliki potensi paling besar untuk
dapat memenuhi kebutuhannya. Hampir tidak ada manusia yang terbebas dari pertentangan
kepentingan antara menjalankan perannya sebagai karyawan dan perannya di dalam keluarga.
Peran sebagai karyawan memberikan kesempatan untuk memperoleh penghasilan guna
memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan peran di dalam keluarga mensyaratkan keberadaan
dan keterlibatan individu tersebut dalam aktivitas keluarganya.
Indonesia menerapkan kebijakan waktu kerja 40 jam seminggu (7-8 jam setiap hari
tergantung jumlah hari kerjanya). Kondisi ini menyebabkan individu berada di luar domain
keluarga lebih kurang 7 – 8 jam setiap harinya. Jenis pekerjaan tertentu bahkan
mengharuskan karyawan untuk bekerja di ats 12 jam kerja. Jam kerja dan kehadiran di tempat
kerja merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Mereka wajib hadir di lokasi kerja pada dan
selama jam kerja yang ditentukan. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki keleluasan dalam
mengatur waktunya sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari seseorang yang memutuskan
untuk bekerja, dia ‘menukarkan’ kebebasan waktunya dengan nilai uang tertentu dalam
bentuk gaji yang diterima. Kecuali waktu hal lain yang dihadapi karyawan adalah tuntutan

2


penyelesaian pekerjaan, kinerja yang harus selalu optimal, dan kondisi pekerjaan yang
penting.
Ketika individu bekerja, yang bersangkutan harus meninggalkan rumah atau
keluarganya dengan berbagai masalah yang ada. Sehingga jika ada kepentingan individu akan
mengalami kesulitan untuk memenuhi kedua hal tersebut pada saat bersamaan. Sebagai
contoh, anak yang sedang sakit, akan membutuhkan perhatian khusus dari orang tuanya, anak
yang memiliki kebutuhan khusus, mengharuskan ayah atau ibunya senantiasa berada di
rumah untuk membantu proses perawatannya. Peran individu di dalam keluarga akan menjadi
lebih berat tatkala yang bersangkutan masih tinggal bersama keluarga lain. Agus Surono
(2012) menulis dilema anak sakit dan tuntutan untuk hadir di kantor yang merepotkan ibu dan
ayah. Kehidupan pribadi seseorang juga layak mendapatkan perhatian. Waktu yang berharga
dan sudah terlewatkan (misalnya proses pertumbuhan anak) tidak mungkin terulang lagi.
Kebutuhan individu biasanya memiliki tuntutan yang harus dipenuhi. Pengadaan
rumah, pengobatan, dan pendidikan adalah beberapa anggaran yang wajib disediakan. Saat
ini upah minimum untuk Kota Bandung adalah Rp. 1.538.703,- (data ketentuan upah
minimum dari Departemen Tenaga Kerja Indonesia - 2013). Jumlah tersebut masih jauh dari
cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan pada keluarga yang belum memiliki
anak (http://m.merdeka.com/uang/berapa-gaji-ideal-dan-layak-bagi-buruh.html di akses 11
Maert 2013). Jumlah wanita yang bekerja pun menunjukkan peningkatkan. Menurut data dari

Kementerian Tenaga Kerja Indonesia, pada Tahun 2011 terdapat 41.680.456 wanita yang
bekerja.Bandingkan dengan kondisi pada Tahun 2010 yang hanya sebesar 40.745.544. Dr.
Suwandi Sumartias (2012)menyatakan jumlah angkatan kerja wanita saat ini sudah mencapai
37.9% dari total angkatan kerja sebanyak 104.87 juta.
Dalam budaya Indonesia, wanita masih dianggap sebagai pihak yang lebih bertanggung
jawab dalam hal mengurus kepentingan di rumah. Bahkan dalam kondisi saat ini dimana

3

terkadang wanita juga harus bekerja. Tidak jarang, wanita berpenghasilan lebih besar dari
pria dan menjadi tonggak ekonomi utama, masih bertanggung jawab dalam urusan rumah
tangga yang lebih besar. Peran wanita membantu memenuhi kebutuhan keluarganya
dikemukakan oleh Norbertus Kaleka (2011).Keterlibatan wanita dalam bekerja dan tuntutan
untuk mengurus masalah rumah tangga ini mengakibatkan timbulnya peran ganda yang
terkadang berlawanan. Sebagai seorang wanita, mereka harus mengurus keluarga di rumah.
Wanita bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga seperti, memasak, membersihkan
rumah, mengurus anak dan orang tua/mertua (Harsiwi, 2008). Kondisi ini tidak hanya berlaku
bagi wanita yang sudah menikah, akan tetapi yang masih lajang pun memiliki ‘beban’
tersebut. Ketika memutuskan untuk bekerja, pekerja wanita sudah mempertimbangkan
adanya tuntutan untuk menjalankan pekerjaan dengan baik. Keputusan untuk bekerja

