Perkembangan dan Sinematografi di Indonesia

PERKEMBANGAN SINEMATOGRAFI DI INDONESIA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas tambahan
pada mata kuliah Sinematografi

MUG2E3 SINEMATOGRAFI

Oleh :
Aldi Lazuardi
1601144367

DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
FAKULTAS INDUSTRI KREATIF
UNIVERSITAS TELKOM
BANDUNG
2015

Pendahuluan

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian dari
kehidupan umat manusia saat ini. Hampir seluruh aktivitas umat manusia tidak akan

terlepas dari peran teknologi informasi. Baik untuk aktivitas pribadi apalagi
aktivitas yang berkaitan dengan interaksi antar sesama manusia.
Di sisi lain, kemajuan dan perkembangan teknologi informasi secara teoretis
telah melahirkan konsekuensi baru yaitu semakin hilangnya sekat-sekat aplikasi
keilmuan terutama ilmu-ilmu terapan yang berkaitan dengan dimensi audio visual
sebagai komponen utama dari teknologi informasi pada era ini yang berbasis digital
multimedia.

Bandung, 28 Agustus 2015

Aldi Lazuardi

2

Daftar isi

Pendahuluan

2


Daftar Isi

3

1. Pengertian Sinematografi

4

2. Unsur-unsur Sinematografi

5

2.1 Unsur Utama Sinematografi

5

2.1.1 Visual

5


2.1.2 Audio

5

2.1.3 Alur Cerita

5

2.2 Unsur Penunjang Sinematografi

5

2.2.1 Setting Latar

5

2.2.2 Properti

6


2.2.3 Efek

6

3. Sejarah Sinematografi Di Indonesia

6

3.1 Teknologi Film Seluloide

6

3.2 Era Teknologi Digital

11

4. Kesimpulan

11


Daftar Pustaka

12

3

1. Pengertian Sinematografi
Sinematografi secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu;
Kinema (gerak), Photos (cahaya), Graphos (lukisan/ tulisan). Jadi sinematografi
dapat diartikan sebagai aktivitas melukis gerak dengan bantuan cahaya.
Menurut Kamus Ilmiah Serapan Bahasa Indonesia (Aka Kamarulzaman: 2005,
642) Sinematografi diartikan sebagai ilmu dan teknik pembuatan film atau ilmu,
teknik, dan seni pengambilan gambar film dengan sinematograf. Sinematograf
itu sendiri bararti kamera untuk pengambilan gambar atau shooting, dan alat
yang digunakan untuk memperoyeksikan gambar-gambar film. Sedangkan
sinema (cinema) diartikan sebagai gambar hidup, film, atau gedung bioskop.
Film (movie atau cinema) merupakan produk atau buah karya dari kegiatan
sinematografi. Film sebagai karya sinematografi merupakan hasil perpaduan
antara kemampuan seseorang atau sekelompok orang dalam penguasaan
teknologi, olah seni, komunikasi, dan manajemen berorganisasi.

Sinematografer adalah orang yang bertanggung jawab semua aspek
Visual dalam pembuatan sebuah film. Mencakup Interpretasi visual
pada skenario, pemilihan jenis kamera, jenis bahan baku yang akan dipakai,
pemilihan lensa, pemilihan jenis filter yang akan dipakai di depan lensa atau di
depan lampu, pemilihan lampu dan jenis lampu yang sesuai dengan
konsep sutradara dan cerita dalam skenario. Seorang sinematografer juga
memutuskan gerak kamera, membuat konsep Visual, membuat floorplan untuk
ke efisienan pengambilan gambar.

4

2. Unsur-unsur Sinematografi
2.1. Unsur Utama Sinematografi
2.1.1. Visual
Visual gerak merupakan lambang-lambang komunikasi
visual yang disajikan dengan metode Fotografi yaitu ”tanpa cahaya,
maka tak ada gambar”. Bentuk komunikasi tersebut dapat berupa
tampilan visual secara verbal maupun non verbal yang mengandung
nilai estetik, artistik, maupun dramatik.
2.1.2. Audio