merupakan komitmen terhadap ketentuan dan tuntutan perusahaan.
Berdasarkan kajian Karl et al dalam Greenhaus & Beutell (1985), konflik kerja
keluarga didefinisikan sebagai konflik antar peran yang disebabkan ketidaksesuaian tekanan
peran di dalam keluarga dan pekerjaan. Keterlibatan seseorang dalam menjalankan peran di
keluarga akan menjadi lebih sulit ketika yang bersangkutan juga menjalankan peran di
perusahaan, atau sebaliknya.Menjalankan tanggung jawab rumah tangga berpotensi
menimbulkan masalah.Tuntutan berprestasi dan berkinerja baik di perusahaan akan
menggandakan potensi masalahnya. Jika semua berjalan mulus dan tidak ada pertentangan
kepentingan, maka semua pihak dipuaskan. Akan tetapi seringkali kedua hal ini bertentangan.
Bahkan sering masalah penting di keluarga terjadi bersamaan dengan tuntutan penyelesaian
pekerjaan di perusahaan. Lebih dilematis lagi apabila keduanya memiliki tingkat kepentingan
yang sama dan harus ditangani dalam waktu bersamaan juga.
Konflik kerja keluarga seperti yang tergambar pada penjelasan di atas, juga
mempengaruhi kehidupan pribadi dan pekerjaan para pekerja yang berkarya di bidang

4

spasebagai tenaga terapis. Pekerjaan sebagai Terapis di dominasi oleh karyawan wanita dan
memiliki jam kerja yang tidak biasa. Mereka biasanya terbagi di dalam dua hingga tiga
shiftyang bekerja antara pukul 08.00 – 24.00. Jenis pekerjaan, jam kerja, tuntutan pekerjaan,

dan fluktuasi upah yang diterima pada jenis pekerjaan ini merupakan hal yang menarik bagi
penulis untuk di teliti khususnya dikaitkan dengan potensi konflik kerja dan keluarga. Bahkan
karena sifat pekerjaannya, kadang kala pihak keluarga (suami dan atau orang tua) menilai
sebelah mata pekerjaan mereka.
Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis pekerjaan yang dilakukan responden.
Selanjutnya, penulis akan menggali faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan timbulnya
konflik kepentingan keluarga dan pekerjaan. Penulis menetapkan judul penelitian ‘Faktorfaktor Yang Menimbulkan Konflik Kerja Keluarga Pada Pekerja Spa Wanita di Kota
Bandung (Studi Pada Jasa Nature Spa di Kota Bandung).Sedangkan penelitian ini bertujuan
untuk:
1) Mengetahui tuntutan dan lingkungan pekerjaan sebagai seorang Terapis di Nature Spa.
2) Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab timbulnya konflik kerja
keluarga di kalangan pekerja spa wanita.

KAJIAN PUSTAKA
Literatur mengenai konflik kerja dan keluarga banyak membahas masalah pekerja
terkait pekerjaan dan hubungannya dengan keluarga. Bagaimana faktor di dalam pekerjaan
mempengaruhi kehidupan pribadi karyawannya. Voydanoff dalam Wharton dan Blair-Loy
(2006) menggambarkan konflik kerja keluarga sebagai ‘the demands of the work interfere
with fulfilling family responsibilities’. Berbagai literatur lain pun menggambarkan definisi
yang tidak jauh berbeda. Aktivitas pekerjaan individu berpotensi menimbulkan gangguan

dalam memenuhi kewajiban di keluarga.

5

Penelitian mengenai konflik kerja dan keluarga sudah banyak dilakukan, baik yang
membahas penyebab terjadinya konflik, maupun akibat yang ditimbulkan dari adanya konflik
tersebut. Dari keluasan pembahasan tersebut, berbagai teori digunakan para penulis untuk
menganalisis bagaimana dan sejauhmana hubungan antara kehidupan pekerjaan dan pribadi.
Penelitian ini melihat konflik kerja keluarga melalui sudut pandang teori peran, teori konflik,
dan teori spillover/pelimpahan.
Teori Spillover
Hill, Ferris, & Martinson (2003 : 222) menyatakan bahwa membaurnya lingkungan
kerja dan keluarga dapat menciptakan kondisi positif dan negatif. Pola interaksi yang kaku di
antara keduanya (misalnya dalam masalah waktu dan ruang/tempat kerja) berpotensi
mengakibatkan munculnya kondisi yang negatif. Sebaliknya, jika pola interaksinya fleksibel,
yang membolehkan individu untuk membagi waktu antara tanggung jawab keluarga dan
pekerjaan (waktu dan tempat), akan menciptakan perpaduan kondisi yang positif.
Teori Peran
Pembahasan konflik kerja dan keluarga menggunakan teori peranHal ini dikemukakan
oleh Rantanen et al (a, 2011:27). Teori peran merupakan pandangan ilmu sosiologi dan

psikologi sosial yang menyatakan bahwa aktivitas keseharian yang dilakukan oleh manusia
adalah merupakan bentuk peran sosial yang didasarkan pada berbagai kategori (misal; guru,
manajer, mahasiswa, ayah). Setiap peran yang ‘dimainkan’ tersebut memiliki hak, tugas,
tanggung jawab, harapan, norma, dan panduan perilaku berbeda-beda. Kesemuanya itu harus
dijalani dan atau dicapai oleh setiap individu yang memegang peran.Konflik peran yang
dialami oleh pekerja dapat bersifat dua arah, masalah di pekerjaan yang berpengaruh terhadap
kehidupan berkeluarga dan masalah keluarga yang dapat mempengaruhi pekerjaan.
Teori konflik peran ganda ini dikemukakan oleh Frone dalam Rantanen et al (b, 2011 :
27).Karyawan memainkan peran sosial di lingkungan pekerjaannya, dan bagaimana

6

ketegangan atau tekanan yang mereka alami dalam pekerjaan dapat berpengaruh secara
negatif terhadap peran mereka di dalam kehidupan keluarganya. Grant-vallone dan
Donaldson (2001 : 215) mengemukakan pandangan sebagai berikut “there is evidence that
multiple roles lead to perceptions of conflict and overload and have repercussion for the
well-being and performance of employees’.Menurut Kahn et al (Ahmad 2008), kerangka teori
peran menyatakan bahwa faktor penentu utama terhadap perilaku individu adalah harapan
perilaku yang muncul dari orang lain terhadap dirinya.
Besarnya konflik yang dihadapi karyawan ditentukan oleh apakah individu tersebut

memiliki sumberdaya sertakeleluasaan dalam mengelola sumberdaya tersebut. Keleluasaan
mereka dalam mengatur jam kerja misalnya, bisa menjadi faktor ‘pereda’ potensi timbulnya
konflik dan mengurangi tekanan yang ada. Friedman dan Greenhaus, mengemukakan dua
konsep dalam pola hubungan kerja dan keluarga (2000 :122). Pertama adalah konsep aliansi,
yang memiliki pandangan ketika lingkungan kerja dan keluarga bersinergi, maka akan
meningkatkan kinerja karyawan di lingkungan pekerjaan dan meningkatkan kualitas
kehidupan keluarganya. Sebaliknya, konsep kedua, yaitu sebagai musuh, menyatakan bahwa
kondisi yang tidak sejalan tersebut akan mengganggu kehidupan keluarga dan kinerja dalam
pekerjaan.
Teori KonflikPeran
Teori berikutnya yang digunakan adalah teori konflik yang melihat bahwa ada
pertentangan yang tidak terhindarkan antara kepentingan pekerjaan dan keluarga (rumah).
Hal ini terjadi karena pada dasarnya kedua lingkungan ini tidak kompatibel atau tidak selaras.
Ketidak selarasan ini ditimbulkan dari perbedaan tuntutan, tanggung jawab, dan normanorma yang dijalankan. Diasumsikan bahwa apapun yang terjadi di lingkungan pekerjaan
akan menciptakan konflik dengan kondisi di keluarga (Fredriksen-Goldsen & Scharlach,
2001 : 56).

7

Konflik peran terjadi ketika individu menjalankan peran sebagai anggota keluarga dan

sebagai anggota organisasi (karyawan). Menurut Kahn et al (dalam Greenhaus and Beutell,
1985), konflik peran adalah “simultaneous occurrence of two or more sets of pressure such
that compliance with one make more difficult comliance with the other”. Terjadi kontradiksi
dalam upaya pemenuhan terhadap salah satun peran yangdapat mengakibatkan hambatan bagi
individu untuk memenuhi peran yang lainnya. Peran sebagai seorang ibu di rumah dan
sebagai pimpinan suatu departemen di kantor bisa menimbulkan pertentangan/konflik.
Konflik antar peran (interrole conflict) terjadi ketika ada tekanan/tuntutan dari peran sebagai
karyawan (misal kebutuhan lembur untuk menyelesaikan pekerjaan) berbenturan dengan
tuntutan peran keluarga (mengantar anak berobat). Karyawan dihadapkan pada dilema, peran
mana yang harus didahulukan, karena keduanya sama penting bagi dirinya.
Konflik Kerja Keluarga
Keluarga, interaksi sosial, pendidikan, dan pekerjaan merupakan sebagian aspek
dalam kehidupan seseorang. Semua aspek tersebut diupayakan sedapat mungkin dapat
bersinergi dan tidak bertentangan. Akan tetapi dalam kenyataannya sulit terwujud, karena
benturan antara domain keluarga dan pekerjaan sulit dihindarkan.
Definisi konflik kerja keluarga dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985)
sebagai berikut ;
“a form of interrole conflict in which the role pressures from the work and family
domains are mutually incompatible in some respect. That is, participation in the
work (family) role is made more difficult by virtue of participation in the family
(work) role”.