Seiring dengan

perkembangan

zaman,

sinematografi

merupakan bentuk produk teknologi audiovisual pertama yang
memadukan unsur audio dan visual. Saat ini unsur audio berperan
besar untuk memperjelas maupun mempertegas pesan informasi
maupun

komunikasi

yang

terkandung

pada


unsur

visual

sinematografi.
2.1.3. Alur Cerita
Jalan Cerita tidak seperti gambar diam yang dapat ditafsirkan
sendiri oleh yang melihatnya (satu gambar mewakili seribu kata),
suatu karya sinematografi relatif memiliki makna yang universal
dari berbagai penonton yang melihatnya. Hal ini ditunjukan melalui
rangkaian gambar bergerak yang mengandung urutan jalan cerita.
Namun, jalan cerita juga terikat dan dibatasi oleh keterbatasan waktu
atau durasi film.
2.2. Unsur Penunjang Sinematografi
2.2.1. Setting Latar
Seting atau lingkungan tempat pengambilan gambar. Set
adalah tata ruangan yang menjadi obyek visual untuk tiap adegan.
Merupakan unsur penguat jalan cerita baik yang diambil secara
alami maupun didesain sedemikian rupa (buatan) sebagai bagian

dari properti. Agar tidak terjadi salah paham tentang ukuran, warna,
riasan dan jumlah perabot dalam sebuah set, konfirmasi ulang
dengan sutradara dan penata fotografi.

5

2.2.2. Properti
Properti meliputi kostum, tata rias, dan segala perlengkapan
yang diperlukan untuk lebih memberikan kesan alami maupun
dramatis pada cerita yang akan direkam melalui kamera atau di luar
frame kamera, termasuk segala peralatan dan perlengkapan produksi
yang diperlukan.
2.2.3. Efek
Efek meliputi efek gambar, suara, cahaya, transisi waktu,
hingga spesial efek yang didesain secara animasi melalui program
komputer agar lebih memberikan kesan dramatis pada cerita.
3. Sejarah Sinematografi di Indonesia
Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang
digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat
cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata

kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih
dramatis dan terlihat lebih nyata. Ini adalah tahapan perkembangan film mulai
dari kehadiran film hingga perkembangan sinematografi di Indonesia.
3.1. Teknologi Film Seluloide
Pada tahun 1864 film masih merupakan embrio. Film sebagai
embrio merupakan gabungan dari penemuan: teknologi mekanik, kimia,
dan optik (lensa photografi). Para pelopornya antara lain; Louis Ducos du
Houron, Leonardo da Vinci, Thomas Alfa Edison.
Thomas

Alfa

Edison

berhasil

menciptakan

sebuah


alat

kinetoscope atau kotak berisi rangkaian gambar bergerak yang cara
pengoperasiannya dengan mengintip melalui lubang kecil pada salah satu
sisinya.

6

Auguste & Louis Lumiere (Lumiere bersaudara) berhasil
menciptakan Cinematographe yaitu kamera film seluloide yang juga
berfungsi sebagai proyektor. Alat ini hasil modifikasi dari alat ciptaan
Thomas Alfa Edison yaitu Cinematographe. Hal ini menandai dimulainya
era pertunjukan film untuk orang banyak.
Tanggal 28 Desember 1895 pertama kali di dunia puluhan orang
berada dalam satu ruangan guna menonton film yang diproyeksikan ke
sebuah layar lebar. Lumiere bersaudara menyewa Grand Cafe sebuah
ruangan bilyard tua di bawah tanah di Boulevard Des Capucines Paris yang
kemudian dikenal sebagai ruang bioskop pertama di dunia.
Gedung Bioscope I di Amerika disebut Nickel-odeon. Artinya (5
sen dolar – Arena pertunjukan). Th. 1907 Leede Forest menemukan Audion
(tabung triode elektron) sebagai pelengkap peralatan proyektor.
Tahun 1926 Film berwarna (bisu) pertama berjudul Black Pirate
dengan sistem technicolour-trademark. Dalam era film bisu, pertunjukan
film umumnya diiringi musik secara langsung (live music performance).
Jadi sebenarnya film itu disajikan dengan suara, tidak sepenuhnya hening.