Definisi di atas menyatakan adanya kondisi yang tidak harmonis antara peran dalam
pekerjaan dan keluarga. Ketidakharmonisan tersebut terwujud ketika aktivitas dalam satu
peran mengganggu aktivitas peran lainnya.

8

Sumber Konflik Kerja Keluarga
Tuntutan kerja biasanya berkaitan dengan waktu dan beban kerja serta tenggat waktu
yang mendesak. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor jadwal kerja, besar kecilnya tanggung
jawab, tuntutan dari atasan/perusahaan. Sedangkan tuntutan keluarga lebih mengarah pada
tugas di rumah yang biasanya dipengaruhi oleh ukuran, komposisi, dan jumlah anggota
keluarga yang memiliki ketergantungan (Yang et al, 2000).
Penyebab konflik kerja keluarga terdiri dari berbagai hal, baik yang berasal dari
lingkungan pekerjaan, maupun dari keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan
Greenhaus dan Beutell yang membagi menjadi 3 jenis konflik, time-based, strain-based, dan
behaviour based (1985 : 77-82).Konflik ini dapat terjadi karena kondisi pekerjaan yang
mengganggu kehidupan keluarga, dan sebaliknya, kondisi kehidupan keluarga mengganggu
pekerjaan (work interfere familydanfamily interfere work).
Waktu yang sudah dialokasikan untuk menyelesaikan atau menjalankan salah satu
peran tidak dapat digunakan untuk menjalankan peran yang lain. Sumber konflik yang
disebabkan oleh keterbatasan waktu disebut Time-based conflict. Konflik terkait waktu ini
memiliki dua bentuk ; pertama, waktu yang sudah dialokasikan oleh individu terhadap salah
satu peran tidak memungkinkan individu tersebut untuk secara fisik dapat menjalankan peran
yang lainnya. Kedua, meski seorang individu sudah mengalokasikan waktunya (secara fisik)
untuk menjalankan satu peran, akan tetapi karena adanya kebutuhan atau kepentingan lain,
maka yang bersangkutan akan terganggu dengan tuntutan yang muncul dari peran yang lain.
Sedangkan dari sisi keluarga, kondisi yang mempengaruhi kebutuhan alokasi waktu antara
lain, status individu (menikah), apakah sudah memiliki anak, usia anak tertentu yang masih
membutuhkan perhatian rutin, apakah tinggal di rumah sendiri atau dengan keluarga lain.
Sumber konflik berikutnya muncul dari tekanan (strain-based conflict). Tuntutan dari
salah satu peran mempengaruhi potensi individu untuk menjalankan peran yang lain secara

9

efektif. Menurut Peck et al (dalam Greenhaus & Beutell, 1985, hal. 80), konflik yang muncul
dari tekanan tersebut dapat menimbulkan kelelahan. Jenis pekerjaan, lokasi kerja, keterlibatan
dalam aktivitas yang pelik, karakteristik atasan, model aturan perusahaan, masalah
komunikasi, dan tingkat konsentrasi bisa menjadi faktor penyebab atau pengurang stres.
Sedangkan dari sisi keluarga/rumah, faktor yang berpotensi menimbulkan konflik antara lain
perilaku pasangan, perilaku anak, kesepahaman pola pikir terhadap sesuatu hal, dan
fleksibilitas terhadap kondisi pasangan. Apabila hal tersebut tidak sesuai dengan harapan
individu, maka konflik kerja keluarga diperkirakan akan tinggi.
Sumber konflik terakhir berkaitan dengan perilaku dari individu (behavior-based
conflict). Karena individu memiliki peran beragam, seringkali di antara peran-peran tersebut
memiliki perilaku yang berlawanan. Perilaku yang dijalankan individu di dalam pekerjaannya
sebagai seorang pimpinan tentu berbeda dengan perilaku yang diharapkan oleh keluarga
(anak, misalnya). Sebagai pimpinan sikap tegas, objektif, dan tidak mau tahu menerima
alasan anak buah adalah hal biasa. Akan tetapi, di dalam keluarga, individu tersebut
diharapkan bisa bersifat lebih hangat, empati, mau mendengarkan masalah sang anak.
Ketidakmapuan melakukan penyesuaian antar peran tersebut bisa mengakibatkan terjadinya
konflik kerja keluarga. Seperti yang disampaikan oleh Greenhaus dan Beutell (1985, hal. 82)
;“if a person unable to adjust behavior to comly with the expectations of different roles,
he/she is likely to experience conflict between roles”.
Tuntutan Pekerjaan dan Keluarga dalam Konflik Kerja Keluarga
Boyar et al (2008:218), menjelaskan tuntutan (pekerjaan dan keluarga) sebagai berikut,
“a global perception of the level and intensity of resposibility within the work (or family)
domain”.Suatu tuntutan muncul dari persepsi individu yang mengalaminya agar bisa
mempengaruhi pekerjaan dan keluarga. Lebih jelasnya lagi, dalam suatu organisasi yang
sama dengan aturan yang sama dan berlaku untuk semua karyawan, ada yang merasa dirinya

10

mendapatkan tuntutan lebih besar dibanding karyawan lainnya. Disinilah persepsi tersebut
mulai dirasakan oleh individu sebagai karyawan.
Dari tuntutan tersebut selanjutnya muncul persepsi individu bahwa kepentingan
pekerjaan mengganggu keluarga dan atau kepentingan keluarga mengganggu pekerjaan.
Meski demikian, keterkaitan antar tuntutan tersebut dapat diminimalkan oleh nilai yang
dianut idnividu dan peran yang sedang dia jalankan. Boyar et al (2008 : 218) menjelaskan
variabel untuk masing-masing domain (lingkungan). Baik domain pekerjaan maupun
keluarga memiliki tiga kategori variabel ; karakteristik pekerjaan, tekanan dari peran yang
dijalankan (role stressor), dan dukungan lingkungan sosial (perusahaan dan keluarga).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif serta menggunakan teknik pengumpulan
data perpaduan antara survey melalui kuesioner dan wawancara dengan responden.Penelitian
ini tidak menggunakan hipotesis karena tidak mengukur pengaruh atau keterkaitan satu
variabel dengan yang lainnya. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif untuk
menggambarkan faktor yang berpotensi menimbulkan kerja dan keluarga. Hasil kuesioner
dan wawancara akan digunakan sebagai penguat di dalam analisis yang dilakukan.
Responden yang menjadi objek adalah 21 orang yang merupakan. Rencana awal dari
penelitian ini menggunakan keseluruhan populasi sebagai responden. Akan tetapi, karena satu
orang karyawan pada periode survey yang dilakukan sedang tidak bekerja (sakit), maka
akhirnya digunakan teknik sampling purposive. Hal ini karena peneliti menggunakan
pertimbangan tertentu berdasarkan ketersediaan responden (Sugiyono, 2011 : 85). Terkait
kuesioner yang digunakan, peneliti memakai Skala Likert untuk mengukur pandangan atau
pendapat dari responden terhadap pernyataan yang diajukan. Pernyataan yang digunakan
disusun berdasarkan variabel penelitian terkait konflik kerja keluarga.

11

HASIL ANALISIS dan PEMBAHASAN
Identifikasi terhadap faktor-faktor konflik kerja dan keluarga pada penelitian ini
didasarkan pada pandangan Greenhaus dan Beutell (1985) yang menjelaskan tiga penyebab
utama terjadinya konflik kerja dan keluarga; waktu, tuntutan, dan perilaku individu.Beberapa
hal yang biasanya menjadi penyebab adanya ketidakseimbangan antara kehidupan pekerjaan
dan keluarga terkait ke tiga faktor di atas adalah:
DOMAIN PEKERJAAN
Sifat dan jenis pekerjaan
Karakteristik atasan
Penghasilan yang diperoleh
Interaksi dengan rekan kerja

DOMAIN KELUARGA
Jumlah anak
Perhatian khusus untuk anggota keluarga
Alokasi waktu kebersamaan
Status individu (menikah/lajang/cerai)

Karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat melalui
gambar di bawah ini;

Dari gambar di atas nampak merata distribusi usia dari 20 tahun hingga 35 tahun. Tidak
ada karyawan spa yang berusia di atas 35 tahun, hal ini karena spesifikasi pekerjaan Terapis
menuntut kebugaran dari sisi fisik khususnya. Selanjutnya, responden rata-rata sudah
menikah, dengan 7 orang di antaranya sudah bercerai. Masa kerja yang dimiliki para
responden rata-rata antara 1 – 5 tahun (16 responden), ada 2 orang yang telah bekerja di atas
5 tahun dan 3 orang yang masih di bawah 1 tahun. Responden juga rata-rata sudah memiliki
anak.
Peneliti membagi dua dimensi konflik, yaitu kondisi pekerjaan yang mengganggu
kehidupan keluarga (pertanyaan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 10, dan 11) dan kondisi keluarga yang
menggangu pekerjaan (nomor 6, 7, 8, 9, 12). Dari dua dimensi utama ini selanjutnya akan
dilakukan analisis terhadap faktor penyebab konflik kerja keluarga di kalangan pekerja
spa.Berdasarkan hasil kuesioner Terapis di Nature Spa, Bandung relatif tidak memiliki
konflik kerja dan keluarga. Hal ini dapat dilihat pada angka persentase pada dimensi
pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga sebesar 57%. Meskipun ada aspek
pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga, gangguan yang ditimbulkan tidaklah terlalu
besar. Demikian juga pada dimensi kegiatan keluarga yang mengganggu pekerjaan.
Meskipun memiliki persentase lebih besar (61%), akan tetapi juga belum memperlihatkan
besarnya konflik yang dihadapi.
Berbeda dari hasil kuesioner, wawancara yang dilakukan berhasil mengungkapkan
adanya kondisi tertentu yang terkadang membuat Terapis mengalami konflik antara
kepentingan pekerjaan dan keluarga. Untuk menggambarkan karakteristik pekerjaan sebagai
seorang Terapis peneliti menggunakan aspek waktu kerja, citra pekerjaan, dan tuntutan
pekerjaan. Spesifikasi yang harus dimiliki oleh seorang Terapis adalah wanita, berusia antara
20 – 35 tahun, bersedia bekerja dalam waktu yang fleksibel, ramah, dan menguasai teknik
pemijatan dan perawatan spa. Sedangkan deskripsi pekerjaan utama Terapis adalah