7

Th. 1927 dibuat film bersuara (backsound) berjudul “Don Juan”.
Film real audio pertama berjudul “The Jazz Singer” (Sutradara: Alan
Crosland, 1927, hitam putih) dengan pemeran Al Johnson sutrada Alan
Crosland. Inilah film pertama di dunia yang menyajikan secara lengkap
musik, dialog dan nyanyian.
Film cerita panjang pertama di dunia yang dibuat dengan sistem
Technicolor adalah Black Pirate (Sutradara: Albert Parker, 1928, bisu)
Technocolor kemudian berkembang menjadi merk dagang dan digunakan
sebagian besar film berwarna sesudahnya. Dalam tahun 1920-1930 an film
“bicara” belum tentu berwarna dan sebaliknya.
Film “bicara” pertama di Indonesia adalah “Terpakasa Menikah”
(Sutradara, Penanata Fotografi dan Suara: G. Krugners, 1932). Film itu
dipromosikan sebagai berikut: “100% bitjara dan njanji, lebih terang,
bagoes, kocak dan ramai dari Njai Dasima.....”
Th. 1952 menandai awal produksi film berwarna pertama di
Indonesia Rodrigo de Villa (Sutradara Gregorio Fernandez, Rempo Urip)
seluruhnya

dikerjakan

di

Studio

LVN

Manila

Filipina. Mulai tahun 1968 baru muncul “musim warna” dalam produksi
film Indonesia, semua film diproduksi dengan full color hingga sekarang.
3.2. Era Teknologi Video
Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember
1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”.
Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah
film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda
di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga
karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga
karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.
Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang
diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa
Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton
dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata
mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926.

8

Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada
tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai
diproduksi.
Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini
diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah
Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua
ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya
seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central
Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun
1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan
Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama
kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara)
diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah
film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik
mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI
(Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar
Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus
terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film
ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan
kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah
kemerdekaan.
Di tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun
‘70-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat
pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi,
seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb.
Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih
penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu
ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat
beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang

9

mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah
penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya
(meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282,
masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Awal munculnya bioskop di Indoensia, satu bioskop memiliki
beberapa kelas penonton, tahun ‘80-an ini bioskopnya yang menjadi
berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21.
Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser peredarannya
di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi dengan
tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk
mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film
tersebut.Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam
terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang
diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar filmfilm produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal.
Akibatnya, di akhir tahun ‘80-an, kondisi film nasional semakin parah
dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan filmfilm impor dan sinema elektronik serta telenovela.Meski dalam kondisi
“sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas
Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan
di festival film internasional. Pertengahan ‘90-an, film-film nasional yang
tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya
sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung
dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc,
VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati
film impor.

10

3.3. Era Teknologi Digital
Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember
1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”.
Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah
film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda
di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga
karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga
karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.
Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film
bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja,
Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film
Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton
ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta,
Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre
film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika
sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga
dengan tema-tema remaja/anak sekolah.Dengan variasi yang diusung, itu
memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan
motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di Dadaku, serta
Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri
animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir
film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.

4. Kesimpulan
Saat ini, keahlian Sinematografis di Indonesia masih terus berkembang.
Perkembangan disiplin ilmu Sinematografis mampu memberikan dampak positif
untuk memajukan film-film asli Indonesia. Nampaknya hal tersebut akan sangat
mudah terwujud bila sudah ada kemauan dan komitment dari berbagai pihak
untuk terus mendukung kreativitas dalam berkarya. Sebagaimana peribahasa
mengatakan di mana ada kemauan di situ pasti akan ada jalan, dan di mana tidak
ada kemauan pasti di situ hanya ada “alasan”.

11

Daftar Pustaka

Vita Dinana, 2013. Sejarah dan Pengertian Sinematografi
http://dinavirginitie.blogspot.com/2013/07/sejarah-dan-pengertiansinematografi.html (Diakses tanggal: 28 Agustus 2015)

Wikipedia Indonesia. Sinematografi https://id.wikipedia.org/wiki/Sinematografi
(Diakses tanggal: 28 Agustus 2015)

Sentri Utami, 2014. Sejarah Film dan Perkembangan Film
http://ptkom.blogspot.com/2010/07/sejarah-film-dan-perkembangan-film.html
(Diakses tanggal: 28 Agustus 2015)

Miyarso, Estu. Peran penting sinematografi dalam pendidikan
pada era teknologi informasi & komunikasi. Yogyakarta: KTP FIP UNY

12

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24