13

melakukan pemijatan baik full body treatment atau pun sekedar refleksi serta layanan
perawatan lain yang disediakan Nature Spa. Pekerjaan lain yang dituntut adalah menjadi
tenaga pemasaran untuk mengundang pelanggan hotel agar tertarik memanfaatkan jasa
mereka.
Terapis harus senantiasa siap melayani kebutuhan pelanggan. Pada satu saat bisa saja
tidak ada pelanggan sama sekali, sedangkan di saat lain melimpah. Terapis terbagi dua
kelompok yaitu yang bekerja di pagi hari dan siang hari. Masing-masing berkisar antara 10
jam kerja per shift-nya. Kondisi kerja berdasarkan shift ini dapat menimbulkan manfaat,
sekaligus masalah. Dari sisi manfaat kerja shift memungkinkan karyawan untuk memilih
jadwal kerjanya berdasarkan kesepakatan dengan rekan kerja. sebaliknya, kerja shift juga
menimbulkan problema tersendiri ketika lawan shift yang tidak hadir atau ketika giliran shift
malam dan tamu masih belum selesai melakukan perawatan.
Sistem kerja diatur oleh Supervisor agar setiap Terapis memiliki kesempatan bekerja
seimbang. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebugaran Terapis dan agar tidak menimbulkan
kecemburuan.Terapis juga ditugaskan menjadi bagian pemasaran layanan Nature Spa. Peran
ini dilakukan setelah jam kerja operasional usai. Artinya mereka bekerja di luar waktu normal
dan tidak dibayar. Meski demikian Terapis di Nature Spa tidak keberatan untuk menjalankan
kegiatan tersebut karena hanya sesekali saja, dan mereka pula yang nantinya menikmati
manfaatnya jika ada tambahan tamu.
Pekerjaan sebagai tenaga Terapis memiliki citra yagn masih negatif. Ketika berbicara
mengenai spa, maka akan muncul pandangan negatif terhadap perusahaan dan pekerjanya.
Memang ada spa yang memberikan layanan tambahan yang melanggar ketentuan yang
diberlakukan. Hal ini menyebabkan Terapis tidak berterus terang kepada keluarga terkait
pekerjaannya. Lokasi Nature Spa yang terletak di dalam hotel, memudahkan mereka untuk
menyampaikan kepada keluarga bahwa bekerja di hotel.

14

Faktor lain dari sisi pekerjaan yang berpotensi menimbulkan konflik adalah
penghasilan yang sifatnya tidak pasti. Terapis di Nature Spa tidak mendapatkan gaji pokok
yang bersifat tetap. Seluruh penghasilan mereka ditentukan oleh seberapa banyak tamu yang
dilayani pada satu periode penggajian. Penghasilan Terapis ditentukan oleh kuantitas dan
jenis layanan yang diambil oleh pelanggan. Sebagai perbandingan dengan menggunakan
asumsi kondisi biasa, sebuah perusahaan spa mentargetkan pendapatan kotor sebesar Rp.
30.000.000,-. Pada tingkat pendapatan ini Terapis di spa tersebut akan memperoleh sekitar
7% yang dibagi di antara pekerja pada bulan tersebut. Di luar itu, Terapis sering mendapatkan
tip dari pelanggan, yang jumlahnya tidak bisa dipastikan. Pelanggan yang puas akan
memberikan tip besar, karenanya Terapis perlu menjaga tingkat layanannya agar pelanggan
mau merogoh kantong lebih dalam. Masalah gaji ini ternyata bisa diselesaikan oleh para
Terapis tersebut. Sebagian dari mereka memiliki usaha sendiri (rental kendaraan dan
berdagang di rumah), sedangkan sisanya merasa jarang mengalami kekurangan untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Gaji yang dihasilkan masih dapat menghidupi mereka
dengan layak. Seorang Terapis rata-rata memperoleh Rp. 2.000.000,- sebulan, sedikit di atas
Upah Minimum Regional di Kota Bandung yang mendekati Rp. 1.600.000,-.
Lingkungan pekerjaan dimana pada Terapis bekerja juga memiliki potensi untuk
menimbulkan konflik pekerjaan dan keluarga. Kondisi lingkungan kerja di Nature Spa
ternyata memberikan keleluasaan bai Terapis dalam menjalankan pekerjaannya secara
bertanggung jawab. Meski perusahaan menerapkan aturan yang ketat, tetapi Supervisoryang
berfungsi memantau kegiatan bisnis menerapkannya secara bijaksana.Supervisor Nature Spa
ini menerapkan kebijakan yang fleksibel tetapi bertanggung jawab. Supervisor menyerahkan
pengaturan jadwal kepada para Terapis dan hanya meminta mereka untuk berkomitmen
terhadap jadwal yang dibuat sendiri tersebut. Ijin untuk berbagai keperluan pun tidak sulit
untuk diberikan sepanjang mereka bisa melakukan pergantian jadwal dengan rekan kerjanya.

15

Tanggung jawab yang dituntut oleh Supervisor adalah bahwa pada setiap waktu operasional,
jumlah minimum tenaga Terapis harus tersedia. Apabila tidak mencukupi, Terapis yang
bekepentingan dapat menghubungi Supervisor untuk dicarikan solusi lain. Sikap Supervisor
dalam mengayomi anak buahnya inilah yang menjadi alasan kuat Terapis untuk betah bekerja
di Nature Spa. Peran supervisor sangat besar dalam membantu mengurangi munculnya
konflik pekerjaan dan keluarga.
Hubungan antar rekan kerja yang harmonis akan membantu Terapis dalam menjalankan
peran ganda ini. Terapis yang tidak memiliki hubungan baik dengan rekan kerjanya biasanya
tidak akan bertahan lama. Pernyataan ini dikemukakan salah satu responden yang diperkuat
oleh Supervisornya. Terapis harus memiliki semangat kebersamaan dan bersedia berkorban
jika rekan mereka membutuhkan. Dengan semangat seperti ini, kondisi kerja di Nature Spa
menjadi kondusif, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya potensi konflik pekerjaan
dan keluarga yang ditimbulkan oleh faktor rekan kerja.
Selanjutnya penulis akan melihat faktor-faktor dari lingkungan keluarga yang
berpotensi menimbulkan masalah dalam pekerjaan. Faktor pertama yang dibahas adalah
status Terapis di Nature Spa. Terapis yang belum menikah atau menikah tetapi sudah bercerai
memiliki lebih sedikit beban. Keputusan untuk bekerja akan lebih cepat diambil oleh pekerja
yang belum menikah atau sudah cerai. Sedangkan keterbatasan yang dimiliki oleh Terapis
yang sudah memiliki pasangan adalah terkait jadwal kerja yang tidak pasti (khususnya waktu
pulang).
Faktor keluarga lainnya adalah jumlah anak yang dimiliki pekerja Terapis. Kondisi
yang relatif sama dengan kebanyakan orang pada umumnya. Karyawan yang belum atau
tidak memiliki anak, tentu lebih fleksibel dalam bertugas karena tidak memiliki beban
mengurus anak. Anak membutuhkan perhatian dari orang tuanya. Jenis dan bentuk kebutuhan
perhatian ini beragam dan unik untuk setiap anak. Terapis di Nature Spa meski rata-rata

16

memiliki anak ternyata tidak terlalu bermasalah dengan alokasi waktu dan perhatian untuk
anak mereka dan pekerjaan. Hasil kuesioner menunjukkan persentase yang rendah terhadap
potensi konflik kerja dan keluarga dari sisi kehidupan keluarga yang mempengaruhi
pekerjaan mereka. Hasil wawancara menguatkan pendapat tersebut karena para Terapis ini
ternyata memiliki alternatif solusi. Keberadaan orang tua, suami yang sedang tidak bekerja,
atau anggota keluarga lain merupakan salah satu solusinya. Menurut responden, pendidikan
dan pergaulan anak-anak mereka pun juga masih dapat terkendali.Indikator lain keberadaan
anggota keluarga lain yang membutuhkan perhatian khusus ternyata tidak merupakan faktor
penyebab konflik kerja keluarga. Responden tidak memiliki anggota keluarga yang
membutuhkan perhatian khusus tersebut.
Masalah pembagian waktu antara kehidupan pribadi dan pekerjaan juga bukan menjadi
kendala. Responden masih memiliki waktu yang luang untuk memberikan perhatian kepada
keluarganya. Bagi mereka pendapatan bulanan dari pekerjaan ini penting untuk menopang
kelangsungan hidup keluarganya. Kendala yang ada terbatas pada ketika jadwal pulang kerja
terpaksa diperpanjang.Tuntutan untuk masuk pada saat jadwal libur sangat jarang terjadi.
Oleh karenanya, waktu untu keluarga masih leluasa untuk dimanfaatkan.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini memperlihatkan Terapis di Nature Spa memiliki potensi konflik
kerja dan keluarga dalam skala yang relatif kecil. Hal ini tidak berarti bahwa Terapis tersebut
bebas dari konflik atau pertentangan antara kepentingan keluarga dan pekerjaan. Akan tetapi
mereka memiliki sumberdaya lain yang dapat dioptimalkan untuk mengurangi potensi
munculnya konflik. Dukungan dari anggota keluarga, supervisor yang fleksibel,dan
kedekatan hubungan dengan rekan kerja dapat menjadi solusi yang tepat untuk
menyelaraskan kehidupan keluarga dan pekerjaan.

17

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Aminah (2008). Job, Family and Individual Factors as Predictor os Work Family
Conflict. The Journal of Human Resource and Adult Learning, Vol. 4, Num. 1, 57-65
Boyar, S.L. Maertz Jr., C.P. Mosley Jr., D.C. & Carr., J.C. (2008). The Impact of
Work/Family Demand on Work-Family Conflict. Journal of Managerial Psychology,
23 (3) : 215 – 235.
Cahyaningdyah, D., (2009). Analisis Konflik Pekerjaan Keluarga Pada Wanita Pekerja di
Industri Perbankan. Dinamika Manajemen, November 2009, 10-18.
Friedman, Stewart D., & Greenhaus, J.H. (2000). Work and Families : Allies or Enemies.
New York. Oxford University Press Inc.
Frederik-Goldsen, K.I., & Scharlach, A.E. (2001). Families and Work ; New Directions in the
Twenty First Century. New York. Oxford Univeristy Press.
Grant-vallone, Elisa J., & Donaldson, Stewart I. (2001). Consequences of work-family
conflict on employee well-being over time. Work and Stress, 15 (3), 214-226.
Greenhaus, J.H., & Beutell, N.J. (1985). Sources of Conflict Between Work and Family
Roles. The Academy of Management Review, Januari, 76-88.
Harsiwi, Th. Agung M. 2008. Perbedaan Gender Dalam Konflik Antara Pekerjaan dan
Keluarga Pada Staf Akademisi Perguruan Tinggi Swasta, Journal of management and
Review, 5 (2), 97-108.
Hill, E.J., Ferris, M., & Martinson, V. (2003). Does it matter where you work? A comparison
of how three work venues (traditional office, virtual office, and home office)
influence aspects of work and personal/family life. Journal of Vocational Behavior,
63, 220-241.

18

Kaleka, N. (2011, 20 Juli). Perempuan, Tiang Ekonomi Keluarga. Suara Merdeka (online),
halaman 24. Tersedia di http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 4
September 2012.
Mawardi, Artiawati ( 2011). Work family Conflict in Asian Cultural Context: The Case of
Indonesia. Canada. Multi-National Work Family - Research Project ( Project 3535 ).
Moerti, Wisnoe (2012). Berapa Gaji Ideal dan Layak Bagi Buruh? (online). Tersedia di
http://m.merdeka.com/uang/berapa-gaji-ideal-dan-layak-bagi-buruh.html, di akses 11
Maret 2013.
Nugraha, Indra (2012). Negara Perlu Lakukan Upaya Strategis untuk Mereposisi Buruh
Wanita (online). Tersedia di http://www.unpad.ac.id/2012/09/negara-perlu-lakukanupaya-strategis-untuk-mereposisi-buruh-perempuan/ di akses 11 Maret 2013.
Rantanen, J., Kinnunen, U., Mauno, S., & Tillemann, K. (2011,a). Introducing Theoretical
Approaches toWork-Life Balance and Testing, a New Typology Among
Professionals, in Creating Balance? International Perspectives on the work-life
Integration of Professionals. Berlin. Springer.
Rantanen, M., Mauno, S., Kinnunen, U., & Rantanen, J. (2011,b). Do Individual Coping
Strategies Help or Harm in the Work–Family Conflict Situation? Examining Coping
as a Moderator Between Work–Family Conflict and Well-Being. International
Journal of Stress Management. Vol. 18 (1), 24-48.
Surono, Agus (2012). Anak Sakit dan Tuntutan Pekerjaan. Tersedia di http://intisarionline.com/read/anak-sakit-dan-tuntutan-pekerjaan, di akses 17 Maret 2013.
Sumartias, Suwandi. (2012). http://www.unpad.ac.id/2012/09/negara-perlu-lakukan-upayastrategis-untuk-mereposisiburuh-perempuan/, diakses 11 Maret 2013.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

19

Wharton, Amy S., & Blair-Loy, Mary. 2006. Long Work Hour and Family Life; A CrossNational Study of Employee Concerns, Journal of Family Issues 27 (3). 415-436
Yang N., G.C. Chen, J. Choi & Y. Zou. (2000). Sources of Work Family Conflict : A SinoU.S. Comparison of The Effect of Work and Family Demand, Academy of
Management Journal 43 (1) : 113 -123.

20